[Dari Admin Katolisitas: Berikut ini adalah pertanyaan dari Alexander Ponto, yang menyertakan surat menyurat antara dia dengan seorang temannya dari gereja Protestan. Nama temannya kami edit/ sebut saja “B“, agar tidak menyangkut ke pribadi]
Pertanyaan:
ini beberapa bagian paling akhir (saat ini) dari surat menyurat antara saya dan teman protestan saya (B). saya mohon bantuan. apakah saya ada salah pengertian?
Alexander Ponto, December 7 at 9:17am
ini jawaban dari romo : dasar kepercayaan Orang katolik adalah injil dan ajaran gereja yang menjaga pengertian yang benar mengenai Injil. Injil bisa salah dimengerti, oleh karena itu, perlu dipelajari dengan baik, dan mohon roh kudus untuk menerangi.
B, December 8 at 4:42pm
wheiz.. mantap.. tanya Romo :D
sekarang, bagaimana menurut pendapatmu tentang jawaban Romo itu? :)
Alexander Ponto December 8 at 4:47pm
biasa ae. lek mnrtmu lak apa?
B, December 8 at 4:55pm
loh.. wakakak endak endak..:P (PS: aku cegek ngeliat jawabanmu, ga sesuai ekspektasi’ku). sek sek… maksudku gin.. aku perjelasi :)
dasar kepercayaan orang katolik adalah injil dan ajaran gereja. Aku sekarang ga mempermasalahkan injil dulu :)
“ajaran gereja yang menjaga pengertian yang benar mengenai injil” => menurutmu, apakah ajaran gereja yang dah kuno itu 100% bener? apakah ada kemungkinan bahwa ajaran (pengertian) yang mereka dapatkan itu kurang bener?
“Injil bisa salah dimengerti, oleh karena itu perlu dipelajari dengan baik, dan mohon Roh Kudus untuk menerangi” => siapa yang bisa salah mengerti Injil? siapa yang bisa diterangi Roh Kudus untuk mendapatkan pengertian yang benar tentang injil?
Alexander Ponto December 8 at 6:04pm
bagiku biasa ae. soal e aku ket awal wes males mbahas ini. ora penting bagiku. *menguap*
wong ket awal aku wes ngomong lek bagiku katolik = protestan (podo wae)
————————————————————————————————-
kuno atau baru tidak menjamin 100% bener. lek km tanyak kemungkinan, kemungkinan selalu ada, baik di katolik maupun di protestan
lek mnrtku, sapa ae isa salah mengerti. rasa e seh semua orang isa diterangi roh kudus.
opo’o km menanyakan hal2 itu?
B, December 9 at 10:00am
“kuno atau baru tidak menjamin 100% bener. lek km tanyak kemungkinan, kemungkinan selalu ada, baik di katolik maupun di protestan” => that’s it… ini jawaban mantap ;) berarti, dengan jawabanmu ini, kamu mengatakan bahwa kamu ga setuju dengan kepercayaan katolik :) Lihat.. pemikiran romo (injil dan ajaran gereja 100% benar) dan pemikiranmu (injil 100% bener, tapi ajaran gereja tidak 100% benar) 100% bertolak belakang :) Sekarang kamu ngerti bahwa pikiran orang katolik (romo) dan orang kristen (kamu) ada beda’nya? :)
Sekarang, kalo kuno ato baru n katolik ato protestan ga ada yang 100% bener, berarti kita mesti mem’filter semua ajaran yang kita dengarkan, kan? dengan apa kita mem’filter’nya? :) alkitab to? :) Maka dari itu, ujilah semua ajaran2 yang kamu terima dari katolik. Kamu akan menemukan banyaaak yang salah di sono :)
“lek mnrtku, sapa ae isa salah mengerti. rasa e seh semua orang isa diterangi roh kudus.” => ini jawaban yang logis banget… kalo semua orang bisa salah mengerti, knp para orang katolik 100% percaya pada omongan Pope dan enggak di’filter? :) For your info, Pope itu dari bahasa Itali “il Papa”, yang artinya “Holy Father”. Orang katolik menyebutnya sebagai “Holy Father”, karena mereka 100% mempercayai omongan Pope mengenai pemahaman alkitab. Padahal, hanya 1 Holy Father yang ada, yaitu Allah Bapa yang Kudus di Sorga, dan ga boleh sebutan itu disebutkan pada manusia (perintah Allah ke 2 tentang idolatry, dan perintah Allah ke 3 tentang menyebut nama Tuhan dengan sembarangan)
Dikatakan bahwa Pope itu adalah regenerasi dari Petrus. Kalo Petrus ada Pope yang pertama, aku sama sekali ga percaya, karena Petrus enggak akan menyebut dirinya ataupun membiarkan orang lain menyebut dirinya Holy Father. Bahkan, kamu lihat sendiri bahwa Petrus ga mau disamakan dengan Yesus walopun itu hanya hukuman mati (penyaliban), sehingga Petrus request untuk salibnya dibailk untuk membedakan bahwa dia tidak menggantikan posisi Yesus. Lihat betapa radikal’nya Petrus untuk mengidolakan Tuhan. Padahal Yesus dont mind ada 2 orang penjahat yang disalib berdiri persis seperti Dia, krn itu enggak ngefek :)
Jawaban dari Katolisitas:
Shalom Alexander Ponto,
Kelihatannya di surat menyurat di atas, terdapat sedikitnya tiga hal yang dipermasalahkan: 1) Teman anda tidak percaya bahwa Gereja Katolik (yang dipimpin oleh Paus) tidak dapat salah mengajarkan dan menginterpretasi Alkitab/ Injil, 2) Teman anda tidak percaya bahwa Petrus adalah Paus yang pertama, 3) Menurut teman anda seharusnya kita tidak boleh memanggil Paus dengan perkataan “Holy Father” karena harusnya ucapan itu hanya untuk Tuhan.
1. Tentang Infalibilitas
Gereja Katolik (yang dipimpin oleh Paus dan para uskup) tidak dapat salah mengajarkan dan menginterpretasi Alkitab. Kristus memberikan kuasa “infalibilitas/ infallibility” kepada para pemimpin Gereja tersebut yang disebut sebagai Magisterium. Magisterium adalah Wewenang Mengajar Gereja, yang terdiri dari Bapa Paus (sebagai pengganti Rasul Petrus) dan para uskup (sebagai pengganti para rasul) dalam persekutuan dengannya. Karisma “tidak dapat sesat” (infalibilitas) yang diberikan oleh Yesus, itu terbatas dalam hal pengajaran mengenai iman dan moral. Maka kita ketahui bahwa sifat infalibilitas ini tidak berlaku dalam segala hal, namun hanya pada saat mereka mengajar secara definitif tentang iman dan moral, seperti yang tercantum dalam Dogma dan doktrin resmi Gereja Katolik. Lebih lanjut tentang Magisterium, silakan klik di sini.
Mengapa karisma infalibilitas ini perlu dan penting? Karena justru dengan karisma inilah Tuhan Yesus melindungi Gereja yang didirikanNya dari perpecahan. Tanpa kuasa wewenang mengajar dari Magisterium, maka seseorang dapat mengatakan pemahamannya yang paling benar, dan dengan demikian memisahkan diri dari kesatuan Gereja, seperti yang sudah terjadi berkali-kali dalam sejarah Gereja. Kuasa infalibilitas dari Yesus kepada Petrus dan para penerusnya diberikan oleh Yesus, pada saat Ia mengatakan kepada Petrus sesaat setelah Ia mengatakan bahwa akan mendirikan Gereja-Nya atas Petrus (Mat 16:18). Yesus berkata, “Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga.” (Mat 16:19)
Maksudnya di sini adalah Yesus memberikan kuasa kepada Petrus untuk mengajarkan tentang iman dan moral, sebagai ketentuan yang ‘mengikat’ manusia di dunia dan kelak diperhitungkan di sorga. Tanpa kesatuan pemahaman tentang iman dan moral, maka yang terjadi adalah relativisme, dan perpecahan gereja, dan ini sudah terbukti sendiri dengan adanya banyak sekali denominasi Protestan (sekitar 28.000), yang dimulai umumnya dengan ketidaksesuaian pemahaman dalam hal doktrin (baik iman maupun moral) antara para pemimpin gereja Protestan, sehingga yang tidak setuju memisahkan diri.
Maka fakta sendiri menunjukkan interpretasi pribadi tidak bisa berfungsi sebagai “filter” (istilah yang dipakai teman anda) bagi pengajaran Paus dalam hal iman dan moral. Karena pengajaran Paus (Magisterium) dalam hal iman dan moral sudah pasti 100% benar, sehingga tidak perlu difilter. Mereka mengajarkan berdasarkan sumber dari pengajaran para rasul dan Bapa Gereja yang langsung/ lebih dekat terhubung dengan Kristus, sedangkan kita sekarang terpisah sekian abad dari jaman Kristus. Tentu mereka lebih memahami maksud Kristus daripada kita. Menganggap kita harus “mem-filter” ajaran para rasul itu sama saja dengan menganggap diri “lebih tinggi dari para rasul”. Ini menurut saya adalah kesombongan rohani. Sebab klaim teman anda bahwa ‘filter’nya adalah Kitab Suci, sebenarnya tidak tepat, karena nyatanya yang dijadikan ‘filter’ adalah interpretasi pribadi tentang ayat- ayat Kitab Suci. Kita juga dapat melihat faktanya, kalaupun pengajaran para rasul dan Bapa Gereja ini “difilter” dengan pandangan pribadi, hasilnya malah perpecahan, dan akhirnya kebenaran dianggap sebagai sesuatu yang relatif. Ini akhirnya menghasilkan faham ketidakpedulian akan agama (religious indifferentism) karena orang berpikir semua pendapat toh akhirnya bisa ‘benar’, sehingga orang tidak peduli pada agama, seperti yang sudah terjadi terutama di negara- negara Eropa.
Yesus, dalam kapasitas-Nya sebagai Allah yang Maha tahu, sudah mengetahui akan kemungkinan ini, pada masa Ia hidup di dunia sebagai manusia. Maka, Yesus hanya mendirikan satu Gereja, dan Ia berjanji bahwa Gereja-Nya tidak akan dikuasai oleh maut (lih. Mat 16:18), artinya tidak akan disesatkan oleh Iblis hingga binasa. Yesus yang mengajarkan perkawinan adalah antara satu laki-laki dan satu perempuan, juga pasti akan menerapkan hal itu sendiri, ketika melalui Rasul Paulus, Ia mengatakan bahwa Ia adalah seumpama Mempelai laki-laki, dan Gereja-Nya adalah mempelai perempuan (Ef 5:22-33). Sebelum sengsaraNya, Ia juga berdoa kepada Allah Bapa, agar para rasul-Nya dan pengikut- mereka (yaitu kita semua sebagai anggota Gereja-Nya) bersatu (Yoh 17:20-23). Dan tentu kesatuan ini termasuk dan terutama dalam kesatuan Baptisan dan kesatuan ajaran, sebagai pesan Yesus yang terakhir yang diberikan kepada para rasul-Nya sebelum Ia naik ke surga (lih. Mat 28:19-20).
Maka penting di sini bagi kita untuk memahami Kitab Suci sesuai dengan pengajaran para rasul, agar kita dapat sungguh melaksanakan apa yang menjadi ajaran Kristus. Kita terhubung dengan para Rasul itu melalui para Bapa Gereja, karena para Bapa Gereja merupakan murid dari para rasul ataupun murid dari murid para rasul; dengan perkataan lain, merekalah yang dengan setia meneruskan ajaran dari para rasul. Melalui kesaksian para Bapa Gereja inilah kita memperoleh kitab-kitab Injil, dan merekalah yang menentukan kanon Kitab suci, yang terdiri dari kitab-kitab yang diyakini sebagai yang diilhami oleh Roh Kudus. Silakan membaca tentang kanon Kitab Suci di sini, silakan klik.
Dengan demikian adalah suatu pandangan yang keliru, jika Gereja Katolik yang setia berpegang kepada pengajaran para rasul dan Bapa Gereja tersebut disebut sebagai Gereja yang “kuno”. Kita harus melihat Gereja itu sebagai “pemberian” Kristus yang dibentuk oleh Kristus sendiri, dan bukannya Gereja yang bisa kita bentuk sesuai keinginan hati manusia. Maka dengan pengertian ini Gereja hanya bisa kita terima, dan bukannya sesuatu yang bisa ‘didirikan’ oleh manusia atas dasar pemahaman pribadi manusia tentang suatu ajaran, yang sudah ‘disesuaikan’ atau dimodernisasi sesuai dengan kebutuhan. Ini adalah pandangan yang keliru tentang Gereja.
Nah, dengan keinginan Yesus untuk mempertahankan kesatuan Gereja-Nya, maka sudah menjadi konsekuensi bahwa Ia memberikan kuasa tidak dapat sesat/ infalibilitas kepada pemimpinnya (yaitu Bapa Paus) untuk mengajarkan hal iman dan moral. Maka infalibilitas hanya berlaku pada: 1) Ajaran yang diajarkan Paus secara “ex-cathedra” (artinya dari kursi Petrus/atas nama Rasul Petrus), maupun dalam pernyataan ajarannya yang lain, yang otentik dalam kapasitasnya sebagai Imam Agung di Roma; 2) Ajaran Paus itu menyangkut pengajaran definitif tentang iman dan moral, 3) Ajaran tersebut berlaku untuk Gereja secara universal; 4) Namun demikian, jika para uskup dalam persekutuan dengan Paus mengajarkan secara definitif tentang iman dan moral, ajaran mereka pun juga infallible/ tidak dapat sesat. Keempat hal ini dijabarkan dalam Konsili Vatikan II, menegaskan kembali apa yang telah ditetapkan dalam Konsili di Konstantinopel (869-70), Lyons (1274) dan Florence (1438-45). Pada saat ketiga syarat di atas terpenuhi, maka pengajaran tersebut dapat dikatakan sebagai pengajaran Magisterium, dan ajarannya termasuk dalam Tradisi Suci.
Tradisi Suci dan Kitab Suci inilah yang harus dilihat sebagai “deposit of faith“, perbendaharaan iman, dan keduanya tidak terpisahkan, karena bersumber pada sumber yang sama yaitu pengajaran Kristus dan para rasul. Namun, jika ketiga syarat ini tidak dipenuhi, misalnya Paus mengajar atas nama pribadi, dan bukan tentang iman dan moral, tidak pula menyangkut Gereja universal, maka pengajarannya tidak dapat dikatakan “infallible/ tidak dapat sesat.” (Contoh: Paus Benediktus XVI yang adalah seorang pianis handal, pandai juga dalam musik. Namun dalam hal musik, ajarannya tetap bisa salah, karena ia mengajar tidak dalam kapasitas sebagai Rasul Petrus, dan hal yang diajarkannya bukan tentang iman dan moral).
Interpretasi pribadi akan Kitab Suci tanpa pemahaman yang benar, sesuai dengan Tradisi Suci, akan menghasilkan perpecahan, dan ini sudah terbukti di dalam sejarah, dengan adanya 28.000 denominasi gereja protestan yang masing-masing meng-klaim, mendapat inspirasi dari Roh Kudus. Sebenarnya, jujur perlu di renungkan, mengapa jika Roh Kudus adalah Roh Kasih, Roh pemersatu dan Roh Kebenaran, mengapa orang-orang yang mengaku dituntun oleh-Nya tidak dapat lagi mengasihi (tidak lagi sabar menanggung segala sesuatu 1 Kor 13:7) sehingga harus memisahkan diri? Mengapa orang-orang tersebut tidak membuat pembaharuan di dalam Gereja seperti yang dilakukan oleh para orang kudus, tetapi malah meninggalkannya? Mengapa kebenaran yang mereka yakini bisa berbeda-beda, dan bertentangan? Dalam hal ini, sebagai umat Katolik kita perlu bersyukur, sebab dengan adanya kepemimpinan Magisterium Gereja, Gereja Katolik dapat tetap eksis dalam persatuan selama lebih dari 2000 tahun. Dengan ketaatan, umat Katolik menerima pengajaran dari Magisterium, justru karena kita yakin yang diajarkan oleh mereka mempunyai dasar dari Alkitab, pengajaran para rasul dan Bapa Gereja, dan bukan dari interpretasi pribadi.
2. Petrus adalah Paus Pertama
Petrus adalah Paus yang pertama, dan sungguh, kita tidak bisa mengingkari hal ini tanpa mengingkari fakta sejarah, yang tercatat dalam Injil (Mat 16:18). Bahwa pada saat itu ia belum dipanggil sebagai “Paus” tidak mengubah kenyataan bahwa Rasul Petrus-lah rasul yang telah dipilih oleh Kristus sebagai pemimpin Gereja-Nya. Silakan membaca lebih lanjut tentang Petrus sebagai batu karang tempat Yesus mendirikan Gereja-Nya di sini, silakan klik.
3. Tentang panggilan “bapa/ holy father” kepada Paus
Alasan mengapa kita sebagai umat Katolik memanggil “bapa” kepada Paus dan para imam, juga diambil dari Kitab Suci. Umat Protestan umumnya mengambil ayat Mat 23:9 untuk mengatakan bahwa kita dilarang menyebut siapapun di bumi dengan sebutan “bapa”. Namun pengertian ini adalah interpretasi yang melepaskan ayat ini dari konteks keseluruhan.
Fr. Ray Suriani pernah menjelaskan dengan begitu baiknya, di link ini, silakan klik, bagaimana seharusnya mengartikan ayat tersebut sesuai dengan konteks dan pesan keseluruhan Kitab Suci. Karena larangan Yesus untuk menyebut siapapun sebagai bapa di bumi ini (lih. Mat 23:9) adalah untuk memperingatkan kepada umat bahwa 1) hanya ada satu saja yang dapat kita anggap sebagai Allah Bapa; 2) janganlah seperti ahli Taurat dan orang Farisi yang senang dihormati dan dipanggil sebagai rabbi dan bapa oleh semua orang. Di sinilah pentingnya untuk mempelajari suatu ayat Kitab Suci dalam kaitannya dengan ayat-ayat yang lain di seluruh Alkitab (seperti prinsip yang dipegang oleh Gereja Katolik), karena perintah-perintah Tuhan tidak mungkin bertentangan satu dengan lainnya.
Sebab di perikop-perikop yang lain, Yesus juga menyebut orang tua sebagai bapa dan ibu (lih. Mat 10:35; 19:29). Jika Ia sungguh melarangnya, maka Ia tidak mungkin menyebutkan sendiri panggilan ini. Abraham disebut sebagai “bapa Abraham” bapa leluhur kita (Luk 16:24, Kis 7:2; Rom 4:1, Yak 2:21), dan Rasul Paulus menyebutkan dirinya sebagai bapa bagi umat di Korintus (1 Kor 4:15) dan bapa rohani bagiTimotius (1 Tim 1:2, 2 Tim 1:2), dan bagi Titus (Tit 1:4). Rasul Yohanes juga berkhotbah kepada para bapa (1 Yoh 2:14). Tentunya rasul Paulus, Yakobus dan Yohanes memiliki maksud pada saat menuliskan ayat-ayat itu. Yaitu bahwa di dalam hidup kita ini memang ada orang-orang tertentu yang diberi tugas sebagai bapa untuk berperan sebagai orang tua bagi anak-anak, mendidik dan membesarkan anak-anak mereka. Dan secara rohani, tugas kebapakan itu diberikan kepada para pemimpin umat, yaitu para pastor, seperti teladan Rasul Paulus.
Para pastor, uskup dan Paus itu berperan dalam kelahiran kita semua umat Katolik secara rohani. Mereka itu adalah yang membaptis kita umat beriman, mengajar kita, membimbing kita dan memberi teladan kepada kita bagaimana mengasihi, seperti Allah Bapa mengasihi kita. Oleh karena itu kita harus berdoa bagi para imam, uskup dan Paus, agar mereka senantiasa dapat melaksanakan tugasnya sebagai “bapa rohani” bagi kita. Kita memanggil mereka sebagai “bapa” untuk menunjukkan hormat kita kepada mereka. Sama seperti banyak pendeta Protestan yang dipanggil Rev./ Reverend oleh jemaatnya, padahal tentu hormat/ reverence juga paling layak diberikan kepada Tuhan.
Maka umat Katolik memanggil Paus sebagai “Holy Father” itu sebagai tanda hormat sebab kita mengakui bahwa ia telah dipanggil oleh Kristus untuk menjadi gambaran kekudusan dan kebapa-an dari Tuhan. Tentu pengertian ini diturunkan, tergantung dari, dan berada di bawah panggilan kita kepada Allah Bapa yang Mahakudus, dan memang tidak untuk menyaingi ataupun mengingkari keunikan kekudusan dan ke Bapa-an dari Allah Bapa.
Demikian yang dapat saya tuliskan untuk pertanyaan anda, semoga bermanfaat.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- www.katolisitas.org
Dear Katolisitas.
Mohon bantuan penjelasan terkait dengan penolakan St. Vincentius Lerins tentang doktrin Infabilitas boleh?
Terima Kasih.
——————–
Dogma Infalibilitas Paus Roma itu tidak pernah ada sejak jaman permulaan Gereja. Bahkan Petrus tidak memiliki Infalibilitas.
“Mengapa Rasul Paulus mengatakan “Sekalipunkami”? (Gal 1 : 8) mengapa tidak mengatakan “meskipun aku”? Dia menyatakan bahwa, “Sekalipun itu Petrus, meskipun Andreas, meskipun Yohanes, meskipun itu adalah seluruh rasul, mereka dinyatakan salah dalam pengajaran mereka jika memberitakan kepadamu Pengajaran lain daripada yang kami telah berikan kepadamu, dan maka terkutuklah dia.” Dia tidak berkata,”Jika ada orang yang menyampaikan pengajaran lain kepadamu maka terimalah dia, biarkan dia diberkati dan dipuji, sambutlah orang itu,”sekali-kali tidak, tetapi “terkutuklah dia,” laknat dia yaitu pisahkan hingga jadi terpisah, kucilkan, jangan sampai penyakit menular yang mengerikan dari domba yang satu mencemari kawanan Kristus dengan percampuran beracun dari mereka… Jika ada orang yang mengkhotbahkan doktrin apapun yang baru,terkutuklah dia.”
✥St. Vinsensius Lerins, Commonitory 22 (434 M)✥
Shalom Jessica Celinne,
Kutipan yang Anda ambil itu dapat dibaca selengkapnya di link ini, silakan klik. Dan jika Anda baca keseluruhannya, terutama paragraf 21 dan 22, Anda akan memahami bahwa kedua paragraf itu tidak berkata apapun untuk menentang otoritas Rasul Petrus sebagai penerus Rasul ataupun menentang infallibilitas ajaran para rasul. Sebab yang dikatakan di sana adalah “jika (if)”, dan itu adalah gaya bahasa yang dipakainya untuk menyampaikan keadaan ekstrim yang tidak mungkin terjadi sebagai ungkapan untuk menekankan bahwa “tidak ada seorangpun” yang dapat mengubah Injil, dan jika ada, maka terkutuklah orang itu.
Saya tidak tahu dari mana Anda mendapatkan terjemahan itu, tetapi nampaknya terjemahan itu tidak sepenuhnya sesuai dengan teks aslinya, dan tidak menyampaikan konteks yang lengkap dari apa yang sedang dibicarakan. Sebab yang dikecam oleh Rasul Paulus di paragraf 21 dan 22 itu adalah adanya sejumlah kaum heretik di Galatia yang menolak ajaran para Rasul dan ajaran iman Katolik. Di sanalah Rasul Paulus mengingatkan bahwa tak seorangpun, termasuk dirinya dan semua Rasul yang lain, dan tidak juga para malaikat di Surga, yang dapat mengajarkan injil yang lain daripada Injil yang telah diajarkan oleh para Rasul kepada mereka. Di sini kita melihat gaya bahasa hiperbolisme, sebab kita ketahui bahwa malaikat di Surga tidak mungkin berdosa dengan mengabarkan suatu kebohongan, dan demikian juga para Rasul, jika mereka ada dalam persekutuan dengan para Rasul lainnya.
Demikianlah saya cut and paste perikop yang dimaksud:
[21.] When therefore certain of this sort wandering about provinces and cities, and carrying with them their venal errors, had found their way to Galatia, and when the Galatians, on hearing them, nauseating the truth, and vomiting up the manna of Apostolic and Catholic doctrine, were delighted with the garbage of heretical novelty, the apostle putting in exercise the authority of his office, delivered his sentence with the utmost severity, “Though we,” he says, “or an angel from heaven, preach any other Gospel unto you than that which we have preached unto you, let him be accursed.” Galatians 1:8
[22.] Why does he say “Though we”? Why not rather “though I”? He means, “though Peter, though Andrew, though John, in a word, though the whole company of apostles, preach unto you other than we have preached unto you, let him be accursed.” Tremendous severity! He spares neither himself nor his fellow apostles, so he may preserve unaltered the faith which was at first delivered. Nay, this is not all. He goes on “Even though an angel from heaven preach unto you any other Gospel than that which we have preached unto you, let him be accursed.” It was not enough for the preservation of the faith once delivered to have referred to man; he must needs comprehend angels also. “Though we,” he says, “or an angel from heaven.” Not that the holy angels of heaven are now capable of sinning. But what he means is: Even if that were to happen which cannot happen—if any one, be he who he may, attempt to alter the faith once for all delivered, let him be accursed.
Demikian saya terjemahkan:
22. Mengapa ia mengatakan, “Meskipun kami”? Mengapa bukan “meskipun aku?” Ia bermaksud, “Meskipun Petrus, meskipun Andreas, meskipun Yohanes, dengan kata lain, meskipun semua bilangan para Rasul, mewartakan kepadamu sesuatu yang lain yang telah kami wartakan kepadamu, terkutuklah ia.” Betapa kerasnya! Ia [Paulus] tidak mengecualikan dirinya sendiri ataupun sesama Rasul lainnya, supaya ia dapat menjaga kemurnian iman yang telah diajarkan sejak semula. Dan tidak hanya itu saja. Ia melanjutkan, “Meskipun seorang malaikat dari surga mewartakan kepadamu injil yang lain daripada yang telah kami wartakan kepadamu, terkutuklah ia. Tidak cukuplah bagi pelestarian iman yang telah diwartakan untuk mengacu kepada manusia saja, ia [Paulus] harus perlu mengacu kepada para malaikat juga. “Meskipun kami”, katanya, “atau seorang malaikat dari surga.” Bukan berarti bahwa para malaikat di surga kini dapat berdosa. Tetapi maksudnya adalah: Bahkan jika terjadi apa yang tidak mungkin terjadi – jika siapapun, ia yang dapat, berusaha mengubah iman yang telah pernah diajarkan, terkutuklah ia.”
Namun nyatanya, para Rasul, baik Rasul Petrus maupun Paulus, maupun para Rasul lainnya tidak ada yang mengubah ajaran iman yang telah pernah mereka ajarkan sendiri.
Jessica, memang ada banyak orang yang mencari-cari dasar untuk menolak infalibilitas ajaran Rasul Petrus dan para penerusnya, dari tulisan para Bapa Gereja. Namun usaha ini nampaknya tidak banyak berguna untuk mendukung argumen mereka, sebab yang terjadi adalah sebaliknya. Ada begitu banyak bukti dari tulisan para Bapa Gereja yang menunjukkan keutamaan kepemimpinan Rasul Petrus dan para penerusnya.
Silakan Anda membaca terlebih dahulu artikel- artikel seri Keutamaan Petrus, silakan klik di judul-judul berikut, sebelum kita lanjutkan diskusi selanjutnya, jika memang Anda tertarik dengan topik ini:
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Paus tidak mungkin salah dalam mengajar tentang iman dan moral, apakah itu artinya juga paus tidak mungkin menyuruh orang melakukan hal yang bertentangan? maksudnya, paus dimungkinkan untuk melakukan yang bertentangan dengan agama, seperti membunuh, mencuri, dan lainnya kan? tapi, paus tidak mungkin bilang kalau mencuri itu sesuai dengan agama gitu? apakah mungkin paus menyuruh orang untuk melakukan yang bertentangan dengan agama, seperti menyuruh untuk mencuri atau membunuh?
Shalom Spatulla,
Sebagaimana disebut di artikel di atas, infalibilitas artinya adalah kuasa mengajar yang tidak mungkin salah tentang hal iman dan moral yang dirumuskan secara definitif, yang dimiliki oleh Bapa Paus saat mengajar selaku penerus Rasul Petrus, di mana ajaran tersebut berlaku untuk Gereja universal. Kuasa mengajar yang tak mungkin salah ini, diperoleh dari Kristus, yang telah memberikan kuasa tersebut kepada Rasul Petrus (Mat 16:18-19), dan kepada para penerusnya, karena Kristus berjanji akan menyertai Gereja-Nya yang Ia dirikan di atas Rasul Petrus, sampai akhir zaman (Mat 28:19-20).
Maka pernyataan definitif tentang ajaran iman dan moral, yang dikeluarkan oleh Bapa Paus, tidak mungkin mengandung anjuran agar orang melakukan hal-hal yang bertentangan dengan perintah Tuhan. Jadi terhadap pertanyaan Anda: “paus tidak mungkin bilang kalau mencuri itu sesuai dengan agama gitu? apakah mungkin paus menyuruh orang untuk melakukan yang bertentangan dengan agama, seperti menyuruh untuk mencuri atau membunuh?” Jawabannya: Paus tidak mungkin mengatakan bahwa mencuri itu sesuai dengan ajaran agama. Dan Paus tidak mungkin menyuruh orang mencuri ataupun membunuh. Sejujurnya saya yang ingin bertanya kepada Anda, atas dasar apakah Anda bertanya demikian?
Memang Paus secara pribadi tidak kebal dari dosa. Paus juga manusia biasa yang dapat jatuh dalam dosa. Bahkan ada sejumlah Paus, walaupun tidak banyak, yang hidupnya tidak mencerminkan panggilannya sebagai penerus Rasul Petrus. Beberapa di antaranya pernah kami tuliskan sekilas kisahnya di artikel ini, silakan klik. Namun demikian, umumnya, syukur kepada Allah, Paus adalah seorang yang saleh. Banyak di antaranya menjadi martir (semua Paus sejak St. Petrus sampai Paus Eusebius di tahun 309, wafat sebagai martir- dan karena itu juga disebut Santo, jumlahnya ada 31 orang) dan selanjutnya ada 47 orang Paus lainnya menjadi orang kudus/ Santo.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
To. Katolisitas
saya mau pernah berdebat bahwa imam/pastur tidak pernah salah dalam pengajaran sesuai dengan ajaran katolik dalam kotbah di Gereja…tetapi kawan saya berdebat Pendeta juga sama tidak bisa salah dalam pengajaran setelah dia membaca web ini artinya kata dia bahwa pendeta (protestan) juga diurapi Tuhan, pertanyaan kok bisa jadi begini pembicaraan , bisa menjaleskan secara jelas perbedaan dalam pengajaran (imam dan pendeta)?
terima kasih
Shalom Edie,
Sebenarnya, yang dijamin tidak dapat sesat/ infallible menurut ajaran Gereja Katolik, adalah ajaran Paus dan para uskup yang dalam persekutuan dengan Paus (yang disebut Magisterium), dengan ketentuan sebagai berikut:
1) ajaran tersebut adalah ajaran definitif
2) yang diberikan dari kursi Petrus (artinya dalam kapasitas Paus sebagai penerus Rasul Petrus).
3) tentang iman dan moral,
4) yang berlaku untuk seluruh Gereja universal
Maka, jika pastor/ imam berkhotbah tentang ajaran yang sama dengan yang diajarkan oleh Magisterium itu sesuai dengan ketentuan di atas, maka ajarannya itu infallible (tidak dapat sesat). Sedangkan kalau salah satu dari keempat syarat itu tidak dipenuhi, apalagi kalau yang dikatakan tidak sesuai dengan ajaran Magisterium, maka ajaran tersebut tidak infallible.
Dengan prinsip yang sama, maka jika seorang pendeta berkhotbah ajaran yang sama dengan ajaran Magisterium, maka ajarannya infallible (tidak dapat sesat), namun kalau tidak sesuai, maka tidak infallible. Yang menjamin infalibilitas ajaran Paus (selaku penerus Petrus) dan para uskup (selaku penerus para Rasul) adalah Kristus sendiri, atas dasar ayat Mat 16:18-19 dan Mat 18:18.
Selanjutnya tentang penjelasan infalibilitas Paus, silakan klik di sini. Maka masalahnya bukan apakah seseorang itu diurapi Roh Kudus atau tidak, tetapi apakah seseorang itu mempunyai suksesi (jalur) apostolik atau tidak, dan apakah ajarannya itu memenuhi syarat infalibilitas atau tidak. Sebab hal infalibilitas pengajaran itu hanya dijanjikan Yesus kepada para rasul (dan para penerus mereka) dan bukan kepada semua orang tanpa ada batasan-batasannya. Hal infalibilitas itu berkaitan dengan ajaran dan bukan orang yang mengajarkan. Sebab baik Paus, Uskup, imam ataupun siapa saja yang mengajarkan ajaran Magisterium, tetaplah manusia yang mempunyai kekurangan dan dosa, namun ajaran Magisterium itulah yang tidak dapat sesat, sebab dijamin oleh kuasa Yesus sendiri.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Salam, Edie
Ijinkan saya berbagi sedikit pendapat.
Pengurapan Roh Kudus adalah salah satu dasar yang sering diungkapkan seseorang untuk membenarkan ajaran atau khotbah. Gereja Katolik sendiri mengimani bahwa Roh Kudus berkarya dalam Gereja, termasuk dalam setiap pelayanNya, para imam. Kita dapat merunut bahwa sedari awal Misa Kudus, kita memohon Allah untuk menyertai kita.
Permasalahannya adalah klaim bahwa Roh Kudus menaungi seseorang, entah imam, pendeta, pembicara PD, atau siapapun tidak menjamin semua yang dikatakan atau dikhotbahkan akan bebas 100% dari kesalahan dan diterima mentah-mentah. Berbagai denominasi memiliki ajaran yang tidak jarang bertolak belakang. Namun, masing-masing mengklaim bahwa Roh Kudus yang menggerakkan mereka untuk mendirikan gereja atau mengajar. Bagaimana kita menyaring mana yang otentik dan mana yang tidak?
Sama seperti cara kita menelusuri Bunda Gereja yang Kristus dirikan, ajaran yang otentik dapat dibuktikan baik secara iman dan historis. Ketika suatu ajaran atau khotbah mengandung hal yang bertolak belakang dengan rantai ajaran Apostolik, ajaran tersebut patut dipertanyakan. Kristus yang sama dan tidak berubah tidak mungkin mengajarkan “A” di suatu saat lalu menyangkalnya di kemudian hari.
Pacem,
Ioannes
[Dari Katolisitas: Ya, benar. Sebagai umat Katolik kita patut bersyukur atas adanya Magisterium yang tetap menjaga kemurnian ajaran Kristus dan para Rasul, sehingga Gereja Katolik mempunyai pengajaran yang sama, sejak awal berdirinya sampai sekarang. Ini adalah bukti penyertaan Roh Kudus atas Gereja-Nya, yang berbicara lebih lantang daripada khotbah atau klaim apapun tentang penyertaan Roh Kudus.]
Saya ingin mengetahui apa maksud dari :
* Lukas 12:49-53 ? disebutkan Jesus mengatakan dia datang bukan membawa damai tetapi dia ….datang untuk membawa pertentanganTerima kasih atas partisipasinya.
* Lukas 16:1-9 ? mengenai Bendahara yang tidak jujur
Kemudian saya mendengar redaksi dalam banyak pembahasan selalu mengatakan bahwa katolik itu tetap satu tidak seperti Protestan yang sampai 28000 dedominasi sengan paham yang berbeda-beda, hati saya tidak enak mendengar redaksi selalu berkata demikian, karena hemat saya justru karena adanya perpecahan didalam katoliklah maka terjadi adanya dedominasi tersebut, apakah tidak kita sadari nahwa protestan itu muncul akibat tidak berhasilnya katolik dalam hal ini magesterium/Paus dan para Uskup mempertahankan paham dan keyakinan agar tidak dapat merusak sebagian dari umatnya, karena perpecahan dan bidah muncul dari dalam sendiri yaitu para uskup yang pahamnya berbeda dan ini adalah bukti kegagalan magesterum/paus, bukankah Yesus sendiri mengatakan bahwa sebagai gembala yang baik dia harus meninggalkan domba domba yang lain untuk mencari satu domba yang hilang, alangkah sedihnya saya mendengar redaksi selalu menceritrakan dedominasi protestan yang terpecah yang nadanya seperti melepas begitu saja dan dalam sejarahnya meninggalkan protestan dan baru belakangan ini mau menganggap saudara, apakah gembala dalam hal ini Paus/magesterium tidak berusaha menyatukan domba-domba yang hilang/kalau bisa dikatakan tersesat ini kembali bersatu, jangan terkesan bahwa gembala tidak perduli kepada domba yang hilang, cari terus dan dapatkan karena bagi gembala yang agung/yesus mendapat domba yang hilang lebih berharga dari pada memelihara domba yang ada.
Oleh karena itu marilah jangan lagi menimbulkan perasaan bagi umat bahwa protestan itu “orang lain”
Kemudian pendapat redaksi yang selalu mengatakan bahwa magestrium/paus tidak mungkin salah dengan alasan Mat 16:18 walaupun ditafsirkan tidak pernah salah dalam hal pengajaran iman dan moral/infabilitas, hal inipun sepertinya kurang tepat karena ayat ini sebenarnya untuk petrus bukan untuk penerusnya atau yang dianggap penerusnya sama seperti begitu banyak ayat yang menunjuk ke Yesus bukan berarti ayat itu bisa dipakai ke muridnya, jadi saya rasa kita harus hati-hati jangan menjadikan ayat itu jadi ayat karet yang bisa ditarik kemana saja sesuai selera kita, apalagi mengatakan bahwa Paus/uskup adalah manusia juga dan yang dilihat hanya pengajaran Iman dan moral, kalau perbuatan yang lain termasuk sains tidak dilindungi atau tidak termasuk infabilitas, ini merupakan yang tidak tepat karena Yesus mengatakan tidak mungkin pohon yang jelek menghasilkan buah yang baik demikian juga sebaliknya, bagaimana mungkin Paus yang moralnya tidak baik bisa menghasilkan buah roh /kelakuan yang baik, jadi maksud saya jangan terlampau berlebihan membela magestrium, karena mereka juga manusia, maaf kalau saya terlalu kritis,
mohon penjelasannya, terimakasih
Frist Marbun
Shalom Frist Marbun,
Terima kasih atas tanggapan anda. Kami beberapa kali menyampaikan tentang empat tanda Gereja, yaitu: satu, kudus, katolik dan apostolik. Dan perpecahan di dalam gereja non-Katolik, sehingga ada sekitar 28,000 adalah satu kenyataan, yang kalau ditelusuri adalah karena tidak ada otoritas, sola scriptura, dan perbedaan konsep ekklesiologi. Kalau kita membaca sejarah Gereja, maka kita dapat melihat bahwa permasalahan di dalam gereja memang ada, namun banyak santa-santo yang terus memperbaiki Gereja Katolik dari dalam dan tidak memisahkan diri. Kalau anda mau melihat tentang Martin Luther, silakan anda membaca artikel ini – silakan klik.
Anda mengatakan “karena hemat saya justru karena adanya perpecahan didalam katoliklah maka terjadi adanya dedominasi tersebut, apakah tidak kita sadari nahwa protestan itu muncul akibat tidak berhasilnya katolik dalam hal ini magesterium/Paus dan para Uskup mempertahankan paham dan keyakinan agar tidak dapat merusak sebagian dari umatnya, karena perpecahan dan bidah muncul dari dalam sendiri yaitu para uskup yang pahamnya berbeda dan ini adalah bukti kegagalan magesterum/paus” Anda perlu untuk memberikan bukti dan argumentasi terhadap pernyataan yang anda buat. Silakan membuktikan bahwa ada pengajaran yang berbeda-beda di dalam Gereja Katolik (menurut anda: uskup yang pahamnya berbeda) yang merusak sebagian umatnya. Kalau perpecahan ini dianggap karena kesalahan Gereja, maka dengan logika yang sama, saya dapat mengatakan bahwa ‘adalah kesalahan Yesus bahwa Yudas berkhianat’.
Anda mengatakan “bukankah Yesus sendiri mengatakan bahwa sebagai gembala yang baik dia harus meninggalkan domba domba yang lain untuk mencari satu domba yang hilang, alangkah sedihnya saya mendengar redaksi selalu menceritrakan dedominasi protestan yang terpecah yang nadanya seperti melepas begitu saja dan dalam sejarahnya meninggalkan protestan dan baru belakangan ini mau menganggap saudara” Saya menyarankan agar anda dapat membaca beberapa diskusi antara kami dengan beberapa saudara dari gereja non-Katolik di sini – silakan klik, sehingga anda dapat melihatnya dengan lebih seimbang. Saya tidak terlalu jelas dengan pernyataan anda yang mengatakan “nadanya seperti melepas begitu saja“. Saya tidak tahu apakah anda benar-benar telah menggali sejarah, sehingga anda mengatakan “dalam sejarahnya meninggalkan protestan dan baru belakangan ini mau menganggap saudara” Gereja Katolik tetap ada dan tidak ke mana-mana dan Gereja Katolik tetap menunggu dan secara aktif melakukan dialog, sehingga pada saatnya nanti akan banyak umat Allah yang dapat bersatu dengan Tubuh Mistik Kristus. Kalau anda mau melihat sikap Gereja Katolik terhadap gereja non-Katolik serta usaha ekumenisme, silakan anda membaca dokumen Vatikan II, Unitatis Redintegratio di sini – silakan klik.
Tentang Magisterium Gereja – Mat 16:18: Saya tidak tahu apakah anda telah membaca diskusi tentang topik ini di situs katolisitas.org. Jadi, supaya tidak terjadi pengulangan, maka saya menyarankan agar anda dapat bergabung di diskusi dengan topik yang sama ini di sini – silakan klik. Tidak menjadi masalah kalau anda mempunyai pandangan yang kritis, namun yang penting harus mempunyai dasar dan argumentasi yang jelas. Di link tersebut saya telah memberikan argumentasi tentang ayat Mat 16:18. Kalau anda mengatakan bahwa ayat Mat 16:18 hanya diberikan kepada Petrus tanpa ada penerusnya, maka apakah janji “alam maut tidak akan menguasainya” juga hanya berlaku ketika Petrus hidup saja? Dalam kaitan dengan ayat ini, bagaimana anda menafsirkan Yoh 20:21-23? Apakah kuasa mengampuni dan menyatakan dosa hanya diberikan para rasul pada waktu itu? Kalau ya, apakah kemudian tugas perutusan dan pemberian Roh Kudus hanya kepada para rasul pada waktu itu?
Saya terus terang tidak terlalu jelas maksud dan argumentasi anda, karena anda tidak memberikan tanda “titik” dan tanda baca yang jelas, sehingga maksud anda tidak dapat tertangkap dengan jelas. Oleh karena itu, kalau anda mau melanjutkan diskusi ini, mohon anda dapat: (1) membaca link yang saya berikan dan menuliskan argumentasi anda di link tersebut, (2) Maaf, cobalah untuk membuat argumentasi dengan baik sehingga yang membaca dapat menangkap maksud anda dengan jelas tanpa ada maksud ganda. Oleh karena itu, buatlah kalimat yang lengkap dan terstruktur dengan tanda baca yang jelas. Semoga dapat diterima dengan baik.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Saya mau bertanya kepada Bapak Frist Marbun :
COPAS : “karena hemat saya justru karena adanya perpecahan di dalam Katoliklah maka terjadi adanya denominasi tersebut” ==> kapan Katolik pecah ya Pak?? Jika anda mampu menjawab, mohon beri sumber referensinya. Terima kasih atas perhatiannya
Salam
Johanus Adwijan Lebert
Shalom admin katolisitas.org, saya adalah seorang katolik yang sedang tanya jawab dengan seorang protestan. Topiknya sekarang adalah mengenai kepausan dan infalibilitas yang dipunyainya. Berikut ini adalah argumen dari kawan protestan saya :
1. Saya rasa tidak sah untuk mengklaim bahwa Paus tidak dapat bersalah dalam hal pengajaran iman dan moral Kristen. Apakah ada justifikasi bagi klaim ini? Dimanakah pembenaran dari ayat kitab Suci? Tentu mengklaim mudah, tetapi adakah dasar yang kuat?
2. Kesalahan Petrus dalam beberapa aspek boleh memang dikatakan sebagai kelemahan iman. Artinya sebenarnya dia punya pengetahuan akan kebenaran akan tetapi karena kelemahan iman dia menjadi berdosa (mis. ketika berjalan diatas air, ditegur Rasul Paulus). Tetapi pada bagian-bagian tertentu saya rasa Petrus benar-benar punya kesalahan konsep doktrin selain kelemahan iman/hati yang keras. Ketika Yesus Kristus memberitahukan penderitaan dan kematiannya, Petrus langsung menyuruh Yesus diam dan tidak berbicara seperti itu. mengapa? karena dalam konsep mereka Mesias adalah Raja, Mesias itu Mulia, tidak mungkin dibunuh, apalagi disalibkan. demikian juga dengan peristiwa transfigurasi diatas gunung, bersama Elia dan Musa. Petrus mengatakan “o sungguh indahnya tempat ini, mari kita buat 3 kemah 1 untuk Yesus, 1 untuk Musa, dan satu untuk Elia”. Alkitab menambahkan Petrus sesungguhnya tidak tahu apa yang ia katakan. Melihat beberapa commentary, mereka menyatakan Petrus dalam konsep pikirannya masih berfikir Mesias tidak harus mati, dia keras pada doktrinnya walaupun Yesus sudah beritahu “doktrin Mesias” yang benar. Petrus tidak mau turun gunung, tidak mau penderitaan. Demikian juga ketika Ibu Yakobus datang meminta anak diberi kursi sebelah kiri-kanan Yesus, semua murid langsung marah termasuk Petrus. Karena mereka semua masi punya konsep dan keras pada doktrin mereka bahwa Mesias akan jadi pemimpin politik, dan mereka akan dapat kursi menteri!?
3. Saya sebelumnya mau bertanya apakah doktrin ini berarti Paus infallible hanya ketika bicara iman Kristen dan moral? bagaimana dengan politik, ekonomi, sains, relasi umat beragama, filsafat? Reformed Theology menyatakan tidak ada satu pun dimensi kehidupan kita yang Kristus tidak mengklaim “Itu milikku!”. Reformed Theology tidak membuat dikotomi antara “kudus” dengan “tidak kudus”. Semua pekerjaan kudus. Semua aspek kehidupan harus dikuduskan. Lagipula bukankah semua area kehidupan kita ini sebenarnya rohani, sebenarnya spiritual? bagaimana kita bisa pisahkan keduanya? Dengan konsep ini, kala mau kita terima, berarti sama saja dengan mengatakan bahwa Paus TIDAK BISA BERSALAH DALAM SEGALA HAL (sebab segala hal itu rohani, segala hal itu moral, segala hal itu berkaitan dengan doktrin Alkitab)
4. Apakah kita dapat membedakan ketika Paus sedang mengajarkan hal itu benar atau salah. Tentu umat Katolik tetap menerima kalau kita katakan Paus, bagaimanapun sucinya beliau, tetap memiliki dosa atau kelemahan (Petrus pun juga bisa kan). Nah, bukankah kelemahan ini juga bisa mempengaruhi apa yang Paus ajarkan kepada umat? Bukankah tekanan kepentingan2 politik, keutuhan organisasi, ekonomi, politk, prasangka (prejudice), kebencian terhadap suatu golongan dll bisa membuat pertimbangan seseorang menjadi biasa, bahkan membuat hatinya yang masih memiliki kemampuan berdosa, menjadi terpikat untuk mengajarkan hal yang tidak sesuai kebenaran, melainkan hal yang disukai hatinya? (saya tidak menuduh hati Paus penuh kebencian atau tidak suci terhadap golongan tertentu, tapi ini mungkin saja terjadi misalnya di zaman Reformasi saya yakin hati Paus saat itu penuh kemarahan, kalau bukan kebencian, terhadap Reformator, maksud argumen ini adalah bahwa 1. paus tetap mungkin berdosa 2. dosa dalam hati bisa mempengaruhi pertimbangan rasional, dan tentunya pengajaran) Jadi pemahaman kita/pengajaran pun bisa salah jika hati kita tidak murni. Sehingga mengatakan Paus tidak dapat salah dalam pengajaran tetapi di satu sisi menerima bahwa Ia, bagaimanapun sucinya, tetap bisa berdosa, tidak dapat saya terima
5. Ketika terjadi perpecahan jemaat dalam Surat 1 Korintus 1 : 10-17, Paulus menegur orang yang membuat golongan-golongan ; gol Paulus, gol Kefas, gol Apolos, gol “Kristus”. Paulus mempersatukan mereka dengan merujuk kepada Tuhan kita Yesus Kristus, bukan dengan merujuk kepada Kefas. Seandainya Petrus itu sebagaimana yang diklaim oleh orang Katolik, punya supremacy lebih, Paulus bukankah seharusnya berkata (dalam imajinasi saya) “Hai jemaat Korintus, bersatulah, karena engkau didunia ini mempunyai 1 pemimpin yang ditunjuk Kristus, yaitu Kefas”. Bukankah golongan Kefas menjadi yang supreme? Atau “taatlah kepada ucapan Petrus sebagai “Rasul tertinggi”, karena dia sebagai pemimpin utama. Tetapi sama sekali tidak ada usaha semacam itu. lain sekali dengan approach Katolik Roma yang mengklaim Paus sebagai pemersatu.
Shalom Ian Huang,
Berikut ini adalah yang dapat saya jawab tentang pertanyaan anda:
1. Pengajaran tentang Bapa Paus yang tidak dapat bersalah dalam hal pengajaran iman dan moral adalah berdasarkan atas janji Tuhan Yesus sendiri kepada Rasul Petrus yang ditunjuknya untuk memimpin Gereja-Nya. Dasar Alkitabnya diambil dari kitab Matius 16 dengan interpretasi yang diajarkan oleh para Rasul dan Bapa Gereja.
Yesus berkata, “Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya. Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga.” (lih Mat 16:18). Lalu, sebelum kenaikannya ke surga Yesus bersabda kepada kesebelas rasulnya, “….Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” (Mat 28:20)
Yesus berjanji bahwa Gereja yang didirikannya atas Rasul Petrus tidak akan binasa/ disesatkan oleh Iblis, maka konsekuensinya Yesus pasti menyertai Petrus dan para penerus Petrus demi penggenapan janji-Nya itu. Sebab kalau janji Yesus itu hanya diberikan kepada Petrus, dan tidak kepada para penggantinya, artinya, Gereja bisa disesatkan, dan ini bertentangan dengan perkataan Yesus sendiri di Mat 16:18. Karena hal yang bisa “menyesatkan” umat adalah hal pengajaran iman dan moral, maka sudah menjadi konsekuensi logis, bahwa janji Yesus yang tidak akan membiarkan Gereja-Nya “tersesat”, adalah dengan memberikan karunia infalibilitas kepada pemimpinnya (yaitu Petrus dan para penerusnya) pada saat ia mengajarkan hal iman dan moral.
Lebih lanjut tentang keutamaan Rasul Petrus akan saya tuliskan di artikel terpisah. Mohon kesabarannya, ya.
2. Kesalahan Petrus (ketika berjalan di atas air, ditegur Rasul Paulus, konsepnya yang salah tentang Mesias dan puncaknya pada penyangkalan Yesus sebanyak tiga kali) adalah kelemahan iman dan hati yang keras?
Perlu anda ketahui, bahwa contoh- contoh yang diambil oleh rekan anda adalah contoh- contoh pada saat Yesus belum bangkit, naik ke surga dan mengutus Roh Kudus kepada para rasul (pada waktu Pentakosta). Maka memang benar, pada waktu sebelum Yesus naik ke surga dan Pentakosta, pemahaman Rasul Petrus akan karya Keselamatan Kristus masih belum sempurna. Namun setelah Pentakosta, maka semua itu diubah oleh Tuhan Yesus sendiri. Para rasul menjadi berani mewartakan Kristus, (silakan baca Kisah Para Rasul), bagaimana Rasul Petruslah yang tampil sebagai pemimpin para rasul setelah peristiwa pencurahan Roh Kudus/ Pentakosta tersebut. Rasul Petrus berkhotbah kepada orang-orang yang berkumpul di Yerusalem dan pada hari itu, dan sesudahnya, 3000 orang memberi diri mereka dibaptis. (lih Kis 2). Kisah para rasul selanjutnya (bab 3 sampai 12, kecuali bab 6 dan 7 yang mengisahkan kemartiran St. Stefanus, mengisahkan kepemimpinan Petrus atas para rasul dan jemaat perdana. Akhirnya, kepemimpinan ini disempurnakan Petrus dengan kemartirannya sendiri, dengan disalib terbalik di Roma. Suatu bukti pekerjaan Roh Kudus yang telah mengubah seorang yang tadinya “penakut” dan tak sempurna dalam iman, menjadi seorang yang “berani” memberitakan imannya sampai ke tingkat yang sempurna, (mengikuti teladan Yesus): yaitu dengan mengorbankan segalanya, termasuk nyawanya sendiri, demi Sang Kebenaran yang diwartakannya.
Maka, saya pikir janganlah kita “menghakimi” para rasul dengan mengatakan bahwa mereka lemah iman atau berhati keras. Sebab kenyataannya, hal itu telah diubah oleh Tuhan sendiri, oleh kuasa Roh Kudus. Ini sesungguhnya harus membuat kita memeriksa diri kita sendiri, sudahkah kita seperti para rasul itu, yang setelah menerima Roh Kudus, lalu hidup bekerja sama dengan rahmat Tuhan untuk meninggalkan segala sifat negatif kita yang dahulu? Jika bahkan sekarang ini, setelah kita menerima Roh Kudus, kitapun masih jatuh bangun dalam mengalahkan sifat-sifat buruk kita, janganlah kita begitu tinggi hati untuk menghakimi para rasul itu, yang setelah “hidup baru” di dalam Kristus, jelas- jelas jauh lebih kudus dari kita.
3. Doktrin Infalibilitas ini, seperti yang telah dijabarkan di artikel di atas, hanya terbatas pada hal iman dan moral. Sebab memang hanya pengajaran iman dan moral-lah yang bisa berpengaruh dalam “menyesatkan” umat. Silakan membaca kembali artikel di atas sehubungan dengan topik infalibilitas ini.
Jadi tidak benar jika dikatakan Gereja Katolik mengajarkan bahwa Paus tidak bisa bersalah dalam segala hal. Gereja Katolik tidak pernah mengajarkan demikian. Bapa Paus adalah tetap manusia biasa, yang berdosa, namun ia sudah dipilih oleh Tuhan Yesus sebagai pemimpin Gereja-Nya. St. Agustinus mengajarkan tentang hal ini demikian, “… Tuhan, telah menempatkan wewenang pengajaran kebenaran di atas kursi persatuan ini [kursi Petrus].” Ketika duduk di kursi ini, yaitu yang merupakan tahta pengajaran keselamatan…. bahkan Paus yang jahat (wicked) sekalipun dipaksa untuk mengajarkan sesuatu yang baik. Sebab …yang mereka ajarkan bukan merupakan pengajaran mereka, tetapi pengajaran Tuhan.” (lihat Epistle 105, 16). Hal di atas dimungkinkan oleh janji Kristus sendiri yang menjanjikan kepada rasul Petrus untuk selalu menyertai Gereja-Nya [yang didirikan atas Rasul Petrus] sampai akhir jaman dan alam maut tak akan menguasainya (lih. Mat 16:18).
Teman anda berkata, “Reformed Theology tidak membuat dikotomi antara “kudus” dengan “tidak kudus”. Semua pekerjaan kudus. Semua aspek kehidupan harus dikuduskan.” Memang benar bahwa setiap aspek kehidupan harus dikuduskan, namun kita harus melihat juga dengan obyektif, hal ini sungguh tidak bisa dicapai secara sempurna, pada saat kita masih hidup di dunia ini. Ini berlaku untuk kehidupan setiap manusia, dan termasuk Bapa Paus. Tuhan yang menciptakan kita, lebih tahu daripada kita dalam hal ini. Yesus sudah terlebih dahulu memahami, jika Gereja tidak mempunyai pemimpin yang diberi-Nya kuasa untuk mengajar yang tidak mungkin sesat, maka akan terjadi perpecahan Gereja, karena masing-masing orang akan mengikuti pemahamannya sendiri. Dan memang inilah yang sayangnya terjadi, dengan adanya sekitar 28.000 denominasi gereja Protestan.
4. Ya, maka benar, Gereja Katolik mengakui bahwa Paus adalah manusia biasa yang berdosa juga. Sebagai gambarannya, Paus Yohanes Paulus II dan Paus Benediktus XVI mengaku dosa dalam Sakramen Tobat, seminggu sekali. Tentu hidup mereka sudah lebih kudus dari kita semua, namun justru karena mereka begitu dekat dengan Tuhan, maka mereka menjadi lebih peka terhadap dosa, bahkan yang ringan sekalipun. Namun sebagai manusia yang juga berdosa, tidak berarti bahwa pasti dosa Paus itu mempengaruhi ajaran iman dan moral yang diajarkannya. Sebab jika kita saja yang tidak diberi karunia ‘infalibilitas’ tetap dapat mengajarkan sesuatu yang baik kepada anak- anak kita dalam hal iman dan moral (bahkan dalam hal yang kita sendiri gagal/ tidak sempurna melaksanakannya), apalagi Bapa Paus.
Contoh yang diambil bahwa pada jaman dahulu Paus bisa dipenuhi kemarahan terhadap kaum Reformator, harus dilihat dengan kacamata obyektif. Para Reformator itu mengajarkan doktrin yang tidak sesuai dengan ajaran para rasul dan Gereja Katolik, sehingga tentu saja Paus tidak bisa menerimanya. Misalnya saja pada kasus ajaran sesat Albigenses dan Cathar, yang sering-sering disebut sebagai “pendahulu” Reformasi. Silakan membaca di sini, silakan klik, untuk mengetahui fakta tersebut dari sisi Gereja Katolik.
5. Perpecahan jemaat dalam surat 1 Korintus 1:10-17 memang menceritakan adanya kelompok- kelompok yang mengotak-kotakkan diri mereka sesuai dengan nama murid Yesus yang memimpin mereka. Kelompok Kefas, ini diperkirakan beranggotakan mereka yang mengenal Petrus/ Kefas sebagai pemimpin para rasul (lih. 1 Kor 3:21-23; 9:4-5; 15:5). Rasul Paulus mengingatkan agar jemaat tidak melihat kepada siapa rasulnya (yang mengajar atau membaptis mereka), tetapi kepada Kristus yang diwartakannya. Di sini konteksnya adalah Rasul Paulus ingin menekankan agar umat lebih memfokuskan diri kepada pemberitaan salib Kristus (lih. 1 Kor 1: 17) yang menghantar kita kepada keselamatan daripada meributkan diri pada persaingan antar kelompok.
Namun jika itu masalahnya sampai kepada doktrin, maka kita melihat ke Kis 15. Di sana terlihat bagaimana di Sidang Yerusalem, Rasul Petruslah yang menengahi, jika terdapat perbedaan pemahaman. Rasul Petruslah yang mengajar dan membuat keputusan pada hal perlu atau tidaknya sunat bagi pengikut Kristus. Setelah pengajarannya itu, semua orang yang hadir di sana terdiam (termasuk di antaranya Rasul Paulus, Barnabas dan Yakobus).
Kesaksian tentang keutamaan kepemimpinan Petrus, dan perannya sebagai pemersatu Gereja memang harus dilihat tidak saja dari Kitab Suci tetapi dari tulisan para Bapa Gereja dan fakta sejarah, misalnya:
1. Surat pertama dari Santo Klemens (penerus ketiga setelah Rasul Petrus, tahun 80-an) kepada jemaat di Korintus yang menyelesaikan konflik di antara mereka membuktikan kepemimpinan Gereja di bawah penerus Rasul Petrus sebagai uskup di Roma. St. Klemen meninggal sekitar tahun 80-an sekitar 20 tahun sebelum Rasul Yohanes wafat. Namun meskipun Rasul Yohanes masih hidup di Efesus dan lebih dekat kepada Korintus daripada Roma, jemaat Korintus memohon kepada Uskup Roma, yaitu St. Klemens, untuk menyelesaikan konflik di antara mereka. Mereka melakukan ini justru karena mereka mengetahui bahwa Uskup Roma memegang “kunci”/ mempunyai otoritas kepemimpinan atas Gereja.
2. St. Irenaueus yang merupakan Uskup Lyons (180-200), yang merupakan Teolog yang terbesar pada jamannya, juga mengajarkan keutamaan kepemimpinan St. Petrus dan para penerusnya. Dalam bukunya, “Against Heresies” ia mengatakan demikian:
“Tetapi karena menjadi terlalu panjang untuk dijabarkan di satu jilid [buku] semua rangkaian /successions semua Gereja-gereja, kami harus menyudahi mereka, —yang dengan cara apapun, entah karena kepuasan sendiri atau karena ingin memuliakan diri sendiri, atau karena pendapat yang buta atau jahat, yang mendirikan jemaat melebihi dari yang seharusnya— dengan menunjukkan di sini rangkaian para uskup dari Gereja yang terbesar dan terdahulu yang diketahui oleh semua, yang didirikan dan dipimpin di Roma oleh kedua Rasul yang terbesar, Petrus dan Paulus, Gereja yang mempunyai tradisi dan iman yang diturunkan kepada kita setelah diumumkan kepada manusia oleh para Rasul. Karena dengan Gereja ini [Gereja Roma], karena asal usulnya yang tertinggi, semua Gereja harus setuju, yaitu, semua umat beriman di seluruh dunia; dan di dalam Gereja inilah [Gereja Roma] semua umat beriman dimanapun juga memelihara tradisi Apostolik.” (3,3,2, Jurgens, p.90, #210)
Kemudian St. Irenaeus melanjutkan dengan menuliskan 12 nama Paus mulai dari St. Petrus sampai jamannya, yang terdiri dari 12 orang Paus.
3. Hal serupa dilakukan oleh St. Agustinus, yang mengajarkan tentang keutamaan keuskupan Roma, dengan mengambil ayat Mat 16:18, dan kemudian menyebutkan rangkaian nama Paus, dari St. Petrus sampai dengan Paus Anastasius pada jamannya – yaitu 37 orang Paus. (lihat Letters, No. 53, ML 33, 196, FC 95-96, seperti dikutip oleh John Willis, SJ, dalam The Teachings of the Church Fathers, San Francisco: Ignatius Press, 2002, p. 73-74)
Maka jika Gereja Katolik mengatakan bahwa Paus sebagai penerus Rasul Petrus merupakan pemimpin/ “pemersatu”, itu bukannya mengada- ada atau tanpa ada dasarnya.
Keutamaan Petrus sudah terlihat jika kita membaca Alkitab itu sendiri: 1) Petrus selalu disebut pertama dalam urutan para rasul (Yudas selalu yang terakhir); 2) Petrus seringkali disebut dalam namanya, sedangkan rasul-rasul yang lain disebut sebagai “murid-murid” atau “kesebelas rasul”; 3) Petrus selalu tampil sebagai pemimpin, pembicara, dan yang pertama di antara sesama rasul yang lain; 4) Nama Petrus, Simon, Kefas, digunakan 191 kali di Perjanjian Baru. Kecuali nama Kristus sendiri, tidak ada nama lain yang muncul sesering nama Petrus. Nama Yohanes Rasul yang dipandang hampir sama dengan Petrus, hanya 48 kali muncul, dan nama Yakobus jauh di bawahnya. Uskup Agung Fulten Sheen pernah menghitung bahwa jumlah nama-nama Rasul selain Petrus disebutkan sebanyak 130 kali. Jika ini benar, maka, nama Petrus muncul 60% lebih sering daripada semua gabungan nama rasul-rasul lainnya. Ini tentu bukannya suatu kebetulan, dan secara obyektif menunjukkan adanya keistimewaan Petrus dibandingkan dengan rasul-rasul lainnya. (lih. Stephen Ray, Upon This Rock, San Francisco: Ignatius Press, 1999, p. 23)
Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga berguna.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
Terima kasih banyak atas penjelasannya Ibu Ingrid Listiati
Tuhan memberkati..
Comments are closed.