Demikianlah penjelasan perikop Luk 16:19-31 menurut penjelasan The Navarre Bible on Luke, p. 188-191:

ay. 19-31 Perikop ini menampilkan dua jenis kesalahan- 1) paham yang dimiliki orang-orang yang menyangkal bahwa jiwa tetap ada setelah kematian dan oleh karena itu terdapat penghargaan ataupun hukuman di dalam kehidupan yang akan datang; 2) dan paham orang-orang yang menginterpretasikan kemakmuran material di dalam kehidupan di dunia ini sebagai sebuah penghargaan terhadap kebenaran moral dan kesulitan/ ketidakberuntungan sebagai hukuman. Perumpamaan ini menunjukkan bahwa segera setelah kematian, jiwa dihakimi oleh Tuhan untuk segala perbuatannya – ini disebut sebagai “Pengadilan Khusus” (selanjutnya tentang hal ini klik di sini)- dan diberi penghargaan ataupun hukuman; dan wahyu ilahi sendiri sudah cukup bagi manusia untuk dapat mengimani kehidupan yang akan datang.

Di samping itu, perikop juga mengajarkan martabat yang tertanam di setiap pribadi manusia, terlepas dari keadaan sosialnya, keuangan, budaya maupun agamanya. Dan penghormatan akan martabat ini maksudnya adalah bahwa kita harus menolong mereka yang mengalami kebutuhan materi dan rohani: “Beranjak kepada konsekuensi-konsekuensi praktis yang cukup mendesak, Konsili menekankan sikap hormat terhadap manusia, sehingga setiap orang wajib memandang sesamanya, tak seorang pun terkecualikan, sebagai “dirinya yang lain”, terutama mengindahkan perihidup mereka beserta upaya-upaya yang mereka butuhkan untuk hidup secara layak, supaya jangan meniru orang kaya, yang sama sekali tidak mempedulikan Lazarus yang miskin itu.” (Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes, 27) ….

ay. 22-26.  Harta duniawi, seperti juga penderitaan, adalah sementara; kematian akan menandai akhir dari semua itu, dan juga akhir dari masa ujian kita, kemampuan kita untuk melakukan dosa ataupun mencapai penghargaan karena melakukan perbuatan-perbuatan baik; dan segera setelah kematian, kita akan mulai menikmati penghargaan kita atau menderita hukuman yang sesuai. Magisterium Gereja telah menentukan bahwa jiwa-jiwa yang meninggal dunia dalam keadaan rahmat Tuhan langsung masuk surga, atau setelah mengalami masa pemurnian, jika diperlukan. “Kita percaya akan kehidupan kekal. Kita percaya bahwa jiwa-jiwa dari semua orang yang meninggal dunia dalam rahmat Kristus -apakah mereka masih harus menjalani masa pemurnian di Api Penyucian, atau pada saat meninggalkan tubuh mereka [langsung] diterima oleh Kristus…- pergi untuk membentuk suatu umat Tuhan yang mengatasi kematian, kematian yang akan seluruhnya dihancurkan pada hari kebangkitan ketika jiwa-jiwa ini disatukan kembali dengan tubuh-tubuh mereka” (Paus Paulus VI, Creed of the People of God, 28).

Istilah “pangkuan Abraham” mengacu kepada suatu tempat atau keadaan “yang ke dalamnya jiwa-jiwa orang benar diterima, sebelum kedatangan Kristus Tuhan, dan di mana tanpa mengalami kesakitan, tetapi ditopang oleh pengharapan akan penebusan, mereka menikmati istirahat yang damai. Untuk membebaskan jiwa-jiwa orang benar inilah, yang di pangkuan Abraham mengharapkan kedatangan Sang Penyelamat, Kristus Tuhan turun ke tempat penantian” (St. Pius V, Catechism I, 6,3).

ay. 22. “Baik orang kaya maupun sang pengemis wafat dan dibawa ke hadapan Abraham, dan di sana pengadilan diadakan sesuai dengan perbuatan mereka. Dan Kitab Suci mengatakan kepada kita bahwa Lazarus memperoleh penghiburan, tetapi orang kaya tersebut memperoleh penyiksaan. Apakah orang kaya itu dihukum karena ia mempunyai harta, sebab ia berlimpah dalam kekayaan duniawi, sebab ia, “berpakaian jubah ungu  dan kain halus dan setiap hari bersuka ria dalam kemewahan?” Tidak,  saya katakan bukan karena alasan itu. Orang kaya itu dihukum sebab ia tidak memberikan perhatian kepada orang yang lain itu, sebab ia gagal untuk memperhatikan Lazarus, seorang yang duduk di depan pintunya, yang ingin memakan remah-remah dari mejanya. Tidak di manapun Kristus mengecam kepemilikan barang-barang duniawi. Sebaliknya, Ia mengucapkan kata-kata yang keras menentang mereka yang menggunakan harta miliknya dengan cara mementingkan diri sendiri, tanpa memperhatikan kebutuhan-kebutuhan sesama [….]

“Perikop orang kaya dan Lazarus harus hadir di ingatan kita, harus membentuk hati nurani kita. Kristus menuntut keterbukaan kepada saudara-saudari kita yang membutuhkan pertolongan – keterbukaan dari para orang kaya, yang berkelimpahan, yang secara ekonomi beruntung; keterbukaan kepada yang miskin, kepada mereka yang tidak berkembang dan mereka yang tidak beruntung. Kristus menuntut keterbukaan yang lebih dari sekadar perhatian yang lemah lembut, lebih dari pemberian tanda hadiah atau usaha-usaha setengah hati yang menjadikan kaum miskin sebagai kaum yang tertinggal/ terbuang sebagaimana sebelumnya atau bahkan lebih parah lagi [….]

“Kita tidak dapat berdiam diri, menikmati kekayaan dan kebebasan kita, jika di suatu tempat yang lain, ada Lazarus di abad ke duapuluh ini yang berdiri di depan pintu kita. Di dalam terang perumpamaan Kristus, kekayaan dan kebebasan maksudnya adalah tanggung jawab istimewa. Kekayaan dan kebebasan menciptakan kewajiban yang istimewa. Dan di dalam nama solidaritas yang mengikat kita semua bersama dalam kemanusiaan yang sama, saya kembali mewartakan martabat setiap orang: baik orang kaya maupun Lazarus adalah manusia, keduanya sama-sama ditebus oleh Kristus dengan harga yang mahal, harga “darah Kristus yang berharga” (1 Pet 1:19)” (Paus Yohanes Paulus II, Homily in Yankee Stadium, 2 October, 1979)

ay. 24-31. Dialog antara orang kaya dan Abraham adalah dramatisasi yang bertujuan untuk membantu orang mengingat pesan dari perumpamaan itu: jelaslah, di neraka tidak ada tempat untuk perasaan belas kasihan kepada sesama: di neraka, kebencian terus ada. “Ketika Abraham mengatakan bahwa ‘di antara kita terdapat jurang yang tak terseberangi…’ia memperlihatkan bahwa setelah kematian dan kebangkitan, tidak ada ruang buat segala bentuk pertobatan/ penyesalan. Orang-orang yang jahat tidak akan menyesal dan masuk Kerajaan, demikian juga tidak akan ada orang benar yang berdosa dan turun ke neraka. Terdapat jurang yang tak terseberangi” (Aphraates, Demonstratio, 20; De sustentatione egenorum, 12). Ini membantu kita memahami apa yang dikatakan oleh St. Yohanes Krisostomus: “Saya meminta kepadamu, dan memohon kepadamu dan berlutut di kakimu, saya mohon: sepanjang kita menikmati masa hidup yang singkat ini, biarlah kita bertobat, biarlah kita berbalik, biarlah kita menjadi lebih baik, sehingga kita tidak perlu meratap yang tidak berguna seperti si orang kaya ketika kita meninggal dunia dan di mana air mata kita tak berguna sedikitpun. Sebab bahkan jika kamu mempunyai seorang ayah dan seorang anak atau seorang teman atau siapapun juga yang mungkin berpengaruh/ dekat dengan Tuhan, tak akan ada seorangpun yang dapat membebaskan kamu, sebab perbuatan-perbuatan kamu sendiri menghukum kamu.” (St. John Chrysostom, Homily on 1 Cor)