[Hari Minggu Palma: Mrk 11:1-10; Yes 50:4-7; Mzm 22:6-24; Flp 2:6-11;Mrk 14:1-15:47].
Begitu mendengar “Minggu Palma”, terbayang olehku seruan lagu, “Yerusalem, Yerusalem, lihatlah Rajamu!” Kita berduyun-duyun datang ke gereja, dengan membawa daun-daun palma. Sudahkah kita hayati maknanya? St. Andreas dari Kreta dalam khotbahnya di hari Minggu Palma mengatakan, “Saat kita memperingati langkah kita ke Bukit Zaitun, mari menyongsong Kristus, yang hari ini kembali dari Betania, dan atas kehendak-Nya sendiri bergegas menuju sengsara-Nya yang terberkati, yang melaluinya, Ia menggenapi misteri keselamatan umat manusia” (St. Andrew of Crete, Sermon 9).
Yesus meninggalkan Betania di fajar pagi hari. Banyak pengikut-Nya telah mengikuti Dia sejak malam sebelumnya. Sejumlah di antara mereka adalah orang-orang yang mengikuti Dia setelah melihat mukjizat-Nya membangkitkan Lazarus dari kematiannya. Bersama mereka, Yesus mengambil jalan ke Yerusalem lewat Bukit Zaitun, tempat di mana Ia dapat melihat kota Yerusalem dari atas bukit. Sementara itu orang-orang membuat prosesi penyambutan rombongan Yesus. Konon terdapat kebiasaan bahwa orang-orang menyambut kelompok peziarah yang datang dengan jumlah besar. Tuhan Yesus tidak menolak penyambutan itu. Ia memilih mengendarai keledai menuju Yerusalem. Ketika mereka telah sampai di dekat kota, orang-orang banyak yang mengikut Yesus berseru dengan suka cita dan memuji Tuhan, untuk segala perbuatan besar yang dikerjakan Yesus yang telah mereka lihat. Orang-orang menggelar selimut sebagai alas duduk bagi Yesus, dan yang lain meletakkan pakaian mereka di tanah sebagai karpet untuk dilalui-Nya. Mereka mengelu-elukan Yesus dengan daun palma, sambil menyerukan, “Diberkatilah Dia yang datang sebagai Raja dalam nama Tuhan, damai sejahtera di Sorga dan kemuliaan di tempat yang mahatinggi!” (Luk 19: 38) Demikianlah Yesus memasuki kota Yerusalem sebagai Mesias yang mengendarai keledai, dan dengan demikian menggenapi nubuat Zakaria berabad-abad sebelumnya (lih. Zak 9:9).
Ketika Yesus sudah dekat kota itu, Ia menangisinya. Ia melihat bagaimana kota yang membentang di hadapan-Nya telah tenggelam dalam dosa, buta, karena tidak mengenali Juru Selamatnya. Di tengah hiruk pikuk orang-orang yang mengelu-elukan Dia, Tuhan Yesus telah melihat bagaimana orang-orang itu, dalam waktu kurang dari seminggu, akan berbalik menghujat Dia. Yesus menangisi Yerusalem, yang kelak dihancurkan dan diluluhlantakkan sampai rata dengan tanah. Hal itu tergenapi di tahun 70. Yesus menangisi kekerasan hati manusia, yang tidak mau bertobat dan bahkan menolak Dia. Banyak hal telah dilakukan oleh Yesus, baik mukjizat, maupun berbagai perbuatan dan perkataan, baik dengan nada keras, maupun lemah lembut …. semua telah dilakukan Yesus untuk semua orang, agar mereka bertobat. Yesus telah siap untuk melakukan segalanya bagi umat manusia tetapi sejumlah orang tidak mau membuka pintu hatinya untuk menerima belas kasih-Nya.
“Betapa bedanya seruan itu, “kata St. Bernardus, “Buang saja, buang saja, salibkanlah Dia,” dengan “Diberkatilah Dia yang datang sebagai Raja dalam nama Tuhan!” Betapa jauh bedanya, teriakan yang sekarang menyebutnya Raja Israel, dengan beberapa hari lagi, saat teriakan itu berubah menjadi, “Kami tidak mempunyai raja selain Kaisar!” Betapa kontras perbedaan antara daun yang hijau dengan palang salib, dan antara bunga-bunga dan mahkota duri! Sebelumnya mereka membentangkan pakaian mereka di tanah untuk dilalui oleh Yesus, dan tak lama setelah itu, mereka melucuti pakaian Yesus dan membuang undi atasnya” (St. Bernard, Sermon on Palm Sunday 2,4).
Di Minggu Palma ini, mari kita memeriksa batin kita. Adakah kita berbuat serupa dengan orang-orang itu? Sebab di setiap Misa, kita pun mendaraskan doa, “Kudus, kudus, kuduslah Tuhan…. Diberkatilah yang datang dalam nama Tuhan. Terpujilah Engkau di Surga!” Namun dengan mulut yang sama kita menyakiti-Nya, jika kita membicarakan keburukan orang lain, mengucapkan kata yang sia-sia, dan bahkan meninggikan diri sendiri. Ini bertentangan dengan pengakuan kita akan Kristus yang adalah Tuhan dan teladan kita. Setiakah kita untuk berkata “ya” kepada dorongan Tuhan untuk berbuat baik; dan “tidak” kepada kecenderungan kita untuk memikirkan diri sendiri, malas dan kurang berbuat kasih, bahkan untuk hal yang kecil-kecil? “Ya, Tuhan, bantulah aku, untuk tidak mudah berubah setia, sebentar mau dekat dengan-Mu, namun lain waktu menolak Engkau dengan perbuatan maupun perkataanku yang menyedihkan hati-Mu! Mengingat kelemahanku sendiri, bantulah aku juga mengampuni sesamaku, yang sekali waktu dekat denganku namun kini menjauh dariku. Biarlah bersama Bunda Maria, mata hatiku tertuju kepada-Mu di Pekan Suci ini, agar aku dapat masuk dalam misteri Sengsara dan Wafat-Mu sampai pada Kebangkitan-Mu!