Menurut definisi dari Catholic Encyclopedia, (klik di sini untuk membaca teks selengkapnya) penumpangan tangan adalah suatu upacara simbolis yang dimaksudkan untuk menyampaikan kepada orang yang menerimanya, semacam kebaikan, persetujuan, keistimewaan (secara prinsip tentang hal rohani) atau untuk menugaskan kepadanya jabatan tertentu.
Penumpangan tangan dalam Perjanjian Lama
Hal penumpangan tangan ini sudah ada sejak zaman dahulu, dan dicatat dalam Kitab Suci sudah ada sejak Perjanjian Lama:
1. Untuk memberikan berkat: Yakub memberikan berkatnya kepada Efraim dan Manaseh dengan menumpangkan tangannya atas mereka (Kej 48:14).
2. Untuk memberikan tugas: Nabi Musa menumpangkan tanggannya atas Yosua agar ia meneruskan kepemimpinannya atas bangsa Israel (Bil 27:18,23).
3. Sebagai upacara religius memberikan tahbisan: Pentahbisan Harun dan anak-anaknya untuk menerima jabatan imam (Kel 29, Im 8).
4. Untuk menguduskan kurban: Dalam ritual Musa, sebelum kurban dipersembahkan, imam menumpangkan tangan atas kepala kurban tersebut (Im 8:18).
Penumpangan tangan dalam Perjanjian Baru
Penumpangan tangan ini juga dilakukan oleh Tuhan Yesus dan para Rasul:
1. Untuk menyembuhkan dan membangkitkan:
- Tuhan Yesus menumpangkan tangan untuk menyembuhkan orang-orang sakit (Mat 9:18; Mrk 5:23, 6:5, 8:22-25; Luk 4:40, 13:13), dan membangkitkan anak perempuan Yairus (Mat 9:18).
- Para Rasul menyembuhkan dengan menumpangkan tangan (lih. Kis 28:8).
2. Untuk mencurahkan Roh Kudus dan menyalurkan karunia-karunia Roh Kudus: Para Rasul menumpangkan tangan kepada jemaat, dan mereka menerima Roh Kudus dan karunia-karunia-Nya (lih. Kis 8:17,19; 19:6).
3. Untuk mendatangkan rahmat tahbisan: Para Rasul meletakkan tangannya atas murid Kristus yang tertentu untuk mengangkat mereka sebagai pembantu mereka melakukan tugas penggembalaan umat Tuhan (Kis 6:6; 13:3; 1Tim 4:14; 2Tim 1:6).
Penumpangan tangan dalam Gereja Katolik
Sampai sekarang, doa penumpangan tangan dalam Gereja Katolik tetap ada, baik dalam upacara liturgis, maupun non- liturgis.
1. Dalam upacara liturgis:
Doa penumpangan tangan memberikan rahmat sakramen, seperti dalam sakramen Tahbisan (untuk memberikan rahmat tahbisan); dalam sakramen Penguatan/ Krisma (untuk memberikan rahmat sakramen Krisma dan karunia Roh Kudus); dalam sakramen Pengurapan orang sakit (untuk memberikan rahmat penyembuhan rohani dan jasmani). Dalam tahbisan imam, penumpangan tangan dilakukan oleh uskup atas diakon yang oleh tahbisan itu diangkat menjadi imam. Dalam sakramen Krisma, penumpangan tangan dilakukan oleh Uskup, atau imam yang diberi kuasa oleh Uskup, untuk memberikan sakramen Krisma, yang maknanya adalah menyalurkan karunia Roh Kudus, agar yang menerimanya sanggup menjadi saksi-saksi Kristus, dan agar menjadi dewasa secara rohani. Penumpangan tangan dalam penerimaan sakramen Tahbisan dan Krisma ini (seperti halnya rahmat sakramen Baptis), memberikan efek meterai di jiwa.
Penumpangan tangan dalam upacara liturgis untuk memberikan rahmat sakramen ini tidak dilakukan oleh umat awam, melainkan oleh para tertahbis. Penumpangan tangan oleh kaum tertahbis ini menyampaikan rahmat Allah yang mempersatukan, menguduskan dan menyertai Gereja di sepanjang sejarah, dan dengan demikian menghubungkan kita dengan jalur apostolik yang dimiliki oleh Gereja Katolik.
2. Dalam upacara non-liturgis:
Penumpangan tangan yang dilakukan di luar upacara liturgis, tidak memberikan efek sakramen namun tetap menyampaikan berkat Tuhan:
- Para imam dapat menumpangkan tangan untuk mendoakan anak-anak, umat yang sakit ataupun umat yang meminta berkat, dengan menumpangkan tangannya.
- Orang tua dapat mendoakan anak-anaknya dengan menumpangkan tangannya, seperti yang dulu dilakukan oleh Yakub bagi anak-anaknya, Efraim dan Manaseh.
- Terutama dalam komunitas Karismatik Katolik, doa penumpangan tangan juga dapat dilakukan, misalnya oleh para saudara/i yang bertindak sebagai bapa atau ibu rohani bagi anak-anak rohani mereka dalam komunitas tersebut.
Dasar bahwa sebagai sesama umat beriman kita dapat saling mendoakan (lih. Yak 5:16) dan menyampaikan berkat adalah karena melalui rahmat sakramen Baptis, kita memperoleh peran imamat bersama (lih. KGK 1268). Namun tetap perlu disadari bahwa penumpangan tangan oleh awam tidak sama artinya dan karena itu tidak dapat disamakan dengan penumpangan tangan oleh para tertahbis. Sekalipun tidak sama artinya, tidak berarti bahwa doa dari sesama awam tidak ada artinya, sebab melalui doa-doa tersebut, Allah tetap dapat berkarya dan memberikan berkat-Nya. Sebab Tuhan telah mengikatkan rahmat-Nya pada sakramen-sakramen, tetapi Ia sendiri tidak terikat pada sakramen-sakramen-Nya (lih. KGK 1257).
Konsili Vatikan II, Lumen Gentium 12, mengajarkan bahwa tidak hanya melalui sakramen-sakramen Roh Kudus menyucikan Gereja-Nya:
“Selain itu, tidak hanya melalui sakramen- sakramen dan pelayanan Gereja saja, bahwa Roh Kudus menyucikan dan membimbing Umat Allah dan menghiasinya dengan kebajikan- kebajikan, melainkan, Ia juga “membagi-bagikan” kurnia-kurnia-Nya “kepada masing-masing menurut kehendak-Nya” (1Kor 12:11). Di kalangan umat dari segala lapisan Ia membagi-bagikan rahmat istimewa pula, yang menjadikan mereka cakap dan bersedia untuk menerima pelbagai karya atau tugas, yang berguna untuk membaharui Gereja serta meneruskan pembangunannya, menurut ayat berikut : “Kepada setiap orang dianugerahkan pernyataan Roh demi kepentingan bersama” (1Kor 12:7). Karisma-karisma itu, entah yang amat istimewa, entah yang lebih sederhana dan tersebar lebih luas, hendaknya diterima dengan rasa syukur dan gembira, sebab karunia- karunia tersebut sangat sesuai dan berguna untuk menanggapi kebutuhan-kebutuhan Gereja. Namun kurnia-kurnia yang luar biasa janganlah dikejar-kejar begitu saja; jangan pula terlalu banyak hasil yang pasti diharapkan daripadanya untuk karya kerasulan. Adapun keputusan tentang tulennya karisma-karisma itu, begitu pula tentang penggunaannya secara layak/ teratur, termasuk dalam wewenang mereka yang bertugas memimpin dalam Gereja. Terutama mereka itulah yang berfungsi, bukan untuk memadamkan Roh, melainkan untuk menguji segalanya dan mempertahankan apa yang baik (lih. 1Tes 5:12 dan 19-21).”
Dear Katolisitas yang baik.
Yak 5:16:
Karena itu hendaklah kamu saling mengaku dosamu dan saling mendoakan, supaya kamu sembuh. Doa orang yang benar, bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya.
SALING MENDOAKAN (bukan penumpangan tangan)
1268 Orang yang sudah dibaptis menjadi “batu hidup” yang dipergunakan untuk membangun “rumah rohani” dan “imamat kudus” (1 Ptr 2:5). Oleh Pembaptisan mereka mengambil bagian dalam imamat Kristus, dalam perutusan-Nya sebagai nabi dan raja. Mereka adalah “bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya [mereka] memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil [mereka] keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib” (1 Ptr 2:9). Pembaptisan memberi bagian dalam imamat bersama umat beriman.
TIDAK ADA PENJELASAN “bangsa yang terpilih” ini boleh menumpangkan tangan bagi sesama Umat beriman karena belum/tidak bisa mengambil peran penumpangan tangan dari orang yang TERTAHBIS.
Penumpangan tangan yang dilakukan di luar upacara liturgis, tidak memberikan efek sakramen namun tetap menyampaikan berkat Tuhan JIKA dilakukan oleh para imam dan orang tua.
TIDAK PERNAH DISEBUTKAN OLEH sebuah gerakan yang mampu mewakili berkat Tuhan.
Jadi mohonkan Celinne untuk menerima penjelasan karena Celinne sungguh tidak melihat ini sebagai upaya yang baik.
Terima Kasih.
Shalom Celinne,
Memang dalam Yak 5:16 tidak dituliskan bahwa saling mendoakan artinya juga adalah saling menumpangkan tangan. Tetapi kita ketahui bahwa konteksnya di sana adalah bahwa kita dapat meminta kepada mereka yang lebih dewasa dalam iman (yaitu para penatua) untuk mendoakan kita. Dari kitab Perjanjian Lama (Kisah Yakub menumpangkan tangan atas Efraim dan Manaseh), kita ketahui bahwa orang tua dapat berdoa sambil menumpangkan tangannya atas anaknya untuk memohonkan berkat Tuhan. Karena itu kebiasaan ini dapat pula diteruskan sampai sekarang, walaupun memang doa penumpangan orang tua (baik orang tua jasmani ataupun orang tua rohani) itu tidak mempunyai efek sakramen.
Selanjutnya, kita percaya bahwa Tuhan dapat berkarya melalui banyak cara, tidak terbatas hanya melalui sakramen. Maka Allah tetap dapat berkarya mendatangkan rahmatnya, misalnya kepada orang yang sakit, melalui doa yang dipanjatkan oleh rekan-rekan seiman yang mengunjunginya, entah mereka menumpangkan tangan atau tidak. Penumpangan tangan itu tidak menjadi syarat utama agar Allah memberikan rahmat-Nya, namun juga tidak menjadi penghalang bagi rahmat-Nya untuk mengalir kepada umat-Nya yang sakit. Sepanjang pengetahuan kami, Gereja Katolik tidak pernah mengeluarkan pernyataan resmi untuk melarang ataupun mendorong umat untuk melakukan ini. Maka, apa yang tidak diatur oleh Gereja, mari jangan kita menjadi terlalu kaku dan mengaturnya. Mari lebih berfokus kepada bagaimana menyampaikan doa-doa kita dengan kesungguhan hati dan penuh iman, harap dan kasih kepada-Nya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Ytk. Katolisitas.
Mohon beri penjelasan kepada Celinne, apakah “Pelayan Tak Lazim” di dalam membagikan Hosti Kudus pada Perayaan Ekaristi [idealnya] boleh memberikan berkat kepada mereka yang belum dibaptis atau belum menerima Komuni Pertama?
Dasar Penjelasannya apa yah?
Terima Kasih.
note: Sekali lagi DI DALAM PERAYAAN EKARISTI.
Salam Jessica Celinne,
Tak ada petunjuk di dalam PUMR dan TPE tentang hal ini, baik mengenai kemungkinan memberikan berkat kepada anak/katekumen dewasa yang belum komuni pertama oleh imam, maupun oleh awam pada saat melayani komuni kudus. Kebiasaan memberi berkat kepada mereka didasarkan pada pertimbangan pastoral untuk menyatakan tanda perhatian dan peneguhan terhadap mereka, meskipun kita tahu bahwa tak lama sesudah komuni, imam akan memberikan berkat untuk semua yang hadir termasuk mereka yang tidak menerima komuni kudus. Apakah “pelayan komuni tak lazim” dapat memberikan berkat pada saat ini juga ada banyak diskusi. Ada yang kontra (karena tak ada dalam TPE dan PUMR, titik) dan ada yang pro (karena punya manfaat besar buat mereka seperti halnya orang tua memberi berkat untuk anak-anak). Masing-masing punya alasan. Secara pribadi saya cenderung mengatakan, ikutilah kebiasaan yang sudah diberlakukan di keuskupan dan paroki. Kalau berdasarkan pengalaman, kebiasaan itu dapat diterima oleh umat, tidak mengganggu kelancaran perayaan dan punya manfaat besar untuk pertumbuhan iman, silakan dilakukan, tetapi kalau sebaliknya yang terjadi maka baiklah dihilangkan.
Salam dan doa. Gbu.
Rm Boli
Pastor Boli yang udiman.
Terima kasih atas penjelasannya, kalau menulis “reksa pastoral” artinya Celinne siap untuk menerima semua penjelasan pastor Boli.
Terutama terkait tulisan ini: “Kalau berdasarkan pengalaman, kebiasaan itu dapat diterima oleh umat, tidak mengganggu kelancaran perayaan dan punya manfaat besar untuk pertumbuhan iman, silakan dilakukan, tetapi kalau sebaliknya yang terjadi maka baiklah dihilangkan”.
INI jelas tidak mengganggu Umat, tidak pula mengganggu kelancaran perayaan dan “bisa” diartikan memiliki manfaat (besar) untuk pertumbuhan iman.
NAMUN praktek ini boleh atau tidak sesuai ajaran Gerejawi.
Dengan segala hormat yang Celinne baca, tampaknya tidak boleh yah?
Coba kita baca ini: “Tak ada petunjuk di dalam PUMR dan TPE tentang hal ini, baik mengenai kemungkinan memberikan berkat kepada anak/katekumen dewasa yang belum komuni pertama oleh imam, maupun oleh awam pada saat melayani komuni kudus”.
Nah kalau tidak ada lalu siapa yang “mengada-ada”…?
Mohon maaf, Celinne sangat menerima dan menjaga hati para “Pelayan Tak Lazim” tersebut – namun mohon sangat dipahami, Celinne bertanya idealnya bagaimana, bukan prakteknya yang bagaimana.
Perlu pula dicatat, bahwa tidak Celinne singgung peletakan tangan/berkat pada kegiatan gerakan Gerejawi lainnya (ie. PDKK), ini terserah saja, karena tidak di dalam Perayaan Ekaristi (walau bisa saja kita bersama mengkritisinya).
Semoga pastor Boli boleh berbagi penjelasan dengan Celinne.
Terima Kasih.
Shalom Jessica,
Sambil menunggu jawaban dari Pastor Boli, izinkanlah saya menanggapi pertanyaan Anda yang seberanya juga telah jelas kami sampaikan dalam jawaban-jawaban kami sebelumnya. Jawaban ini menjadi tanggapan penutup atas pertanyaan Anda untuk topik ini.
Pastor Boli telah menjawab bahwa dalam PUMR dan TPE tidak menyatakan secara eksplisit adanya larangan ataupun anjuran tentang hal pelayan Komuni tak lazim memberi berkat kepada anak-anak dan katekumen dewasa. Maka, apa yang tidak secara rigid dan mutlak diatur oleh Gereja, mari jangan kita menjadi terlalu kaku. Memang jika dilihat dari pemahaman tugas pembagi Komuni tak lazim, sepertinya hal ini tidak termasuk di dalamnya, sehingga sebaiknya memang tidak dilakukan. Namun jika dilihat dari pertimbangan bahwa para petugas pembagi Komuni tak lazim tersebut-pun umumnya adalah para petugas yang dipilih secara khusus oleh imam paroki dengan mempertimbangkan teladan hidup Kristiani mereka yang baik, maka mereka dapat dipandang sebagai orang tua dalam hal rohani kepada para umat di paroki itu, sehingga praktek sedemikian dipandang dapat diterima secara pastoral. Namun karena mereka bukan tertahbis, maka pemberian berkat yang dilakukan itu, tidak mempunyai efek sakramen.
Sementara hal ini tidak secara eksplisit disebutkan dalam aturan PUMR maupun TPE, mari menyerahkan hal ini kepada kebijakan Keuskupan dan paroki yang bersangkutan, dengan memahami alasannya masing-masing.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Dear Katolisitas,
Saya mau menanyakan perihal Doa Penumpangan Tangan? Apakah doa jenis ini mengandung makna tertentu ataukah hanya tradisi terdahulu yang dilakukan oleh para leluhur serta Yesus saat mendoakan orang-orang (menyembuhkan orang sakit, mengusir setan)
Jika memang ada dasar alkitabnya, mohon dapat dijelaskan dengan detail.
Terimakasih.
[Dari Katolisitas: Silakan membaca artikel di atas, silakan klik.]
Comments are closed.