Pertanyaan:
1.Apakah gerak-gerik liturgis ( duduk, berlutut, membungkuk dll) merupakan inti ajaran iman katolik?
2.Apa sanksinya jika kita tidak mengikuti gerak gerik liturgis tersebut?
3.Apakah ketidak patuhan dan ketidakmauan mengikuti gerak gerik liturgis merupakan dosa? Dosa besar atau kecil?
Catatan : Dalam kebaktian di gereja Pantekosta, umatnya bertepuk tangan dan menangis yang mana tidak bisa ( sulit ) diikuti juga oleh umat katolik.
4.Kalau ada dosa yang berkaitan dengan ketidak patuhan atas tata cara liturgis, apakah dosa tersebut bersifat objektif universal yang berlaku bagi semua manusia? Kalau tidak obyektif dan universal, mengapa harus dianggap dosa? Atau dengan kata lain mengapa harus ada dosa liturgis yang ekslusif dibebankan bagi umat katolik?
5.Mengapa pada saat mendengarkan pembacaan pertama dan kedua pada hari minggu, umat dipersilakan duduk, sedangkan pada saat pembacaan Injil, umat berdiri? Bukankah ketiga bacaan itu dari Alkitab yang sama? Apakah karena terdapat perbedaan kualitas isi Sabda Allah antara bacaan pertama kedua dengan yang ketiga? Ada yang tidak logis dalam aturan duduk dan berdiri pada saat pembacaan bagian kitab suci.
6.Apa efek bagi kualitas hidup beriman kalau mengikuti Misa yang disertai pendupaan dan yang tidak disertai pendupaan?
Terima kasih atas kesediaan Bapak Ibu dan pembaca lainnya yang berkenan membantu memberikan penjelasan kepada kami. Herman Jay,
Jawaban:
Shalom Herman Jay,
1. Gerak gerik liturgis (duduk, berlutut, berdiri, membungkuk dll) bukan merupakan inti ajaran iman katolik, karena sikap demikian lahir dari suatu penghayatan akan makna yang ingin disampaikannya. Namun sikapnya sendiri (duduk, berlutut, berdiri, dst) bukan inti ajaran Gereja Katolik.
2. Maka sangsinya jika tidak mengikutinya itu tergantung dari alasannya mengapa tidak melakukan hal itu. Misalnya, berlutut pada saat konsekrasi itu alasannya adalah karena kita menyadari bahwa saat itu adalah saat yang sangat kudus, saat Yesus mengubah roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah-Nya, dan bahwa Yesus sungguh-sungguh hadir pada saat itu. Kalau orang tidak mau berlutut karena sedang sakit kaki/ sakit lutut, maka itu berbeda kasusnya dengan tidak mau berlutut karena tidak menyakini bahwa Yesus sungguh-sungguh hadir dalam rupa roti dan anggur itu. Jadi kasus yang pertama sesungguhnya dapat dikatakan tidak merupakan dosa (jika sakitnya memang tidak memungkinkan untuk berlutut) namun di kasus kedua, itu berdosa, jika ia Katolik, namun berkeras tidak percaya kepada salah satu doktrin yang utama, yaitu kehadiran Yesus yang nyata dalam Ekaristi (the real presence of Christ in the Eucharist). Jadi masalahnya saya rasa bukan pada sangsinya, melainkan alasannya.
3. Dengan prinsip ini kita akan menjawab pertanyaan anda:
Apakah ketidak patuhan dan ketidakmauan mengikuti gerak gerik liturgis merupakan dosa? Dosa besar atau kecil?
Catatan : Dalam kebaktian di gereja Pantekosta, umatnya bertepuk tangan dan menangis yang mana tidak bisa ( sulit ) diikuti juga oleh umat katolik.
Jika alasannya anda ketahui, maka anda akan dapat menentukan apakah ketidakpatuhan itu adalah dosa ringan atau dosa berat. Sebab sebuah tindakan dikatakan sebagai dosa berat adalah jika memenuhi 3 syarat: 1) obyeknya termasuk berat/ serius; 2) orang itu tahu jika itu salah; 3) walaupun tahu itu salah namun tetap dilakukan.
Jadi yang menjadi masalah di sini bukan semata-mata “gesture”-nya/ sikap gerak geriknya, tetapi alasan di baliknya itu apa. Jika alasannya karena tidak mau menghormati Tuhan Yesus, tentu ini termasuk obyek yang berat/ serius, dan jika dilakukan karena kekerasan hati, dengan pengetahuan penuh, maka dapat dikatakan dosa berat. Tetapi kalau alasanya karena sakit kaki, atau tidak paham betul akan maknanya karena tidak mendapat formasi yang baik pada masa katekumen, misalnya, maka ini tidak menjadikannya sebagai dosa berat. Dengan prinsip yang sama, maka jika umat Protestan yang datang ke gereja Katolik, tidak dapat memahami atau mengikuti gerak gerik dalam Misa Kudus, karena penghayatan mereka yang berbeda, mereka tidak dapat dikatakan ‘berdosa berat’.
4. Dengan prinsip di atas, maka kita melihat bahwa ketidakpatuhan terhadap tata cara liturgis itu tidak otomatis dapat dikatakan sebagai dosa berat. [Hanya jika pelanggaran itu memenuhi 3 syarat di atas, baru dapat dikatakan dosa berat]. Mungkin yang bisa dihubungkan adalah dosa ringan karena setidak-tidaknya mengganggu kesatuan liturgis dengan umat yang lain.
Maka yang harus dipahami di sini adalah bahwa bukan ketidakpatuhan terhadap gerak- gerik liturgis itu sendiri yang dijadikan fokus untuk menilai apakah itu dosa atau tidak. Sebab yang lebih penting di sini adalah alasan di baliknya. Jadi sebenarnya tidak ada istilah dosa liturgis. Klasifikasi dosa adalah: 1) Dosa asal yang diturunkan oleh Adam dan Hawa (ini sudah dihapuskan Pembaptisan) 2) Dosa pribadi yang kita lakukan sendiri, yang terdiri dari dosa berat dan dosa ringan (Dosa pribadi juga sebenarnya sudah dihapuskan pada saat Pembaptisan, tetapi setelahnya kita masih dapat jatuh dalam dosa, entah dosa berat atau ringan).
Sedangkan kalau mau ditarik secara horizontal, maka kita mengenal dosa pribadi (masing-masing orang), dan dosa komunal (kalau sudah menjadi dosa komunitas, seperti kurang menjaga kebersihan lingkungan bersama, sistem kemasyarakatan yang koruptif, dst)
5. Kita berdiri pada saat Bacaan Injil karena kita mengakui bahwa Injil itu mengandung perkataan Yesus sendiri, atau mengajarkan rencana KeselamatanNya. Jadi “berdiri” itu menunjukkan fokus perhatian kita kepada Tuhan Yesus, yang memang menjadi pusat perhatian kita sepanjang Misa Kudus. Ini bukannya untuk menunjukkan bahwa bacaan Kitab Suci yang lain (di luar Injil) tidak penting atau kurang penting, tetapi “berdiri” pada pembacaan Injil dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa pada Injil-lah tergenapi nubuat Perjanjian Lama atau pada Injillah surat-surat para rasul bersumber.
Gereja Katolik mengajarkan bahwa perayaan Ekaristi merupakan perayaan Misteri Paskah Kristus yang olehnya Yesus menggenapi karya keselamatan (lihat KGK 1067) maka pusat perhatian kita di Misa Kudus adalah Kristus. Maka walaupun kita percaya bahwa semua bacaan Kitab Suci adalah Sabda Allah, namun secara khusus kita menghormati perkataan/ pengajaran yang secara langsung disampaikan oleh-Nya atau berhubungan dengan Misteri Paska-Nya.
6. Apa efek bagi kualitas hidup beriman kalau mengikuti Misa yang disertai pendupaan dan yang tidak disertai pendupaan?
Sebenarnya secara sederhana, jawabnya adalah tidak berefek. Pendupaan hanyalah merupakan lambang doa- doa yang terangkat ke hadirat Tuhan, seperti yang pernah dibahas di sini, silakan klik. Namun tanpa ukupan dupa, juga doa- doa umat beriman tetap naik ke hadirat Allah. Umumnya, Misa dengan pendupaan dilakukan pada Misa hari raya/ hari Minggu, sedang yang tanpa pendupaan pada misa hari biasa. Tentu jika dikatakan tidak ada efeknya, bukan untuk mengatakan bahwa “kalau begitu ke gereja hari Minggu dan hari biasa itu sama saja.” Sebagai umat Katolik yang sudah dibaptis memang kita harus menguduskan hari Tuhan (yaitu hari Minggu untuk memperingati hari kebangkitan-Nya), maka Misa Kudus hari Minggu tidak dapat digantikan dengan Misa pada hari biasa.
Kualitas hidup beriman tidak tergantung dari pendupaan, tetapi tergantung dari rahmat Tuhan yang diterima melalui doa, firman Tuhan dan Sakramen, dan kemudian dari kerjasama antara orang yang bersangkutan dengan rahmat Tuhan yang ia terima tersebut, dengan hidup di dalam kekudusan.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- www.katolisitas.org
yth. tim katolisitas,
saya merasa bingun dengan tata perayaan ekaristi kita umat katolik.. letak kebingungan saya adalah waktu piala dan hosti besar diangkat,, yang membuat saya bingung, kadang misdinar atau pelayan altar menggoyangkan lonceng dan kadang tidak digoyang loncengnya, sebenarnya mana yang tepat,apakah goyang lonceng atau tidak.. mohon penjelasan. trimsssss
Shalom Orist, Ada bunyi lonceng atau tidak, tidak mempengaruhi makna perayaan Ekaristi, dalam hal ini pada saat konsekrasi. PUMR (Pedoman Umum Misale Romawi) tidak mensyaratkan secara mutlak bahwa lonceng harus dibunyikan pada saat konsekrasi, walaupun kalau dibunyikan itu juga baik, sebagai tanda bagi umat, akan sakralnya momen konsekrasi, di mana oleh kuasa Roh Kudus, melalui perkataan Sabda Tuhan yang diucapkan oleh imam, maka roti dan anggur diubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus (ini disebut Transubtansiasi). Maka yang hakiki mengakibatkan Transubstansiasi adalah perkataan Sabda Tuhan, bukan bunyi lonceng. Bunyi lonceng itu hanya sebagai pendukung suasana yang sakral itu, namun bukan esensi… Read more »
Shalom Katolisitas,
Tentang berlutut saat pengucapan kata “yang dikandung dari Roh Kudus, dilahirkan oleh Perawan Maria” pada Hari Raya Kabar Sukacita (25 Maret) dan Hari Raya Natal (25 Desember).
Bagaimana untuk Misa Malam Natal (24 Desember), apakah harus berlutut atau tetap membungkuk seperti yang dilakukan pada misa diluar tanggal tersebut?
Terima Kasih.
Salam Arief,
Misa Malam Natal, tanggal 24 Desember malam (bukan 24 Desember pagi-siang), dari segi waktu liturgis adalah bagian utuh dari perayaan Natal (25 Desember). Ibadat Sore I (Ibadat Harian) sudah termasuk Ibadat Harian Natal 25 Desember. Jadi ketika dalam Misa Malam Natal kita mengucapkan kata-kata pengakuan iman: yang dikandung dari Roh Kudus, dilahirkan oleh Perawan Maria” kita semua berlutut.
Salam dan doa. Gbu.
Rm B.Boli Ujan, SVD.
Mengapa hanya pada saat kalimat “yang dikandung dari Roh Kudus, dilahirkan oleh Perawan Maria” kita berlutut / membungkuk? Tidak di semua bagian kredo?
Salam Natal dan Tahun Baru, Sdr Benedictus Dwiki
Kalimat “yang dikandung dari Roh Kudus…” dipandang sebagai awal dari puncak karya agung Allah dalam diri Yesus Kristus, yaitu peristiwa inkarnasi (penjelmaan Tuhan menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus). Dalam peristiwa inkarnasi itu, Allah yang agung dan perkasa sungguh-sungguh merendahkan diri-Nya untuk menjadi manusia lemah untuk menguatkan dan menyelamatkan kita. Maka sepantasnya kita menyatakan hormat yang mendalam dan dengan rendah hati tunduk menyembah Dia yang begitu rela menjelma menjadi manusia untuk menyelamatkan kita.
Salam dan doa. Gbu.
Rm Boli, SVD
Saya mau tanya, apakah terdapat sekolah atau kursus musik organis gereja di jakarta ini ? karena sangat sulit sekali saya menemukan sekolah atau kursus musik khususnya yg ingin menjadi organis gereja.Terima kasih GBU
[Dari Katolisitas: Coba tanyakan ke KomLit KWI, Pak Asno, telpon 315 47 14]
Penggunaan layar LCD di sekitar panti Imam.
Yth tim Katolisitas, ingin saya tanyakan tentang penggunaan beberapa peralatan visual yg saat ini sering dipakai di dalam gereja Katolik.
1.Pengunaan Layar LCD di dalam gereja Katolik yg diletakkan di dalam area panti Imam bagaimanakah peraturannya.
2. Ketika Jalan Salib hari terakhir ( pada Jumat Agung ) dimana Tabernakel dalam keadaan kosong, bisakah kita memasang layar LCD didepannya hingga Tabernakel tidak tampak oleh umat , pemasangan ini hanya oleh karena alasan visualisasi prosesi jalan salib agar lebih jelas ?
mohon penjelasannya, terimakasih dan berkah Dalem
Shalom Stefanus Tribudi, Saya sudah meneruskan pertanyaan anda kepada Romo Boli, dan jika nanti ada tambahan jawaban dari beliau, nanti akan saya teruskan kepada anda. 1. Sejauh ini belum ada ketentuan tertulis untuk penggunaan layar LCD di dalam gereja Katolik. Oleh karena itu memang diperlukan kebijaksanaan (prudence) untuk menyikapinya. 2. Pada hari Jumat Agung, memang Tabernakel dalam keadaan kosong, namun menurut hemat saya, tetaplah tidak pada tempatnya untuk menempatkan layar LCD yang menutupi tabernakel tersebut. Sebab justru tabernakel yang kosong seharusnya malah dilihat oleh umat, sebagai lambang bahwa pada saat itu kita memperingati Yesus yang wafat dan dimakamkan. Jadi justru… Read more »
terima kasih bu Inggrid dan romo Boli Ujan SVD yang yelah memberi penjelasan secara gamblang semoga kami bisa belajar lebih baik menuju kepada liturgi yang sesungguhnya, berkah Dalem
Stefanus Tribudi Yth, Sampai sekarang sejauh saya tahu belum ada pedoman khusus tentang pemakaian alat LCD dalam perayaan liturgi, khususnya Ekaristi. Yang perlu diperhatikan adalah agar perayaan liturgi (Ekaristi) tidak terganggu oleh pemakaian alat itu, dalam arti konsentrasi para peraya tidak boleh dialihkan dari kegiatan liturgis yang sedang terjadi di mimbar sabda, di altar atau di kursi imam kepada hal lain oleh pemakaian alat itu. Di luar perayaan liturgi (Ekaristi) seperti kegiatan renungan/rekoleksi, menurut pendapat saya, alat itu dapat dipakai di panti imam atau lebih baik layarnya diletakkan di depan kaki altar atau di samping panti imam, bila sungguh menolong… Read more »
Saya mau menanyakan tata gerak liturgi :
1 pada waktu Imam mengkonsekrasikan hosti dan anggur mengucapkan “Inilah Tubuh-Ku…..” beberapa umat di paroki saya memposisikan tangannya seperti hendak menerima..(telapak tangan kiri diatas telapak tangan kanan), bagaimanakah aturan sebenarnya?
2. bagaimanakah posisi umat apakah berdiri dan membungkuk atau diam saja ketika putera altar mendupai umat setelah mendupai Imam pada prosesi persembahan?
3 seharusnya seperti apa posisi umat ketika pelayan komuni datang utk memberikan hosti dan sesudahnya ketika selesai, apakah umat harus berdiri dan menundukkan kepala?
terimakasih utk jawabannya.
Shalom Joko, 1. Aturan sebenarnya adalah kita umat berlutut pada saat konsekrasi; sedangkan yang tidak dapat berlutut harus melakukan penghormatan khidmat/ membungkukkan badan (profound bow)pada saat imam berlutut/ membungkuk setelah konsekrasi. Bagi saya pribadi, walaupun tidak ada ketentuan tertulisnya, alangkah baiknya jika meskipun kita sudah berlutut, tetapi tetaplah kita mengganggukkan kepala ataupun membungkuk (profound bow), bersama- sama dengan imam yang juga membungkuk/ berlutut setelah mengucapkan doa konsekrasi tersebut; sehingga penghormatan kita terhadap Tubuh dan Darah Yesus dapat kita nyatakan dalam kesatuan dengan imam yang memimpin Misa. 2. Posisi umat seharusnya membungkuk pada saat putera Altar mendupai umat. Maksudnya adalah kita… Read more »
Salam Joko, 1. Tentang sikap umat, ditulis bahwa pada saat hosti kudus yang sudah dikonsekrasikan itu dihunjukkan ke atas, umat memandang-Nya penuh khidmat, lalu ketika imam meletakkan-Nya di atas altar dan berlutut, umat turut memberikan penghormatan dengan menundukkan kepala. Sebelum dan sesudahnya umat berlutut/berdiri dengan sikap hormat. Kalau ada yang meletakkan telapak tangan kiri di atas telapak tangan kanan sebagai tanda mau terima, sebenarnya belum waktunya, baru cocok pada saat mau komuni. Tetapi kalau sikap itu mengungkapkan rasa hormat yang mendalam kp Tubuh Tuhan, tidak dilarang tetapi juga tidak ditulis demikian. Kalau mau dibuat, asal tidak mengganggu orang lain di… Read more »
Setelah 2 bulan kurang 2 hari, ternyata ada 5 rekan yang mempunyai kegelisahan dan ketidaktahuan yang sama dengan kami mengenai banyaknya aturan gerak-gerik liturgis di dalam gereja Katolik. Gereja Katolik sudah terlalu tua , walaupun Yesus sendiri sebagai pendiri Gereja adalah Alpha dan Omega, dan menyebabkan banyak latar belakang sejarah pemikiran gerak-gerik liturgis yang berasal dari puluhan abad lalu , sudah tidak diingat lagi oleh generasi penerus gereja. Memang, ingatan itu masih ada dalam memori segelintir petinggi gereja, namun bagi kebanyakan umat termasuk petinggi lainnya, pemahaman latar belakang gerak gerik liturgis tidak nyantol lagi. Akibatnya, sebagian besar dari umat melakukan… Read more »
Shalom Herman Jay, Berikut ini saya sampaikan mengenai kapankah kita perlu menunduk dan membungkuk pada saat perayaan Misa Kudus, berdasarkan ketentuan GIRM- General Instruction for the Roman Missal, yang bisa anda akses selengkapnya di http://www.romanrite.com/girm.html : 275. Hormat/ tunduk menandai penghormatan yang diberikan kepada orang- orang atau kepada tanda- tanda yang mewakili mereka. Terdapat dua jenis penghormatan: menundukkan kepala atau menunduk/ membungkukkan badan. a. Menundukkan kepala dilakukan ketika nama Trinitas disebutkan (Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus) dan setiap kali disebutkan nama Yesus Kristus dan Bunda Perawan Maria, dan nama Orang Kudus yang sedang dihormati pada saat Misa Kudus. b.… Read more »
Shalom Ibu inggrid dan pak stevan, saya ingin tanya lagi nih :) moga2 topiknya nyambung. istri saya protestan pantekosta yang notabene memberi penekanan yang lebih terhadap Roh Kudus. Dia sedang belajar katekumen. pada suatu ketika dia bertanya kepada saya, kenapa ketika membuat tanda salib Pengucapan “Roh Kudus” diletakan dipundak sebelah kiri? saya tidak bisa menjawabnya. sampai sekarang dia masih tidak mau menggunakan tanda salib karena dia takut tidak menghormati Roh Kudus, karena di alkitab ada ditulis, dosa menghujat Roh Kudus tidak dapat diampuni. dan memang latar belakang imannya masih doktrin pentakosta yang banyak menggunakan bahasa roh dll..mohon penjelasannya tentang bahasa… Read more »
Shalom Agustinus Endro, Silakan anda membaca makna Tanda Salib bagi kita umat Katolik, silakan klik. Pembuatan tanda salib ini merupakan tradisi yang diajarkan sejak jemaat Kristen awal, dan ini terus dilestarikan oleh Gereja Katolik. Membuat tanda salib harus dilihat sebagai kesatuan; suatu pengakuan atas karya Allah Trinitas dalam rencana keselamatan. Bahwa itu melibatkan bahu kiri dan kanan, karena memang untuk melambangkan sesuatu yang horizontal pasti melibatkan sisi kiri dan kanan; maka sisi kiri tidak dimaksudkan untuk mengatakan bahwa Roh Kudus disosiasikan dengan sisi kiri. Sisi kiri dan kanan dilihat sebagai kesatuan yang melambangkan karya keselamatan Allah dengan mengutus Kristus menjadi… Read more »
Yth. Katolisits Saya sering melihat umat, pada saat selesai mendoakan Bapa Kami, banyak umat menghapuskan tangan ke wajah atau hidung (setahu saya gerak seperti ini yang dilakukan oleh saudara kita umat Islam), dan juga bagaimana sebenarnya posisi tangan pada saat mendoakan doa Bapa kami, apakah boleh merentangkan tangan seperti yang dilakukan Imam, dan juga pada saat Imam mengulang kata kata Yesus pada Doa Sykur Agung, sebaiknya (atau seharusnya?), umat mengatupkan tangan sebagai bentuk penghormatan atau menengadahkan tangan (seperti sedang akan menerima sesuatu pemberian). Hal ini saya tanyakan, karena selama saya menjadi umat Katolik, belum pernah saya diajarkan, dianjurkan atau dicontohkan… Read more »
Shalom B. Siahaan, Terima kasih atas pertanyaannya tentang doa Bapa Kami dalam Misa. Memang di dalam GIRM (General Instruction of the Roman Missal), tidak disebutkan secara persis bahwa umat tidak boleh berpegangan tangan, atau tidak boleh merentangkan tangan seperti yang dilakukan oleh imam. Karena tidak ditentukan secara persis sikap tubuh dalam berdoa Bapa Kami, maka umat dapat mengekpresikan diri dengan baik tanpa menggangu jalannya Misa, dengan tetap menghormati ekspresi dari umat yang lain untuk berdoa dengan baik. Oleh karena itu, sebaiknya pastor tidak meminta seluruh umat untuk bergandengan tangan ketika berdoa Bapa Kami dalam Misa hari Minggu, karena tidak semua… Read more »
Sepengetahuan saya , saat Doa Bapa Kami di misa , umat tidak diperkenankan tangannya terbuka seperti Pastor . Sebab yang boleh menengadahkan tangan hanya Imam . Umat yang terbaik adalah mengatupkan kedua telapak tangan , dan diletakkan pada dada. Sebab pada saat itu adalah saat bersatunya Roh Kudus dengan kita dengan perantaraan kedua telapak tangan yang mengatup dan berada di hati kita. Sebab kita menghadap Tuhan harus juga dengan segenap hati.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan….
pelajaran diatas di dapat saya dari suster Belanda .(guru agama saya masih kecil). Mohon koreksi jika salah.
Shalom Sakerah, Bagi saya pribadi, memang sebaiknya sikap dalam berdoa Bapa Kami, kita mengambil sikap doa, dengan mengatupkan tangan dengan jari-jari menuju ke atas, atau sikap berdoa yang lain dengan kedua tangan dikatupkan di dada, dll. Namun, seperti yang saya tulis sebelumnya, di dalam GIRM (General Instruction of the Roman Missal), tidak ada sikap yang ditentukan. Oleh karena itu, kalau ada orang yang menengadahkan tangan (asal tidak terlalu menarik perhatian, misal dengan mengangkat tangan tinggi-tinggi), maka tidaklah menjadi masalah. Hal yang sama juga ditegaskan oleh Cardinal Arinze – Prefect Emeritus of the Congregation for Divine Worship and the Discipline of… Read more »
Shalom Pak Stef, Bagaimana dengan sikap sebagian besar umat yang saya amati di paroki saya, yang enggan menjawab “Amin!” secara jelas saat menerima komuni? Padahal, yang membagikan komuni selalu mengucapkan “Tubuh Kristus!” secara jelas kepada setiap umat yang menerima komuni. Bukannya menghakimi…. Saya amati, sebagian besar umat hanya membuka sedikit mulutnya seperti menjawab “Amin!” tetapi tanpa suara sama sekali. Atau, sebagian lagi sama sekali tidak membuka mulutnya saat itu untuk menjawab “Amin!” (atau mungkin ada menjawab, tapi menjawab dalam hatinya). Nah, umat yang begini ini yang selalu mengangkat tangannya tinggi-tinggi seperti menyembah sesaat sebelum komuni diletakkan di tangannya. Hanya sebagian… Read more »
Shalom Lukas, Ya, sangat disayangkan bahwa banyak umat Katolik tidak terlalu memahami iman-nya, sehingga kurang menghayatinya. Sebab jika kita benar- benar memahami dan menghayati bahwa Yesus sungguh- sungguh hadir dalam perayaan Ekaristi, maka pasti kita akan sungguh- sungguh mempersiapkan diri setiap kali kita akan mengikuti Misa Kudus. Mulai dari persiapan rohani, tetapi juga persiapan jasmani. Tidak terlambat datang ke gereja dan tidak mengobrol di gereja. Tidak berpakaian asal- asalan, dan tidak melamun atau bahkan ketiduran. Tetapi kita akan sungguh- sungguh berdoa, dan turut bernyanyi dan menjawab dari hati semua ucapan teks dalam Misa. Tuhan hadir di tengah kita! Apakah ada… Read more »
Shalom Bu Ingrid, Terima kasih banyak atas tanggapannya. Setelah saya menyadari bahwa Tuhan Yesus benar-benar hadir di dalam setiap perayaan Ekaristi, saya menemukan harta karun yang sungguh tak ternilai. Sungguh indah mengikuti Ekaristi yang adalah “Perayaan Surga di atas bumi” kata Paus Yohanes Paulus II. Bayangkan, perayaan di surga juga kita rayakan di atas bumi di dalam perayaan Ekaristi. Sungguh membahagiakan memiliki pendamping hidup yang sama-sama Katolik, sehingga kami bisa bersama-sama menghadiri ‘Perjamuan Pesta Anak Domba’ yang tuan pestanya adalah Tuhan Yesus itu sendiri. Mengenai berpakaian saat menghadiri misa, saya pernah ditegur oleh istri saya. Katanya: “Masa kalo pergi ke… Read more »
Salam Damai. Salam kenal buat bu Ingrid yg mengasuh kolom tanya jawab ini. Saya mau bertanya. bagaimanakah sikap tubuh kita pada saat konsekrasi ? tepatnya saat Tubuh atau Darah Kristus di angkat oleh Imam. Pernah saya baca di buku Tata Perayaan Ekaristi yg baru, disana ada tulisan kecil miring dlam kurung saat konsekrasi tulisannya kira2 begini “pada saat tubuh atau darah Kristus diangkat oleh Imam umat memandangnya dan pada saat diturunkan umat memberi hormat”. Nah…. apa yang terjadi di Paroki saya (Paroki St. Maria a Fatima Pekanbaru) pada saat konsekrasi tersebut umat hanya mengatupkan kedua tangannya di atas kepala yang… Read more »
Shalom Laurentius, Rubrik tanya jawab dalam situs ini dikelola atas hasil kolaborasi/ kerjasama antara Romo Wanta, Stef dan saya, jadi bukannya saya semdiri. Sikap tubuh kita pada saat konsekrasi seharusnya adalah seperti yang anda tuliskan, yaitu kita memandang saat Tubuh dan Darah Kristus diangkat oleh imam, dan pada saat diturunkan kita semua, menunduk memberi hormat. Dengan demikian kita memberi hormat dalam kesatuan dengan imam yang pada saat itu juga tunduk memberi hormat kepada Tubuh dan Darah Kristus. Pada saat memandang Tubuh dan Darah Kristus (dalam rupa Hosti dan anggur dalam piala), kita dapat mengucapkan dengan iman, seperti yang diucapkan oleh… Read more »
Yth. Katolisitas, Pak Stef. Dalam penjelasan mengenai mengapa umat berdiri pada saat Injil dibacakan oleh Imam, saya agak kurang setuju dengan penggunaan kata “hanya” pada kalimat : …, tetapi hanya untuk menunjukkan bahwa pada Injil-lah tergenapi nubuat Perjanjian Lama atau pada Injillah surat-surat para rasul bersumber. Kesan saya, kata tersebut memperlemah kalimat,apakah tidak sebaiknya tanpa “hanya”. Menurut hemat saya, umat berdiri ada kaitannya dengan penjelasan pada PUMR no. 29 yang mengatakan bahwa Bila Alkitab dibacakan dalam gereja, Allah sendiri bersabda kepada umat-Nya, dan Kristus sendiri mewartakan kabar gembira, sebab Ia hadir dalam sabda itu.Dan pada PUMR no. 60, jelas dikatakan… Read more »
Shalom B Siahaan, Terima kasih atas masukan anda. Ya, itu adalah keterbatasan saya dalam menggunakan kata- kata. Sebenarnya maksud saya adalah demikian: Jadi “berdiri” itu menunjukkan fokus perhatian kita kepada Tuhan Yesus, yang memang menjadi pusat perhatian kita sepanjang Misa Kudus. Ini bukannya untuk menunjukkan bahwa bacaan Kitab Suci yang lain (di luar Injil) tidak penting atau kurang penting, tetapi “berdiri” pada pembacaan Injil dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa pada Injil-lah tergenapi nubuat Perjanjian Lama atau pada Injillah surat-surat para rasul bersumber. Tadinya saya menggunakan kata “hanya”, karena memang kita harus juga melihat bahwa semua bacaan Kitab Suci adalah Sabda Allah… Read more »
Yth. katolisitas.
Salam Kasih Kristus.
Saya ingin minta tolong, mengenai artikel singkat berbahasa Indonesia, yang menjelaskan arti warna dalam gereja Katolik, perlengkapan perayaan ekaristi (Pakaian Imam, perlengkapan ekaristi) dan hal hal yang dilakukan dalam perayaan ekaristi, mengenai tata gerak umat, mesdinar dan pelayan luar biasa/prodiakon, untuk dapat digunakan dalam pendampingan umat, entah untuk komuni I, Krisma atau katekese di lingkungan.
Terima kasih dan salam,
Shalom B Siahaan, Berikut ini tentang warna- warna dalam liturgi: General Instruction of the Roman Missal, No. 346. “As to the color of sacred vestments, the traditional usage is to be retained: namely, “a. White is used in the Offices and Masses during the Easter and Christmas seasons; also on celebrations of the Lord other than of his Passion, of the Blessed Virgin Mary, of the Holy Angels, and of Saints who were not Martyrs; on the Solemnities of All Saints (1 November) and of the Nativity of Saint John the Baptist (24 June); and on the Feasts of Saint… Read more »
1.Apakah gerak-gerik liturgis ( duduk, berlutut, membungkuk dll) merupakan inti ajaran iman katolik? 2.Apa sanksinya jika kita tidak mengikuti gerak gerik liturgis tersebut? 3.Apakah ketidak patuhan dan ketidakmauan mengikuti gerak gerik liturgis merupakan dosa? Dosa besar atau kecil? Catatan : Dalam kebaktian di gereja Pantekosta, umatnya bertepuk tangan dan menangis yang mana tidak bisa ( sulit ) diikuti juga oleh umat katolik. 4.Kalau ada dosa yang berkaitan dengan ketidak patuhan atas tata cara liturgis, apakah dosa tersebut bersifat objektif universal yang berlaku bagi semua manusia? Kalau tidak obyektif dan universal, mengapa harus dianggap dosa? Atau dengan kata lain mengapa harus… Read more »