Dalam dokumen Konsili Vatikan II tentang Gereja, Lumen Gentium, tertulis demikian:

Kristus “mendirikan di dunia ini” hanya satu Gereja dan menginstitusikannya sebagai sebuah “komunitas yang kelihatan dan rohani”, bahwa sejak awal mula dan sepanjang segala abad telah selalu ada dan akan selalu ada, dan hanya di dalamnya, ditemukan semua elemen yang diinstitusikan oleh Kristus sendiri. Gereja Kristus yang satu ini, yang kita akui di dalam Syahadat sebagai Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik […]. Gereja ini, yang disusun dan diatur di dunia ini sebagai serikat, berada di dalam Gereja Katolik, yang dipimpin oleh penerus Rasul Petrus dan para Uskup di dalam persekutuan dengannya.” (LG 8)

1. Penjelasan Kongregasi Doktrin Iman

Kongregasi Ajaran Iman (CDF) dalam Tanggapan-tanggapan terhadap Pertanyaan-pertanyaan tentang beberapa aspek tertentu perihal ajaran tentang Gereja (29 Juni 2007) menyatakan makna “subsitit in/ berada di dalam” Gereja Katolik, demikian (penjelasan selanjutnya oleh CDF, silakan klik di sini):

“Kristus ‘mendirikan di bumi ini’ hanya satu Gereja dan mendirikannya sebagai sebuah ‘komunitas yang kelihatan dan rohani’, ((Lih. Konsili Vatikan II, Lumen gentium 8.1.)) bahwa sejak awal mula dan di sepanjang abad telah ada dan akan terus berada, dan di dalamnya satu-satunya ditemukan semua elemen yang didirikan oleh Kristus sendiri. ((Lih. Konsili Vatikan II, Unitatis redintegratio, 3.2; 3.4; 3.5; 4.6.)) ‘Itulah satu-satunya Gereja Kristus yang dalam Syahadat iman kita akui sebagai Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik […].’ ‘Gereja itu, yang di dunia ini disusun dan diatur sebagai serikat, berada dalam Gereja Katolik, yang dipimpin oleh pengganti Petrus dan para Uskup dalam persekutuan dengannya’.” ((Konsili Vatikan II, Lumen gentium 8.2.))

“Dalam Konstitusi Dogmatik Lumen gentium, 8, ‘wujud keberadaan’/ subsistence berarti ketahanan yang terus menerus ini, keberlangsungan secara historis dan ketetapan secara permanen semua elemen yang diinstitusikan oleh Kristus dalam Gereja Katolik, ((CDF, Declaration Mysterium Ecclesiae, 1.1: AAS 65 [1973] 397; Declaration Dominus Iesus, 16.3: AAS 92 [2000-II] 757-758; Notification on the Book of Leonardo Boff, OFM, “Church: Charism and Power”: AAS 77 [1985] 758-759.)) di mana di dalamnya Gereja Kristus secara nyata didirikan di dunia ini…

Adalah mungkin, menurut ajaran Katolik, untuk meneguhkan secara benar bahwa Gereja Kristus hadir dan berkarya di dalam gereja-gereja dan Komunitas-komunitas gerejawi yang belum sepenuhnya dalam persekutuan dengan Gereja Katolik, karena elemen-elemen pengudusan dan kebenaran yang ada di dalam mereka. ((Bdk. St. Paus Yohanes Paulus II, Ut unum sint, 11.3: AAS 87 [1995-II] 928.)) Namun demikian, kata “subsists/ berada dalam” hanya dapat ditujukan pada Gereja Katolik satu-satunya, justru karena hal itu mengacu kepada tanda kesatuan yang kita miliki dalam syahadat iman (Aku percaya… akan ‘satu’ Gereja); dan ‘satu’ Gereja ini berada dalam Gereja Katolik. ((Lih. Konsili Vatikan II, Lumen gentium 8.2.))

“Penggunaan ekspresi ini [subsistit in], yang menunjukkan identitas penuh Gereja Kristus dengan Gereja Katolik, tidak mengubah ajaran tentang Gereja. Lebih tepatnya, ekspresi ini timbul dari dan menyatakan dengan lebih jelas fakta bahwa terdapat “banyak elemen pengudusan dan kebenaran” yang ditemukan di luar struktur Gereja, tetapi yang mana “sebagai karunia-karunia khas bagi Gereja Kristus, mendorong ke arah kesatuan Katolik.” ((Konsili Vatikan II, LG, 8.2.))

“Oleh karena itu gereja-gereja dan komunitas-komunitas yang terpisah, walaupun menurut pandangan kita diwarnai oleh kekurangan-kekurangan, sama sekali bukannya tidak berarti atau bernilai dalam misteri keselamatan. Sebab Roh Kristus tidak menolak untuk menggunakan mereka sebagai upaya-upaya keselamatan, yang kekuatannya bersumber pada kepenuhan rahmat serta kebenaran sendiri, yang dipercayakan kepada Gereja Katolik. ((Konsili Vatikan II, Dekrit Unitatis redintegratio, 3.4.))

Selanjutnya, CDF dalam penjelasannya, “Komentar tentang Dokumen: Tanggapan-tanggapan terhadap beberapa pertanyaan tentang aspek-aspek tertentu dalam ajaran tentang Gereja”, menjabarkannya tentang makna “subsistit in” demikian:

Notifikasi dari Kongregasi Ajaran Iman mengenai buku karangan Leonardo Boff bahkan lebih eksplisit. Menanggapi pernyataan Boff bahwa Gereja Kristus yang satu “dapat ada di dalam Gereja-gereja Kristen”, Notifikasi tersebut menyatakan, Konsili memilih kata “subsisitt” secara khusus untuk menjelaskan bahwa Gereja yang sejati hanya mempunyai satu “wujud keberadaan/ subsistence” sementara di luar batas-batasnya yang kelihatan, terdapat hanya “elementa Ecclesiae /elemen gerejawi” yang, karena adalah elemen-elemen Gereja yang sama- cenderung dan mengarahkan kepada Gereja Katolik.” ((CDF, Notification on the book of Father Leonardo Boff: “The Church: charism and power”: AAS 77 (1985) 758-759. Declaration Dominus Iesus, in note 56 of n. 16.))

“… Dalam kenyataannya, para Bapa Konsili hanya bermaksud untuk mengakui keberadaan elemen-elemen gerejawi yang khas bagi Gereja Kristus di dalam komunitas-komunitas Kristen non- Katolik. Selanjutnya tidak berarti bahwa indentifikasi Gereja Kristus dengan Gereja Katolik tidak lagi berlaku, atau [sebaliknya] bahwa di luar Gereja Katolik tidak terdapat sedikitpun elemen gerejawi… Yang dimaksud di sini adalah jika istilah “subsistit in” diartikan dalam konteksnya yang benar, yaitu mengacu kepada Gereja Kristus “yang didirikan dan diatur di dunia ini sebagai sebuah serikat  …. yang dipimpin oleh penerus Rasul Petrus dan oleh Uskup-uskup dalam persekutuan dengannya,” maka perubahan dari est ke subsistit in tidak mengambil konsekuensi teologis khusus apapun tentang diskontinuitas dengan ajaran Katolik sebelumnya.”

“Sesungguhnya, justru karena Gereja yang dikehendaki Kristus sungguh terus menerus berada (subsistit in) di dalam Gereja Katolik, kontinuitas dari keberadaan ini mengimplikasikan indentitas yang mendasar antara Gereja Kristus dan Gereja Katolik. Konsili Vatikan II bermaksud untuk mengajarkan bahwa kita bertemu dengan Gereja Yesus Kristus sebagai sebuah subyek yang nyata secara historis dalam Gereja Katolik. Maka, ide yang menyatakan bahwa keberadaan (subsistence) dapat sepertinya digandakan (multiplied) tidak mencerminkan apa yang dimaksudkan oleh pemilihan istilah “subsistit“. Dengan pemilihan kata “subsistit“, Konsili bermaksud untuk menyatakan singularitas/ ketunggalan dan “ketidakganda-an” (non-multipliability) Gereja Kristus: Gereja ada sebagai sebuah realitas historis yang hanya satu-satunya.

Maka, bertentangan dari banyak interpretasi yang tak berdasar, perubahan dari “est” ke “subsistit” tidak menandai bahwa Gereja Katolik telah berhenti menganggap dirinya sebagai Gereja Kristus yang satu dan sejati. Melainkan, perubahan istilah itu hanya menandai keterbukaan yang lebih besar terhadap kehendak ekumenis untuk mengakui sifat-sifat dan dimensi gerejawi yang sejati di dalam komunitas-komunitas Kristiani yang tidak berada dalam kesatuan penuh dengan Gereja Katolik, karena adanya “plura elementa sanctificationis et veritatis/ berbagai elemen pengudusan dan kebenaran” yang ada di dalam mereka. Sebagai akibatnya, meskipun hanya ada satu Gereja yang berada/”subsists” di dalam satu subyek historis yang satu-satunya, namun terdapat juga realitas-realitas gerejawi yang sejati, yang ada melampaui batasan yang kelihatan dari Gereja tersebut.”

2. Penjelasan Kardinal Ratzinger

Sebelumnya, Kardinal Ratzinger, sewaktu menjabat sebagai Prefect/ pimpinan CDF (Kongregasi Ajaran Iman) pernah menjelaskan tentang makna kata “subsistit in/ berada di dalam” (LG 8) demikian: (penjelasan selengkapnya di link ini, silakan klik):

“Bentuk ini dari Tubuh Kristus [sebagai institusi yang strukturnya tidak dapat diubah dan dihilangkan semaunya] hanya dimiliki oleh Gereja sendiri. Gereja Kristus tidak tersembunyi secara tidak kelihatan di balik berbagai kofigurasi manusiawi, tetapi benar-benar ada, sebagai Gereja yang sejati dan benar yang dinyatakan dengan pengakuan iman, di dalam sakramen-sakramen dan suksesi apostolik.

Konsili Vatikan II, dengan rumusan “subsistit” yang sesuai dengan tradisi Katolik berkehendak untuk mengajarkan kebalikan yang jelas dari “relativitisme dalam hal ekklesiologi“, yaitu bahwa Gereja Yesus Kristus sungguh-sungguh ada. Kristus sendiri menghendakinya, dan Roh Kudus telah secara terus menerus menciptakannya sejak hari Pentakosta meskipun dihadapkan dengan setiap kegagalan manusiawi, dan [Ia] menopang Gereja dalam identitas dasarnya…. Tuhan menepati janji-Nya: “Gerbang maut tidak akan menguasainya”…

“Istilah subsistit berasal dari filosofi klasik, yang dikembangkan lebih jauh di zaman Skolastik. Kata Yunani yang setara dengan kata tersebut adalah hypostasis, yang memainkan peran yang penting dalam Kristologi, untuk menjelaskan kesatuan antara kodrat Allah dan kodrat manusia dalam Pribadi Kristus. Subsistere adalah kata lain dari esse. Subsistere adalah “wujud” di dalam bentuk alat perantara yang berdiri sendiri. Inilah yang tepatnya sedang dibicarakan di sini. Konsili mengatakan kepada kita bahwa Gereja Yesus Kristus dapat ditemukan di dunia ini sebagai alat perantara, dalam Gereja Katolik. Itu dapat terjadi hanya sekali, dan pandangan yang mengatakan bahwa subsistit harus disusun secara berlapis-lapis, gagal menilai dengan benar, maksud dari point khusus tersebut. Dengan istilah subsistit, Konsili berusaha menyatakan sifat khusus dari Gereja Katolik dan fakta bahwa sifat ini tidak dapat disusun berlapis-lapis: Gereja ada sebagai sebuah alat perantara dalam realita sejarah” (Ziarah Persekutuan iman. Gereja sebagai Komuni, 147-148; berasal dari “The Ecclesiology of the Constitution on the Church, Vatican II, Lumen gentium,” in L’Osservatore Romano, N. 38, 19 September, 2001. Presentation of November, 2000).

Teks ini diikuti oleh catatan kaki, di mana Kardinal Ratzinger mengatakan:

“Para Bapa Konsili, yang dididik dalam filosofi dan teologi neo-skolastik, sangat menyadari bahwa subsistere adalah konsep yang lebih sempit daripada konsep esse: yang dalam analogi: esse mencakup keseluruhan ranah wujud di dalam semua cara dan bentuknya, sedangkan subsistere adalah bentuk keberadaan dari sebuah wujud dalam dirinya sendiri, sebagai sesuatu yang khusus terjadi dalam sebuah “alat perantara yang aktif”.

3. Penjelasan Prof. Douglas Bushman, STL

Maka untuk memahami bagaimana menjelaskan bahwa Gereja Kristus, “berada di dalam/ subsistit in” Gereja Katolik, namun ada juga hal-hal yang menjadi karya Gereja Kristus yang secara aktif bekerja juga dalam gereja-gereja lain, Prof. Douglas Bushman, S.T.L (( Prof. Douglas Bushman, S.T.L adalah salah satu dosen kami di IPT (Institute for Pastoral Theology) Ave Maria, University, USA)), menjelaskannya sebagai berikut:

The main concern, then, is to distinguish between that which exists and acts by itself and that which exists and acts dependently, that is, in dependence on something else that exists and acts by itself. Of course, totally independent existence and action belongs only to God. But, among those things that God has created, some subsist (they only depend upon God for their existence and action) while others “merely” exist (they depend not only on God for their existence but also upon some other created reality).

What follows from this is that the actions of sanctification that take place outside the visible boundaries of the Catholic Church, and that might appear to be attributable to ecclesial communities distinct from the Catholic Church, are in reality sanctifying actions of the Catholic Church (that is, of the Church of Christ that subsists in the Catholic Church). This is why, by their nature, they entail an élan (a surge, an impetus, a propelling) toward the unity of that same Church that is in fact their proper subject (since, as St. Thomas so often says, all effects naturally return to their causes). You perceive the Christological parallel: Actions of Christ that, without faith in His divinity, appear to be merely the actions of a man, when in reality faith opens up the mind to see that they are actions of God Himself because the Eternal Logos is the subsistent Subject at work in Him.”

Terjemahannya:

“Maka, yang menjadi penting adalah, untuk membedakan di sini: 1) apa yang ada dan bertindak dengan sendirinya, dan 2) apa yang ada dan bertindak dalam ketergantungan dari yang lain, yaitu tergantung dari sesuatu yang lain yang ada dan bertindak dari dirinya sendiri. Tentu keberadaan dan tindakan yang secara penuh tidak tergantung dari yang lain, hanya milik Tuhan saja. Tetapi, di antara berbagai hal yang telah diciptakan Tuhan, beberapa di antaranya berada/ ‘subsist‘ (di mana keberadaan dan tindakan mereka hanya tergantung kepada Tuhan saja) sementara hal-hal lain “hanya” ada/ ‘exist‘ (di mana keberadaan mereka tergantung tidak hanya kepada Tuhan, tetapi juga kepada realitas lain yang diciptakan oleh Tuhan).

Dari sini diketahui bahwa tindakan-tindakan pengudusan yang ada di luar kawasan yang nampak dari Gereja Katolik, dan yang dapat kelihatan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh komunitas-komunitas gerejawi yang berbeda dengan Gereja Katolik, dalam kenyataannya adalah tindakan-tindakan pengudusan dari Gereja Katolik (yaitu dari Gereja Kristus yang berada di dalam Gereja Katolik). Inilah mengapa, dari kodratnya, tindakan-tindakan pengudusan itu mengakibatkan suatu dorongan yang kuat menuju kesatuan dari Gereja yang sama, yang sesungguhnya adalah subjek yang sesuai (sebab, seperti sering dikatakan oleh St. Thomas Aquinas, semua akibat secara kodrati kembali berpulang kepada penyebabnya). Kita mengenal paralelnya dalam hal Kristologi: Tindakan-tindakan Kristus, jika dilihat tanpa iman akan ke-Allahan-Nya, akan nampak sebagai tindakan-tindakan manusia semata, ketika dalam kenyataannya, iman membuka pengetahuan, untuk melihat bahwa tindakan-tindakan itu adalah tindakan Allah sendiri, sebab Sang Sabda Kekal adalah Subyek yang berada (‘subsistent‘) dan berkarya di dalam Dia [Kristus].”

4. Kesimpulan

Mari mengartikan kata “subsistit in” sebagaimana dimaksudkan oleh Konsili Vatikan II, yaitu bahwa Gereja Kristus “berada di dalam” Gereja Katolik sebagai sebuah subyek yang nyata secara historis, yaitu Gereja yang mempunyai dimensi yang kelihatan (dalam struktur hirarkinya) dan dimensi yang tidak kelihatan (sebagai Tubuh Mistik Kristus); seperti halnya ada dua dimensi kemanusiaan dan ke-Allahan dalam diri Kristus, di mana keduanya selalu ada dalam kesatuan yang tak terpisahkan.

Maka perubahan istilah “est/ adalah” menjadi “subsistit in/ berada di dalam” pada kata “Gereja Kristus berada dalam Gereja Katolik” tidak mengubah inti ajaran Gereja. Yaitu bahwa: 1) Gereja yang didirikan Kristus di atas Rasul Petrus adalah Gereja Katolik, 2) tidak ada keselamatan di luar Gereja Katolik, sebab Gereja Katolik adalah sakramen keselamatan dan 3) melalui Gereja Katoliklah mengalir rahmat keselamatan kepada umat manusia. Perubahan istilah itu hanya menandakan keterbukaan yang lebih besar terhadap kehendak ekumenis untuk mengakui sifat-sifat dan dimensi gerejawi yang sejati yang ada di dalam komunitas-komunitas Kristiani yang tidak berada dalam kesatuan penuh dengan Gereja Katolik, karena adanya berbagai elemen pengudusan dan kebenaran yang ada di dalam mereka (lih. UR 3). Namun peran mereka sebagai elemen pengudusan tersebut, memperoleh kekuatannya dari kepenuhan rahmat dan kebenaran yang dipercayakan kepada Gereja Katolik (lih. UR 3)

Pengakuan akan adanya elemen pengudusan dan elemen kebenaran di dalam gereja-gereja tersebut, didasari atas iman Gereja bahwa Allah tidak terikat pada sakramen-sakramen-Nya, walaupun telah mengikatkan keselamatan pada sakramen-Nya (lih. KGK 1257), dalam hal ini sakramen Pembaptisan dan Gereja Katolik sebagai sakramen keselamatan. Namun oleh sebab Allah telah menentukan Gereja Katolik sebagai sakramen keselamatan bagi semua orang (lih. KGK 776), maka Gereja tetap mempunyai tugas untuk mewartakan kepenuhan kebenaran ini, “supaya segenap umat manusia mewujudkan satu Umat Allah, bersatu padu menjadi satu Tubuh Kristus, serta dibangun menjadi satu kenisah Roh Kudus” (AG 7, lih. LG 17)

5 COMMENTS

  1. Terima kasih. Saya perhatikan, ada perubahan sedikit pada bagian kesimpulan, ya? Tapi, pengutipan “Allah yang tidak terikat pada sakramen-sakramennya” benar-benar di luar konteks dokumen CDF ini. Juga tidak relevan. Dokumen itu tidak menyebut frasa itu, juga Kardinal Ratzinger, juga Prof. Bushman. Kutipan frasa itu justru melemahkan dokumen CDF ini karena sering digunakan oleh orang-orang yang berniat melemahkan dokumen-dokumen Konsili Vatikan II. Unsur kebenaran dan pengudusan yang ada “di luar” Gereja tidak bisa dijelaskan dari frasa itu. Peletakan frasa itu justru seolah-olah menempatkan Allah = unsur kebenaran dan pengudusan di luar Gereja. Dan itu keliru. Frasa itu tidak bermaksud demikian.

    • Shalom Eko,

      Silakan membaca kembali Penjelasan dari CDF (Kongregasi Ajaran Iman) tentang hubungan antara frasa “subsistit in” (Gereja Kristus berada di dalam Gereja Katolik) dengan fakta yang diakui oleh Gereja Katolik, bahwa Gereja tetap mengakui adanya elemen-elemen pengudusan yang ada di dalam komunitas-komunitas mereka.

      Demikian menurut CDF, mengacu kepada ajaran Paus Yohanes Paulus II dalam Ut unum sint, dan Konsili Vatikan II, Lumen Gentium 8,2 :”Adalah mungkin, menurut doktrin Katolik, untuk menegaskan secara benar bahwa Gereja Kristus hadir dan berkarya dalam gereja-gereja dan komunitas-komunitas gerejawi yang belum sepenuhnya bersatu dalam komunitas dengan Gereja Katolik, karena adanya elemen-elemen pengudusan dan kebenaran yang ada di dalam mereka. Namun demikian, kata “berada (subsists)” hanya dapat diatributkan kepada Gereja Katolik saja, justru karena kata itu mengacu kepada tanda kesatuan yang kita akui dalam simbol-simbol iman (Aku percaya …. akan “satu” Gereja); dan “satu” Gereja ini berada dalam Gereja Katolik.”

      Nah, Dari mana, atau Siapa yang dapat memberikan elemen-elemen pengudusan dan kebenaran kepada komunitas gerejawi tersebut? Tentu saja dari Allah dan bukan dari manusianya sendiri. Memang Allah tidak identik dengan elemen pengudusan, tetapi Allah-lah yang menjadi Penyebab adanya elemen pengudusan itu di dalam komunitas-komunitas tersebut, walaupun mereka tidak berada dalam kesatuan penuh dengan Gereja Katolik. Artinya, dengan cara-Nya sendiri Allah tetap dapat berkarya di dalam komunitas-komunitas itu. Maka frasa “Allah yang tidak terikat pada sakramen-sakramen-Nya” itu juga berhubungan dengan pengertian ini, mengingat bahwa Gereja Katolik adalah sakramen keselamatan. Namun tentu saja, bukan berarti bahwa dengan demikian maka sakramen-sakramen Gereja tidak penting, ataupun Gereja Katolik yang memberikannya menjadi tidak penting atau sama saja dengan komunitas gerejawi lainnya. Sebab Kristus secara objektif mendirikan hanya satu Gereja, dan Gereja itu adalah Gereja Katolik, dan Gereja inilah yang kemudian menyampaikan sakraman-sakramen yang menjadi sarana keselamatan bagi umat-Nya.

      Demikian teks dari Ketekismus: 

      KGK 780    Di dunia ini Gereja adalah Sakramen keselamatan, tanda dan sarana persekutuan dengan Allah dan di antara manusia.

      KGK 816    “Itulah satu-satunya Gereja Kristus… Sesudah kebangkitan-Nya, Penebus kita menyerahkan Gereja kepada Petrus untuk digembalakan. Ia mempercayakannya kepada Petrus dan para Rasul lainnya untuk diperluaskan dan dibimbing… Gereja itu, yang di dunia ini disusun dan diatur sebagai serikat, berada dalam [subsistit in] Gereja Katolik, yang dipimpin oleh pengganti Petrus dan para Uskup dalam persekutuan dengannya (LG 8).

      Dekrit Konsili Vatikan II mengenai ekumene menyatakan: “Hanya melalui Gereja Kristus yang katoliklah, yakni upaya umum untuk keselamatan, dapat dicapai seluruh kepenuhan upaya-upaya penyelamatan. Sebab kita percaya, bahwa hanya kepada Dewan Para Rasul yang diketuai oleh Petruslah Tuhan telah mempercayakan segala harta Perjanjian Baru, untuk membentuk satu Tubuh Kristus di dunia. Dalam Tubuh itu harus disatu-ragakan sepenuhnya siapa saja, yang dengan suatu cara telah termasuk Umat Allah” (UR 3).   

      KGK 819    Tambahan lagi di luar tapal batas Gereja Katolik yang kelihatan “ditemukan banyak unsur pengudusan dan kebenaran” (LG 8): “Sabda Allah dalam Kitab Suci, kehidupan rahmat, harapan, dan cinta kasih, begitu pula karunia-karunia Roh Kudus lainnya yang bersifat batiniah dan unsur-unsur lahiriah” (UR 3, Bdk. LG 15). Roh Kudus mempergunakan Gereja-gereja dan persekutuan-persekutuan gerejani ini sebagai sarana demi keselamatan. Kekuatannya berasal dari kepenuhan rahmat dan kebenaran, yang Kristus percayakan kepada Gereja Katolik. Semua hal ini berasal dari Kristus, mengantar menuju Dia (Bdk. UR 3). dan dengan sendirinya “mendorong ke arah Kesatuan katolik” (LG 8)

      KGK 1129    Gereja mengatakan bahwa Sakramen-sakramen Perjanjian Baru perlu untuk keselamatan umat beriman (Bdk. Konsili Trente: DS 1604). “Rahmat sakramental” adalah rahmat Roh Kudus yang diberikan oleh Kristus kepada tiap Sakramen secara khusus. Roh itu menyembuhkan dan mengubah semua mereka yang menerima-Nya, dengan menjadikan mereka serupa Putera Allah. Buah kehidupan sakramental ialah: Roh Anak Allah memberi kepada orang beriman bagian pada kodrat ilahi (Bdk. 2 Ptr 1:4) dengan mempersatukan mereka dengan daya kehidupan Putera tunggal, sang Penebus.   

      KGK 1257     Tuhan sendiri mengatakan bahwa Pembaptisan itu perlu untuk keselamatan (Bdk. Yoh 3:5). Karena itu, Ia memberi perintah kepada para murid-Nya, untuk mewartakan Injil dan membaptis semua bangsa (Bdk. Mat 28:19-20; DS 1618; LG 14; AG 5). Pembaptisan itu perlu untuk keselamatan orang-orang, kepada siapa Injil telah diwartakan dan yang mempunyai kemungkinan untuk memohon Sakramen ini (Bdk. Mrk 16:16). Gereja tidak mengenal sarana lain dari Pembaptisan, untuk menjamin langkah masuk ke dalam kebahagiaan abadi. Karena itu, dengan rela hati ia mematuhi perintah yang diterimanya dari Tuhan, supaya membantu semua orang yang dapat dibaptis, untuk memperoleh “kelahiran kembali dari air dan Roh”. Tuhan telah mengikatkan keselamatan pada Sakramen Pembaptisan, tetapi Ia sendiri tidak terikat pada Sakramen-sakramen-Nya.  

      Demikianlah dari teks Katekismus tersebut, diketahui adanya hubungan langsung antara perlunya Gereja untuk keselamatan dan perlunya sakramen-sakramen Gereja untuk keselamatan. Namun demikian, Katekismus mengajarkan juga bahwa walaupun Allah telah mengikatkan rahmat keselamatan-Nya pada sakramen Baptis, namun Ia sendiri tidak terikat pada sakramen-sakramen-Nya. Ia dengan cara yang hanya diketahui oleh-Nya sendiri, dapat tetap berkarya di luar batas sakramen itu, namun demikian cara yang diketahui dengan pasti oleh Gereja, adalah Baptisan. Dengan prinsip yang sama, Allah mendirikan satu Gereja, yaitu Gereja Katolik, namun dengan cara yang hanya diketahui oleh-Nya, Ia dapat berkarya dalam komunitas-komunitas gerejawi lainnya, dengan menggunakan mereka juga sebagai upaya-upaya keselamatan, dengan maksud menghantar mereka kepada kesatuan katolik.

      Nah, tulisan dari Kardinal Ratzinger itu memang secara khusus mau menjelaskan arti kata “subsistit in” dari sisi filosofi klasik, jadi topiknya memang lebih sempit apa yang disampaikan oleh CDF. Intinya mengatakan bahwa kata subsistere/ subsist itu artinya bahkan lebih sempit daripada esse yang artinya “adalah”, karena subsistere itu mengacu pada arti “wujud” dalam bentuk alat perantara, yang berdiri sendiri, artinya langsung terhubung dengan Sumber-Nya.

      Sedangkan tulisan dari Prof. Douglas Bushman STL, yang adalah dosen kami sewaktu kami studi Teologi, itu menjelaskan dengan lebih rinci, tentang bagaimana memahami arti kata ‘subsistit in‘ itu dari sisi filosofi tersebut, dengan kenyataan bahwa terdapat elemen-elemen pengudusan di komunitas-komunitas gerejawi yang tidak dalam kesatuan dengan Gereja Katolik. Prof. Bushman menjelaskan bahwa kita harus membedakan adanya: 1) Apa yang ada dan bertindak dengan sendirinya. Ini adalah Allah sebagai Pencipta segala sesuatu. Selanjutnya dari segala yang diciptakan, terdapat dua realitas: 2) Apa yang subsist, yaitu ada dan bertindak dalam ketergantungan dari Sesuatu yang ada dan bertindak dari Dirinya sendiri. Yang subsist ini adalah Gereja Katolik, yang bertindak dalam ketergantungan dari Allah; 3) Apa yang exist, yaitu ada karena tergantung kepada Allah dan juga kepada realitas lain yang diciptakan Allah, yaitu dari realitas yang subsist itu.

      Maka komunitas-komunitas gerejawi itu ada, dan Allah juga dapat berkarya di dalam mereka dengan mendatangkan elemen-elemen pengudusan, karena Allah bekerja melalui Gereja Katolik yang ‘subsist ‘, namun juga yang secara misterius berkarya dalam komunitas-komunitas gerjawi lain yang ‘exist‘, sebab semuanya bersumber pada kekuatan yang sama, yang sudah dipercayakan kepada Gereja Katolik yang subsist itu.

      Maka kesimpulan yang kami tulis di atas, mengambil sumber dari CDF, dan penjelasan Kardinal Ratzinger dan Prof. Bushman tentang arti kata subsistit in, dan dokumen Konsili Vatikan II tentang Ekumenisme, yaitu Unitatis Redintegratio, dan Katekismus Gereja Katolik. Semua penjelasan itu berhubungan dengan isi dokumen Konsili Vatikan II tentang Gereja, yaitu Lumen Gentium paragraf 8, yang menyebutkan tentang frasa subsistit in, yaitu:

      “Itulah satu-satunya Gereja Kristus yang dalam Syahadat iman kita akui sebagai Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik…. Gereja itu, yang di dunia ini disusun dan diatur sebagai serikat, berada dalam (subsistit in) Gereja katolik, yang dipimpin oleh pengganti Petrus dan para Uskup dalam persekutuan dengannya[13], walaupun di luar persekutuan itu-pun terdapat banyak unsur pengudusan dan kebenaran, yang merupakan karunia-karunia khas bagi Gereja Kristus dan mendorong ke arah kesatuan katolik.” (LG 8)

      Selanjutnya tentang adanya unsur pengudusan dan kebenaran di luar persekutuan Gereja Katolik, dijelaskan dalam dokumen lainnya dalam Konsili Vatikan II:

      “Oleh karena itu Gereja-Gereja[19] dan Jemaat-Jemaat yang terpisah, walaupun menurut pandangan kita diwarnai oleh kekurangan-kekurangan, sama sekali bukannya tidak berarti atau bernilai dalam misteri keselamatan. Sebab Roh Kristus tidak menolak untuk menggunakan mereka sebagai upaya-upaya keselamatan, yang kekuatannya bersumber pada kepenuhan rahmat serta kebenaran sendiri, yang dipercayakan kepada Gereja katolik.” (UR 3)

      Nah, maka kami di Katolisitas menyimpulkan bahwa memang Allah telah menjadikan Gereja Katolik sebagai sarana umum keselamatan dan sakramen keselamatan, namun Allah tetap dapat berkarya menggunakan komunitas-komunitas gerejawi sebagai upaya/ sarana keselamatan (means of salvation) juga, karena Allah memang mengikatkan diri-Nya kepada sakramen-Nya, namun dengan cara yang hanya diketahui-Nya, Allah tidak terbatas oleh sakramen-sakramen-Nya. Meskipun demikian, ini tetap tidak mengubah fakta bahwa Allah tetap menjadikan Gereja Katolik sebagai sarana yang pasti untuk keselamatan, yang melaluinya rahmat keselamatan mengalir kepada umat manusia.

      Jika Anda tidak setuju dengan kesimpulan kami, itu adalah hak Anda, tetapi kesimpulan ini ditulis, juga bukan dari perkataan kami sendiri, melainkan dari keterkaitan langsung dari teks-teks dokumen Gereja yang membicarakan tentang topik yang sama yang berhubungan satu sama lain.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  2. Kenapa di bagian kesimpulan justru cenderung berat sebelah. Kesimpulan cenderung menekankan unsur kebenaran dan pengudusan di komunitas-komunitas gerejawi. Pengudusan itu berasal dari rahmat yang mengalir melalui Gereja Katolik, Tubuh Mistik Kristus.

    [Dari Katolisitas: Terima kasih atas masukan Anda. Tadinya, kami berpikir bahwa kalimat kami di sana, bahwa pada prinsipnya kata ‘subsistit in’ itu tidak mengubah ajaran Gereja Katolik, maka hal itu sudah cukup untuk menjelaskan bahwa tidak ada perubahan apapun terhadap ajaran Gereja Katolik tentang EENS. Namun jika itu dianggap kurang jelas, maka kami memutuskan untuk menambahkan sedikit penjabaran beberapa intinya ke dalam point kesimpulan tersebut. Semoga sekarang menjadi lebih jelas.
    Selanjutnya, jika Anda tertarik dengan topik ini, silakan membaca artikel ini, Apakah Konsili Vatikan II mengubah ajaran Konsili Vatikan I tentang EENS silakan klik, yang ditulis untuk melengkapi penjelasan tentang subsistit in ini.]

  3. pengen tanya dong, skolastik itu metode tafsir berdasarkan filsafat yunani kuno yang dibikin sama St. Thomas aquino kan yah? sebelum era skolastik, metode tafsir yang dipake Gereja kayak gimana yah? makasih.

    • Shalom Start,

      Sejujurnya, istilah skolastik, itu mengacu kepada cara penjelasan dengan metoda dialektika, berupa tanya jawab. Metoda ini menjadi ekspresi yang lebih mendasar, karena berkaitan dengan seni menampilkan argumen, sehingga dalam hal ini menyerupai ilmu logika. Cara tanya jawab ini sudah dikenal sejak zaman filsif Plato dan Socrates (abad 5-4 sebelum Masehi), namun baru dikembangkan sebagai salah satu cara belajar mengajar, oleh Aristoteles (abad 4 SM). Selanjutnya tentang prinsip dialektika, klik di sini.

      Nah, maka yang dilakukan oleh St. Thomas Aquinas adalah menggunakan prinsip logika dan mengetengahkan argumen dalam bentuk tanya jawab, untuk menjelaskan tentang pokok-pokok iman. Namun yang disampaikan tetaplah bersumber dari tulisan-tulisan para Bapa Gereja yang hidup sebelum zamannya, yang kemudian disusunnya menjadi suatu sintesa/ kesimpulan, berdasarkan prinsip logika.

      Sebelum St. Thomas Aquinas, umumnya diklasifikasikan masa Patristik (zaman para Bapa Gereja abad-abad awal) yaitu dari abad pertama sampai sekitar abad ke 5-6, dan permulaan masa skolastik dimulai sekitar abad ke-9, dengan tokohnya yang terkenal adalah John Scotus. Selanjutnya tentang skolastikisme, silakan memabca di sini, silakan klik. Mohon maaf karena masih banyaknya pertanyaan yang lain dan karena terbatasnya waktu dan energi kami, kami belum dapat menerjemahkannya.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

Comments are closed.