Apakah diperbolehkan bagi umat Katolik keturunan Cina untuk melakukan tradisi mendoakan leluhur menurut ‘Ritus Cina’? Berikut ini adalah tulisan yang kami sarikan dari beberapa sumber, terutama dari link ini, silakan klik. Menurut dokumen Plane Compertum Est on December 8, 1939 yang dikeluarkan oleh the Roman Congregation of Propaganda Fide (sekarang disebut the Congregation for the Evangelization of Peoples), umat Katolik Cina dapat melakukan doa menghormati Confusius dan leluhur dengan ritus Cina, karena muatan religius ritus tersebut sudah disekularitaskan sehingga dapat dianggap sebagai perayaan kenegaraan saja. Namun demikian, untuk nama Tuhan, digunakan nama “Tian Zhu(天主)”, sebagai Tuhan Yang Maha Tinggi yang diwahyukan oleh Yesus Kristus; dan instruksi tersebut menolak penggunaan nama “Tian(天)” or “Shangdi(上帝)” untuk Tuhan (Lihat Dekrit Paus Benediktus XIV, Ex Quo Singulari, July 5, 1742, esp. No. 10.). Penghormatan kepada leluhur sendiri tidak bertentangan dengan ajaran Gereja Katolik, yang memang mengajarkan agar perbuatan belas kasih tidak hanya terbatas pada sesama yang masih hidup di dunia ini, tetapi juga kepada mereka yang sudah mendahului kita beralih dari dunia ini, terutama orang tua dan kerabat kita, yang ditunjukkan dengan menguburkan mereka dan mendoakan bagi keselamatan jiwa mereka, khususnya dalam Misa Kudus. Namun menarik untuk dilihat di sini adalah bahwa kebiasaan menghormati leluhur ternyata juga sudah berakar dalam budaya Cina, walau dengan pemahaman yang berbeda. Di sinilah muncul ‘tantangan’ bagi Gereja, tentang bagaimana menyikapinya, agar praktek ini tidak menyimpang dari ajaran iman, namun tidak juga meniadakan tradisi setempat yang sesungguhnya mempunyai makna luhur yang juga diajarkan dalam Kitab Suci.
Apa yang disampaikan oleh Plane Compertum Est (tentang diperbolehkannya upacara penghormatan leluhur) senada dengan yang sudah pernah dikeluarkan oleh Congregation of Propaganda Fide di tahun 1659 yang mengeluarkan instruksi kepada para misionaris agar menghormati adat kebiasaan dan tradisi penduduk lokal. Dokumen yang disampaikan oleh Kongregasi tersebut berbunyi demikian:
“Jangan mempengaruhi orang- orang Cina untuk mengubah ritus mereka, kebiasaan mereka, cara- cara mereka, sepanjang ini tidak secara terbuka berlawanan dengan agama dan moralitas yang baik. Apakah yang lebih bodoh dengan mengimport hal- hal dari Perancis, Spanyol, Italia atau negara- negara lain di Eropa ke Cina? Jangan mengimpor ini semua, tetapi impor-lah iman. Iman tidak menolak atau menghancurkan ritus dan kebiasaan dari sebuah ras, sepanjang semua itu bukan hal yang jahat. Sebaliknya iman mempertahankan mereka. Secara umum, orang- orang menghargai dan menyukai cara mereka sendiri, dan terutama cara bangsa mereka sendiri, lebih daripada cara bangsa lain. Dengan cara itulah mereka tumbuh. Tidak ada sebab yang lebih efektif untuk menimbulkan kebencian dan keterasingan daripada mengubah kebiasaan suatu negara, khususnya kebiasaan yang sudah mendarah daging sejak dulu kala. Ini sungguh benar, khususnya jika di tempat- tempat di mana suatu kebiasaan sudah ditekan, kamu mengganti kebiasaan itu dengan kebiasaan negaramu sendiri. Jangan membenci cara-cara Cina karena berbeda dengan cara- cara Eropa. Sebaliknya, lakukanlah segalanya yang kamu bisa agar menjadi terbiasa dengan cara- cara itu.” (Original Latin text from: Collectanea, I, 1, Rome, 1907, article 135, pp. 42-43. Also in沈保義等,11-12頁(文獻3)
Prinsip yang sama juga diajarkan oleh Paus Gregorius Agung (590-604) yang mengirim surat kepada seorang misionaris Inggris, Uskup Agustinus:
“Saudaraku, saya mengetahui bahwa engkau berpegang dengan sungguh dan tulus kepada kebiasaan- kebiasaan baik yang kau pelajari dari Gereja Roma. Tetapi aku berkata kepadamu, lihatlah hanya kepada hal- hal yang menyenangkan Tuhan yang Maha Besar, tak peduli apakah itu datang dari Gereja Roma, Gereja Perancis, atau Gereja lainnya. Hanya buatlah suatu pilihan yang hati- hati dan gunakanlah itu di Gereja Inggris. Gereja Inggris baru saja menerima iman. Engkau dapat mengumpulkan kebiasaan- kebiasaan dan cara- cara yang terbaik dari Gereja- gereja yang berbeda- beda, dan perkenalkanlah itu kepada Gereja Inggris…” (Epist. 64, Lib. XI, PL 77, Col. 1187)
Paus Gregorius Agung juga mengirimkan pesan melalui Abbas Melitus, kepada Uskup Agustinus di Britainia:
“Jadilah bijaksana, dan jangan menghancurkan kuil-kuil di Inggris. Cukuplah hanya untuk meniadakan berhala- berhala dari kuil- kuil itu. Siapkanlah air suci dan percikilah kuil-kuil itu. Bangunlah altar dan tempatkanlah relikwi suci di dalamnya. Alasannya adalah jika kuil- kuil tersebut indah, cukuplah untuk mengubah kuil-kuil itu yang dulunya dipakai untuk menyembah berhala, untuk dijadikan tempat- tempat menyembah Tuhan yang benar. Jika orang- orang ini melihat kuil- kuil ini tidak dirubuhkan tetapi sekarang telah digunakan untuk menyembah Allah yang benar, maka pemikiran- pemikiran yang salah di dalam hati mereka akan musnah, dan mereka akan berubah untuk mengenal dan menyembah Allah yang benar….” (Epist. 76, Lib. XI)
Paus Pius XII dalam surat ensikliknya Summi Pontificatus, juga mengajarkan hal serupa, dan prinsip ini juga dilestarikan dalam Konsili Vatikan II. Berikut ini adalah perbandingan antara apa yang disampaikan oleh Summi Pontificatus dengan Konstitusi tentang Liturgi Suci (Sacrosanctum Concilium, secara khusus paragraf 37)
Dalam hal-hal yang tidak menyangkut iman atau kesejahteraan segenap jemaat, Gereja dalam liturgi pun tidak ingin mengharuskan suatu keseragaman yang kaku. Sebaliknya Gereja memelihara dan memajukan kekayaan yang menghiasi jiwa pelbagai suku dan bangsa. Apa saja dalam adat kebiasaan para bangsa, yang tidak secara mutlak terikat pada takhayul atau ajaran sesat, oleh Gereja dipertimbangkan dengan murah hati, dan bila mungkin dipelihara dengan hakikat semangat liturgi yang sejati dan asli.
Summi Pontificatus | Sacrosanctum Concilium, 37 |
44. Gereja Kristus … mencari kesatuan dengan semua umat manusia … tidak hanya kesatuan yang bersifat eksternal … ataupun sebuah keseragaman. | Dalam hal-hal yang tidak menyangkut iman atau kesejahteraan segenap jemaat, Gereja dalam liturgi pun tidak ingin mengharuskan suatu keseragaman yang kaku. |
45. Segala sesuatu yang internal dan menjadi ciri khas setiap ras – sepanjang itu tidak bertentangan dengan asal usul dan tujuan akhir umat manusia,…. Gereja sebagai ibu yang berbelas kasihan, menyetujui dan mendukung. | Sebaliknya Gereja memelihara dan memajukan kekayaan yang menghiasi jiwa pelbagai suku dan bangsa. |
46. Untuk beberapa abad yang lalu sampai sekarang, para misionaris telah secara positif dan hati- hati mempelajari sistem budaya dari setiap ras bangsa. Mereka telah memperoleh pemahaman yang mendalam tentang hal ini, dan telah memeriksa ciri- ciri dan hal yang baik dari setiap ras sehingga Injil Kristus dapat menghasilkan buah yang limpah di setiap tempat. Sepanjang hal- hal tersebut tidak mengandung ajaran sesat atau jahat, Gereja selalu mempelajari kebiasaan setiap ras dengan kehendak yang baik, dan jika mungkin, mendukung dan mempertahankannya. | Apa saja dalam adat kebiasaan para bangsa, yang tidak secara mutlak terikat pada takhayul atau ajaran sesat, oleh Gereja dipertimbangkan dengan murah hati, dan bila mungkin dipeliharanya dengan hakikat semangat liturgi yang sejati dan asli. |
Berdasarkan prinsip di atas, kita ketahui bahwa Gereja menerima kebiasaan masyarakat lokal, sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan iman Katolik. Dengan demikian Gereja dapat bertumbuh dan berakar di dalam kehidupan masyarakat setempat, dan membentuk persekutuan iman dan budaya. Prinsip ini sejalan dengan apa yang diajarkan dalam Konsili Vatikan II, tentang Hubungan Gereja dengan Agama- agama non Kristen:
“Demikian pula agama-agama lain, yang terdapat di seluruh dunia, dengan pelbagai cara berusaha menanggapi kegelisahan hati manusia, dengan menunjukkan berbagai jalan, yakni ajaran-ajaran serta kaidah-kaidah hidup maupun upacara-upacara suci. Gereja Katolik tidak menolak apapun yang benar dan suci di dalam agama-agama ini. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar Kebenaran, yang menerangi semua orang. Namun Gereja tiada hentinya mewartakan dan wajib mewartakan Kristus, yakni “jalan, kebenaran dan hidup” (Yoh 14:6); dalam Dia manusia menemukan kepenuhan hidup keagamaan, dalam Dia pula Allah mendamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya.” (Nostra Aetate, 2)
Dengan demikian, hal penghormatan leluhur memang diperbolehkan, namun sepanjang pengetahuan kami, belum ada dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pihak Vatikan, ataupun dari pihak KWI/ Konferensi WaliGereja Indonesia yang menyebutkan secara rinci tentang bagaimana hal penghormatan semacam ini dapat dilakukan [yang sudah ada adalah proposal dari Konferensi Uskup- uskup Taiwan -seperti tertulis dalam link yang anda sertakan- namun sejauh ini kami belum mengetahui apakah proposal ini sudah disetujui oleh Vatikan untuk dapat dilakukan di negara- negara lain]. Namun ada prinsip yang sudah disetujui oleh pihak Vatikan, berdasarkan hasil pembicaraan resmi antara para Uskup Taiwan dengan Mgr. Joseph Caprio pada tanggal 18-19 Juli 1964 tentang hal Penghormatan Leluhur, (sumber: dari situs Keuskupan Agung Singapura) yaitu demikian:
a. Untuk mengenang orang tua/ leluhur, pihak keluarga diperbolehkan untuk menyediakan semacam plakat yang bertuliskan nama orang yang meninggal, tetapi tanpa tambahan tulisan lainnya yang berbau takhayul.
b. Diperbolehkan untuk memberi penghormatan/ sikap hormat di hadapan plakat tersebut, atau foto, atau peti jenazah.
c. Diperbolehkan untuk menyediakan buah atau makanan di depan plakat leluhur atau di kubur mereka.
d. Tidak diperbolehkan membakar kertas uang bagi jenazah, sebab ini mempunyai makna takhayul.
Selanjutnya dasar ajaran Gereja Katolik tentang Mengapa kita mendoakan jiwa orang- orang yang sudah meninggal, klik di sini; dan Bolehkah memohon leluhur mendoakan kita, klik di sini. Penghormatan arwah orang tua sesungguhnya merupakan salah satu bentuk pelaksanaan perintah Tuhan yang ke-empat dalam kesepuluh perintah Allah, yaitu: “Hormatilah ayahmu dan ibumu” (Kel 20:12). Sedangkan hal penguburan dan penghormatan jenazah dengan memberikan sajian makanan itu diajarkan dalam Kitab Suci (lih. Bar 6:26; Sir 7:33, 30:18; Tob 4:17). Orang- orang Yahudi mengikuti kebiasaan ini yang umum dilakukan oleh bangsa-bangsa non-Yahudi, namun untuk maksud yang berbeda. Bangsa-bangsa non Yahudi memandang bahwa jiwa- jiwa orang mati itu yang akan makan persembahan; namun orang-orang Yahudi dan setelah itu orang-orang Kristen, melakukannya untuk memberi makan fakir miskin terutama yang mengurus kubur itu, sehingga mereka dapat turut mendoakan jiwa orang yang meninggal tersebut.
Terhadap keempat poin tersebut, Romo Santo Pr. memberi tambahan informasi demikian:
“Menurut Rm. Agung Wijayanto SJ (doktor sastra china klasik universitas Sanata Dharma), ketika memberi penerangan pada umat Katolik di Kebon Dalem Semarang pada perayaan Imlek tahun 2006, penghormatan dengan batang dupa bisa dilakukan oleh imam di depan altar saja. Karena fungsi dupa menyala/berasap memang untuk menghormati pribadi yang lebih agung, namun bukan untuk jenazah. Sedangkan jenazah hanya boleh didupai sebagaimana lazimnya liturgi pemberkatan jenazah. Sedangkan tambahan pada poin c, tentang penempatan buah-buahan dianggap sejajar dengan penempatan bunga di makam (tabur bunga). Bunga dan buah merupakan puncak adanya pertumbuhan suatu pohon. Maka hasil akhir penyelamatan yaitu hidup bahagia abadi disimbolkan dengan penempatan bunga atau buah. Harapan dengan menempatkan bunga dan buah ialah, semoga kita pun bisa memetik buah penebusan Kristus yaitu hidup bahagia abadi, dan semoga almarhum sudah memetik buah penebusan itu karena Kristus. Buah-buahan dan bunga yang ditempatkan adalah buah-buah dan bunga yang secara budaya lazim dipakai dan tidak memberi batu sandungan, contohnya: bukan buah kersen atau durian atau bunga bangkai.”
Rm. Bosco da Cunha O. Carm, sekretaris eksekutif KomLit KWI juga menambahkan demikian:
“Selalu diizinkan mendoakan arwah dengan budaya apapun termasuk budaya China. Dan harus diakui, simbol-simbol yang dipakai oleh budaya China begitu rumit antar sub suku pun berlainan padahal banyak sekali sub sukunya. Maka diminta keluarga berkonsultasi dengan imam yang akan memimpin upacara. Simbolnya harus dimaknai secara Katolik, seperti halnya pada bunga dan buah itu.”
Maka, sebelum dikeluarkannya urutan resmi yang diijinkan oleh KWI, upacara penghormatan kepada leluhur dapat dilakukan dengan membicarakannya dengan imam yang bersangkutan, dan tentu sebelumnya umat harus diberi penjelasan terlebih dahulu alasannya, agar jangan sampai upacara tersebut menjadi batu sandungan; sebab biar bagaimanapun upacara penghormatan leluhur menurut iman Katolik tidak persis sama dengan penghormatan menurut tradisi Cina. Sebab menurut ajaran iman Katolik, penghormatan kepada leluhur tidak terpisah dari penghormatan kepada Allah Trinitas yang menciptakan, menyelamatkan dan menguduskan orang yang sedang kita doakan, dan penghormatan tertinggi tetap hanya diberikan kepada Allah. Sebab sikap hormat dapat diberikan kepada yang meninggal (umumnya dengan menundukkan kepala), namun sikap penghormatan tertinggi yaitu doa dengan memegang batang dupa/ hio dilakukan oleh imam saja untuk menghormati Tuhan dan bukan untuk menghormati jenazah. Pemahaman ini juga mendasari mengapa plakat nama orang yang meninggal tersebut juga tidak berdiri sendiri, melainkan selalu disertai salib/ crucifix, untuk menggambarkan bahwa janji kehidupan kekal itu diperoleh atas jasa pengorbanan Kristus di kayu salib.
Berikut ini adalah teks doa-doa yang umum digunakan untuk mendoakan jenazah:
“Tuhan, ingatlah akan hambamu …. (sebutkan namanya/ nama- nama mereka). Mereka mempunyai materai iman. Mereka telah pergi mendahului kami, dan sekarang telah beristirahat. Tuhan, kami mohon untuk memberikan kepada mereka, dan mereka yang telah beristirahat di pangkuan Kristus, sebuah tempat peristirahatan, yang terang dan damai.” (dari terjemahan teks Roman Eucharistic Prayer). Teks ini sesuai dengan pesan Mzm 23, bahwa Kristus sebagai Gembala yang baik akan menghantar jiwa orang- orang beriman untuk beristirahat dalam damai. Gambar- gambar tentang orang- orang mati yang sedang makan di perjamuan Kerajaan Surga telah digambarkan dalam fresco di dinding- dinding gereja bawah tanah (katakomba) abad- abad awal di Roma. Maka tradisi penghormatan leluhur ini juga bermanfaat untuk mengingatkan kita akan tujuan akhir kita untuk mengambil bagian di dalam perjamuan surgawi dalam Kerajaan Surga (lih. Luk 14:15; Why 19:19).
“Saudara/i …. (nama orang yang meninggal), kami memerciki engkau dengan air untuk memberkatimu, dan untuk mengenang Baptisan yang engkau terima. Semoga engkau melupakan segala kekuatiran yang engkau miliki di dunia, dan dengan suka cita mengikuti Kristus untuk masuk dalam kehidupan kekal.” (lihat juga KGK 1472-1473)
“Saudara/i …. (nama orang yang meninggal), engkau adalah seorang yang dikasihi Tuhan. Kami menghormatimu dengan wangi- wangian (incense) yang harum sebab Allah Bapa sudah menciptakanmu, Allah Putera telah menyelamatkanmu, dan Allah Roh Kudus telah tinggal di dalam-mu. Semoga perbuatan- perbuatan baikmu mengikuti engkau seperti dupa yang kudus, dan semoga Tuhan menerimanya. Ketika Kristus datang kembali, semoga engkau bangkit dan masuk ke dalam kehidupan kekal.” (lih. Why 14:12-13; 2Kor 2:15; KGK 1015-1019)
“Tuhan yang Maha Kuasa, di dalam Engkau orang-orang yang meninggal memperoleh hidup, dan para orang kudus memperoleh kebahagiaan yang sempurna. Kamu mohon dengarkanlah doa- doa kami untuk hamba-Mu (nama orang yang meninggal). Ia tidak lagi terikat dengan dunia ini. Terimalah dia ke dalam kota surgawi, di mana ia dapat melihat Engkau di dalam kemuliaan-Mu yang penuh belas kasih dan bantulah kami juga agar bertemu dengan Engkau di surga (terjemahan The Collect for Paschal week, 90)
Demikianlah pembahasan tentang topik Penghormatan Leluhur menurut tradisi Cina yang dapat diterima oleh Gereja Katolik, menurut pemahaman kami di Katolisitas. Semoga berguna bagi kita semua.
Selamat siang dan salam sejahtera dalam Kristus :)
Dear Katolisitas.org Team.
Saya menulis pesan ini sehubungan dengan kebimbangan saya akan larangan2 dan batasan2 dalam agama katolik.
Saya pribadi pada awalnya adalah pengikut agama budha (karna sebagian besar keluarga beragama budha, namun saya belum dibaptis secara budha, lalu sejak tahun 2010 lalu saya sudah dibaptis menjadi umat katolik.
Tetapi setiap malam tahun baru saya bersembahyang menggunakan hio sebagai penghormatan kepada kakek dan nenek sekaligus mengucapkan selamat tahun baru imlek.
Yang menjadi pertanyaan saya adalah, apakah dan bagaimanakah hukumnya di agama katolik itu sendiri berkenaan dengan “sembahyang dengan mengunakan hio”, apakah boleh atau tidak boleh?
Demikian dan Terima kasih atas perhatiannya.
Tuhan Yesus Memberkati :)
Lie
[Dari Katolisitas: Silakan membaca jawaban kami atas pertanyaan serupa, di sini, silakan klik. Dan silakan juga membaca artikel tentang Penghormatan kepada Leluhur di atas, silakan klik. Silakan untuk selanjutnya menggunakan fasilitas pencarian di sisi kanan atas homepage, jika Anda masih mempunyai pertanyaan-pertanyaan tentang ajaran iman Katolik. Silakan ketik kata kuncinya, lalu enter. Semoga Anda dapat menemukan artikel yang terkait dengan topik yang ingin Anda ketahui bersebut. Jika belum ada, silakan ditanyakan, dan nanti kami akan berusaha menjawabnya. ]
Yth. Pak Stef & Bu Inggrid
Mohon tanya, bagaimana menurut ajaran Katolik mengenai kebiasaan berdoa untuk arwah yang sudah meninggal, yang biasa dilakukan oleh keturunan Tionghoa, dengan menyajikan makanan di meja dan berdoa menggunakan dupa.
Terima kasih untuk pencerahannya.
[dari Katolisitas: silakan membaca uraian penjelasan dari pertanyaan Anda ini di artikel di atas “Tentang penghormatan kepada leluhur“]
Dear Ingrid & Stefan,
Seorang ayah keturunan Tionghoa mempunyai,putra dan puteri katolik meninggal dunia. Semasa hidupnya ayah tersebut tidak menganut agama tertentu dan waktu ditanya juga tidak ada kerinduan untuk dibaptis. Anak-anaknya berkeinginan memberkati jenazah ayahnya dan mengantarkannya ketempat perabuan menurut tata cara katolik, tetapi semua romo yang dimohon menolak sebab beliau bukan maupun simpatisan katolik. Anak-anaknya kebingungan karena semua prodiakon diparokinya juga mengikuti jejak romonya, meskipun akhirnya ada seorang prodiakon dari paroki lain yang bersedia. Dalam hal ini bagaimana sebenarnya sikap gereja? Terima kasih dan Berkah Dalem.
Submitted on 2013/02/19 at 7:42 am
Salam kasih dalam Kristus,
comment kami tanggal 15 Februari 2013 telah berkembang lebih lanjut :
2 hari sebelum hari perabuan, seorang romo paroki berubah sikap menawarkan misa requiem pada malam hari menjelang hari perabuan. Tentu saja hal ini disambut positif dan gembira oleh putri yang meninggal yang juga seorang aktivis gereja. Pemberangkatan ke tempat perabuan dipimpin oleh seorang prodiakon dari paroki lain, sebab prodiakon dari paroki sendiri tetap menolak. Tapi tidak bisa dielakkan lagi timbul kontroversi yang lebih panas antara yang pro dan kontra.
Semoga kami diberi pencerahan untuk menjadi acuan bersikap bila kejadian semacam ini berulang lagi.
Terima kasih & Shalom bagi seluruh pengasuh Katolisitas.org
Salam Agustinus,
Konvensi di masyarakat ialah bahwa adalah hak keluarga untuk memutuskan apakah pemakaman anggota keluarga diselenggarakan secara agama tertentu maupun secara sekuler. Karena itu, jika keluarga sudah sepakat, bahwa jenazah dikuburkan/kremasi secara Katolik, maka Gereja Katolik berkewajiban melayani. Masyarakat menghormati konvensi ini.
Dari sisi teologis, kita mendoakan semua arwah manusia, karena Tuhan ingin semua diselamatkan. Bahkan lihatlah dalam misa (Doa Syukur Agung), kita mendoakan semua arwah, siapapun.
Salam
RD. Yohanes Dwi Harsanto
Shalom,
Dalam Wahyu 2:6 dan Wahyu 2:15, disebutkan tentang ajaran-ajaran Nikolaus. Wahyu 2:6. “Tetapi ini yang ada padamu, yaitu engkau membenci segala perbuatan pengikut-pengikut Nikolaus, yang juga Kubenci.”
Wahyu 2:15. “Demikian juga ada padamu orang-orang yang berpegang kepada ajaran pengikut Nikolaus.”
Wahyu 2:16. “Sebab itu bertobatlah! Jika tidak demikian, Aku akan segera datang kepadamu dan Aku akan memerangi mereka dengan pedang yang di mulut-Ku ini.”
Apakah ajaran Nikolaus itu? Mari kita bahas bersama.
NIKOLAUS Berdasarkan Study Bible New American Standard Bible dijelaskan bahwa Nikolaus adalah salah seorang jemaat Tuhan pada gereja mula-mula. Alkitab menjelaskan di Kisah 6:5 bahwa Nikolaus adalah seorang penganut agama Yahudi dari Antiokhia, dan ia menjadi jemaat Kristus. Artinya Nikolaus adalah seorang pemeluk agama Yahudi yang telah menerima Kristus sebagai Tuhan.
AJARAN NIKOLAUS Sebagai salah satu jemaat yang ditugaskan untuk melayani, Nikolaus mengajarkan juga Firman Tuhan. Tetapi terbukti bahwa ajaran Nikolaus sangat dibenci oleh Tuhan Yesus.
Wahyu 2:6. “Tetapi ini yang ada padamu, yaitu engkau membenci segala perbuatan pengikut-pengikut Nikolaus, yang juga Kubenci.”
Nikolaus ternyata adalah seorang penyesat! Ajaran Nikolaus adalah ajaran yang mentolerir budaya/tradisi/kebiasaan paganisme. Nikolaus mengajarkan tidak apa-apa beribadah kepada Yesus tetapi juga melakukan tradisi/praktek/budaya paganisme.
Perlu diketahui bahwa salah satu budaya paganisme saat itu adalah seperti “makan persembahan berhala”, “perzinahan”,”penyembahan kepada patung”, dan hal-hal lainnya.
Ajaran-ajaran Nikolaus ini, tanpa disadari oleh anak-anak Tuhan telah meracuni anak-anak Tuhan pada saat itu, bahkan praktek-praktek tersebut masih sering terlihat hingga saat sekarang ini.
Contoh : Masih ada para pengikut Kristus yang pergi ke dukun, terlibat dalam perzinahan, percaya feng shui, percaya ramalan, terlibat dalam okultisme, terlibat dalam penyembahan kepada patung, penyembahan kepada manusia dan lain-lain.
Kompromi-kompromi dengan budaya paganisme di dalam diri anak-anak Tuhan ini dimulai melalui Nikolaus. Anak-anak Tuhan menjadi penuh toleransi, bahkan yang lain tidak mau mendisiplinkan mereka yang berkompromi ini.
Jemaat Efesus menolak mentah-mentah para pengikut Nikolaus ini. Hal ini ditulis di Wahyu 2:6. Tetapi pada jemaat Pergamus, jemaat ada yang bertoleransi dan menjadi pengikut-pengikut Nikolaus ini, Wahyu 2:15.
AJARAN BILEAM Berdasarkan Study Bible New American Standard Bible dijelaskan bahwa Bileam adalah tukang tenung dari Mesopotamia yang diperintahkan oleh Balak, raja Moab, agar ia mengutuki bangsa Israel. Kisah tentang Bielam ini dapat dibaca di Bilangan 22 – 24, dan Ulangan 23:4.
Ajaran Bileam adalah ajaran yang mengajarkan toleransi juga terhadap paganisme. Adalah hal yang biasa saja apabila anak-anak Tuhan melakukan perzinahan, karena bisa bertobat dan meminta pengampunan kembali.
Bileam saat itu menyerukan kepada bangsa Israel adalah tidak apa-apa bagi mereka untuk memakan makanan persembahan berhala dan berzinah dengan bangsa-bangsa di Kanaan. Bileam adalah contoh dari seorang guru yang mempengaruhi orang untuk meninggalkan Tuhan dan menyembah berhala.
Berikut ini adalah ilustrasi Bileam ketika ia mengajarkan kesesatannya.
RENUNGAN Arti kata Kristen adalah pengikut Kristus. Jika kita menyebut diri kita pengikut Kristus, maka sudah selayaknya kita meneladani apa yang Kristus ajarkan.
1 Petrus 1:14-16. “Hiduplah sebagai anak-anak yang taat dan jangan turuti hawa nafsu yang menguasai kamu pada waktu kebodohanmu, tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu, sebab ada tertulis: Kuduslah kamu, sebab Aku kudus.”
Tuhan Yesus sendiri melalui wahyu yang diberikanNya kepada Yohanes di pulau Patmos mengatakan agar kita yang masih mempraktekkan ajaran Nikolaus dan ajaran Bileam ini utuk bertobat. Jika tidak Tuhan sendiri yang akan memerangi mereka.
Wahyu 2:16. “Sebab itu bertobatlah! Jika tidak demikian, Aku akan segera datang kepadamu dan Aku akan memerangi mereka dengan pedang yang di mulut-Ku ini.”
Tuhan Yesus memberkati.
ini merupakan kutipan dari http://artikel.sabda.org/nikolaus_dan_bileam
yang sempat membuat saya bingung apakah saya harus mentoleransi sebuah tradisi? sedangkan saya tidak mungkin melupakan jasa dari pengorbanan orang tua kepada anak-anak nya (ortu kami)
Terima kasih
Shalom Benedictus,
Secara prinsip, tradisi yang baik dan tidak mengaburkan iman Katolik tentu saja dapat dilaksanakan. Sebagai contoh, tradisi untuk saling memberikan salam dan saling memberi pada saat perayaan imlek tentu saja masih dapat dilaksanakan. Namun, kita tidak perlu lagi bersembahyang di tempat ibadah yang lain, selain Gereja. Kita juga tetap dapat mendoakan orang-orang yang kita kasihi dengan meminta ujud Misa, yang kita percayai sebagai bentuk penyembahan yang tertinggi dan yang sungguh telah diperintahkan oleh Kristus sendiri. Dengan meminta ujud misa dan tidak melalui cara yang lain, maka kita sebenarnya telah memberikan yang terbaik kepada orang tua kita. Semoga dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Dear tim katolisitas,
shalom!
lingkungan klrg saya semua katolik tetapi kami masih mengikuti
tradisi tionghoa. misalnya sesuai tgl tertentu ada sembayang utk
menghormati nenek moyang, trus kalau bulan april ada sembayang di kuburan (memberi makan nenek moyang / chim bing).
yang ingin saya tnykan :
apakah sbg seorang katolik kita masih boleh mengikuti tradisi nenek moyang tsb? boleh memegang hio?
mohon infonya, terima kasih
Shalom Carolyn,
Gereja Katolik mengajarkan kita untuk mengasihi sesama, termasuk di antaranya mereka yang sudah meninggal dunia. Kunjungan ke tempat pemakaman ataupun mendoakan mereka yang sudah meninggal merupakan bentuk perbuatan kasih kita kepada mereka. Caranya mendoakan mereka yang sudah meninggal ini, menurut Gereja Katolik adalah dengan memohonkan ujud Misa Kudus.
Tentang topik Mengapa Kita Mendoakan Orang-orang yang Sudah Meninggal, silakan klik di sini.
Maka silakan mendoakan jiwa-jiwa orang tua/ kerabat Anda yang telah meninggal dunia, dengan mengajukan ujud Misa Kudus pada masa Chim Bing. Silakan pula mengunjungi makam kerabat Anda berdoa secara iman Katolik di sana. Jika Anda ingin makanan, maka silakan membagikan makanan tersebut kepada orang-orang miskin, atau kepada mereka yang mengurus kuburan kerabat Anda itu, namun makanan itu bukan untuk dipersembahkan kepada arwah orang yang sudah meninggal. Dalam kitab Tobit (Tob 4:17) dikatakan bahwa tradisi membawa makanan ke kubur diperbolehkan, jika maksudnya adalah untuk dibagi-bagikan kepada orang miskin. Selanjutnya tentang penjelasan mengenai ayat ini, klik di sini.
Sedangkan tentang topik tentang Penghormatan kepada Leluhur, silakan klik di sini.
Tentang Bolehkah Memohon Leluhur Mendoakan kita, klik di sini.
Sepanjang pengetahuan saya, tidak ada ketentuan resmi dari pihak Vatikan tentang apakah umat Katolik boleh memegang hio/ batang dupa. Menurut Rm. Agung Wijayanto SJ (doktor sastra china klasik universitas Sanata Dharma) penghormatan dengan batang dupa bisa dilakukan oleh imam di depan altar saja. Karena fungsi dupa menyala/berasap memang untuk menghormati pribadi yang lebih agung, namun bukan untuk jenazah. Sedangkan jenazah hanya boleh didupai sebagaimana lazimnya liturgi pemberkatan jenazah.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Bu Ingrid,
terima kasih utk jawabannya.
Terkait dgn yg dijelaskan di ulasan sebelumnya (berdasarkan catatan
dari keuskupan agung singapura), yg sy ingin tny kan :
d. Tidak diperbolehkan membakar kertas uang bagi jenazah, sebab ini mempunyai makna tahayul.
yg sy tahu bahwa biasanya tradisi cina ada yg membakar kertas dgn tercetak angka nominal uang, ada juga yg berupa kertas biasa yg tdk ada ada angkanya (misal : motif tertentu). apakah kertas spt ini juga tdk diperbolehkan?
Bu, bolehkan saya minta saran. Misalnya hal ini tdk boleh, bagaimana
cara sy menjelaskan ke keluarga besar sy yg pemikirannya masih sangat “kental” mengenai tradisi cina (wlpn mrk katolik).
terima kasih, GBU
Shalom Carolyn,
Sesungguhnya yang menjadi pertanyaan, apakah makna dari pembakaran kertas itu. Jika tidak ada nominalnya, maka yang harus dipertanyakan selanjutnya adalah, kalau begitu melambangkan apa? Sebab entah ada nominalnya atau tidak, nampaknya itu bermaksud untuk melambangkan uang. Maka dikatakan bahwa pembakaran ini berbau tahyul, sebab seolah-olah bermaksud memberi bekal uang ataupun kekayaan kepada jiwa orang yang meninggal. Hal inilah yang tidak benar, sebab di alam setelah kematian badan, jiwa tidak berurusan lagi dengan kekayaan, entah dalam bentuk uang ataupun barang. Menurut ajaran iman Katolik, jiwa orang yang meninggal itu akan diadili/ dihakimi oleh Kristus (lih. Ibr 9:27), dan yang berpengaruh di sini adalah perbuatan orang itu (lih. Mat 16:27; 1 Ptr 1:17) dan bukan dari harta miliknya. Pekerjaan itu akan diuji seperti melalui api (lih. 1 Kor 3:12-15), dan api ini dikenal dengan istilah Api Penyucian. Bagi umat Katolik, bentuk doa yang paling berguna untuk mendukung jiwa-jiwa kerabat kita yang sudah meninggal dunia dan sedang dimurnikan dalam Api Penyucian itu adalah dengan mengajukan intensi Misa Kudus. Hal ini sejalan dengan yang diajarkan dalam Kitab Makabe (lih. 2Mak 12:38-45), yaitu dengan mendoakan keselamatan arwah dengan mempersembahkan kurban di bait Allah. Kita mempersatukan kurban permohonan kita untuk mendoakan arwah itu, dengan Kurban Kristus yang sempurna. Oleh jasa pengurbanan Kristus inilah, kita memperoleh pengharapan bahwa Tuhan akan berkenan mengabulkan doa permohonan kita, dan jiwa-jiwa yang kita doakan dapat segera disatukan dengan Allah di Surga. Doa-doa dalam kurban Ekaristi inilah yang akan naik ke hadirat Allah dengan lebih berdaya guna mendukung jiwa-jiwa kerabat kita tersebut, dan bukannya asap dari kertas uang-uangan itu.
Kristus telah menjanjikan bagi kita yang percaya, jika kita setia mengimani Dia sampai akhir, Ia menyediakan tempat bagi kita di rumah Bapa (lih. Yoh 14:1-14). Dengan demikian tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi tentang kesejahteraan kita di sana; sebab Allah pasti telah menyediakan segalanya, dengan segala kesempurnaannya, bahkan yang tak pernah terpikir/ timbul dalam hati kita (lih. 1 Kor 2:9). Dengan demikian, sesungguhnya, sudah tidak diperlukan lagi bekal jasmani yang terbatas sifatnya (entah makanan, minuman, uang, kekayaan) di Surga.
Akhirnya, memang diperlukan kebijaksanaan untuk menyampaikan kepada pihak keluarga besar Anda. Namun justru kalau mereka Katolik, dan mempunyai keterbukaan hati untuk mendengarkan ajaran iman Katolik, sesungguhnya tidak ada yang perlu dirisaukan. Di samping itu perlu disadari bersama, bahwa Gereja Katolik cukup terbuka untuk menerima tradisi budaya, sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran iman. Maka, jika setelah kita mengetahui alasannya, dan baik dengan akal budi maupun iman, kita dapat menerima alasan tersebut, mari dengan kerendahan hati dan ketaatan seorang murid, kita melaksanakan ketentuan penghormatan kepada jiwa-jiwa yang sudah meninggal itu, sesuai dengan ajaran iman kita. Mari kita mentaati apa yang menjadi kehendak Allah, dan bukannya apa yang menjadi kehendak kita manusia. Ini adalah bentuk yang paling sederhana dari kasih kita kepada Kristus, yang telah lebih dahulu mengasihi kita dengan mengurbankan segala-galanya bagi kita.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Kepada ibu Inggrid.. saya Katolik bagaimana dengan warisan keris yang turun temurun dari nenek moyang..karena saya juga mendapatkan itu. Trima kasih
Salam Soero,
Keluarga Jawa ada yang memiliki keris, termasuk ayah saya mewarisi keris warisan kakek, yang juga warisan turun temurun dari kakek buyut dan seterusnya. Sebagai orang Katolik, kita menanggapi apapun yang diwariskan oleh leluhur, baik tanah, aksesoris, rumah, senjata tradisional, kendaraan tradisional, alat makan tradisional, alat kerja tradisional, dsb secara proporsional. Sesuai ajaran Gereja dalam katekismus, kita memperlakukan semua hal yang dipercayakan kepada kita dengan tanggungjawab akan fungsinya bagi manusia. Kita tidak memperlakukan keris sebagai sesuatu yang tanpanya seolah dunia runtuh. Keris hanyalah “sipat kandel” (arti harafiahnya, pembuat percaya diri), atau aksesoris yang membuat percaya diri, jika digabungkan dengan pakaian adat. Karena, jika memakai pakaian adat tanpa keris, merasa tidak percaya diri atau tidak “matching” atau ada sesuatu yang kurang lengkap. “Sipat kandel” (sesuatu yang membuat percaya diri) yang sejati bukanlah senjata tradisional keris namun “kruis” (bhs Belanda), salib, yaitu Sang Tersalib, Yesus Kristus.
Memang, sebagai warisan hasil budi daya leluhur, kita menghargai peninggalan budaya itu, dengan merawatnya sebagai koleksi.
Salam
Yohanes Dwi Harsanto, Pr
trima kasih Romo Harsanto..atas pencerahanya. hanya kadang yang buat kita bingung…setiap bulan suro kita harus memandikan…dll apa hal ini diperbolehkan.
salam
Salam Soero,
Pertama-tama, harus ditekankan selalu bahwa Gereja Katolik menolak “klenik”, takhayul, okultisme. Gereja diutus mewartakan Injil kabar gembira dengan gembira, bertindak berdasar akal sehat dan bisa dipertanggungjawabkan dengan memuliakan Allah dan menjunjung martabat manusia.
Memandikan / “menjamas” benda-benda warisan sebenarnya bisa dipertanggungjawabkan secara simbolik, tidak karena klenik (jika tidak dimandikan rohnya marah, dsb. Namun, tindakan itu dilakukan sebagai simbol pembersihan diri dan syukur di tahun baru 1 Suro. Benda pusaka menyimbolkan juga waktu yang mengalir dari masa lalu ke masa kini dan masa depan. Namun membersihkan diri dan syukur tidak hanya dilakukan dengan mencuci benda pusaka saja, dan jangan direduksi dengan hal itu saja. Orang Katolik paling pas mengungkapkannya dengan refleksi, menerima sakramen Tobat dan merayakan Ekaristi. Tambah lagi, koleksi benda berharga tidak harus menunggu setahun dirawat atau dibersihkan jika memang diperlukan.
Salam
Yohanes Dwi Harsanto Pr
salam romo
trima kasih sekali lagi romo. Itulah terkadang kita2 yang tidak tahu..terlalu mengandalkan sesuatu barang. Satu pertanyaan lagi romo..bagaimana dengan rosario yang sudah diberkati tentunya, dan mungkin sudah bertahun2 dipakek doa, terkadang dalam hati saking percayanya rosario ini mempunyai kekuatan,ya seperti keris itu,apa hal ini juga bisa disebut klenik romo. Trima kasih sebelumnya
salam
Salam Soero,
Ya, seuntai rosario yang dipakai di luar maksudnya sebagai alat doa, adalah klenik. Tidak hanya rosario, tetapi bahkan penggunaan semua alat doa, alat liturgi, sarana ibadat yang dilakukan di luar maksud Gereja, akan menjadi praktek yang menyeleweng. Praktek yang menyeleweng itu bisa klenik (mengagung-agungkan benda itu) atau sebaliknya malah mempraktekkan sakrilegi (melecehkan, menyalahgunakannya untuk kepentingan duniawi). Alat doa ialah alat untuk berdoa, memuliakan Allah, memohon rahmat-Nya, bukan malah memuliakan alatnya itu. Bisa menjadi pelanggaran terhadap perintah pertama dalam dekalog.
Salam
Yohanes Dwi Harsanto, Pr
Hi warga katolisitas,
Ketika saya mengikuti isteri dan keluarga mertua menziarahi pusara ayah mertua, memasang lilin dan membaca doa. Saya melihat keluarga isteri mengeluarkan beberapa wang syiling (coins), dan meletakan atas pusara (kubur). Saya agak itu tidak perlu dan bukan ajaran Kristen?
Minta pandangan warga katolisitas.
Salam penuh kasih sayang,
kenzo
Shalom Kenzo,
Terus terang saya belum pernah mengetahui ada kebiasaan meninggalkan uang koin di kubur. Maka silakan ditanya saja maksudnya, sebab jika maksudnya untuk memberi sedekah kepada fakir miskin yang membersihkan kubur, maka meninggalkan uang di kubur dapat dibenarkan; tetapi jika motivasinya untuk ‘memberi uang kepada jiwa yang meninggal’ itu tidak sesuai dengan iman Kristiani; sehingga tidak perlu dilakukan oleh orang Katolik.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Shalom bu inggrid, bgaimna dgn tradisi menyalakn rokok di makam? apakh hal itu jg diperbolehkan? thanks.
[Dari Katolisitas: Syaa belum pernah mendengar ada tradisi semacam itu. Prinsipnya jika tradisi itu mengalir dari apa yang sifatnya tahayul, maka tidak diperbolehkan.]
syaloom,
saya sebenarnya ingin bertanya.
Saya pernah sakit, lalu berobat ke dokter. Udah beberapa rumah sakit saya jalani tapi blom juga sembuh. Lalu ada anggota keluarga yang mengajak dan menunjukkan seorang ustadz yg pengobatannya secara ramuan tradisional. Dalam pengobatannya ustadz tersebut juga menggunakan air mineral yg sudah di doakan ustadz tersebut, pemakaian air mineral itu kalo non Muslim diminum tp sebelum diminum harus didoakan menurut agama dan kepercayaannya masing masing. Setelah setahun lebih saya berobat keluhan saya kadang hilang kadang kambuh lagi. Lalu saya dikenalkan dengan hamba Tuhan dari Pentakosta lalu didoakan …kemudian hamba Tuhan tersebut secara halus melarang saya jgn kebaktian lagi di Katolik karna saya seorang Katolik, hamba Tuhan tersebut mengatakan Katolik tidak benar. Saya hampir terpengaruh karena argumen yang dipaparkan kepada saya. Lalu dalam suatu proses yg tanpa saya sadari saya akhirnya pergi dari rumah hamba Tuhan tersebut dengan perasaan berdosa. Lalu saya browsing mencari cari kebenaran dan doktrin Katolik dan menemukan site ini. Puji Tuhan sekarang saya sudah diteguhkan melalui membaca forum tanya jawab. Pertanyaan saya adalah : 1. apakah saya berdosa sudah berobat ke ustad? 2. haruskah sekarang saya melakukan pengampunan dosa ?
Salam dalam damai Tuhan kita Yesus Kristus dari saya yg kurang beriman dan berdosa..amin
Shalom Jonni,
Terima kasih atas sharingnya. Kita tidak tahu apa yang telah dilakukan oleh orang itu pada waktu mendoakan anda. Namun, saya ingin menyarankan, agar anda dapat melakukan Pengakuan Dosa dan menceritakan seperti yang anda tulis. Pastor nanti akan memberikan nasihat dan penitensi yang berguna bagi kehidupan spiritual anda. Mari kita bertumbuh dengan sarana yang pasti yang telah diberikan Tuhan, yaitu melalui ilmu medis kalau kita sakit, maupun Sakramen Ekaristi dan Sakramen Tobat. Dan tentu saja, kita juga dapat meminta doa dari orang-orang yang kita pandang mempunyai hubungan dekat dengan Tuhan, seperti pastor, dll. Namun, jangan melupakan bahwa Sakramen Ekaristi adalah bentuk penyembahan yang paling sempurna, karena Kristus sendiri hadir secara nyata dan menyediakan Diri-Nya untuk bersatu dengan kita.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
salom pak Stef
Terima kasih atas nasehat nya …
Salam bu Ingrid,
Berarti saya sbg umat biasa jika ikut doa untuk leluhur pd acara tertentu menurut tradisi Cina (spt pd saat xin cia, cheng beng atau djit gwee) saya ngga boleh pake hio ya, meski berdoa dng iman sbg seorang Katolik—klo menurut sdra” saya yg Kong Hu Chu kita berdoa pd arwah, kalau saya berdoa pd Tuhan agar arwah leluhur diberi ketenangan di sana…..
Karena bbrp saat lalu saya pernah mendengar di lingkungan saya mengenai hal ini, asal kan kita berdoa pd Tuhan maka hal itu diperbolehkan
Trima kasi
Shalom Michael,
Pada prinsipnya Gereja Katolik tidak melarang umat Katolik mendoakan leluhur; namun pelaksanaannya sedapat mungkin tidak menimbulkan salah persepsi dan menjadi batu sandungan. Seperti telah disebutkan di atas, berdoa dengan menggunakan hio ke arah kubur/ plakat nama leluhur dapat menimbulkan salah persepsi, seolah kita menyembah leluhur, dan karena itu dihindari. Silakan mendoakan arwah leluhur dengan mengajukan namanya sebagai ujud Misa kudus, dan selebihnya anda dapat mengikuti tradisi mendoakan leluhur, termasuk membersihkan kubur dan berdoa di sana, namun tidak menggunakan hio. Anda dapat meletakkan buah atau bunga, tentu dengan maksud dan makna yang berbeda, seperti yang juga telah disebutkan di atas.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Kalo hanya bertujuan melestarikan tradisi apa salahnya??? yg pentingkan niat dan iman tetap kepada Alah yg kita sembah………..apa beda hio sama bunga sama lilin dan buah?????? semua tegantung persepsi dan harap diingat persepsi itu selau bernilai subyektif termasuk persepsi anda bu Inggrid
Shalom Glen,
Tidak ada yang salah dengan melestarikan tradisi, hanya sedapat mungkin kita harus mempertahankan tradisi yang sejalan dengan iman Kristiani yang kita anut, yaitu hanya memberikan penyembahan kepada Tuhan saja.
Tentang anjuran untuk tidak menggunakan hio (batang dupa) itu bukan persepsi saya pribadi, tetapi dikatakan oleh Rm. Agung Wijayanto SJ (doktor sastra china klasik universitas Sanata Dharma), ketika memberi penerangan pada umat Katolik di Kebon Dalem Semarang pada perayaan Imlek tahun 2006. Penghormatan dengan batang dupa (hio) bisa dilakukan oleh imam di depan altar saja. Karena fungsi dupa menyala/berasap memang untuk menghormati pribadi yang lebih agung, namun bukan untuk jenazah. Sedangkan jenazah hanya boleh didupai sebagaimana lazimnya liturgi pemberkatan jenazah.
Saya tidak mendalami sastra China dan saya tidak mengetahui tentang makna simbol- simbol dalam budaya China. Namun jika dikatakan demikian oleh ahlinya, mari kita mengikutinya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Hati-hati berdalih, Tuhan itu pecemburu adanya!!!GBU.
[Dari Katolisitas: Kami tidak sedang berdalih, namun kami hanya menjalankan apa yang menjadi kehendak-Nya. May God bless you, too].
http://www.mirifica.net/artDetail.php?aid=3815
Bagaimana pendapat Katolisitas? Kok sepertinya menimbulkan batu sandungan ya?
[Dari Katolisitas: pesan ini digabungkan karena masih satu topik]
Tambah:
http://www.catholic.org.sg/liturgy/bulletins/7%20-%20Ancestors%20Veneration.htm
[Dari Katolisitas: Pertanyaan ini sudah dijawab di atas, silakan klik]
Apa ada “tips” mengenai apa yang harus dilakukan supaya berhasil menolak cara sembahyang seperti ini dengan halus dan sopan?
Mengingat keadaan sulit saya sebagai salah seorang orang Katolik paling muda, dalam keluarga besar yang sebagian besar non Katolik, di mana saudara-saudara lain yang Katolik banyak yang pegang miskonsepsi (sesat) populer seperti “orang Katolik kan boleh sembahyang dengan cara Chinese, kan boleh pegang hio, dsb dsb”. Plus ada anggota keluarga saya yg Kristen Protestan yang mengatakan “saya memang tidak diperbolehkan sembahyang ini oleh pendeta saya, cuma saya tetep saja akan sembahyang dengan cara Chinese ini tuh. Kan kita bukan menyembah, tapi menghormati, dsb, dsb. (ini jelas sebuah kompromi, dan menurut saya bukan sebuah kebijaksanaan).
Kompromi dan miskonsepsi ini akan semakin memojokkan saya ketika saya berusaha menolak.
Mohon bantuannya. Saya tidak ingin dipaksa menyembah arwah dengan cara Chinese lagi.
Terima kasih
Shalom Laurentius,
Silakan membaca artikel di atas tentang penghormatan leluhur, silakan klik.
Disebutkan di sana bahwa pada prinsipnya Gereja Katolik tidak menolak tradisi untuk menghormati leluhur, namun pelaksanaannya perlu disesuaikan menurut ajaran iman Kristiani. Rm. Agung Wijayanto SJ, seorang pakar sastra China klasik, pernah mengatakan bahwa bersembahyang menggunakan hio (dupa batangan) mempunyai konotasi penyembahan kepada pribadi yang lebih tinggi dari manusia, oleh karena itu, sembahyang menggunakan batang dupa (hio) hendaknya dilakukan oleh imam saja, dan dilakukannya untuk penghormatan kepada Tuhan dan bukan kepada jenazah.
Mengenai cara memberi tahu pihak keluarga, kami serahkan kepada anda. Saya percaya, jika pada intinya anda tetap bergabung dengan keluarga dalam acara penghormatan tersebut, dan tetap menunjukkan penghormatan kepada leluhur anda dan bahkan anda telah mengajukan nama- nama mereka untuk didoakan secara khusus sebagai intensi Misa Kudus, maka besar pengharapan saya, pihak keluarga anda dapat memahami posisi anda.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Comments are closed.