[Dari Admin Katolisitas: Berikut ini adalah kutipan tentang kelompok Albigenses, yang diambil dari sumber yang non- Katolik. Kusno menanyakan tanggapan Katolisitas, dan berikut ini adalah tanggapan dari Ingrid, yang menyertakan sumber yang lebih lengkap, dengan tujuan agar fakta sejarah tersebut dapat dicermati dengan lebih obyektif].
Pertanyaan:
Penganiayaan Kelompok Albigenses
Kelompok Albigenses adalah orang-orang yang menganut ajaran dualistis, yang tinggal di Prancis bagian se1atan pada abad ke-12 dan ke-13. Mereka mendapatkan nama itu dari kota Perancis, Albi, yang merupakan pusat gerakan mereka. Mereka tinggal dengan peraturan etika yang ketat dan banyak tokoh menonjol di antara anggota mereka, seperti The Count of Toulouse, The Count of Foix, The Count of Beziers, dan yang lain yang memiliki pendidikan serta tingkat yang setara. Untuk menekan mereka, Roma pertama-tama mengirim biarawan Cistercian dan Dominikan ke wilayah mereka untuk meneguhkan kembali ajaran paus, tetapi tidak berguna karena kelompok Albigenses tetap setia dengan doktrin reformed.
Bahkan ancaman Konsili Lateran yang kedua, ketiga, dan keempat (1139,1179, 1215) – yang memutuskan pemenjaraan dan penyitaan harta benda sebagai hukuman atas bidat dan untuk mengucilkan para pangeran yang gagal menghukum penganut bidat – tidak menyebabkan kelompok Albigenses kembali ke pangkuan Roma. Dalam Konsili Lateran III, pada 1179, mereka dikutuk sebagai bidat oleh perintah Paus Alexander III. Ini adalah paus yang sama yang mengucilkan Frederick I, Kaisar Romawi yang Kudus, Raja Jerman dan Italia, pada 1165. Kaisar selanjutnya gagal menaklukkan otoritas paus di Italia dan dengan demikian mengakui supremasi paus pada tahun 1177.
Pada tahun 1209, Paus Innocentius III menggunakan pembunuhan biarawan di wilayah Pangeran Raymond dari Toulouse sebagai pembenaran untuk memulai pengobaran penganiayaan terhadap pangeran dan kelompok Albigenses. Pada Konsili Lateran IV, tahun 1215, kutukan terhadap kelompok ini disertai dengan tindakan keras. Untuk melaksanakannya, ia mengirim agen di seluruh Eropa untuk membangkitkan pasukan untuk bertindak bersama-sama melawan Albigenses dan menjanjikan surga kepada semua yang mau bergabung serta berperang selama 40 hari dalam hal yang ia sebut Perang Kudus.
Selama perang yang paling tidak kudus ini, yang berlangsung antara 1209 sampai 1229, Pangeran Raymond membela kota Toulouse serta tempat-tempat lainnya di wilayahnya dengan keberanian yang besar dan kesuksesan melawan tentara Simon de Montfort, Pangeran Monfort dan bangsawan Gereja Roma yang fanatik. Ketika pasukan paus tidak mampu mengalahkan Pangeran Raymond secara terbuka, raja dan ratu Perancis serta tiga Uskup Agung mengerahkan tentara yang lebih besar, dan dengan kekuatan militer mereka, mereka membujuk pangeran itu untuk datang ke konferensi perdamaian serta menjanjikan jaminan keamanan kepadanya. Namun ketika ia tiba, ia ditangkap, dipenjara, dan dipaksa untuk muncul dengan kepala telanjang dan kaki telanjang di depan musuh-musuhnya untuk menghinanya, dan dengan berbagai siksaan yang dilakukan untuk menangkal sikap oposisinya terhadap doktrin Paus.
Pada awal penganiayaan tahun 1209, Simon de Montfort membantai penduduk Beziers. Ini merupakan contoh kecil kekejaman yang ditimbulkan tentara paus terhadap Albigenses selama 20 tahun. Selama pembantaian itu, seorang prajurit bertanya bagaimana ia bisa membedakan antara orang Kristen dengan bidat. Pemimpinnya dikatakan menjawab, “Bunuh mereka semua. Allah tahu siapa milik-Nya.”
Setelah penangkapan Pangeran Raymond, Paus menyatakan bahwa kaum awam tidak diperbolehkan untuk membaca Kitab Suci dan selama sisa abad ke-13 berikutnya, kelompok Albigenses bersama dengan Waldenses dan kelompok reformed lainnya, merupakan target utama Inkuisisi di seluruh Eropa.
So menurut bapak stefanus mana versi yang benar?
SUMBER:
http://www.sarapanpagi.org/inkuisisi-dalam-sejarah-gereja-vt1554.html
Kusno
Jawaban:
Shalom Kusno,
Pertama-tama, jika kita ingin mempelajari sejarah Gereja dengan sikap obyektif, sebaiknya memang membaca dari sumber yang berimbang, sehingga kita dapat memperoleh gambaran yang lebih lengkap tentang kejadian pada masa lampau tersebut. Mengenai tulisan yang anda sampaikan di atas memang ada benarnya, tapi kurang lengkap, sehingga kita yang membacanya bisa menjadi bias, dan bertanya-tanya mengapa Gereja Katolik bisa bersikap demikian.
1. Jadi pertama- tama mari kita lihat dulu, apakah Albigenses itu, dan mengapa Gereja Katolik sangat menentangnya?
Albigenses adalah suatu sekte Kristen di abad 12-13 yang menganut ajaran Dualisme. Walaupun mereka menamakan dirinya sebagai Kristen, namun sebenarnya ajaran sekte ini sangatlah menyimpang dari ajaran Kristiani. Karena mereka tidak mempercayai adanya satu Tuhan Pencipta dan Pengatur segalanya, tetapi mereka mempercayai adanya dua tuhan, yang satu baik dan yang kedua, jahat. Maka Tuhan (allah yang baik) dan Iblis (allah yang jahat) sama-sama bertanggung jawab terhadap dunia ini. Dengan prinsip ini, maka mereka percaya bahwa segala yang berupa material di dunia, termasuk yang ada pada manusia (yaitu tubuh manusia) adalah hasil pekerjaan Iblis dan sepenuhnya adalah jahat. Maka manusia yang merupakan separuh ciptaan Tuhan, dan separuh ciptaan Iblis, perlu untuk diselamatkan. Sumber keselamatan ini bukanlah Penjelmaan Tuhan Yesus ke dunia dan kurban salib-Nya tetapi pembebasan jiwa dari tubuh. Maka bagi para Albigensian, Kristus bukan Tuhan dan juga bukan manusia, tetapi semacam malaikat yang mengambil tempat sementara dalam tubuh manusia, dan sengsara dan wafat-Nya hanyalah ilusi.
Konsekuensi dari ajaran sesat Albigensian ini adalah sangat merusak, karena: 1) konsep keselamatan bagi mereka adalah ‘pembebasan dari tubuh’, bukannya penghapusan dosa oleh jasa Kristus dan anugerah hidup ilahi di dalam-Nya; 2) mereka membenci perkawinan, karena perkawinan memungkinkan terciptanya ‘tubuh’ yang baru 3) mereka mendukung homoseksualitas/ perkawinan sesama jenis; 4) mereka membenci kehamilan; wanita yang mengandung dianggap sebagai seorang yang dirasuki Iblis. 5) mereka mendorong tindakan bunuh diri, karena menyebabkan seseorang terlepas dari ‘tubuh’. Di atas semua itu, dengan konsep ‘merendahkan tubuh, mereka tidak menghargai Inkarnasi (Penjelmaan Tuhan Yesus menjadi manusia, dan mengambil ‘tubuh’ manusia). Dan karena Penjelmaan Kristus merupakan salah satu inti Iman Kristiani, maka dapat dimengerti bahwa ajaran Albigensian/Kataris ini sungguh sangat menentang kebenaran iman Kristiani.
Para Albigensian ini beranggapan bahwa selama jiwa masih bersatu dengan tubuh maka masih ada kemungkinan ia jatuh dalam perangkap Iblis. Untuk mengatasi hal ini mereka mengadakan suatu ritus yang dinamakan Consolamentum, dan sesudah itu mereka disebut Perfect, dan terikat kewajiban-kewajiban yang sangat serius, dan tidak boleh diingkari, agar tidak lagi jatuh dalam bahaya perangkap Iblis. Kewajiban ini misalnya, hidup selibat seumur hidup, puasa yang ketat (tidak boleh makan daging, telur, susu, mentega dan keju), tidak boleh terikat sumpah. Dari ketentuan ini mayoritas orang tidak dapat melaksanakannya. Mereka yang telah menerima Consolamentum ini banyak yang memilih untuk bunuh diri daripada menjalankan hidup seperti itu. Lagipula, menurut mereka bunuh diri adalah tindakan yang sempurna bagi Albigensian yang sejati, yang merasa tidak mampu melaksanakan cara hidup yang disyaratkan.
Para Albigensian ini bertemu dalam ibadah secara teratur. Mereka membaca Alkitab, terutama Perjanjian Baru, yang telah mereka terjemahkan dalam bahasa vernakular/ setempat, dengan tafsiran-tafsirannya yang sangat anti Katolik. Mungkin kita bertanya-tanya mengapa sampai ajaran yang menyimpang ini sampai meluas dan diterima banyak orang? Pertama, karena mereka mempunyai banyak pengkhotbah yang mengkhotbahkan pengajaran ini ke-mana-mana, sedangkan pada saat itu para imam Katolik rata-rata tidak pernah/ jarang berkhotbah. Maka mereka yang lahir dan dibesarkan secara Katolik lama-kelamaan berpikir bahwa itu memang ajaran Kristiani. Kedua, para Perfect itu memang hidup dengan sangat miskin, sedangkan pada saat itu para imam memang hidup dalam kelimpahan. Para Perfect banyak berderma, dan menggunakan uang sumbangan untuk mendukung industri bagi lapangan kerja para pemeluk sekte ini. Maka sedikit demi sedikit, sekte ini semakin berakar dalam kehidupan negara dan ekonomi.
2. Pengaruh yang ditimbulkan oleh sekte Albigenses
Konsili pertama yang membahas masalah heresi ini adalah Konsili Orleans tahun 1022, yang mengadili 13 orang imam/ clergy. Heresi/ bidat ini berkembang luas di Jerman, Italia utara, Perancis selatan, lalu juga ke Champagne, Languedoc (salah satu pusat Christendom yang penting) dan Milan, dan menyebar ke Burgundy, Picardy, Fladers, Perancis tengah, Tuscany, khususnya, Florence, dan juga ke Roma, Italia selatan, Sicily dan Sardinia.
Maka kemudian Albigenses ini (atau juga sering disebut Catharists) dikecam di banyak Konsili, yaitu di Tolouse (1119), Lateran II (1139), Rheims (1148), Tours (1163), dan Lateran III (1179). St. Bernardus dikirim untuk berkhotbah di daerah-daerah yang terpengaruh oleh heresi ini, namun baik kesucian maupun kefasihannya berkhotbah tidaklah membawa pengaruh yang besar. Di Perancis selatan, gereja-gereja sudah tidak dikunjungi, sakramen ditinggalkan. Di Toulouse sekte ini malah menjadi agama resmi. Utusan Paus Alexander III diusir dan dihina, kecaman dari Konsili 1179, tidak digubris. Hampir semua provinsi Christendom yang penting telah menjadi anti- Katolik. Beberapa uskup dan imam Katolik juga mulai banyak yang terpengaruh oleh ajaran mereka.
3. Paus Innocent III dan reaksi dari pihak Gereja Katolik
Setelah Paus Innocentius III dipilih, ia memusatkan perhatian untuk menangani masalah yang terjadi di Languedoc. Dia menunjuk dua pertapa dari ordo pertapa Cistercian sebagai pembawa pesannya. Misi mereka adalah untuk mempengaruhi para pangeran, untuk mengusir para bidat dan menyita harta milik mereka, berdasarkan hukum pada tahun 1184. Keberhasilan usaha mereka terhitung kecil, baik untuk menaggulangi heresi maupun untuk mengusahakan reformasi bagi kehidupan para imam/ clergy yang pada waktu itu banyak yang hidupnya tidak sesuai dengan panggilan hidup mereka. Maka pada tahun 1202, kedua pertapa ini digantikan oleh dua pertapa Cistercian lainnya, salah satunya bernama Peter de Castelnau dan Raoul. Castelnau ini seorang yang berani dan penuh semangat. Uskup Agung Languedoc diturunkan, karena menolak untuk bekerjasama, Uskup Toulouse diturunkan, karena kasus simoni, demikian juga dengan Uskup Beziers.
Pada tahun 1205 maka propaganda anti Catharist/ Albigensian mencapai puncaknya, melalui pengajaran, khotbah, pamflet, dsb, yang diarahkan oleh disiplin religius yang terbaik. Para utusan Paus juga mengajarkan tentang iman supaya umat Katolik tidak ragu tentang iman mereka dan kesungguhan Bapa Paus untuk mengkoreksi kehidupan para imam/ clergy. Namun demikian, misi inipun tidak berakibat banyak. Pangeran Touluose tetap menolak bekerja sama.
Kemudian Bapa Paus memperoleh bantuan dari Diego (uskup Osma) dan Dominic. Mereka membentuk tim tujuhpuluh dua murid, yang seperti dalam Injil. Mereka hidup dalam kemiskinan, dan berkhotbah dan terbagi-bagi dalam kelompok kecil, berdialog dengan para bidat. Pada tahun 1206-1207 mulailah terjadi pertobatan, dan sebagian dari para heretik itu kembali ke pangkuan Gereja Katolik. Tahun 1207 seluruh Waldensian kembali, dan Paus Innocentius III mengizinkan mereka hidup sesuai dengan kaul kemiskinan mereka dalam satu order religius yang bernama Poor Catholics (Kaum Katolik yang miskin).
Setelah 10 tahun misi ini, Castelnau kembali ke Toulouse untuk berdialog dengan Pangeran Raymond VI, agar ia mau bekerjasama. Sudah dua kali Pangeran Raymond berjanji mau bekerjasama, namun kemudian ia berubah pikiran dan menolak secara resmi. Maka Castelnau memberi sangsi ekskomunikasi dan memberi interdict/ pemotongan hak dan fungsi pada daerah kekuasaannya. Namun, tiga bulan kemudian, 15 Jan 1208, Peter de Castelnau dibunuh oleh salah seorang sersan kerajaan Toulouse. Pangeran Toulouse secara umum bertanggungjawab atas hal ini. Kematian Castelnau ini mengakhiri misi khotbah dari kaum Cistercian dan digantikan oleh perang. Pembunuh Castelnau di- ekskomunikasi, dan keputusan atas Pangeran Raymond diperbaharui. Hak-haknya sebagai pemimpin daerah dicabut, sekutu-sekutunya dibebaskan dari perjanjian. Paus Innocentius III menyatakan perang / crusade selama 40 hari untuk mengalahkan para heretik, memberikan indulgensi kepada para prajurit, seperti yang diberikan kepada prajurit di Holy Land. [Walaupun perang selalu pada dasarnya kejam dan tidak kudus, tetapi untuk alasan membela kebenaran iman ini, maka disebut perang kudus/ crusade]. Pada tahun 1209, pasukan dari 200,000 orang siap mengepung Toulouse.
Pangeran Raymond VI, akhirnya menyerah (18 Juni 1209), dan tunduk pada hukuman dera di hadapan publik di St. Gilles , berjanji untuk mengalahkan para heretik. Setelah itu pasukan sampai di Valence dan ia bergabung dengan mereka. Pada bulan Agustus kedua pusat heretik dikalahkan yaitu Beziers dan Carcassone. Sayangnya kemenangan di Beziers ditandai juga dengan pembunuhan massal, yang tidak hanya mencakup pasukan kota, tapi juga beribu penduduk sipil. Di sinilah terdengar seruan yang mengerikan di Beziers: “Bunuh saja semua, Tuhan akan mengetahui siapa milik-Nya.” Salah satu pemimpinnya yaitu Simon de Monfort, yang kemudian menjadi penguasa atas Bezier dan Carcassone. Selama tahun-tahun ke depan dia berjuang melawan Pangeran Raymond, mereka yang tergantung padanya, dan raja Aragon, Peter II yang mempunyai kuasa di atas Pangeran Raymond.
Sejak saat itu perang melawan Albigenses juga tercampur dengan motif-motif lainnya, termasuk persaingan politik. Pangeran Raymond sendiri tidak pernah memberikan sikap yang jelas, karena ia tidak mau menyerahkan para bidat. Maka utusan Paus kembali memberikan sangsi ekskomunikasi kepada Raymond, dan interdict. Pangeran Raymond naik banding kepada Paus Innocentius, yang kemudian mencabut interdict tersebut. Tiga bulan kemudian diadakan Konsili untuk membahas pelanggaran Raymond ini (1210) dan Raymond tidak mengindahkan apapun kewajiban yang sudah dijanjikannya di bawah sumpah. Dia tidak membubarkan pasukannya dan terus mendukung para bidat/ heretik. Paus Innocentius kembali memberi peringatan, dan kembali mengingatkannya untuk bekerja sama. Kembali Konsili diadakan untuk membahas apa yang telah dilakukan Pengeran Raymond (Des 1210, Jan 1211, Feb 1211). Beberapa pelanggaran dilakukannya, dan akhirnya, diputuskan oleh Paus bahwa Pangeran Raymond di ekskomunikasi, dan dikatakan sebagai musuh Gereja.
Selanjutnya, Simon de Montfort sedikit demi sedikit menaklukkan tempat- tempat heretik tersebut. Lavaur jatuh ke tangan pasukan crusaders, yang menang atas daerah itu, dengan membunuh penduduk di sana, setelah mendengar bahwa pasukan merekapun sebanyak 6000 orang telah dibantai pihak heretik. Paus Innocent III berusaha melerai pertengkaran tersebut, namun tak berdaya karena terjepit oleh kesaksian- kesaksian kedua belah pihak yang saling menjatuhkan. Peter II Raja Aragon yang adalah ayah mertua Raymond berusaha memperoleh ampun bagi menantunya, namun tak berhasil. Sementara itu Paus Innocentius akhirnya menjadi yakin atas pelanggaran dan penipuan dari Pangeran Raymond, dan trik-trik dari Peter, Raja Aragon. Terjadilah pertempuran antara Raja Peter II dengan Simon de Montfort, yang berakhir dengan kematian Raja Peter II (1213). Maka, seluruh daerah kekuasaan Raymond jatuh ke tangan Simon de Montfort, kecuali Toulouse. Namun Paus Innocent III mengakui de Monfort hanya sebagai administrator daerah-daerah ini. Pada saat Konsili Montpelier 1215 diadakan, Simon de Montfort diakui sebagai Pangeran Toulouse, dengan catatan pemberian hak-hak yang khusus kepada Raymond dan keturunannya. Setelah diberitahukan kepada Paus Innocentius III bahwa itu adalah satu-satunya cara untuk menumpas heresi, akhirnya menyetujui pilihan itu. Setelah 7 tahun lamanya dari pertempuran, pembantaian yang tidak dapat dikatakan disebabkan karena kesalahan satu pihak saja, hambatan terbesar untuk menumpas heresi Albigensian (Neo- Manicheaeism) akhirnya teratasi, walaupun selanjutnya masih terdapat sisa- sisa pengaruhnya.
Setelah Simon de Montfort wafat, puteranya Amalric naik tahta, mewarisi hak-hak ayahnya. Namun kemudian terjadilah pertempuran-pertempuran di wilayahnya hingga akhirnya ia dan Raymond VII menyerahkan daerah kekuasaan mereka kepada Raja Perancis. Sementara ini Konsili Toulouse (1229) mempercayakan kepada Inkuisisi (Inqusition) ke tangan para biarawan Dominikan, dengan tujuan untuk mengakhiri heresi Albigensianisme. Heresi ini akhirnya berakhir di akhir abad ke- 14.
4. St. Dominikus dan St. Fransiskus
Mari di sini kita melihat juga peran kedua orang kudus yang hidup pada jaman itu, yaitu St. Dominikus dan St. Fransiskus. Pertempuran itu tidak menghentikan kampanye khotbah dan diskusi. Uskup Diego pensiun, dan kini Dominikus Guzman mengambil peran aktif. Ia beserta timnya mulai diakui sebagai pengkhotbah resmi. Des 1216, ordo Dominikan diakui oleh Paus Honorius III dengan tugas khusus untuk berkhotbah. Ordo ini bertujuan untuk melatih para penerus rasul untuk memerangi heresi dengan pemikiran/ ajaran dan kehidupan asketik. Kehidupan biara diisi dengan proses mempelajari Kitab Suci dan membahas pertanyaan-pertanyaan Teologis. Dari ordo inilah muncul Peter Lombard dan St. Thomas Aquinas. Di sinilah kita mengetahui bagaimana Tuhan memakai kejadian yang kisruh di abad pertengahan tersebut, untuk kemudian melahirkan pengajaran Gereja Katolik yang lebih sistematis, dan berakar pada Alkitab, sehingga dapat lebih mudah diajarkan kepada umat. Dengan memahami ajaran ini, maka umat Katolik diharapkan untuk lebih memahami imannya tidak mudah terbawa oleh arus pemahaman heretik yang tidak mempunyai dasar yang kuat, sehingga kontradiktif di dalam banyak hal.
Demikian pula, St. Fransiskus adalah seorang kudus yang lahir pada jaman itu (1182) untuk memberi teladan kehidupan membiara yang memegang kaul kemiskinan, berlawanan dengan kehidupan berlebihan para klerus pada saat itu. Dengan demikian teladan hidupnya menjadi contoh hidup para religius, dan dengan caranya sendiri ia berperan untuk memurnikan makna panggilan hidup membiara. St. Fransiskus berasal dari keluarga yang kaya dan ternama, namun ia meninggalkan segalanya demi maksud membangun Gereja. Ia mendirikan ordo para bruder yang hidup dalam kaul kemiskinan dan mengkhotbahkan pertobatan. Ordo ini berkembang pesat, dan membangkitkan kembali Gereja Katolik dari dalam.
Melalui kedua orang kudus ini, St. Dominikus dan dan St. Fransiskus dari Asisi, Tuhan memenuhi janjinya, “di mana dosa bertambah banyak, di sana kasih karunia menjadi berlimpah-limpah.” (Rom 5:20) Artinya, biar bagaimanapun kuasa Tuhan lebih besar daripada kuasa Iblis; dan Tuhan dapat memakai kejadian seburuk apapun untuk mendatangkan kebaikan kepada mereka yang mengasihi Dia (lih. Rom 8:28), dan janji ini digenapi-Nya di dalam Gereja-Nya.
5. Kesimpulan
Sebenarnya Albigensianisme bukanlah heresi Kristiani tetapi sebuah agama yang di luar Kristen. Setelah upaya persuasif gagal, pihak otoritas Gereja menerapkan represi dengan kekerasan, yang seringnya menjurus ke arah berlebihan dan ini sangat disayangkan. Simon de Montfort bermaksud baik pada mulanya, namun akhirnya menggunakan nama agama untuk merebut wilayah kekuasaan Pangeran Toulouse. Memang harus diakui bahwa hukuman mati terlalu banyak diberikan kepada para pengikut sekte Albigensianisme ini, namun harus pula kita pahami bahwa hukuman sangsi pada jaman itu memang lebih keras diberikan daripada pada jaman sekarang, dan seringkali dipicu oleh suatu pelanggaran yang berlebihan. Pangeran Raymond VI dan VII seringnya menjanjikan akan bekerjasama menumpas heresi, tetapi tidak pernah benar- benar melaksanakannya. Paus Innocent III benar ketika mengatakan bahwa ajaran sesat Albigensianisme merupakan sesuatu heresi yang lebih buruk daripada kaum Saracens. Paus selalu mengusahakan jalan tengah, walau sering tak berhasil, dan iapun sebenarnya tak pernah menyetujui kebijaksanaan yang egois dari Simon de Montfort. Yang diperangi oleh Gereja pada saat itu, bukan saja keruntuhan agama Kristen, tetapi juga kepunahan umat manusia, karena ajaran Albigensianisme yang mendorong ‘culture of death‘/ budaya kematian, dengan membenci tubuh, membenci perkawinan dan mendorong bunuh diri dari para anggotanya.
Bahwa sesudah saat itu diadakan Konsili di Toulouse 1229 yang melarang orang Katolik membaca Alkitab, itu adalah suatu larangan yang bersifat sementara, karena pada saat itu banyak beredar terjemahan Kitab Suci dengan tafsiran- tafsiran yang menyimpang sesuai dengan ajaran Albigensian. Hal ini sudah pernah dibahas di artikel ini, silakan klik.
Maka jelaslah sudah duduk masalahnya. Gereja Katolik tidak melarang umatnya membaca Alkitab, hanya memang pada suatu periode tertentu sekitar tahun 1229, memang terjadi kondisi khusus sehubungan dengan adanya penyelewengan teks Kitab Suci yang dilakukan oleh sebuah sekte sesat (Albigensian) pada saat itu. Maka larangan untuk membaca Alkitab pada saat itu merupakan tindakan gembala untuk menyelamatkan kawanan dombanya. Sebab pengalaman telah menunjukkan bahwa tanpa bimbingan Gereja maka penafsiran Alkitab dapat berakhir dengan interpretasi yang malah bertentangan dengan iman Kristen.
Selanjutnya, terutama melalui Konsili Vatikan ke II, Dei Verbum 25, kita mengetahui bahwa kita sebagai umat beriman dianjurkan untuk membaca Alkitab, terutama para imam dan pengajar iman seperti para katekis. Namun demikian, pembacaannya harus didahului dengan doa sehingga kita dapat mendengar Dia (Tuhan) sendiri lewat ayat-ayat ilahi yang kita baca.
Demikianlah Kusno, yang dapat saya tuliskan tentang pertanyaan anda. Mari kita melihat fakta sejarah dengan sikap obyektif. Bahwa memang terdapat kesalahan- kesalahan dari kedua belah pihak, namun selalu ada alasannya, mengapa sampai demikian. Albigenses atau Catharist adalah ajaran Neo- Manichaeism (versi baru dari Manichaeism yang adalah aliran sesat pada jaman St. Agustinus sekitar abad ke-4) yang sangat tidak Kristiani, maka mereka bukannya menawarkan ‘doktrin reformed’, karena prinsip ajaran mereka malah sungguh menyimpang. Saya sebagai umat Katolik, sepenuhnya bisa memahami keputusan pihak otoritas Gereja Katolik saat itu, dalam rangka mempertahankan kemurnian pengajaran iman Kristiani yang sesuai dengan pengajaran para rasul, walaupun juga menyesalkan adanya keadaan kekerasan yang melewati batas. Agaknya memang keadaan pada saat itu sangatlah rumit, dan Paus Innocentius III sungguh menghadapi pilihan yang sangat sulit. Tetapi, tanpa kegigihannya mengakhiri heresi Albigensian, mungkin tak banyak bangsa yang bertahan hidup sampai sekarang, bukan karena perang, tetapi karena dengan sendirinya membenci kehidupan dan mengakhiri kehidupan mereka sendiri dengan bunuh diri. Dengan mempelajari sejarah Gereja kita akan semakin disadarkan akan kelemahan kita sebagai manusia, namun juga kita mengagumi akan campur tangan Tuhan yang menjaga keberadaan Gereja-Nya yang diterpa badai tak hanya dari luar tetapi dari dalam tubuhnya sendiri. Namun janji Tuhan Yesus kepada Rasul Petrus selalu digenapinya, dan Kristus tak akan membiarkan Gereja-Nya runtuh, sebab Ia berjanji, “alam maut tidak akan menguasainya.” (Mat 16:18)
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- www.katolisitas.org
Sumber:
-Philip Hughes, A History of the Church, volume III (New York: Sheed and Ward, 1949), p. 340-361
-New Advent Encyclopedia, silakan klik
shalom katolisitas,
saya ingin bertanya tentang ajaran sesat dari Nikolaus yang disebutkan dalam ayat :
Why 2:15 Demikian juga ada padamu orang-orang yang berpegang kepada ajaran pengikut Nikolaus.
terima kasih.
Shalom Angki,
Demikianlah keterangan Why 2:14-16 sebagaimana tertulis dalam penjelasan The Navarre Bible:
“Setelah dipuji karena kesetiaan mereka, umat Kristen di Pergamus diberitahu bahwa mereka sedang melakukan kesalahan; [karena] sebagian dari mereka mengkompromikan iman mereka dengan mengambil bagian di dalam perjamuan ritual pagan (bangsa-bangsa yang tak mengenal Allah) dan ritus-ritus perzinahan yang ada dalam ritual penyembahan mereka. Maka ajaran mereka diperbandingkan dengan ajaran Bileam, yang mengajari para perempuan Moab untuk menikahi para pria Israel untuk menarik mereka kepada penyembahan dewa-dewa Moab (lih. Bil 31:16). Tentang pengikut Nikolaus, beberapa penulis awal menghubungkannya dengan ajaran sesat yang diajarkan oleh Nikolaus, seorang dari ketujuh diakon (lih. Kis 6:5); di mana ajaran mereka itu tidak mempunyai dasar yang kuat. Dapatlah dimengerti jika penyimpangan ini dapat terjadi di dalam masyarakat di mana umat Kristen hidup begitu berdekatan dengan bangsa-bangsa pagan, yang kerap mengikuti perjamuan penyembahan berhala, dan ritus-ritus mereka yang bersifat erotik. Situasi sedemikian memang kerap terjadi di masyarakat saat itu (lih. Rom 14:2,15; 1Kor 8:10; 2 Kor2:16)….”
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
ok, terima kasih
Dear Katolisitas,
(harap pertanyaan ini dipindahkan ke tempat yang seharusnya, bukan di buku tamu)
Sejarah gereja ternoda dengan penganiayaan terhadap aliran-aliran yang dianggap bidah, sesat dan lain-lain. Di jaman kegelapan yang dialami gereja tak terhitung banyaknya korban kekerasan gereja, misalnya perempuan-perempuan yang dibakar hidup-hidup karena dianggap penyihir, ilmuwan-ilmuwan yang disiksa dan dibunuh karena menemukan sesuatu yang bertentangan dengan kepercayaan umum saat itu (Kitab Suci) misalnya Galileo, praktik inkuisisi dalam rangka penyelidikan maupun pemaksaan iman, dsb.
Hal-hal demikian menjadi sejarah gelap gereja yang, saya bersyukur, saat ini sudah tidak terjadi lagi karena pembaharuan yang dilakukan gereja. Banyak perbaikan pula dilakukan misalnya dengan memulihkan nama baik Galileo, hingga meminta maaf secara terbuka terhadap pihak-pihak yang dilukai oleh gereja. Pun, hal-hal ini kerap menjadi titik lemah pihak Kristen dalam debat-debat mengenai masalah agama.
Pertanyaannya, mengapakah pihak-pihak tersebut di atas harus dikerasi, dianiaya dan dibunuh? Apakah alasannya ada di antara alasan-alasan berikut: agar mereka dapat diselamatkan dalam ajaran gereja yang benar, atau agar mereka tidak mengkontaminasi banyak orang dengan keyakinannya, atau karena mereka merusak kesucian Tuhan yang kita sembah? Atau ada alasan-alasan di luar itu semua, alasan politis, kultural dsb? Apakah hak gereja untuk melakukan tindakan-tindakan di atas? Adakah landasan biblisnya sebagai pengesahan (perintah Yesus, etc)? Dan jika ada, apakah ayat-ayat tersebut dapat disebut sebagai ayat-ayat yang mengajarkan kekerasan? Apakah praktik inkuisi masih dilakukan dewasa ini?
Mengapa mereka tidak dibiarkan saja meyakini yang mereka yakini? Bukankah itu juga termasuk dalam yang kita sebut hak asasi manusia untuk memiliki kepercayaan dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu (yang sangat kita junjung tinggi)? Kecuali orang-orang tersebut melakukan tindak kriminal, tentu berbeda ceritanya.
Paus Benediktus XVI sendiri pernah berkata, “Jangan takut umat Katolik akan berkurang (menjadi sedikit) jumlahnya, lebih baik sedikit namun berkualitas daripada banyak namun kosong imannya.” Maksud saya di sini jika orang-orang menjadi berpaling dari gereja Katolik dan mengikuti aliran-aliran lain, sesat ataupun tidak, apakah hak kita untuk mencegah mereka, apalagi dengan melakukan kekerasan terhadap mereka?
Bukankah Tuhan Yesus pernah memberikan perumpamaan tentang lalang di antara gandum yang dibiarkan tumbuh bersama hingga waktu menuai? (Kata hamba-hamba kepada Tuan itu: “Jadi maukah Tuan agar kami mencabut lalang itu?” Dan dijawab Tuan itu, “Jangan, sebab mungkin gandum itu ikut tercabut pada waktu kamu mencabut lalang itu.”
Dari kisah ini saya menganggap Tuhan Yesus tidak menginginkan apapun dilakukan terhadap lalang (si sesat atau jahat) itu. Ia menginginkan sebaliknya yaitu agar mereka tumbuh bersama. Dari pemikiran saya, tindakan gereja di masa lalu ‘mencabut lalang’ telah serta merta membuat umat Kristen di masa ini ‘ikut tercabut’ dengan sejarah kelam dan rasa malu.
Ataukah ada makna lain dalam perumpamaan ini yang tak dapat saya lihat namun dapat dilihat para Bapa Gereja yang memerintahkan kekerasan terhadap aliran yang dianggap sesat?
Melihat tragedi kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah baru-baru ini, pertanyaan ini menyeruak dalam benak saya. Tidak hanya pihak agama lain yang melakukan kekerasan mengatasnamakan agama, namun ternyata pihak kitapun pernah melakukan hal serupa.
Umumnya pihak mayoritas lebih cenderung untuk melakukan pressure terhadap minoritas. Seandainya umat nasrani dalam suatu negara adalah mayoritas dan terdapat aliran atau sekte atau kepercayaan lain dalam masyarakat, bukan tidak mungkin hal serupa (kekerasan mengatasnamakan agama) juga dilakukan umat nasrani.
Terima kasih,
Fenky
Shalom Fenky,
Ada beberapa dari pertanyaan anda yang sebenarnya sudah pernah dibahas dalam beberapa jawaban, dan saya mengundang anda untuk membacanya terlebih dahulu.
Aliran- aliran sesat yang dikecam Gereja Katolik, dan yang kemudian mengundang dilakukannya inkuisisi adalah Albigenses dan Cathars. Tentang aliran ini silakan anda membaca terlebih dahulu di sini, silakan klik. Tentang Galileo Galilei apakah dibunuh oleh Gereja Katolik, sudah pernah dibahas di sini, silakan klik.
Sedangkan tentang Inkuisisi, sudah pernah dibahas di sini (silakan baca jawaban saya kepada Monica yang mengubungkan inkusisi dengan interpretasi sebagian umat Kristen non- Katolik yang mengatakan bahwa Gereja Katolik adalah Binatang Pertama dalam kitab Wahyu 13, lihat penjelasan di bawah point 7), silakan klik
Maka anda benar, bahwa memang seharusnya tidak perlu terjadi tindakan kekerasan, penganiayaan dan pembunuhan yang dilakukan atas nama agama. Namun jika kita mempelajari sejarah, kita mengetahui bahwa keadaan peradaban manusia cukup berbeda antara manusia di abad- abad pertama/ awal, abad pertengahan dan sekarang ini. Harus diakui, kita sulit untuk memahaminya karena kita hidup di jaman peradaban manusia, di mana telah diakui hak- hak azasi manusia secara universal di dunia, yang ditandai dengan deklarasi PBB pada tahun 1948. Pada jaman Perjanjian Lama bahkan sampai abad- abad awal masehi, kita melihat dilakukannya hukuman atas kejahatan dengan cara yang cukup kejam, yang memang dianggap sebagai sesuatu yang adil dan umum pada saat itu (hal rajam, mata ganti mata, gigi ganti gigi sebagai hukuman, misalnya, tercatat dalam Kitab Suci PL). Tentu saja kita di jaman sekarang mengetahui bahwa hukuman macam itu sudah tidak lagi sesuai dengan peradaban manusia sekarang ini.
Di jaman abad Pertengahan, kesesatan yang diakibatkan oleh ajaran sesat Albigenses terjadi begitu hebatnya, sehingga mengancam sendi- sendi kehidupan, bahkan eksistensi manusia. Paus Innocentius III telah berusaha untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan jalan damai, tetapi tidak berhasil, malah utusannya dibunuh dengan kejam. Maka, ia terpaksa memilih jalan kekerasan, dengan memerangi para bidat ini, yang telah melakukan tindakan kriminal. Kita sekarang tidak dapat membayangkannya dengan persis situasinya, selain menerima fakta sejarah bahwa akhirnya terjadi pertentangan antara pihak kepausan dengan para bidat penentangnya. Perang untuk menumpas kekerasan para bidat itu yang rencananya hanya dilakukan 40 hari, ternyata berbuntut panjang, yang akhirnya banyak menjatuhkan kurban di kedua belah pihak, setelah adanya keterlibatan para pangeran/ bangsawan. Sebenarnya dari fakta sejarah juga dapat diketahui bagaimana Paus Innocentius III juga telah berusaha melerai pihak- pihak yang bertikai, namun tidak berhasil. Paus memang berusaha menegakkan pengajaran yang benar dengan mengeluarkan pernyataan eks-komunikasi kepada para bidat yang berkeras menolak untuk taat kepada pengajaran Gereja. Pernyataan ekskomunikasi itu sendiri adalah pernyataan bahwa seseorang telah dinyatakan berada di luar kawanan anggota Gereja Katolik, karena kekerasan hatinya menolak ajaran Gereja Katolik. Selanjutnya tentang pengertian hukuman ekskomunikasi, klik di sini, dasar utama biblisnya Mat 18:17-18. Hukuman ekskomunikasi sebenarnya tidak berhubungan dengan kekerasan ataupun penganiayaan. Maka pada awalnya Inkuisisi yang dilakukan juga tidak dengan maksud penganiayaan, melainkan untuk mengembalikan mereka yang tadinya berpaham sesat untuk kembali kepada ajaran yang benar. Hanya mereka yang berkeras untuk berpegang kepada ajaran yang sesat saja (unpenitent heretics/ bidat yang tak menyesal), yang akhirnya diserahkan kepada pihak pemerintahan sekular. Nah, di sinilah terjadi banyak penganiayaan yang memang tak terbayangkan bagi kita yang hidup di jaman sekarang ini. Inkuisisi terjadi dalam konteks penumpasan ajaran sesat dan kekacauan masyarakat di abad pertengahan dan tidak terjadi lagi sekarang ini, di mana secara umum hukuman pidana tidak lagi dilakukan dengan cara yang kejam seperti pada jaman dahulu.
Maka jika anda bertanya, mengapa para bidat yang tidak bertobat itu tidak dibiarkan hidup? Menurut hemat saya, ini memang tidak dapat kita pahami sepenuhnya sekarang, sebab kita tidak dapat memahami situasi persisnya pada saat itu. Yang jelas, sejarah mencatat adanya kekacauan masyarakat karena adanya pengaruh ajaran- ajaran sesat tersebut, yang bahkan membahayakan eksistensi manusia secara keseluruhan, karena ajaran sesat itu membenci tubuh/’matter‘ dan menolak perkawinan. Bayangkan jika ajaran macam ini sampai mendunia saat itu, maka generasi manusia akan musnah, sebab perkawinan tidak lagi dihargai dan bahkan dihindari. Inilah yang mendorong Paus selaku pemimpin Gereja di dunia, untuk melakukan sesuatu demi mempertahankan pengajaran iman yang benar dan mempertahankan kelangsungan eksistensi generasi manusia.
Dewasa ini ajaran sesat Albigenses muncul kembali dengan bentuk yang berbeda, yaitu paham yang menghalalkan perkawinan sesama jenis, aborsi, euthanasia, dst yang pada dasarnya tidak menghargai nilai perkawinan dan tubuh manusia. Gereja juga tetap konsisten menentang pandangan ini. Namun sekarang, perjuangan Gereja melawan pandangan yang keliru ini, tidak melibatkan kekerasan. Syukurlah bahwa saat ini peradaban dunia telah lebih berkembang dan ajaran Gereja lebih mudah untuk diperoleh dan dipelajari (sekarang ini umat sudah mengenal baca tulis sehingga dapat membaca sendiri dasar- dasar pengajaran Gereja, berbeda dengan kondisi di jaman abad Pertengahan di mana tingkat buta huruf masih tinggi). Dewasa ini memang kita melihat sendiri paham- paham yang tidak sesuai dengan ajaran iman Kristiani tumbuh bersama- sama dengan ajaran iman Kristiani.
Selanjutnya, untuk ayat Mat 13:28-29, demikianlah interpretasi yang diajarkan oleh St. Augustinus, St. Thomas Aquinas, dan St. Hieronimus (Jerome), seperti yang dikutip oleh Dom Orchard, dalam A Catholic Commentary on Holy Scripture:
“Jesus Christ exhorts us to bear with infidels and heretics, not on our own account only, as wicked men are frequently of use to the virtuous, but also on their account; for sometimes the persons who have been corrupted and perverted, will return to the paths of virtue and truth. Let, therefore, both grow until the harvest, i.e. to the day of judgment, when the power of rectifying another’s error shall be no more. (St. Augustine in St. Thomas Aquinas) — When many are implicated in one misfortune, what remains but to bewail their condition. Let us then be willing to correct our brethren to the utmost of our power, but let it be always with mercy, charity and compassion; what we cannot correct, let us bear with patience, permitting what God permits, and interceding with him to move and convert their hearts. But when an opportunity offers, let us publicly advocate the truth, and condemn error. (St. Jerome)“
Prinsip inilah yang dipegang oleh Gereja Katolik. Kita tidak menyerang para bidat, sebab justru keberadaan mereka malah semakin dapat memurnikan iman kita, sebab kita akan terdorong untuk semakin mempelajari ajaran iman yang benar. Juga kita harus memberi kesempatan kepada mereka untuk bertobat dan kembali bergabung dengan kita. Namun demikian, kita juga harus menggunakan kesempatan yang ada untuk menyatakan ajaran yang benar dan menolak ajaran yang salah, tetapi tentu harus dengan cara yang mencerminkan kasih.
Inilah yang harus diperjuangkan oleh seluruh pemimpin negara, terutama negara- negara di mana agama Kristiani menjadi agama mayoritas, agar prinsip ajaran kasih seperti yang diajarkan oleh Kristus dapat ditegakkan.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Yth. Para Moderator Katolisitas.
Aku adalah penganut Tradition Roma Catholic, dan aku menggunakan alamat email kloningan. Sebelumnya aku mohon maaf atas kelancangan aku menulis di situs ini dengan menggunakan nama dan email yang tidak jelas.
Ini hanya lah upaya aku dalam berapologetik dengan pihak yang berseberangan dengan Iman Katolik kita. Sehingga tetap harus kujaga id aku yang asli.
Baru-baru ini aku mendapatkan pertanyaan terkait masalah Kuasa Tak Bisa Salah di dalam Ajaran Gereja Katolik (Infability of The pope).
Dalam masa pemerintahan Puas innocent IV, sedikitnya ada pembantaian yang terjadi di Spanyol. Dan Paus turut andil di dalamnya bahkan menggunakan kuasanya untuk memperbolehkan tawanan disiksa dengan SUNGGUH SANGAT KEJAM DAN BIADAB. …….., walau aku mengakui ada sejarah mencatat jaman kekelaman Gereja Katolik, tetapi aku tidak menduga bahwa kekejaman yang “biadab” itu justru timbul atas prakarsa Paus Innocent IV.
APAKAH BENAR…???
Aku sungguh ingin mendapatkan pencerahan…
[Dari Katolisitas: linknya dihapus]
Mohon dengan sangat agar bisa diluruskan sesegera mungkin, aku tunggu..
Salam Damai Kristus, Maximillian
Shalom Maximillian,
Berikut ini adalah jawaban saya atas pertanyaan anda:
1. Apakah penyiksaan dalam Inkuisisi diciptakan oleh Gereja Katolik?
Memang terdapat banyak kisah tentang Inkuisisi (Inquisition) di abad pertengahan, dan jika kita melihat kekejaman yang terlibat di dalamnya, kita dapat menjadi terperangah. Justru karena melibatkan kekejaman, dan data akurat yang diperoleh tidak mudah, maka banyak orang menyusun cerita tentang Inkuisisi itu, yang sebagian besar juga dilebih- lebihkan, dan sangat menyudutkan posisi Gereja Katolik. Memang tidak dapat dikatakan bahwa Gereja Katolik tidak sama sekali terlibat di dalam hal ini, sebab kenyataannya memang ada keterlibatannya, terutama dengan memberlakukan, walaupun dengan kondisi yang terbatas, beberapa prinsip hukuman menurut hukum Romawi (Roman Law). Harus diakui bahwa sistem pengadilan dan penghukuman di jaman sekarang sangat jauh berbeda dengan pada jaman Abad Pertengahan, sehingga kita yang hidup di jaman sekarang sangat sulit memahaminya. Namun untuk dapat melihat hal ini dengan lebih obyektif, kita harus melihat situasi peradaban masyarakat pada jaman itu, yang memang umumnya menerapkan cara- cara demikian untuk menghukum para pengacau. Maka segala jenis penghukuman, dengan alat- alat tertentu yang kejam tersebut bukan sesuatu yang diciptakan oleh Gereja Katolik. Hal itu sudah ada, sejalan dengan perkembangan hukum Romawi. [Mari mengingat bahwa pada abad pertama, hukum Romawi-lah, yang mendera dan menyalibkan Tuhan Yesus dengan begitu kejamnya!]
Maka, sejarah Inkusisi memang tak terlepas dari cara penanganan para bidat/ heretik pada jaman abad-abad awal, yang diterapkan oleh para kaisar Kristen. Hukuman diberikan, sebagai langkah penertiban yang diambil oleh pihak penguasa, karena para bidat telah mengacau keamanan masyarakat sipil, dengan ajaran- ajaran mereka yang menyimpang dari ajaran Gereja. Hal inilah yang juga terjadi pada jaman Abad Pertengahan. Pada saat itu penanganan dengan kekerasan untuk melawan para bidat sudah diterapkan oleh Raja Robert II dari Perancis, dan Raja Henry II dari Inggris. Maka saya tidak heran jika foto- foto atau bukti-bukti peninggalan alat- alat penyiksaan yang ada di buku- buku sejarah atau bahkan museum, berasal dari peninggalan masa diberlakukannya hukum Romawi di beberapa negara Eropa pada Abad Pertengahan.
2. Penanganan heresi di Abad Pertengahan oleh otoritas Gereja Katolik
Gereja Katolik pada awalnya sampai pertengahan bada ke- 12 hanya memberikan sangsi spiritual seperti eks-komunikasi, interdict, dst, kepada para bidat/ heretik, karena segala bentuk kekerasan dilarang oleh Paus Nicholas I. Baru setelah pertengahan abad ke- 12, setelah segala upaya persuasif tidak berhasil, sedangkan kekacauan sudah meraja lela seperti dituliskan di artikel di atas, maka Paus Lucius III melalui Konsili Verona 1184 mengeluarkan persetujuan tentang hukuman fisik bagi para heretik. Perintah ini tidak semata- mata untuk menghukum, tetapi juga untuk memeriksa (inquisitio) dengan maksud agar para bidat itu bertobat. Baru jika tidak bertobat, maka orang tersebut diserahkan ke pihak otoritas sipil untuk menerima hukuman, yang dapat berakhir dengan hukuman mati. Perlu diketahui di sini bahwa yang diperiksa dan dihukum (jika terbukti bersalah) hanya terbatas pada mereka yang sudah dibaptis namun berkeras untuk mengajarkan/ menyebarkan ajaran yang sesat dan bertentangan dengan ajaran Gereja Katolik. (termasuk di sini adalah para convert dari agama lain yaitu dari Judaism dan muslim, yang diadili pada Inkuisisi di Spanyol di abad ke- 15)
Selanjutnya, inkuisisi (Inquisition) harus dilihat dengan kacamata obyektif. Inkuisisi ini dimulai atas perintah Paus Gregorius IX tahun 1231, untuk memerangi ajaran sesat Albigensian juga dikenal sebagai Cathars. Ajaran sesat Albigensian ini, seperti heresi Manichaeisme, mengajarkan konsep dualisme, roh dan tubuh; roh itu baik, namun “matter“/ tubuh adalah asal dari segala kejahatan, dan karenanya, menentang Inkarnasi dan Keselamatan [di dalam Kristus, Sabda yang menjelma menjadi ‘daging’/ tubuh manusia]. Dengan demikian, heresi ini tidak saja menentang inti iman Kristiani tetapi juga inti basis kemasyarakatan, sebab mereka 1) menentang perkawinan legal sebab perkawinan dikatakan dapat menghasilkan kehidupan fisik/ tubuh yang baru; 2) mengajarkan bahwa bunuh diri adalah sesuatu yang baik, karena mengakhiri kehidupan tubuh; 3) homoseksualitas adalah lebih baik daripada heteroseksualitas, karena tidak ‘menghasilkan’ tubuh/ fisik yang baru; 4) menganggap bahwa kitab Perjanjian Lama termasuk ke 10 perintah Allah sebagai pekerjaan setan. Nah, tak mengherankan, heresi ini berakibat menghasilkan kebingungan dan kekacauan dalam kehidupan bermasyarakat.
Jadi maksud inkuisisi adalah untuk mempertahankan kemurnian iman Kristiani dan memberikan hukuman eks-komunikasi pada orang-orang yang tidak mau bertobat. Cara inkusisi diambil karena pendekatan persuasif melalui khotbah pengajaran iman yang benar yang dilakukan oleh St. Dominikus dan para biarawan Dominikan tidak sepenuhnya efektif. Order Dominikan kemudian mendapat tugas untuk menangani inkusisi yang didahului oleh semacam pengadilan di hadapan juri yang terdiri dari sedikitnya 20 orang, yang menjadi permulaan dari sistem juri dalam pengadilan modern. Kisah tentang perkembangan heresi Albigenses, dapat anda baca kembali di artikel di atas, silakan klik.
Maka, secara prinsip, prosedur yang dilaksanakan oleh para legates yang diberi tugas oleh Paus dalam menangani para heretik pada Abad Pertengahan adalah sebagai berikut:
1. Edict of Faith:
Seruan agar umat menolak ajaran sesat, sebab jika tidak sangsi ekskomunikasi diberlakukan. Hal ini dilakukan oleh para biarawan Dominikan.
2. Edict of Grace:
Seruan kepada para heretik agar menghadap para inkuisitor dan menjanjikan pengampunan jika mereka menarik pengajarannya dalam waktu 15- 30 hari.
3. Jika para heretik ini menolak menarik pengajarannya, mereka akan diperiksa dan dipenjara menjelang hari pengadilan. Jika setelah diadili mereka bertobat, maka hukumannya adalah penitensi kanonikal seperti ziarah, pelayanan di Holy Land dst.
4. Baru jika para heretik ini tetap berkeras maka diberlakukan kekerasan.
Dalam bukunya yang berjudul Characters of the Inquisition, William Thomas Walsh mengisahkan beberapa Chief Inquisitors, di antaranya Bernard of Gui. Dikatakan bahwa mereka adalah “far from being inhuman, …men of spotless character and sometimes of truly admirable sanctity….”[1]. Setelah itu, mereka yang tidak juga mau bertobat diserahkan kepada pemerintah sekular untuk dihukum. Memang harus diakui bahwa hukuman terakhir ini sangatlah kejam, seperti digantung atau dibakar di hadapan umum; sesuatu yang sangat tak terbayangkan oleh masyarakat abad ini.
3. Paus Innocentius IV (1252) dan Bull Ad Extirpanda
Dengan meluasnya kekacauan akibat ajaran sesat Albigenses, Paus Innocentius IV (1252) memang mengeluarkan Bull Ad Extirpanda, yang memperbolehkan penggunaan kekerasan pada pemeriksaan para heretik, yang dianggap sebagai "pembunuh jiwa dan perampok sakramen Gereja dan iman Kristiani" (1913 Catholic Encyclopedia). Namun demikian, hal ini hanya boleh diberlakukan secara terbatas, yaitu oleh para inkusitor sebagai cara yang terakhir, jika cara- cara persuasif lainnya tidak berhasil. Tujuan kekerasan ini adalah supaya para heretik tersebut mengakui kesalahannya. Parameter pelaksanaannya (dikutip dari Wikipedia): 1) bahwa tindakan kekerasan tersebut tidak boleh sampai membunuh atau membuat cacat; 2) tindakan tersebut hanya boleh dilakukan satu kali; 3) bahwa para inkuisitor harus mempunyai bukti yang benar- benar nyata tentang pelanggaran sang tertuduh.
Ada banyak orang yang menganggap bahwa Bull ini merupakan bukti bahwa dogma Infalibilitas Paus itu adalah ajaran yang salah. Mereka mengatakan bahwa Bull tersebut adalah buktinya, karena jelas- jelas efeknya salah: yaitu kekejaman yang sangat pada jaman Inkuisisi. Pandangan ini keliru, sebab Bull Ad Extirpanda tersebut tidak memenuhi ketiga syarat untuk dianggap sebagai pernyataan yang Infallible. Silakan membaca di sini untuk membaca lebih lanjut tentang Infalibilitas Paus, silakan klik. Ketiga syarat yang harus dipenuhi oleh suatu ajaran Paus, untuk dapat dikatakan sebagai sesuatu yang tidak mungkin salah (Infallible) adalah: 1) pengajaran tersebut harus diucapkan dalam kapasitasnya sebagai wakil Petrus, dikenal sebagai ex-cathedra, artinya di atas kursi Petrus (Umumnya ada perkataan kira- kira seperti demikian pada pernyataannya: Saya, selaku penerus Rasul Petrus menyatakan bahwa…..); 2) Ajaran itu merupakan ajaran definitif yang menyangkut iman dan moral; 3) Ajaran itu berlaku universal untuk seluruh umat Katolik di seluruh dunia.
Tidak diketahui dengan pasti apakah Paus Innocentius IV memberikan Bull ini di atas kursi Petrus, sehingga bersifat ex-cathedra, namun yang pasti, aturan penanganan heretik tersebut hanya untuk dilakukan secara sangat terbatas, yaitu oleh para inkuisitor, sehingga tidak bersifat universal.
4. Perbandingan Inkuisisi dengan penanganan pemerintah sekular dan pada jaman Reformasi
Sekarang, mari kita melihat apa yang terjadi dalam inkuisisi yang dilakukan oleh Gereja dan penanganan yang dilakukan oleh pemerintah sekular pada abad 13-14, dan jumlah korban umat manusia di abad- abad berikutnya.
Sebagai contohnya, di Touluose, dari 1308-1323 hanya 42 orang dari 930 yang diadili dinyatakan sebagai “unpenitent heretics“/ bidat yang tak menyesal, dan diserahkan kepada pihak pemerintah sekular.
Spanish Inquisition, dalam 30 tahun pemerintahan ratu Isabel, ada sekitar 100,000 orang yang dikirim ke inkuisisi, dan 80,000 dinyatakan tidak bersalah. 15,000 dinyatakan bersalah, namun setelah mereka menyatakan iman secara publik, maka mereka dibebaskan kembali. Hanya ada sekitar 2,000 orang yang meninggal karena keputusan inkuisisi sepanjang pemerintahan Ratu Isabella, dan 3000 orang kemudian dari tahun 1550 – 1800. Sedangkan, sebagai perbandingan, hanya dalam waktu 20 hari, Revolusi Perancis (1794), yang dimotori oleh gerakan “Enlightenment”, meng-eksekusi pria dan wanita sebanyak 16,000- 40,000. Jumlah korban ini, jauh lebih banyak daripada korban inkuisisi dalam 30 tahun pemerintahan Ratu Isabella.
Menurut Raphael Molisend, seorang sejarahwan Protestan, Henry VIII membunuh 72,000 umat Katolik. Orang yang meninggal selama beberapa tahun pada masa pemerintahan Henry VIII dan anaknya Elizabeth I, jauh melebihi apa yang terjadi pada inkuisisi di Spanyol dan Roma selama 3 abad. Dari Geneva, Calvin mengirimkan utusan kepada England (Inggris) dengan pesan untuk membunuh orang-orang Katolik: “Siapa yang tidak mau membunuh para pengikut Paus, adalah pengkhianat.” Kebijakan ini dikenal tidak hanya oleh orang-orang Inggris yang setia kepada Roma, tetapi juga orang- orang Irlandia, yang hidup dan hak asasinya diambil (sampai 1913), demikian juga tanah mereka. Tahun 1585 parlemen Inggris mengeluarkan dekrit “hukuman mati bagi para warga Inggris yang kembali ke Inggris setelah ditahbiskan menjadi imam Katolik, dan semua orang yang menghubungi mereka.” (Black Legends of the Church by Vittorio Messori, ch. 6, nr. 36)
Bandingkan juga dengan Perang Dunia I dan II, yang membunuh 50 juta orang. 40 juta orang meninggal dalam masa pemerintahan Stalin di Rusia. 80 juta orang meninggal di Cina karena revolusi komunis dan 2 juta di Kamboja. Dan entah berapa banyak lagi korban karena konflik antar agama yang terjadi di seluruh dunia sampai sekarang.
5. Kesimpulan
Sebagai kesimpulannya, maka jika kita menilai dari standar saat ini, memang dapat dikatakan bahwa inkuisisi merupakan suatu titik kelam dalam sejarah Gereja. Hal penerapan kekerasan dalam inkuisisi dipengaruhi oleh hukum Romawi yang memang secara luas diterapkan pada beberapa negara di Eropa pada jaman Abad Pertengahan [sampai dengan abad ke -15 di Spanyol]. Inkuisisi ini mendapat dukungan dari pemerintah negara- negara yang bersangkutan, karena mereka melihatnya sebagai upaya menanggulangi kekacauan masyarakat.
Tentu saja ada kesalahan yang dilakukan oleh putera/i Gereja Katolik yang tidak menerapkan hukum kasih selama dalam proses inkuisisi ini. Inilah sebabnya Paus Yohanes Paulus II meminta maaf atas nama mereka, menjelang perayaan tahun Yubelium 2000. Di satu sisi, kita seharusnya melihat keberanian dari Gereja Katolik untuk mengakui kesalahan ini dan dengan berani meminta maaf. Silakan membandingkan dengan agama atau gereja lain, apakah ada yang pernah melakukan hal yang sama, untuk meminta maaf atas kesalahan yang dilakukan oleh putera dan puteri mereka di masa yang lalu?
Yang terpenting, Katekismus jelas melarang metode kekerasan/ penyiksaan apapun:
KGK 2297 Penculikan dan penyanderaan menyebarluaskan rasa takut dan melakukan tekanan tidak halal melalui ancaman atas kurban; mereka tidak dapat dibenarkan menurut moral. Terorisme, yang mengancam, melukai, dan membunuh secara sewenang-wenang merupakan pelanggaran besar terhadap keadilan dan cinta kasih Kristen. Siksaan yang memakai kekerasan fisik atau psikis untuk memeras pengakuan, untuk menyiksa yang bersalah, untuk menakut-nakuti penentang atau untuk memuaskan kedengkian, melawan penghormatan terhadap manusia dan martabatnya…..
Demikianlah yang dapat saya sampaikan mengenai Inkuisisi, dan kaitannya dengan Paus Innocentius IV dan infalibilitas Paus. Semoga berguna.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
kepada bapak stefanus :
Penganiayaan Kelompok Albigenses
Ke1ompok Albigenses adalah orang-orang yang menganut ajaran dualistis, yang tinggal di Prancis bagian se1atan pada abad ke-12 dan ke-13. Mereka mendapatkan nama itu dari kota Prancis, Albi, yang merupakan pusat gerakan mereka. Mereka tinggal dengan peraturan etika yang ketat dan banyak tokoh menonjol di antara anggota mereka, seperti The Count of Toulouse, The Count of Foix, The Count of Beziers, dan yang lain yang memiliki pendidikan serta tingkat yang setara. Untuk menekan mereka, Roma pertama-tama mengirim biarawan Cistercian dan Dominikan ke wilayah mereka untuk meneguhkan kembali ajaran paus, tetapi tidak berguna karena ke1ompok Albigenses tetap setia dengan doktrin reformed………….
[Dari Admin Katolisitas: kami edit, karena sudah tertulis lengkap di atas. Pertanyaan ini sudah dijawab di atas, silakan klik]
Comments are closed.