Paus Joan ini sebenarnya adalah legenda, yang tidak dapat dikonfirmasikan kebenarannya dengan fakta sejarah. Berikut ini adalah kisah legenda Paus Joan, yang diringkas dari sumber di link ini, silakan klik.

Dongeng tentang Paus perempuan, yang bernama Joan, pertama kali ditemukan pada pertengahan abad ke -13.

1. Variasi dongeng Paus Joan

a. Versi Jean de Mailly.

Pertama kali yang menuliskan dongeng ini adalah seorang Dominikan bernama Jean de Mailly yang kemudian diambil sebagai patokan oleh seorang Dominikan lainnya yaitu Etienne de Bourbon (1261) yang menuliskan dongeng ini dalam bukunya, “Ketujuh karunia Roh Kudus.” Dikatakan di sini bahwa Paus perempuan itu hidup sekitar tahun 1100, namun dalam versi ini tidak disebutkan namanya. Ia adalah seorang yang sangat berbakat, berpakaian seperti pria, menjadi anggota Kuria, lalu menjadi Kardinal dan kemudian Paus. Suatu hari ia naik kuda, dan kemudian melahirkan seorang anak laki-laki; ia lalu terikat pada ekor kudanya, terseret di sepanjang kota, dihukum mati oleh masyarakat, dikuburkan di tempat ia wafat.

b. Versi Martin (Martinus Polonus) dari Troppau

Menurut Martin, Setelah Paus Leo IV (847-855) seseorang bernama John Mainz (Johannes Anglicus) naik kursi kepausan selama dua tahun, tujuh bulan dan empat hari. Ia ini dilaporkan sebagai seorang wanita. Sewaktu masih kecil ia dibawa ke Athena, dan dipakaikan pakaian pria dan menjadi seorang yang sangat pandai. Ia datang ke Roma, menjadi guru sains dan menarik perhatian banyak para terpelajar. Akhirnya ia menjadi Paus, tetapi kemudian mengandung dari salah seorang kepercayaannya, melahirkan di tengah prosesi dari gereja St. Petrus ke Lateran, di antara Colosseum dan gereja St. Klemens. Ia wafat seketika, dan dikuburkan di tempat yang sama. Konon para Paus selanjutnya selalu menghindari jalur ini; karena tidak ingin mengingat kejadian yang memalukan ini. Di sini disebutkan nama “Paus” tersebut sebagai Johanna (Popess Joan).

c. Versi belakangan

Ada lagi versi yang menyebutkan bahwa nama “Paus” tersebut ketika anak- anak adalah Agnes, atau Gilberta. Atau dalam banyak variasi lainnya seperti yang ditulis dalam Universal Chronicle of Metz (1250), dan “Mirabilia Urbis Romae.”

2. Evaluasi/ Tanggapan

a. Kisah ini diterima tanpa dikritisi

Pada abad ke 14-15 kisah Paus wanita ini dipercaya sebagai sesuatu yang sungguh terjadi. Maka kisah Paus Joan ini dipakai oleh heretik Jan Hus, pada saat ia mempertahankan doktrinnya yang sesat di hadapan Konsili di Konstans, tanpa ada yang menyanggahnya. Padahal kenyataannya Paus Joan ini tidak pernah ada dalam “Liber Pontificalis” (daftar semua Paus) dan dalam foto para Paus yang terpampang di gereja St. Paulus di Roma (St. Paul outside the Walls)

b. Kisah ini diselidiki

Setelah diperiksa, sebenarnya kisah ini benar- benar fiktif. Di abad ke 15, setelah adanya gerakan historical criticism (gerakan penelitian sejarah), para sejarahwan seperti Aenas Sulvius ((Epist., I, 30) dan Platina (Vitae Pontificum, No. 106) melihat bahwa kisah tersebut tidak dapat dipertahankan, karena tidak berdasar. Maka sejarahwan di abad ke- 16, seperti Onofrio Pancinio (Vitae Pontificum, Venice, 1557), Aventinus (Annales Boiorum, lib. IV), Baronius (Annales ad a. 879, n. 5) menolak keberadaan Paus perempuan ini.

c. Beberapa pemeriksaan dari kaum Protestan

Sejumlah ahli sejarah Protestan, seperti Blondel (Joanna Papissa, 1657) dan Leibniz (“Flores sparsae in tumulum papissae” in “Bibliotheca Historica”, Göttingen, 1758, 267 sq.) juga menerima bahwa Paus perempuan ini sebenarnya tidak pernah ada. Namun masih ada banyak umat Protestan yang menggunakan dongeng ini untuk menyerang kepausan. Pada abad ke- 19, hampir semua ahli sejarah yang serius mempelajari fakta- fakta dapat menerima, bahwa kisah Paus perempuan ini hanya dongeng. Namun demikian ada juga orang- orang yang tetap berusaha untuk membuktikan keberadaan Paus wanita ini.

3. Bukti- bukti bahwa kisah Paus Joan adalah hanya dongeng:

a. Tidak adanya cukup bukti yang mendukung

Tidak ada satupun narasumber/ sumber sejarah pada saat itu yang menyebutkan tentang Paus Joan ini. Tidak pernah kisah ini disebutkan sampai pertengahan abad ke- 13. Adalah sesuatu yang sangat aneh, jika benar hal ini adalah kisah nyata, bahwa tidak ada satupun ahli sejarah pada abad 10- 13 yang mencatatnya [mengingat ‘besarnya’ peristiwa itu].

b. Melihat sejarah Paus, maka tidak ada tempat bagi kisah legenda/ dongeng ini bisa dimasukkan.

Antara Paus Leo IV dan Benediktus III, seperti versi Martin Polonus, Joan tidak mungkin dimasukkan. Sebab Paus Leo IV wafat pada tanggal 17 Juli 855, dan segera setelah ia wafat, Benediktus III dipilih menggantikannya oleh para klerus dan warga Roma. Koin uang yang memuat gambar Paus Benediktus III dan Kaisar Lothair yang wafat di tahun 28 September 855 menunjukkan bahwa Paus Benediktus III naik kursi kepausan sebelum tanggal 28 September 855 tersebut. Juga kesaksian dari Hincmar yang adalah Uskup Agung Reims, yang memberitahukan kepada Nicholas I bahwa pembawa pesannya kepada Paus Leo IV mengetahui di tengah jalan, bahwa Paus Leo IV wafat, dan karenanya pesan petisi tersebut diberikan kepada penggantinya Benediktus III, yang kemudian memutuskannya (Hincmar, ep. xl in P.L., CXXXVI, 85). Kalaupun Popess Joan itu ditempatkan sebagai Kardinal Anastasius yang menjadi antipope pada saat itu, tetaplah tidak pas, kerena Kardinal tersebut hanya bertahan sebulan (Agustus 855 sampai September 855). Selanjutnya, pada tanggal 7 Oktober 855, Paus Benediktus III mengeluarkan piagam untuk Biara Corvey, [saat itu sudah tidak ada lagi antipope]. Bukti- bukti ini menunjukkan bahwa tidak ada jeda selama dua setengah tahun antara kematian Paus Leo IV dan kenaikan Paus Benedictus III, yang “diisi” oleh Paus perempuan ‘Joan’, seperti yang dikisahkan dalam versi Martin Polonus.

Selanjutnya, akan menjadi sangat lebih tidak mungkin lagi untuk memasukkan Paus Joan dalam daftar Paus sekitar tahun 1100 antara Paus Victor III (1087) dan Paus Urban (1088-1099) atau Paus Paschal II (1099-1110), menurut catatan Jean de Mailly, karena data yang ada pada masa itu bahkan lebih akurat lagi dan menjadi catatan sejarah secara umum, bukan hanya catatan Gereja Katolik saja.

4. Asal usul dongeng ini

Ada beberapa dugaan, mengapa sampai timbul adanya dongeng ini.

a. Berkaitan dengan isi surat Paus Leo IX.

Ada yang berpendapat, kemungkinan bersangkutan dengan isi surat Paus Leo IX, yang dalam suratnya kepada Michael Caerularius (1053) bahwa ia tidak percaya akan yang didengarnya bahwa di Gereja Konstantinopel terdapat sida- sida, bahkan seorang perempuan yang menduduki kursi kepemimpinan episkopal (Mansi “Consil.”, XIX, 635 sq.). Maka, Belarminus (De Romano Pontifice, III, 24) percaya bahwa dongeng ini dibawa dari Konstantinopel ke Roma.

b. Berkaitan dengan kelemahan Paus John VIII

Ahli sejarah Baronius (Annales ad a., 879, n. 5) menduga bahwa legenda ini dihubungkan dengan kelemahan sikap dari Paus Yohanes VIII (John VIII, 872-882) dalam menangani orang- orang Yunani. Namun sebenarnya, tidak ada hubungan antara Pope John VIII dengan “Joan” ini. Silakan anda membaca sendiri riwayat Pope John VIII di link ini, silakan klik. Paus John VIII adalah seorang berkebangsaan Roma, jadi sama sekali tidak cocok dengan penjabaran ‘Joan of Ingeheim’ yang adalah orang Inggris- Saxon (Jerman).

c. Berkaitan dengan kelemahan sikap para Paus dengan nama John

Banyak para sejarahwan lainnya yang melihat adanya kemunduran kepausan sekitar abad ke- 10, di mana cukup banyak Paus bernama John (Yohanes). Maka Aventinus melihat bahwa kisah “Popess Joan” merupakan kisah sindiran (satire) terhadap pribadi John IX. Menurut Blondel, sindiran terhadap John XI, menurut Panvinio, sindiran terhadap John XII, sedangkan menurut Leander (Kirkengesch., II, 200), mengatakan secara umum kisah tersebut menggambarkan adanya pengaruh perempuan yang ‘mematikan/ berbahaya’ dalam era kepausan di abad ke 10.

d. Beberapa asumsi lainnya

Seorang sejarahwan lainnya, Leo Allatius, (Diss. Fab. de Joanna Papissa) menghubungkan kisah ini dengan nabi palsu Theota, yang dikecam pada Sinoda Mainz (847). Leibniz menghubungkan kisah ini dengan seorang Uskup yang bernama Johannes Anglicus yang datang ke Roma, dan konon kemudian diketahui sebagai seorang wanita. Atau Karl Blascus (“Diatribe de Joanna Papissa“, Naples, 1779) dan Gfrorer (Kirchengesch., iii, 978) menghubungkan kisah ini dengan Decretal pseudo- Isidorian.

Penjelasan Dollinger (“Papstfabeln”, Munich, 1863, 7-45) juga cukup mendapat persetujuan. Ia mengatakan bahwa dongeng Paus Joan ini merupakan salah satu dari cerita rakyat Roma yang berkaitan dengan monumen kuno dan kebiasaan tertentu. Sebuah patung kuno ditemukan pada jaman Paus Sixtus V, di jalan dekat Colosseum, yang menggambarkan ‘seseorang’ dengan seorang bayi. ‘Seseorang’ itu kemudian dihubungkan dengan kisah legenda sebagai Paus perempuan (Popess). Monumen itu konon ditemukan dengan tulisan dibawahnya P.P.P (proprie pecunia posuit) dengan nama Pap. (Papirius) pater patrum (seorang bapa Romawi yang mempunyai anak). Dikatakan juga, bahwa Paus tidak melewati jalan tersebut dalam prosesi, kemungkinan karena sempitnya jalan tersebut [dan bukan karena legenda itu].

5. Kesimpulan

Sebenarnya, cukuplah jelas bahwa kisah Popess Joan (Paus perempuan bernama Joan) adalah kisah dongeng, yang baru timbul di abad Pertengahan, berkaitan dengan ditemukannya monumen kuno di Roma. Kemudian ada orang- orang tertentu yang berimajinasi dan mengembangkan kisah tersebut, dengan dikaitkan dengan data- data sejarah yang sebenarnya tidak berhubungan, untuk membuatnya seolah- olah menjadi kisah nyata. Kita sebagai umat Katolik tidak perlu terpengaruh oleh kisah- kisah seperti ini, karena sifatnya fiktif. Ini menyerupai cerita Da Vinci Code, yang juga mengambil data- data sejarah yang tidak ada hubungannya. Sejarah dan fakta tidak bisa diubah, dan kita melihat sendiri bahwa Popess Joan (entah menurut versi Jean de Mailly ataupun Martinus Polonus) tidak pernah ada dalam urutan Paus yang ada.

Jika kisah Popess Joan itu sungguh benar, hal ini tidak mungkin tidak dicatat dalam sejarah secara resmi oleh para sejarahwan pada jamannya, seperti halnya sejarahwan Eusebius atau Josephus yang merekam peristiwa- peristiwa sejarah pada abad- abad awal. Kenyataan bahwa catatan sejarah pada masanya itu sendiri tidak ada, dan baru kemudian timbul berabad- abad sesudahnya, seharusnya memelekkan mata kita, bahwa kisah itu merupakan kisah dongeng belaka. Sebab kisah sejarah yang otentik seharusnya disampaikan oleh orang yang menyaksikannya pada jamannya, [seperti halnya fakta tentang kebangkitan Kristus di abad pertama]. Selanjutnya, fakta- fakta sejarah lainnya, juga menunjukkan bahwa kisah Popess Joan ini tidak mungkin terjadi, sebab tidak ada kerangka sejarah yang cocok/ sesuai dengan deskripsi kisah ini. Fakta bahwa terjadi bermacam- macam versi, juga menunjukkan bahwa kisah ini semata- mata adalah spekulasi, entah maksudnya sebagai cerita rakyat ataupun sindiran terhadap Paus- paus tertentu.

Kisah tentang Popess Joan ini sesungguhnya harus membuat kita menjadi lebih kritis dalam menyikapi suatu cerita, karena tidak semua cerita dibuat berdasarkan fakta yang sesungguhnya. Mari kita terus belajar untuk menemukan kebenaran, dan tidak lekas percaya terhadap kisah- kisah dongeng semata.

6. Menjawab keberatan tentang Paus Joan:

Ada sebagian orang yang mengacu kepada tulisan di ‘Mirabilia Urbis Romae’, dan kesaksian Jan Hus tentang Paus Joan, untuk mengatakan bahwa Paus Joan itu kemungkinan sungguh ada. Namun sesungguhnya kedua hal itu bukan alasan yang kuat yang menunjukkan obyektivitas kebenaran kisah Paus Joan.

a. Tentang Mirabilia Urbis Romae

Mirabilia Urbis Romae (MUR), bukanlah dokumen Gereja Katolik. MUR adalah sebuah karya tulis dalam bahasa Latin di Abad Pertengahan tentang kota Roma, namun siapa penulisnya tidak dikenal. Sebagaimana ditulis di Catholic Encyclopedia, klik di sini,  dalam MUR itu terdapat banyak miskonsepsi dan kesalahan, dan kemudian direvisi di banyak tulisan yang lain, seperti oleh de Rossi dalam “Roma Sotterranea“, oleh Pathey dalam “Mirabilia Romæ e codicibus Vaticanis emendata“, Jordan, dalam “Topographie der Stadt Rom im Altertum”, dst.

Disayangkan memang kita tidak dapat membaca langsung, keseluruhan teks yang ada dalam Mirabilia Urbis Romae (MUR). Di internet memang ada situs yang menampilkan keseluruhan teks MUR, silakan klik, namun di sana terdapat banyak kesalahan ketik, (kemungkinan hasil scan?) sehingga agak sulit untuk memahami makna keseluruhannya secara persis. Namun jika teks itu kurang lebih benar/ lengkap sekalipun, tidak dikatakan di sana ada pernyataan dari Paus Aleksander VI tentang Paus Joan.

b. Tentang Jan Hus

Sejarah mencatat bahwa Jan Huss diadili, dan akhirnya dihukum mati dengan dibakar tanggal 6 Juli 1415. Hukuman mati saat itu tidak dilakukan oleh Gereja, tetapi oleh pemerintah sipil. Demikian tentang hukuman mati, menurut hukum kanonik, sebagaimana ditulis dalam New Advent Catholic Encyclopedia:

Canon law has always forbidden clerics to shed human blood and therefore capital punishment has always been the work of the officials of the State and not of the Church. Even in the case of heresy, of which so much is made by non-Catholic controversialists, the functions of ecclesiastics were restricted invariably to ascertaining the fact of heresy. The punishment, whether capital or other, was both prescribed and inflicted by civil government. The infliction of capital punishment is not contrary to the teaching of the Catholic Church, and the power of the State to visit upon culprits the penalty of death derives much authority from revelation and from the writings of theologians. The advisability of exercising that power is, of course, an affair to be determined upon other and various considerations…

Untuk kasus Jan (John) Hus, alasan berat yang menghantarnya sampai kepada hukuman tersebut adalah karena ia mengajarkan ajaran sesat, sebagaimana yang diajarkan oleh Wycliff. Kita yang hidup di masa kini mungkin sulit memahami keadaan di awal abad 15 tersebut, di mana seorang bidat dapat sampai dihukum mati. Namun  di zaman itu, memang demikianlah hukuman yang berlaku untuk seseorang yang dianggap sebagai penyesat dan pembuat kekacauan di masyarakat; apalagi jika beberapa kali peringatan telah diberikan oleh pihak otoritas, dan yang bersangkutan tetap berkeras menentangnya.

Dalam Konsili Constance (1415), diumumkan pengecaman terhadap ajaran sesat yang diajarkan oleh Wycliff dan John Hus. John Hus mulai mengajarkan ajaran Wycliff secara terbuka sejak tahun 1408 di Praha, dan telah menerima peringatan dari pihak Vatikan. Tahun 1412 ia dikeluarkan dari Praha, namun ia terus menyebarluaskan tulisannya yang menyesatkan tentang Gereja, tentang kepemimpinan Paus, tentang Kitab Suci, tentang Ekaristi, dst. Hus mendapat dukungan dari Kaisar Sigismund dan raja Bohemia, yang mendorongnya untuk hadir menjelaskan pandangannya di hadapan Konsili Uskup di Constance. Maka Hus berangkat ke Konsili pada tgl 11 Oktober 1414. Huss diterima dengan baik oleh Paus Yohanes XXIII, yang kemudian mencabut hukuman ekskomunikasi dan interdik atasnya, walaupun masih melarang Huss untuk memimpin Misa Kudus, berkhotbah maupun melaksanakan fungsi Gerejawi di hadapan publik, karena ajarannya memang sesat dan telah dinyatakan salah oleh Paus. Hus kembali menghadap Paus dan para Kardinal pada tanggal 28 November dan mengatakan bahwa dirinya bebas dari kesalahan, ia siap menarik semua ajarannya dan menjalani sangsi jika ada. Namun demikian, pada hari yang sama itu, ia melanggar larangan Paus, dengan tetap mempersembahkan Misa Kudus dan berkhotbah di hadapan umum. Oleh karena itu, ia ditangkap, dan oleh perintah Uskup Constance, ditahan di biara Dominikan, dan kemudian dipindahkan ke kastil Gottlieben (biara Fransiskan di Constance).

Pada tanggal 5, 7, 8 Juni 1415 pengadilan kasus Hus dilaksanakan di hadapan umum. Ringkasan dari tulisannya dibacakan, para saksi dihadirkan. Huss menerima sebagian dari tulisannya itu sebagai ajarannya (yang bersumber dari ajaran Wycliff), namun ia tidak menyatakan bahwa dirinya tidak bersalah dan ia menolak apapun untuk menyatakan ketaatannya kepada otoritas Gereja. Pada tgl 6 Juli 1415, sekali lagi tulisannya tentang Gereja (De Ecclesia) dibacakan di hadapan umum. Hus menolak untuk menarik ajarannya yang keliru itu. Maka akhirnya, Hus dinyatakan sebagai bidat, dan diserahkan kepada tentara sekular, yang kemudian dihukum mati dengan dibakar, hukuman yang berlaku pada saat itu untuk para pengajar sesat.

Maka jika sampai Hus menyebutkan tentang Paus Joan sekalipun, itu bukan alasan mengapa ia dihukum mati, namun sebaliknya bukan alasan untuk membenarkan bahwa memang ada Paus yang bernama Joan. Yang menjadi perhatian Magisterium dalam Konsili untuk diluruskan adalah pernyataan ajaran sesat dan bukan pernyataan lain yang tidak langsung berhubungan dengan ajaran Gereja. (Hal catatan suksesi urutan Paus tidak secara langsung berhubungan dengan ajaran iman, lagipula hal urutan tersebut dapat dilihat di Liber Pontificalis, dan di sana tidak ada nama Paus Joan). Namun yang nyata di Konsili tersebut, Hus telah mengajarkan banyak hal yang tidak sesuai dengan ajaran Gereja Katolik, dan ia sudah diperingati berkali-kali, namun tetap berkeras pada pendiriannya, dan karena itu sangsi diberlakukan terhadapnya. Bahwa hukuman mati yang diberlakukan pada John Hus masa itu sungguh kejam, ini juga diakui dan disesali oleh Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 18 Desember 1999 di Praha.  Dalam kunjungannya ke Praha sekitar tahun 1990an, Paus Yohanes Paulus II mengatakan, “terlepas dari keyakinan teologis yang dipertahankannya, tak dapat diingkari integritas Hus di dalam kehidupan pribadinya dan komitmennya terhadap pendidikan moral bagi bangsanya.” Dari pernyataan ini Paus Yohanes Paulus II mengakui integritas kehidupan pribadi John Hus, walaupun Paus tidak menyebutkan bahwa ia membenarkan keyakinan teologis yang dipertahankan oleh Hus saat itu. Paus dengan besar hati meminta maaf atas nama Gereja bahwa di masa lalu dapat terjadi pelaksanaan hukuman terhadap Hus yang sedemikian, yang walaupun tidak dilakukan oleh Gereja, namun dilakukan setelah pernyataan Hus diperiksa melalui Konsili Gereja. Dengan pernyataan maaf ini, kita dapat melihat maksud yang tulus dari Paus untuk membangun dialog dengan umat Kristen non-Katolik, terutama di Cekoslowakia.

 

6 COMMENTS

  1. Dear Katolisitas.org

    Saya adalah pendamping OMK di paroki. Hari Minggu lalu saya bersama salah satu OMK kategorial nonton bareng film Pope Joan. Memang seminggu sebelumnya mereka minta saya untuk mengulasnya. Kebetulan saya mendapat jawaban dari katolisitas.org. Dan jawaban itulah yang saya beri dengan beberapa tambahan refleksi. Mereka semua puas, namun saya masih memiliki “PR” atas beberapa pertanyaan yang diajukan. Terus terang, saya tidak bisa menjawabnya saat itu dan berjanji untuk menjawabnya di waktu yang lain. Oleh karena itu, pertanyaan itu mau saya sampaikan ke katolisitas.org. Pertanyaannya:

    1. Seorang pemuda, dengan menyebut buku “Rahasia Kehidupan Seks Para Paus” karya Nigel Cawthorne, mengatakan bahwa jika tidak ada bukti sejarah yang kuat, bagaimana dengan buku “Mirabilia Urbis Romae” yang mengutip pernyataan Paus Aleksander VI? Ia lalu mengutip tulisan dari buku Nigel itu “Edisi Mirabilia Urbis Romae dikumpulkan pada tahun 1500, dalam masa pemerintahan Aleksander VI, Paus Borgia, memiliki pandangan yang sama:’Lalu kami pindah ke sebuh kapel kecil di antara Colloseum dan gereja St Klemens;….. di mana perempuan yang menjadi paus itu meninggal……” [hlm 52-53]
    Terus terang saya waktu itu tidak bisa menjawab dengan alasan saya belum membaca buku itu. Bisakah katolisitas.org menjawabnya?

    2. Masih berkaitan dengan buku Nigel di atas, ada yang bertanya mengapa John Huss dibakar. Mengutip dari buku Nigel itu, “John Huss dibakar karena dianggap bidaah…, tetapi tidak ada orang di konsili itu yang menentangnya ketika menyebut ‘Paus Joan, seorang perempuan Inggris bernama Agnes’ beberapa kali dalam pembelaannya.”
    Waktu itu saya jelaskan bahwa pada masa itu Gereja menjalani apa yang dikenal dengan istilah inkusisi; dan salah satu kebijakannya adalah membunuh para bidaah dan juga tukang sihir. John Huss dibakar bukan karena kebenaran akan Paus Joan, melainkan karena kebidaahannya. Saya tidak tahu apakah jawaban saya ini benar. Mungkin katolisitas.org bisa memberi pencerahan lain.

    Demikianlah dua pertanyaan saya. Besar harapan saya katolisitas.org membantu saya mengerjakan PR saya. Atas kebaikan dan perhatiannya, saya menghaturkan limpah terima kasih.

    • Shalom Brian,

      Sebagaimana disebutkan di atas, variasi kisah tentang Paus Joan itu ada beberapa versi, ada versi Jen de Mailly, versi Martin dari Troppau, dan versi Universal Chronicle of Metz (1250), dan “Mirabilia Urbis Romae” (1150). Dari fakta bahwa ada banyak versi ini saja yang mengacu kepada tokoh-tokoh yang berbeda di tahun/abad yang berbeda, secara obyektif kita dapat mengetahui bahwa kisah tentang Paus Joan itu lebih berupa kisah fiktif daripada kisah nyata.

      Selanjutnya tentang tanggapan atas keberatan yang Anda ajukan, telah saya tambahkan di bagian akhir artikel di atas (point 6), silakan klik untuk membacanya.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  2. Syalom,
    kenapa pusat gereja katolik dipusatkan di Vatikan Roma?, kenapa tidak di palestina atau israel ( tempat Yesus lahir dan wafat atau di tempat Yesus berkarya ).
    Trims atas bantuannya.

    • Shalom Fernandus Rinto,

      Mengapa pusat Gereja Katolik ditempatkan di Roma, itu adalah sesuai dengan perintah Kristus sendiri pada para murid-Nya, “Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi.” (Kis 1:8). Karena pada waktu jaman para rasul, pusat dunia itu adalah kota Roma, maka Rasul Petrus dan Paulus bersama- sama mendirikan Gereja di Roma, yang akhirnya menjadi pusat penyebaran iman Kristiani ke seluruh dunia. [Menurut sejarah, sumber Wikipedia: “It [Roma] was the capital city of the Roman Kingdom, the Roman Republic and the Roman Empire which was a major political and cultural influence in the lands bordering the Mediterranean Sea for over seven hundred years from the 1st Century BC until the 7th Century AD].

      Dengan demikian, terpenuhilah kehendak Yesus untuk mewartakan Kabar Gembira kepada seluruh bangsa (lih. Mat 28:19-20). Sebab tujuan penjelmaan Kristus menjadi manusia adalah untuk menyelamatkan semua bangsa, dan tidak hanya terbatas pada bangsa Israel saja; Allah, “yang menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran.” (1 Tim 2:4)

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  3. Terima kasih banyak atas penjelasan dan uraian yang sangat lengkap dan detil tentang Pope Joan ini… Kebetulan saya melihat DVD film nya, dan saya beli namun belum saya tonton. Menggelitik juga jadi pertanyaan apakah ini fakta atau fiksi. Secara logika saya juga agak sulit mencerna, bagaimana sosok fisik perempuan bisa tidak ketahuan selama sejak dari masa di biara hingga sampai jadi Paus, apabila demikian kejadiannya… Namun, kalimat tagline di trailer film ini juga menggelitik… “and two years later… she was erased from history…” Namun, penjelasan bahwa “tidak ada tempat (waktu) di mana periode Pope Joan dapat dimasukan dalam sejarah kepausan, bahwa ada data pasti setelah bahwa pada tahun 855 setelah Paus Leo IV wafat, Paus penggantinya adalah Paus Benediktus III pada tahun itu juga, jadi sangat menjelaskan bahwa Pope Joan adalah kisah fiksi.

  4. Syalom,,
    mau tanya…
    saya pernah membaca kisah tentang pope joan ( sudah ada filmnya)
    bahkan disertai dgn beberapa fakta sejarah
    diceritakan bahwa Joan of Ingelheim adalah seorang perempuan yang menyamar menjadi Laki-laki dan kemudian menjadi biarawan hingga akhirnya menjadi Paus dgn nama Pope John VIII…
    bisakah diceritakan siapa sebenarnya Pope John VIII…???

    [Dari Katolisitas: Pertanyaan ini sudah dijawab di atas, silakan klik]

Comments are closed.