Pertanyaan:
Syalom, Katolisitas
Sebelumnya banyak terima kasih dan saya ingin menanyakan lagi, apa maksud ayat-ayat di Markus 10 : 1-12
Salam kasih
Adnilem.Sg
Jawaban:
Shalom Adnilem,
Perikop Markus 10:1-12 sebenarnya ingin menjelaskan ajaran Yesus tentang Perkawinan yang tidak terceraikan (walaupun di judul perikop dalam Alkitab LAI, ditulis: “Perceraian”). Berikut ini saya sarikan apa yang tertulis dalam Navarre Bible, dan A Catholic Commentary on Holy Scripture, ed. Dom Orchard, OSB:
Secara umum ayat Mrk 10:1-12:
Perikop ini sebenarnya menggambarkan bagaimana para orang Farisi ingin menjebak Yesus dengan pertanyaan- pertanyaan supaya Yesus didapatkan oleh mereka menentang hukum Taurat Musa. Namun Yesus yang adalah Putera Allah, mempunyai pengertian yang sempurna tentang hukum Taurat Musa, dan bagaimana sampai Musa mengeluarkan ketentuan yang memperbolehkan perceraian. Musa memperbolehkan perceraian, karena kekerasan hati bangsa Israel yang pada masa dahulu memang menganggap wanita sebagai warga kelas rendah, bahkan seperti budak, hampir seperti binatang. Maka Musa melindungi hak martabat wanita dari perlakuan semacam ini, sebab seandainya wanita tersebut dimadu, tentu kondisinya lebih buruk lagi. Maka ketika Musa memperbolehkan membuat surat cerai, ini sudah merupakan ‘kemajuan’ kondisi sosial yang memperhatikan martabat pihak wanita. Sebab pada saat suaminya ‘mengusir’nya, ia dapat memperoleh kebebasan.
Namun Yesus mengembalikan ajaran ini kepada hakekat perkawinan seperti yang ditentukan Allah dari semula, pada awal penciptaan dunia. “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.” (Kej 2:24). Allah telah menentukan sejak semula, bahwa kesatuan perkawinan tidak terceraikan. Pengajaran Magisterium Gereja Katolik menjaga dan mempertahankan ajaran ini dalam banyak dokumen (Konsili Florence, Pro Armeniis; Konsili Trente, De Sacram. matr; Pius XI, Casti connubii; Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes, dll)
10: 2
Dalam hukum Musa, Ul 24:1-4, Musa memang memperbolehkan perceraian, “Apabila seseorang mengambil seorang perempuan dan menjadi suaminya, dan jika kemudian ia tidak menyukai lagi perempuan itu, sebab didapatinya yang tidak senonoh padanya, lalu ia menulis surat cerai …. sesudah itu menyuruh dia pergi dari rumahnya…” Dengan demikian ikatan perkawinan dikatakan putus, dan kedua pihak dapat menikah lagi. Meskipun orang-orang Yahudi setuju bahwa perceraian diizinkan, mereka tidak sepakat akan interpretasi perkataan ‘didapatinya tidak senonoh’, yang dapat menjadi alasan bagi suaminya untuk menceraikannya. Kelompok Shammai menyebutkan perzinahan sebagai satu-satunya alasan, sedangkan kelompok Hillel memperbolehkan alasan- alasan yang lain. Orang-orang Farisi mengetahui hal ini dan ingin menjebak Yesus, supaya Yesus membuat kontradiksi dengan ajaran hukum Taurat Musa ini.
10: 3-5
Yesus mengetahui maksud jahat orang-orang Farisi ini. Ia juga mengetahui bahwa Musa memperbolehkan perceraian justru untuk melindungi hak dan martabat kaum wanita. Peraturan Musa ini bukan untuk mendorong/ memberi hak istimewa kepada orang Yahudi untuk menceraikan istrinya. Perceraian pada jaman nabi Musa diizinkan demi mentolerir suatu kesalahan karena kekerasan hati mereka. Maka perceraian tidak pernah sesuai dengan rencana awal Allah Bapa saat menciptakan laki-laki dan perempuan.
10: 6-9
Rencana Tuhan untuk perkawinan manusia dinyatakan dalam kitab Kej 1:27 dan 2:24. Ikatan laki-laki dan perempuan itu nyata dan tetap seperti ikatan yang mempersatukan anggota keluarga. Di tengah dunia yang berpikir bahwa mengikatkan diri pada satu orang sepanjang hidup sebagai sesuatu yang sulit atau bahkan tidak mungkin; kita harus berani mengabarkan Kabar Gembira, bahwa hal itu mungkin dan dapat terjadi, sebab memang demikianlah yang menjadi rencana Tuhan terhadap perkawinan yang mempunyai dasar dan kekuatan di dalam Kristus (lih. Ef 5:25).
Perkawinan berakar dari kasih penyerahan diri secara total antara suami dan istri dan diarahkan untuk kebaikan anak-anak yang dipercayakan oleh Tuhan kepada mereka, dan oleh karena itu Allah menghendaki agar perkawinan tidak terceraikan. Tuhan berkehendak agar perkawinan menjadi buah, tanda, dan persyaratan dari kasih setia yang absolut Tuhan berikan kepada manusia, dan yang Yesus berikan kepada Gereja-Nya.
Kristus memperbaharui dan mengembalikan makna perkawinan seperti yang direncanakan Allah dari semula. Perkawinan yang diangkat oleh Yesus menjadi sakramen, memberikan kepada pasangan suami istri sebuah hati yang baru yang dapat mengatasi ‘kekerasan hati’ (Mat 19:8). Kristus adalah “ya” bagi semua janji Allah (2 Kor 1:20) dan pasangan suami istri diajak untuk mengambil bagian di dalam realisasi dari kesetiaan kasih Allah kepada manusia dengan juga mengatakan “ya” pada janji perkawinan. Maka dengan ikatan perkawinan yang tak terceraikan ini, pasangan Kristiani mengambil bagian dalam ikatan kasih yang tak terceraikan antara Kristus dengan Mempelai-Nya, yaitu Gereja-Nya, yang dikasihi-Nya sampai akhir (lih. Yoh 13:1)
Paus Yohanes Paulus II mengajarkan, “Untuk memberi kesaksian tentang nilai yang tak terhingga dari perkawinan yang tak terceraikan dan kesetiaan perkawinan adalah salah satu dari tugas-tugas yang paling berharga dan paling genting bagi para pasangan Kristiani di masa sekarang ini.” (Familiaris Consortio, 20)
10:10-12
Di sini Yesus menjelaskan kepada para murid-Nya yang mungkin terkejut akan pengajaran yang bertentangan dengan ajaran yang pada saat itu diterima oleh semua orang Yahudi. Yesus mengajarkan bahwa tidak satupun pihak (baik istri maupun suami) yang mempunyai hak untuk menikah lagi setelah berpisah.
Inilah yang sampai sekarang ini dipegang oleh Gereja Katolik, bahwa jika perkawinan yang dilakukan itu sah (tidak ada cacat konsensus, tidak ada halangan pernikahan dan perkawinan sesuai dilakukan dengan ketentuan kanonik), maka jika suatu saat kedua pihak memutuskan untuk berpisah, kedua pihak tidak dapat menikah lagi. Namun ada kalanya, setelah dilakukan pemeriksaan dari pihak tribunal Gereja (yang didahului permohonan dari pihak pasangan/ salah satu pasangan), dapat ditemukan adanya: 1) cacat konsensus 2) halangan/ ketidakmampuan seseorang untuk menikah, ataupun 3) perkawinan yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan kanonik, sehingga perkawinan dapat dianggap tidak sah. Inilah yang disebut sebagai Anulasi (annulment) dalam Gereja Katolik. Maka anulasi tidak sama dengan perceraian, tetapi pernyataan dari pihak tribunal keuskupan bahwa perkawinan tersebut tidak sah dari awalnya, yang disebabkan oleh adanya ketiga hal tersebut yang terjadi sebelum dan pada saat dibuatnya kesepakatan nikah (jadi bukan berdasarkan kejadian-kejadian negatif yang baru terjadi sesudah kesepakatan perkawinan). Jika permohonan anulasi dikabulkan, artinya di mata Gereja perkawinan tersebut tidak sah, sehingga kedua pihak dapat menikah lagi, tentu harapannya kali ini dilakukan dengan sah, dan dengan demikian tidak terceraikan.
Demikianlah yang dapat saya tuliskan tentang perikop Mrk 10:1-12. Semoga dapat dipahami, bahwa pada dasarnya kehendak Tuhan bagi perkawinan adalah satu suami satu istri, yang setia satu sama lain dan tidak terceraikan seumur hidup. Sebab Allah menghendaki agar perkawinan menjadi tanda lambang kasih-Nya kepada manusia, dan melalui perkawinan manusia mengambil bagian dalam kesetiaan kasih-Nya kepada manusia, yang juga tetap selamanya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- www.katolisitas.org
Ibu Ingrid
Apakah sakramen perkawinan masih ada setelah salah satu pasangan hidupnya meninggal. Apakah kita akan disatukan kembali ketika bertemu di rumah Bapa. Ada yang mengatakan setelah pasangan nya meninggal coba membuka hati buat pasangan baru. Bukankah seperti itu tidak setia dengan pasangan nya dan mengapa harus membuka hati buat yang lain. Bukan kah pasangannya adalah tulang rusuk pasangan itu sendiri dan sudah dipersatukan menjadi satu daging. Jika setelah meninggalnya salah satu pendamping hidupnya dan menjalankan perkawinan baru, apakah dia dibuat dari rusuk yang baru lahi dan disatukan menjadi satu daging dengan yang lain. Terima kasih.
Shalom Barbara,
Inti dari Sakramen Perkawinan adalah menjadi gambaran di dunia ini akan persatuan abadi antara kita dengan Allah sendiri. Dengan demikian, kesetiaan yang dituntut dalam Sakramen Perkawinan adalah kesetiaan sampai maut memisahkan pasangan tersebut. Dituliskan “Sebab seorang isteri terikat oleh hukum kepada suaminya selama suaminya itu hidup. Akan tetapi apabila suaminya itu mati, bebaslah ia dari hukum yang mengikatnya kepada suaminya itu. Jadi selama suaminya hidup ia dianggap berzinah, kalau ia menjadi isteri laki-laki lain; tetapi jika suaminya telah mati, ia bebas dari hukum, sehingga ia bukanlah berzinah, kalau ia menjadi isteri laki-laki lain.” (Rm 7:2-3) Jadi, setelah kematian dari pasangannya, maka seseorang tentu saja dapat mengikat diri kembali dapat satu perkawinan yang baru, atau secara sadar hidup sendiri (bersama dengan anak-anak) di dunia ini tanpa mencari pasangan yang baru.
Nanti pada waktu suami istri bertemu kembali di Surga, maka letak kebahagiaan bukanlah pada persatuan suami istri, namun pada persatuan dengan Tritunggal Maha Kudus. Kehidupan di Surga bukanlah masalah kawin dan dikawinkan, melainkan akan hidup seperti malaikat (lih. Mat 22:30) – dimana kebahagiaannya tidak terletak pada hal-hal material, namun pada hal-hal yang bersifat rohani. Semoga dapat memperjelas.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Terima kasih Pak Stef
Apakah begitu terpisahkan oleh maut cinta kasih yang ada juga hilang atau harus dihilangkan untuk bisa melanjutkan hidup. Dan cinta kasih suami istri berubah menjadi cinta kasih sesama saudara begitu kita bertemu di rumah Bapa. Ikatan suami istri sudah menjadi saudara saja. Kalau begitu mengapa kita diciptakan untuk saling mencintai bukannya lebih baik kita hanya mencintai Tuhan saja dan mengasihi sesama tanpa ada perkawinan. Terima kasih.
Shalom Barbara,
Setelah kita berada di dalam Kerajaan Surga, kasih kita kepada sesama tidaklah hilang. Justru kasih kita kepada Allah dan sesama berada dalam kesempurnaan dan kepenuhannya. Yesus mengatakan bahwa di dalam Kerajaan Surga, hidup kita akan seperti para malaikat (lih. Mat 22:30). Dengan demikian, letak kebahagiaan kita bukanlah kebahagiaan yang bersifat jasmani, melainkan kebahagiaan jiwa – yang bersifat lebih dalam dan kekal.
Lalu mengapa diperlukan pernikahan di dunia ini? Pernikahan menjadi sarana untuk melanjutkan keturunan dan menjadi tanda, sarana, gambaran akan persatuan yang lebih sempurna di Surga, di mana Kitab Wahyu menggambarkan sebagai pernikahan Anak Domba (lih. Why 19:7-9). Dengan demikian, baik status hidup perkawinan, klerus, biarawan/biarawati semuanya menuju pada satu tujuan akhir, yaitu pernikahan Anak Domba, atau persatuan dengan Allah yang sempurna di dalam Kerajaan Allah. Itulah sebabnya dalam masing-masing status, setiap anggota harus membantu anggota lain untuk dapat mencapai Surga. Ingatlah, bahwa status kita di dunia ini adalah bersifat sementara. Status adalah cara, di mana akan berakhir pada saat kita mencapai tujuan akhir, yaitu Surga. Semoga dapat memperjelas.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Terima kasih Pak Stef. Yang berikut mungkin sedikit diluar topic. Sy juga ingin menayankan doa buat suami/istri atau saudara kita yang sudah meninggal selain misa doa rosaria ada jalan salib. Bagaimana kita menjalankan salib sendiri. Apakah setelah meninggal mereka masih bisa mendengar doa kita dan mengenal kitam Terima kasih.
Shalom Barbara,
Kita dapat mendoakan saudara-saudari yang telah meninggal dunia yang mungkin masih berada di dalam Api Penyucian, dengan doa apa saja, dengan perbuatan kasih, serta terutama menyatukannya dengan kurban Kristus dalam Sakramen Ekaristi. Jalan salib adalah devosi yang sungguh baik. Anda dapat mendoakan setiap hari atau kalau mau mengambil satu hari dalam seminggu, Anda dapat melakukannya pada hari Jumat, hari dimana Kristus menderita dan wafat. Silakan melihat buku doa tentang jalan salib.
Orang-orang di Api Penyucian yang kita doakan dapat saja mendengar doa-doa syafaat kita dengan seizin Tuhan. Tentang hal ini kita tidak akan tahu persis. Yang kita tahu persis adalah doa-doa kita dapat membantu mereka. Namun, pada akhirnya mereka akan tahu siapa yang mendoakan mereka, terutama pada saat mereka sampai di dalam Kerajaan Surga. Dan pada gilirannya, mereka yang telah berada di dalam Kerajaan Surga, juga akan mendoakan kita. Semoga dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Shalom Bu Ingrid/Romo Wanta,
Saya ada pertanyaan,apakah perceraian adalah kutukan?
Maksud saya,apabila suami istri bercerai/berpisah maka kemungkinan keturunan mereka nanti juga akan mengalami hal yang sama (bercerai/berpisah) dengan pasangannya.
Saya pernah mendengar hal ini dari mantan pimpinan saya yang kristen non-katolik.
Mohon pencerahannya.
Berkah Dalem
Shalom Caecilia,
Sejauh pengetahuan saya, perceraian bukanlah kutukan, dan bukan sesuatu yang otomatis diturunkan oleh orang tua kepada anak-anaknya. Silakan membaca penjelasan lebih lanjut di artikel ini, silakan klik.
Kalaupun sampai ada orang tua yang bercerai, dan kemudian anaknyapun bercerai, itu bukan karena dosa turunan, namun karena ada kecenderungan manusiawi bahwa anak-anak meniru ataupun terpengaruh akan sikap dan perbuatan orang tuanya. Sesungguhnya kecenderungan ini bahkan nampak dari banyak hal yang netral, yang tidak dapat dikatakan dosa, misalnya cara bicara, cara berjalan, bahkan cara tertawa. Jika orang tua bercerai, maka anak akan menangkap dalam pikirannya, bahwa perceraian merupakan salah satu jalan keluar, jika pasangan tidak lagi menemukan kecocokan, atau kalau terjadi masalah besar dalam hubungan suami istri. Lain halnya jika anak-anak melihat orang tua selalu mengusahakan persatuan, walaupun keduanya berbeda dan walaupun mereka sedang menghadapi masalah besar dalam keluarga. Anak-anak yang orang tuanya tidak bercerai akan lebih dapat melihat bahwa selalu ada kemungkinan untuk tetap setia dan tetap bersatu mempertahankan perkawinan, walaupun ada banyak masalah, dan bahwa dalam kesatuan itulah kita memperoleh kebahagiaan sejati.
Maka, sekalipun faktanya dapat terjadi bahwa anak pasangan suami istri yang bercerai juga akhirnya bercerai, namun ini terjadi bukan karena kutukan, tetapi karena pengaruh dari apa yang mereka lihat terjadi dalam kehidupan mereka. Dengan demikian, jika ada kesempatan bagi mereka untuk melihat bahwa kesetiaan perkawinan itu adalah sesuatu yang mungkin untuk dilakukan, maka merekapun akan dapat terdorong untuk mengusahakannya dan melakukannya sendiri dalam perkawinan mereka. Di sinilah pentingnya dukungan Gereja, dari sesama saudara/i seiman, untuk merangkul anak-anak dari perkawinan yang bermasalah. Mari kita jangan bersikap mengadili dan mencap bahwa perkawinan mereka-pun akan gagal. Sebaliknya, mari bersama sebagai satu saudara dalam Kristus, untuk turut mengambil bagian dalam pemulihan luka batin dari saudara/i kita akibat perceraian, agar mereka dapat bertumbuh dalam kasih Kristus yang mendorong mereka untuk mengikuti teladan Kristus: berjuang untuk mengasihi, dan mengampuni sampai akhir.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Shalom Ibu Ingrid,
Terimakasih sekali bu atas pencerahannya,sungguh melegakan… :)
Jujur,selama ini pemikiran tsb menjadi semacam beban di pikiran saya bu.
Dengan penjelasan dari Ibu,saya semakin mendapat peneguhan. Doakan saya supaya bisa menjadi teladan yang baik untuk anak2 saya.
Berkah Dalem
Shalom Rm Wanta.
dan pengurus katolisitas
Saya mendapat pertanyaan dari seorang teman sehubungan dgn kasus pernikahanya…
Teman saya (katakan si A) pernah menikah dgn lelaki si B. proses pemberkatan nikahnya waktu itu disebuah gereja Pantekosta. Pada awal pernikahan suaminya sudah menunjukkan tindakan kasar, sehingga sering terjadi pertengkaran dalam keluarga. Juga kurang bertanggung jawab dalam hal financial sedangkan kebutuhan rumah tangga lebih dibebankan pada diri si A. Sedangkan pernikahan ini terjadi atas desakan orang tua pihak si A dan bukan keinginan si A sendiri.
Setelah pernikahan berjalan 4 tahun, baru diketahui bahwa si B, sebenarnya sudah pernah menikah sebelomnya, dan sudah mempunyai 2 orang anak. Dengan diketemukannya hal ini… kemudian si A memutuskan berpisah/cerai; karena tidak ingin hidup dibawah perjinahan, belom lagi siksaan batin atas tindakan2 kekerasan yang sering dilakukan suaminya itu.
Untuk status pernikahan si B yg pertama, yangmana sengaja disembunyikan baik oleh si B sendiri maupun keluarganya, bahkan waktu orang tua si B ketika datang melamarpun mengakui bahwa anaknya (si B) masih status belum menikah. (semua ini diakuinya oleh pihak keluarga si B ketika si A menyatakan hubungan mereka bercerai)
setelah kasus perceraian si A terjadi, pernah dikonselingkan dengan pendetanya di gereja Pantekosta. Dikatakan bahwa pihak gereja tidak bisa membatalkan pernikahan tsb. (meskipun sang pendetanya sudah tahu persis duduk persoalannya yang sangat merugikan pihak si A). beliau berpesan; si A boleh menikah lagi jika tak sanggup melawan sifat kedagingan, meskipun disadarinya terdapat cacat nikah, namun tidak mempunyai wewenang membatalkannya. (maksudnya disini tidak mempunyai proses administratif).
Pertanyaan teman saya:
Apabila si A ingin menikah dgn seseorang yang beragama katolik, apakah dimungkinkan/bisa mendapat izin dari pihak GK. Dengan menerima pemberkatan secara katolik. Jikalau bisa/memungkinkan, apa yang harus dilakukannya… ?
Pertanyaan saya disini adalah: jika rencana pernikahannya dilanjutkan… dengan mengingat di gereja protestan tidak mempunyai sarana anulasi untuk sebuah perkawinan yg dinilai cacat nikahnya, apakah pihak gereja Katolik bersedia memprosesnya sampe mendapatkan dispensasi pernikahan yang diinginkan pasangan tsb. Atau misalkan, bagi pihak si A harus terlebih dulu menjadi seorang katolik dan menjalani hidup secara katolik untuk jangka waktu tertentu yang kemudian baru bisa diproses anulasinya…
Terima kasih pencerahannya.
Salam
Felix Sugiharto
Felix yth
Pernikahan A dengan B tidak sah kalau A Katolik. Karena sesuai kanon 11 A sebagai orang Katolik dia wajib mengikuti norma hukum perkawinan kanonik. Apalagi ditambah data B sudah menikah dan ada cacat konsensus kekerasan, sangat jelas tidak sah. A harus mendapat pernyataan pembatalan perkawinan di tribunal jika ia hendak menikah dengan orang Katolik. Atau proses dokumental jika hendak menikah secara Katolik dengan pasangan barunya yang Katolik dan status bebas. Apakah A katolik?
A bisa menikah lagi jika ia telah dibebaskan dari ikatan perkawinan dengan B, meski di Gereja non Katolik, Gereja Katolik mengakui adanya ikatan perkawinan.
salam
Rm Wanta
Rm Wanta yth.
Terima kasih balasan dari romo…
si A bukan beragama katolik (Pantekosta), justru setelah kasus perceraiannya terjadi dan diketahui tidak sah, namun pihak gerejanya tidak berwenang membatalkannya..
sehingga muncul pertanyaan, apabila si A memutuskan untuk menikah dgn seorang katolik (status bebas), apakah si A dapat dinilai status bebas oleh gereja katolik? atau perlu diproses anulasinya dahulum menurut gereja katolik (meskipun saat ini si A masih beragama Pantekosta)? atau si A harus diuji keimanannya terlebih dahulu dgn berpindah menjadi seorang katolik, baru kemudian bisa diproses anulasinya secara katolik).
Mohon tanggapan dari romo.
Terima kasih.
Salam
Felix Sugiharto
Felix yth
Prinsip hukum kanonik tentang perkawinan adalah hanya orang Katolik yang secara formal sebagai Katolik terkena aturan hukum kanonik, tidak pada orang non Katolik. Namun yang menikah dengan orang Katolik dia harus ikut mentaati aturan Gereja Katolik. Adik anda beriman Pentakosta bukan Katolik, namun jika menikah dengan orang Katolik maka harus bebas dari ikatan perkawinan sebelumnya (perlu proses pemutusan ikatan perkawinan). Prinsip hukum perkawinan, siapa saja yang menikah harus memiliki status bebas/liber, tidak ada ikatan perkawinan. Jika dia menikah maka ada halangan. Saya kira sudah jelas A harus menjalani proses pemutusan ikatan perkawinan sebelumnya sebelum menikah yang baru.
salam
Rm Wanta
Rm Wanta yth,
Terima kasih atas penjelasannya, sekarang saya sudah jelas.
Salam
Felix S
saya beragama kristen sedangkan suami katlolik, menikah secara katolik, 3bln lalu saya melakukan perselingkuhan yang membuat rumah tangga saya diambang kehancuran, saya sangat menyesal dan ingin untuk membangun kembali rumah tangga saya, tapi suami sulit menerima kejadian ini, dia merasa saya injak2 harga dirinya, skrg dia memikirkan untuk bercerai, apakah dosa kalau kita menceraikan pasangan yg telah berselingkuh? jika kedua belah pihak telah mengakui kalau masih ada cinta, bisakah rumah tangganya dipulihkan kembali? apakah kami berdua bisa berkonsultasi langsung dgn katolisitas di surabaya? terima kasih
Shalom Amie,
Kami dapat memberikan kepada Anda nama seorang imam di Surabaya yang bersedia membantu Anda. Namun beliau mengusulkan agar ia terlebih dahulu berbicara kepada suami Anda yang Katolik. Kami telah menguhubungi e-mail Anda di jalur pribadi, namun tidak berhasil. Apakah informasi alamat e-mail yang Anda berikan pada kami sudah benar? Untuk selanjutnya, silakan nanti menghubungi iman tersebut.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Dear Katolisitas, saya ingin ikut bertanya, sering sekali kita dengar orang berkata, “JODOH ITU DI TANGAN TUHAN” benarkah pernyataan tersebut? Jika benar mengapa ada perceraian?
Salam
Shalom Vano,
Sebenarnya bukan hanya jodoh, namun segala sesuatu dalam kehidupan kita, berada di tangan Tuhan, walau tentu saja pilihan dan keputusan kita ikut berpengaruh besar kepada peristiwa hidup yang kita alami, karena Tuhan mempercayai kita dengan kehendak bebas. Kita akan mengalami campur tangan Tuhan sendiri jika kita menyerahkan keputusan dan kebebasan kita kepada Tuhan, untuk diselaraskan dengan apa yang dikehendaki Tuhan, yang kita ketahui melalui pengajaran-Nya dalam Kitab Suci, ajaran Gereja, dan pergumulan doa-doa kita.
Jodoh memang di tangan Tuhan, tetapi bagaimana kita menyikapi karunia jodoh dan menjalani kehidupan pernikahan dengan jodoh kita itu berada di tangan kita, karena kita mempunyai pilihan untuk menggunakan kehendak bebas dalam memutuskan sendiri berbagai hal dalam kehidupan kita, termasuk kehidupan pernikahan. Dari Kitab Suci kita mengetahui bahwa Tuhan tidak menghendaki perceraian, karena Yesus mengatakan dalam Matius 19:6, “Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” Atau selengkapnya dalam Mat 19 : 5-6. Maka adanya perceraian bukan termasuk bagian dari kehendak dan rencana Tuhan. Oleh karena itu, walau perceraian dapat terjadi, Gereja Katolik berdasarkan perintah Tuhan di atas tidak menyetujui perceraian.
Jika sebelum pernikahan manusia tidak mempersiapkan dengan matang segala aspek fisik, jiwa, mental dan spiritual, atau mengabaikan pilar-pilar penting dalam menjaga hubungan pernikahan dan lebih mementingkan egonya, maka walaupun jodohnya itu dikaruniakan Tuhan / diijinkan Tuhan untuk menjadi pasangan hidupnya, perceraian dapat terjadi. Perceraian itu sesungguhnya merupakan konsekuensi dari pilihan bebas manusia, pilihan bebas yang merupakan anugerah Tuhan, namun yang dipakai secara keliru (dalam hal ini misalnya dipakai untuk memuaskan kepentingan ego semata, yang akhirnya membuat perjalanan pernikahan itu harus mengarah kepada perceraian). Di sini kita melihat bahwa kepercayaan yang diberikan Tuhan kepada manusia untuk menggunakan kehendak bebas dan bersama-sama mengelola alam ciptaan-Nya itu hanya bisa memberikan kebahagiaan jika kita menggunakan kebebasan itu sesuai dengan ajaran kasih Tuhan dan terus menerus diselaraskan dengan kehendak-Nya, yang selalu ingin memberikan yang terbaik kepada manusia ciptaan yang dikasihiNya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan
Triastuti – katolisitas.org
Ytk Romo dan para modie,
Saya mempunyai saudara laki2, yg telah memiliki putra; namun istrinya berhubungan dengan org lain yg akhirnya menikah (saya tdk tahu menikah secara apa?). Pernikahan saudara saya dgn istrinya resmi dan sah secara Iman katolik dan keduanya terbaptis secara Katolik. Sebelumnya istri dr saudara saya, meminta surat di atas meterai dan datang ke tempat saudara saya. Dan saudara saya, bahkan langsung memberikan tanda tangan di dalam surat segel yg kosong, dan meminta agar istrinya mengisi sendiri sesuai kemauannya (alasannya adalah krn kalau diisi oleh saudara saya, nanti malah tdk sesuai dgn yg dimaksud). Intinya bahwa saudara saya krn saking cintanya kpd istrinya.
Surat itu ternyata diperuntukkan agar istrinya bisa menikah lagi dgn seorang yg dulunya adalah Imam Projo Semarang. Dan sekarang org tersebut sudah dipanggil Tuhan. Alasan mengapa istrinya meninggalkan saudara saya adalah karena nasib saudaraku yg tdk begitu jelas pekerjaannya.(namun mungkin ada alasan lain yg saya tdk tahu). Pertanyaannya, apakah kasus ini memang diperbolehkan? Mengapa ? Karena istrinya ternyata sampai sekarang juga masih Katolik, dan menurut pengetahuan yg saya tahu, pernikahan dgn org lain tersebut tdklah mungkin bisa melalui Sakramen Perkawinan secara Katolik lagi, apalagi pernikahan dengan saudara saya yg telah “Ratum et Consumatum”. Mohon penjelasannya.
Matur nuwun
Andreas Yth,
Benar apa yang anda katakan perkawinan orang Katolik terbaptis sah sakramen, tidak terputuskan ikatan itu. Karena itu mestinya tidak mungkin orang Katolik yang secara sah telah menikah dengan cara apapun menikah lagi dengan orang Katolik tanpa ada proses. Saya tidak mengerti surat dengan meterai itu apa isinya dan siapa yang mengeluarkan surat itu. Apalagi seorang imam/pastor tidak dapat menikah secara sipil maupun kanonik karena halangan tahbisan. Kemungkinan ada kekeliruan dalam peristiwa itu.
salam
Rm Wanta
Ytk Romo Wanta,
Wah terimakasih sekali Romo Wanta. Kebetulan saya sendiri tdk tahu isinya seperti apa, spt yg sudah saya jelaskan dlm pertanyaan saya, bhw surat itu kosong dan kakak saya hanya menandatangani saja. Jelas itu oknum, karena kalau masih dlm lingkungan Gereja Katolik, hampir tdk mungkin bisa terjadi lagi perkawinan, apalagi halangannya jelas.
Romo Wanta, sekali lagi terimakasih banyak, atas jawabannya.
Tuhan memberkati kita semua.
Yth romo…
saya mohon bantuan, saya dulu menikah dengan istri secara Katolik. Istri saya dulu Islam, karena peraturan di instansi saya tidak boleh menikah dengan beda agama. Maka istri saya bersedia ikut saya masuk Katolik (dibaptis secara Katolik). Tetapi setelah 7 tahun menikah dan sudah punya anak 1, istri saya sekarang berubah pikiran (dan ada pengaruh dari kakaknya). Sekarang istri saya kembali sholat dan tidak mau mengurusi rumah tangga lagi. Sudah saya ingatkan tetapi omongan saya tidak didengar lagi, dia lebih mendengar omongan kakaknya. Mohon saran romo, dengan adanya masalah saya seperti ini. Dapatkah saya mengajukan cerai, karena istri saya tidak mau menjadi Katolik lagi? Mohon bantuannya romo…
Yohanes Yth
Inilah resiko dan akibat dari perkawinan campur beda agama jika tidak didampingi dengan pembinaan, maka akan terjadi persoalan perkawinan. Memang tidaklah mudah menangani perkara perkawinan. Saya usul tidak langsung meminta pembatalan perkawinan, karena pada awalnya perkawinan berjalan dengan baik. Sekarang cobalah komunikasi dengan dia, kalau dia masih Islam namun perkawinan tetap jalan, tidak apa kita hormati kebebasannya memilih, yang penting keluarga tetap utuh. Apakah bisa minta rama paroki ikut berdialog dalam hal ini, kalau ya, silakan datang ke pastor paroki supaya ada pembinaan.
salam
Rm Wanta
Shalom Pak Steff dan Bu Ingrid
Mohon penjelasan kitab Ulangan 24 :1 – 4, karena ada seorang teman yang mengalami perjalanan hidup seperti yang dipaparkan dalam ayat2 tsb… setelah menemukan ayat2 di atas.. kemudian dia memutuskan melepaskan isterinya yang pernah dinikahi sebelumnya dan selanjutnya menikah degan wanita lain…
Mohon pencerahannya dari team katolisitas.
Salam.
Felix Sugiharto
Shalom Felix Sugiharto,
Seseorang yang hanya membaca perikop Ul 24:1-4 tanpa memperhitungkan ayat- ayat yang lain dalam Kitab Suci, dapat saja menjadi salah paham. Namun jika ia membacanya dalam kesatuan dengan ayat- ayat yang lain dalam Kitab Suci, ia dapat mengetahui bahwa ketentuan tersebut diberikan oleh Nabi Musa karena kekerasan hati umat Israel, dan bahwa seharusnya tidak demikian yang dikehendaki Allah di awal penciptaan, sebagaimana dinyatakan dalam Kej 2:24. Aturan yang tidak sempurna ini kemudian diluruskan oleh Tuhan Yesus dalam Mat 19: 1-12.
Demikianlah keterangan yang saya sarikan dari the Navarre Bible:
“Dengan melihat beberapa ketentuan dalam Hukum Taurat, kita tak seharusnya menjadi terkejut untuk melihat beberapa kebiasaan sosial yang kurang sempurna secara moral yang tercermin dalam hukum yang lama ini, terutama jika hukum tersebut dibandingkan dengan pengajaran dalam Perjanjian Baru. Meskipun perikop ini tidak memberikan ketentuan tentang surat cerai tersebut, melainkan hanya mengizinkannya, izin tersebut merupakan jalan tengah terhadap kebiasaan sosial masyarakat saat itu yang juga dialami oleh bangsa Israel. Walaupun demikian, ketentuan tersebut masih lebih restriktif dibandingkan dengan ketentuan yang berlaku di bangsa- bangsa tetangga bangsa Israel. Larangan bagi suami untuk menikahi kembali perempuan yang sudah diceraikannya kemungkinan berkaitan dengan maksud agar perempuan tidak dilihat sebagai barang komoditi, dan agar suami tidak sembarang menceraikan istrinya.
Di Perjanjian Baru, Tuhan Yesus mengatakan bahwa Nabi Musa memperbolehkan perceraian, “karena kekerasan hati orang Israel. Yesus mengembalikan ajaran tentang perkawinan kepada kehendak Allah sejak semula, “Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” (Mat 19:4-6, lihat juga Mrk 10:1-12).
Harus dikatakan juga bahwa dalam Perjanjian Lama juga sudah diajarkan tentang ikatan perkawinan yang tak terceraikan. Secara jelas ini tertulis dalam Kitab Nabi Maleakhi:
“Dan inilah yang kedua yang kamu lakukan: Kamu menutupi mezbah TUHAN dengan air mata, dengan tangisan dan rintihan, oleh karena Ia tidak lagi berpaling kepada persembahan dan tidak berkenan menerimanya dari tanganmu. Dan kamu bertanya: “Oleh karena apa?” Oleh sebab TUHAN telah menjadi saksi antara engkau dan isteri masa mudamu yang kepadanya engkau telah tidak setia, padahal dialah teman sekutumu dan isteri seperjanjianmu. Bukankah Allah yang Esa menjadikan mereka daging dan roh? Dan apakah yang dikehendaki kesatuan itu? Keturunan ilahi! Jadi jagalah dirimu! Dan janganlah orang tidak setia terhadap isteri dari masa mudanya. Sebab Aku membenci perceraian, firman TUHAN, Allah Israel, juga orang yang menutupi pakaiannya dengan kekerasan, firman TUHAN semesta alam. Maka jagalah dirimu dan janganlah berkhianat!” (Mal 2:13-16)
Dengan demikian, kelirulah keputusan yang diambil oleh teman Anda itu, karena ia membaca sebuah perikop dan melepaskannya dari keseluruhan pesan dari Kitab Suci; dan ia membaca dengan maksud mencari pembenaran akan apa yang direncanakannya, sehingga menjadi selektif memilih ayat- ayat yang sepertinya mendukung keinginannya. Padahal jika ia membaca ayat- ayat yang lain, harusnya ia dapat memahami bahwa bukan demikian yang dikehendaki Allah sejak awal mula. Sebab, apa yang tertulis di dalam hukum Taurat harus dilihat sebagai persiapan bagi penggenapannya di dalam Kristus di dalam Perjanjian Baru, yaitu bahwa ikatan perkawinan bersifat tetap, dan tidak dapat diceraikan oleh manusia.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan, Ingrid Listiati- katolisitas.org
Dear Romo Wanta, Pak Stef, dan Bu Ingrid,
Saya dan suami menikah secara Katolik, dan sudah mempunyai anak. Kemudian tanpa sepengetahuan saya, suami menikah lagi di KUA dengan wanita lain, dan mereka sekarang sudah memiliki seorang anak.
Setelah hal ini saya ketahui, suami meminta maaf, dan berjanji akan kembali kepada kami. Sekarang sudah lebih dari 2 bulan sejak kejadian ini terbuka, dan sampai saat ini dia belum menceraikan perempuan itu.
Saya berusaha untuk memaafkan dia, tetapi dalam hati, saya bingung, karena mereka sudah memiliki anak, dan kalau saya menerima dia kembali, saya pasti akan melarang dia bertemu dengan anak itu, karena kalau bertemu dengan anak itu, pasti juga bertemu dengan wanita itu, dan saya merasa menjadi orang yang jahat sekali, karena memisahkan anak itu dengan bapaknya.
Saat ini saya berpikir untuk menggugat cerai secara sipil, dan saya tidak berniat untuk mengajukan anulasi karena saya menyadari, tidak ada cacat dalam syarat pernikahan kami.
Apakah dengan cerai secara sipil, dan tidak hidup bersama dengannya lagi, itu berarti saya berada dalam keadaan dosa? Karena itu berarti saya juga tidak memegang janji perkawinan untuk tetap setia dalam suka maupun duka.
Mohon masukannya.
Terima kasih,
Agatha
Shalom Agatha,
Memang keadaan anda sungguh tidak mudah, tetapi anda harus percaya bahwa Tuhan Yesus mampu membantu anda untuk melangkah dan melakukan yang terbaik sesuai dengan kehendak-Nya.
Adalah baik anda telah menyadari bahwa tidak ada cacat dalam perkawinan anda sejak semula, sehingga perkawinan anda sesungguhnya sah dan tak terceraikan. Jika seiring berjalannya waktu, suami anda khilaf namun kemudian ia meminta maaf, maka keputusan ada di tangan anda apakah anda menerima maafnya. Walaupun berat, namun kita mengetahui bahwa Tuhan Yesus mengajarkan kita untuk selalu mengampuni orang yang bersalah sepada kita, sebagaimana yang kita doakan dalam doa Bapa Kami. Oleh karena itu jika anda bersedia memaafkan suami anda, tentu itu sesuai dengan perintah dan kehendak Tuhan. Namun kemudian, adalah hal yang wajar dari pihak anda, untuk juga memohon ketulusan dari suami untuk kembali kepada anda dan anak anda dengan sepenuh hati. Jika ia bersedia, tentu ini akan terpancar juga dari kebulatan tekadnya untuk tidak berhubungan lagi dengan wanita itu; walaupun tugas tanggungjawab untuk turut membesarkan anak itu juga seharusnya tidak diabaikan. Hal ini memang mungkin berat bagi anda, namun mohonlah kekuatan dari Tuhan, agar anda mempunyai belas kasih, dan dapat melihat hal tersebut sebagai kesempatan bagi anda untuk berbagi kasih tanpa pamrih sebagaimana Tuhan Yesus mengasihi kita.
Namun sebaliknya, jika suami anda tidak dapat memberikan janji untuk setia dengan anda, dan tetap bersikukuh mempertahankan ‘perkawinan’ dengan wanita itu dan anaknya (dia tidak mau menceraikan wanita itu), maka jika anda memilih untuk berpisah dengan suami, maka sesungguhnya kesalahan bukan dari pihak anda. Jika dalam keadaan berpisah ini anda tidak menikah lagi (dan tidak menjalin hubungan dengan pria lain dengan tidak sepantasnya), maka anda tidak dalam kondisi berdosa berat. Sebab walaupun anda berpisah, namun sesungguhnya ikatan perkawinan anda di hadapan Tuhan tetap ada; dan kalau anda tidak menikah lagi, artinya anda sesungguhnya tetap setia dengan janji perkawinan anda. Jika suami anda sungguh- sungguh bertobat dan mau meninggalkan segalanya agar kembali bersatu dengan anda, anda dapat menerimanya kembali.
Nampaknya dari kisah anda, anda memerlukan bantuan konselor keluarga. Hubungilah pastor paroki agar ia dapat mengarahkan anda untuk berkonsultasi dengan pasangan suami istri di paroki anda yang dapat membantu anda dan suami untuk memperjuangkan kembali persatuan keluarga anda. Dalam kondisi yang sulit ini, semoga baik anda maupun suami dapat melihat bahwa hal ini merupakan ujian untuk membuktikan janji perkawinan anda di hadapan Tuhan, bahwa apa yang sudah dipersatukan Allah janganlah sampai dicerikan oleh manusia, baik oleh ke-egoisan diri masing- masing, ataupun campur tangan pihak ketiga. Mohonlah selalu belas kasih Tuhan dan pertolongan-Nya. Silakan pula berdoa rosario untuk memohon agar Bunda Maria mendoakan anda dan suami, agar melalui permohonannya, Tuhan Yesus berkenan mengubah hubungan kasih yang mungkin sudah tawar antara anda dan suami, menjadi manis kembali, seperti yang terjadi pada kisah mukjizat di Kana (lih. Yoh 2:1-11). Sungguh tiada yang mustahil bagi Tuhan. Kami turut berdoa bagi anda.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Bu Ingrid,
Makasih sekali atas masukannya, memang berat sekali untuk menerima kembali suami saya, apalagi dengan adanya tanggung jawab yang akan menyertainya terus seumur hidupnya itu.
Tapi saya yakin sekali, dengan bantuan doa yang begitu banyak, Tuhan Yesus pasti akan menunjukkan kepada saya jalan yang harus saya tempuh dalam menghadapi masalah ini.
Sebenarnya kami sudah sempat mengadakan konseling dengan frater di paroki kami (saat itu pastor sedang tidak di tempat), dan pada saat itu saya telah berjanji akan berusaha memaafkan dan menerima dia kembali, dan dia juga telah berjanji akan kembali, tetapi dia minta saya bersabar, memberikan dia kepercayaan dan waktu untuk dia melaksanakan janjinya itu.
Tetapi pemikiran pemikiran yang terus timbul, menggoyahkan niat saya untuk menerimanya kembali, terutama karena saya merasa tidak siap, harus menerima semua akibat dari perbuatannya itu (adanya anak tesebut).
Semoga Tuhan Yesus memberikan saya kekuatan, dan menghilangkan keegoisan dari diri saya, sehingga saya sungguh sungguh dapat menerimanya kembali apa adanya (apabila dia dapat membuktikan bahwa dia juga sungguh sungguh menyesal dan akan kembali kepada kami).
Salam,
Agatha
Karena istri selingkuh, saya akhirnya harus bercerai meskipun saya sudah berusaha untuk tetap mempertahankan perkawinan itu. Dengan jalan mengajak untuk konsultasi ke romo paroki. Tapi akhirnya tetap bercerai juga. Yang jadi pertanyaan saya adalah 1. Apakah saya menyalahi Hukum Gereja dengan perceraian itu, 2. Kalau saya tidak menikah lagi, artinya kan saya tidak pernah melanggar Hukum Gereja.
Josef Yth
Perbuatan melanggar janji entah janji apapun adalah tidak enak, atau saya tidak berkomitmen atas apa yang saya ucapkan. Saya kira kita semua akan dapat menilai kalau saya tidak berkomitmen atas janji dan tidak setia pada janji di depan Tuhan dan saksi (imam dan umat), maka itu pasti berlawanan dengan hati nurani. Bertentangan dari suara hati dan dapat digolongkan melakukan perbuatan salah dan dosa. Saya belum tahu siapakah yang memulai dan berinisiatif untuk bercerai atau berpisah? Apakah tidak ada jalan untuk rujuk? Saya berkeyakinan semua bisa terjadi untuk rujuk, asal satu sama lain melihat kepentingan bersama keluarga, bukan diri sendiri. Dengan berpisah, tentu menyalahi hukum Gereja yang kita ucapkan sebagai isi hukum di mana satu sama lain mengadakan konsensus cinta untuk hidup selamanya, kecuali maut memisahkan. Kalau tidak menikah lagi baik sebagai konsekuensi panggilan ikatan perkawinan, karena perceraian sipil tidak memutuskan ikatan rohani dalam perkawinan GK.
Salam
Rm Wanta
Terima kasih atas penjelasannya, yang menjadi beban pikiran saya Apakah saya masuk dalam dosa berat? Karena sampai sekarang saya memutuskan untuk tidak menikah.
Josef Yth
Jika anda tidak melakukan (inisiatif) melakukan perpisahan dengan bercerai dengan pasangan anda, maka anda tidak berdosa berat, hanya gagal mempertahankan perjanjian itu. Kegagalan dan keberhasilan perkawinan dipengaruhi oleh faktor relasi anda berdua. Jadi persoalan muncul pasti bersama kedua belah pihak meski yang mengawali satu pihak. Memohonlah ampun dari Tuhan dan hiduplah menjadi lebih baik sebagai orang Katolik. Setiap peristiwa memiliki hikmat dan dengan bertobat menjelang Prapaskah ini kita akan dimurnikan panggilan anda dan kita semua.
salam
Rm Wanta
shaloom Romo Wanta,,
saya sudah pernah bertanya ke Romo tentang mslh dlm pernikahan saya sekitar 7bln yang lalu dan sy sudah diberi solusi yg baek dg Romo tp setelah sy bicarakan dg Romo paroki ataupun Romo untuk konseling mslh perkawinan di Surabaya tetap sy menemui jalan buntu. 2 bulan lalu saya di pertemukan kembali dg suami sy, tapi tidak sedikitpun dia ada kata ‘maaf ataupun memperbaiki kesalahannya’ malah dia membicarakan mslh anak dan hak asuh.sy jadi bingung juga karena dia ngotot hak asuh tapi tidak ada niat membiayai sedikitpun untuk urusan hidup anak. sy juga berfikir sampai detik hari ini di mata hukum gereja dan negara sy tetap masih istri sah nya tapi biaya hidup juga tidak di beri se-sen pun. dulu memang dia pernah memberi uang ke sy untuk anaknya saja sebesar Rp.750.000 setelah dia pargi selama 8bulanan tapi dengan catatan dia boleh ketemu anaknya. sy merasa tersinggung karena anak bukanlah barang sewaan yang dengan uang bisa disewa. sy benar benar heran dengan suami sy, cara berfikirnya itu bagaimana.
sekarang sy sudah bekerja,dia malah sering datang ke tempat kerja sy tapi tetap tidak ada niat menafkahi anaknya dan tidak ada kata kata memperbaiki ato apapun itu. suami sy sudah tidak menafkahi sy & anaknya 2 tahun lebih 3blnan. beberapa hari lalu anaknya sakit, sy dengan segala kerendahan hati sy kabari dia dengan terkandung maksud ‘adakah rasa memiliki anak karena dia seorang papa’. awalnya dia merespon baek dan dia janji akan telpon anaknya. dalam hati saya terbersit doa “terima kasih Tuhan,Engkau rubah dia”. ternyata janji dia tidak dipenuhi sampai anaknya sehat. setelah beberapa hari dia nemui sy di kantor nagih janji ke sy untuk bisa ketemu anaknya, sy dengan berat hati dan ada sedikit sakit hati tanya ke dia ‘apa janji kamu ke anakmu waktu dia sakit?’ jawab dia dengan santai ‘aku lupa telpon anakku’. Romo bisa bayangkan rasanya perasaan sy dengar kata kata dia. di saat anak sakit sampai anaknya sehat tidak ada ‘KASIH’ dalam hatinya sebagai papa.
sekarang sy harus bersikap bagaimana Romo dengan suami saya itu? dari lubuk hati sy terus terang sy tidak mau perkawinan sy ada mslh seperti ini tapi sy kurang bagaimana sebagai istri yg selalu berusaha patuh dan melayani suami dengan baek. kadang kala sy menangis kalo ingat anak sy sakit dan suami sy seperti itu ke anak sy. sy kadang kala ada rasa tidak sanggup menanggung salib Yesus yang begitu berat bagi sy dan anak sy tapi bagaimana lagi sy harus jalani demi anak sy dan masa depan anak.
belum lagi 6bulan lalu sy dekat dengan teman laki laki yang masih tetangga sy. dia menjanjikan serius sama sy dan bahkan dia pernah mengajak sy menikah siri. tapi sy tolak dengan alasan mslh sy belum selesai dan resiko nikah siri yg sangat besar bagi seorang wanita. teman sy itu seorang muslim, sedang ada masalah RT dengan istrinya dan dia telah menjatuhkan talak ke istrinya untuk cerai tetapi istrinya menolak dengan alasan kesehatan orangtua istrinya dan anak anaknya.
tapi setelah 6 bulan dekat dengan sy, dia tiba tiba menghindari sy tanpa ada kata kata apapun ke sy. sy tidak tau lagi harus bagaimana.
sy minta solusi dari Romo apa yang harus sy lakukan untuk suami dan teman sy ini, kalo mslh anak tetap sy berusaha untuk biayai dia sampai kapanpun karena itu adalah tanggung jawab saya. semoga Romo mau memberi solusi terbaek untuk kehidupan perkawinan sy ini. thx… Tuhan Jesus Memberkati…
Flow yth
Bolehkan kami dari katolisitas tahu dimana anda berdomisili di Surabaya (paroki dimana). Maksud saya mewakili katolisitas adalah mencoba menghubungi rama paroki atau rama lain untuk memohon bantuan agar ada pendampingan kepada keluarga anda. Karena katolisitas hanya bisa menjawab dan memberi solusi dalam kapasitas teori ajaran Gereja tidak sampai pada tingkat pendampingan langsung. Masalah anda berat maka kalau saya jawab tentu akan timbul masalah baru karena persoalan anda itu hidup berkeluarga bukan hal yang statis. Saya merasa kalau anda jangan dulu memikirkan perkawinan baru dengan laki laki manapun tetapi fokuskan pada pendidikan dan pemeliharaan anak anak dulu. Lalu soal suami anda lebih baik untuk tidak serius menanggapi dan memikirkan karena dia sering tidak setia pada janji. Dengan kata lain tidak perlu berharap banyak untuk berubah. Biarlah Tuhan dan waktu peristiwa yang mengubahnya. Saya kawatir anda diperalat untuk kepentingan suami, yang tidak mendengar keluhan istri. Karena itu berfokuslah untuk mencari rezeki dan kesehatan untuk diri sendiri dan anak yang ada. Kemudian kami akan berusaha jika anda mau akan kami hubungi seorang rama atau pasutri untuk mendampingi anda. Bertahanlah dengan berdoa rosario pembebasan agar cepat Tuhan membebaskan dirimu dari banyak persoalan. Semoga suami menjadi sadar.
salam
Rm Wanta
Kepada Yth
Romo
Bercerai(tdk ada kata cerai dlm gereja katolik) atau “melanjutkan” pernikahan yg “selembar akte pernikahan”? Teman saya(perempuan),sebut saja Ratih menikah secara katolik, & tinggal bersama mertua. Perkawinan mulai berjalan 2 bulan, mertua mulai mencari kesalahan,mengeluarkan “uneg2nya”, seperti tersinggung oleh saudaranya ratih karena “melengosi” mertua disaat pernikahan Ratih, & saudaranya Ratih harus minta maaf, tersinggung oleh romo yg memberkati pernikahan Ratih krn romo tsb seakan “tergesa2″(mrk menikah diparoki Ratih) & romo harus minta maaf, pulang Ratih dr kantor yg agak terlambat(jam 7 mlm)–sblm menikah Ratih jg sdh bekerja & pulangnya juga jam 7an mlm. & masih banyak yg lainnya & selalu di”sidang” bersama dgn keluarga dr pihak suaminya. Ratih dicacimaki, dibentak, dll. Suaminya ikut memarahi & mengusir. Suaminya bekerja pd orgtuanya,keuangan,kepercayaan hanya pd orgtuanya. Ratih sdh berkomunikasi dgn suaminya untuk mencari tempat tinggal sendiri, walaupun agak susah asalkan bisa membentuk keluarga bahagia atau mencari solusi yg lain. Keesokan harinya Ratih justru mendapat perlakuan yg semakin parah & suami tdk boleh lagi bertemu dgn istrinya. Telepon suaminya dibawa orangtuanya. Ratih sdh berkonsultasi di romo paroki & romo yg lain tp tak ada jalan keluar,romo hanya bilang kalau keluarga ikut campur, agak sulit. Pd akhirnya, suaminya memberikan surat cerai dari pengadilan. Ratih stress & pulang ke rumah orang tuanya.Kini Ratih hamil, & suaminya malah menuduh berselingkuh(sy rasa hanya karena suaminya tdk mau menafkahi ratih jd mencari alasan). Ratih mengajak konseling, ke romo,ke dokter,tes DNA sekalipun, suami tdk mau, takut dgn orgtuanya.pokoknya org tua tdk cocok & menyuruhnya bercerai,maka suaminya akan menurutinya. Mertua & keluarganya aktif berdoa dimana2,dijalan sekalipun selalu membuat tanda salib,menyumbang & kegereja(sy jg tdk mengira) tapi tdk mau rumahnya dipakai kegiatan gereja, dgn alasan takut kotor. Sy rasa mereka kikir, & seperti org farisi. Bagaimana tanggapan romo? terima kasih romo. Tuhan memberkati.
Margareth Yth.
Begitulah kekatolikan kita kalau tidak mendalam dan mengakar dalam sanubari. Ibadat palsu rajin berdoa namun perilaku kita tidak menunjukkan sama sekali ajaran katolik. Peristiwa yang anda ceritakan menjadi gambaran nyata kehidupan kita. Hendaknya Ratih temanmu tetap setia pada iman katolik dan melahirkan anak dengan baik dan melindungi anak yang dilahirkannya. Banyak kegiatan sosial yang bisa membantu di Gereja Katolik dan biarlah rahmat Tuhan mengalir dan menobatkan suami yang meninggalkan istrinya dengan doa terus menerus. Ratih tentu akan tahu dengan baik siapa anak yang dikandungnya. Karena itu, rawatlah anak yang dalam kandungan dan akan melahirkan dengan baik bantu dan mintalah beberapa teman umat katolik yang peduli terhadap yang lemah seperti ini (perempuan dan anak) untuk memerhatikan. Pelajaran yang bisa diambil adalah jangan tergesa-gesa menikah dan kenali dan pahami betul siapa orang yang saya ajak menikah. Supaya di kemudian hari tidak kaget dan mengalami kekacauan dalam rumah tangga. Salah satu sebab hancurnya perkawinan adalah hadirnya pihak ketiga. Karena itu sejak mulai membangun perkawinan haruslah mandiri dan sungguh hidup dalam persekutuan cinta sebagai suami dan istri.
salam
Rm Wanta
Yth Romo..
Ada hal penting yang ingin saya tanyakan,, semoga Romo berkenan memberikan pendapat & solusi atas masalah saudara saya..
Saudara saya (sebut saja si A) berencana akan menikah dengan seorang duda cerai katolik (sebut saja si B). Tapi si B ini dulu pernah menikah secara katolik dg istrinya (sebut saja si C) di gereja katolik. Belasan tahun kemudian, mereka memutuskan berpisah demi kebaikan masing2. Dan perpisahan itu sudah berlangsung 6 – 7 tahun.Karena pernikahan mereka dulu tidak tercatat di sipil, maka perceraian mereka diatas kertas bermeterai. Dan si C ini sudah menikah lagi dengan orang lain beberapa tahun yg lalu setelah berpisah dg si B. Sebelum si B menikah dg si C, si C sudah pernah menikah secara Islam dg orang lain dan punya 2 org anak. Akhirnya si C bercerai dan surat cerai diputuskan dari KUA. Kemudian si C menikah dg si B dan pernikahan mereka diberkati di gereja katolik. Yang ingin saya tanyakan :
1. Apakah pernikahan antara si B dengan si C dulu itu sah menurut Gereja? Karena mengingat si C pernah terikat pernikahan secara Islam dg orang lain walaupun akhirnya perceraian mereka sdh diputuskan di KUA.
2. Karena si B berencana akan menikahi si A yg sama2 beragama Katolik, apakah pernikahan mereka bisa diberkati di Gereja Katolik mengingat si B pernah terikat perkawinan dg di C dulu.
3. Dari point no 2, kalau jawabannya TIDAK BISA, apakah solusi atau jalan keluar yang bisa ditempuh agar pernikahan si A dengan si B bisa diberkati di Gereja Katolik? Apakah si B bisa mengajukan permohonan anulasi ke tribunal gereja atas perkawinan nya dengan si C karena mengingat si C sebelum menikah dg si B, si C sdh pernah menikah dg orang lain.
Demikian pertanyaan dari saya, mohon penjelasan dan solusi terbaik dari Romo agar pernikahan si A dengan si B bisa disahkan oleh Gereja Katolik. Terima kasih Romo.
Fong Yth
Sekali lagi saya katakan, bahwa salah satu dari ketiga faktor yang menjadikan perkawinan Katolik sah adalah: tidak ada halangan. Maksudnya halangan di sini adalah halangan dari ikatan perkawinan. Karena C pernah menikah dan meskipun sudah cerai, entah apapun bentuk perkawinannya, tetap diakui oleh Gereja sebagai adanya ikatan perkawinan natural. Maka perkawinan dengan B di Gereja adalah tidak sah. Maka perkawinan baru B dengan A masih ada halangan juga karena B pernah menikah meski tidak sah kanonik namun secara sipil diakui terjadi perkawinan. Jadi B harus berstatus bebas demikian juga A. Untuk mengatasi ini maka B harus memohon pembatalan perkawinan dengan C karena dia pernah menikah di Gereja dan Sipil. Baru jika permohonan disetujui, dan dengan demikian mendapat kepastikan hukum dari Gereja bahwa B berstatus bebas, dia bisa menikah dengan A di Gereja Katolik.
Coba ikuti prosedurnya seperti yang saya sampaikan di atas di keuskupan di mana dia berdomisili.
salam
Rm Wanta
Romo ytk.
Saya mau tanya kalau ada seorang wanita yang sudah menikah dengan 2 anak, katanya sih hanya menikah secara keluarga saja, jadi tidak ada surat nikah dan tidak secara agama. Kemudian mereka bercerai, karena suaminya berselingkuh dan menikah dengan wanita yang lain. Si wanita bertemu dengan seseorang yang ingin menikahinya dengan cara Katolik, kemudian keduanya sama2 belajar agama Katolik, dan akan segera dibabtis. apakah ada halangan untuk kedua orang ini menerima komuni saat menerima pemberkatan dalam pernikahan nanti? Bukankah si wanita itu dengan dibabtis artinya telah lahir baru, hidup baru dalam Gereja Katolik, sama seperti ‘bapa’ yang mau menerima kembali ‘anak yang hilang’ dan artinya tidak ada halangan untuk wanita itu yang telah dirangkul oleh Gereja Katolik untuk bersatu dengan Yesus dalam komuni? tx
Ancilla Yth
Membaca cerita anda saya mengambil kesimpulan ada halangan. Mengapa karena calon pasangan nikah pernah mengadakan ikatan perkawinan sebelumnya meski hanya secara kekeluargaan. Perkawinan adat dan diakui secara publik, secara natural diakui oleh sipil, maka terjadilah ikatan tsb. Untuk itu perlu pemutusan ikatan perkawinan tsb oleh pihak berwenang Gereja dalam hal ini Tribunal Perkawinan. Maka saya anjurkan untuk mengirim surat ke Tribunal Gereja Katolik dimana mereka berada. Pembaptisan bisa dilakukan namun tidak untuk hidup bersama selayaknya keluarga. Silakan menulis sejarah perkawinan dulu bagi yang sudah menikah dan nanti akan dipanggil oleh pihak Tribunal untuk langkah selanjutnya. Pembaptisan dan komuni kudus memiliki daya ilahi jika seseorang menyiapkan hati dan pengetahuan dengan baik tentang ajaran Gereja Katolik, tidak ada halangan untuk membangun keluarga. Karena itu atasi masalah satu persatu mulai dengan status bebas dari ikatan perkawinan, lalu pembaptisan, lalu perkawinan. Tidak diperkenankan komuni kudus dalam keadaan berdosa berat. Semoga dipahami dan menemukan jalan keluar tentang masalah mereka.
Salam
Rm Wanta
Salam Sejahtera untuk semua org katolik yg akses di website ini
dari Neves
Kepada Rm Wanta.
Saya seorang katolik yg telah berkeluarga sudah hampir 9 tahun, namun hingga sekarang saya jarang sekali menikmati sebuah keluarga yg di dambakan oleh organg tua dan geraja, masalah selalu ada hampir setiap hari, sepulan kantor bukannya istiraht malah mendapat omelan dgn penuh tuduhan??? dan sekarang saya mengambil sikap untuk tidak tidur sekamar sebagaimana suami & istri???? aku minta tanggapan dari YM atas keresahan ini, makasih.
John Neves Yth
Perlu kiranya ada keterbukaan dalam komunikasi sebagai suami istri. Memang tidaklah mudah untuk berkonfrontasi (membicarakan secara terbuka) tentang mengapa anda diomelin terus. Mungkin ada kebutuhan dalam diri istri yang tidak terpenuhi. Kalau sekarang pisah ranjang, tentu ada waktu untuk memikirkan apakah akan terus begitu? Tentu harusnya diusahakan untuk rujuk, rekonsiliasi yakni dengan berkomunikasi, saling memaafkan dan mengampuni. Kiranya anda membutuhkan konseling karena itu pergilah ke pastor paroki atau tempat konsul keluarga yang ada di paroki anda. Namun yang utama perlu dilakukan adalah mencoba untuk mencari tahu mengapa anda diomelin setiap pulang dari tempat kerja. Dengan cara mengetahui sebabnya diharapkan anda dapat memahami dan memenuhi kebutuhan istri anda.
salam dan doa
Rm wanta
Berkah Dalem.
Sebelumnya sy ucapkan banyak terima kasih atas adanya website ini.
Dengan adanya website ini, anda semakin mempertebal iman kami terhadap Tuhan Yesus.
Beberapa teman dari sy ada yg menanyakan tentang monogami, dan kebetulan dia sangat kristis, sehingga sy agak kesulitan untuk menjawabnya.
Adakah di dalam injil menjelaskan bahwa umat Tuhan diwajibkan untuk monogami?
Karena kebetulan begitu saya sodorkan Injil Markus, Kejadian, Matius.
Di sana tidak tertulis larangan untuk melakukan poligami.
Yang saya baca di dalam injil tsb adalah perihal perceraiaan
Pada dasarnya sy percaya bahwasanya manusia diciptakan oleh Tuhan sepasang, yaitu laki2 dan perempuan.
Laki2 tidak memiliki 1 buah tulang rusuk, karena tulang rusuk tersebut sudah diambil oleh Tuhan untuk kemudian menciptakan 1 org perempuan.
Tetapi tidak dijelaskan bahwa laki2 tidak boleh menikahi lebih dari 1 org perempuan.
Mohon pencerahannya.
Matur nuwun.
Berkah Dalem.
Shalom Aditya,
Saya persilakan anda membaca terlebih dahulu artikel Indah dan dalamnya makna Sakramen Perkawinan Katolik, di sini, silakan klik.
Di sana jelas tertulis bahwa perkawinan monogami adalah yang telah ditentukan Allah sejak semula. Allah menciptakan manusia pertama, satu laki-laki (Adam) dan satu perempuan (Hawa) untuk menjadi sepasang suami istri. Hubungan antara Allah dan bangsa pilihan-Nya digambarkan sebagai hubungan suami istri, dan demikian juga hubungan kasih antara Kristus dengan Gereja-Nya sebagai mempelai-Nya. Kristus dengan jelas mengajarkan perkawinan monogami dan tak terceraikan dalam Mat 19: 1-10, Mrk 1: 12.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Shalom Katolisitas
Romo yth,
Saya ingin menanyakan sehubungan dengan kasus perceraian seorang kawan, yang tadinya masing2 berbeda gereja protestan, kemudian menikah dan pemberkatan nikah dilakukan oleh gereja yang lain pula, setelah 2 tahun mereka menjalani hidup pernikahan dan kemudian mereka berpisah.
Perpishan didasari oleh karena pihak pria tidak bertanggung jawab dalam memberikan nafkah penghidupan (sama sekali), sejak pernikahan awal, biaya rumah tangga selalu dicukupi oleh pihak perempuan dengan hidup yang pas2an, juga sering terjadi pemukulan terhadap pihak perempuan. Sehingga akhirnya pihak perempuan memutuskan untuk berpisah (perpisahan ini telah terjadi 3 tahun yang lalu).
Keadaan perselisihan mereka juga telah diketahui pihak gereja, pernah ditanyakan pada pendeta yang memberikan pemberkatan nikah; atas permohonan perceraiannya sang pendeta tsb menjawab dengan : ‘secara gerejawi tidak ada yang diurus, tinggal mengurus perceraian sipilnya saja’.
dengan mengacu pada tajuk pembahasan ‘perkawinan beda gereja’ dan ‘perkawinan yang tak terceraikan’ (Mrk 10: 1-12). Yang ingin di tanyakan ..
1. Pemberkatan Nikah di gereja protestan, apakah mempunyai makna sakramental yang sama seperti di gereja Katolik..?
2. Bagi pihak perempuan yang telah memperoleh surat cerai sipil apakah berarti sudah ‘bebas halangan’ untuk selanjutnya dapat/diperbolehkan menikah dengan seorang Katolik dikemudian hari ? (bagaimana menurut pandangan hukum kanonik perkawinan gereja)..?
3. Seandainya di izinkan nikahnya secara Katolik (di gereja Katolik), pihak protestan hendaknya dengan cara bagaimana untuk mempersiapkan diri..? (apakah pihak yang protestan harus menjadi seorang Katolik dahulu untuk bersama-sama menerima Sakramen Perkawinan secara sah)
Demikian pertanyaan saya dan terima kasih atas pencerahan Romo. Terima kasih
Salam sejahtera
Felix Sugiharto
Felix Yth
1. Sejauh yang saya ketahui pemberkatan nikah di Gereja Protestan tidak sama dengan Gereja Katolik, namun bagi kita Gereja Katolik perkawinan antara dua orang terbaptis (sah dan diterima katolik termasuk yang protestan dengan materi dan forma sama) menjadi sakramen. Catatan tidak semua baptisan gereja Protestan diterima sah oleh Gereja Katolik, karena forma baptisannya ada yang tidak memenuhi persyaratan baptisan yang sah menurut Gereja Katolik.
2. KHK mengikat bagi yang katolik dan memiliki efek hukum pada pihak non katolik atau non baptis sehingga halangan karena perpisahan pada calon yang akan menikah dengan orang katolik tetap eksis. Oleh karena itu, pihak manapun yang mau menikah dengan orang katolik dan ada halangan karena penikahan sebelumnya meskipun telah cerai sipil, ikatan pernikahan secara rohani bagi Gereja Katolik masih ada dan menjadi halangan.
3. Tidak diperkenankan perkawinan di dalam Gereja Katolik bagi mereka yang memiliki halangan seperti pernah menikah, status bebas/liber dalam KHK sangat diperhatikan dan penting untuk status seseorang ketika akan menikah. Jadi pertanyaan nomor 3 tidak dizinkan kalau masih ada ikatan pernikahan sebelumnya kecuali telah diputuskan oleh kuasa Gereja Katolik.
salam
Rm Wanta
Yth. Ms. Inggrid & Romo Wanta,
Sekedar ingin mengetahui lebih jelas mengenai apa yg ditulis Inggrid sbb :
” Namun ada kalanya, setelah dilakukan pemeriksaan dari pihak tribunal Gereja (yang didahului permohonan dari pihak pasangan/ salah satu pasangan), dapat ditemukan adanya: 1) cacat konsensus 2) halangan/ ketidakmampuan seseorang untuk menikah, ataupun 3) perkawinan yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan kanonik, sehingga perkawinan dapat dianggap tidak sah. Inilah yang disebut sebagai Anulasi (annulment) dalam Gereja Katolik ”
Pertanyaannya :
1. Apakah yg dimaksud dg halangan / ketidakmapuan seseorang untuk menikah? bukankah sebelum melakukan pernikahan pihak gereja sudah melakukan kanonik sehingga tidak memungkinkan terjadinya halangan/ketidakmampuan?
2. Anggap saja pasangan Suami (A) dan Istri (B). si B adalah non katolik (agama kristen yg gak jelas) dan pd saat menikah di gereja katolik tidak mendapatkan dispensasi dari keuskupan karena oleh romo paroki dianggap si B adalah calon katolik yg sedang / mau ikut katakumen,
Lalu setelah 13 th si A menceraikan secara sipil, dan si A ingin mendapatkan anulasi dari gereja katolik, apakah hal ini bisa dikategorikan cacat konsensus atau halangan/ketidakmampuan seseorang untuk menikah krn ketidaktahuan hukum pernikahan katolik ? sehingga bisa mengajukan anulasi dg alasan si B tidak ada dispensasi dari keuskupan.
3. Jika dalam kehidupan si A & si B penuh dg ketidakcocokan (salah satu pasangan otoriter, cekcok mulut, posessif, tradisi ciong usia 6 tahun & shio, dll) dan sudah pisah ranjang sejak pernikahan masuk th ke 8 (walaupun masih 1 rumah) dan akhirnya si A menceraikan secara sipil atas permintaan si B, apakah bisa si A yg katolik itu mengajukan anulasi ke tribunal ?
4. Jika dirasakan bahwa buah dari perpisahan (perceraian secara sipil) membawa dampak positif kebahagiaan bagi ke 2 belah pihak, apakah tetap bisa mengajukan anulasi ? tetapi memakai syarat yg mana ? yg dimaksud dampak kebahagiaan adalah masing2 pasangan menemukan jalan hidup meng-gereja lebih baik, melakukan pelayanan, 80% kehidupannya untuk melayani Tuhan & Gereja, dan ternyata memang Tuhan memakai dan mengutus si A bekerja di ladang-Nya dg sungguh-sungguh. Dan si A & si B merasa jika ‘dipaksa’ dipersatukan kembali justru akan mematikan api pengutusan dan pelayanannya, krn si B belum berubah sifat negatifnya.
Intinya dalam hidup sendiri si A mendapatkan peneguhan utk lebih fokus melayani Tuhan, berkarya di gereja dan mendapatkan karunia menjadi pewarta Sabda Allah dan siap melayani kemanapun, dan hal ini mungkin sulit dilakukan jika masih tinggal bersama pasangannya (si B.)
Sedangkan anak-anak juga merasa ada kedamaian walaupun hanya hidup bersama ssi B.
5. Melanjutkan pertanyaan no 4, jika si A akhirnya pindah ke paroki lain, apakah dia harus melakukan anulasi melalui paroki yang baru atau tetap harus mengajukan anulasi melalui paroki tempat dimana pernikahan terjadi ? lalu apakah memang benar pastor paroki yg akan mengajukan anulasi ke tribunal ? Jika ya, apakah pastor paroki punya waktu mengurusi anulasi ? mengingat tugas seorang romo begitu sibuknya dg segala macam jadwal kegiatan. Kira2 Berapa lama proses pengajuan anulasi akan mendapatkan jawaban ?
6. Bagaimana jika Kepala paroki tempat si A tidak setuju untuk membantu anulasi dan mengatakan lebih baik statusnya dianggap pisah ranjang saja, dan diharapkan si A tetap berkarya bagi Tuhan dan gereja. Sedangkan si A ingin agar statusnya bisa jelas, krn merasa berdosa sudah hidup berpisah dari pasangannya (bercerai sipil walaupun dianggap belum bercerai dihadapan Allah)
Sementara itu dulu, mohon maaf jika pertanyaannya kurang jelas, mengingat sulit menceritakan dalam bentuk tulisan dalam penyusunan kalimat demi kalimat.
Terima kasih, Tuhan memberkati kita semua.
Samuel R.
Samuel Yth
1. Yang dimaksudkan dengan halangan dalam konteks hukum perkawinan adalah suatu faktor yang ada dalam diri seseorang sehingga dia tidak mampu melakukan tindakan secara sah menurut hukum dalam perkawinan. Maka ada halangan yang menggagalkan jika hukum membuat peraturan sehingga seorang tidak mampu melakukan tindakan perkawinan secara sah dalam hukum Gereja. Adanya peraturan itu menggagalkan kemampuan dirinya untuk melakukan tindakan perkawinan.Halangan itu muncul dari hukum ilahi, kodrati, positif dan gerejani. Sifatnya bisa mutlak atau relatif, publik atau tersembunyi di dalam orang itu. Halangan yang menggagalkan berasal dari hukum ilahi misalnya adanya ikatan perkawinan, impotensi, hubungan saudara dalam garis lurus, dan menyamping tingkat dua: yakni saudara kandung, halangan lain dari kodeks berasal dari hukum Gereja.
2. kalau perkawinan tidak mendapat dispensasi maka perkawinan itu tidak sah menurut hukum Gereja, karena ada halangan tadi beda agama/gereja. Perlu ada kelonggaran dari halangan itu (dispensasi)
3. Semua tindakan permohonan untuk anulasi perkawinan tidak dilarang jadi bisa asalkan memenuhi syarat-syarat hukum proses dan memiliki peluang untuk diproses selanjutnya.
4. Pertanyaan nomor 4 jika peceraian sipil membawa dampak positif bagi pasangan suami isteri dan anak, mungkin itu tindakan yang menyelamatkan dan terbaik bagi mereka. Namun Gereja tidak mengakui perceraian sipil sebagai pemutusan ikatan perkawinan.
5. Kalau dia pindah domisili tidak berarti perkara dipindahkan juga, silahkan mengawali dari tempat mereka diteguhkan perkawinannya.
6. Jika pastor paroki anda tidak setuju meneruskan perkara ini ke tribunal bagi saya harus dihormati, bisa jadi dia lebih tahu ttg persolan perkawinan itu dan bisa menolong mereka.
salam
Rm Wanta
Tambahan dari Ingrid:
Shalom Samuel,
Untuk bermacam halangan yang menggagalkan perkawinan sudah pernah dituliskan di artikel ini, silakan klik. Silakan diperiksa, apakah ada halangan yang terjadi di pihak A atau B seperti yang dituliskan di sana, yang terjadi sebelum atau pada saat perkawinan diteguhkan?
Sedangkan apa yang disebut sebagai cacat konsensus, silakan klik di sini. Silakan diperiksa apakah ada dari hal yang disebutkan di atas terjadi pada A dan B sebelum atau pada saat perkawinan diteguhkan.
Selanjutnya, memang kelihatannya telah terjadi cacat forma kanonika, karena sebenarnya perkawinan beda gereja yang dilakukan tanpa ijin/ dispensasi dari pihak ordinaris itu sebenarnya tidak sah di mata Gereja Katolik. Yang jadi masalahnya, mengapa sampai tidak diurus agar mendapat izin dispensasi? Mengapa sampai pastor paroki menyangka bahwa calon pengantin yang tidak Katolik itu sedang Katekumen? Apakah memang demikian yang disampaikan kepada pastor paroki? Karena kalau seorang calon pengantin dari yang beda gereja itu mengikuti Katekumen, maka anggapan pastor paroki adalah ia akan menjadi Katolik, sehingga memang dispensasi tidak diperlukan dalam hal ini. Maka di sini ada hal yang melibatkan faktor kejujuran dari pihak A dan B, bagaimana kejadian sebenarnya pada saat menginformasikannya kepada pastor paroki.
Permohonan anulasi memang dapat diajukan, tetapi hal dikabulkan atau tidak itu sepenuhnya tergantung dari hasil pemeriksaan Tribunal keuskupan. Ini tergantung dari apakah ditemukan bukti- bukti dan keterangan dari pihak saksi yang mendukung permohonan tersebut. Hal yang harus dimengerti adalah: anulasi tidak didasari atas masalah/ halangan yang baru terjadinya setelah pernikahan, tetapi didasari oleh adanya bukti halangan ataupun cacat konsensus yang terjadi sebelum atau pada saat perkawinan diteguhkan. Jadi harap dipahami bahwa hal percekcokan yang terjadi setelah perkawinan bukan menjadi dasar yang cukup untuk pembatalan perkawinan. Ketidaktahuan akan hukum kanonik juga bukan dasar untuk pembatalan. Silakan membaca kembali link di atas untuk menilai apakah kiranya ada dasar untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan. Selanjutnya diskusikanlah dengan pastor paroki, dan dengarkanlah nasihatnya.
Selanjutnya, saya sebenarnya prihatin dengan alasan A untuk mengajukan permohonan anulasi, karena ingin melayani Tuhan. Saya pikir kelihatannya ada yang tidak pas di sini. Sebab sebelum seorang awam ingin menjadi pewarta sebaiknya berjuang terlebih dahulu untuk mempertahankan kehidupan perkawinannya. Karena seseorang yang telah memilih panggilan hidup berkeluarga, seharusnya menomorsatukan panggilan hidup tersebut; yaitu untuk menjadi saksi Kristus dalam panggilan hidupnya sebagai kepala dalam keluarganya. Ini menurut saya merupakan kesaksian iman yang lebih hidup daripada khotbah yang berapi- api sekalipun. Ya, ini hanya sekedar masukan dari saya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Salam,
Ada seorang wanita yang bersedia berpindah ke katolik mengikuti pasangannya, untuk kemudian menerima sakramen perkawinan digereja katolik. Setelah 2 tahun,si wanita ini membawa anaknya dan meninggalkan suaminya,meninggalkan iman katolik,mempunyai pasangan baru, dan kembali kepada keluarganya(sejak awal keluarga si wanita tidak menyetujui hubungan mereka,karena alasan kekatolikan suami,selain mungkin perbedaan status sosial).secara jelas,si istri menyatakan tidak berminat melanjutkan hubungan pernikahan tsb.
1.Dari kejadian tsb, apakah mungkin bagi suami untuk dilakukan anulasi,mengingat keduanya telah mengikatkan diri dalam sakramen perkawinan?
2.Apakah masalah tsb dapat dikatakan cacat konsensus,mengingat si istri tidak berminat melanjutkan pernikahan meski telah dikaruniai seorang anak?
Mohon pencerahan..=)
Ve Yth
Kisah perkawinan itu perlu dieksplorasi lebih jauh mengapa meninggalkan suami dan keluarga? Sehingga menemukan pokok masalah perkawinan yang bubar itu. Baru dapat dikatakan sebagai cacat konsensus, jika sudah ada halangan saat perkawinan dilangsungkan matrimonium in fieri bukan post factum (pada saat perkawinan diteguhkan sudah ada bibitnya dan bukan baru terjadi pada saat setelah pernikahan). Artinya, bibit atau benih cacat sudah ada sebelum perkawinan diteguhkan. Itulah yang harus digali dan dibuktikan adanya, jika terbukti dan dengan kepastian moral, maka perkawinan bisa dianulir. Semuanya tergantung pada bukti dan pembuktian pokok sengketa (masalah) perkawinan tersebut.
salam
Rm Wanta
Dear Romo Wanta,
Terima kasih atas informasinya. Tuhan memberkati pelayanan tim katolisitas.
Salam,
Ve
Dear Romo,
Romo saya minta info…sy beragama budha,tp saya tdk fanatik terhadap agama apapun….saya punya pacar seoarang duda tapi agama dia katolik. Pada perkawinan sebelumnya dia menikah secara katolik tp dispensasi….dan dia bilang ke saya dia ada surat cerai dr agama katolik…saya bingung bukankah susah dapat surat pembatalan perkawinan scr katolik???sebab dia ingin menikah dgn saya secara katolik…buat saya tak masalah mau pakai cara apapun…saya akan ikut suami.sebab buat saya agama hanya penuntun yg penting hati kita untuk menjalani arti dari perkawinan,dan menghargai pasangan pendamping kita sampai akhir hidup…dan tdk menggampangkan perceraian.resiko perkawinan selalu ada…tapi saya yakin Tuhan akan menuntun jalan perkawinan sesungguhnya…Romo walau saya agama budha,dr kecil saya sekolah katolik jd garis besarnya ajaran agama saya tahu,dan menghargainya….Romo yg saya ingin tanyakan….bila memang calon suami saya ternyata ada surat cerai dr gereja,dan bisa menikah lg yg kedua scr katolik….apa bisa kami menikah dgn dispensasi..sebab kami ingin menikah secapatnya,dan saya perfikir akan belajar agama katolik menyusul sesudah menikah.yg mana butuh waktu 1 thn.Romo apa bisa kami menikah scr dispensasi??dgn status calon saya seperti yg saya ceritakan ke romo.terimah kasih banyak romo.
Yenni Yth
Surat cerai dari Gereja Katolik tidak ada, karena Gereja Katolik tidak mengenal istilah perceraian. Yang ada adanya surat pernyataan (deklarasi) bahwa perkawinan sejak dari permulaan dinyatakan batal, setelah terbukti ditemukannya halangan menikah atau cacat konsensus atau cacat forma kaninika. Surat itu dikeluarkan oleh Tribunal Perkawinan. Maka saya ingin lihat jika memungkinkan, apakah benar atau tidak surat yang anda katakan itu. Jika hal itu benar dari Tribunal Perkawinan Keuskupan maka bisa melangsungkan perkawinan yang baru namun kalau itu bukan yang dikeluarkan dari Tribunal tidak bisa karena masih ada halangan ikatan perkawinan sebelumnya. Baik kalau tidak terburu-buru dan dilihat dulu. Silakan surat itu dibawa ke pastor paroki sehingga semua berjalan sesuai dengan aturan Gereja Katolik. Tidak bisa begitu saja dengan dispensasi; kecuali dilihat masalahnya apa, mengenai suami pisah dengan istrinya yang terdahulu itu.
Demikian jawaban saya semoga berkenan.
salam
Rm Wanta
Romo Yth,
Mungkin yg dimaksud calon suami saya surat pembatalan perkawinan romo,sya kurang jelas,dan saya akan tanyakan ke dia lagi romo.Masalah pernikahan dia sebelumnya yang gagal mungkin sudah dia urus sebelumnya dgn gereja jauh sebelum saya mengenal dia romo.Maka dari itu dia meminta saya menikah secara katolik,sebab saya lihat dia yakin,dan mungkin memang dia sudah memegang surat pembatalan perkawinan sebelumnya, Saya tau dia kecewa dgn perkawinan terdahulu,dan alasan dia ingin menikah scr katolik ke saya agar tak bisa cerai/pisah.Maka dari itu saya menghargaii nya…apa yg jd panutan dia saya akan mengikutinya Romo.sebab saya ingin membina keluarga yg bahagia sampai kami tua.
Tapi Romo pertanyaan saya :
1.Jika memang ternyata pacar saya sudah memegang surat pembatalan yang sah dari gereja…berati dia bisa menikah secara katolik bukankah begitu romo?
2.Dan apabila kami ingin menikah bisa secara dispensasi untuk kedua kalinya Romo?,mengingat sebelumnya perkawinan terdahulu pacar saya scr dispensasi. Sebab saya pernah tanyakan ke saudara saya yg merupakan ketua gereja di lampung,dia bilang bisa scr dispensasi,tapi saya ingin tanya langsung ke romo agar yakin.
terimah kasih romo
Yenny Yth
Jawaban pertanyaan anda pertama adalah Ya jika ada surat resmi dari Tribunal yang menyatakan perkawinan pertama telah dibatalkan, maka dia bisa membangun hidup keluarga yang baru. Kedua sebaiknya demi intensi ingin hidup perkawinan dalam Gereja Katolik saya anjurkan anda mengikuti pelajaran agama katekumenat dan dibaptis dulu dalam Gereja Katolik baru menikah. Tidak usah terburu- buru membangun keluarga. Di zaman ini perlu persiapan yang matang dan sungguh- sungguh untuk membangun keluarga. Iman, ekonomi dan cinta sebagai keputusan hidup selamanya dengan pasangan.
salam
Rm Wanta
Salam damai… Saya berusia 34th dan baru sj menikah secara katolik. Masalah saya adalah;sebelum saya menikah,saya sdh 15th berpacaran dg istri saya & 7th lalu saya sdh mengajaknya menikah,dan kami sudah berhubungan intim.Hubungan kami selama ini tidak disetujui oleh ortunya dan berusaha memisahkan dengan berbagai cara.Kami sama2 dari keluarga katolik. Karena dia selalu menunda jika saya ajak menikah,belum lagi tentang keluarganya, sejak awal th 2009 saya ingin melepasnya, belum lagi ada sakit padanya dan saya merasa tidak sanggup membiayai jika sakitnya parah. Tapi dia tetap meminta untuk menikah. Memang pada agustus 2008 kami sudah Kpp, tapi 3bln kemudian dia tunda nikah. Akhirnya bln Feb2009 kami urus nikah di gereja dan baru akhir april bisa menikah. 1minggu sebelum menikah saya mengantarnya ke dokter kandungan dan butuh biaya besar utk pengobatan. sementara waktu itu saya belum bekerja.maka kami tunda pernikahan dan saya memberi deadline 1bln lebih utk melanjutkan pernikahan karena dia tidak mau dilepaskan. tapi sampai awal juli tidak ada kabar darinya, apakah rencana pernikahan dilanjutkan ato tidak. maka saya ambil berkas pernikahan dari gereja dan saya kirim ke rumah keluarganya. perlu diketahui, kami mengurus sendiri rencana pernikaahn tanpa keterlibatan keluarga masing2. setelah berkas saya ambil dia depresi dan saya sudah mendapat pacar baru 2 minggu setelah ambil berkas. dan saya sudah berkomitmen dengan pacar baru saya untuk menikah. tapi awal agustus 2009 ternyata pacar baru saya meninggalkan saya dg alasan mau kuliah dan dia dibiayai seorg imam. saya marah dgnya. menurut saya ini waktunya utk masuk biara. sedangkan pacar lama saya berusaha mencari saya dan membantu mengirim lamaran kerja hingga saya mendapat kerja. saya ketemu dengan pacar lama saya dan dia masih berharap untuk menikah. awal bulan sept saya beri deadline pdnya utk urus berkas pernikahan lagi, setelah dia ngotot menikah meski sudah saya beritahu kalau saya sudah punya pacar baru dan sudah saya peringatkan jika terjadi sesuatu pada pernikahan hrs siap resiko dan dia setuju. Akhir Sept 2009 kami menikah di kapel hanya dg saksi 2+romo. 2hr kemudian saya tahu bhw pacar baru saya telah hamil dg saya. paacr baru cerita kalau awal agustus sempat aborsi tp gagal. akhir agustus keguguran. hanya saja waktu ketemu akhir september pacar baru saya ini bohong, bilang masih hamil 3 bln dan minta sex. setelah tahu kejadian ini istri sudah ajukan anulasi ke paroki tapi tidak ditanggapi. pacar baru saya hamil lagi dan dengan sadar maksa aborsi meski sudah saya larang berkali2. alasannya belum siap secara materi. sejak itu saya tidak mau dengan pacar saya lagi dan berniat kembali pada istri. tapi pacar baru berantakan dan saya kasihan. saya dan istri sdh maju pada pastor yg menikahkan kami utk anulasi spy saya bisa bertanggungjawab kepada org yg sdh hamil dengan saya. tapi ternyata tidak bisa. awalnya pacar baru saya bisa terima jika anulasi gagal. tapi malah sekarang tidak mau ditinggalkan dan ingin bersama saya juga. saya stres tidak tahu harus bagaimana. belum lagi sudah kehilangan pekerjaan lagi. kalau bisa lebih baik saya tidak dengan mereka berdua karena saya capek dan tidak tauh harus bertanggungjawab dengan cara apa. apakah pernikahan saya ini memang tdk bisa dianulasi~krn menurut saya pernikahan saya cacat? saya sendiri sudah tidak ada cinta pada istri sejak awal menikah. tidak punya harga diri lagi karena merasa ditolak dalam gereja. beberapa bulan saya tidak bisa ke gereja. mohon petunjuk.
Paulus Yth
Petunjuk saya, anda bertobat mengakui dosa-dosa kembali ke pangkuan Gereja Katolik dan hidup sebagai umat beriman katolik. Jika anda mau hidup berkeluarga yang baik maka harus memilih dari kedua istri anda tidak bisa semuanya diterima. Jalannya panjang dan melelahkan karena harus melalui proses anulasi serta keberanian untuk memilih yang anda cintai, ketegaran dan ketegasan hati untuk menolak yang satu, kecuali anda tidak hidup berkeluarga lagi. Kuncinya pada perubahan diri dan berani kembali ke jalan yang benar melalui suasana padang gurun yang tidak mengenakan karena luka batin dan melukai orang yang pernah menjadi istri anda. Mungkin perlu pengekangan diri agere contra dalam hidup untuk lebih baik sesuai ajaran Gereja Katolik.
salam dan berkat Tuhan
Rm Wanta
Tambahan dari Ingrid:
Shalom Paulus,
Membaca kisah hidup anda saya sangat prihatin. Maka saya menganjurkan, agar anda selekasnya mencari Romo untuk mengaku dosa dalam sakramen Tobat. Tidak ada kata terlambat untuk bertobat dan memulai hidup yang baru bersama Yesus.
Anda perlu merenungkan sungguh-sungguh, siapa wanita yang paling anda kasihi untuk dijadikan sebagai istri. Perkawinan di gereja Katolik bersifat monogami, jadi tidak bisa keduanya dijadikan istri. Jika anda memutuskan untuk setia dengan istri anda, maka memang tidak perlu mengurus anulasi, apalagi jika istri anda akhirnya mengampuni anda. Namun jika ternyata ia merasa dibohongi (karena ia tidak tahu bahwa anda dengan pacar anda telah juga melakukan hubungan, bahkan sampai menghasilkan anak), dan ingin mengurus anulasi, memang sudah menjadi haknya. Dengan kasus perkawinan anda, ia dan anda berhak mengajukan permohonan anulasi perkawinan; walaupun yang berhak menentukan diluluskan atau tidak adalah pihak Tribunal Keuskupan. Sebab Tribunal perlu membuktikan apakah memang ada bukti-bukti yang menyatakan bahwa ikatan perkawinan itu sebenarnya tidak ada dari awal karena ada halangan menikah ataupun cacat konsensus.
Langkah awalnya, memang anda/ istri anda harus menulis libelus/ surat permohonan pembatalan perkawinan yang diketahui juga oleh Romo paroki. Tuliskanlah di sana keadaan yang sesungguhnya dari perkawinan anda, dan latar belakangnya sebelum perkawinan dikukuhkan. Anda perlu mendiskusikan masalah ini kepada Romo paroki, namun surat ini ditujukannya ke Keuskupan di mana perkawinan anda diteguhkan. Selanjutnya, serahkan kepada pihak Tribunal untuk memutuskan apakah permohonan ini diluluskan atau tidak berdasarkan ada/ tidaknya bukti-bukti. Hanya setelah anda menerima anulasi, maka anda dapat menikah dengan pacar anda.
Di atas semua itu, sesungguhnya anda perlu memohon ampun kepada Tuhan dan juga kepada kedua wanita itu yang sudah anda sakiti. Selanjutnya, mohonlah rahmat dari Tuhan untuk dapat setia kepada wanita yang anda nikahi di hadapan Tuhan dan agar anda dapat melakukan segala sesuatu dengan penuh tanggung jawab. Kesetiaan dan tanggung jawab ini melibatkan pengendalian diri dan pengorbanan. Seandainya permohonan anulasi anda diluluskan, dan anda diperbolehkan menikah, maka anda akan tetap harus menghadapi masalah ini, yaitu bagaimana untuk hidup dalam kasih sejati (setia dan bertanggung jawab) dengan seorang wanita, seumur hidup anda, jika memang panggilan hidup anda adalah membentuk keluarga. Jika permohonan anulasi tidak diluluskan, maka ikatan perkawinan anda dengan istri anda tetap dipandang sah di hadapan Tuhan, dan karenanya andapun semestinya kembali kepada istri dan hidup sebagai suami yang baik dan setia kepadanya, sesuai dengan janji yang pernah anda ucapkan di hadapan Tuhan. Dan sesungguhnya, Andapun terikat kewajiban kodrati untuk turut bertanggungjawab membiayai anak Anda dengan pacar Anda itu.
Paulus, janganlah anda berputus asa. Kembalilah kepada Tuhan, dan tinggalkanlah cara hidup anda yang lama. Jadikanlah Mazmur 51 sebagai doa anda, dan hiduplah dalam pertobatan setiap hari. Tuhan Allah tidak menolak kita asalkan kita sungguh-sungguh bertobat dan mau memperbaiki diri. Sekarang terpulang kepada anda, maukah anda menjalani hidup yang baru bersama Yesus? Jika ya, buatlah keputusan itu dan lakukanlah dengan sepenuh hati, dan jangan melakukan dosa itu lagi.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
romo saya mao tanya..
teman saya pacaran dengan seorg duda yg sudah bercerai secara sipil tetapi sebelumnya dy menikah secara katolik. teman saya ingin menikah secara katolik dengan duda tsb.. apakah bisa menikah di grj katolik?? syarat apa saja yang harus di lakukan? terimakasih banyak romo.
Okta Yth
Syarat pokok orang menikah di Gereja Katolik adalah status bebas, beragama Katolik, tidak ada halangan umum atau khusus, mengikuti aturan forma canonica didepan Imam katolik dan 2 saksi. Maka kalau menikah dengan duda yang sudah pernah menikah meskipun sudah cerai sipil tetap ada ikatan perkawinan. Perceraian sipil tidak memiliki efek hukum Gereja atas ikatan perkawinan. Maka masih ada halangan publik. Jadi tidak bisa menikah secara Gereja Katolik, karena itu pilihlah jejaka yang Katolik dan masih single tidak ada ikatan.
salam
Rm Wanta
Berkah dalem…
ROmo sya menikah 5 tahun yg lalu. Mertua dan suami saya adalah seorang muslim. Dikarenakan dulu saya hamil duluan dan mertua tidak mau menerima saya jika saya tidak masuk islam, maka penikahan pertama kami dilaksanakan secara Islam. Stlh itu saya masih pergi ke Gereja tetapi saya tidak menerima Tubuh Kristus. Sampai saat anak saya lahir dan 1, 5 tahun kami menikah, saya merasa gelisah karena saya merasa pernikahan saya “belum sempurna”. Lalu saya mengajak suami utk pembaharuan pernikahan kami di Gereja.. Sampai sekarg suami saya tidak bekerja, dan entah kenapa tidak ada hasrat utk menghidupi saya dan anak kami. Ada beberapa kelakuan buruk dari suami (yg tidak bs saya sebutkan disini) yg tidak bisa berubah sampai sekrg. Sudah berulang kali saya bicara dan diskusi dgn dia, tetapi hanya jawaban ya yg tidak ada usaha dan buktinya. Sampai2 ayah saya menyarankan saya utk bercerai saja (kebetulan ayayh Muslim). Sampai sekrg kami masih tinggl di rumah mertua, dan mertua masih tidak setuju dgn saya yg tetap katolik, alhasil ketika saya bekerja dan anak ada di rumah, si kecil lah yg jadi sasaran mereka. Mereka berusaha menarik si kecil, mengajari doa2 dll. Terus terang saya blm bisa mengontrak sendiri krn keterbatasan finacial saya, krn saya lah g harus mengcover semua kebutuhan si kecil mulai dari sekolahnya. bahkan sampai sekrg anak saya takut kalau harus membuat tanda salib di depan mertua, ataupun pamit pergi ke gereja, dan kami harus berbohong utk itu…Terus terang saya sudah tidak tahan lagi, dgn suami yg tdk ada “greget” utk menghidupi keluarga, sikap buruk dia yg tidak mau berubah… saya berpikir utk bercerai secara islam dan kalaupun resiko utk tidak boleh menikah lagi harus ttp saya tanggung saya siap, tp saya tidak tau apakah anak saya bisa menerima itu kelak ….mohon petunjuk romo…trimakasih
Gina Yth.
Saya ikut prihatin dengan keadaanmu. Membaca kisah perkawinan dan kehidupan keluargamu saya sarankan anda menemui pastor paroki dimana anda tinggal bicara dan minta nasehatnya apa ? Saya menganjurkan agar anda bicara dengan orangtuamu kemudian apakah bisa kembali ke rumah dengan melihat kondisi ekonomi dan keadaan anak dan dirimu sendiri. Kalau anda sudah membarui perkawinan dan dinyatakan sah oleh pastor paroki dengan memenuhi syarat dan memohon dispensasi beda agama kepada Ordinaris (semua akan diurus pastor paroki) semoga anda bisa komuni seperti yang anda rindukan selama ini. Bagi saya ketenangan batin dan kedamaian lebih penting dari pada materi. Maka biar dapat gaji kecil dan serba pas-pasan tapi hati damai lebih baik karena itu apakah bisa kembali ke orang tua sambil memberikan waktu untuk suami berefleksi, tapi jangan buru-buru pisah. Jika anda tinggal di rumah anda sendiri sementara maka iklim dan lingkungan Katolik terjamin memudahkan anak anda mendapat pendidikan secara Katolik, demikian kerinduan anda juga. Semoga Tuhan memberikan ketabahan hati dan tuntunan jalan yang baik. Saya berdoa untuk anda.
salam
Rm Wanta
Salam damai, mohon pencerahannya,
1. apakah pasutri masih dapat dikatakan menikah (scr katolik) jika pasutri tsb sudah tidak lagi tinggal serumah dan telah bercerai di catatan sipil (melalui keputusan pengadilan negeri bukan gereja)?
2. apakah ada konsep menikah tapi pisah rumah di dalam hukum katolik?
3. apakah ada hukum katolik yang mengatur bahwa pasangan yg menikah harus tinggal terpisah dari orang tua masing”?
Terima Kasih
(Mohon maaf jika pertanyaan ini memang pernah diulas sebelumnya)
Shalom Robertus,
1. Prinsipnya ikatan sakramen Perkawinan mempersatukan suami istri sampai seumur hidup; berdasarkan ayat, “Apa yang telah dipersatukan Tuhan tidak boleh diceraikan manusia.” (Mat 19: 6). Pisah rumah dan perceraian sipil merupakan perpisahan yang dibuat oleh manusia, namun ikatan suami istri di hadapan Allah tetap ada. Ikatan perkawinan tersebut hanya dapat dinyatakan tidak ada jika pihak Tribunal keuskupan meluluskan permohonan Anulasi (pembatalan perkawinan) yang dibuat oleh salah satu pihak/ pasangan, atas dasar bukti-bukti ketiadaan ikatan perkawinan sejak sebelum perkawinan berlangsung, yaitu adanya 1) cacat konsensus, 2) halangan menikah, dan 3) cacat forma kanonika. Ketiga hal tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu melalui bukti-bukti dan kesaksian para saksi, dan hanya jika ditemukan bukti-buktinya, maka pihak Tribunal dapat meluluskan permohonan Anulasi. Anulasi tidak sama dengan perceraian, sebab anulasi artinya bahwa ikatan perkawinan tersebut sesungguhnya tidak ada karena ditemukan cacat/ halangan yang tidak memungkinkan adanya perkawinan.
2. Maka konsep menikah tapi pisah rumah, tentu bukanlah kondisi yang ideal dalam hukum Gereja Katolik. KHK kan. 1151, mengatakan:
“Suami-istri mempunyai kewajiban dan hak untuk memelihara hidup bersama perkawinan, kecuali ada alasan legitim yang membebaskan mereka.”
Maka secara umum, suami dan istri memang harus mengusahakan agar dapat tinggal bersama-sama. Keadaan legitim yang membebaskan mereka misalnya karena untuk sementara waktu, suami tidak dapat selalu tinggal bersama istri karena tuntutan pekerjaan/ sekolah di luar kota atau negeri, namun inipun sebaiknya tetap sedapat mungkin dihindari, dan jika sampai tak terhindari, agar diusahakan suami dan istri dapat bertemu secara berkala, dan mengusahakan agar perpisahan tersebut hanya bersifat sementara.
3. Sepanjang pengetahuan saya tidak ada peraturan tertulis bahwa pasangan yang menikah harus tinggal terpisah dari orang tua masing-masing, namun sesungguhnya tinggal terpisah dari orang tua merupakan suatu konsekuensi logis untuk menerapkan ayat ini, “Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging.” (Mat 19:5)
Maka andaikan kondisi tidak memungkinkan bahwa pasangan tinggal terpisah dari orang tua, ayat tersebut tetap harus dapat diterapkan, dalam artian bagaimanapun juga pasangan harus dengan bijaksana meletakkan prioritas utama dalam membina hubungan mereka sebagai suami istri, dan tidak boleh lagi memiliki keterikatan dengan orang tua sedemikian seperti ketika sebelum menikah.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
salam damai romo,
Romo mohon petunjuk untuk persoalan yang dihadapi adik perempuan saya. Adik saya menikah dalam usia yang masih mudah, 19 thn karena ybs hamil . Dan akhirnya dinikahkan oleh ortu kami dalam perkawinan katolik, kebetulan pacar adik saya katolik juga. Sejak awal ortu kami tidak pernah menyetujui hubungan mereka dikarenakan adik saya saat itu masih sangat muda.
Pada bulan pertama dari perkawinan mereka, lahirlah anak yang dikandung adik saya, sebulan kemudian ipar saya ini dikeluarkan dari perusahaan tempat dia bekerja karena tuduhan menggunakan uang perusahaan. Sejak saat itu hingga saat ini (anak usia 6 thn) mereka berdua tinggal di rumah ortu saya, kebetulan adik saya diterima bekerja di salah satu perusahaan retail besar dengan gaji yang pas2an ( menggunakan ijasah SMA, krn kuliah mandeg setelah hamil). Setiap hari mulai dengan cek cok mengenai masalah ekonomi krena sampai saat ini ipar saya tidak bekerja.
Untuk segala urusan pengeluaran anak yang mulai sekolah TK , makan, lain2 , adik saya yang membiayai, hingga akhirnya dia merasa seperti sapi perahan, karena stiap pinjam uang dari bank untuk modal usaha suaminya tidak pernah ada hasil dan laporannya. Akhrnya adik saya memutuskan untuk pisah ranjang.Setelah rapat dengan keluarga kedua belah pihak akhirnya terjadilah pisah rumah dengan maksud untuk koreksi diri.
Tapi setelah itu setiap mereka berkomunikasi selalu cek cok dan akhirnya keluar kata2 dari ipar saya itu yang menyangkut keluarga kami yang notabene selama ini juga tidak tinggal diam bila anak mereka sakit dan harus dirawat sdangkan dari pihak kluarga dia sendiri tidak berbuat apa2.
Adik saya merasa sangat tersiksa dan stress , apalagi tahun ajaran ini anaknya harus masuk SD. Akhirnya dia ingin berpisah, karena menurut dia lebih baik membesarkan anaknya sendiri daripada ada suami tapi tidak menafkahinya.
Untuk persoalan ini, apakah perkawinan katolik bisa dibatalkan romo ? mohon petunjuk, terima kasih
Valentine Yth
Seturut aturan Gereja ada lembaga khusus untuk menangani hal itu yang namanya Tribunal Perkawinan Gereja. Silahkan anda meminta adik anda untuk menulis kisah perkawinan lalu meminta pastor paroki untuk mendampingi persoalan adik anda di lembaga tersebut. Semoga Tuhan memberkati anda
Salam
Rm Wanta
bisa saya tau informasi lengkap, alamat dan nomer telpon dari lembaga tersebut romo? saya juga mendapat msalah yang sedikit banyak sama dgn masalah diatas… bahkan lebih parah…
Gina Yth,
Alamat tribunal Surabaya; hubungi Rm Dwi Joko Pr, Jalan Polisi Istimewa 17 Surabaya.
Salam,
Rm Wanta
Romo Wanta dan para pengasuh katolisitas.
saya mendapat tugas kasus perkawinan ttg poligami suksesiva karena perceraian. Kasusnya demikian: seorang Bapa kaya raya berusia 65 tahun menyatakan keinginannya untuk menikah dengan seorang janda yang diceraikan oleh suaminya gara-gara menjadi katolik. bapak yang muslim ini sebelumnya sudah pernah menikah 4 kali di KUA dan masing-masing berakhir dengan perceraian dengan alasan yang sama: semua isterinya dibawa kabur laki-laki lain. dalam rangka mempersiapkan perkawinan ini , pria tadi sudah mengikuti katekumenat dan siap dibaptis menjelang pernikahan yang kelima. apa yang harus dibuat bagi calon pasangan baru ini? bagaimana mengurus administrasinya? mohon bantuan Romo dan Para pengasuh rubrik ini. Terimakasih dan Berkah Dalem.
Aroendati Yth
Sebelum dibaptis bapak tadi harus diinterogasi tentang keinginannya untuk menikah, statusnya dengan keempat istri lamanya bagaimana apakah masih ada hubungan, ada tanggungjawab ekonomi anak dan lainnya untuk memastikan bahwa bapak tersebut benar-benar bebas dari ikatan perkawinan sebelumnya. Tidak gegabah membaptis karena itu perlu pelajaran agama katolik yang intens, terutama soal apa itu perkawinan katolik, sifat dan tujuan perkawinan. Pengalaman yang telah kawin sampai empat kali perlu mendapat perhatian selama pengajaran karena bisa jadi terulang kembali. Jika akan menikah dengan orang Katolik dan akan dibaptis maka ikatan natural perkawinan lama perlu mendapat kepastian dengan memohon pemutusan ikatan natural tsb terutama dari istri pertama yang sah sipil. Di sini ada halangan ikatan natural, kecenderungan polygami, beda agama sebelum dibaptis. Maka banyak hal perlu diurus seperti saya sampaikan di atas. Terimakasih.
salam
Rm Wanta
Yth Romo Wanta dan para pengurus situs ini yang baik.
Izinkan kami mengsharingkan pengalaman kami dan mohon berkenan memberikan petunjuk nya.
Sebelum menikah dengan istri saya yang beragama Protestan dan yang orangtua nya seorang Pendeta Protestan, saya meminta kepada istri saya bahwa kalau mau menikah dengan saya, istri saya harus masuk Katolik. Kalau tidak mau masuk Katolik, jangan menikah dengan saya, karena menurut saya, kami tidak akan bahagia.
Cita2 saya adalah mempunyai seorang istri Katolik dan keluarga Katolik. Di keluarga saya, hanya saya yang beragama Katolik. Yang lain agama Budha.
Istri saya berjanji, karena mengingat orang tuanya Pendeta, dia akan masuk Katolik sesudah kami menikah.
Beberapa minggu sesudah menikah, istri sudah tidak mau sama2 ke gereja Katolik lagi.
Setiap hari sabtu atau minggu istri pulang ke rumah orang tuanya dan kebaktian disana. Hari Minggu sore atau Senin pagi baru pulang kerumah saya. Istri tidak mau kalau diajak sembahyang di lingkungan juga.
Saya masih berharap istri bisa menjadi Katolik, sampai lahir anak2 kami.
Saya yang kerja di perusahaan swasta, sering kerja diluar kota.
Anak2 kami semenjak masih bayi setiap ada kesempatan selalu dibawa ke rumah dan gereja Protestan orang tuanya.
Dan sekarang anak pertama s/d ketiga sudah melawan saya untuk tidak mau ke gereja Katolik lagi.
Saya merasa sangat berat hidup saya, saya merasa hidup saya sudah gagal dan sangat tidak bahagia.
Dengan alasan istri sudah menipu saya dalam perjanjian untuk menikah, apakah perkawinan saya ini bisa dibatalkan ?
Mohon petunjuk nya.
Sekian dan terima kasih
Dharma Yth
Pengalaman menunjukkan kesetiaan dan cinta harus menjadi komitmen bagi mereka yang perkawinan campur seperti anda. Karena itu, cobalah sekali lagi dengan tenang mendekati istri dan anak anda untuk diajak dialog ungkapkan isi hati anda agar mereka mengerti. Memang berat saya bisa merasakan hal itu. Teguhkan imanmu dan beri kesaksian ttg iman katolik pada mereka. Doa saya dan berkat Tuhan
salam
Rm wanta
Yang terhormat,
Pengurus Katolisitas
di tempat.
Salam dalam Kristus,
Mohon tanggapan atau masukkannya mengenai masalah yang berhubungan keluarga katolik. Pertanyaan saya adalah mahalnya uang kursus perkawinan hingga Rp.700. 000.- (tujuh ratus ribu rupiah) per-pasang. Hal ini ironis terjadi pada adik saya. Sesuatu yang tidak masuk akal dan membebankan calon dimana mereka berasal dari kelompok kurang mampu yang nota bene setelah nikah tidak ada acara apapun. Saya yang adalah salah satu pengurus SKK (Seksi kerasulan keluarga) disalah satu paroki di keuskupan Jakarta sampai mengatkan kok… mahal?. Apakah kita tidak berusaha untuk meminimalisir biaya agar tidak terkesan mewah-mewahan. Yang menjadi tugas gereja adalah kualitas keluarga seperti keluarga kudus Nasaret. Yang jauh lebih penting adalah bagaimana gereja menjaga keutuhan keluarga sebagai miniatur dari gereja itu sendiri.
Terima kasih,
TUHAN MEMBERKATI
Salam,
darius
Shalom Darius,
Terima kasih atas informasinya. Saya tidak tahu penyebab dari mahalnya kursus perkawinan di paroki/dekanat tertentu. Setahu saya, pada waktu saya saya mengikuti kursus perkawinan di Jakarta, biayanya tidaklah mahal. Saya browsing biaya Kursus Persiapan Perkawinan (KPP) sekitar Rp 100,000 – Rp 140,000 /pasang (lihat ini, dan juga ini). Oleh karena itu, saya tidak tahu mengapa biaya KPP ada yang mencapai Rp 700,000. Apakah mungkin kalau biaya tersebut termasuk retret? Secara prinsip biaya tidak boleh menghambat pasangan untuk dapat mengikuti kursus perkawinan. Oleh karena itu, pasangan yang mempunyai kendala keuangan harus tetap ikut, walaupun tidak mampu membayar biaya kursus. Saya menghimbau agar adik anda meminta bantuan kepada paroki maupun berbicara secara terbuka kepada pengurus SKK yang ditugaskan untuk mengkoordinir kursus tersebut, sehingga adik anda mendapat pengurangan biaya atau tidak dipungut biaya sama sekali. Saya yakin, hal ini dapat didiskusikan. Dalam beberapa acara di gereja, saya melihat sendiri, bahwa ada begitu banyak umat dari kalangan yang tidak mampu tetap mempunyai kesempatan untuk ikut kegiatan gereja tanpa dipungut biaya sama sekali.
Saya menyetujui apa yang dikatakan oleh Darius, bahwa KPP (Kursus Persiapan Perkawinan) harus berorientasi pada pembentukan keluarga kudus seperti yang dicontohkan oleh keluarga kudus di Nazaret. Semoga dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristsus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
Darius Yth
Saya juga baru mendengar kalau KPP membayar begitu banyak. Saya ingin tahu di Paroki mana itu? Sejauh yang saya tahu tidak ada kewajiban untuk mengikuti KPP membayar tapi memang ada persembahan umat untuk mengganti biaya administrasi dan biaya buku/lembaran pengajaran saat KPP tapi tidak sebanyak itu. Apakah bisa ditanyakan untuk apa saja uang sebanyak itu. KPP adalah bagian karya pastoral paroki jadi pelayanan dan hak umat mendapat pengajaran bagi saya tidak perlu membayar kalau ada persembahan untuk membantu paroki saya setuju namun tidak mengikat dan tidak ada nominal wajib. Semoga KPP tidak dikomersialkan sehingga kehilangan roh pelayanan bagi umat beriman.
salam
Rm Wanta
Salam damai. saya adalah seorang pria katholik dan sdh pernah menikah secara katolik dan di karunia 2 anak tp sy sdh bercerai sejak thn 2005 secara pemerintah dgn keputusan pengadilan atas gugatan istri sy… yg ingin sy tanyakan bgmn caranya kalau sy mau menikah lg secara katolik? mohon petunjuk romo.
George, Yth
Gereja tetap mengakui ikatan perkawinan kanonik dalam perkawinanmu sebelumnya meski sudah diputuskan secara sipil karena tidak memiliki efek hukum Gereja. Gereja memiliki hak sendiri dan eksklusif untuk menentukan validitas kesepakatan nikah. Maka untuk dapat menikah lagi secara katolik, perlu ada proses yang membuktikan bahwa perkawinan anda sebelumnya tidak ada (nullitas) di Gereja Katolik. Instansi itu ada di Tribunal Perkawinan keuskupan (tidak semua keuskupan mempunyai Tribunal). Untuk itu, silakan membuat surat permohonan (libellus) ke Tribunal tempat perkawinan anda dulu diteguhkan. Anda boleh membicarakan hal ini dengan pastor paroki anda.
Mengapa harus mengajukan permohonan ke Tribunal? Karena perkawinan Gereja Katolik menuntut adanya status liber (bebas) seseorang. Maka jika setelah melalui penyelidikan Tribunal ditemukan bukti-bukti bahwa sebenarnya perkawinan anda yang terdahulu tidak sah, karena ada cacat konsensus, atau halangan menikah atau cacat kanonik, maka Tribunal baru dapat menyatakan perkawinan anda yang terdahulu itu sebenarnya tidak ada (nullitas). Baru setelah anda memperoleh Anulasi (perkawinan anda yang terdahulu dinyatakan tidak ada), anda boleh menikah di Gereja Katolik. Selanjutnya, pengalaman bubarnya perkawinan sebelumnya hendaknya diperhatikan agar tidak terulang kembali. Semoga bisa dipahami.
salam
Rm Wanta
Shaloom.. Rm
Saya pria 25 th. Menikah 1,5 th yg lalu secara katolik dan dikaruniai seorang anak 8 bln.sebelumnya telah pacaran 6th dg istri saya dan selama itu jg kmi juga melakukan hubungan intim.dlm kehidupan rumah tangga saya merasakan kurang bahagia. Saya tdk bs mencintai istri saya 100%.saya sdh berusaha tetapi tdk bisa juga.saya menikahi istri dengan tujuan bertanggungjawab krn telah merenggut keperawanannya.saat ini dalam hati saya ada wanita lain yang bisa membuat saya bahagia,lebih pengertian daripada istri saya. Saya tak tau harus sampai kapan saya berpura2 masih mencintai istri saya.wanita lain itu juga mengajak saya menikah secara islam.apakah pernikahan saya dgn istri saya bisa dibatalkan mengingat istri saya telah mengetahui hubungan saya dengan wanita lain? Terimakasih atas jawabannya rm
Utomo Yth
Tidak segampang itu membatalkan perkawinan yang sah baik kanonik maupun sipil (natural) karena itu haruslah dihormati bahwa setiap perkawinan yang masih tetap bediri diandaikan sah kecuali dinyatakan sebaliknya lewat pengadilan tribunal. Oleh karena itu perlu pendampingan terhadap anda jika sekarang mengalami masalah dan tidak buru-buru ke tribunal.
Terimakasih,
salam
Rm Wanta
Tambahan dari Ingrid:
Shalom Utomo,
Saya sangat prihatin dengan keadaan Utomo saat ini, terutama karena anda telah menikah secara Katolik, dan usia perkawinan anda yang relatif masih sangat muda. Saya menganjurkan anda untuk mengikuti konseling di paroki, untuk berusaha memperbaiki relasi anda dengan istri anda. Jangan sampai anda terburu-buru mengambil keputusan, apalagi jika itu mempengaruhi keseluruhan hidup dan keselamatan jiwa anda. Sebab jika anda menikah lagi, dan menjadi muslim (karena jika anda menikah secara Islam anda otomatis harus menjadi muslim) berarti anda murtad, dengan meninggalkan Kristus dan Gereja-Nya karena mendahulukan keinginan anda untuk menikah lagi. Ini sama dengan menempatkan kehendak pribadi di atas kehendak dan perintah Allah, bahwa perkawinan yang telah dipersatukan Allah itu tidak dapat diceraikan oleh manusia (Mat 19:6).
Maka jika saya boleh menyarankan, anda merenungkan kembali sebelum membuat keputusan. Dapat dimengerti bahwa istri anda mungkin sakit hati melihat adanya orang ketiga dalam perkawinan anda. Bayangkanlah jika anda yang ada di posisi istri anda, tentu anda dapat memakluminya bukan. Sebab jika istri anda yang tidak setia, tentu andapun dapat merasa terpukul. Dan memang dibutuhkan kesungguhan hati untuk bertobat, dan untuk kembali setia kepada istri anda, yang kepadanya anda telah berjanji setia sampai seumur hidup di hadapan Tuhan. Mohonlah kekuatan dan kasih dari Tuhan, agar anda dapat kembali mengasihi istri anda, dan agar istri anda dapat menerima dan mengasihi anda kembali.
Saya menganjurkan anda menerima Sakramen Tobat, jika itu belum pernah anda lakukan. Mengaku dosalah di hadapan Tuhan atas segala kesalahan dan dosa anda di masa sebelum menikah sampai sekarang. Semoga dengan rahmat pengampunan Tuhan, anda dikuatkan untuk mengambil keputusan yang benar, sesuai dengan kehendak Tuhan.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
Salam damai Romo Wanta. Melalui forum ini saya ingin menanyakan mengenai persoalan rumah tangga saya. Pada tahun 2002 saya menikah dengan kekasih saya dan dari pernikahan tersebut saya dikaruniai seorang anak laki-laki ( Saya hamil terlebih dahulu sebelum menikah ). Namun di usia pernikahan kami yang ke 2 saya tergoda, dan saya terbawa arus menjalani hubungan dengan seorang laki2 lain di luar pernikahan saya. Dan dalam hal ini, saya mengakui sepenuhnya bahwa itu adalah kesalahan saya. Pada saat suami mengetahui hal ini, kami bertengkar hebat, dan akhirnya kami memutuskan untuk hidup terpisah. Selama hampir 5 tahun ini, kami hidup terpisah, tanpa komunikasi. Dia sangat membenci saya atas kesalahan yang telah saya lakukan.Selama itu juga anak kami satu-satunya ada dalam asuhan suami saya dan keluarga. Saya sudah bertobat, dan benar-benar menyesali perbuatan saya. Saya merasa dikejar – kejar dosa setiap hari. Hidup saya tidak tenang. Namun di saat saya ingin mempertahankan perkawinan saya dan memperbaikinya, ternyata suami saya sudah menemukan wanita lain sebagai pengganti saya sebagai istri dan ibu dari anak saya. Perlu di ketahui wanita tersebut beragama muslim. Suami saya menikahi dia dalam agama islam. Permasalahannya adalah suami sudah menikah dengan perempuan tersebut, dan bahkan sudah dikaruniai seorang anak. Yang ingin saya tanyakan, apakah perkawinan kami dapat dibatalkan? Saya ingin tetap memegang teguh iman katolik saya. Saya saat ini dekat dengan seorang laki2, kami berdua katolik. Tetapi saya masih belum berani untuk mengiyakan lamaran tersebut, karena tidak mungkin bagi saya menikah kembali dalam gereja katolik sebelum ada pembatalan nikah yang sebelumnya. Dan saya tidak ingin berpindah agama, meskipun untuk membina rumah tangga yang saya impikan. Tolong romo, berikan saya saran. Apa yang harus saya lakukan. Agar saya tidak salah jalan. Saya tidak ingin mengulangi kesalahan saya untuk yang kedua kalinya…
Balas
Hertanti Yth
Anda dapat menulis surat permohonan (libellus) ke tribunal perkawinan dimana anda diteguhkan perkawinan kemudian anda akan diproses terlebih dahulu surat permohonan disertakan surat permandian dan perkawinan anda. Ceritakan semua peristiwa kehidupan perkawinan anda dan saksi-saksi yang mengetahui perkawinan anda untuk diinterogasi.
Pihak tribunal akan memutuskan apakah perkawinan anda dapat dibatalkan atau tidak, sesuai dengan hasil pemeriksaan yang mereka lakukan.
Tuhan memberkati
salam
Rm Wanta
Salam bahagia,
Seorang saudara protestan baru ditinggal istri, istri ini nekat kawin dg pria lain meskipun sdr saya tdk mengijinkan.
Jika sdr saya ini menjadi katolik, apakah dia bisa dianggap sdh menerima sakramen pernikahan meskipun dia blm punya anak? bisakah ia menerima sakramen imamat?
Setahu saya St. Agustinus pernah punya cewek, tapi kok bisa jadi uskup ya?
Hukum kanoniknya bagaimana ya?
Yg saya tahu kalau katolik ditinggal istri mau kawin lagi tdk boleh kecuali istri itu meninggal, begitukan.
terima kasih utk yg mau bantu kasih penerangan,
Kuswanto.
Kuswanto Yth
Anda telah menjawab pertanyaan anda sendiri dengan baik. Sehingga saya tidak perlu jawab yang anda tanyakan seperti ttg perkawinan dimana salah satu pihak meninggal dapat masuk dalam perkawinan baru. Agustinus hidup dalam zaman yang belum berlaku KHK, maka konteksnya lain. Perkawinan yang gagal dan kemudian meninggalkan pasagan dan menikah lagi meski dengan orang yang terbaptis tidak otomatis menjadi sakramen karena halangan ikatan perkawinan sebelumnya. Dai tidak bisa menerima sakramen imamat menurut ritus latin jika sudah pernah menikah kecuali ritus timur itupun dari keluarga yang utuh dan baik.
salam
Rm Wanta
Tambahan dari Ingrid:
Mengenai St. Agustinus (354-430):
Walaupun semasa kecilnya St. Agustinus dididik oleh ibunya, St. Monica, secara Katolik, St. Agustinus baru dibaptis setelah dewasa, pada saat berumur 32 tahun (thn 387). Pada masa mudanya St. Agustinus mempelajari banyak ilmu filosofi, yang menghantarnya untuk berpikir kritis tentang Tuhan. Sampai sebelum dibaptis, Agustinus memang hidup bersama dengan seorang wanita, bahkan sampai mempunyai seorang anak, bernama Adeodatus (thn 372). Masa berikutnya ini adalah masa St. Agustinus bergabung dalam aliran Manichaeism.
Setelah 13 tahun St. Agustinus hidup bersama dengan kekasihnya di luar nikah, keduanya memutuskan untuk berpisah (384). Setelah putus dengan wanita itu, sekitar setahun kemudian ia bertunangan lagi dengan seorang gadis yang masih dibawah umur, sehingga ia harus menunggu sampai 2 tahun sebelum gadis itu dapat dinikahinya. Namun kemudian pada tahun 386, setelah membaca riwayat hidup St. Antonius Pertapa, St. Agustinus memutuskan untuk tidak menikah dan hidup selibat untuk melayani Tuhan dalam Gereja Katolik. Pada tahun 387 St. Agustinus bersama dengan anaknya Adeodatus, dibaptis oleh St. Ambrosius.
Maka kasusnya dalam hal ini agak lain, karena walaupun St. Agustinus pernah hidup dengan seorang wanita, mereka hidup tanpa ikatan pernikahan. Dan hal ini dilakukannya sebelum ia dibaptis menjadi Katolik. Demikian pula rencana pernikahannya dengan wanita yang berikutnya, tidak pernah terlaksana. Jadi memang oleh Pembaptisannya, St. Agustinus memperoleh hidup yang baru, meninggalkan hidupnya yang lama termasuk masa lalunya yang hidup di luar ikatan perkawinan. Walaupun demikian, ia tetap bertanggungjawab terhadap anaknya Adeodatus. Anaknya itu akhirnya juga menjadi imam, seperti St. Agustinus, dan wafat lebih dahulu daripada St. Agustinus.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
Salam damai, sebelumnya terimakasih, saya adalah seorang pria katholik menikah dengan wanita berlatar muslim,pada awal pacaran istri saya mau masuk katholik, dia mengikuti katekumen, dibaptis dan kami mengikuti kursus perkawinan kemudian menerima sakramen perkawinan tanpa kehadiran orangtuanya, setelah menikah istri membujuk agar saya mau mengikuti perayaan pernikahan secara adat yang didalamnya ada perkawinan secara muslim(tapi tidak dicatatkan di KUA), dengan pertimbangan ingin berbakti sama mertua dan rasa sayang ke istri saya ikuti. Setelah itu kami hidup sebagai keluarga katholik karena istri masih mau ke gereja sampai dengan saya berangkat tugas yg harus meninggalkan istri selama 1 tahun, sepulang tugas kami dikaruniai putra kembar tapi istri sudah tidak mau ke gereja lagi dengan alasan repot termasuk tidak mau kalau anak kami di baptis karena saya tidak mau ribut saya mengalah tapi saya tetap mencantumkan nama baptis di akte kelahiran, hal ini berlangsung sampai sekarang istri tidak mau ke gereja dan kami telah dikarunia 2 anak kembar lagi. Memang istri tidak melarang saya dan anak2 pergi ke gereja, tapi pengaruh ibu ke anak lebih kuat daripada pengaruh bapak apalagi tuntutan tugas pekerjaan saya yg membuat saya jarang berkumpul bersama keluarga, saya takut anak2 akan ikut ibunya dan saya tetap mempunyai keinginan yg kuat untuk membentuk keluarga katholik tapi disisi lain saya sayang terhadap keluarga. Yang ingin saya tanyakan bagaimana saya harus bersikap menghadapi kondisi ini, terkadang muncul keinginan mengakhiri perkawinan ini bila rasa takut anak2 ikut menjadi muslim di tambah usaha saya membentuk keluarga katholik selama kurun wktu 9 tahun perkawinan tidak kunjung berhasil? Mohon pencerahan dan nasehatnya
Vincentius Yth.
Pendidikan iman katolik harus dimulai dengan membuat komitmen dan kebiasaan yang baru agar iman itu mendalam. Kalau tidak ada kebiasaan seperti doa maka untuk berdoa akan sulit termasuk kebiasaan ke gereja. Mulailah dengan usaha yang sungguh-sungguh agar tidak menjadi kebiasaan buruk. Berbagai alasan bisa dibuat agar tidak ke gereja adalah tanda kemalasan, maka harus dicari jalan keluar. Kehadiran anda yang kurang di dalam keluarga juga mengakibatkan hal itu. Maka sebaiknya mencoba bekerja tidak jauh dari keluarga dan berusaha untuk mencari waktu yg berkualitas untuk bertemu istri dan anak, berdoa bersama ke gereja dll. Anak bisa diikutkan dalam sekolah minggu untuk mendapatkan pendidikan iman katolik. Sedangkan istri yang sudah tidak mau ke gereja jangan dipaksakan tapi coba orang lain bisa mengajak ikut kegiatan di gereja. Kadang melalui ajakan ibu-ibu yang lain dapat menarik kembali istri anda. Semoga berhasil dan berkat Tuhan sertamu.
salam
Rm Wanta
Syalom, Katolisitas
Sebelumnya banyak terima kasih dan saya ingin menanyakan lagi, apa maksud ayat-ayat di Markus 10 : 1-12
Salam kasih
Adnilem.Sg
[Dari Admin Katolisitas: Pertanyaan ini sudah dijawab di atas, silakan klik]
Comments are closed.