Seruan pertobatan untuk keselamatan

Seruan pertobatan kepada umat manusia telah didengungkan oleh para nabi di dalam Perjanjian Lama dan juga menjadi seruan utama dalam Perjanjian Baru, yang kemudian diteruskan oleh Gereja-Nya. Melalui nabi Yehezkiel, Tuhan berkata kepada umat Israel “Demi Aku yang hidup, demikianlah firman Tuhan Allah, Aku tidak berkenan kepada kematian orang fasik, melainkan Aku berkenan kepada pertobatan orang fasik itu dari kelakuannya supaya ia hidup. Bertobatlah, bertobatlah dari hidupmu yang jahat itu!..” (Yeh 33:11). Tuhan menginginkan agar manusia berpaling kepada Tuhan, karena Dia mengasihi umat-Nya dan menginginkan agar manusia memperoleh kebahagiaan di Sorga. Tanpa pertobatan, kita semua akan binasa dan tidak mungkin memperoleh keselamatan kekal (lih. Luk 13:5).

Untuk mempersiapkan kedatangan Kristus, St. Yohanes Pembaptis berseru, “Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!” (Mat 3:2). Di awal karya-Nya, Yesuspun berseru, “Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!” (Mat 4:17). Seruan pertobatan di awal pelayanan Kristus, yang kemudian dirangkai dengan seruan pertobatan dan pengampunan dosa, di berbagai kesempatan, diselesaikan oleh Kristus di kayu salib dengan berkata, “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” (Luk 23:34). Untuk melanjutkan tugas untuk mengampuni dosa, maka setelah kebangkitan-Nya, Kristus sendiri memberikan kuasa untuk mengampuni dosa kepada para rasul yang diteruskan oleh para penerus mereka, yaitu para uskup dibantu oleh para imam (lih. Yoh 20:21-23).

Dosa dan pertobatan

Definisi dosa

Secara mendasar, dosa dapat didefinisikan sebagai penghinaan terhadap Allah, yaitu karena kita melawan kodrat kita sebagai makhluk ciptaan dan menempatkan diri kita sebagai pencipta. Perlawanan ini menimbulkan pelanggaran yang bertentangan dengan akal budi, kebenaran maupun hati nurani yang baik. Lebih lanjut, St. Thomas Aquinas mengutip St. Agustinus menuliskan bahwa dosa adalah kata, perbuatan atau keinginan yang bertentangan dengan hukum abadi atau hukum Allah. Katekismus Gereja Katolik menjelaskannya sebagai berikut:

KGK 1849   Dosa adalah satu pelanggaran terhadap akal budi, kebenaran, dan hati nurani yang baik; ia adalah satu kesalahan terhadap kasih yang benar terhadap Allah dan sesama atas dasar satu ketergantungan yang tidak normal kepada barang-barang tertentu. Ia melukai kodrat manusia dan solidaritas manusiawi. Ia didefinisikan sebagai “kata, perbuatan, atau keinginan yang bertentangan dengan hukum abadi” (Agustinus, Faust. 22,27; Dikutip oleh Tomas Aqu., s. th. 1-2,71,6, obj. 1)

KGK 1850   Dosa adalah satu penghinaan terhadap Allah: “Terhadap Engkau, terhadap Engkau sajalah aku telah berdosa dan melakukan apa yang Kau anggap jahat” (Mzm 51:6). Dosa memberontak terhadap kasih Allah kepada kita dan membalikkan hati kita dari Dia. Seperti dosa perdana, ia adalah satu ketidaktaatan, satu pemberontakan terhadap Allah, oleh kehendak menjadi “seperti Allah” dan olehnya mengetahui dan menentukan apa yang baik dan apa yang jahat (Kej 3:5). Dengan demikian dosa adalah “cinta diri yang meningkat sampai menjadi penghinaan Allah” (Agustinus, civ. 14,28). Karena keangkuhan ini, maka dosa bertentangan penuh dengan ketaatan Yesus (bdk. Flp 2:6-9) yang melaksanakan keselamatan.

Pengelompokan dosa

Setelah kita mengetahui apakah hakekat dosa, selanjutnya kita perlu mengetahui juga pengelompokkan dosa, supaya kita dapat memeriksa diri kita sendiri, dosa apakah yang ada pada kita. Dosa dikelompokkan menurut beberapa kategori: dari asalnya, dari tingkat kejahatannya, dari aktivitasnya dan dari bobotnya.

Dari asalnya, dosa dapat dibagi dua: yaitu dosa asal dan dosa aktual. Dosa asal adalah dosa yang diwariskan oleh Adam sebagai perwakilan seluruh umat manusia, yang telah gagal dalam menaati dan melaksanakan kehendak Allah. Dosa aktual adalah dosa yang dilakukan oleh setiap individu berdasarkan atas kehendak bebas masing-masing. Dosa aktual ini terdiri dari dua jenis, yaitu dosa tentang pelanggaran (sin of commission) dan dosa kelalaian (sin of omission). Dosa tentang pelanggaran adalah dosa yang merupakan kegagalan untuk menghindari larangan dari Tuhan; sedangkan dosa kelalaian adalah dosa yang berhubungan dengan kelalaian untuk melakukan sesuatu yang baik.

Dari tingkat kejahatannya (malice), dosa dapat dikelompokkan menjadi: ketidaktahuan (ignorance), kelemahan (passion or infirmity) dan kejahatan (malice). Contohnya, dosa pornografi, yang dapat dimulai dari ketidaktahuan, seperti: ketidaksengajaan masuk ke situs yang tidak sopan, ketidaktahuan bahwa menonton blue-film bersama dengan pasangan hidup adalah perbuatan dosa, dll. Karena diperburuk oleh kelemahan dalam hal kemurnian, maka seseorang menjadi sulit untuk melepaskan dosa ini. Dalam tingkat yang lebih buruk, seseorang kemudian mulai menyebarkan pornografi, dan mulai merusak kehidupan banyak orang.

Dari aktivitasnya, dosa dapat dibedakan menjadi dosa di dalam pikiran/kehendak (cordis), dalam perkataan (oris) dan perbuatan (operis). Seseorang dapat saja mempunyai dosa perzinahan dalam pikiran (lih. Mat 5:28), yang dapat diikuti dengan kata-kata yang tidak sopan, sampai akhirnya diikuti dengan tindakan perzinahan dalam perbuatan yang nyata.

Dari bobotnya, dosa dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu dosa ringan dan dosa berat. Dosa berat adalah dosa melawan kasih secara langsung, sedangkan dosa ringan memperlemah kasih. Jadi dosa berat secara langsung menghancurkan kasih di dalam hati manusia, sehingga tidak mungkin Tuhan dapat bertahta di dalam hatinya, sedangkan dosa ringan memperlemah kasih kepada Tuhan. Dosa berat atau ringan tergantung dari sampai seberapa jauh dosa tersebut membuat seseorang menyimpang dari tujuan akhir, yaitu Tuhan. Jika dosa tertentu membuat seseorang menyimpang terlalu jauh sampai mengaburkan ataupun berbelok dari tujuan akhir, maka itu adalah dosa berat. (lih. St. Thomas Aquinas, ST, II-I, q.72, a.5) Lebih lanjut dalam tulisannya, “Commentary on the Sentence I,I,3“, St. Thomas Aquinas mengatakan bahwa dosa ringan tidak membuat seseorang berpaling dari Tuhan. Ibaratnya, seseorang yang melakukan dosa ringan seumpama orang yang berkeliaran, namun tetap menuju tujuan akhirnya.

Pertobatan atau penyesalan

Setelah kita menyadari hakekat dosa dengan berbagai macam pengelompokannya, maka hal yang lebih penting untuk disadari adalah bahwa dosa membawa maut, yang kalau tidak disertai dengan penyesalan, akan membawa kita kepada kehancuran abadi di neraka. Sikap yang diinginkan oleh Allah adalah sikap penyesalan dari dalam, seperti anak yang hilang yang berkata, ” Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa.” (Luk 15:21). Konsili Trente (Sess. XIV, ch. iv de Contritione) memberikan penjelasan bahwa pertobatan adalah, “Kesedihan jiwa dan kebencian akan dosa yang telah dilakukan, dengan tujuan yang teguh untuk tidak berdosa lagi di kemudian hari.”

Secara etimologi, penyesalan (contrition) berarti menghancurkan sesuatu yang telah menjadi keras. Hati yang mengeras karena dosa inilah yang harus dihancurkan dalam pertobatan. Jiwa yang hancur, hati yang patah dan remuk inilah yang menyenangkan hati Allah (Mzm 51:17). Dari sini kita melihat bahwa pertobatan adalah peristiwa yang “sengit”, karena menghancurkan kesenangan diri demi kasih kepada Allah. Penyesalan adalah syarat mutlak bagi pengampunan dosa dari Allah.

Kristus mengampuni dosa melalui Sakramen Baptis

Seruan pertobatan inilah yang telah disampaikan oleh Kristus sejak awal karya-Nya. “Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat.” (Mat 4:17). Atau, dalam Injil Markus dituliskan, “Waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!” (Mrk 1:15). Kalau kita manusia menjawab seruan pertobatan dari Kristus, maka kita akan diselamatkan, karena Kristus sendiri telah memberikan rahmat pengampunan dosa bagi kita, yang diperoleh-Nya dengan pengorbanan-Nya di kayu salib, sebagai silih atas dosa-dosa kita manusia.

Selanjutnya, mungkin orang bertanya, bagaimana caranya agar kita memperoleh pengampunan dosa dari Kristus? Injil Markus mengatakan, “Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum.” (Mrk16:16) Dengan demikian, Kristus memilih cara baptisan untuk menyalurkan rahmat pengampunan-Nya yang mengalir dari karya penebusan-Nya di kayu salib. Dengan Sakramen Baptis, kita menyatukan diri kita dengan Kristus, meninggalkan manusia lama dan hidup di dalam Kristus menjadi manusia yang baru (lih. Rm 4:25). Katekismus Gereja Katolik menjelaskannya sebagai berikut:

KGK 977     Tuhan kita telah menghubungkan pengampunan dosa dengan iman dan Pembaptisan: “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk. Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum” (Mrk 16:15-16). Pembaptisan adalah Sakramen pertama dan terpenting demi pengampunan dosa. Ia menyatukan kita dengan Kristus, yang telah wafat untuk dosa kita dan yang telah dibangkitkan demi pembenaran kita (bdk. Rm 4:25), supaya “kita hidup sebagai manusia yang baru” (Rm 6:4).

KGK 978     “Kalau kita mengakui iman untuk pertama kalinya dan dibersihkan dalam Pembaptisan suci, diberikanlah kepada kita pengampunan yang begitu berlimpah ruah, sehingga tidak ada satu kesalahan pun – baik yang melekat pada kita oleh turunan, maupun sesuatu yang kita lalaikan atau lakukan dengan kehendak sendiri – yang tidak dihapuskan dan tidak ada siksa yang masih perlu disilih. Namun orang tidak dibebaskan dari semua kelemahan kodrat oleh rahmat Pembaptisan; sebaliknya setiap orang harus berjuang melawan rangsangan hawa nafsu yang tanpa henti-hentinya mengajak kita untuk berbuat dosa” (Catech. R. 1, 11,3).

Gereja diberi kuasa oleh Kristus untuk mengampuni dosa

Kristus, yang menginginkan agar manusia memperoleh keselamatan (lih. 1Tim 2:4), tidak membiarkan manusia kehilangan rahmat pengampunan. Sebelum Ia naik ke Sorga, Kristus memberikan amanat agung kepada para murid-Nya, “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” (Mat 28:19-20) Inilah sebabnya, Gereja menyadari tanggung jawab yang dipercayakan oleh Kristus, untuk membawa umat manusia kepada keselamatan, baik melalui pengajaran, pemuridan maupun Pembaptisan.

Walaupun pada saat dibaptis, kita memperoleh pengampunan dosa asal, maupun dosa pribadi (aktual) – baik dosa ringan maupun dosa berat; dosa dengan pikiran, perkataan, maupun perbuatan; dosa pelanggaran maupun dosa kelalaian; baik dari ketidaktahuan, kelemahan, maupun kejahatan – dari saat awal hidup kita sampai pada saat dibaptis, namun kita masih harus terus berjuang untuk terus hidup dalam kekudusan. Dalam perjuangan ini, kita akan mengalami jatuh bangun, bahkan tidak jarang kita dapat melakukan dosa berat yang membahayakan keselamatan kita.

Untuk memberikan pengampunan Allah bagi umat-Nya setelah mereka menerima Sakramen Baptis, Kristus memberikan kuasa untuk mengampuni dosa kepada Petrus yang diteruskan oleh para penerusnya yaitu para Paus (lih. Mat 16:16-19) dan kepada para rasul yang diteruskan oleh para uskup dibantu oleh para imam (lih. Yoh 20:21-23). Dalam prakteknya, pengampunan dosa ini terjadi dalam Sakramen Tobat. Katekismus Gereja Katolik menjelaskannya sebagai berikut:

KGK 981     Sesudah kebangkitan-Nya Kristus mengutus para Rasul-Nya, untuk “menyampaikan berita tentang pertobatan kepada segala bangsa mulai dari Yerusalem” (Luk 24:47). Karena itu para Rasul dan para penggantinya melaksanakan “pelayanan pendamaian” (2Kor 5:18): Pada satu pihak mereka mewartakan kepada manusia pengampunan oleh Allah, yang telah diperoleh Kristus bagi kita, dan menghimbau untuk bertobat dan beriman. Pada lain pihak mereka sungguh menyampaikan pengampunan dosa melalui Pembaptisan dan mendamaikan orang dengan Allah dan dengan Gereja berkat kuasa kunci yang diterimanya dari Kristus. “Gereja telah menerima kunci Kerajaan surga, supaya di dalam dia pengampunan dosa dapat terjadi oleh darah Kristus dan oleh karya Roh Kudus. Di dalam Gereja jiwa yang mati karena dosa hidup lagi, supaya hidup bersama Kristus, yang rahmat-Nya menyelamatkan kita” (Agustinus, serm. 214,11).

Memang mungkin sulit sekali bagi kita untuk dapat mengerti, mengapa paus, uskup dan para imam, yang adalah manusia seperti kita, diberi tanggung jawab yang sedemikian besar. Kuasa untuk mengampuni dosa ini artinya adalah, kuasa yang diberikan Kristus kepada para rasul-Nya (yang diteruskan kepada para penerus mereka) untuk mengampuni dosa sebesar apapun, tidak terbatas oleh waktu maupun tempat, sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Yesus kepada Petrus untuk mengampuni dosa tujuhpuluh kali tujuh (lih. Mat 18:22) yang artinya: tidak terbatas. Yesus mengajarkan bahwa kalau ada seseorang berbuat dosa tujuh kali sehari dan tujuh kali ia kembali menyatakan penyesalannya, dia akan tetap mendapatkan pengampunan (lih. Luk 17:3). Menyadari tanggung jawab yang begitu besar yang diemban oleh para imam, St. Ambrosius menuliskan, “Tuhan menghendaki bahwa murid-murid-Nya memiliki kuasa yang besar; Ia menghendaki, agar pelayan-pelayan-Nya yang hina itu atas nama-Nya melaksanakan apa saja, yang telah Ia lakukan sewaktu Ia hidup di dunia (Ambrosius, poenit. 1,34). Dan lebih lanjut St. Yohanes Krisostomus menuliskan, “Para imam telah menerima kuasa, yang Allah tidak berikan baik kepada para malaikat maupun kepada para malaikat agung… Tuhan mengukuhkan di atas sana segala sesuatu, yang para imam lakukan di atas dunia ini.” (Yohanes Krisostomus, sac. 3,5).

Mensyukuri pengampunan dosa

Misteri pengampunan dosa yang diberikan, hanya dapat dimengerti dalam kebijaksanaan Kristus, yang memang memberikan kuasa kepada para rasul dan diteruskan kepada para paus, uskup dan imam, sehingga memungkinkan seluruh umat beriman memperoleh pengampunan dosa dan keselamatan kekal. Sejauh kita dapat melihat bahwa para paus, uskup dan imam adalah alat yang dipakai Tuhan untuk menguduskan umat beriman, maka kita dapat menerima dan bahkan mensyukuri kebijaksanaan Tuhan ini. Kita sepantasnya bersyukur akan karunia Gereja serta para imam, karena melalui mereka, kita memperoleh pengampunan dosa melalui Sakramen Baptis dan Sakramen Tobat. Mari, jangan hanya berhenti pada rasa syukur, namun bersama-sama kita mengaku dosa secara teratur, sehingga rahmat pengampunan senantiasa mengalir di dalam kehidupan kita, dan membantu kita dalam perjuangan kita untuk hidup kudus.

9 COMMENTS

  1. shalom tim katolisitas, bagaimanakah caranya Gereja membedakan ayat alkitab atau perkataan Yesus yang bisa diartikan secara literal seperti mengampuni dosa, menyantap Tubuh dan Darah-Nya, dengan yang tidak perlu diartikan secara literal seperti jangan memanggil siapapun Bapa, dsb.? terima kasih…

    [Dari Katolisitas: Pertama-tama, silakan membaca artikel tentang Empat prinsip dalam menginterpretasikan Kitab Suci, silakan klik; dan Bagaimana menginterpretasikan Kitab Suci menurut ajaran Gereja Katolik. Prinsip utamanya, apa yang mungkin diterima secara literal, harus diterima secara literal. Baru jika tidak mungkin diterima secara literal, karena jika demikian malah tidak sesuai dengan ayat-ayat yang lain dalam Kitab Suci dan tidak dapat dijelaskan dengan akal sehat, maka kita melihat arti yang lain dari arti literal tersebut. Penjelasan selanjutnya, silakan membaca artikel-artikel di link tersebut di atas.]

  2. shalom..

    Apakah Allah mencipta Dosa atau Apakah Allah mencipta manusia untuk tidak berbuat dosa?

    [dari katolisitas: Allah tidak menciptakan dosa. Allah adalah kasih, dan ketidakadaan kasih adalah dosa. Allah menciptakan manusia untuk tidak berbuat dosa namun untuk berbahagia bersama-Nya di Surga.]

  3. shallom,
    apakah perlu juga kita mengaku dosa pada orang yang kita sakiti atau kita khianati kepercayannya. setelah kita mengaku dosa di hadapan imam? mengaku perbuatan salah kita, karena ada kemungkinan pihak yg tersakiti tidak mau memaafkan dan tidak mau mengampuni kita.

    mohon jawabannya, terima kasih,

    • Shalom Maria,

      Pada saat kita mengaku dosa, maka hubungan kita dengan Allah dipulihkan. Namun, kalau ada sesuatu yang dapat kita lakukan untuk memulihkan hubungan kita dengan sesama, maka kita harus berusaha untuk melakukannya. Jadi, kalau memang kita menyadari bahwa kita telah menyakiti hati sesama kita, maka kita juga harus berani meminta maaf kepada orang yang kita sakiti. Kalau pihak yang kita sakiti tidak mau mengampuni kita, maka kita bawa dalam doa, dan setidaknya kita telah melakukan bagian kita untuk meminta maaf.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      stef – katolisitas.org

  4. Dear Katolisitas,

    Di samping sebagaimana dalam DOA BAPA KAMI itu, bukankah Tuhan pun memerintahkan agar kita berdamai dulu, saling memaafkan, dengan suadara kita sebelum kita menghadap Dia? Bukankah itu menguatkan bahwa ikatan dosa itu adalah antara si pelaku dan si korban dan harus diselesaikan dahulu?

    Ketika menyakiti orang tua, siapa pun tentunya tidak akan pernah merasa nyaman, merasa sudah beres urusan, sebelum maaf dari orang tua diterima dari ibu sy, meskipun sudah mengaku dosa, memperoleh penintensi dan ampunan dari imam…. Apalagi, salah satu dari sepuluh perintah Tuhan jelas-jelas mewajibkan insan menghormati orang tua… Pengalaman banyak orang mengatakan bahwa dosa kepada orang tua, apalagi kepada ibu, “kontan” balasannya, kualat, luka batin, kata orang-orang. Andai harus memilih minta ampunan dari orang tua atau dari pastor, lalu pilih mana? Sy jelas-jelas akan memilih minta ampun ke orang tua sy dan sesudah itu baru sy menghadap Tuhan. Kalau Anda bagaimana?

    Jika orang menafsirkan bahwa penyebutan “Petrus” itu adalah representasi pengikut/umat bagaimana? Mosok Petrus saja yang diberi kuasa, rasul-rasul lain tidak? Artinya, setiap orang “memiliki pilihan: mau mengampuni atau tidak, mau melepas dosa orang lain atas dirinya atau tidak? Risikonya jelas: sebagaimana dalam teks DOA BAPA KAMI itu.

    Apakah tafsir yang tidak sama dengan “tafsir resmi” demikian itu membuat seorang umat menjadi kurang atau tidak beriman secara benar, dan tidak akan lolos di hari penghakiman itu? Apakah faktor utama untuk memperoleh pengampunan, untuk memperoleh keselamatan itu adalah “kepercayaan bahwa kuasa pengampunan itu adalah oleh imam” atau “pertobatan” seseorang itu? Mohon tanggapan dan mohon maaf jika tulisan sy begini ini. Dasar sy adalah: bahwa sy wajib menggunakan segala akal budi dan kekuatan sy untuk memahami untuk lebih dapat memuliakan Tuhan dan mengasihi sesama agar LOLOS di hari penghakimanNya itu. Tujuan hidup kita kan itu? GBU

    [dari katolisitas: Silakan Anda memberikan tafsir dari ayat Mat 16:16-19 dan Yoh 20:21-23]

  5. salam….

    “Gereja diberi kuasa oleh Kristus untuk mengampuni dosa”. Atas dasar apa pernyataan tersebut. Apakah manusia berdosa bisa mengampuni dosa sesamanya?
    Alkitab mengatakan bahwa semua manusia berdosa, tpi kita diselamatkan dari hukuman dosa, namun krn natur kita adalah dosa maka kita masih dpt berbuat dosa. Apak mungkin seorang berdosa mengampuni pendosa lain. Kita semua tahu bahwa hanya Bapa yang bisa mengampuni dosa. Dan juga pengampunan dosa sudah ada yang puncaknya pada kematian Kristus di kayu salib. Nah,,, masalahnya “Apakah kita mau menerima pengampunan Tuhan itu”. Kalau mau yang percaya kepada Tuhan.

    Analginya: Ketika si A bersalah kepada si B, maka si A harus mita ampun kepada si B. Kalaupun ia memakai perantara yaitu si C, namun itu hanya sekedar perantara. Si c tidak bisa memutuskan.

    Inilah sebenarnya tugas org percaya, menjadi perantara, yaitu memberitakan kabar baik, bukan memberi pengampunan.

    thanks

    • Shalom Yayo,

      Memang benar bahwa hanya Tuhan-lah yang berkuasa mengampuni dosa; namun oleh otoritas ilahi-Nya Tuhan memberikan kuasa ini kepada orang-orang tertentu, yaitu para Rasul dan para penerus mereka, untuk melakukan pengampunan dosa ini atas nama-Nya (lih. Yoh 20:21-23). Ajaran ini dilestarikan oleh Gereja Katolik dalam sakramen Pengakuan Dosa. Para imam yang adalah para penerus Rasul itu hanya melakukan tugas ini, karena diberi kuasa oleh Kristus. Memang bukan para imam itu, yang dengan kuasanya sendiri sebagai manusia, dapat mengampuni dosa. Kuasa pengampunan dosa itu datang dari Kristus, yang telah memberikan Roh Kudus itu kepada mereka, untuk mengampuni dosa orang sehingga dosa yang mereka ampuni akan diampuni oleh Allah, dan kalau dosa itu dinyatakan tetap ada, maka dosa itu tetap ada.

      Katekismus Gereja Katolik mengajarkan:

      KGK 1441    Hanya Tuhan dapat mengampuni dosa (Bdk. Mrk 2:7). Karena Yesus itu Putera Allah, Ia mengatakan tentang diri-Nya, “bahwa di dunia Anak Manusia mempunyai kuasa mengampuni dosa” (Mrk 2:10). Ia melaksanakan kuasa ilahi ini: “Dosamu sudah diampuni” (Mrk 2:5; Luk 7:48). Lebih lagi: berkat otoritas ilahi-Nya, Ia memberi kuasa ini kepada manusia (Bdk. Yoh 20:21-23), supaya mereka pun melaksanakannya atas nama-Nya.

      KGK 1442    Kristus menghendaki bahwa Gereja secara keseluruhan dalam doanya, dalam kehidupannya, dan dalam kegiatannya adalah tanda dan alat pengampunan dan perdamaian, yang telah Ia peroleh dengan harga darah-Nya. Namun Ia mempercayakan pelaksanaan kuasa absolusi ini kepada jabatan apostolik. Kepadanya dipercayakan “pelayanan pendamaian” (2 Kor 5:18). Rasul diutus “dalam nama Kristus”; melalui dia Allah sendiri menasihati dan memohon: “Berilah dirimu didamaikan dengan Allah” (2 Kor 5:20).

      Selanjutnya, sakramen Pengakuan Dosa tidak dimaksudkan untuk menggantikan atau menghapus kewajiban orang yang berdosa itu, untuk meminta maaf kepada pihak yang telah mereka rugikan/ sakiti. Hal ini disebutkan juga dalam Katekismus:

      KGK 1459    Banyak dosa menyebabkan kerugian bagi sesama. Orang harus sedapat mungkin mengganti rugi (umpamanya mengembalikan barang yang dicuri, memperbaiki nama baik orang yang difitnah, memberi silih untuk penghinaan). Keadilan sendiri sudah menuntut ini. Tetapi di samping itu dosa melukai dan melemahkan pendosa sendiri, demikian pula hubungannya dengan Allah dan dengan sesama. Absolusi menghapuskan dosa, namun tidak mengatasi semua ketidak-adilan yang disebabkan oleh dosa (Bdk. Konsili Trente: DS 1712). Setelah pendosa mengangkat diri dari dosa, ia masih harus mendapat kesehatan rohani yang penuh. Ia harus “membuat silih”, untuk dosa-dosanya, harus memperbaiki kesalahan atas suatu cara yang cocok. Penyilihan ini juga dinamakan “penitensi”.

      Maka memang, seseorang yang bertobat, harus pertama-tama menunjukkan pertobatannya kepada sesama yang disakiti/ dirugikan. Ini adalah proses rekonsiliasi yang ideal sebagaimana disebutkan dalam doa Bapa kami: Kita memohon Allah mengampuni dosa kita, sebagaimana kita mengampuni orang yang bersalah kepada kita. Atau jika mengambil analogi yang Anda sebutkan: jika A bersalah pada B, maka idealnya A minta maaf pada B dan B memaafkannya, sehingga rekonsiliasi berjalan dengan baik. Namun masalahnya, dapat terjadi, A sudah menyesal dan bertobat, sudah juga mengembalikan ganti rugi, namun B yang dilukainya itu masih belum mau mengampuninya. Atau A sudah bertobat, tetapi keadaan tidak memungkinkannya untuk meminta maaf pada B, karena B-nya sendiri sudah tidak tahu ada di mana, atau sudah meninggal dunia. Di sinilah peran imam yang mewakili Gereja (yang adalah wakil dari sesama manusia juga), yang telah diberikan kuasa oleh Kristus, untuk melepaskan ikatan dosa yang belum dilepaskan oleh sesamanya itu. Sehingga walaupun B masih mengikat A dengan dosanya (B masih belum mengampuni A), namun kuasa Allah yang diberikan-Nya kepada imam, mengatasi kuasa manusia (B tersebut), sehingga jika A sudah sungguh bertobat, maka tidak ada yang menghalanginya untuk kembali ke dalam persekutuan dengan Allah.

      Di sini istilah penting yang harus dipahami adalah istilah kuasa “mengikat dan melepaskan” yang diberikan oleh Kristus kepada para rasul: “Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga.” (Mat 16:19; 18:18).  Flavius Josephus, seorang ahli sejarah di abad ke -1 menuliskan bahwa umat Yahudi pada saat itu memahami istilah “mengikat dan melepaskan” sebagai otoritas untuk mengatur, yang mengikat atau melepaskan masyarakat dari suatu kewajiban, untuk menghukum atau untuk mengampuni, dan untuk menentukan sesuatu sebagai sesuatu yang sah atau tidak sah. Kuasa “mengikat dan melepaskan” ini diberikan oleh Ratu Alexandra (76-67 BC) kepada kaum Farisi. Kuasa inilah yang sering menjadi pertentangan antara para Rabi golongan Shamma dan Hillel, pada jaman Yesus, karena yang diikat oleh golongan yang satu dilepaskan oleh yang lain, demikian sebaliknya. Di sini Josephus tidak meragukan bahwa maksud ungkapan “mengikat dan melepaskan” itu berkaitan dengan otoritas (Stanley L. Jaki, The Keys of the Kingdom (Chicago: Franciscan Herald Press, 1986), p.43). Maka Yesus mengakhiri kesimpangsiuran ini dengan memberikan otoritas yang benar kepada Petrus, yang dipercayakan untuk memimpin Gereja-Nya.

      Maka Katekismus Gereja Katolik mengajarkan demikian:

      KGK 1445    Kata-kata mengikat dan melepaskan berarti: siapa pun yang akan kamu kucilkan dari persekutuan, maka Allah pun akan mengucilkannya dari persekutuan dengan diri-Nya; siapa pun yang akan kamu terima kembali dalam persekutuanmu, maka Allah pun akan menerima-Nya kembali dalam persekutuan dengan diri-Nya. Perdamaian dengan Gereja tidak dapat dipisahkan dari perdamaian dengan Allah.

      Dengan demikian, memang bukan kuasa sang imam sendiri untuk mengampuni dosa atau untuk “melepaskan” ikatan dosa seseorang, sebab imam itu hanya melakukan apa yang diperintahkan oleh Kristus. Para imam itu adalah para penerus rasul yang oleh Kristus diberi kuasa Roh Kudus, untuk mengampuni dosa, “Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada.” (Yoh 20:22-23). Atas firman ini,

      Sesungguhnya, kita malah harus bersyukur bahwa Gereja melalui para imamnya diberi kuasa oleh Allah untuk mengampuni dosa kita jika kita sungguh bertobat. Sebab jika tidak, betapa banyaknya orang yang masuk neraka karenanya, karena ada kecenderungan manusia untuk tidak mengampuni, walaupun orang yang melukainya sudah sungguh bertobat dan menyesal. Jika ini patokannya, maka orang yang berdosa itu akan masuk neraka (karena ikatan dosanya tidak dilepaskan oleh orang yang dilukai); sedangkan orang yang tidak mengampuni itu juga masuk neraka karena Allah tidak mengampuni). Paham ini meniadakan kuasa pengampunan Allah yang bersumber dari pengorbanan Kristus. Justru sakramen Pengampunan Dosa yang dipercayakan kepada Gereja Katolik menampakkan belas kasih Allah yang mengatasi pikiran dan batasan manusia, sehingga buah-buah pengorbanan Kristus itu masih dapat kita terima sampai sekarang. Jika kita sungguh bertobat dan menyesali dosa kita, Tuhan mau mengampuni dan memberikan kesempatan kepada kita untuk memulai hidup yang baru. Dengan demikian kuasa-Nya melepaskan kita dari ikatan dosa, dan mengembalikan kita ke dalam kawanan umat-Nya, sebagaimana kisah Anak yang hilang itu (lih. Luk 15:11-32) dan Zakheus (Luk 19:9), baik dengan atau tanpa maaf dari sesama kita.

      Mungkin, karena Anda bukan Katolik, maka hal sakramen pengampunan dosa ini terdengar asing bagi Anda, tetapi sesungguhnya, sakramen Pengampunan dosa ini memiliki dasar yang kuat dari Kitab Suci dan telah diajarkan juga oleh para Rasul dan Bapa Gereja. Tentang hal ini sudah pernah dibahas di artikel seri ini:

      Masih Perlukah Pengakuan Dosa (bagian 2)
      Masih Perlukah Pengakuan Dosa (bagian 3)

      Maka, memang sebagai orang beriman kita diberi tugas untuk menjadi pengantara bagi sesama untuk membawa mereka lebih dekat kepada Tuhan, dan dengan ini kita menjadi rekan sekerja Allah (lih. 1 Kor 3:9) dengan mengambil bagian dalam Pengantaraan Kristus yang satu-satunya itu (lih. 1Tim 2:5). Namun khusus kepada para penerus Rasul, Kristus mempercayakan kuasa mengajar dan mengampuni dosa (lih. Mat 16:19; 18:18; 28:19-20), sehingga jika mereka tidak melaksanakannya, mereka malah tidak menjalankan tugas yang dipercayakan kepada mereka oleh Tuhan. Sebab selain diberi tugas untuk mewartakan Injil, para rasul dan para penerus mereka diberi tugas juga untuk mengajar dan melakukan segala sesuatu yang diperintahkan oleh Kristus, termasuk di sini adalah hal mengampuni dosa atas nama-Nya. Gereja Katolik menerima dan melestarikan perintah Tuhan Yesus dalam hal ini, dalam sakramen Pengakuan dosa.

      Para imam itu yang diberi tugas untuk memberikan rahmat pengampunan Allah dalam sakramen Pengakuan Dosa itu sendiri, juga perlu mengaku dosa, sebab mereka sendiri tak lepas dari kesalahan dan dosa. Bapa Paus sekalipun, juga mengaku dosa pada rekan imam/ uskup. Menurut kabar, Paus umumnya mengaku dosa dalam sakramen Pengakuan Dosa seminggu sekali, bahkan ada yang mengatakan setiap hari. Demikian pula dengan Mother Teresa semasa hidupnya. Mereka yang sudah sedemikian dekat dengan Tuhan mampu melihat dosa/ kesalahannya dengan lebih jelas, dan mereka dengan rendah hati mau mengakuinya di hadapan imam yang diberi kuasa oleh Kristus itu untuk mengakui dosa mereka. Dengan demikian, mereka selalu mempunyai hubungan yang dekat dengan Tuhan, tanpa terhalang oleh dosa, bahkan dosa yang ringan sekalipun.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  6. Doa Bapa Kami jelas menyebutkan bagaimana kita untuk memperoleh pengampunan: Dan ampunilah kesalahan kami seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami. Dosa sy kepada seseorang akan tetap terikat, apabila sy sendiri tidak melepaskan orang lain yang berdosa kepada sy, meskipun sy pergi mengaku dosa dan memperoleh pengampunan gereja.

    Menurut sy, kewenangan mengampuni oleh gereja itu adalah tafsir yang agak “membingungkan” sy. Sy ambil contoh agar lebih “hidup”. Ketika seorang lelaki katolik memerkosa seseorang, maka ikatan dosa itu akan tetap apabila korban perkosaannya itu tidak melepaskannya / memaafkan si pemerkosa itu andai pun si pemerkosa itu pergi mengaku dosa dan mendapat pengampunan dosa dari pastor.Maka yg pertama harus dilakukan oleh si pemerkosa itu menurut sy adalah memperoleh ampunan dari korbannya itu dan bukan dari gereja.

    Artinya, setiap orang diberi kuasa mengikat mau pun mengampuni dosa seseorang dengan konsekuensi jelas: jika mengikat dosa seseorang, maka dosanya pun terikat. Jika hendak diampuni, maka terlebih dahulu harus mengampuni.

    Menurut penghayatan sy begitu. Maka sy senantiasa mendahulukan maaf dari orang-orang yang sy rasakan telah sy sakiti. Mohon tanggapan. GBU

    • Shalom Irwan,

      Doa Bapa Kami adalah suatu doa, namun tidak dapat dijadikan sebagai satu-satunya sumber ajaran tentang pengampunan dosa. Sebab memang benar bahwa hanya Tuhan-lah yang berkuasa mengampuni dosa; namun oleh otoritas ilahi-Nya Tuhan memberikan kuasa ini kepada orang-orang tertentu, yaitu para Rasul dan para penerus mereka, untuk melakukan pengampunan dosa ini atas nama-Nya dalam sakramen Pengakuan Dosa.

      Hal ini jelas disebutkan dalam Katekismus:

      KGK 1441    Hanya Tuhan dapat mengampuni dosa (Bdk. Mrk 2:7). Karena Yesus itu Putera Allah, Ia mengatakan tentang diri-Nya, “bahwa di dunia Anak Manusia mempunyai kuasa mengampuni dosa” (Mrk 2:10). Ia melaksanakan kuasa ilahi ini: “Dosamu sudah diampuni” (Mrk 2:5; Luk 7:48). Lebih lagi: berkat otoritas ilahi-Nya, Ia memberi kuasa ini kepada manusia (Bdk. Yoh 20:21-23), supaya mereka pun melaksanakannya atas nama-Nya.

      KGK 1442    Kristus menghendaki bahwa Gereja secara keseluruhan dalam doanya, dalam kehidupannya, dan dalam kegiatannya adalah tanda dan alat pengampunan dan perdamaian, yang telah Ia peroleh dengan harga darah-Nya. Namun Ia mempercayakan pelaksanaan kuasa absolusi ini kepada jabatan apostolik. Kepadanya dipercayakan “pelayanan pendamaian” (2 Kor 5:18). Rasul diutus “dalam nama Kristus”; melalui dia Allah sendiri menasihati dan memohon: “Berilah dirimu didamaikan dengan Allah” (2 Kor 5:20).

      Selanjutnya, sakramen Pengakuan Dosa tidak dimaksudkan untuk menggantikan atau menghapus kewajiban orang yang berdosa itu, untuk meminta maaf kepada pihak yang telah mereka rugikan/ sakiti. Hal ini disebutkan juga dalam Katekismus:

      KGK 1459    Banyak dosa menyebabkan kerugian bagi sesama. Orang harus sedapat mungkin mengganti rugi (umpamanya mengembalikan barang yang dicuri, memperbaiki nama baik orang yang difitnah, memberi silih untuk penghinaan). Keadilan sendiri sudah menuntut ini. Tetapi di samping itu dosa melukai dan melemahkan pendosa sendiri, demikian pula hubungannya dengan Allah dan dengan sesama. Absolusi menghapuskan dosa, namun tidak mengatasi semua ketidak-adilan yang disebabkan oleh dosa (Bdk. Konsili Trente: DS 1712). Setelah pendosa mengangkat diri dari dosa, ia masih harus mendapat kesehatan rohani yang penuh. Ia harus “membuat silih”, untuk dosa-dosanya, harus memperbaiki kesalahan atas suatu cara yang cocok. Penyilihan ini juga dinamakan “penitensi”.

      Maka memang, seseorang yang bertobat, harus pertama-tama menunjukkan pertobatannya kepada sesama yang disakiti/ dirugikan. Ini adalah proses rekonsiliasi yang ideal sebagaimana disebutkan dalam doa Bapa kami, kita memohon Allah mengampuni dosa, sebagaimana kita mengampuni orang yang bersalah kepada kita. Namun masalahnya, dapat terjadi, seseorang sudah menyesal dan bertobat, sudah juga mengembalikan ganti rugi, namun sesama yang dilukainya itu masih belum mau mengampuninya. Di sinilah peran imam yang mewakili Gereja (yang adalah wakil dari sesama manusia juga), yang telah diberikan kuasa oleh Kristus, untuk melepaskan ikatan dosa yang belum dilepaskan oleh sesamanya itu.

      Di sini istilah penting yang harus dipahami adalah istilah kuasa “mengikat dan melepaskan” yang diberikan oleh Kristus kepada para rasul: “Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga.” (Mat 16:19; 18:18).  Flavius Josephus, seorang ahli sejarah di abad ke -1 menuliskan bahwa umat Yahudi pada saat itu memahami istilah “mengikat dan melepaskan” sebagai otoritas untuk mengatur, yang mengikat atau melepaskan masyarakat dari suatu kewajiban, untuk menghukum atau untuk mengampuni, dan untuk menentukan sesuatu sebagai sesuatu yang sah atau tidak sah. Kuasa “mengikat dan melepaskan” ini diberikan oleh Ratu Alexandra (76-67 BC) kepada kaum Farisi. Kuasa inilah yang sering menjadi pertentangan antara para Rabi golongan Shamma dan Hillel, pada jaman Yesus, karena yang diikat oleh golongan yang satu dilepaskan oleh yang lain, demikian sebaliknya. Di sini Josephus tidak meragukan bahwa maksud ungkapan “mengikat dan melepaskan” itu berkaitan dengan otoritas (Stanley L. Jaki, The Keys of the Kingdom (Chicago: Franciscan Herald Press, 1986), p.43). Maka Yesus mengakhiri kesimpangsiuran ini dengan memberikan otoritas yang benar kepada Petrus, yang dipercayakan untuk memimpin Gereja-Nya.

      Maka Katekismus Gereja Katolik mengajarkan demikian:

      KGK 1445    Kata-kata mengikat dan melepaskan berarti: siapa pun yang akan kamu kucilkan dari persekutuan, maka Allah pun akan mengucilkannya dari persekutuan dengan diri-Nya; siapa pun yang akan kamu terima kembali dalam persekutuanmu, maka Allah pun akan menerima-Nya kembali dalam persekutuan dengan diri-Nya. Perdamaian dengan Gereja tidak dapat dipisahkan dari perdamaian dengan Allah.

      Dengan demikian, memang bukan kuasa sang imam sendiri untuk mengampuni dosa atau untuk “melepaskan” ikatan dosa seseorang, sebab imam itu hanya melakukan apa yang diperintahkan oleh Kristus. Para imam itu adalah para penerus rasul yang oleh Kristus diberi kuasa Roh Kudus, untuk mengampuni dosa, “Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada.” (Yoh 20:22-23).

      Demikianlah Irwan, untuk ajaran iman apapun, kita tidak boleh hanya berpegang kepada satu ayat/ ayat-ayat tertentu saja dalam Kitab Suci, tetapi harus juga berpegang kepada ayat-ayat lainnya dalam Kitab Suci, yang telah diajarkan oleh Gereja sejak awal sampai sekarang. Untuk hal pengampunan dosa, kita malah harus bersyukur bahwa Gereja melalui para imamnya diberi kuasa oleh Allah untuk mengampuni dosa kita jika sungguh bertobat. Sebab jika tidak, betapa banyaknya orang yang masuk neraka karenanya, karena ada tendensi manusia untuk tidak mengampuni, walaupun orang yang melukainya sudah sungguh bertobat dan menyesal. Jika ini rumusannya, maka orang yang berdosa itu masuk neraka (karena ikatan dosanya tidak dilepaskan oleh orang yang dilukai); sedangkan orang yang tidak mengampuni itu juga masuk neraka karena Allah tidak mengampuni). Paham ini meniadakan kuasa pengampunan Allah yang bersumber dari pengorbanan Kristus. Justru sakramen Pengampunan Dosa menampakkan belas kasih Allah yang mengatasi pikiran dan batasan manusia, sehingga buah-buah pengorbanan Kristus itu masih dapat kita terima sampai sekarang. Jika kita sungguh bertobat dan menyesali dosa kita, Tuhan mau mengampuni dan memberikan kesempatan kepada kita untuk memulai hidup yang baru. Dengan demikian kuasa-Nya melepaskan kita dari ikatan dosa, dan mengembalikan kita ke dalam kawanan umat-Nya, sebagaimana kisah Anak yang hilang itu (lih. Luk 15:11-32) dan Zakheus (Luk 19:9), baik dengan atau tanpa maaf dari sesama kita. Mari bersyukur atas belas kasih Allah ini, yang melampaui segala kelemahan manusia; dan semoga kitapun mau melakukan bagian kita; yaitu bertobat dengan setulus hati dan berjuang untuk hidup yang baru di dalam Tuhan.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

Comments are closed.