Pertanyaan:
1.Apakah gerak-gerik liturgis ( duduk, berlutut, membungkuk dll) merupakan inti ajaran iman katolik?
2.Apa sanksinya jika kita tidak mengikuti gerak gerik liturgis tersebut?
3.Apakah ketidak patuhan dan ketidakmauan mengikuti gerak gerik liturgis merupakan dosa? Dosa besar atau kecil?
Catatan : Dalam kebaktian di gereja Pantekosta, umatnya bertepuk tangan dan menangis yang mana tidak bisa ( sulit ) diikuti juga oleh umat katolik.
4.Kalau ada dosa yang berkaitan dengan ketidak patuhan atas tata cara liturgis, apakah dosa tersebut bersifat objektif universal yang berlaku bagi semua manusia? Kalau tidak obyektif dan universal, mengapa harus dianggap dosa? Atau dengan kata lain mengapa harus ada dosa liturgis yang ekslusif dibebankan bagi umat katolik?
5.Mengapa pada saat mendengarkan pembacaan pertama dan kedua pada hari minggu, umat dipersilakan duduk, sedangkan pada saat pembacaan Injil, umat berdiri? Bukankah ketiga bacaan itu dari Alkitab yang sama? Apakah karena terdapat perbedaan kualitas isi Sabda Allah antara bacaan pertama kedua dengan yang ketiga? Ada yang tidak logis dalam aturan duduk dan berdiri pada saat pembacaan bagian kitab suci.
6.Apa efek bagi kualitas hidup beriman kalau mengikuti Misa yang disertai pendupaan dan yang tidak disertai pendupaan?
Terima kasih atas kesediaan Bapak Ibu dan pembaca lainnya yang berkenan membantu memberikan penjelasan kepada kami. Herman Jay,
Jawaban:
Shalom Herman Jay,
1. Gerak gerik liturgis (duduk, berlutut, berdiri, membungkuk dll) bukan merupakan inti ajaran iman katolik, karena sikap demikian lahir dari suatu penghayatan akan makna yang ingin disampaikannya. Namun sikapnya sendiri (duduk, berlutut, berdiri, dst) bukan inti ajaran Gereja Katolik.
2. Maka sangsinya jika tidak mengikutinya itu tergantung dari alasannya mengapa tidak melakukan hal itu. Misalnya, berlutut pada saat konsekrasi itu alasannya adalah karena kita menyadari bahwa saat itu adalah saat yang sangat kudus, saat Yesus mengubah roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah-Nya, dan bahwa Yesus sungguh-sungguh hadir pada saat itu. Kalau orang tidak mau berlutut karena sedang sakit kaki/ sakit lutut, maka itu berbeda kasusnya dengan tidak mau berlutut karena tidak menyakini bahwa Yesus sungguh-sungguh hadir dalam rupa roti dan anggur itu. Jadi kasus yang pertama sesungguhnya dapat dikatakan tidak merupakan dosa (jika sakitnya memang tidak memungkinkan untuk berlutut) namun di kasus kedua, itu berdosa, jika ia Katolik, namun berkeras tidak percaya kepada salah satu doktrin yang utama, yaitu kehadiran Yesus yang nyata dalam Ekaristi (the real presence of Christ in the Eucharist). Jadi masalahnya saya rasa bukan pada sangsinya, melainkan alasannya.
3. Dengan prinsip ini kita akan menjawab pertanyaan anda:
Apakah ketidak patuhan dan ketidakmauan mengikuti gerak gerik liturgis merupakan dosa? Dosa besar atau kecil?
Catatan : Dalam kebaktian di gereja Pantekosta, umatnya bertepuk tangan dan menangis yang mana tidak bisa ( sulit ) diikuti juga oleh umat katolik.
Jika alasannya anda ketahui, maka anda akan dapat menentukan apakah ketidakpatuhan itu adalah dosa ringan atau dosa berat. Sebab sebuah tindakan dikatakan sebagai dosa berat adalah jika memenuhi 3 syarat: 1) obyeknya termasuk berat/ serius; 2) orang itu tahu jika itu salah; 3) walaupun tahu itu salah namun tetap dilakukan.
Jadi yang menjadi masalah di sini bukan semata-mata “gesture”-nya/ sikap gerak geriknya, tetapi alasan di baliknya itu apa. Jika alasannya karena tidak mau menghormati Tuhan Yesus, tentu ini termasuk obyek yang berat/ serius, dan jika dilakukan karena kekerasan hati, dengan pengetahuan penuh, maka dapat dikatakan dosa berat. Tetapi kalau alasanya karena sakit kaki, atau tidak paham betul akan maknanya karena tidak mendapat formasi yang baik pada masa katekumen, misalnya, maka ini tidak menjadikannya sebagai dosa berat. Dengan prinsip yang sama, maka jika umat Protestan yang datang ke gereja Katolik, tidak dapat memahami atau mengikuti gerak gerik dalam Misa Kudus, karena penghayatan mereka yang berbeda, mereka tidak dapat dikatakan ‘berdosa berat’.
4. Dengan prinsip di atas, maka kita melihat bahwa ketidakpatuhan terhadap tata cara liturgis itu tidak otomatis dapat dikatakan sebagai dosa berat. [Hanya jika pelanggaran itu memenuhi 3 syarat di atas, baru dapat dikatakan dosa berat]. Mungkin yang bisa dihubungkan adalah dosa ringan karena setidak-tidaknya mengganggu kesatuan liturgis dengan umat yang lain.
Maka yang harus dipahami di sini adalah bahwa bukan ketidakpatuhan terhadap gerak- gerik liturgis itu sendiri yang dijadikan fokus untuk menilai apakah itu dosa atau tidak. Sebab yang lebih penting di sini adalah alasan di baliknya. Jadi sebenarnya tidak ada istilah dosa liturgis. Klasifikasi dosa adalah: 1) Dosa asal yang diturunkan oleh Adam dan Hawa (ini sudah dihapuskan Pembaptisan) 2) Dosa pribadi yang kita lakukan sendiri, yang terdiri dari dosa berat dan dosa ringan (Dosa pribadi juga sebenarnya sudah dihapuskan pada saat Pembaptisan, tetapi setelahnya kita masih dapat jatuh dalam dosa, entah dosa berat atau ringan).
Sedangkan kalau mau ditarik secara horizontal, maka kita mengenal dosa pribadi (masing-masing orang), dan dosa komunal (kalau sudah menjadi dosa komunitas, seperti kurang menjaga kebersihan lingkungan bersama, sistem kemasyarakatan yang koruptif, dst)
5. Kita berdiri pada saat Bacaan Injil karena kita mengakui bahwa Injil itu mengandung perkataan Yesus sendiri, atau mengajarkan rencana KeselamatanNya. Jadi “berdiri” itu menunjukkan fokus perhatian kita kepada Tuhan Yesus, yang memang menjadi pusat perhatian kita sepanjang Misa Kudus. Ini bukannya untuk menunjukkan bahwa bacaan Kitab Suci yang lain (di luar Injil) tidak penting atau kurang penting, tetapi “berdiri” pada pembacaan Injil dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa pada Injil-lah tergenapi nubuat Perjanjian Lama atau pada Injillah surat-surat para rasul bersumber.
Gereja Katolik mengajarkan bahwa perayaan Ekaristi merupakan perayaan Misteri Paskah Kristus yang olehnya Yesus menggenapi karya keselamatan (lihat KGK 1067) maka pusat perhatian kita di Misa Kudus adalah Kristus. Maka walaupun kita percaya bahwa semua bacaan Kitab Suci adalah Sabda Allah, namun secara khusus kita menghormati perkataan/ pengajaran yang secara langsung disampaikan oleh-Nya atau berhubungan dengan Misteri Paska-Nya.
6. Apa efek bagi kualitas hidup beriman kalau mengikuti Misa yang disertai pendupaan dan yang tidak disertai pendupaan?
Sebenarnya secara sederhana, jawabnya adalah tidak berefek. Pendupaan hanyalah merupakan lambang doa- doa yang terangkat ke hadirat Tuhan, seperti yang pernah dibahas di sini, silakan klik. Namun tanpa ukupan dupa, juga doa- doa umat beriman tetap naik ke hadirat Allah. Umumnya, Misa dengan pendupaan dilakukan pada Misa hari raya/ hari Minggu, sedang yang tanpa pendupaan pada misa hari biasa. Tentu jika dikatakan tidak ada efeknya, bukan untuk mengatakan bahwa “kalau begitu ke gereja hari Minggu dan hari biasa itu sama saja.” Sebagai umat Katolik yang sudah dibaptis memang kita harus menguduskan hari Tuhan (yaitu hari Minggu untuk memperingati hari kebangkitan-Nya), maka Misa Kudus hari Minggu tidak dapat digantikan dengan Misa pada hari biasa.
Kualitas hidup beriman tidak tergantung dari pendupaan, tetapi tergantung dari rahmat Tuhan yang diterima melalui doa, firman Tuhan dan Sakramen, dan kemudian dari kerjasama antara orang yang bersangkutan dengan rahmat Tuhan yang ia terima tersebut, dengan hidup di dalam kekudusan.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- www.katolisitas.org
yth. tim katolisitas,
saya merasa bingun dengan tata perayaan ekaristi kita umat katolik.. letak kebingungan saya adalah waktu piala dan hosti besar diangkat,, yang membuat saya bingung, kadang misdinar atau pelayan altar menggoyangkan lonceng dan kadang tidak digoyang loncengnya, sebenarnya mana yang tepat,apakah goyang lonceng atau tidak.. mohon penjelasan. trimsssss
Shalom Orist,
Ada bunyi lonceng atau tidak, tidak mempengaruhi makna perayaan Ekaristi, dalam hal ini pada saat konsekrasi. PUMR (Pedoman Umum Misale Romawi) tidak mensyaratkan secara mutlak bahwa lonceng harus dibunyikan pada saat konsekrasi, walaupun kalau dibunyikan itu juga baik, sebagai tanda bagi umat, akan sakralnya momen konsekrasi, di mana oleh kuasa Roh Kudus, melalui perkataan Sabda Tuhan yang diucapkan oleh imam, maka roti dan anggur diubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus (ini disebut Transubtansiasi). Maka yang hakiki mengakibatkan Transubstansiasi adalah perkataan Sabda Tuhan, bukan bunyi lonceng. Bunyi lonceng itu hanya sebagai pendukung suasana yang sakral itu, namun bukan esensi dari konsekrasi. Maka ada atau tidaknya bunyi lonceng tidak perlu membuat anda bingung.
PUMR 150 Bila dianggap perlu, sesaat sebelum konsekrasi, putra altar dapat membunyikan bel sebagai tanda bagi umat. Demikian pula, sesuai dengan kebiasaan setempat, pelayan dapat membunyikan bel pada saat hosti dan piala diperlihatkan kepada umat sesudah konsekrasi masing-masing.
Semoga memperjelas.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Shalom Katolisitas,
Tentang berlutut saat pengucapan kata “yang dikandung dari Roh Kudus, dilahirkan oleh Perawan Maria” pada Hari Raya Kabar Sukacita (25 Maret) dan Hari Raya Natal (25 Desember).
Bagaimana untuk Misa Malam Natal (24 Desember), apakah harus berlutut atau tetap membungkuk seperti yang dilakukan pada misa diluar tanggal tersebut?
Terima Kasih.
Salam Arief,
Misa Malam Natal, tanggal 24 Desember malam (bukan 24 Desember pagi-siang), dari segi waktu liturgis adalah bagian utuh dari perayaan Natal (25 Desember). Ibadat Sore I (Ibadat Harian) sudah termasuk Ibadat Harian Natal 25 Desember. Jadi ketika dalam Misa Malam Natal kita mengucapkan kata-kata pengakuan iman: yang dikandung dari Roh Kudus, dilahirkan oleh Perawan Maria” kita semua berlutut.
Salam dan doa. Gbu.
Rm B.Boli Ujan, SVD.
Mengapa hanya pada saat kalimat “yang dikandung dari Roh Kudus, dilahirkan oleh Perawan Maria” kita berlutut / membungkuk? Tidak di semua bagian kredo?
Salam Natal dan Tahun Baru, Sdr Benedictus Dwiki
Kalimat “yang dikandung dari Roh Kudus…” dipandang sebagai awal dari puncak karya agung Allah dalam diri Yesus Kristus, yaitu peristiwa inkarnasi (penjelmaan Tuhan menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus). Dalam peristiwa inkarnasi itu, Allah yang agung dan perkasa sungguh-sungguh merendahkan diri-Nya untuk menjadi manusia lemah untuk menguatkan dan menyelamatkan kita. Maka sepantasnya kita menyatakan hormat yang mendalam dan dengan rendah hati tunduk menyembah Dia yang begitu rela menjelma menjadi manusia untuk menyelamatkan kita.
Salam dan doa. Gbu.
Rm Boli, SVD
Saya mau tanya, apakah terdapat sekolah atau kursus musik organis gereja di jakarta ini ? karena sangat sulit sekali saya menemukan sekolah atau kursus musik khususnya yg ingin menjadi organis gereja.Terima kasih GBU
[Dari Katolisitas: Coba tanyakan ke KomLit KWI, Pak Asno, telpon 315 47 14]
Penggunaan layar LCD di sekitar panti Imam.
Yth tim Katolisitas, ingin saya tanyakan tentang penggunaan beberapa peralatan visual yg saat ini sering dipakai di dalam gereja Katolik.
1.Pengunaan Layar LCD di dalam gereja Katolik yg diletakkan di dalam area panti Imam bagaimanakah peraturannya.
2. Ketika Jalan Salib hari terakhir ( pada Jumat Agung ) dimana Tabernakel dalam keadaan kosong, bisakah kita memasang layar LCD didepannya hingga Tabernakel tidak tampak oleh umat , pemasangan ini hanya oleh karena alasan visualisasi prosesi jalan salib agar lebih jelas ?
mohon penjelasannya, terimakasih dan berkah Dalem
Shalom Stefanus Tribudi,
Saya sudah meneruskan pertanyaan anda kepada Romo Boli, dan jika nanti ada tambahan jawaban dari beliau, nanti akan saya teruskan kepada anda.
1. Sejauh ini belum ada ketentuan tertulis untuk penggunaan layar LCD di dalam gereja Katolik. Oleh karena itu memang diperlukan kebijaksanaan (prudence) untuk menyikapinya.
2. Pada hari Jumat Agung, memang Tabernakel dalam keadaan kosong, namun menurut hemat saya, tetaplah tidak pada tempatnya untuk menempatkan layar LCD yang menutupi tabernakel tersebut. Sebab justru tabernakel yang kosong seharusnya malah dilihat oleh umat, sebagai lambang bahwa pada saat itu kita memperingati Yesus yang wafat dan dimakamkan. Jadi justru permenungan yang dalam maknanya itu janganlah malah ditutupi dengan layar LCD, apapun maksudnya, karena malah kemungkinan akan mengalihkan perhatian umat dari inti permenungan yang seharusnya dihayati pada hari Jumat Agung.
Maka, jika tetap ingin digunakan layar LCD, pilihlah lokasi yang tidak menutupi Tabernakel. Biar bagaimanapun, dan dalam kondidi apapun, posisi Tabernakel harus terlihat dengan jelas oleh umat; ini adalah ketentuan umum dari GIRM (General Instruction of the Roman Missal) dalam ketentuan bangunan gereja Katolik.
Demikian penjelasan singkat saya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
terima kasih bu Inggrid dan romo Boli Ujan SVD yang yelah memberi penjelasan secara gamblang semoga kami bisa belajar lebih baik menuju kepada liturgi yang sesungguhnya, berkah Dalem
Stefanus Tribudi Yth,
Sampai sekarang sejauh saya tahu belum ada pedoman khusus tentang pemakaian alat LCD dalam perayaan liturgi, khususnya Ekaristi. Yang perlu diperhatikan adalah agar perayaan liturgi (Ekaristi) tidak terganggu oleh pemakaian alat itu, dalam arti konsentrasi para peraya tidak boleh dialihkan dari kegiatan liturgis yang sedang terjadi di mimbar sabda, di altar atau di kursi imam kepada hal lain oleh pemakaian alat itu. Di luar perayaan liturgi (Ekaristi) seperti kegiatan renungan/rekoleksi, menurut pendapat saya, alat itu dapat dipakai di panti imam atau lebih baik layarnya diletakkan di depan kaki altar atau di samping panti imam, bila sungguh menolong para peserta untuk mencapai tujuan renungan/rekoleksi. Khusus untuk kegiatan jalan salib, akan jauh lebih bermakna bila ada gerakan jalan dari satu stasi ke stasi lain yang dilaksanakan oleh petugas.
Salam.
Romo Bernardus Boli Ujan SVD
Saya mau menanyakan tata gerak liturgi :
1 pada waktu Imam mengkonsekrasikan hosti dan anggur mengucapkan “Inilah Tubuh-Ku…..” beberapa umat di paroki saya memposisikan tangannya seperti hendak menerima..(telapak tangan kiri diatas telapak tangan kanan), bagaimanakah aturan sebenarnya?
2. bagaimanakah posisi umat apakah berdiri dan membungkuk atau diam saja ketika putera altar mendupai umat setelah mendupai Imam pada prosesi persembahan?
3 seharusnya seperti apa posisi umat ketika pelayan komuni datang utk memberikan hosti dan sesudahnya ketika selesai, apakah umat harus berdiri dan menundukkan kepala?
terimakasih utk jawabannya.
Shalom Joko,
1. Aturan sebenarnya adalah kita umat berlutut pada saat konsekrasi; sedangkan yang tidak dapat berlutut harus melakukan penghormatan khidmat/ membungkukkan badan (profound bow)pada saat imam berlutut/ membungkuk setelah konsekrasi.
Bagi saya pribadi, walaupun tidak ada ketentuan tertulisnya, alangkah baiknya jika meskipun kita sudah berlutut, tetapi tetaplah kita mengganggukkan kepala ataupun membungkuk (profound bow), bersama- sama dengan imam yang juga membungkuk/ berlutut setelah mengucapkan doa konsekrasi tersebut; sehingga penghormatan kita terhadap Tubuh dan Darah Yesus dapat kita nyatakan dalam kesatuan dengan imam yang memimpin Misa.
2. Posisi umat seharusnya membungkuk pada saat putera Altar mendupai umat. Maksudnya adalah kita tunduk menghantarkan doa- doa persembahan kita, yang akan kita persatukan dengan korban Kristus dalam Ekaristi. Dupa itu merupakan lambang doa- doa yang terangkat kepada Tuhan (doa syukur, tobat, permohonan, dll), seperti yang pernah dibahas di sini, silakan klik.
3. Sebelum menerima Hosti, kita menganggukkan kepala tanda hormat. Pada saat pelayan Komuni mengucapkan kata “Tubuh Kristus” kita harus menjawab dengan iman dan dengan jelas, “Amin”; bukti bahwa kita mengimani bahwa Tuhan Yesus sungguh hadir dalam rupa Hosti tersebut. Kitab dapat menerima Hosti dengan lidah atau dengan tangan. Demikian pula jika kita menerima Komuni dalam bentuk anggur, kitapun harus tunduk sebelum menerimanya dan mengucapkan kata “Amin”, setelah pelayan Komuni mengatakan “Darah Yesus”.
Sesudah menerima Komuni, kita tidak perlu lagi membungkuk ke arah tabernakel ataupun ke arah altar, karena kita menghayati bahwa pada saat itulah kita sebenarnya telah menjadi tempat kediaman Yesus sendiri (tabernakel yang hidup) sebab Kristus telah masuk ke dalam tubuh kita dalam rupa Hosti yang kita sambut.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Salam Joko,
1. Tentang sikap umat, ditulis bahwa pada saat hosti kudus yang sudah dikonsekrasikan itu dihunjukkan ke atas, umat memandang-Nya penuh khidmat, lalu ketika imam meletakkan-Nya di atas altar dan berlutut, umat turut memberikan penghormatan dengan menundukkan kepala. Sebelum dan sesudahnya umat berlutut/berdiri dengan sikap hormat. Kalau ada yang meletakkan telapak tangan kiri di atas telapak tangan kanan sebagai tanda mau terima, sebenarnya belum waktunya, baru cocok pada saat mau komuni. Tetapi kalau sikap itu mengungkapkan rasa hormat yang mendalam kp Tubuh Tuhan, tidak dilarang tetapi juga tidak ditulis demikian. Kalau mau dibuat, asal tidak mengganggu orang lain di sekitarnya.
2. Pada saat putra altar mau mendupai umat, seluruh umat berdiri lalu tundukkan kepala. Setelah didupai, tunduk lagi untuk saling menghormati. Baiklah kalau umat diajak untuk berdiri kalau kelihatan mereka duduk.
3. Ketika pelayan komuni datang, umat yang ada di tempatnya, memberikan tanda hormat kepada Tubuh dan/atau Darah Kristus dengan berlutut atau berdiri dan tundukkan kepala.
P.Bernardus Boli Ujan SVD
Setelah 2 bulan kurang 2 hari, ternyata ada 5 rekan yang mempunyai kegelisahan dan ketidaktahuan yang sama dengan kami mengenai banyaknya aturan gerak-gerik liturgis di dalam gereja Katolik.
Gereja Katolik sudah terlalu tua , walaupun Yesus sendiri sebagai pendiri Gereja adalah Alpha dan Omega, dan menyebabkan banyak latar belakang sejarah pemikiran gerak-gerik liturgis yang berasal dari puluhan abad lalu , sudah tidak diingat lagi oleh generasi penerus gereja. Memang, ingatan itu masih ada dalam memori segelintir petinggi gereja, namun bagi kebanyakan umat termasuk petinggi lainnya, pemahaman latar belakang gerak gerik liturgis tidak nyantol lagi. Akibatnya, sebagian besar dari umat melakukan gerak-gerik liturgis hanya karena ikut2an tanpa memahami maknanya secara mendalam.
Terdapat gap yang sangat besar antara gagasan mulia para “pengatur/perancang” gerak gerik liturgis dengan umat yang hanya melaksanakan “titah” pemimpin umat ( Uskup dan para Romo) . Gap itulah yang menyebabkan umat mengalami pendangkalan iman, seperti yang dialami oleh ananda Sherly dan teman-temannya,
Mereka menjalankan segenap tata cara beriman katolik secara taken for granted. Namun tiba-tiba mereka akan shock dan tidak berkutik apabila menghadapi “serangan” . Umat tidak memiliki pegangan dan kesulitan mencari pegangan atau kawan bertanya.
Ada pengalaman menarik. Kami menanyakan kepada Tim Liturgi, mengapa pada saat mengucapkan bagian Syahadat berikut “Ia dikandung dari Roh Kudus dilahirkan oleh Perawan Maria dan menjadi manusia” ,umat diminta membungkuk. Apakah bagian ini lebih istimewa dibanding bagian lain dari teks Credo? Mengapa untuk teks lainnya umat tidak membungkuk? Kami belum mendapatkan jawaban tuntasnya.terima kasih.
Shalom Herman Jay,
Berikut ini saya sampaikan mengenai kapankah kita perlu menunduk dan membungkuk pada saat perayaan Misa Kudus, berdasarkan ketentuan GIRM- General Instruction for the Roman Missal, yang bisa anda akses selengkapnya di http://www.romanrite.com/girm.html :
275. Hormat/ tunduk menandai penghormatan yang diberikan kepada orang- orang atau kepada tanda- tanda yang mewakili mereka. Terdapat dua jenis penghormatan: menundukkan kepala atau menunduk/ membungkukkan badan.
a. Menundukkan kepala dilakukan ketika nama Trinitas disebutkan (Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus) dan setiap kali disebutkan nama Yesus Kristus dan Bunda Perawan Maria, dan nama Orang Kudus yang sedang dihormati pada saat Misa Kudus.
b. Membungkukkan badan, atau disebut dengan penghormatan yang mendalam (profound bow) diberikan menuju ke altar; yaitu pada saat imam mendoakan Munda cor meum (Almighty God, cleanse my heart)- sesaat sebelum Injil dibacakan, dan pada saat In spiritu humilitatis (Lord God, we ask you to receive)- di awal liturgi ekaristi, sesaat sebelum imam memberkati kurban roti dan anggur; dan saat Credo, pada kata Et incarnatus est (….yang dikandung dari Roh Kudus, dilahirkan oleh Perawan Maria)
160. Pada sesaat sebelum menerima Komuni Kudus, umat menundukkan kepala di hadapan Sakramen Maha Kudus, sebagai tanda penghormatan sebelum menerima Tubuh Kristus dari pelayan pembagi Komuni. Hosti yang sudah dikonsekrasikan tersebut dapat diterima, dengan lidah maupun dengan tangan… Ketika komuni kudus diterima dalam dua rupa, tanda penghormatan juga dibuat sebelum menerima Darah Kristus yang mulia.”
49. Ketika mereka mencapai sanctuari, imam, diakon dan semua pelayan misa membungkuk ke arah altar dengan hormat yang khidmat (Ini pada prosesi pembukaan); diikuti oleh seluruh umat.
274. …. Jika.. tabernakel dengan Sakramen Maha Kudus ada di dalamnya, imam, diakon dan semua pelayan misa membungkuk/ memberi penghormatan pada saat mereka mendekati altar atau pada saat mereka meninggalkannya, tetapi tidak pada saat perayaan Ekaristi itu sendiri. Jika tidak dalam perayaan, semua orang yang melewati Sakramen Maha Kudus harus membungkuk/ memberikan penghormatan, kecuali jika mereka sedang bergerak di dalam prosesi. Para pelayan dalam prosesi salib atau lilin menundukkan kepala mereka dan tidak membungkuk.
43. … Mereka yang tidak berlutut harus membungkuk khidmat ketika imam berlutut/ membungkuk setelah konsekrasi.
The GIRM’s index lists the following for the word “bow”:
43, 49, 90, 122, 132, 135, 137, 143, 160, 169, 173, 175, 185, 186, 195, 211, 222, 227, 230, 233, 251, 256, 262, 272, (Heading before) 274, 274, 275, 277, 330.
Maka kita ketahui maksud dari membungkuk khidmat (profound bow) adalah untuk memberikan penghormatan kepada Tuhan. Penghormatan ini diucapkan pada saat Credo, yaitu pada saat mengucapkan….yang dikandung dari Roh Kudus, dilahirkan oleh Perawan Maria…, karena kita semua diundang untuk menghormati dan menghayati rencana keselamatan Allah yang dimulai dari Misteri Inkarnasi, yaitu Allah yang tidak terbatas merendahkan diri-Nya dengan mengambil rupa seorang hamba (Fil 2: 6-7), oleh kuasa Roh Kudus. Melalui misteri Inkarnasi inilah tergenapi seluruh nubuat para nabi sejak jaman Perjanjian Lama; yaitu dengan diutusnya Kristus Allah Putera menjadi manusia.
Demikian semoga uraian di atas berguna. Sebenarnya penghormatan ini dapat membuat kita semakin menghayati Misa Kudus, karena kita memperhatikan segala doa dan ucapan dalam Misa Kudus; dan menjadikan doa tersebut sebagai ungkapan sikap batin kita kepada Allah.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Shalom Ibu inggrid dan pak stevan, saya ingin tanya lagi nih :) moga2 topiknya nyambung. istri saya protestan pantekosta yang notabene memberi penekanan yang lebih terhadap Roh Kudus. Dia sedang belajar katekumen. pada suatu ketika dia bertanya kepada saya, kenapa ketika membuat tanda salib Pengucapan “Roh Kudus” diletakan dipundak sebelah kiri? saya tidak bisa menjawabnya. sampai sekarang dia masih tidak mau menggunakan tanda salib karena dia takut tidak menghormati Roh Kudus, karena di alkitab ada ditulis, dosa menghujat Roh Kudus tidak dapat diampuni. dan memang latar belakang imannya masih doktrin pentakosta yang banyak menggunakan bahasa roh dll..mohon penjelasannya tentang bahasa roh juga. terimakasih.
Shalom Agustinus Endro,
Silakan anda membaca makna Tanda Salib bagi kita umat Katolik, silakan klik.
Pembuatan tanda salib ini merupakan tradisi yang diajarkan sejak jemaat Kristen awal, dan ini terus dilestarikan oleh Gereja Katolik. Membuat tanda salib harus dilihat sebagai kesatuan; suatu pengakuan atas karya Allah Trinitas dalam rencana keselamatan. Bahwa itu melibatkan bahu kiri dan kanan, karena memang untuk melambangkan sesuatu yang horizontal pasti melibatkan sisi kiri dan kanan; maka sisi kiri tidak dimaksudkan untuk mengatakan bahwa Roh Kudus disosiasikan dengan sisi kiri. Sisi kiri dan kanan dilihat sebagai kesatuan yang melambangkan karya keselamatan Allah dengan mengutus Kristus menjadi manusia oleh kuasa Roh Kudus, memungkinkan kita manusia untuk beralih dari kematian (kiri) menuju kehidupkan kekal (kanan). Maka Roh Kudus tidak hanya diasosiasikan dengan sisi bahu kiri, tetapi secara keseluruhan dalam kesatuan dengan Allah Bapa dan Allah Putera, sebab tanda di bahu kiri dan kanan tidak ada artinya tanpa tanda di dahi dan di dada. Tanda salib baru disebut tanda salib jika melibatkan garis vertikal dan horizontal.
Pengertian yang mengatakan bahwa tanda salib itu tidak menghormati Roh Kudus, itu sungguh keliru. Kita membuat tanda salib justu untuk mengakui dan mengenang kasih Allah yang menyelamatkan kita, karena Allah Bapa telah mengutus Kristus Allah Putera oleh kuasa Roh Kudus. Mengenai arti dosa menghujat Roh Kudus sudah pernah dibahas di sini, silakan klik. Dosa ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan membuat tanda salib.
Tentang bahasa Roh, sudah pernah dibahas di sini, silakan klik.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
Yth. Katolisits
Saya sering melihat umat, pada saat selesai mendoakan Bapa Kami, banyak umat menghapuskan tangan ke wajah atau hidung (setahu saya gerak seperti ini yang dilakukan oleh saudara kita umat Islam), dan juga bagaimana sebenarnya posisi tangan pada saat mendoakan doa Bapa kami, apakah boleh merentangkan tangan seperti yang dilakukan Imam, dan juga pada saat Imam mengulang kata kata Yesus pada Doa Sykur Agung, sebaiknya (atau seharusnya?), umat mengatupkan tangan sebagai bentuk penghormatan atau menengadahkan tangan (seperti sedang akan menerima sesuatu pemberian).
Hal ini saya tanyakan, karena selama saya menjadi umat Katolik, belum pernah saya diajarkan, dianjurkan atau dicontohkan mengenai gerak seperti itu. Saya khawatir, kita melakukan sesuatu tanpa mengerti atau ada dasarnya sama sekali.
Mohon penjelasannya.
Terima kasih dan salam dalam Kristus.
Shalom B. Siahaan,
Terima kasih atas pertanyaannya tentang doa Bapa Kami dalam Misa. Memang di dalam GIRM (General Instruction of the Roman Missal), tidak disebutkan secara persis bahwa umat tidak boleh berpegangan tangan, atau tidak boleh merentangkan tangan seperti yang dilakukan oleh imam. Karena tidak ditentukan secara persis sikap tubuh dalam berdoa Bapa Kami, maka umat dapat mengekpresikan diri dengan baik tanpa menggangu jalannya Misa, dengan tetap menghormati ekspresi dari umat yang lain untuk berdoa dengan baik. Oleh karena itu, sebaiknya pastor tidak meminta seluruh umat untuk bergandengan tangan ketika berdoa Bapa Kami dalam Misa hari Minggu, karena tidak semua umat dapat menerimanya. Dan bagi umat yang tidak mau bergandengan tangan, juga tidak perlu sungkan-sungkan untuk mengambil sikap doa yang lain. Semoga dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
Sepengetahuan saya , saat Doa Bapa Kami di misa , umat tidak diperkenankan tangannya terbuka seperti Pastor . Sebab yang boleh menengadahkan tangan hanya Imam . Umat yang terbaik adalah mengatupkan kedua telapak tangan , dan diletakkan pada dada. Sebab pada saat itu adalah saat bersatunya Roh Kudus dengan kita dengan perantaraan kedua telapak tangan yang mengatup dan berada di hati kita. Sebab kita menghadap Tuhan harus juga dengan segenap hati.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan….
pelajaran diatas di dapat saya dari suster Belanda .(guru agama saya masih kecil). Mohon koreksi jika salah.
Shalom Sakerah,
Bagi saya pribadi, memang sebaiknya sikap dalam berdoa Bapa Kami, kita mengambil sikap doa, dengan mengatupkan tangan dengan jari-jari menuju ke atas, atau sikap berdoa yang lain dengan kedua tangan dikatupkan di dada, dll. Namun, seperti yang saya tulis sebelumnya, di dalam GIRM (General Instruction of the Roman Missal), tidak ada sikap yang ditentukan. Oleh karena itu, kalau ada orang yang menengadahkan tangan (asal tidak terlalu menarik perhatian, misal dengan mengangkat tangan tinggi-tinggi), maka tidaklah menjadi masalah. Hal yang sama juga ditegaskan oleh Cardinal Arinze – Prefect Emeritus of the Congregation for Divine Worship and the Discipline of the Sacraments, dalam salah satu tanya-jawab tentang sikap tubuh dalam doa Bapa Kami, di dalam Perayaan Ekaristi.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
Shalom Pak Stef,
Bagaimana dengan sikap sebagian besar umat yang saya amati di paroki saya, yang enggan menjawab “Amin!” secara jelas saat menerima komuni? Padahal, yang membagikan komuni selalu mengucapkan “Tubuh Kristus!” secara jelas kepada setiap umat yang menerima komuni.
Bukannya menghakimi…. Saya amati, sebagian besar umat hanya membuka sedikit mulutnya seperti menjawab “Amin!” tetapi tanpa suara sama sekali. Atau, sebagian lagi sama sekali tidak membuka mulutnya saat itu untuk menjawab “Amin!” (atau mungkin ada menjawab, tapi menjawab dalam hatinya). Nah, umat yang begini ini yang selalu mengangkat tangannya tinggi-tinggi seperti menyembah sesaat sebelum komuni diletakkan di tangannya. Hanya sebagian kecil umat yang menjawab “Amin!” secara jelas tanpa mengangkat tangannya tinggi-tinggi sebelum komuni diletakkan di tangannya.
Saya pikir, jawab “Amin!” secara jelas adalah sangat penting karna kita menyatakan ‘menerima dan percaya’ pada Sang Kristus yang sungguh-sungguh hadir di hosti itu. Lagian, kalau jawaban “Amin!” tidak penting, ngapain yang membagikan komuni capek-capek selalu berkata “Tubuh Kristus!” secara jelas kepada setiap umat yang menerimanya.
Untuk itu, dulu-dulu sekali saya pernah menanyakannya kepada pastor paroki. Jawaban beliau adalah penjelasan-penjelasan tentang gerak liturgis akan lebih banyak disampaikan kepada umat.
Sayapun pernah menanyakannya kepada umat yang lebih senior daripada saya. Jawabannya: umat tak perlu lagi menjawab “Amin!”, karna umat sudah menjawab “Amin!” menanggapi “Tubuh dan Darah Kristus!” yang diucapkan pastor sebelum ia menyantap Sakramen Ekaristi dalam bentuk 2 rupa itu, di altar. Jadi, umat tak perlu lagi menjawab “Amin!” saat menerima komuni, karna sudah dijawab sebelumnya.
Saya tidak puas dengan jawab dari senior ini, karna saya ingat waktu saya diajarin katekumen, sangat ditekankan agar kita menjawab “Amin!” secara jelas saat menerima komuni. Waktu itu tidak disebutkan agar kita mengangkat tangan tinggi-tinggi sebagai tanda menyembah – menggantikan jawaban “Amin!”.
Apakah memang begitu, Pak Stef?
Sayapun pernah menyampaikannya dalam rapat DPP paroki saya, tapi sepertinya dianggap tak penting untuk diperhatikan oleh DPP. Bagi DPP, masih banyak masalah lain yang jauh lebih penting daripada membahas sikap umat saat menerima komuni.
Tapi saya merasa masalah ini sangat penting. Saya pikir, jangan-jangan umat tersebut sama sekali tidak sadar siapa yang telah ia sambut saat komuni, sehingga merasa tidak perlu menjawab “Amin!” secara jelas. Waduh, kalau begitu, jangan-jangan banyak sekali umat yang sama sekali tidak sadar siapa yang telah disambut saat komuni.
Bayangkan, ia tidak sadar akan Tuhan Yesus yang sungguh-sungguh hadir di dalam Sakramen Ekaristi. Sama seperti saya dulu, sebelum disadarkan oleh http://www.katolisitas.org.
Fenomena seperti ini juga saya amati di beberapa paroki lain di provinsi tempat tinggal saya. Hanya, saya tidak pernah mengamatinya di paroki lain di provinsi lain, karna …. saya belum pernah ke situ.
Salam kasih dalam Tuhan Yesus,
Lukas Cung
Shalom Lukas,
Ya, sangat disayangkan bahwa banyak umat Katolik tidak terlalu memahami iman-nya, sehingga kurang menghayatinya. Sebab jika kita benar- benar memahami dan menghayati bahwa Yesus sungguh- sungguh hadir dalam perayaan Ekaristi, maka pasti kita akan sungguh- sungguh mempersiapkan diri setiap kali kita akan mengikuti Misa Kudus. Mulai dari persiapan rohani, tetapi juga persiapan jasmani. Tidak terlambat datang ke gereja dan tidak mengobrol di gereja. Tidak berpakaian asal- asalan, dan tidak melamun atau bahkan ketiduran. Tetapi kita akan sungguh- sungguh berdoa, dan turut bernyanyi dan menjawab dari hati semua ucapan teks dalam Misa. Tuhan hadir di tengah kita! Apakah ada yang lebih baik daripada ini? Misa adalah sungguh- sungguh penggenapan sabda Tuhan, “Firman Tuhan telah menjadi manusia, dan diam di antara kita.” (Yoh 1:14).
Maka, pada saat hosti itu dibagikan kepada kita masing- masing, kita harus menjawab dengan jelas, “Amin”, yang artinya, “Ya, aku percaya”. (I believe). Bukan alasan bahwa karena sebelumnya sudah menjawab bersama- sama “amin”, maka ketika Komuni dibagikan jadi tidak perlu lagi mengucapkan kata “Amin” itu. Jika kita sungguh menyadari bahwa Yesus itu sendiri yang kita sambut, bukankah kita akan tunduk, berlutut, atau bahkan tiarap di hadapan-Nya, dan berkata, “Amin”, ya, Tuhan, Aku percaya.” Masakah kita akan diam saja pada saat kita menyambut- Nya?
Maka benar, Lukas, kita mempunyai tugas yang besar, sebagai umat Katolik, untuk mengingatkan sesama saudara/i kita seiman, tentang makna Ekaristi ini. Jika DPP tidak bersedia membahasnya, padahal anda lihat umat di paroki anda secara umum tidak menyambut Komuni dengan cara yang benar, maka silakan anda menghubungi Pastor paroki untuk mendiskusikannya dengan beliau, atau dengan seksi liturgi. Siapa tahu mereka dapat mengorganisasikan seminar liturgi Ekaristi buat umat, yang membahas makna Ekaristi dan juga bagaimana mempersiapkan diri untuk menyambut Ekaristi, dan menyambutnya dengan disposisi hati yang baik.
Katolisitas sendiri pernah membahas tentang hal ini, silakan klik, dan tentang makna Ekaristi dalam artikel seri tentang Ekaristi, dalam katagori Sakramen. Silakan gunakan informasi ini di paroki anda, jika anda pikir dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org.
Shalom Bu Ingrid,
Terima kasih banyak atas tanggapannya.
Setelah saya menyadari bahwa Tuhan Yesus benar-benar hadir di dalam setiap perayaan Ekaristi, saya menemukan harta karun yang sungguh tak ternilai. Sungguh indah mengikuti Ekaristi yang adalah “Perayaan Surga di atas bumi” kata Paus Yohanes Paulus II. Bayangkan, perayaan di surga juga kita rayakan di atas bumi di dalam perayaan Ekaristi.
Sungguh membahagiakan memiliki pendamping hidup yang sama-sama Katolik, sehingga kami bisa bersama-sama menghadiri ‘Perjamuan Pesta Anak Domba’ yang tuan pestanya adalah Tuhan Yesus itu sendiri.
Mengenai berpakaian saat menghadiri misa, saya pernah ditegur oleh istri saya. Katanya: “Masa kalo pergi ke pesta perkawinan orang, kamu berpakaian rapi sekali. Tetapi kalo pergi ke pesta yang tuan pestanya adalah Tuhan Yesus, kamu berpakaian asal-asalan saja. Ingat lho, tuan pestanya Tuhan Yesus, dan kita diundang ke pestaNya!”
Kupikir-pikir, benar juga ya, Bu.
Mengenai pendekatan ke DPP, sudah ditetapkan menjadi program DPP malah. Tetapi….
Karna itu, saya lebih banyak bergerak sendiri, Bu. Ya, seperti meng-info-kan situs ini kepada teman-teman dan anak-anak muda lainnya. Daripada tidak berbuat apa-apa, ya di kala yang terasa tepat untuk itu, seringkali saya menyampaikan betapa pentingnya Ekaristi kepada anak-anak muda.
Maju terus http://www.katolisitas.org demi mendampingi kami umat Katolik.
Salam kasih dalam Tuhan Yesus,
Lukas Cung
Salam Damai. Salam kenal buat bu Ingrid yg mengasuh kolom tanya jawab ini.
Saya mau bertanya. bagaimanakah sikap tubuh kita pada saat konsekrasi ? tepatnya saat Tubuh atau Darah Kristus di angkat oleh Imam. Pernah saya baca di buku Tata Perayaan Ekaristi yg baru, disana ada tulisan kecil miring dlam kurung saat konsekrasi tulisannya kira2 begini “pada saat tubuh atau darah Kristus diangkat oleh Imam umat memandangnya dan pada saat diturunkan umat memberi hormat”. Nah…. apa yang terjadi di Paroki saya (Paroki St. Maria a Fatima Pekanbaru) pada saat konsekrasi tersebut umat hanya mengatupkan kedua tangannya di atas kepala yang tertunduk lalu membuat tanda salib. Bagaimana seharusnya ?
Trimakasih atas jawabannya.
Shalom Laurentius,
Rubrik tanya jawab dalam situs ini dikelola atas hasil kolaborasi/ kerjasama antara Romo Wanta, Stef dan saya, jadi bukannya saya semdiri.
Sikap tubuh kita pada saat konsekrasi seharusnya adalah seperti yang anda tuliskan, yaitu kita memandang saat Tubuh dan Darah Kristus diangkat oleh imam, dan pada saat diturunkan kita semua, menunduk memberi hormat. Dengan demikian kita memberi hormat dalam kesatuan dengan imam yang pada saat itu juga tunduk memberi hormat kepada Tubuh dan Darah Kristus.
Pada saat memandang Tubuh dan Darah Kristus (dalam rupa Hosti dan anggur dalam piala), kita dapat mengucapkan dengan iman, seperti yang diucapkan oleh Rasul Thomas, yaitu, “Ya, Tuhanku dan Allahku” (Yoh 20:28)
Selanjutnya tentang persiapan hati menyambut Ekaristi, silakan anda klik di sini.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
Yth. Katolisitas, Pak Stef.
Dalam penjelasan mengenai mengapa umat berdiri pada saat Injil dibacakan oleh Imam, saya agak kurang setuju dengan penggunaan kata “hanya” pada kalimat : …, tetapi hanya untuk menunjukkan bahwa pada Injil-lah tergenapi nubuat Perjanjian Lama atau pada Injillah surat-surat para rasul bersumber. Kesan saya, kata tersebut memperlemah kalimat,apakah tidak sebaiknya tanpa “hanya”.
Menurut hemat saya, umat berdiri ada kaitannya dengan penjelasan pada PUMR no. 29 yang mengatakan bahwa Bila Alkitab dibacakan dalam gereja, Allah sendiri bersabda kepada umat-Nya, dan Kristus sendiri mewartakan kabar gembira, sebab Ia hadir dalam sabda itu.Dan pada PUMR no. 60, jelas dikatakan bahwa Pembacaan Injil adalah puncak liturgi sabda, dan bacaan Injil lebih mulia daripada bacaan-bacaan lain.
Dan, berdiri dengan sikap yang baik, merupakan tanda sikap hormat kepada sesuatu yang lebih tinggi, entah atasan apalagi untuk Allah dalam rupa Yesus Kristus yang kita akui sebagai Raja dan Penyelamat.
Oleh karena itu, menurut hemat saya, itu sebabnya gereja mengatur psosisi umat dalam keadaan berdiri penuh hormat MENDENGARKAN Injil; ini tentunya sikap berdiri juga sekaligus menunjukkan bahwa dalam gereja Katolik, kalimat dalam Kitab Suci terutama Injil, tidak dipandang sebagai kata-kata belaka.
Mohon penjelasannya.
Terima kasih dan salam dalam Kristus.
Shalom B Siahaan,
Terima kasih atas masukan anda. Ya, itu adalah keterbatasan saya dalam menggunakan kata- kata. Sebenarnya maksud saya adalah demikian:
Jadi “berdiri” itu menunjukkan fokus perhatian kita kepada Tuhan Yesus, yang memang menjadi pusat perhatian kita sepanjang Misa Kudus. Ini bukannya untuk menunjukkan bahwa bacaan Kitab Suci yang lain (di luar Injil) tidak penting atau kurang penting, tetapi “berdiri” pada pembacaan Injil dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa pada Injil-lah tergenapi nubuat Perjanjian Lama atau pada Injillah surat-surat para rasul bersumber.
Tadinya saya menggunakan kata “hanya”, karena memang kita harus juga melihat bahwa semua bacaan Kitab Suci adalah Sabda Allah yang disampaikan kepada umat-Nya. Maka perbedaannya antara bagian Kitab Suci yang lain dengan Injil, terletak (‘hanya’) pada tingkat kesentralannya terhadap rencana Keselamatan Allah, di mana Injil menempati tempat yang istimewa/utama, karena yang disampaikan merupakan Kabar Gembira tentang Kristus sendiri, yang menjadi penggenapan rencana keselamatan Allah tersebut. Namun saya menyadari, memang lebih baik tidak memakai kata ‘hanya’. Terima kasih atas koreksi anda.
Penghormatan terhadap bacaan Injil ini memang harus dilakukan dengan khidmat, sebagaimana kita menghormati Kristus yang hadir dalam Ekaristi. Katekismus mengajarkan:
KGK 103 Dari sebab itu Gereja selalu menghormati Kitab-Kitab Suci sama seperti Tubuh Kristus sendiri. Gereja tak putus-putusnya menyajikan kepada umat beriman roti kehidupan yang Gereja terima baik dari meja Sabda Allah, maupun dari meja Tubuh Kristus (Bdk. Dei Verbum 21).
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
Yth. katolisitas.
Salam Kasih Kristus.
Saya ingin minta tolong, mengenai artikel singkat berbahasa Indonesia, yang menjelaskan arti warna dalam gereja Katolik, perlengkapan perayaan ekaristi (Pakaian Imam, perlengkapan ekaristi) dan hal hal yang dilakukan dalam perayaan ekaristi, mengenai tata gerak umat, mesdinar dan pelayan luar biasa/prodiakon, untuk dapat digunakan dalam pendampingan umat, entah untuk komuni I, Krisma atau katekese di lingkungan.
Terima kasih dan salam,
Shalom B Siahaan,
Berikut ini tentang warna- warna dalam liturgi:
General Instruction of the Roman Missal, No. 346.
“As to the color of sacred vestments, the traditional usage is to be retained: namely,
“a. White is used in the Offices and Masses during the Easter and Christmas seasons; also on celebrations of the Lord other than of his Passion, of the Blessed Virgin Mary, of the Holy Angels, and of Saints who were not Martyrs; on the Solemnities of All Saints (1 November) and of the Nativity of Saint John the Baptist (24 June); and on the Feasts of Saint John the Evangelist (27 December), of the Chair of Saint Peter (22 February), and of the Conversion of Saint Paul (25 January).
“b. Red is used on Palm Sunday of the Lord’s Passion and on Good Friday, on Pentecost Sunday, on celebrations of the Lord’s Passion, on the feasts of the Apostles and Evangelists, and on celebrations of Martyr Saints.
“c. Green is used in the Offices and Masses of Ordinary Time.
“d. Violet or purple is used in Advent and of Lent. It may also be worn in Offices and Masses for the Dead (cf. below).
“e. Besides violet, white or black vestments may be worn at funeral services and at other Offices and Masses for the Dead in the Dioceses of the United States of America.
“f. Rose may be used, where it is the practice, on Gaudete Sunday (Third Sunday of Advent) and on Laetare Sunday (Fourth Sunday of Lent).
“g. On more solemn days, sacred vestments may be used that are festive, that is, more precious, even if not of the color of the day.
“h. Gold or silver colored vestments may be worn on more solemn occasions in the dioceses of the United States of America.”
To this we may add the observation of the instruction “Redemptionis Sacramentum,” Nos. 121 and 127.
[121.] “The purpose of a variety of color of the sacred vestments is to give effective expression even outwardly to the specific character of the mysteries of faith being celebrated and to a sense of Christian life’s passage through the course of the liturgical year.” On the other hand, the variety of offices in the celebration of the Eucharist is shown outwardly by the diversity of sacred vestments. In fact, these “sacred vestments should also contribute to the beauty of the sacred action itself.”
[127.] “A special faculty is given in the liturgical books for using sacred vestments that are festive or more noble on more solemn occasions, even if they are not of the color of the day. However, this faculty, which is specifically intended in reference to vestments made many years ago, with a view to preserving the Church’s patrimony, is improperly extended to innovations by which forms and colors are adopted according to the inclination of private individuals, with disregard for traditional practice, while the real sense of this norm is lost to the detriment of the tradition. On the occasion of a feast day, sacred vestments of a gold or silver color can be substituted as appropriate for others of various colors, but not for purple or black.”
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
1.Apakah gerak-gerik liturgis ( duduk, berlutut, membungkuk dll) merupakan inti ajaran iman katolik?
2.Apa sanksinya jika kita tidak mengikuti gerak gerik liturgis tersebut?
3.Apakah ketidak patuhan dan ketidakmauan mengikuti gerak gerik liturgis merupakan dosa? Dosa besar atau kecil?
Catatan : Dalam kebaktian di gereja Pantekosta, umatnya bertepuk tangan dan menangis yang mana tidak bisa ( sulit ) diikuti juga oleh umat katolik.
4.Kalau ada dosa yang berkaitan dengan ketidak patuhan atas tata cara liturgis, apakah dosa tersebut bersifat objektif universal yang berlaku bagi semua manusia? Kalau tidak obyektif dan universal, mengapa harus dianggap dosa? Atau dengan kata lain mengapa harus ada dosa liturgis yang ekslusif dibebankan bagi umat katolik?
5.Mengapa pada saat mendengarkan pembacaan pertama dan kedua pada hari minggu, umat dipersilakan duduk, sedangkan pada saat pembacaan Injil, umat berdiri? Bukankah ketiga bacaan itu dari Alkitab yang sama? Apakah karena terdapat perbedaan kualitas isi Sabda Allah antara bacaan pertama kedua dengan yang ketiga? Ada yang tidak logis dalam aturan duduk dan berdiri pada saat pembacaan bagian kitab suci.
6.Apa efek bagi kualitas hidup beriman kalau mengikuti Misa yang disertai pendupaan dan yang tidak disertai pendupaan?
Terima kasih atas kesediaan Bapak Ibu dan pembaca lainnya yang berkenan membantu memberikan penjelasan kepada kami.
[Dari Katolisitas: Pertanyaan ini sudah dijawab di atas, silakan klik]
Comments are closed.