Pendahuluan
Pernahkah anda ditanya, “Apakah anda sudah diselamatkan?” atau “Apakah anda sudah menerima Yesus Kristus sebagai Penyelamat anda secara pribadi?” Sebagai orang Katolik mungkin saja kita tidak terbiasa untuk menanyakan hal-hal di atas kepada orang lain, tetapi bukan berarti kita sebaiknya mengacuhkan pertanyaan-pertanyaan seperti itu, karena umumnya mereka yang bertanya demikian mempunyai motif kasih yang berkobar kepada Yesus dan semangat yang besar untuk menyebarkan Injil, yaitu kabar gembira tentang keselamatan. Untuk itu, janganlah kita bersikap negatif terhadap mereka yang bertanya demikian kepada kita. Namun, mari kita belajar dari perkataan Yesus sendiri tentang keselamatan kekal, dan kehendakNya bagi kita untuk mencapai keselamatan itu, sehingga kita dapat menanggapi pertanyaan-pertanyaan seperti di atas dengan sikap yang positif dan dengan iman yang benar.
Pembaptisan: pintu gerbang Keselamatan
Sedikitnya ada tiga kesempatan penting di mana Yesus sendiri menyatakan bahwa Pembaptisan adalah permulaan jalan menuju keselamatan kekal. Pertama, Yesus sendiri memberi diri-Nya dibaptis oleh Yohanes Pembaptis, di awal masa pewartaan Injil dan pernyataan diriNya sebagai Mesias. Pembaptisan Yesus ini bukan berarti penghapusan dosa- karena sebagai Putera Allah, Yesus tidak berdosa- namun Yesus menunjukkan rasa solidaritas kepada kita manusia yang berdosa, dan memberi contoh akan langkah awal yang harus kita ambil untuk dapat mengambil bagian dalam kehidupan Allah. Makna Pembaptisan Yesus ini dinyatakan dengan jelas dalam Misteri Paska. Turunnya Yesus ke dalam air melambangkan kematian-Nya karena menanggung dosa-dosa kita, dan naikNya kembali melambangkan kebangkitan-Nya dari mati, suatu tanda yang nyata bahwa Yesus adalah sungguh Anak Allah, yang kepadaNya Allah berkenan.[1] Solidaritas Yesus ini membawa berkat yang tak terhingga bagi kita, yaitu urapan Roh Kudus yang turun atas-Nya, dan seruan Allah Bapa yang ditujukan kepadaNya itupun ditujukan kepada kita semua yang dibaptis, “Engkaulah anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan” (Luk 3:22). Yesus telah merendahkan diri untuk mengangkat kita yang berdosa, agar kita digabungkan dengan kematian-Nya supaya kitapun mengambil bagian di dalam kebangkitan-Nya. Maka melalui Pembaptisan, kita pergi ke tempat di mana Yesus menyatakan solidaritasNya sebagai manusia, dan di sana kita menerima rahmatNya yang mengangkat kita menjadi anak-anak Allah. Paus Benedict XVI menuliskannya dengan begitu indah, “To accept the invitation to be baptized… is to go where he identifies himself with us and to receive there our identification with him.” [2]
Kedua, dalam pembicaraannya dengan Nikodemus, Yesus menghubungkan keselamatan kekal dengan Kerajaan Allah (lih. Yoh 3:16 dan Yoh 3:3,5).[3] Yesus berkata bahwa seseorang harus dilahirkan kembali di dalam air dan Roh agar dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah (lih. Yoh 3:5). Kelahiran kembali di dalam air dan Roh inilah yang disebut sebagai Pembaptisan. Karena itu, Pembaptisan ini menjadi pintu gerbang kehidupan di dalam Roh dan awal yang memungkinkan kita menerima sakramen-sakramen yang lain, yang menguduskan kita dan mengarahkan kita kepada keselamatan kekal. Melalui Pembaptisan, dosa-dosa kita diampuni; kita dilahirkan kembali sebagai anak-anak angkat Allah, sebagai anggota Kristus dan dipersatukan dengan Gereja-Nya, serta mengambil bagian di dalam misi Gereja.[4] Tentu, dilahirkan kembali di dalam Roh Kudus ini hanya mungkin jika seseorang bertobat dari segala dosa, dan mempunyai iman akan Allah Tritunggal yang menyelamatkan kita melalui Yesus Kristus.
Ketiga, sebelum Yesus naik ke surga, Ia memberikan amanat kepada para murid-Nya, untuk mewartakan Injil dan membaptis semua bangsa (lih. Mat 28:19-20). Oleh karena Kristus sendiri mengajarkan bahwa Pembaptisan itu diperlukan untuk keselamatan dan kebahagiaan abadi, maka Gereja Katolik juga mengajarkan demikian.[5]
Pembaptisan ini tidak bertentangan dengan pengajaran Rasul Paulus, yang dalam suratnya kepada jemaat di Roma menyebutkan bahwa “dengan hati orang percaya dan dengan mulut orang mengaku dan diselamatkan” (Rom 10:10). Karena, Pembaptisan tidak saja merupakan upacara ‘mencelupkan’ seseorang ke dalam air, tetapi juga pengakuan iman dengan perkataan yang diucapkan dengan mulut, yang berdasarkan atas Sabda Tuhan. Gereja Katolik, melalui Roman Cathechism mengajarkan bahwa Pembaptisan merupakan kelahiran kembali oleh air dalam Sabda,[6] berdasarkan atas pengajaran bahwa Kristus mengasihi jemaat-Nya dan menyerahkan nyawa-Nya untuk menguduskannya, dengan memandikannya dengan air dan firman (Ef 5:26). Pembaptisan sebagai gerbang menuju keselamatan juga diajarkan oleh Rasul Paulus, seperti yang dikatakannya kepada kepala penjaranya di Filipi, “Percayalah kepada Tuhan Yesus Kristus dan engkau akan selamat, engkau dan seisi rumahmu.” Dan seketika itu juga, ia dan keluarganya memberi diri dibaptis (Kis 16:31- 33). Maka dalam hal ini, iman kepada Yesus tidak terpisahkan dengan Pembaptisan, yang merupakan pernyataan seseorang akan imannya itu.
Makna Sakramen Pembaptisan: Pembersihan dari dosa dan Pembaharuan dalam Roh Kudus
Pembaptisan berasal dari kata “baptizein” (Yunani) yang artinya “mencelup”. Pencelupan ke dalam air ini melambangkan dimakamkannya kita sebagai manusia lama ke dalam kematian Kristus, dan keluarnya dari air melambangkan kebangkitan kita bersama dengan Kristus sebagai ‘manusia baru’.[7] Pada saat Pembaptisan inilah, kita dapat berkata, ‘aku yang dulu sudah mati, sekarang aku hidup bersama Kristus dan di dalam Kristus’. Artinya, kita dilahirkan kembali dari air dan Roh Kudus (Yoh 3:5), menjadi ciptaan yang baru (2 Kor 5:17), seorang anak angkat Allah (Gal 4:5-7), mengambil bagian dalam kodrat ilahi (2 Ptr 1:4), anggota Kristus (1 Kor 12:27), ahli waris bersama Kristus (Rom 8:17) dan kenisah Roh Kudus (1 Kor 6:19).[8] Oleh rahmat Allah kita dimampukan untuk meninggalkan dosa-dosa dan kebiasaan lama yang buruk, untuk hidup baru seturut dengan ajaran Kristus.
Pembaptisan juga dikatakan sebagai Penerangan, karena melalui sakramen ini kita menerima Sabda, yaitu Kristus, Sang Terang dunia. Maka oleh Pembaptisan kita menjadi anak-anak terang (1 Tes 5:5), bahkan menjadi terang itu sendiri (Ef 5:8)[9] yang meneruskan Terang Kristus. Melalui Pembaptisan kita diubah menjadi serupa dengan Kristus, dan kita ditandai dengan meterai rohani yang tak terhapuskan.[10]
Dari semua makna ini, dapat diringkas bahwa terdapat dua makna utama dari Pembaptisan, yaitu: 1) pertobatan yang artinya menanggalkan manusia lama; 2) kelahiran kembali dalam Roh Kudus, atau hidup baru di dalam Kristus. Pencelupan ke dalam air yang melambangkan kematian ‘manusia lama’ di dalam Kristus, membawa dua macam rahmat. Pertama adalah pembersihan dari dosa-dosa, kedua adalah kelahiran kembali dan pembaharuan di dalam Roh Kudus.[11] Dengan demikian rahmat pembaptisan merupakan perwujudan dari firman Tuhan yang dikatakan oleh rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma, yaitu “jika kita telah menjadi satu dengan apa yang sama dengan kematian-Nya, kita juga akan menjadi satu dengan apa yang sama dengan kebangkitan-Nya. Karena kita tahu bahwa manusia lama kita telah turut disalibkan, supaya tubuh dosa kita hilang kuasanya… Demikianlah hendaknya… bahwa kamu telah mati bagi dosa, tetapi kamu hidup bagi Allah dalam Kristus Yesus.” (Rom 6:6-7, 11)
Melalui pembaptisan, kita dibersihkan dari segala dosa, baik dosa asal (dari Adam) maupun dosa pribadi yang dilakukan sebelum dibaptis. Namun demikian, kita tetap tidak terbebas dari kecondongan kepada dosa, atau yang dikenal sebagai ‘concupiscentia‘ (keinginan tak teratur). Keinginan tak teratur ini ‘tertinggal’ agar kita terus berjuang untuk mengalahkannya, agar kelak kita menerima mahkota (2 Tim 2:5). [12] Itulah sebabnya, pada saat dibaptis, kita memang diubah menjadi kudus, namun selanjutnya, kita harus berjuang mempertahankan kekudusan itu dengan mengalahkan kecondongan berbuat dosa. Bukanlah memang demikian halnya? Setelah dibaptis, contohnya, kita masih saja mengalami godaan untuk marah, malas, berdosa dengan mulut dan pikiran, dst. Namun, kuasa dan rahmat Roh Kudus yang kita terima dalam Pembaptisan memungkinkan kita untuk mengalahkan dorongan tersebut, dan memilih melakukan perintah Tuhan.
Jika kita terus menerus memilih mengikuti kehendak dan perintah Tuhan, maka di akhir nanti kita akan dibenarkan oleh Tuhan. Hal ini yang diartikan sebagai “keselamatan”. Namun sebaliknya, jika setelah dibaptis, kita memilih untuk mengikuti kecondongan berbuat dosa dari pada mengikuti perintah Tuhan, maka kita akan ‘kehilangan’ rahmat keselamatan tersebut; bukan karena meterai rohani yang diberikan oleh Allah itu terhapus oleh dosa, ataupun rahmat Tuhan itu kurang ‘berkuasa/powerful‘, tetapi karena kita dapat, oleh kehendak sendiri menolak keselamatan tersebut.[13] Jadi keselamatan bukanlah rahmat yang diperoleh seketika untuk selamanya, melainkan rahmat yang harus selalu kita jaga dan pertahankan, agar kita dapat terus bertumbuh di dalam rahmat itu.
Makna kedua dari Pembaptisan adalah pembaharuan di dalam Roh Kudus, dan ini dinyatakan tidak saja dengan di dalam hidup kita sebagai individual, tetapi juga di dalam kelompok sebagai pengikut Kristus. Melalui Pembaptisan, kita diurapi oleh Roh Kudus, dan digabungkan menjadi anggota dalam Kristus. Urapan Roh Kudus yang mengalir dari Kepala kepada anggota Tubuh-Nya menjadikan kita mengambil bagian di dalam misi Kristus sang Kepala, sebagai imam, nabi dan raja.[14]
Peran kita sesudah dibaptis: sebagai imam, nabi dan raja [15]
Setelah dibaptis, kita menjalani ketiga peran Kristus sebagai imam, nabi dan raja. Peran imam di sini bukan berarti bahwa setelah dibaptis kita semua menjadi pastor/ imam, melainkan bahwa kita mengambil bagian dalam imamat Kristus (Why 1:6) sebagai bangsa pilihan Allah, imamat yang rajani (1 Pet 2:9). Partisipasi dalam imamat Kristus ini diwujudkan dalam dua macam peran yang saling berkaitan, yang pertama adalah imamat bersama/ common priesthood, dan yang kedua adalah imamat jabatan/ hirarchical priesthood.[16] Mereka yang menjabat sebagai imam bertugas melayani umat yang oleh Pembaptisan menerima peran imamat bersama.
Perwujudan peran imamat ini mencapai puncaknya di dalam sakramen-sakramen, terutama perayaan Ekaristi. Para imam mengajar umatNya, dan bertindak atas nama Kristus dalam perayaan Ekaristi, dan mempersembahkan kurban Ekaristi kepada Tuhan atas nama umat. Sedangkan umat menjalankan peran imamat mereka dengan menggabungkan kurban mereka dengan kurban Kristus. Selanjutnya, mereka semua menjalankan peran imamat mereka dengan menerima sakramen-sakramen, dengan doa dan ucapan syukur, dengan hidup kudus melalui mati raga dan berbuat kasih.[17] Jika kita menghayati peran imamat bersama, maka seharusnya kita dapat lebih menghayati keterlibatan kita di dalam sakramen-sakramen, terutama pada perayaan Ekaristi, karena pada saat itulah kita mempersembahkan diri kita sebagai bagian dari persembahan Kristus kepada Allah Bapa. Persembahan kita ini berupa ucapan syukur, segala suka duka dan pergumulan yang sedang kita hadapi, maupun segala pengharapan yang kita miliki. Keterlibatan ini menjadikan kita sebagai bagian dari Sang Pelaku utama yaitu Kristus, dan bukan hanya sebagai ‘penonton’ Misteri Paska.
Selain sebagai imam, kita yang sudah dibaptis mengambil bagian di dalam peran Kristus sebagai nabi, dengan cara, 1) berpegang teguh pada iman, 2) memperdalam iman kita, dan 3) menjadi saksi Kristus di tengah-tengah dunia.[18] Di sinilah kita dipanggil untuk mewujudkan iman di dalam perbuatan, sehingga dapat menjadi saksi yang hidup akan pengajaran Kristus.
Akhirnya, Pembaptisan juga mengakibatkan kita mengambil peran Kristus sebagai raja, yang tidak sama dengan pengertian raja menurut dunia. Sebagai Raja, kita dipanggil untuk: 1) menjadi pemenang atas dosa dan kelemahan kita sendiri, dan berjuang untuk membela kebenaran; 2) membawa banyak orang kepada Kristus. Kristus menarik manusia kepada-Nya melalui kematian dan kebangkitanNya. Sebagai pengikut Kristus, kitapun dipanggil untuk membawa banyak orang kepada-Nya, dan dengan demikian kita turut mengambil bagian dalam misi Kristus sebagai Raja; 3) melayani Tuhan dan sesama. Kristus memberikan teladan, bahwa sebagai Raja, Ia datang bukan untuk dilayani, tetapi untuk melayani. Maka panggilan kita sebagai raja adalah untuk melayani Dia di dalam sesama terutama di dalam mereka yang miskin dan menderita, sebab di dalam merekalah Gereja melihat wajah Sang Kristus, yang menderita.
Hanya ada satu Pembaptisan
Begitu pentingnya makna Pembaptisan, yang meninggalkan pada kita meterai rohani yang tak terhapuskan, maka Gereja Katolik mengajarkan bahwa hanya ada satu Pembaptisan. Kristus sendiri mengajarkan hal ini, saat Ia berkata pada Rasul Petrus yang memohon kepada Yesus untuk mempermandikan dirinya. Yesus berkata, “Barangsiapa telah mandi, ia tidak usah membasuh diri lagi…” (Yoh 13:9-10). Tertullian, mewakili para Bapa Gereja melihat hal ini sebagai tanda bahwa para murid telah menerima baptisan Yohanes, dan karenanya tidak perlu dibaptis lagi oleh Kristus.[19] Dengan demikian Gereja Katolik mengakui satu pembaptisan yang mengukirkan meterai rohani yang tak terhapuskan dan tak dapat diulangi.[20]
‘Satu Baptisan’ ini mempersatukan kita umat Katolik dengan para pengikut Kristus dari gereja lain. “Sebab mereka itu, yang beriman akan Kristus dan dibaptis dengan sah (di dalam nama Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus), berada dalam suatu persekutuan dengan Gereja Katolik, sungguhpun tidak secara sempurna. Sungguhpun begitu, karena mereka dalam baptis dibenarkan berdasarkan iman, mereka disaturagakan dalam Kristus. Oleh karena itu mereka memang dengan tepat menyandang nama Kristen, dan tepat pula oleh putera-puteri Gereja Katolik diakui selaku saudara-saudari dalam Tuhan.” [21]
Sekarang, bagaimana dengan mereka yang menginginkan Pembaptisan, namun sebelum menerima baptisan mereka sudah meninggal, atau para martir yang belum sempat dibaptis? Untuk hal ini Gereja Katolik mengajarkan bahwa, selain Pembaptisan oleh air, dikenal juga Pembaptisan darah, yaitu mereka yang menyerahkan nyawanya sebagai martir untuk membela iman mereka. Para martir ini dibaptis untuk dan bersama Kristus oleh kematiannya.[22] Selanjutnya juga dikenal Pembaptisan oleh keinginan (Baptism of desire), seperti pada para katekumen yang wafat sebelum menerima Pembaptisan. Mereka diselamatkan oleh kerinduan mereka akan Pembaptisan, oleh penyesalan atas dosa-dosanya dan cinta kasih mereka. Juga semua orang yang tidak mengenal Injil Kristus dan Gereja-Nya, tetapi mencari kebenaran dan melakukan kehendak Allah sesuai dengan pemahamannya akan hal itu, dapat diselamatkan, sebab orang-orang semacam itu dapat menginginkan Pembaptisan, seandainya mereka sadar bahwa baptisan diperlukan untuk mencapai keselamatan.[23] Hal ini dimungkinkan karena “Kristus telah wafat bagi semua orang… dan Roh Kudus membuka kemungkinan bagi semua orang, untuk bergabung dengan cara yang diketahui oleh Allah dengan Misteri Paska itu.”[24]
Pembaptisan menurut Para Bapa Gereja
- Didache, Pengajaran para Rasul (80-160), mengajarkan untuk “membaptis dalam nama Bapa, Putera dan Roh Kudus di dalam air … tuangkan tiga kali pada kepala dengan berkata ‘di dalam nama Bapa, Putera, dan Roh Kudus.’ Sebelum Pembaptisan, biarlah yang membaptis dan yang menerima baptisan berpuasa terlebih dahulu, dan yang lain juga, jika sanggup…. Mereka yang dibaptis harus berpuasa sehari atau dua hari sebelum Pembaptisan.”[25]
- Yustinus Martyr (100- 165), First Apology, menuliskan bahwa pengganti para rasul “berdoa dan memohon pada Tuhan dengan berpuasa untuk mendatangkan penghapusan dosa bagi mereka yang akan dibaptis. Kemudian, mereka dibawa kepada air tempat mereka akan dibaptis, sebagaimana para penerus rasul tersebut-pun dibaptis. Sebab, di dalam nama Allah Bapa Pencipta alam semesta, Allah Putera Penyelamat dunia, dan Roh Kudus, mereka yang dibaptis menerima pembersihan (dari dosa) oleh air… Untuk alasan inilah, kami menerima mandat dari para Rasul.”[26]
- Tertullian (155-222), melalui tulisannya, On Baptism, menyatakan bahwa melalui Sakramen Permandian kita dibersihkan dari dosa-dosa, dibebaskan (dari kuasa dosa) dan diterima di dalam kehidupan kekal.[27] Tanpa Pembaptisan, orang tidak dapat diselamatkan, berdasarkan atas ajaran Yesus, “Jika seorang tidak dilahirkan dari air dan Roh, ia tidak dapat masuk ke dalam kerajaan Allah”(Yoh 3:5).[28]
- Santo Cyril (Sirilus) dari Yerusalem (313-386), mengatakan tanpa dibaptis, seorang tidak dapat diselamatkan, kecuali para martir, yang walau tanpa dibaptis dapat mencapai Kerajaan Allah.[29]
- Santo Agustinus (354-430), melalui Enchiridion, mengatakan bahwa Sakramen Pembaptisan menunjukkan kematian diri kita terhadap dosa bersama Kristus, dan kebangkitan kita bersama Dia ke dalam kehidupan yang baru.[30]
- Santo Ambrosius (338-397), melalui On Repentance, menjelaskan bahwa apa yang tidak mungkin bagi manusia, mungkin bagi Allah. Allah mau dan mampu mengampuni dosa kita, meskipun kita berpikir bahwa dosa tidak dapat diampuni. Sebab kelihatannya mustahil bahwa air dapat menghapuskan dosa, namun hal yang tidak mungkin ini dibuat menjadi mungkin oleh Allah … [31]
Pengajaran Para Bapa Gereja ini menjadi saksi yang nyata bahwa Pembaptisan adalah sesuatu yang ditentukan oleh Yesus sendiri, dan yang dilaksanakan oleh para rasul dan para penerus mereka sejak jaman abad-abad awal.
Kesimpulan
Berdasarkan pengajaran Yesus sendiri, maka kita mengetahui bahwa Pembaptisan diperlukan supaya kita dapat diselamatkan. Melalui Pembaptisan, kita dibersihkan dari segala dosa dan diperbaharui di dalam Roh Kudus; kita meninggalkan manusia lama beserta dengan dosa-dosa kita, dan mengenakan Kristus, sebagai manusia baru. Melalui Pembaptisan seseorang menyatakan imannya kepada Yesus Kristus, (lih. Rom 10:10) dan dengan demikian oleh rahmat Allah yang diterimanya saat Pembaptisan, ia dapat diselamatkan. Dengan perkataan lain, kita digabungkan dengan kematian Kristus untuk dibangkitkan bersama Kristus sebagai ciptaan yang baru, yaitu menjadi anak-anak angkat Allah, menjadi anggota Kristus dan Gereja-Nya, yang menghantar kita kepada kehidupan kekal. Dengan demikian kita mengambil bagian di dalam kehidupan Ilahi dan di dalam misi Kristus, sebagai imam, nabi dan raja di dunia ini, untuk mempersiapkan diri memasuki Kerajaan Allah di surga.
Kembali ke pertanyaan di atas, “Apakah kita sudah diselamatkan?” Maka, jawabannya adalah: jika kita telah dibaptis, kita telah diberi rahmat awal keselamatan itu. Kita telah memasuki pintu gerbang yang membawa kita ke sana. Jika kita terus mempertahankan rahmat itu dengan hidup kudus, menolak dosa dan segala keinginan berbuat dosa, dan terus tinggal di dalam Tuhan, dan dalam perbuatan kasih, maka kita bertumbuh dan berjalan menuju kepenuhan janji keselamatan itu. Singkatnya, agar kita diselamatkan, kita yang sudah dibaptis harus hidup sesuai dengan janji Pembaptisan kita. Mari kita berjuang dengan bantuan rahmat Tuhan, agar kita dapat setia kepada-Nya sampai pada kesudahannya, sehingga di akhir nanti kita dapat mendengar suara Allah, “Engkaulah anak-Ku, yang Kukasihi, kepadamu-lah Aku berkenan.”(Luk 3:22)
[1] Lihat Pope Benedict XVI, Jesus of Nazareth, (Double Day, New York, 2007), p. 18, “The Baptism is an acceptance of death for the sins of humanity, and the voice that calls out “This is My beloved Son” over the baptismal waters is an anticipatory reference to the resurrection. This also explains why… Jesus used the word of baptism to refer to his death (cf. Mk 10:38; Lk 12:50)”
[2] Ibid., p. 18
[3] Lihat Katekismus Gereja Katolik 1215
[4] Lihat KGK 1213
[5] Lihat KGK 1257
[6] Lihat Roman Catechism, Part Two, The Sacraments, Baptism, The Definition of Baptism, 5, “Baptism… as the sacraments of regeneration by water and in the word.”
[7] Lihat KGK 1214
[8] Lihat KGK 1265
[9] Lihat KGK 1216
[10] Lihat KGK 1272, “Pembaptisan menandai warga Kristen dengan satu meterai (character) rohani yang tidak dapat dihapuskan oleh dosa manapun, meskipun dosa menghalang-halangi Pembaptisan untuk menghasilkan buah keselamatan.”
[11] Lihat KGK 1262
[12] Lihat KGK 1264
[13] St. Augustinus, dalam On Rebuke and Grace, Chap. 6:9R, seperti dikutip oleh John Willis, SJ, The Teachings of the Church Fathers, (Ignatius Press, San Francisco, 2002, reprint 1966 Herder and Herder, New York), p. 294.,”If however, being already regenerate and justified (through Baptism), he relapses of his own will into an evil life, assuredly he cannot say, ‘I have not received,’ because of his own free choice to evil he has lost the grace of God, that he had received.”
[14] Lihat KGK 1241, KGK 783
[15] Lihat KGK 782, 783, 784, 785, 786.
[16] Lihat Lumen Gentium, Konstitusi Dogmatic tentang Gereja, 10
[17] Ibid.
[18] Lihat KGK 785
[19] Tertullian (155-222), On Baptism, chap. 9
[20] Lihat KGK 1280.
[21] Unitatis Redintegratio 3, Dokumen Vatikan II, Dekrit tentang Ekumenisme.
[22] Lihat KGK 1258
[23] Lihat KGK 1260
[24] Gaudium et Spes, Dokumen Vatikan II, Konstitusi Pastoral tentang Gereja di dalam Dunia Modern, 22
[25] Diterjemahkan dari The Didache, Chap. 7
[26] Diterjemahkan dari St. Yustinus Martir, First Apology, Chap. 61.
[27] Tertullian (155-222), On Baptism, Chap. 1
[28] Ibid., Chap. 12
[29] Lihat St. Cyril dari Yerusalem, Catecheses, 3:10
[30] St. Augustinus, Enchiridion 8, chap. 42
[31] Lihat St. Ambrosius, On Repentance, Bk.2, Chap.2.
Trima kasih….saya mau bertanya tentang pengusiran setan…
mengapa pengusiran setan tidak termasuk dalam kategori sakaramen?
Ketika membaca KS dan membandingkan dgn beberapa aturan Gereja (sejauh yg saya kethui) ),,,,saya mendapatkan beberapa hal:
1. Eksorsisme dilakukan oleh Tuhan yang kemudian kuasanya diberikan kepada para murid
2. Eksorsisme lengkap hanya bisa dijalankan oleh seorang uskup dan imam (yang ditunjuk uskup),,dengan kta lain tidak semua imam memiliki kapasitas untuk melakukan eksorsime..
Jika diperhatikan ad bebrapa kesamaan eksorsisme dengan beberapa sakramen….
Memang 2 alasan diatas sangat dangkal untuk dijadikan acuan….untuk itu mhn pnjelasannya mengapa eksorsisme tidak dijadikan sakramen oleh Gereja…
Shalom Angga,
Katekismus Gereja Katolik mengajarkan:
KGK 1237 Karena Pembaptisan adalah tanda pembebasan dari dosa dan penggodanya, ialah setan, maka diucapkan satu atau beberapa eksorsisme ke atas orang yang dibaptis. Selebran mengurapi orang yang dibaptis atau meletakkan tangan di atasnya; sesudah itu orang yang dibaptis dengan tegas menyangkal setan. Dengan persiapan ini, ia dapat mengakui iman Gereja, yang dipercayakan kepadanya melalui Pembaptisan (Bdk. Rm 6:17).
Menurut pengetahuan saya, dalam proses katekumenat sendiri, umumnya ritus eksorsisme diadakan atas katekumen, sedikitnya pada masa awal/ penerimaan katekumen, dan pada tahap akhir, yaitu beberapa minggu sebelum Baptisan; dan pada saat Baptisannya itu sendiri. Maka melalui Baptisan, sesungguhnya orang yang dibaptis telah dibebaskan dari segala ikatan roh jahat.
Jika kemudian setelah dibaptis orang tersebut kembali ke kehidupan lamanya, ataupun membiarkan dirinya masuk dalam resiko pengaruh kuasa jahat (misalnya dengan pergi ke tukang ramal, menyimpan jimat, memanggil arwah dst), maka ada kemungkinan ia dapat terkena pengaruh kuasa jahat. Untuk ini dapat didoakan doa melawan kekuatan kegelapan, sebagaimana telah diterjemahkan oleh Rm. Santo di sini, silakan klik. Doa rosario dan mengambil bagian dalam sakramen, terutama sakramen Pengakuan dosa dan sakramen Ekaristi, adalah sarana yang sangat ampuh untuk melawan kuasa kegelapan. Baru untuk kasus-kasus yang khusus/ berat, silakan menghubungi keuskupan, agar dapat didoakan oleh imam yang ditugaskan untuk itu, atau oleh bapa Uskup sendiri.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
1. Apakah Keselamatan seperti yang dimaksudkan oleh ajaran gereja katolik???
2. Keselamatan seperti apakah yang akan diperoleh oleh orang katolik yang telah meninggal dunia???????????
Shalom Ferry,
1. Keselamatan menurut ajaran Gereja Katolik
Kitab Suci mengatakan bahwa keselamatan adalah tujuan iman kita (lih. 1 Ptr 1:9). Keselamatan ini datang dari Allah (lih. Kis 28:28), karena kasih karunia-Nya (lih. Ef 2:8) dan diperuntukkan untuk umat manusia sampai ke ujung bumi (lih. Kis 13:47). Rahmat keselamatan kita peroleh melalui pengampunan dosa (lih. Luk 1:77) di dalam Kristus, sebab Kristus telah mati untuk kita, untuk menjadi tebusan atas dosa-dosa kita (lih. Ef 1:7, 1 Ptr 2:24, 1Kor 15:3). Tentang keselamatan ini, Rasul Paulus mengatakan:
“Tetapi Allah yang kaya dengan rahmat, oleh karena kasih-Nya yang besar, yang dilimpahkan-Nya kepada kita, telah menghidupkan kita bersama-sama dengan Kristus, sekalipun kita telah mati oleh kesalahan-kesalahan kita- oleh kasih karunia kamu diselamatkan -dan di dalam Kristus Yesus Ia telah membangkitkan kita juga dan memberikan tempat bersama-sama dengan Dia di sorga, supaya pada masa yang akan datang Ia menunjukkan kepada kita kekayaan kasih karunia-Nya yang melimpah-limpah sesuai dengan kebaikan-Nya terhadap kita dalam Kristus Yesus. Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri.” (Ef 2:4-9)
Keselamatan ini telah dinubuatkan oleh para nabi, dan tergenapi di dalam Kristus Tuhan kita (1 Kor 1:10, 1 Tes 5:9). Dengan demikian, rahmat keselamatan kita peroleh dari Tuhan dalam iman akan Kristus (lih. 1 Tim 1:4, 2Tim 3:15), yang dinyatakan dalam Pembaptisan (Yoh 3:5; Mat 28:19-20).
Selanjutnya tentang keselamatan Allah menurut ajaran iman Katolik, silakan Anda membaca beberapa artikel-artikel berikut ini (silakan klik di judul-judul berikut ini):
Kesempurnaan Rancangan Keselamatan Allah
Keselamatan dan hubungannya dengan Baptisan
Keselamatan adalah Anugerah Allah?
Sudahkah kita diselamatkan?
Apakah yang diselamatkan hanya orang Katolik?
Apakah arti EENS?
2. Keselamatan seperti apa?
Pertanyaan Anda berikutnya, tentang keselamatan seperti apa yang diperoleh oleh orang Katolik setelah meninggal dunia, adalah sesuai dengan janji Allah sebagaimana dinyatakan dalam Sabda-Nya, yaitu keadaan atau tempat bersama-sama dengan Allah di Sorga (lih. Ef 2:6) di mana kita akan ‘melihat Dia dalam keadaan-Nya yang sebenarnya’ (1 Yoh 3:2). Keadaan ini diperoleh bagi seseorang yang telah didapati-Nya sempurna di dalam Dia saat Tuhan memanggilnya. Namun jika orang itu masih belum sempurna, maka ia akan dimurnikan dahulu dalam Api Penyucian.
Selanjutnya tentang Api Penyucian, silakan membaca di sini, silakan klik.
Maka Api Penyucian bukanlah merupakan tempat penghukuman, namun sebagai keadaan penyucian jiwa-jiwa orang beriman yang belum sepenuhnya sempurna saat wafatnya, dalam perjalanan mereka menuju kesempurnaan/ kekudusan yang disyaratkan Allah untuk memasuki Kerajaan Surga (lih. Why 21:27; Ibr 12:14).
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
salam damai
Rm. Wanta/ ibu Inggrid dan bpk Stef..
sy mau bertanya: di kelompok kami kebetulan ada seorang ibu (kebetulan ikut katekumen) yg sudah mempunyai anak dan sy baru tahu bahwa dia belum menikah secara katolik (suaminya katolik)..
Apakah ibu tersebut berhalangan untuk dibaptis?
Terimakasih atas penjelasannya.
salam kasih
ignas
Shalom Ignas,
Ya, nampaknya perlu dilakukan pemberesan terhadap perkawinannya terlebih dahulu, sebab suaminya Katolik. Sebab syarat agar perkawinan seorang yang Katolik (walaupun pasangannya tidak Katolik) adalah sah, perkawinan tersebut harus dilakukan menurut ketentuan Gereja Katolik. Maka seharusnya, perkawinan mereka dilakukan di Gereja Katolik. Fakta bahwa ini belum dilakukan, artinya perkawinan mereka tidak memenuhi ketentuan hukum Gereja. Oleh karena itu, langkah yang harus dilakukan adalah melakukan konvalidasi perkawinan, agar perkawinan mereka dapat diakui sah oleh Gereja. Silakan menghubungi pastor paroki di mana pasangan tersebut berdomisili untuk dapat mengatur segala sesuatunya sehubungan dengan konvalidasi perkawinan tersebut. Suaminya yang Katolik, perlu sebelumnya mengaku dosa dalam Sakramen Pengakuan Dosa, karena kelalaiannya untuk menaati hukum Gereja sehubungan dengan perkawinannya.
Jika konvalidasi sudah dilakukan ibu itu dapat dibaptis, dan setelah dibaptis tidak perlu dilakukan peneguhan sakramen perkawinan lagi, sebab dengan ia dibaptis, maka dengan sendirinya perkawinannya diangkat menjadi sakramen.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Shallom Pak Stefanus Tay
Terima kasih banyak atas penjelesannya
Penjelasan ini bisa membuat saya tenang.
saya akan mencoba menemui romo yang berwenang di Katedral Semarang
Semoga dapat terlaksana keinginan membaptis anak saya
Mohon maaf apabila ada kata-kata yg kurang berkenan terutama penulisan nama petugas sekretariat (beliau yg di sekretariat sendiri yg dengan nada galak mempersilakan saya menulis di surat pembaca)
GBU
Shallom…
Perkenalkan nama saya Handoyo
Saya tidak tahu harus kemana lagi berkonsultasi… semoga ada yg bisa membantu.
saya beragama katolik
saya punya putra berusia 4 bulan.
saya ingin membaptiskan anak lokasi di semarang.
Saya mau bertanya bagaimana cara melakukan baptis yang mudah baik katolik maupun kristen protestan.
Baptis secara katolik saya menemui kendala bahwa:
gereja mensyaratkan adanya wali baptis yg sama jenis kelaminnya dg bayi, sedangkan saya seorang perantauan yg hanya punya saudara perempuan (kakak istri) yg katolik.
kakek anak saya (ayah saya) seorang kristen protestan yg tidak bisa dijadikan wali baptis katolik krn tidak punya surat baptis katolik.
jadi intinya saya tidak punya wali baptis laki-laki untuk anak saya sehingga saya ditolak oleh gereja katolik katedral semarang (dlm hal ini ditolak oleh [edit: nama dihapus] sebagai sekretariatnya)oleh karena itu saya mohon petunjuk apakah ada gereja yg masih berbaik hati mau menerima anak saya agar dibaptis baik secara katolik maupun kristen protestan di area semarang?
apakah memang peraturan gereja yaitu wali baptis harus berjenis kelamin sama dengan bayi adalah peraturan mutlak…?
Pertanyaan berikutnya adalah apakah sedemikian ketatnya peraturan gereja katolik sehingga mengalahkan kasih yg Tuhan Yesus ajarkan…? ataukah saya yang salah mengartikannya?
hamba memohon pencerahannya bagi semua pihak yang bisa memberikan informasi kepada saya.
handoyo_smg@yahoo.com
GBU ALL
Shalom Handoyo,
Sebenarnya, kalau kita melihat dari Kitab Hukum Kanonik (KHK), maka persyaratan untuk menjadi wali baptis adalah sebagai berikut:
Dari persyaratan di atas, maka yang dapat saya sarankan adalah: (1) Karena tidak ada persyaratan bahwa wali baptis harus satu jenis kelamin dengan orang yang dibaptis, maka sebenarnya tidak ada masalah, kalau yang menjadi wali baptis adalah berbeda kelamin. Peraturan di atas mengatakan bahwa wali baptis dapat satu pria atau satu wanita, atau satu wanita dan satu pria, namun tidak boleh dua wanita atau dua pria. (2) Wali baptis juga dapat ditunjuk oleh pastor, yaitu orang yang dipandang dapat membantu anak yang dibaptis untuk dapat bertumbuh dalam iman dengan baik. Jadi, cobalah bertemu dengan pastor, ceritakan kondisi anda, dan kalaupun di paroki tersebut wali baptis harus berjenis kelamin sama [yang seharusnya tidaklah demikian], maka pastor dapat membantu anda untuk mendapatkan wali baptis yang baik.
Secara prinsip, menjadi hak anda sebagai umat Katolik untuk dapat membaptis bayinya secara Katolik. Peraturan wali baptis sebenarnya membantu orang tua dalam mendidik anak yang akan dibaptis. Sebagai contoh, wali baptis memang harus telah Katolik dan menerima Sakramen Penguatan, dan hidup sesuai dengan iman Katolik. Hal ini disebabkan wali baptis ini harus dapat memberikan contoh kehidupan iman yang baik. Jadi, cobalah datang lagi ke pastor dan meminta agar beliau dapat membaptis anak anda secepatnya. Semoga semuanya dapat diselesaikan dengan baik dan mohon untuk tetap membaptis anak anda secara Katolik.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
syalom . . perubahan karakter setelah menerima baptisan kudus, menjadi sama atau berbeda dengan sifat yang lama. mungkin menjadi misteri dari kedaulatan Allah juga ya. koq bingung saya.
Shalom Pardohar,
Katekismus mengajarkan bahwa salah satu efek Baptisan adalah menghapuskan dosa dan memberikan meterai Tuhan (Dominicus character) sehingga kita menerima ‘karakter’ ilahi, karena kita menerima Roh Kudus yang sama dengan Roh yang ada pada Kristus (lih. Rom 8:11), sehingga kita dapat memperoleh hidup yang kekal.
KGK 1263 Oleh Pembaptisan diampunilah semua dosa, dosa asal, dan semua dosa pribadi serta siksa-siksa dosa (Bdk. DS 1316). Di dalam mereka yang dilahirkan kembali, tidak tersisa apa pun yang dapat menghalang-halangi mereka untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah. Baik dosa Adam maupun dosa pribadi demikian pula akibat-akibat dosa, yang terparah darinya adalah pemisahan dari Allah, semuanya tidak ada lagi.
KGK 1274 Meterai Tuhan (“Dominicus character”: Agustinus, ep. 98,5) adalah meterai yang dengannya Roh Kudus telah memeteraikan kita “untuk hari penyelamatan” (Ef 4:30) Bdk. Ef 1:13-14; 2 Kor 1:21-22). “Pembaptisan adalah meterai kehidupan abadi” (Ireneus, dem. 3). Orang beriman, yang mempertahankan “meterai” sampai akhir, artinya setia kepada tuntutan yang diberikan bersama Pembaptisannya, dapat mati “ditandai dengan meterai iman” (MR, Doa Syukur Agung Romawi 97), dalam iman Pembaptisannya, dalam harapan akan memandang Allah yang membahagiakan – penyempurnaan iman – dan dalam harapan akan kebangkitan.
Namun demikian, tidak berarti setelah dibaptis manusia tidak daapat berbuat dosa lagi. Sebaliknya, pada orang yang telah dibaptis masin ada kecondongan terhadap dosa, yang memang tetap ada agar kita selalu berjuang untuk hidup lebih baik/ kudus, agar dapat menerima mahkota kehidupan:
KGK 1264 Tetapi di dalam orang-orang yang dibaptis tetap ada beberapa akibat sementara dari dosa: penderitaan, penyakit, kematian, kelemahan yang berhubungan dengan kehidupan (seperti misalnya kelemahan tabiat), serta kecondongan kepada dosa, yang tradisi namakan concupiscentia [keinginan tak teratur] atau, secara kiasan, “dapur dosa” [fomes peccati]. Karena keinginan tak teratur “tertinggal untuk perjuangan, maka ia tidak akan merugikan mereka, yang tidak menyerah kepadanya dan yang dengan bantuan rahmat Yesus Kristus menantangnya dengan perkasa. Malahan lebih dari itu, siapa yang berjuang dengan benar, akan menerima mahkota (2 Tim 2:5)” (Konsili Trente: DS 1515).
Dengan demikian, setelah Baptisan, memang terdapat perubahan ‘karakter’, oleh karena ada meterai di jiwa yang Tuhan karuniakan, yang menandainya sebagai ‘milik Allah’. Rahmat Allah ini memampukan orang tersebut untuk berkata ‘tidak’ terhadap dosa, walaupun kecenderungan/ kecondongan terhadap dosa tetap ada padanya. Untuk menolak dosa tersebut, bukan hanya rahmat Tuhan saja yang dibutuhkan, melainkan juga harus ada kerjasama dari orang tersebut sehingga rahmat Tuhan dapat bekerja di dalam dirinya. Di sinilah terjadi kerjasama antara kedaulatan Allah yang melibatkan kehendak bebas manusia, sehingga manusia bukan hanya sekedar boneka wayang yang dimainkan oleh sang dalang, namun sungguh-sungguh sebagai mahluk mulia yang diciptakan menurut gambaran Allah, yang mempunyai akal budi dan kehendak bebas yang dapat digunakan seturut dengan tuntunan Sang Pencipta.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
terimakasih atas tanggapan dari ibu Inggrid, saya mulai memahami arti persekutuan dalam arti yang lebih luas lagi, dan saya tidak keliru dalam memahami rencana Tuhan yang bekerja di dalam tubuh saya.
Salam Damai dalam Kristus,
Romo yg terhormat, saya seorang pria Katolik. Saat ini sedang menjalin hubungan dengan wanita dari agama Kristen (Betany). Saya menghendaki kelak pernikahan saya langsungkan dalam gereja Katolik, mengingat saya sejak kecil dididik dalam keluarga Katolik dan saya teguh dgn iman Katolik yang saya imani. Pihak pasangan saya tidak keberatan ke gereja Katolik, hanya persoalannya tidak mau lagi dibaptis dalam gereja Katolik. pertanyaan saya apakah baptisan dalam gereja Betani sah menurut baptisan dalam gereja Katolik (baik forma dan materia)??? Kedua, bagiamana seandainya pasangan saya hendak masuk dalam gereja Katolik? Apakah harus melakukan baptis ulang (pembaharuan baptis)? Apakah harus lewat katekumen? Seandainya dibaptis apakah langsung bisa menerima Sakramen Inisiasi (baptis, krisma, dan komuni)???
Terima kasih atas jawabannya.
ignas, solo
Ignas Yth
Setahu saya pembaptisan gereja Betani tidak sah maka harus diulang. Baptisan menurut gereja Bethani tidak sah karena gereja Bethani tidak termasuk ke dalam PGI, tapi lebih penting karena forma baptisan tidak sesuai dengan ajaran Gereja Katolik. Maka jika pasangan anda hendak masuk ke Gereja Katolik, ia harus ikut katekumenat seperti calon baptis lainnya tidak ada kekecualian. Namun nanti bisa meminta sakramen inisiasi, yaitu baptis, komuni dan krisma sekaligus karena sudah dewasa. Alasannya kuat, karena akan menikah. Cobalah bicara dengan pastor paroki anda.
salam
Rm Wanta
Rm. Wanta Yth,
terima kasih atas jawaban romo.
Tuhan memberkati karya dn pelayanan romo juga team katolisitas.org
Yth, Romo Wanta, Pr.
Saya sangat mencintai dan mengimani Yesus sebagai Tuhan dan pengantara kepada Allah Bapa di surga, dan saya juga mengimani arti pembaptisan dengan media air sebagai media sumber kehidupan manusia. (“Kristus sendiri mengajarkan hal ini, saat Ia berkata pada Rasul Petrus yang memohon kepada Yesus untuk mempermandikan dirinya. Yesus berkata, “Barangsiapa telah mandi, ia tidak usah membasuh diri lagi…” (Yoh 13:9-10). Tertullian, mewakili para Bapa Gereja melihat hal ini sebagai tanda bahwa para murid telah menerima baptisan”). Semua gereja di dunia baik gereja timur maupun gereja barat memuliakan pembaptisan sebagai sarana untuk mensahkan seseorang masuk menjadi pengikut YESUS KRISTUS, dan setahu saya tidak ada gereja yang melakukan proses pembaptisan dengan menggunakan air yang kotor “maaf” air comberan atau air sungai yang sudah tercemar atau juga air limbah. “JUGA KAMU SUDAH BERSIH, HANYA TIDAK SEMUA” …….. “TIDAK SEMUA KAMU BERSIH” Demikianlah isi kitab suci INJIL YOHANES 13:10-11, Janganlah sebagai manusia biasa kita memvonis seseorang atau agama lain tidak SYAH, TIDAK BENAR atau apalah istilah lainnya, Biarlah waktu dan ruang yang menuntun manusia beriman dan beragama untuk memaknai arti “KESELAMATAN” dan ingat saya sangat mengerti apa makna dari salah satu buah karya “KONSILI VATIKAN” yang berbunyi kurang lebih demikian “DI LUAR GEREJA ADA KESELAMATAN”……………Amin
Shalom Ignatius,
Baptisan bukan hanya menjadi sarana untuk mensahkan seseorang masuk menjadi pengikut Kristus, namun juga menjadi sarana dan syarat untuk mendapatkan keselamatan. Silakan membaca artikel ini – silakan klik dan diskusi ini – silakan klik. Bagi Gereja Katolik, selama forma – dilakukan dalam nama Bapa, Putera dan Roh Kudus – serta menggunakan materi air, dan intensi yang tepat, maka baptisan tersebut adalah sah. Kalau seseorang telah menerima baptisan dari gereja lain secara sah – yang juga diakui oleh Persatuan Gereja Indonesia – maka Gereja Katolik tidak membaptis kembali orang tersebut, karena Gereja Katolik menjalankan apa yang tertulis di Kitab Suci, yaitu “satu Tuhan, satu iman, satu baptisan” (Ef 4:5). Jadi yang terpenting adalah mengerti apa alasan mengapa Gereja Katolik menganggap satu baptisan adalah tidak sah. Dan kalau baptisan tersebut tidak sah, maka demi kebaikan orang tersebut, Gereja Katolik ingin membaptis orang yang bersangkutan. Hal ini bukanlah baptisan ulang, karena dari awalnya, baptisan yang dilakukan sebelumnya adalah bukan baptisan yang sah.
Anda bertanya ke situs ini apakah satu baptisan sah menurut Gereja Katolik atau tidak. Kami telah memberikan jawabannya beserta dengan alasannya. Kalau anda masih tetap bertahan dengan pendapat anda, maka itu juga menjadi hak anda dan kami tidak dapat memaksakan. Namun, kalau anda umat Gereja Katolik, maka sudah seharusnya kita juga mengikuti ajaran dari Gereja Katolik. Saran saya, cobalah berbicara dengan pastor paroki dan ajak pasangan anda, sehingga anda berdua dapat berdiskusi bagaimana menyelesaikan permasalahan ini, yang mungkin juga menyangkut baptisan, pelajaran agama, persiapan perkawinan, dll.
Kemudian, tentang EENS (Extra Ecclesiam Nulla Salus), tidak benar bahwa di dokumen Vatikan II dikatakan bahwa di luar gereja ada keselamatan. Silakan membaca dokumen Vatikan II – Lumen Gentium di sini – silakan klik, terutama art. 14 dan 16 serta diskusi tentang hal ini di sini – silakan klik. Semoga keterangan dan link-link yang saya berikan dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Shalom,
Mohon bantuan team katolisitas.org atas pertanyaan saya ini ;
1. Apa dasar Biblis & ajaran gereja tentang orang Kristen Protestan
yang diterimakan TANPA BAPTIS lagi ?
2. Mazhab / gereja apa saja yang baptisnya diakui oleh Gereja Katolik ?
Sebelumnya saya ucapkan terima kasih. G B U , Amin.
(kalau berkenan jawaban mohon di add ke Email saya, terima kasih)
Shalom Stefanus Dedie,
1. Dasar Kitab Suci bahwa umat Protestan yang telah dibaptis secara sah tidak perlu lagi dibaptis ulang jika ingin menjadi Katolik adalah pertama- tama Ef 4:3-6:
“Dan berusahalah memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera: satu tubuh, satu Roh, sebagaimana kamu telah dipanggil kepada satu pengharapan yang terkandung dalam panggilanmu, satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Allah dan Bapa dari semua, Allah yang di atas semua dan oleh semua dan di dalam semua.”
Gereja Katolik mengakui adanya satu Pembaptisan, karena mengakui otoritas dari Kristus yang menginstitusikan sakramen tersebut. Sehingga, jika sudah diberikan dengan sah, maka tidak ada seorangpun yang dapat membatalkannya.
2. Gereja- gereja yang Pembaptisannya diakui oleh Gereja Katolik di Indonesia adalah Gereja- gereja yang membaptis dengan maksud dan rumusan (dengan materia: air; dan forma: pembaptisan di dalam nama Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus) yang sama dengan yang diajarkan oleh Gereja Katolik. Contohnya adalah baptisan gereja- gereja yang tergabung dalam persekutuan dengan PGI. Untuk keterangan selengkapnya, silakan menghubungi pastor paroki.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Shalom,
Terima kasih atas jawaban dan paparannya Ingrid Listiati- katolisitas.org dan team.
Tuhan memberkati, Amin.
Shalom,
Saya baru tahu bila seorang umat Protestan yang telah dibaptis secara sah tidak perlu lagi dibaptis ulang di Gereja Katolik asalkan Gereja Kristen tersebut adalah yang tergabung dalam persekutuan dengan PGI.
Pertanyaan saya adalah Mengapa hal ini tidak terwujud di Gereja saya?
Saya adalah seorang Katolik sedangkan istri saya sebelumnya beragama Kristen Protestan dari Gereja Kristen Jawa (GKJ). Istri saya sudah dibabtis sejak kecil dan di Sidi ketika dewasa di Gereja Kristen Jawa. Ketika kami mau menikah kira-kira 3 tahun lalu, istri saya diminta oleh pihak Gereja Katolik untuk belajar agama Katolik dulu atau katekumen selama 5 bulan setelah itu baru dapat dipermandikan lalu ikut kursus perkawinan. Gereja Kristen Jawa adalah Gereja yang termasuk dalam PGI. Bila dikaitkan dengan pernyataan diatas, seharusnya istri saya sudah sah dibaptis dan tidak perlu lagi dibaptis ulang di Gereja Katolik tetapi kenyataannya berbeda. Apakah hal ini tidak diterapkan sama untuk semua Gereja Katolik ? Atau masing-masing Gereja mempunyai kebijakan sendiri untuk hal pembaptisan dari umat berbeda agama ?
Mohon pencerahannya. Tuhan Memberkati.
Benny Yth
Semua pejabat dan pelayan Gereja Katolik mengerti akan aturan ini bahwa: pembaptisan di Gereja Protestan (yang tidak bersatu dengan Gereja Katolik) apabila memenuhi syarat materi: air; dan forma: yaitu rumusan pembaptisan: sebut nama orang yang dibaptis, lalu, “Aku membaptis engkau dalam nama Bapa, Putera dan Roh Kudus”, dengan menuangkan air di kepala atau ditenggelamkan dan diangkat kembali sebanyak tiga kali. Ini adalah pembaptisan yang sah dan diakui Gereja Katolik. Ada banyak denominasi di dalam gereja Protestan yang harus dilihat apakah syarat demi sahnya baptisan materi dan forma itu terpenuhi? Jika terpenuhi dan sah maka Gereja Katolik mengakuinya. Nah GKJ yang masuk PGI (sejauh yang saya tahu) rumusannya sama seperti yang dituntut Gereja Katolik, maka kalau itu benar maka tidak perlu baptis lagi. Demi sekuritas dan jaminan keabsahan perlu diminta surat baptis di gereja Protestan, lalu ditanyai, waktu dibaptis pendetanya berkata apa? Caranya bagaimana? Dengan cara itu maka kita ketahui baptisan GKJ menurut norma Gereja Katolik sah atau tidak. Jika sah tidak perlu diulang lagi. Harap maklum. Kiranya rama di tempat anda memahami hal ini juga. Selanjutnya, karena perbedaan ajaran, maka pihak protestan yang akan menjadi Katolik perlu diberikan kursus untuk diterima ke dalam Gereja Katolik.
Demikian mohon dipahami, jika rama tersebut keliru, ya dimaklumi saja.
salam
Rm Wanta
salam damai
Rm. Wanta/ ibu Inggrid dan bapk Stef..
Saya sedang mempersiapkan para katekumen untuk baptis. dalam bina katekese ada persoalan. Katekumen saya ini seorang ibu. Persoalannya adalah dia adalah istri kedua (dari budha). Bapak/ suaminya adalah seorang katolik dan menikah secara katolik..dan pada akhirnya cerai secara sipil. Proses anulasinya memang sedang dalam proses. Dalam beberapa dokumen yang saya tahu, terutama dalam P3KAM (pedoman pelayanan pastoral Keuskupan Agung Medan/ saya di KAM) dikatakan hendaknya jangan membaptis seseorang bila perkawinannya bermasalah.
Kami sering bertanya (terutama ibu tersebut): apa tidak bisa dibaptis?? Kadang ibu itu berkata, memang saya sadari saya menjadi istri kedua, tetapi saya mau karena sudah cerai secara sipil. saya tidak tahu bahwa masih ada hal yang harus dibereskan. Keteguhan hatinya menjadi katolik saya lihat mulai terganggu, karena memang sudah lebih satu tahun, sebagai katekumen.
Akan tetapi saya minta pnjelasan secara hukumnya dari Romo Wanta, dan adakah aspek pastoral yang bisa dilakukan untukhal ini??? terimakasih
Simon Yth
Secara hukum persoalan yuridis perkawinan yang meskipun telah dipisahkan oleh hukum sipil namun belum dinyatakan oleh tribunal perkawinan, ikatan perkawinan pertama masih tetap utuh. Pernyataan cerai sipil di depan hukum Gereja tidak dengan serta merta memutuskan ikatan rohani perkawinan Gereja Katolik. Hukum Gereja mengakui perceraian sipil sebatas sebagai perpisahan fisik. Dengan demikian ibu/istri kedua dari seorang laki-laki yang telah menikah secara Katolik dan belum mendapatkan kejelasan statusnya tetap menjadi halangan untuk meneriman baptisan dewasa. Lebih jauh, Familiaris Consortio 84 menegaskan bahwa: Gereja menengaskan lagi prakteknya yang berdasarkan Kitab Suci untuk tidak mengizinkan mereka yang bercerai kemudian menikah lagi menyambut komuni kudus/ekaristi karena status hidup mereka bertentangan dengan persatuan cinta kasih Kristus dan Gereja yang dilambangkan oleh Ekaristi. Sakramen pembaptisan adalah penyucian diri dari dosa dan pengangkatan manusia menjadi anak-anak Allah. Kalau mereka tinggal dalam keluarga yang bertentangan dengan kehidupan Gereja Katolik, Pembaptisan menjadi tidak berarti. Maka mereka harus sabar menunggu proses anulasi selesai. Jika sungguh mau menjadi katolik memang harus meniti jalan ini. Sementara menunggu proses anulasi, Gereja mendoakan mereka dan menerima mereka; mereka dapat aktif mendengarkan sabda Allah, berdoa sebagai umat simpatisan katolik. Saya yakin perlu diberi pengertian dan tidak perlu terganggu, karena menjadi Katolik tidaklah mudah dan instan perlu proses dan pendalaman iman hingga matang.
salam
Rm Wanta
saya dr keluarg muslim ktp, skrg udh katolik.. dulu saya sempat menerima sakramen ekaristi sblm baptis, di pengajaran saya dikasi tau tidak boleh tp ada perasaan keinginan saya yg bsr, diam diam saya memutuskan ut menerima komuni.
pertanyaan : apakah Tuhan mengampuni saya? apa yg hrs ku lakukan ut mendptkan pengampunan?
Shalom Yohanes,
Terima kasih atas pertanyaannya. Pada waktu kita dibaptis, maka kita telah mendapatkan pengampunan akan dosa asal dan juga dosa pribadi yang dilakukan sebelum dibaptis. Katekismus Gereja Katolik mengatakan "Kalau kita mengakui iman untuk pertama kalinya dan dibersihkan dalam Pembaptisan suci, diberikanlah kepada kita pengampunan yang begitu berlimpah ruah, sehingga tidak ada satu kesalahan pun – baik yang melekat pada kita oleh turunan [catatan: dosa asal], maupun sesuatu yang kita lalaikan atau lakukan dengan kehendak sendiri [catatan: dosa pribadi]- yang tidak dihapuskan dan tidak ada siksa yang masih perlu disilih. Namun orang tidak dibebaskan dari semua kelemahan kodrat oleh rahmat Pembaptisan; sebaliknya setiap orang harus berjuang melawan rangsangan hawa nafsu yang tanpa henti-hentinya mengajak kita untuk berbuat dosa" (Catech. R. 1, 11,3)." (KGK, 978)
Dengan demikian dosa yang telah dilakukan oleh Yohanes telah diampuni pada saat Yohanes menerima baptisan. Oleh karena itu, janganlah dosa yang telah diampuni tersebut masih menjadi ganjalan di hati Yohanes. Semoga dapat membantu. Mari kita bersama-sama bertumbuh dalam iman Gereja Katolik.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
Shalom Bu Ingrid…
Saya jadi inggin menanggapi jawaban Bu Ingrid mengenai siapakah 2 saksi Allah yang disebutkan sebagai”…kedua pohon zitun dan kedua kaki dian…”(bdk. Why11:4)
sekian, trimakasih.
Tuhan berserta kita…
Sekarang dan selama-lamanya..
Shalom Ario,
Berikut ini adalah penjelasan Why 11: 4, "Mereka adalah kedua pohon zaitun dan kedua kaki dian yang berdiri di hadapan Tuhan semesta alam." menurut A Catholic Commentary on Holy Scripture, ed. Dom Orchard M.A, (Thomas Nelson and Sons, Ltd., London, 1953) p. 1201:
1) Mengapa dua saksi? Karena dua adalah ketentuan jumlah saksi minimum dari hukum Yahudi untuk dapat dikatakan sah.
2) Pengertian rasul Yohanes juga dipengaruhi oleh pengertian akan nabi Zakharia sebagai figur ‘lampu’ bagi bangsa Israel yang dinyalakan oleh minyak zaitun, yaitu imam Josua dan Zorobabel, sebagai kepala imam di bait Allah. Maka kedua saksi pohon zaitun mengacu pada kedua kepala imam tersebut.
3) Kedua kaki dian mengacu kepada setidaknya dua figur saksi pra- Mesias, yaitu nabi Elia dan Musa, yang harus hadir sebelum masa Akhir. Peran Nabi Elia untuk mempersiapkan jalan bagi Mesias sering dihubungkan dengan peran Yohanes Pembaptis (Mal 3:1-5; Mat 11:10). Nabi Elia dapat ‘menutup langit’ sehingga musim kemarau berlangsung selama 3 1/2 tahun (lihat 1 Raj 17:1, Luk 4:25) dan Musa mendatangkan tulah kepada bangsa Mesir (Kel 7- 12).
Para saksi ini (Nabi Elia dan Nabi Musa) adalah para saksi yang menunjuk pada Yesus Kristus Sang Mesias, seperti yang kita ketahui dari peristiwa Transfigurasi, saat Yesus dimuliakan di atas gunung. Yesus sendiri adalah pesan utama dalam Injil (Kabar Gembira), maka atas pengertian ini Fr. George Montague menginterpretasikan ayat Why 11:7 dalam kaitannya dengan 2 Tes 2:7, untuk menjelaskan bahwa akhir jaman tidak akan datang sebelum kedua saksi tersebut menyelesaikan kesaksian mereka, yaitu, dalam artian pewartaan Injil diberitakan sampai ke ujung bumi.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
Shalom,
Beberapa bulan lalu anak kami, saat berusia 3 bulan, dibaptis.
Ada hal yang merisaukan saya sampai sekarang, yaitu air yang dipergunakan itu sedikit sekali, bukan dituang ataupun ditetes, tetapi hanya ditempel.
Situasinya begini, air suci dalam botol tsb di goyang2 tapi airnya tidak menetes (karena lubangnya kecil), lalu romonya menempelkan ujung botol tersebut yang agak basah di dahi sang baby.
Apakah baptisan ini sah? Karenaa airnya hampir tidak ada. Saya ingin tanya kepada romo tersebut dan meminta baptis ulang, tetapi saya tidak enak hati karena kami kenal baik dengan romonya.
Salam,
Shalom Erwin,
Pertama-tama, kami mohon maaf jika terlambat menyampaikan jawaban ini, mengenai sah atau tidaknya Baptisan anak anda. Hal ini disebabkan karena kami mencari di beberapa sumber untuk menjawab pertanyaan ini, dan dengan ini kami juga ingin merevisi jawaban kami terdahulu:
1) Pada prinsipnya, hal yang menentukan sah atau tidaknya Pembaptisan adalah 1) material-nya, yaitu dengan air yang jernih, dan 2) forma yaitu perkataan doanya, seperti yang ditentukan dalam rubrik Liturgi Gereja Katolik, (yaitu pembaptisan dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus).
2) Dalam hal penggunaan material/ air tersebut, ditentukan menurut KHK kan 854, yaitu baptisan yang sah adalah dengan ‘immersion’/ tenggelam, ataupun ‘pouring’/ dituang; atau sesuai dengan hasil ketetapan konferensi uskup di Indonesia.
3) Dalam kondisi tertentu ada juga pembaptisan dilakukan dengan diperciki air, walaupun ini dikatakan valid tetapi tidak licit, artinya sah tetapi tidak layak/ tidak sesuai dengan norma yang berlaku. Dengan memakai prinsip ini, maka kita ketahui bahwa baptisan dengan sedikit air tetap sah walaupun tidak memenuhi norma yang berlaku.
4) Memang tadinya saya bersama Romo Wanta setuju untuk menyatakan bahwa baptisan anak anda itu tidak sah karena hanya ditempel/ terlalu sedikitnya air, namun sebenarnya, mungkin yang lebih tepat adalah kami meragukan apakah memang benar ada air di situ. Jika Erwin yakin ada airnya, maka baptisan itu sah walaupun tidak layak/ tidak sesuai norma. Tidak perlu dilakukan baptis ulang, karena memang Baptisan hanya perlu satu kali dilakukan.
5) Kalau Erwin ragu/ tidak yakin bahwa di situ ada airnya (ada air atau tidak pada saat pembaptisan), maka yang dapat dilakukan adalah melakukan Conditional Baptism atau Baptis dengan bersyarat.
Kan. 869 – § 1. "Jika diragukan apakah seseorang telah dibaptis, atau apakah baptisnya telah diberikan secara sah, dan setelah penyelidikan serius keraguan itu masih tetap ada, maka baptis hendaknya diberikan dengan bersyarat."
6) Hal ini dapat dilakukan dengan mengatakan,
"Kalau engkau belum dibaptis, aku membaptis engkau di dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus."
7) Contoh yang belum lama terjadi yaitu pembaptisan yang dilakukan oleh Bapa Paus pada seorang ibu berkebangsaan Afrika. Ibu ini berambut lebat dan keriting sedemikian, sehingga sewaktu dibaptis airnya hanya lewat di rambut, dan tidak turun ke dahi (atau jika turun mungkin sedikit sekali) dan kamera merekam semuanya, karena airnya dari rambut malah tertumpah ke lantai. Namun dalam kasus demikian, baptisannya tetap sah. Rambutnya dianggap sebagai ‘extension’/ perpanjangan dari kepalanya. Dan seberapapun sedikit air sampai ke dahi, tetap membuat baptisan itu sah, sebab dalam Baptisan tersebut terdapat materia (air) dan forma (perkataan doanya) yang memenuhi syarat.
Sekian jawaban dari kami, semoga memberikan kejelasan dan ketenangan batin bagi Erwin.
Salam kasih http://www.katolisitas.org
Ingrid dan Romo Wanta
Shalom bu Ingrid,
Terima kasih banyak atas penjelasan yang sangat menenangkan. Saya dan istri sangat lega mendengarnya.
Namun pada poin 5 & 6 dari jawaban bu Ingrid, apakah berarti saya boleh “membaptis ulang” anak saya dirumah sendiri? Dengan menggunakan rumusan tersebut? Hanya agar memastikan anak saya mendapat baptisan yang valid dan sesuai dengan norma.
Dosa apakah yang saya akan terima bila saya melakukannya? Mengingat saya melakukannya demi cinta dan keselamatan jiwa anak saya, saya berharap bukan dosa berat, apakah saya harus menerima sakramen pengakuan?
Salam,
Shalom Erwin,
Jika anda yakin bahwa pada waktu pembaptisan yang lalu sudah ada airnya, maka sebenarnya anda tidak perlu melakukan ‘baptis ulang’. Namun jika Erwin ragu, memang, dapat diadakan Conditional Baptism atau Pembaptisan dengan bersyarat dengan rumusan pada no. 6 tadi. Memang dalam keadaan darurat/ mendesak, misalnya dalam keadaan bahaya maut, setiap orang dapat membaptis, asal dilakukan dengan materia (air) dan dengan forma (perkataan doa) yang benar.
Hal ini disebutkan dalam KGK 1256:
Biasanya pelayan Pembaptisan adalah Uskup dan imam dan, dalam Gereja Latin, juga diaken. Dalam keadaan darurat setiap orang, malahan juga seorang yang belum dibaptis, dapat menerimakan Pembaptisan, asal saja ia mempunyai niat yang diperlukan: Ia harus bersedia melakukan, apa yang dilakukan Gereja , waktu Pembaptisan, dan memakai rumusan Pembaptisan yang trinitaris. Gereja melihat alasan untuk kemungkinan ini dalam kehendak keselamatan Allah yang mencakup semua orang dan perlunya Pembaptisan demi keselamatan.
Dalam kasus anak Erwin, jika akhirnya diputuskan untuk melakukan Pembaptisan bersyarat, maka saya ingin Erwin merenungkan, apakah ada kondisi darurat, sehingga Erwin ingin melakukan sendiri Pembaptisan tersebut? Jika tidak ada kondisi darurat, maka saya menganjurkan agar Erwin tetap memanggil Pastor untuk melakukan Baptisan bersyarat tersebut. Sesungguhnya upacara tersebut dapat dilakukan di rumah, secara sederhana saja, dengan memakai rumusan tadi, yaitu, "Kalau engkau belum dibaptis, aku membaptis engkau di dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus."
Saya rasa jika disampaikan dengan tulus, maka pastor kenalan anda itupun rasanya dapat memahami keraguan dan kegelisahan anda, dan dapat bersedia untuk melakukan Baptisan dengan bersyarat tersebut.
Sebenarnya kita tidak berdosa apapun jika kita membaptis seseorang dalam kadaan darurat, malahan itu dianjurkan, sesuai dengan KGK 1256. Namun jika tidak dalam keadaan darurat, dan memang ada pastor yang dapat melakukannya, saya rasa itu lebih baik, karena itu mengikuti ketentuan yang berlaku.
Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
Ingrid Listiati
Sekali lagi bu Inggrid, terima kasih…
Anda benar2 utusan Tuhan bagi umatNya, membawa pencerahan dan dan ketenangan batin, syukur kepada Tuhan untuk website ini dan para moderatornya.
Saya tidak akan membaptis ulang anak saya, saya sekarang yakin sekali bahwa anak saya sudah dibaptis karena saat itu memang ada airnya walaupun sedikit sekali.
Namun, muncul rasa ingin tahu saya, apakah konsekwensinya bila ada orang katolik non klerikal yang membaptis (dengan material dan forma yang benar) tetapi tidak dalam keadaan darurat? Apakah baptisan itu sah? Apakah orang katolik itu berdosa?
Saya tidak akan melakukan hal ini, cuma tiba2 mncul pertanyaan itu saja.
Salam,
Shalom Erwin,
Maaf ya, jawaban saya terlambat. Berikut ini adalah jawaban yang dapat saya tuliskan mengenai pertanyaan anda, bagaimana jika ada orang awam yang tidak dalam keadaan darurat namun membaptis dengan cara (materia dan forma) yang benar.
1) Kan. 861- § 1.
Pelayan biasa baptis adalah Uskup, imam dan diakon, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 530, 1.
2) Kan. 861- § 2.
Bilamana pelayan biasa tidak ada atau terhalang, baptis dilaksanakan secara licit oleh katekis atau orang lain yang oleh Ordinaris wilayah ditugaskan untuk fungsi itu, bahkan dalam keadaan darurat oleh siapapun yang mempunyai maksud yang semestinya; hendaknya para gembala jiwa-jiwa, terutama pastor paroki, memperhatikan agar umat beriman kristiani diberitahu tentang cara membaptis yang betul.
3) Kan. 862
Diluar keadaan darurat, tak seorang pun boleh melayani baptis di wilayah lain tanpa izin yang semestinya, bahkan juga kepada orang-orang bawahannya sendiri.
4) KGK 1267 mengatakan:
Pembaptisan menjadikan kita anggota-anggota Tubuh Kristus. "Kita adalah sesama anggota" (Ef 4:25). Pembaptisan menggabungkan kita ke dalam Gereja. Dari dalam bejana pembaptisan dilahirkanlah umat Allah Perjanjian Baru yang unik, yang mengatasi semua batas alami dan manusiawi menyangkut negara, kebudayaan, bangsa, dan keturunan. "Dalam satu Roh kita semua, baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, baik budak maupun orang merdeka telah dibaptis menjadi satu tubuh" (1 Kor 12:13).
Sebenarnya, karena Pembaptisan juga bermaksud untuk menggabungkan yang dibaptis ke dalam Gereja, maka memang baptisan membawa implikasi praktis bahwa dalam keadaan yang wajar (tidak dalam kondisi darurat) yang membaptis adalah imam/ diakon yang resmi bertindak atas nama Gereja. Ini nanti berhubungan dengan dikeluarkannya surat baptis dari paroki yang bersangkutan. Pada kondisi darurat di mana awam membaptis seseorang, misalnya karena bahaya maut, maka jika ternyata yang dibaptis hidup, maka yang membaptis-pun seyogyanya menghubungi pastor paroki, agar yang dibaptis dapat tergabung dalam kegiatan pembinaan iman umat, dan juga menerima surat baptis.
Jadi, kalau ada orang awam yang tidak mendapat wewenang/ persetujuan Gereja, dan tidak dalam kondisi darurat, membaptis sejumlah besar orang, maka tentu akan menyebabkan masalah dalam administrasi maupun dalam hal pembinaan iman yang selayaknya diberikan oleh pihak paroki kepada seseorang yang telah dibaptis. Baptisan ini dapat dikatakan tidak dilakukan sesuai dengan norma yang berlaku (tidak licit), sebab sesuai dengan KHK, pelayan baptis adalah uskup, imam atau diakon. Kita ketahui bersama, baptisan merupakan pintu gerbang untuk penerimaan sakramen-sakramen yang lain. Melalui baptisan kita tergabung juga dalam struktur Gereja, sehingga tidak logis jika sesudah kita mengetahui makna ini, maka dalam keadaan biasa/ tidak darurat, sebagai awam yang tak mendapat wewenang/ persetujuan Gereja, ingin membaptis sendiri, ataupun ada orang yang memilih untuk menerima baptisan dari awam yang tidak mendapat wewenang/ persetujuan Gereja. Keadaannya akan berbeda, jika orang awam itu memang mendapat tugas dari Gereja (Ordinaris wilayah) untuk membaptis, misalnya di daerah terpencil. Kondisi kondisi sesungguhnya termasuk darurat, maka baptisan yang diberikan sah/ valid dan licit. Maka orang awam yang membaptis dalam keadaan darurat ini tentu saja tidak berdosa.
Maka kesimpulannya, jika ada orang awam yang setelah mengetahui makna pembaptisan, kemudian mumutuskan untuk membaptis orang lain tanpa wewenang Gereja, apalagi setelah diberi peringatan larangan dari pihak Gereja, tetap melakukannya, maka ia berdosa. Pelanggaran yang dilakukannya menyangkut ketidak-taatan kepada pihak pemimpin Gereja, sesuatu yang mungkin perlu ditelusuri lebih lanjut, sebab bisa jadi akarnya adalah ‘pride’/ kesombongan. Jika ini yang terjadi (dilakukan dengan pengetahuan dan kesadaran penuh, KGK 1859), maka yang membaptis tersebut berdosa berat (mortal sin).
Namun jika ia melakukannya karena benar-benar tidak tahu konsekuensinya, saya pikir (ini pendapat saya) ya dia tidak berdosa berat, walaupun (ini menurut pendapat saya juga), dia tetap berdosa, sebab menurut akal sehat (common sense) mustinya dia tahu bahwa pelayan baptis yang umum ya Uskup, romo, dan diakon, yang ditahbiskan dan resmi mewakili Gereja.
Saya harap, pertanyaan Erwin ini hanya ‘seandainya’, sebab terus terang, saya belum pernah mendengar ada orang awam yang tidak mendapat wewenang Gereja, namun membaptis (yang tidak dalam keadaan darurat). Di sinilah pentingnya katekisasi umat, supaya umat mendapat pengetahuan yang semestinya tentang hal-hal praktis yang berkaitan dengan pengajaran iman.
Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
Ingrid Listiati
Saya mau tanya untuk nama baptis, sering ditemui ada orang yang menggunakan nama baptis, misalnya Stephanie, nama Stephanie itu apakah asalnya dari kata Stephanus/Stefanus? Mohon informasinya, terima kasih. Tuhan memberkati:)
Shalom Chris,
Dapat saja dikatakan bahwa nama Stephanie berasal dari St. Stephanus (martir yang pertama), tetapi juga dapat dikatakan dari St. Stephanie sendiri. Ia adalah perawan dan martir di Amalfi, Italia. Pesta namanya dirayakan tanggal18 September.
St. Stephanie dan St Victor ditangkap di Damaskus pada tahun 160, pada jaman Raja Antonius Pius. Para serdadu menangkap St. Stephanie dan St. Victor, karena mereka adalah orang Kristen. St. Victor ditangkap, dipatahkan jari-jarinya, dicungkil matanya dan kemudian dipenggal kepalanya. Ketika St. Stephanie melihat ketabahan Victor dalam menghadapi penderitaannya, maka ia berseru dengan suara keras, mengatakan bahwa Victor adalah seorang yang terberkati. St. Stephanie melihat ada dua mahkota yang telah dipersiapkan, satu untuk Victor dan satu lagi untuk dirinya. Lalu ia juga dibunuh, ia diikat pada dua pohon palem yang telah dirundukkan, dan setelah dilepaskan, tubuhnya dipotong-potong. Demikian kisah keberanian dan pengorbanan oleh kedua orang kudus tersebut, yang lebih rela dibunuh sedemikian daripada meninggalkan iman mereka sebagai pengikut Kristus.
Demikian riwayat tentang St. Stephanie dan St. Victor.
Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
Ingrid Listiati
Sdr. Ingrid Istiani yang dikasihi Tuhan.
Dengan adanya Kon. Vatikan II ini, banyak kepercayaan diluar Gereja Katolik bahwa Roma seakan-akan telah memberikan lampu hijau bahwa kepercayaan mereka telah diakui kebenarannya oleh Paus, pada hal
kesesatan muncul dengan mengubah arti dokumen konsili vatikan II yaitu bahwa agama-agama itu mempunyai unsur-unsur kebenaran.
Ini ajaran konsili tetapi dirubah sedikit demi sedikit, yaitu
menjadi bahwa agama itu mempunyai unsur keselamatan, dan ini kemudian dirubah sedikit lagi bahwa semua agama mempunyai keselamatan. Kesimpulan terakhir jelas semua agama menyelamatkan.
Ini bukan ajaran dari Tuhan dan bukan hasil konsili, tetapi ajaran yang sudah diputar balikkan untuk mendukung kepercayaannya.
Ini pendapat saya, lho. Puji Tuhan.
Shalom Julius,
Mengenai adakah kebenaran di agama lain selain Katolik, Vatikan II dalam Lumen Gentium 16, menyatakan:
Penyelenggaraan ilahi juga tidak menolak memberi bantuan yang diperlukan untuk keselamatan kepada mereka, yang tanpa bersalah belum sampai kepada pengetahuan yang jelas tentang Allah, namun berkat rahmat ilahi berusaha menempuh hidup yang benar. Sebab apapun yang baik dan benar, yang terdapat pada mereka, Gereja dipandang sebagai persiapan Injil dan sebagai kurnia Dia, yang menerangi setiap orang, supaya akhirnya memperoleh kehidupan. Tetapi sering orang-orang, karena ditipu oleh si Jahat, jatuh ke dalam pikiran-pikiran yang sesat, yang mengubah kebenaran Allah menjadi dusta, dengan lebih mengabdi kepada ciptaan daripada Sang Pencipta (lih. Rom 1:21 dan 25). Atau mereka hidup dan mati tanpa Allah di dunia ini dan menghadapi bahaya putus asa yang amat berat. Maka dari itu, dengan mengingat perintah Tuhan: “Wartakanlah Injil kepada segala makhluk” (Mrk 16:15), Gereja dengan sungguh-sungguh berusaha mendukung misi-misi, untuk memajukan kemuliaan Allah dan keselamatan semua orang itu.
Mengenai topik di atas mungkin nanti akan kami tuliskan dalam artikel terpisah. Sementara ini, silakan membaca juga jawaban saya atas pertanyaan Stefana di bawah ini yang pernah saya kirimkan tgl 20 Agustus dan 25 Agustus (silakan klik). Pertanyaan Stefana kira-kira mirip dengan keadaan yang dituliskan oleh Julius mengenai hal ini.
Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
Ingrid Listiati
Shalom Pak Stef & bu Ingrid. Apakah dasar pembaptisan bayi di Gereja Katolik? Menurut teman-teman Protestan aliran Baptis, pembaptisan hanya untuk orang dewasa saja karena Alkitab jelas menyebutkan baptisan diterima untuk orang dewasa. Terima kasih sebelum dan sesudahnya atas penjelasan ini. Shalom: Isa Inigo.
[dari katolisitas: telah dijawab disini – silakan klik]
Comments are closed.