[Hari Minggu Paskah ke III: Kis 2:14, 22-33; Mzm 16: 1-11; 1Ptr 1:17-21; Luk 24:13-35]

“Tahukah kamu, bahwa kisah penampakan Tuhan Yesus di perjalanan kedua murid ke Emaus ini telah mengubah seluruh hidupku?” Demikianlah tutur seorang teman kami, saat membagikan kisah kesaksian hidupnya. Sebelum menjadi Katolik, teman kami itu adalah seorang pendeta Methodis. Kehidupannya sebagai seorang pendeta mengharuskannya untuk secara tekun mempelajari dan merenungkan Kitab Suci, untuk mempersiapkan khotbah yang selalu dinanti-nantikan oleh jemaatnya. Suatu hari, saat merenungkan perikop ini, hatinya terusik. Mata hatinya terbuka ketika menyadari bahwa Tuhan Yesus berkenan menyatakan kehadiran- Nya secara istimewa dalam dua cara. Yang pertama melalui pernyataan Sabda, yaitu nubuat para nabi dan penggenapannya seperti yang tertulis dalam Kitab Suci; dan kedua, melalui pemecahan roti. Bahkan baru pada saat Yesus memecahkan roti inilah, para murid itu menyadari kehadiran Tuhan Yesus yang telah bangkit di tengah- tengah mereka. Inilah yang membuatnya bertanya-tanya dalam hati…. adakah hal ini masih terjadi sekarang ini. Pertanyaannya ini sedikit demi sedikit mendorongnya untuk mencari tahu jawabnya, sampai akhirnya ia sampai ke pangkuan Gereja Katolik.

Dalam Gereja Katoliklah, ditemukan peng-abadian kenangan akan Kristus sebagaimana dikehendaki oleh-Nya. Kristus yang hadir di tengah umat-Nya, dalam liturgi Sabda dan liturgi Ekaristi, menjadikan pengalaman perjalanan ke Emaus menjadi milik semua murid-Nya yang lain di sepanjang sejarah Gereja. Kehadiran-Nya tidak hanya diperuntukkan bagi para murid yang hidup dua ribu tahun yang lalu. Kuasa Roh Kudus-Nya yang telah membangkitkan-Nya dari kematian, memungkinkan Kristus untuk hadir kembali mengatasi ruang dan waktu, dalam pembacaan Sabda Allah dan kurban Ekaristi, di tengah-tengah Gereja-Nya sampai akhir zaman. Kristus Sang Roti Hidup memang menghendaki agar dikenang dengan cara ini, “Inilah Tubuh-Ku… inilah DarahKu…. (Mat 26:26-28). Barangsiapa makan Tubuh-Ku dan minum Darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia….” (lih. Yoh 6:56). Kristus tidak mengatakan bahwa roti itu hanyalah simbol Tubuh-Nya, ataupun anggur itu hanyalah simbol Darah-Nya, namun betapa banyak umat Kristen sekarang ini yang beranggapan demikian. Sebaliknya, Yesus mengatakan bahwa Tubuh-Nya itu adalah benar-benar makanan untuk kita makan, agar kita memperoleh hidup di dalam Dia (lih. Yoh 6:55-57). Maka Yesus menghendaki para murid-Nya untuk mengenangkan perjamuan kudus sebagai suatu kenangan akan pengorbanan-Nya yang sungguh nyata, agar kita dapat memperoleh hidup yang kekal. Kesadaran ini mendorong teman kami untuk membuat keputusan yang cukup besar dalam hidupnya. Katanya, “Akhirnya aku menjadi Katolik, sebab aku ingin lebih penuh mengambil bagian dalam kenangan yang hidup akan kurban Kristus, yang diperingati dalam perayaan Ekaristi. Jika Tuhan Yesus memilih cara ini untuk hadir di tengah umat-Nya, bukankah aku harus mengikuti-Nya? Sudah saatnya aku mengikuti cara yang Kristus kehendaki, agar Ia dapat tinggal di hatiku dan memberiku hidup yang kekal sebagaimana yang dijanjikan-Nya.”

Sungguh, selayaknya kita juga merenungkan kisah perjalanan ke Emaus ini sebagai kisah yang hidup. Sebab kita, seperti kedua murid itu, mungkin juga pernah mengalami kegalauan ataupun alasan yang lain, sehingga kita mau menjalani kehidupan menurut kehendak dan cara kita sendiri. Bukankah pada pagi hari itu, para murid sudah diberitahu oleh wanita yang menjadi saksi kebangkitan Yesus, agar mereka pergi ke Galilea untuk menemui Yesus yang bangkit di sana? (lih. Mat 28:7) Tetapi kedua murid itu malah pergi ke Emaus, yang terletak di sebelah barat Yerusalem, suatu tujuan yang bertentangan dengan arah yang ditunjukkan oleh Kristus. Namun demikian, Kristus berkenan menyapa kedua murid yang sedang galau itu, dan hadir di tengah mereka. Kedua murid itu awalnya tidak menyadari kehadiran Yesus. Tetapi pada saat Yesus mengambil roti, mengucap berkat dan memecah- mecahkannya, mereka  menyadari bahwa Orang yang mereka pikir adalah seorang musafir asing, ternyata adalah Tuhan Yesus yang telah bangkit dari mati. Sudahkah kita menyadari kehadiran Yesus dalam pemecahan roti setiap kali kita merayakan Ekaristi? Apakah hati kita juga berkobar-kobar saat mendengarkan Sabda Tuhan?

Tuhan Yesus, ubahlah hatiku yang sering bebal ini, agar semakin berkobar saat mendengarkan dan merenungkan Sabda-Mu. Biarlah mata hatiku melihat Engkau yang hadir dalam Ekaristi kudus. Jangan sampai aku yang telah menerima Engkau dalam kepenuhannya, malah menjadi kurang bersyukur dan kurang menghargai pemberian Diri-Mu yang luar biasa ini. O Tuhan Yesus, terima kasih atas kasih setia-Mu yang menyertaiku dan seluruh Gereja-Mu. Mari, tinggallah terus bersama dengan kami, dan tuntunlah kami sampai kepada kehidupan kekal yang Engkau janjikan. Amin.”