Pertanyaan:

Shalom segenap penulis dan pengurus katolisitas.org,

Saya ingin mengajukan pertanyaan seputar suara hati nurani. Saya mengetahui tentang hati nurani sejak kurang lebih 8 tahun yang lalu dan saya sudah merasakan banyak sekali yang berubah dalam diri saya sejak saya mengenal suara hati saya , namun saya memiliki sejumlah perdebatan.

1. Hingga kini, saya selalu dapat berkomunikasi dengan suara hati saya tidak hanya dalam doa tetapi dalam aktifitas sehari – hari. Apakah ini wajar ?
2. Saya ingin mengetahui lebih jelas tentang bagaimana bentuk dari suara hati itu sendiri. Suara hati yang saya dengar menyerupai suara saya, dan dia membicarakan dan memberikan pengetahuan seputar segala sesuatu dalam hidup saya .Apakah benar suara hati dapat membimbing pengembangan kepribadian seseorang atau dia hanya terbatas ke moralitas saja?
3. Apakah suara hati mempunyai tingkatan – tingkatan? Jika ada, bagaimana cara supaya saya dapat meningkatkannya?
4. Saya selalu ragu dan hingga saat ini saya tidak pernah membiarkan suara hati saya memberikan keputusan dan mengikutinya dengan yakin karena takut tersesat. Apa yang mesti saya lakukan?

Sebagai gambaran, saya mendapatkan semua hal ini dari hasil diskusi saya dengan suara hati: kasih (waktu pertama kali saya mengenal suara hati), tentang iman, harapan, rajin, keberanian, kerendahan hati, berdoa, dan membantu saya memahami tentang apa yang biasanya diajarkan dalam kitab suci, hingga membuat saya dapat mengendalikan emosi saya, mengubah pola pikir saya menjadi lebih dewasa, membantu saya menetapkan tujuan dan mandiri serta membantu saya mengenal tahap – tahap rencana yang diberikan Tuhan lewat penggalian pengalaman yang saya dapatkan.

Terima kasih atas tanggapannya.
Yosh

Jawaban:

Shalom Yosh,

Sebelum saya menjawab pertanyaan anda, saya menganjurkan anda untuk membaca Katekismus Gereja Katolik, yang menjabarkan tentang suara hati, yaitu KGK nomor 1776 sampai dengan 1802.

Berikut ini saya sertakan beberapa kutipannya:

1. Pengertian suara hati/ hati nurani:

KGK 1778 Hati nurani adalah keputusan akal budi, di mana manusia mengerti apakah satu perbuatan konkret yang ia rencanakan, sedang laksanakan, atau sudah laksanakan, baik atau buruk secara moral. Dalam segala sesuatu yang ia katakan atau lakukan, manusia berkewajiban mengikuti dengan seksama apa yang ia tahu, bahwa itu benar dan tepat. Oleh keputusan hati nurani manusia mendengar dan mengenal penetapan hukum ilahi.

2. Hati nurani merupakan hukum yang diberikan oleh Allah dalam hati manusia.

KGK 1776 “Di lubuk hati nuraninya manusia menemukan hukum, yang tidak diterimanya dari dirinya sendiri, tetapi harus ditaatinya. Suara hati itu selalu menyerukan kepadanya untuk mencintai dan melaksanakan apa yang baik, dan untuk menghindari apa yang jahat. Bilamana perlu, suara itu menggemakan dalam lubuk hatinya: jauhkanlah ini, elakkanlah itu. Sebab dalam hatinya manusia menemukan hukum yang ditulis oleh Allah. Martabatnya ialah mematuhi hukum itu,… Hati nurani ialah inti manusia yang paling rahasia, sanggar sucinya; di situ ia seorang diri bersama Allah, yang sapaan-Nya menggema dalam batinnya” (Gaudium et Spes 16)

3. Gunanya suara hati adalah untuk memimpin manusia untuk berbuat baik dan menghindari berbuat jahat.

KGK 1777 Di dalam lubuk hati seseorang bekerjalah hati nurani (Bdk. Rm 2:14-16). Pada waktu tertentu ia memberi perintah untuk melakukan yang baik dan mengelakkan yang jahat. Ia juga menilai keputusan konkret, di mana ia menyetujui yang baik dan menolak yang jahat (Bdk. Rm 1:32). Ia memberi kesaksian tentang kebenaran dalam hubungan dengan kebaikan tertinggi, yaitu Allah, oleh siapa manusia ditarik, dan hukum-hukum Siapa manusia terima. Kalau ia mendengar hati nuraninya, manusia yang bijaksana dapat mendengar suara Allah, yang berbicara di dalamnya.

4. Hati nurani itu dibentuk oleh pengetahuan yang kita dapat, sehingga pendidikan hati nurani merupakan tugas seumur hidup. Sabda Tuhan merupakan Terang yang membentuk suara hati, yang harus kita terapkan dalam hidup kita dalam iman dan doa, oleh bimbingan Roh Kudus, dibantu oleh kesaksian ataupun nasihat orang lain dan juga oleh pengajaran Gereja.

KGK 1783 Hati nurani harus dibentuk dan keputusan moral harus diterangi. Hati nurani yang dibentuk baik dapat memutuskan secara tepat dan benar. Dalam keputusannya ia mengikuti akal budi dan berorientasi pada kebaikan yang benar, yang dikehendaki oleh kebijaksanaan Pencipta. Bagi kita manusia yang takluk kepada pengaruh-pengaruh yang buruk dan selalu digoda untuk mendahulukan kepentingan sendiri dan menolak ajaran pimpinan Gereja, pembentukan hati nurani itu mutlak perlu.

KGK 1784 Pembentukan hati nurani adalah suatu tugas seumur hidup. Sudah sejak tahun-tahun pertama ia membimbing seorang anak untuk mengerti dan menghayati hukum batin yang ditangkap oleh hati nurani. Satu pendidikan yang bijaksana mendorong menuju sikap yang berorientasi pada kebajikan. Ia memberi perlindungan terhadap dan membebaskan dari perasaan takut, dari cinta diri dan kesombongan, dari perasaan bersalah yang palsu, dan rasa puas dengan diri sendiri, yang semuanya dapat timbul oleh kelemahan dan kesalahan manusia. Pembentukan hati nurani menjamin kebebasan dan mengantar menuju kedamaian hati.

KGK 1785 Dalam pembentukan hati nurani, Sabda Allah adalah terang di jalan kita. Dalam iman dan doa kita harus menjadikannya milik kita dan melaksanakannya. Kita juga harus menguji hati nurani kita dengan memandang ke salib Tuhan. Sementara itu kita dibantu oleh anugerah Roh Kudus dan kesaksian serta nasihat orang lain dan dibimbing oleh ajaran pimpinan Gereja (Bdk. Dignitatis Humanae 14)

5. Prinsip utamanya: Apa yang kamu ingin agar orang lain berbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. (Mat 7:12)

KGK 1789 Dalam segala hal berlaku peraturan-peraturan berikut:

Tidak pernah diperbolehkan melakukan hal yang jahat, supaya hal yang baik dapat timbul darinya.

“Kaidah emas”: “segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, berbuatlah demikian juga kepada mereka” (Mat 7:12).
Cinta kasih Kristen selalu menghargai sesama dan hati nuraninya. “Jika engkau berdosa terhadap saudara-saudaramu… dan melukai hati nurani mereka yang lemah engkau pada hakikatnya berdosa terhadap Kristus” (1 Kor 8:12).

“Tidak baik? melakukan sesuatu yang menjadi batu sandungan bagi saudaramu” (Rm 14:21).

6. Hati nurani bisa salah karena ketidaktahuan yang tak terhindari; dalam keadaan ini orang tersebut tidak bersalah. Namun ketidaktahuan juga dapat disebabkan oleh ketidakpedulian orang itu sendiri; dan dalam kondisi ini orang itu bersalah.

KGK 1790 Manusia selalu harus mengikuti keputusan yang pasti dari hati nuraninya. Kalau ia dengan sengaja bertindak melawannya, ia menghukum diri sendiri. Tetapi dapat juga terjadi bahwa karena ketidaktahuan, hati nurani membuat keputusan yang keliru mengenai tindakan yang orang rencanakan atau sudah lakukan.

KGK 1791 Sering kali manusia yang bersangkutan itu sendiri turut menyebabkan ketidaktahuan ini, karena ia “tidak peduli untuk mencari apa yang benar serta baik, dan karena kebiasaan berdosa hati nuraninya lambat laun hampir menjadi buta” (Gaudium et Spes 16). Dalam hal ini ia bertanggungjawab atas yang jahat, yang ia lakukan.

7. Agar dapat mendengarkan suara hati, kita harus mengenal hatinya sendiri dan rajin memeriksa batin.

KGK 1779 Supaya dapat mendengarkan dan mengikuti suara hati nurani, orang harus mengenal hatinya sendiri. Upaya mencari kehidupan batin menjadi lebih penting lagi, karena kehidupan sering kali mengalihkan perhatian kita dari setiap pertimbangan, dari pemeriksaan diri atau dari introspeksi. “Masuklah ke dalam hati nuranimu dan tanyakanlah dia! … Masuklah ke dalam batinmu saudara-saudara! Dan di dalam segala sesuatu yang kamu lakukan, berusahalah agar Allah adalah saksimu” (Agustinus, ep. Jo. 8,9).

Sekarang setelah membaca beberapa prinsip di atas, berikut ini saya menjawab pertanyaan anda:

1. Apakah wajar untuk berkomunikasi dengan suara hati dalam aktivitas sehari- hari, tidak hanya pada saat berdoa?

Jawabnya adalah ya. St. Agustinus mengajarkan bahwa agar dalam bertindak dan memutuskan segala sesuatu, kita dapat bertanya kepada hati nurani. Ini seolah bertanya kepada diri sendiri: jika Tuhan Yesus sekarang ada di hadapan kita, apakah yang akan kita lakukan/ putuskan/ katakan? Dengan demikian kita mempunyai kesadaran bahwa kita melakukan segala sesuatu dengan Allah sebagai saksinya.

Pemeriksaan batin ini memang dapat dilakukan kapan saja, namun minimal dilakukan sekali pada malam hari pada doa malam. Pemeriksaan batin ini adalah untuk melihat kembali apakah hal- hal negatif dan positif yang telah kita lakukan, dan perbaikan apakah yang akan kita lakukan di waktu yang akan datang jika kita telah melakukan kesalahan, atau apakah yang dapat ditingkatkan, jika yang dilakukan sudah baik.

2. Seperti apakah suara hati?

Suara hati/ hati nurani, itu merupakan keputusan akal budi untuk menentukan hal yang baik/ benar dan buruk dari setiap tindakan kita. Sedangkan moralitas, dari bahasa Latin, ‘moralities’ artinya cara, karakter, tingkah laku yang wajar, sehingga berkaitan dengan sistem tingkah laku yang mempunyai nilai kebajikan. Nah, sekarang, kepribadian seseorang terbentuk dari segala sikap dan tindakan yang sejalan dengan nilai- nilai kebajikan atau yang malah bertentangan dengan nilai- nilai kebajikan tersebut. Jadi, sebenarnya tidak bisa kita memisahkan kepribadian dengan moralitas. Karena keduanya berhubungan erat, sebab kita dapat dikatakan mempunyai kepribadian yang baik jika perbuatan- perbuatan kita menunjukkan kualitas moral yang baik. Untuk mencapai hal ini, peran suara hati sangatlah penting, yaitu untuk membantu kita memutuskan segala hal sesuai dengan akal sehat dan sesuai dengan hukum Tuhan.

3. Apakah suara hati memiliki tingkatan? Bagaimana meningkatlannya?

Tidak ada tingkatan dalam suara hati; yang ada adalah tingkatan pada kemampuan dari kita masing- masing untuk memahami suara hati/ hati nurani. Karena jika seseorang tidak pernah meluangkan waktu untuk memeriksa batin, maka akan sulit baginya untuk mengenal suara hatinya. Atau, jika seseorang tidak mempunyai kepedulian untuk membentuk suara hatinya agar sesuai dengan Sabda Tuhan, maka hati nuraninya dapat salah, sehingga walaupun ia mengikuti suara hatinya, namun keputusannya dapat menjadi keputusan yang keliru dan belum tentu baik secara moral.

Maka untuk meningkatkan kemampuan untuk mengenal hati nurani, yang terbaik adalah dengan meningkatkan frekuensi pemeriksaan batin (lebih dari sekali sehari), dan meningkatkan kesadaran akan kehadiran Tuhan dalam kehidupan sehari- hari. Ini dapat dicapai melalui: 1) kehidupan rohani yang baik, dalam doa dan merenungkan Sabda Tuhan, 2) pengajaran Magisterium Gereja Katolik; dan 3) bimbingan dari pembimbing rohani yang telah dewasa imannya dan mempunyai pengetahuan yang benar tentang Sabda Tuhan dan ajaran Gereja.

4. Apa yang mesti dilakukan supaya tidak tersesat jika mengikuti suara hati?

Yang pertama- tama harus dilakukan adalah membentuk hati nurani kita agar sesuai dengan Sabda Tuhan, sebagaimana yang diajarkan oleh Kristus dan para Rasul. Untuk ini, kita perlu: 1) membaca Kitab Suci dan merenungkannya; 2) mempelajari ajaran Gereja, sehingga kita dapat yakin bahwa interpretasi akan ajaran tersebut tidak didasari atas pandangan manusia yang dapat salah/ sesat, tetapi atas Kebenaran Allah yang tidak mungkin salah/ sesat.

Kedua, luangkan waktu untuk memeriksa batin dalam suasana doa dengan pimpinan Roh Kudus. Sebab tanpa pemeriksaan batin yang baik, seseorang dapat salah menyangka, bahwa suara hati itu dari Allah, padahal berasal dari keinginan diri sendiri. Peran pembimbing rohani sangat penting; carilah seorang bapa pengakuan, sedapat mungkin, imam yang sama, yang di hadapannya anda mengaku dosa kepada Tuhan secara teratur dalam Sakramen Tobat.

Ketiga, belajarlah dari pengalaman para orang kudus. Silakan membaca kisah riwayat hidup orang kudus, untuk belajar bagaimana caranya mengikuti suara hati/ hati nurani, yang menghantar kepada kesempurnaan iman, pengharapan dan kasih.

Adalah sesuatu yang baik jika semenjak anda rajin memeriksa batin dan mendengarkan hati nurani, kehidupan rohani maupun kepribadian anda menjadi semakin baik. Selanjutnya, tingkatkanlah pengenalan akan kehendak Tuhan dalam hidup anda, dengan semakin mengenal hati nurani anda sendiri yang akan membantu anda untuk melaksanakannya.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org

14 COMMENTS

  1. Dear Tim Katolisitas,

    Saya ingin bertanya sesuatu.
    Dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK) diajarkan bahwa manusia bisa mencari Allah dengan suatu “instrumen” yg mungkin populer dengan istilah “hati nurani”. Saya juga mempercayai hal ini.
    Namun, ternyata saya juga menyadari bahwa hati nurani sangat dipengaruhi oleh budaya (yang diwariskan orang tua, masyarakat sekitar, dsb).
    Pertanyaan saya, bagaimana dengan seseorang yang sejak lahir tinggal seorang diri tanpa pernah berinteraksi dengan seorang pun. Apakah hati nuraninya msh dpt berfungsi setelah sekian lama ia hidup? Masih dapatkah ia mencari Tuhan dan kebenaran-Nya?

    Sekian pertanyaan saya, terima kasih.
    Mohon maaf jika ada pertanyaan saya kurang berkenan.

    • Shalom Carlos Trente,

      Memang manusia diciptakan oleh Allah menurut gambar Allah (lih. Kej 1:27), sehingga memungkinkan manusia untuk dapat mengenal dan mengasihi Penciptanya. Katekismus Gereja Katolik menuliskannya sebagai berikut:

      KGK 27.    Kerinduan akan Allah sudah terukir dalam hati manusia karena manusia diciptakan oleh Allah dan untuk Allah. Allah tidak henti-hentinya menarik dia kepada diri-Nya. Hanya dalam Allah manusia dapat menemukan kebenaran dan kebahagiaan yang dicarinya terus-menerus: “Makna paling luhur martabat manusia terletak pada panggilannya untuk memasuki persekutuan dengan Allah. Sudah sejak asal mulanya manusia diundang untuk berwawancara dengan Allah. Sebab manusia hanyalah hidup, karena ia diciptakan oleh Allah dalam cinta kasih-Nya, dan lestari hidup berkat cinta kasih-Nya. Dan manusia tidak sepenuhnya hidup menurut kebenaran, bila ia tidak dengan sukarela mengakui cinta kasih itu, serta menyerahkan diri kepada Penciptanya” (GS 19,1).

      KGK 30.    “Semua yang mencari Tuhan, hendaklah bergembira” (Mzm 105:3). Biarpun manusia melupakan atau menolak Tuhan, namun Tuhan tidak berhenti memanggil kembali setiap manusia, supaya ia mencari-Nya serta hidup dan menemukan kebahagiaannya. Tetapi pencarian itu menuntut dari manusia seluruh usaha berpikir dan penyesuaian kehendak yang tepat, “hati yang tulus”, dan juga kesaksian orang lain yang mengajar kepadanya untuk mencari Tuhan.
      “Ya Allah, agunglah Engkau dan patut dipuji: kekuatan-Mu besar dan kebijaksanaan-Mu tanpa batas. Manusia yang sendiri satu bagian dari ciptaan-Mu, ingin meluhurkan Dikau. Betapapun ia berdosa dan dapat mati, namun ia ingin memuji Dikau karena ia adalah satu bagian dari ciptaan-Mu. Untuk itu, Engkau menanamkan hasrat di dalam kami karena Engkau telah menciptakan kami menurut citra-Mu sendiri. Hati kami tetap tidak tenang sampai ia menemukan ketenteraman di dalam Engkau” (Agustinus, conf. 1,1,1).

      KGK 33.    Manusia, dengan keterbukaannya kepada kebenaran dan keindahan, dengan pengertiannya akan kebaikan moral, dengan kebebasannya dan dengan suara hati nuraninya, dengan kerinduannya akan ketidak-terbatasan dan akan kebahagiaan, manusia bertanya-tanya tentang adanya Allah. Dalam semuanya itu ia menemukan tanda-tanda adanya jiwa rohani padanya. “Karena benih keabadian yang ia bawa dalam dirinya tidak dapat dijelaskan hanya dengan asal dalam materi saja” (GS 18,1) BA. GS 14,2., maka jiwanya hanya dapat mempunyai Tuhan sebagai sumber.

      KGK 46.    Apabila manusia mendengarkan kabar makhluk-makhluk ciptaan dan suara hati nuraninya, ia dapat sampai kepada kepastian bahwa Allah berada sebagai sebab dan tujuan dari segala-galanya.

      Dari dokumen di atas, maka kita dapat melihat bahwa manusia dapat mengenal Penciptanya melalui suara hatinya maupun ciptaan, dan keterbukaannya akan kebenaran, keindahan, kebaikan dan nilai-nilai moral yang lain, serta kerinduannya akan kebahagiaan. Dengan kata lain, kalau seseorang yang tinggal sendiri dan tidak berinteraksi dengan orang lain, tetap mempunyai kemampuan untuk mengetahui dan mengasihi Penciptanya. Walaupun apa yang diketahuinya tidak sempurna, namun Tuhan juga akan menghakimi orang tersebut menurut pengetahuan yang dimilikinya. Namun, bagi orang yang dipercaya banyak, maka baginya akan dituntut lebih banyak (lih. Lk 12:48)

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      stef – katolisitas.org

  2. Saya ada pengalaman unik pas naik bus dari Lumajang ke Jember. Tiba2 seperti suara saya sendiri mengatakan dalam pikiran saya untuk melihat ke seorang laki2 tua yg duduk dibangku belakang sopir (posisi duduk saya jauh dari org itu)dan memberikan uang saya yg Rp 50rb untuk dia( kebetulan uang saya hanya tinggal 150 rb-an itupun uang untuk setor pulsa krn saya jual pulsa). Seperti berdebat dengan batin saya sendiri, saat itu saya berusaha menolak “ngapain saya berikan uang saya ke dia, nanti setoran pulsa saya kurang dong, lagi pula memberi uang ke org asing tak dikenal apa orgnya ya bakal mau? Kan kadang bisa saja org itu malah tersinggung…” itu yg saya katakan pada suara yg saya dengar dalam hati saya sendiri. Saya seperti berdebat dengan batin sendiri..dia seakan memaksa untuk dituruti, akhirnya pas turun dari bus, saya nekat menyalami tangan org tua itu sambil menggenggamkan uang 50rb saya cepat2 lalu saya ngacir turn dari bus secepatnya, takut orgnya tersinggung dan memaki saya. Yang ingin saya tahu..suara itu suara siapa? Suara hati saya? Kadang saya seperti orang gila yg berdebat dengan batin sendiri..Terima kasih..

    [dari katolisitas: Yang terpenting adalah Roh Kudus tidak akan memberikan inspirasi yang bertentangan dengan prinsip kasih dan keadilan. Jadi, silakan mengamati berdasarkan prinsip ini. Anda juga dapat berdiskusi dengan seorang pastor tentang hal ini]

  3. Apa sih perbedaan antara suara hati, insting, firasat, intuisi, dan naluri? Contoh konkretnya seperti apa yah? Dan pandangan Gereja tentang hal tersebut kecuali suara hati seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Terimakasih

    • Salam Hieronyumus,
       
      Suara hati atau hati nurani menurut Gaudium et Spes nomor 16 sudah sangat jelas. Katekismus Gereja Katolik membahasnya panjang lebar di sini, silakan klik. Gereja membahas Hati Nurani atau Suara Hati, namun tidak membahas insting, intuisi, firasat. Gereja membahas Hati Nurani sebagai yang menentukan dalam hidup manusia dalam hubungannya dengan Allah seperti penjelasan pada link di atas. Karena itu, insting (naluri), dan intuisi serta firasat kita temukan dalam kamus.

      Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) 3, “firasat” (nomina) berarti : (1) keadaan yang dirasakan (diketahui) akan terjadi sesudah melihat gelagat Contoh: Rupanya dia sudah mendapat ~ bahwa tidak lama lagi polisi akan membekuknya; (2) kecakapan mengetahui (meramalkan) sesuatu dengan melihat keadaan (muka dsb) Contoh: Menurut ~ ku, ia adalah orang yang bijaksana; (3) Pengetahuan tentang  tanda-tanda pada badan (tangan dsb) untuk mengetahui tabiat (untung malang dsb) orang. Contoh: Setengah orang percaya benar kepada ilmu ~. (4) Keadaan muka (mata, bibir, dsb) yg dihubung-hubungkan dengan tabiat orangnya (untuk mengetahui tabiat orang). Contoh: menilik ~ nya orang itu keras hati sebab rambutnya tebal dan kaku.

      “Intuisi” (nomina) berarti: daya atau kemampuan mengetahui atau memahami sesuatu tanpa dipikirkan atau dipelajari; bisikan hati; gerak hati. Dalam hal ini kita melihat bahwa Intuisi itu spontanitas lain dari Suara Hati yang harus dididik. Memang bisa saja terhubung, bahwa hati nurani yang sesuai kehendak Allah diharapkan mendorong intuisi yang baik.

      “Naluri” (insting) (nomina) berarti : (1) Dorongan hati atau nafsu yang dibawa sejak lahir; pembawaan alami yang tidak disadari mendorong untuk berbuat sesuatu; insting; (2) Psi Perbuatan atau reaksi yang sangat majemuk dan tidak dipelajari yang dipakai untuk mempertahankan hidup, terdapat pada semua jenis makhluk hidup. (3) Bio serangkaian kegiatan refleks terkoordinasi, masing-masing terjadi apabila yang sebelumnya telah diselesaikan; reaksi yang tidak bergantung pada pengalaman.

      Diharapkan, orang yang hati nuraninya baik, maka nalurinya pun bisa dia kendalikan untuk sesuatu yang baik.
        
      Salam
      Yohanes Dwi Harsanto, Pr

  4. Salam kasih semuanya,

    Bu Ingrid & pak Stefanus yang baik, dalam kesempatan ini saya juga ingin berbagi pengalaman pribadi saya sehubungan “suara hati” atau “hati nurani”. Dalam kehidupan sehari-hari saya sangat peka sekali dengan hal ini. Contoh saja kejadian yang baru saja saya alami kemarin siang saat saya sedang akan menjemput putra saya yang mana waktu dan tempat selalu kita sepakati bersama yaitu di drop/pick up zone max. 2 minutes stay, yang berada di sisi kiri badan jalan dekat salah satu tangga keluar train station. Kemarin itu hujan turun sangat lebat dan pada saat saya merapatkan mobil ke dalam jalur barisan drop/pick up zone sudah terjadi antrian yang cukup panjang dengan banyak mobil juga yang sedang datang, berhenti sesaat dan pergi. Tak lama kemudian saya menyadari bahwa mobil polisi sudah berada tepat di belakang mobil saya, langsung automatis mata saya mengarah angka menit jam di mobil, dan spontan saja suara hati pun terdengar yang kurang lebih seperti ini: “Sudah…, sekarang baiknya kamu putar saja 1x putaran, toh anakmu belum tampak, daripada nanti ditilang polisi karena over 2 minutes stay!”. Dan tentu saja itu saya lakukan tanpa ragu lagi. Dan begitu saya balik kembali, saya lihat polisi sudah turun dari mobilnya dan sibuk dengan incident tertentu yang tidak perlu saya ketahui dan saya pun menjemput anak saya dengan aman dan selamat. Saya selalu bersyukur tentunya.

  5. Hallo Team Katolisitas,

    saya ingin bertanya tentang hati nurani atau suara hati..
    saya mendapatkan sebuah kesempatan untuk melihat gereja- gereja yang indah di münchen dalam acara hari okumene. Ketika itu saya berada di sebuah gereja yang indah sekali, menurut mata saya, saya duduk dan sedikit merenung sambil mengagumi keindahannya.. waktu itu seperti bicara dengan diri saya sendiri dalam hati.. wah Tuhan gerejanya bagus sekali ja, aku ingin di sini yang lama sekali.. lalu ada seperti yang bicara dalam hati saya.. gerejanya memang bagus sekali, tapi di surga jauh-jauh lebih indah.. lalu tiba2 terlintas di pikiran saya.. para seniman, yang membuat gereja itu sangat indah, berusaha menggambarkan keindahan surga akan tetapi keindahan surga itu jauh2 lebih indah dari ukiran2 yang sangat indah, tidak terlukiskan oleh kata2,..terus sempat terlintas di pikiran saya: apa ukiran2 yang indah itu tidak buang2 uang Tuhan.. seperti ada jawaban di hati saya.. mereka ingin memberikan karya terbaiknya buat Tuhan.. (teringat cerita maria dan marta yang mengambil peran2 sendiri untuk melayani Yesus)
    1. apakah itu saya berdialog dengan hati nurani atau suara hati saya sendiri? karena kalau saya baca uraian diatas..hati nurani atau suara hati sepeti ‘rambu2 kehidupan kita’ apa kita akan belok kiri atau belok kanan..

    untuk pertanyaan kedua diluar topik hati nurani.. saya sempat search dengan kata ‘gereja sebagai obyek wisata’ akan tetapi tidak menemukan jawabannya.. jika sudah ada yang bertanya mohon diberikan link nya saja..terimakasih banyak..
    2. untuk gereja2 yang juga sebagai obyek wisata? bagaimana pandangan gereja katolik? apakah itu sesuatu yang baik?
    karena waktu itu saya ingin mengunjungi cathedrale notre dame de paris, saya ingin masuk ke dalam dan meluangkan waktu sejenak untuk berdoa di dalam akan tetapi antriannnya sangat panjang dan keadaan fisik saya juga capek, jadi saya urungkan niat saya..

    A.M.D.G.

    Budi

    • Shalom Budi Hartono,

      1. Suara hati/ hati nurani adalah tempat manusia berjumpa dengan Tuhan.

      Pemeriksaan batin yang dapat diikuti oleh dialog dengan suara hati adalah sesuatu yang memang menjadi salah satu ciri khas manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang diciptakan sesuai gambaran-Nya. Manusia dapat ‘berjumpa’ dengan Tuhan pada saat ia menyelami lubuk hatinya sendiri, dan ini tidak dapat dilakukan oleh ciptaan yang lain (hewan dan tumbuhan). Maka, tidaklah mengherankan, jika kita kembali ke hati kita, kita dapat berdialog dengan hati kita sendiri yang mewakili suara Tuhan, yaitu pada saat suara hati kita memimpin ke arah kebaikan.

      Demikianlah yang dikatakan dalam Gaudium et Spes 14 (Konstitusi Pastoral tentang Gereja di dunia dewasa ini, 14):

      “Sebab dengan hidup batinnya ia melampaui semesta alam. Ia kembali kepada hidup batinnya yang mendalam itu, bila ia berbalik kepada hatinya; disitulah Allah yang menyelami lubuk hati menantikannya; di situ pula ia mengambil keputusan tentang nasibnya sendiri di bawah pandangan Allah. Maka dari itu, dengan menyadari bahwa jiwa dalam dirinya bersifat rohani dan kekal abadi, ia tidak tertipu oleh khayalan yang menyesatkan dan timbul dari kondisi-kondisi fisik atau sosial semata-mata, melainkan sebaliknya ia justru menjangkau kebenaran yang terdalam.”

      Namun demikian, hati nurani itu bisa saja salah, karena ketidaktahuan yang tidak terhindari, seperti telah dibahas dalam artikel di atas (lihat point 6). Karena itu, sepanjang kita hidup di dunia ini, kita mempunyai tanggung jawab untuk terus membentuk hati nurani kita agar sesuai dengan kehendak Allah.

      2. Gereja sebagai obyek wisata?

      Jika anda ingin mengetahui nama- nama gereja yang dijadikan sebagai obyek kunjungan wisata, silakan anda mencari datanya pada buku- buku wisata.

      Walau sebenarnya gereja bukan tempat wisata, namun memang kenyataannya dewasa ini banyak orang mengunjungi gedung- gedung gereja, terutama gereja- gereja di Eropa yang dibangun pada abad pertengahan sampai sekitar abad 17/18, yang memang merupakan karya arsitektur yang sangat indah. Namun perlu diketahui juga, meskipun gereja- gereja di Eropa misalnya, terbuka bagi kunjungan para turis, namun kesehariannya tetap digunakan untuk beribadah. Umumnya, tetap ada jadwal khusus untuk beribadah (Misa Kudus/ Adorasi), dan pada saat ibadah itu, para pengunjung tidak diperbolehkan melintasi ruang ibadah, kecuali mereka ingin turut dalam ibadah tersebut.

      Ada hal positif dan negatif dalam hal gereja terbuka sebagai obyek wisata para turis. Hal positifnya, tentu saja, dengan terbukanya gereja bagi para turis, maka dibuka kemungkinan mereka dapat tertarik untuk mengenal ataupun mempelajari iman Katolik. Harus diakui bahwa ada cukup banyak orang yang tertarik untuk mempelajari iman Katolik, setelah mereka mengunjungi gedung- gedung gereja Katolik yang memang sangat indah dan sangat agung itu. Mereka dapat mengagumi keindahan arsitektur gereja yang mencerminkan keindahan misteri iman yang digambarkannya, dan kemudian tertarik untuk mengetahui lebih jauh tentang misteri iman Kristiani. Namun hal negatifnya adalah terbukanya kemungkinan kurangnya penghayatan para pengunjung akan kesakralan gereja. Karena banyak dari pengunjung yang bukan Katolik dan mungkin tidak memahami konsep gereja sebagai “rumah Tuhan/ tempat Tuhan Yesus bersemayam dalam Sakramen Maha Kudus”, maka ada kemungkinan mereka tidak bersikap yang layak di gereja, atau tidak berpakaian sopan, dan sebagainya. Hal ini memang perlu diperhatikan, dan syukurlah, persyaratan berpakaian yang sopan juga sudah diterapkan di Basilika St. Petrus di Vatikan.

      Jadi, marilah kita sebagai umat Katolik, memberikan contoh yang baik pada saat kita mengunjungi gedung- gedung gereja. Mari menyatakan penghayatan iman kita dengan pertama- tama memberi hormat kepada Kristus yang hadir di dalam Tabernakel Sakramen Maha Kudus. Mari tunjukkan juga penghormatan ini dengan sikap dan pakaian yang sesuai, setiap kali kita mengunjungi gereja manapun dan mengikuti ibadah Misa Kudus. Ingatlah, bahwa sikap tubuh merupakan cerminan sikap hati; penampilan luar juga merupakan cerminan penghayatan iman. Janganlah hanya sekedar mengunjungi, namun sediakanlah juga waktu untuk berdoa di sana untuk mengucap syukur kepada Tuhan, dan jika memungkinkan, turutlah dalam ibadah Misa Kudus dan Adorasi yang diadakan di gereja- gereja tersebut.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  6. Berkah Dalem,
    Setelah membaca penjelasan di atas saya mencoba memahami apa yang yang pernah terjadi pada saya beberapa tahun yang lalu. Kebiasaan doa dan membaca kitab suci menumbuhkan semangat pengakuan dosa. Dan pengakuan dosa tiap melakukan dosa menumbuhkan kesadaran akan dosa yang paling kecil, dosa yang selama perjalanan hidup mungkin jarang atau bahkan tidak akan pernah kita sadari…
    Ini adalah contoh nyata kesadaran akan dosa yang pernah saya alami (saya memisahkan perbedaan menurut hidup iman saya: dalam keadaan dosa (dosa), dalam perjalanan pulang (tobat), berdosa kembali (dosa):
    1. Suatu ketika saya mengambil beberapa lombok tetangga saya untuk masak mi instan. Sambil saya makan, pikiran saya sampai pada penyadaran bahwa saya telah mencuri lombok, saya berdosa dan menyesal, saya harus mengaku dosa. Saya mengaku dosa pada seorang Imam, dan pada waktu saya ditanya: apa yang saudara curi? saya katakan lombok, Imam sedikit terkejut dan seterusnya memberi saya absolusi dan penitensi.
    2. Suatu ketika mata saya liar melihat kecantikan seorang wanita di lokasi tempat saya bekerja. Setelah di rumah saya sadar bahwa saya telah berjinah. Kemudian saya mengaku dosa pada pada seorang Imam yang lain. Imam mengatakan bahwa hal tersebut biasa dan jangan menjadi beban, dan itu bukan dosa. Saya agak terkejut mendengar pernyataan ini tapi saya simpan dalam hati. Demikian saya menerima absolusi dan penitensi.
    3. Dan beberapa contoh yang lain…

    Dari 2 contoh di atas saya belajar, bahwa bila saya mau hidup dalam doa, saya akan semakin dapat melihat bahwa: apa yang dulu adalah hal yang biasa dan tidak berdosa, saya akan disadarkan bahwa hal tersebut adalah dosa. Bahwa apabila saya rajin mengaku dosa, saya akan semakin ditunjukkan banyak dosa-2 kecil yang sebelumnya tidak saya sadari.
    Hanya memang saya belum bisa mengerti, apakah kesadaran di atas peran dari suara hati atau apa? Namun sampai saat ini saya menyebutnya dengan kesadaran saja dalam perjalanan saya pulang ke rumah Bapa.

    Semoga katolisitas dapat membantu saya memahami apa yang terjadi dalam perjalanan pulang ini.
    Terima kasih dalam Tuhan.

    yang berdosa,
    yohanes yp.

    • Shalom Yohanes Yudi Purnomo,
      Terima kasih atas pertanyaannya. Secara prinsip, semakin kita berada di dalam terang, maka pada waktu kita masuk ke tempat gelap, maka kita akan menyadari. Semakin kita berada di dalam kegelapan, maka pada waktu kita berada di dalam tempat gelap, kita tidak dapat merasakannya. Oleh karena itu, suara hati, tempat kudus, dimana kita dapat bertemu dengan Tuhan dapat mempunyai kondisi yang gelap kalau kita berada dalam kubangan dosa. Dengan pemeriksaan batin secara teratur, membaca Alkitab secara teratur, menerima sakramen secara teratur (Ekaristi dan Tobat), serta melatih kebajikan-kebajikan, maka suara hati kita akan semakin peka terhadap dorongan roh. Ini berarti, kita semakin menyadari dosa-dosa yang kita buat, termasuk dosa-dosa ringan. Semoga keterangan singkat ini dapat membantu.
      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,stef – katolisitas.org

  7. Shalom segenap penulis dan pengurus katolisitas.org,

    Saya ingin mengajukan pertanyaan seputar suara hati nurani. Saya mengetahui tentang hati nurani sejak kurang lebih 8 tahun yang lalu dan saya sudah merasakan banyak sekali yang berubah dalam diri saya sejak saya mengenal suara hati saya , namun saya memiliki sejumlah perdebatan.

    ….. [dari Katolisitas: kami edit. Pertanyaan selengkapnya dan jawabannya telah dicantumkan di atas, silakan klik]

    Yosh

    • shalom ibu Inggrid,
      terima kasih banyak atas jawaban yang telah diberikan. Setelah mendapatkan penjelasan yang demikian, semuanya menjadi lebih jelas dan saya bersyukur karena keberadaan situs ini benar- benar dapat membantu perkembangan iman umat katolik. Semoga situs ini semakin berkembang luas dan menjadi wadah yang baik bagi pertumbuhan iman umat katolik.

Comments are closed.