Pertanyaan:

Shalom Bu Ingrid,
Saya mau tanya mengenai kontrasepsi dengan kondom, apakah juga dilarang oleh gereja? Bukankah kontrasepsi dengan kondom (atau ada juga metode lain yang sejenis) menghalangi bertemunya sel sperma dengan sel telur sehingga belum terjadi pembuahan dan zygote, sehingga belum terjadi kehidupan baru? Jika metode yang ‘membiarkan’ pembuahan terlebih dahulu kemudian baru ‘dirusak’, saya dapat memahami mengapa gereja menentangnya.
Apa bedanya dengan KB metode alamiah, jika niatnya dari kedua pasang suami istri itu memang tidak mempunyai anak (dulu) atau mengatur kapan mereka ingin mempunyai anak. Bukankah jika niatnya demikian juga ‘intervensi’ terhadap kehendak Tuhan dalam hal penciptaan atau seolah-oleah mereka adalah ‘tuhan’ yang berhak menentukan kelahiran atau tidak? Jika dari awal niatnya adalah demikian bukankah itu sama saja dengan hanya memanfaatkan siklus kesuburan alamiah seseorang yang artinya tidak berbeda dengan KB non-alamiah?
Mohon penjelasannya dan terima kasih
Tuhan memberkati, Abin

Jawaban:

Shalom Abin,
Pertama-tama kita harus kembali kepada pengajaran Magisterium Gereja tentang 2 hal yang tidak terpisahkan dalam hubungan suami istri yang disebutkan dengan jelas dalam Humanae Vitae 12: Pertama adalah untuk persatuan suami istri (union), dan yang kedua adalah untuk menyampaikan bakal kehidupan baru (procreation). Tuhan mengaruniakan hal ini kepada suami istri sebagai ’satu paket’ yang terpisahkan.
Walaupun tidak sama persis, mungkin kita dapat melihat contoh berikut ini. Kalau kita makan, maka kita tidak hanya memuaskan lidah (merasakan makanan enak), tapi juga kita dapat merasa kenyang, dan makanan tersebut akan menyumbangkan kalori pada tubuh. Jadi kalo kita tidak bisa manahan diri dan terlalu sering makan yang enak-enak demi kepuasan lidah, maka akibatnya kita bisa kekenyangan, dan badan menjadi gemuk. Nah, maka ada orang yang inginnya makan enak, tapi tidak mau kenyang, apalagi gemuk, maka, ia menerapkan bulimia, yang intinya membuat diri (maaf) memuntahkan kembali apa yang baru dimakannya, supaya makanan itu tidak diserap oleh tubuh. Jika kita lihat di kamus, bulimia disebut sebagai ‘eating disorder‘/ atau praktek makan yang tidak normal, dan saya rasa Abin-pun setuju bahwa cara makan yang demikian bertentangan dengan akal sehat. Sebab kita tahu aktivitas makan ditujukan tidak saja untuk ‘menyenangkan’ lidah, tapi juga untuk mengenyangkan perut.
Nah, sekarang tentang hubungan seksual suami istri. Seperti disebut di atas, hubungan ini ditujukan tidak hanya untuk meneguhkan kasih persatuan suami istri, tapi juga untuk sarana campur tangan Tuhan dalam penciptaan manusia baru. Tradisi Kristiani menjunjung tinggi hubungan seksual suami istri, sebab hal itu merupakan ekspresi khusus perjanjian kasih yang menggambarkan hubungan kasih Tuhan dengan umat-Nya, dan juga kasih Kristus kepada Gereja-Nya (silakan baca: Indah dan Dalamnya Makna Perkawinan Katolik). Alat kontrasepsi, baik berupa pil, ataupun kondom hanya ‘menyetujui’ satu aspek saja, yaitu persatuan suami istri, namun ‘menolak’ aspek yang lain, yaitu kemungkinan penciptaan kehidupan baru. Ini bertentangan dengan hukum kodrat yang direncanakan oleh Allah Sang Pencipta. Penggunaan kondom dalam hubungan seksual suami istri, sebenarnya mirip dengan bulimia. Seperti bulimia, yang ingin mengecap makan enak, tapi tak mau konsekuensi kenyang, maka pemakaian kondom juga demikian: ingin mengecap persatuan suami istri, tetapi tidak mau menerima konsekuensi menyampaikan bakal kehidupan baru. Hal makan merupakan tindakan alamiah untuk mempertahankan hidup, demikian pula hubungan suami istri merupakan tindakan alamiah untuk mempertahankan eksistensi manusia (supaya tidak punah). Sikap menolak keturunan, jika dilakukan serentak dalam satu bangsa, maka dapat mengakibatkan ‘ancaman’ kepunahan, seperti yang terjadi di Eropa.
Sekarang mengenai pemakaian kondom, meskipun kelihatannya ‘menyetujui’ aspek persatuan (union) suami istri, sebenarnya juga tidak dalam arti yang penuh. Sebab jika pemberian yang total, berarti tidak ada yang dibuang, dan dalam kasus penggunaan kondom tidak demikian halnya. Hubungan suami istri telah direncanakan Allah untuk mengandung makna yang sangat luhur, yaitu untuk menjadi penggambaran akan kasih-Nya yang total pada manusia. Oleh karena itu, jika kita melanggar apa yang sudah direncanakan Tuhan, maka itu sama dengan kita mau mengatakan bahwa rencana kita lebih baik dari pada rencana-Nya. Ini sesungguhnya mirip dengan dosa pertama Adam dan Hawa, yaitu ingin menentukan sendiri apa yang benar dan yang salah bagi dirinya, dan bukannya tunduk pada perintah Tuhan.
Karekismus Gereja Katolik (KGK) menjelaskan definisi dosa sebagai berikut:

KGK 1849, Dosa adalah satu pelanggaran terhadap akal budi, kebenaran dan hati nurani yang baik; ia adalah satu kesalahan terhadap kasih yang benar terhadap Allah, dan sesama atas dasar satu ketergantungan yang tidak normal kepada barang-barang tertentu…. [Dosa adalah] kata, perbuatan atau keinginan yang bertentangan dengan hukum abadi.

KGK 1850, Dosa adalah satu penghinaan terhadap Allah.

Dengan melihat definisi di atas, seharusnya kita dapat melihat bahwa penggunaan kondom sebagai alat kontrasepsi termasuk dalam kategori dosa. Karena, penggunaan kondom sesungguhnya melanggar akal, kebenaran, hati nurani, dan hukum abadi (hukum Allah) yang ‘menghina’ rencana Allah, karena tidak menerima apa yang sudah ditentukan Allah. Hubungan suami istri direncanakan Allah sebagai hubungan kasih yang total, tanpa ‘tameng’ apapun; yang begitu dalam maknanya sampai dapat ‘menghasilkan’ seorang ciptaan baru. Maka, kalau kita membatasinya dengan kontrasepsi, ini sama saja mengatakan kepada pasangan kita, bahwa “saya mengasihimu, namun saya tidak mau mempunyai anak dari kamu”. Atau mengatakan kepada Tuhan bahwa saya percaya kepada-Mu, Tuhan, namun saya ingin Engkau tidak campur tangan dalam perbuatan saya di kamar tidur. Sesungguhnya sikap ini adalah bentuk ‘penolakan’ akan campur tangan Allah dalam aktivitas seksual kita, padahal Allah menganggap hubungan ini begitu sakral dan merencanakan keterlibatan kuasa penciptaan-Nya didalamnya. Manusia yang sesungguhnya ‘diundang’ Allah untuk berpartisipasi dalam karya penciptaan-Nya malah ‘mengusir’ Yang mengundang.

Di artikel di atas, saya menyebutkan bahwa menurut survey, sebagian besar orang yang membeli kondom untuk pertama kalinya akan merasa ‘janggal’. Sebenarnya, itu adalah suatu tanda bahwa penggunaan kondom bertentangan dengan hati nurani. Hanya saja, ada kemungkinan lama kelamaan orang akan berkompromi, sehingga hati nuraninya tidak lagi berbicara kepadanya. Alasannya: karena semua orang melakukannya, jadi mestinya tidak apa-apa.
Pengajaran Gereja Katolik tentang Kasih dan Seksualitas selalu konsisten menentang penggunaan alat kontrasepsi. Dokumen Gereja yang menentang pemakaian alat kontrasepsi ini antara lain adalah, Surat Ensiklik Casti Connubii (Tentang Perkawinan) oleh Paus Pius XI, 1930, The Theological Report of the Papal Commission on Birth Control (1966), Humanae Vitae oleh Paus Paulus VI (1968), A Pastoral Reflection on the Moral Life, National Conference of Caholic Bishops (1976). Jadi yang ditentang di sini bukan hanya alat kontrasepsi yang ‘merusak’ zygote, tetapi semua alat kontrasepsi, karena prinsip kontrasepsi yang memisahkan kedua aspek dalam hubungan suami istri; yaitu hanya mau ‘union’ tetapi tidak mau ‘procreation. Suatu permenungan, adalah kenyataan sejarah bahwa sampai tahun 1930, semua gereja (termasuk Protestan) menolak kontrasepsi, namun pada tahun 1930, gereja Protestan mulai memperbolehkannya, dimulai dari gereja Anglikan. Gereja Katolik adalah Gereja satu-satunya yang masih tetap menolak kontrasepsi ini, karena Gereja Katolik tetap mempertahankan kebenaran; dan karena kesetiaan Gereja Katolik terhadap kebenaran pengajaran Tuhan ini, maka Gereja tidak mengubahnya, meskipun ajaran ini ‘tidak populer’ dan tidak menarik di mata dunia.

Maka yang diperbolehkan oleh Gereja Katolik adalah KB alamiah. Cara ini tidak sama dengan kontrasepsi, sebab pelaksanaan KB Alamiah melibatkan ‘pantang berkala’, di mana tidak terjadi perbuatan yang memisahkan kedua aspek union dan procreation tersebut. Ibaratnya, tidak kenyang, karena tidak makan (bukan karena bulimia); tidak ada kemungkinan ‘procreation’, karena tidak melakukan ‘tindakan’ union’ (bukan karena pakai alat kontrasepsi).

Beberapa pengajaran Alkitab sehubungan dengan hal ini adalah:

1) “Janganlah kamu saling menjauhi, kecuali dengan persetujuan bersama untuk sementara waktu, supaya kamu mendapat kesempatan untuk berdoa” (1Kor 7:5). Jadi jika pasangan memang belum siap kalau dipercayakan seorang (tambahan seorang) anak, maka mereka dapat ‘berpantang’ untuk sementara waktu dan berdoa.

2) Dengan demikian suami istri dapat hidup di dalam kekudusan dan menjaga kehormatan perkawinan dan tidak mencemarkan tempat tidur (lih. Ibr 13:4). Sikap non-kontraseptif artinya menerima karunia seksual kita dengan bertanggung jawab: kita tunduk pada rencana Tuhan, yang menginginkan kasih persatuan yang terbuka pada kemungkinan adanya kehidupan baru. Dengan demikian, kita tidak ‘mencemarkan tempat tidur’, karena di tempat tidur sekalipun kita menunjukkan ketaatan kita kepada kehendak Allah, dan bukannya menjadi ‘tuhan’ atas aktivitas seksual kita. Jangan kita lupa, bahwa Tuhanlah yang memutuskan, apakah Ia akan memberikan kehidupan baru sebagai buah kasih suami istri- atau tidak.

3) Tuhan tidak berkenan terhadap sikap penolakan akan kemungkinan adanya kehidupan baru (procreation) dalam hubungan suami istri, dan ini dapat dibaca pada kisah Onan (Kej 38:8-10).

Demikian jawaban saya untuk pertanyaan yang cukup sulit ini. Silakan juga untuk membaca apa dasarnya bahwa Gereja Katolik melarang pemakaian kontrasepsi di artikel tentang Humanae Vitae (silakan klik). Memang pada akhirnya, dibutuhkan kerendahan hati untuk menerima dan melaksanakan sikap non-kontraseptif dalam perkawinan. Ini adalah salah satu bentuk ketaatan yang paling nyata bagi pasangan suami istri untuk berkata, “Kami ini adalah hamba Tuhan, jadilah pada kami menurut kehendak-Mu” (lih. Luk 1:38), dengan menyerahkan segala kehidupan dan masa depan kita di tangan Tuhan. Sudah selayaknya, kita menyerahkan diri secara total kepada Tuhan, di manapun, dan kapanpun, dan ya, termasuk di tempat tidur.

Selanjutnya tentang Metoda KB Alamiah yang cukup akurat, yaitu Metoda Creighton, silakan klik di sini.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- https://katolisitas.org.

25 COMMENTS

  1. dear katolisitas,

    Saya suka membaca. Buku apa saja, sejauh menambah wawasan, akan saya baca. Baru-baru ini saya baca buku “Seks, Selibat dan Persahabatan sebagai Karisma” karya Al. Bagus Irawan, MSF. Buku itu diterbitkan oleh Obor.

    Ada satu pernyataan yang menarik sekaligus mengganggu saya.Pada halaman 96 ditulis: “…., menolak pengampunan dosa bagi mereka yang melakukan praktik keluarga berencana, …..”

    Pertanyaan saya:
    1. Kenapa tobat mereka ditolak? Padahal Injil mengatakan, hanya dosa melawan Roh Kudus saja yang tidak dapat diampuni (Mat 12: 31).

    2. Ada apa dengan keluarga berencana? Padahal ada beberapa umat katolik juga yang turut mengkampanyekan keluarga berencana. Apakah mereka juga sudah berdosa?

    Sekian dan terima kasih

    • Shalom Brian,

      1. Mohon dipahami prinsipnya, bahwa imam sebagai wakil Tuhan tidak akan menahan dosa orang yang telah mengakui dosanya dengan sungguh-sungguh dalam sakramen Pengakuan dosa. Nah, pengakuan dosa ini umumnya diikuti oleh penitensi yang harus dilakukan oleh pihak peniten. Jika penitensi tidak bersedia melakukan penitensinya, maka dipertanyakan kesungguhan pertobatannya. Inilah yang dapat terjadi pada orang-orang yang telah melakukan dosa menggunakan alat-alat kontrasepsi, sebab adakalanya sifatnya adalah permanen, dan relatif sangat sulit atau bahkan tidak mungkin untuk dikembalikan kepada keadaan aslinya, seperti pada kasus-kasus tertentu dalam sterilisasi atau vasektomi. Saya belum pernah membaca buku yang Anda sebutkan itu, namun sepertinya hal inilah yang terjadi, sehingga Rm. Bagus Irawan MSF mengatakan demikian.

      Tentang kasus sterilisasi, mengapa hal itu tidak sesuai dengan ajaran iman Katolik, sudah pernah dibahas di artikel ini, silakan klik. Dan apakah yang dapat dilakukan sebagai penitensi bagi pasangan yang telah terlanjur melakukan sterilisasi, silakan klik di sini.

      Tobat yang sejati, yang selayaknya termasuk kesediaan untuk melakukan penitensinya, tentu tidak akan ditolak, tetapi tobat yang tidak disertai kehendak untuk melakukan penitensinya, memang bukan pertobatan yang sungguh. Jika demikian halnya, maka kalau imam menunda absolusi, itu kemungkinan dimaksudkan agar memberi waktu kepada peniten untuk dapat dengan sungguh membuktikan pertobatannya dengan kesediaannya untuk tidak mengulangi menggunakan alat kontrasespsi, atau kalau sudah terlanjur dan tak dapat diubah, maka perlu diikuti langkah konkret untuk menunjukkan pertobatannya itu, sebagaimana telah disebutkan di atas. Jika seorang sudah tahu bahwa menggunakan alat kontrasepsi adalah dosa, namun tetap berkeras melakukannya, dan tidak ada keinginan untuk menghentikannya, artinya, ia tidak sungguh bertobat. Kekerasan hati ini dapat menghantarnya kepada dosa “sin of presumption” yaitu mengandaikan bahwa Tuhan pasti mengampuni, dan karena itu tidak menganggap bahwa ia perlu bertobat. Sikap inilah yang termasuk dalam dosa menghujat Roh Kudus, yang pada intinya, menolak pertobatan itu sendiri. Selanjutnya tentang apa itu dosa menghujat Roh Kudus, silakan klik di sini.

      2. Sebenarnya Gereja tidak anti dengan Keluarga Berencana, sebab jika pasangan mempunyai alasan-alasan yang sah atas dasar pertimbangan yang masuk akal, maka pelaksanaan Keluarga Berencana dapat dibenarkan secara moral, asalkan dilakukan dengan cara alamiah (KBA) dan bukan dengan cara buatan (KBB) dengan menggunakan alat-alat kontrasepsi.

      Silakan membaca artikel-artikel berikut ini, yang sudah penah membahas cukup panjang lebar, mengapa penggunaan alat kontrasepsi tidak sesuai dengan ajaran iman Katolik:

      Humanae Vitae itu benar!
      Perkawinan Katolik vs Perkawinan dunia (terutama point 5, klik di sini)
      Kemurnian dalam Perkawinan

      Di samping itu, perlu diketahui juga bahwa terdapat efek samping yang negatif dari penggunaan alat-alat kontrasepsi (KBB), silakan klik. Sedangkan KBA tidak mempunyai efek samping, dan karena itu Gereja memperbolehkannya. Tentang salah satu metoda KBA yang cukup akurat yang dapat dilakukan, silakan klik di sini.

      Bagaimana dengan orang Katolik yang mengkampanyekan keluarga berencana? Pertanyaannya apakah ia mengkampanyekan KBA atau KBB? Kalau ia mengajarkan tentang KBA, tentu saja tidak masalah, tetapi kalau KBB, maka hal tersebut secara obyektif tidak sesuai dengan ajaran iman Katolik. Namun adakalanya orang Katolik yang melakukannya, tidak mengetahui bahwa hal itu sesungguhnya bertentangan dengan ajaran iman Katolik. Dalam keadaan ketidaktahuan ini, tentu kesalahannya tidak sebesar jika ia sudah tahu tetapi tetap melakukannya juga. Jika keadaannya yang kedua ini, maka itu termasuk pelanggaran berat, sebab penggunaan alat kontrasepsi jelas dinyatakan salah secara mendasar, oleh Paus Paulus VI (1968), dalam Humanae Vitae, 14. Terjemahan paragraf tersebut, klik di sini. Melalui surat ensikliknya tersebut, Paus Paulus VI mengulangi dan memperjelas ajaran pendahulunya Paus Pius XI (1930) dalam Casti Connubii, klik di sini.

      Semoga kita semua diberi keterbukaan dan kerendahan hati untuk menerima ajaran ini, yang diberikan demi kebaikan pasangan suami istri itu sendiri, sesuai dengan martabatnya sebagai pria dan wanita yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  2. Wah mustinya Bu Menkes baca tentang ini. Udah tau kondom ga boleh, malah bagi2 gratis.

    [Dari Katolisitas: Yang kami sampaikan di sini adalah ajaran iman Katolik, yang menolak penggunaan alat-alat kontrasepsi. Gereja Katolik memperbolehkan penerapan KB asalkan dilakukan menurut cara yang alamiah. Untuk ini memang diperlukan kesediaan dari pasangan untuk mempelajari caranya, dan seterusnya diperlukan kebajikan pengendalian diri untuk melaksanakannya. Cara ini memang tidak mudah, namun aman, tidak ada efek samping, dan berdampak positif kepada hubungan kasih suami istri.]

  3. Syalom Tim Katolisitas,
    Di salah satu situs http://www.jawaban.com/index.php/news/detail/id/90/news/110415132213/limit/0/98-Persen-Wanita-Katolik-Amerika-Pakai-Kontrasepsi.html dikatakan bahwa di Amerika sebagian besar menggunakan kontrasepsi. Saya sungguh terkejut & prihatin atas hasil penelitian tersebut. Namun kenyataan di lingkungan saya menunjukkan hal tersebut. Orang-orang yang aktif di Gereja dan menjadi katekis di lingkungan kami dalam kehidupan perkawinannya menggunakan kontrasepsi. Apa yang diajarkan sungguh bertentangan dengan kenyataan. Yang menjadi pertanyaan, kenapa hal ini bisa terjadi? apakah pengajaran Katolik tentang pelarangan kontrasepsi ini belum sepenuhnya dimengerti oleh umat? Dan apa yang sudah dilakukan oleh Gereja katolik secara universal untuk melakukan seruan moral tersebut? Demikian, mohon ditanggapi. Terima kasih sebelumnya. Semoga kehidupan perkawinan katolik menjadi Terang dalam dunia.

    Berkah Dalem,

    Yosafat

    • Shalom Yosafat,
      Terima kasih atas tanggapannya. Memang, kalau direnungkan, ajaran tentang kontrasepsi adalah salah satu ajaran yang sungguh sulit, karena membutuhkan pengorbanan dan juga komitmen jangka panjang. Dan menjadi tantangan bagi para pengajar, termasuk pengajar kursus persiapan perkawinan, dan juga para pastor untuk menjelaskan pengajaran ini secara jelas. Dengan pengajaran yang jelas, maka umat diharapkan dapat benar-benar berusaha untuk menghindari kontrasepsi. Jadi, dua hal yang perlu ditingkatkan: 1) Pengajaran yang jelas, khususnya dalam kursus persiapan perkawinan dan kadang-kadang perlu disampaikan dalam homili, 2) keberanian umat untuk melaksanakan pengajaran ini. KWI telah memberikan pedoman pastoral keluarga dan juga mengeluarkan buletin keluarga. Kita mohon agar Roh Kudus dapat memampukan kita semua menjalankan pengajaran yang sulit ini. Artikel ini mungkin dapat membantu – silakan klik.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      stef – katolisitas.org

  4. Ibu saya mau bertanya, pada saat masa subur kami berpantang melakukan hubungan sex. Tetapi pada saat masa tidak subur kami melakukan hubungan sex dengan kondom untuk lebih menjamin tidak terjadinya kehamilan (karena kalau tidak menggunakan kondom kami menjadi deg2an & melakukan hubungan dengan tidak enjoy)
    Bagaimana tanggapan ibu? Terima kasih.

    [dari katolisitas: silakan melihat tanya jawab di atas – silakan klik.]

  5. di kompas ada pernyataan bahwa Paus Bendiktus mengijinkan penggunaan kondom untuk mencegah AIDS (http://health.kompas.com/index.php/read/2010/11/21/18322522/Paus.Benediktus.XVI.Kondom.Dibolehkan.Asal…-8)
    Di artikel di atas dikatakan : “Pengajaran Gereja Katolik tentang Kasih dan Seksualitas selalu konsisten menentang penggunaan alat kontrasepsi. ”
    Apakah sekarang Gereja Katolik sudah tidak konsisten lagi? Mohon pencerahannya.

    Terima kasih.

    [Dari Katolisitas: Pertanyaan serupa sudah dibahas di sini, silakan klik. Gereja Katolik tetap konsisten dalam mengajarkan Seksualitas. Wawancara Paus Benediktus XVI dengan Peter Seewald tersebut tidak menyebutkan persetujuan Paus terhadap penggunaan kondom, tetapi hanya mengatakan pada kasus tertentu (dalam hal ini kasus pelacur pria homoseksual) pemakaian kondom dapat merupakan indikasi akan adanya langkah awal akan kesadaran tanggungjawab moral, untuk tidak mencelakai orang lain. Ini dapat mengarahkannya kepada kesadaran yang selanjutnya, akan untuk hidup sesuai dengan seksualitas menurut kodrat manusia (yaitu antara seorang pria dan seorang wanita)]

  6. Saya ada pertanyaan sehubungan dengan keadaan di mana karena 1 dan lain hal dokter menyarankan supaya istri tidak hamil lagi. untuk keadaan khusus seperti ini apa ada dispensasi ? lalu untuk keadaan di mana setelah operasi caesar tidak diperbolehkan punya anak dulu selama 3 tahun…. masa abstain 3 tahun ?

    • Salam saudara Anonymous,

      Saya akan mencoba pertanyaan anda dengan selengkap mungkin. Terus terang, saya sendiri mempunyai pengalaman yang serupa seperti istri anda.

      1) Pertanyaan 1: Saya ada pertanyaan sehubungan dengan keadaan di mana karena 1 dan lain hal dokter menyarankan supaya istri tidak hamil lagi. untuk keadaan khusus seperti ini apa ada dispensasi ?

      a) Secara garis besar, jawaban pertanyaan anda adalah: Apabila yang anda dan istri anda inginkan saat ini adalah upaya “pencegahan kehamilan”, Gereja Katolik TIDAK memberikan dispensasi khusus kepada pasangan suami-istri yang berupaya untuk mencegah kehamilan dengan cara kontrasepsi. Dengan kata lain, upacara pencegahan kehamilan yang diperbolehkan adalah dengan cara KB alamiah, atau teori Creighton model/metoda ‘Billing’ (seperti yang sudah dijelaskan di website ini sebelumnya).

      Alasannya adalah, walaupun tujuan pencegahannya mungkin saja benar atau baik, cara untuk mencapai tujuan tersebut pun harus dilakukan dengan benar. Dengan kata lain, Gereja Katolik tidak memperbolehkan kita melakukan hal yang salah untuk tujuan yang benar. Contoh lain misalnya, cerita “Robin Hood”. Apakah perbuatan mencuri diperbolehkan, apabila dilakukan untuk membantu orang miskin? Jawabannya tentu saja: tidak boleh. Apabila kita benar-benar ingin membantu orang miskin, kita harus melakukannya dengan cara yang benar dan diperbolehkan oleh Tuhan.

      b) Karenanya, apabila anda dan istri anda benar-benar ingin mencegah kehamilan karena alasan yang secara medis memang bahaya, maka marilah diusahakan dengan cara seksama dan sebenar-benarnya. Tentu saja hal ini membutuhkan banyak pengorbanan dari anda dan istri anda untuk jauh lebih mempelajari teori KB alamiah atau ‘Creighton model’ tersebut. Apakah hal ini bisa dilakukan? Tentu saja bisa!! Banyak orang yang menggunakan teori KB alamiah atau ‘Creighton model’ yang hanya mempunyai anak 2 – 4 orang saja. Bukan berarti bahwa apabila kontrasepsi tidak dipakai, istri anda pasti akan hamil terus. Ini adalah suatu persepsi yang salah!! Memang mempelajari teori KB alamiah atau ‘Creighton model’ secara benar itu tidak mudah, tetapi tentu saja bisa dilakukan, dan lebih lagi, akan banyak berkat yang kita terima oleh karenanya.

      c) Seringkali kita hanya mau praktisnya saja dan mencari penyelesaian yang gampang. Kita tidak mau bersusah-susah untuk mempelajari atau melakukan sesuatu yang sulit. Sebenarnya, di dalam kehidupan ini, bukankah sesuatu yang indah, benar, kudus dan mulia seringkali sulit untuk didapat? Sebaliknya sesuatu yang tidak baik, murah dan tidak berharga seringkali begitu gampang untuk diperoleh. Saya mau mengajak anda dan istri anda untuk mencoba mempelajari dan menerapkan teori KB alamiah atau ‘Creighton model’ dengan lebih seksama. Saya yakin, tidak hanya perkawinan anda akan lebih terberkati, hubungan suami-istri pun akan semakin diperdekat.

      d) Di samping penjelasan saya tersebut di atas, saya juga mau menganjurkan anda dan istri anda untuk melakukan beberapa hal berikut:

      1) Setelah mendengarkan dan mempertimbangkan secara seksama apa yang dikhawatirkan oleh dokter, anda dapat menanyakan apa ada jalan yang lain yang bisa diambil, untuk mencegah terjadinya faktor-faktor yang tidak dikehendaki. Seringkali dokter mengatakan sesuatu karena mau mencari amannya dan gampangnya saja, tanpa mempertimbangkan hal-hal lain yang dapat diambil untuk menanggulangi atau mencegah bahaya yang mungkin terjadi.

      2) Misalnya: (saya akan menggunakan pengalaman saya sendiri)

      Kasus saya pribadi adalah: karena sesuatu hal, setiap melahirkan, saya harus menjalankan operasi casear. Saya sekarang sudah mempunyai 4 anak. Waktu anak ke-2 dan ke-3, sebagian dokter menganjurkan agar saya tidak mempunyai anak lebih dari 3 atau 4 orang. Yang mau saya tekankan di sini adalah kata : ‘sebagian’ dokter. Hal ini dikarenakan lebih banyak dokter yang mengatakan bahwa dalam kasus caesar yang berturut-turut, tidaklah menjadi masalah untuk mempunyai anak lebih dari 3 orang. Hal ini dikarenakan cara teknologi di dunia kedokteran jaman sekarang sudah sangat maju apabila dibandingkan jaman dahulu. Pemotongan yang dilakukan adalah cara horisontal, bukan vertikal; yang sangat membantu dalam pemulihan. Satu hal yang dokter biasanya haruskan : untuk operasi Caesar yang ke-2 dan selanjutanya dilakukan seminggu sebelum tanggal kelahiran yang semestinya. Hal ini dilakukan untuk mencegah adanya kemungkinan kerobekan di uterus, yang mungkin terjadi untuk kasus Caesar yang berturut-turut. Dengan kata lain, jangan menunggu sampai tanda kelahiran terakhir (misalnya sampai banyak kontraksi, air ketuban pecah, dll), sebelum operasi dilakukan. Dengan demikian, uterus akan berada dalam posisi tenang (atau mungkin hanya kontraksi ringan saja), pada waktu operasi caesar dilakukan. Hal ini dilakukan, sehingga faktor bahaya yang paling utama, yaitu: ‘uterus rapture’ (pecahnya uterus), akan mudah dihindari.

      2) Pertanyaan 2: Lalu untuk keadaan di mana setelah operasi caesar tidak diperbolehkan punya anak dulu selama 3 tahun… masa abstain 3 tahun ?

      a) Tujuan mengapa setelah operasi Caesar tidak boleh langsung punya anak lagi, adalah untuk memberikan waktu yang cukup bagi uterus untuk kembali pulih keadaannya seperti sedia kala, supaya bekas luka operasi benar-benar pulih.

      b) Tentu saja hal ini bukan berarti anda harus abstain selama 3 tahun. Kuncinya adalah apa yang harus anda atau istri anda lakukan di dalam masa peralihan, yaitu masa sebelum siklus reproduksi kembali berulang secara normal. Secara garis besar, masa peralihan terdiri dari:

        1) Satu bulan pertama sesudah melahirkan – ABSTAIN

        Ini adalah masa yang dibutuhkan oleh uterus untuk benar-benar beristirahat.

          2) Masa sebelum menstruasi datang kembali

          Yang harus dipertanyakan di dalam masa ini adalah: Apakah istri anda menyusui bayi secara 100%, atau apakah dibantu -dengan susu botol?

            a) Untuk ibu yang menyusui 100%, tanpa dibantu dengan apapun (seperti susu botol, atau makanan bayi):

            Biasanya 3 bulan pertama setelah melahirkan dianggap masa KERING TOTAL. Siklus reproduksi belum kembali bekerja, dan mestruasi belum datang kembali. Dengan kata lain, kalau hubungan suami-istri dilakukan dalam waktu ini, tidak akan terjadi kehamilan.

            Memasuki bulan ke-4, dianjurkan ABSTAIN TOTAL sampai darah menstruasi datang kembali. Walaupun belum ada mukus yang keluar dalam masa ini, siklus reproduksi mungkin sudah kembali berulang.

              b) Untuk ibu yang tidak menyusui 100%, dibantu dengan susu botol/ makanan bayi:

              ABSTAIN TOTAL dalam masa peralihan, sampai menstruasi datang kembali. Untuk ibu yang tidak menyusui 100%, masa menstruasi biasanya datang kembali lebih cepat dari 3 bulan.

                3) Masa setelah menstruasi datang kembali atau masa reproduksi kembali aktif dan teratur.

                Bisa lihat di artikel di situs ini: Metoda Creighton, KB alamiah yang cukup akurat, silakan klik untuk “penerapan creighton model / KB alamiah” di siklus normal biasa.

                Semoga jawaban saya dapat membantu anda dan istri anda dalam pergumulan ini.

                Tuhan memberkati,
                Maria (Lia) Brownell – http://www.katolisitas.org

                • terima kasih bu Maria atas penjelasannya, sugguh memberkati. Apa ada metoda lain selain Creighton yang bisa disarankan untuk cek dan ricek ? untuk menghindari kesalahan pembacaan. terima kasih.

                  • Shalom Anonymous,

                    Saya telah berdiskusi dengan Maria Brownell, dan kami sepakat untuk mengatakan bahwa metoda Creighton adalah metoda yang dapat dikatakan paling akurat dalam di antara metoda KB Alamiah lainnya. Maka kami tidak dapat memberitahukan lagi metoda lain untuk meng- cross-check metoda ini. Karena metoda lainnya seperti metoda pengamatan kalender: tidak terlalu akurat, metoda temperatur: kurang akurat karena terdapat banyak sekali faktor yang mempengaruhinya; dan metoda Billings juga adalah metoda dasar yang digunakan dalam metoda Creighton ini.

                    Jadi mungkin saran kami, silakan anda menerapkan metoda Creighton ini, dan selanjutnya, fokuskanlah kepada cara- cara lain untuk mengungkapkan kasih antara suami istri. Silakan membaca 1 Kor 13 untuk membaca tentang hakekat kasih:

                    “Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu…” (1 Kor 13:4-7)

                    Juga tentang buah Roh Kudus, yaitu:

                    “Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri.” (Gal 5:22-23)

                    Kami percaya, jika anda menerapkan kasih seperti yang tertulis di dalam Kitab Suci, maka anda akan memiliki hubungan yang baik dengan istri anda, dan anda tidak akan mengalami kesulitan dalam menerapkan KB Alamiah, dalam hal ini metoda Creighton.

                    Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
                    Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org

            • Kalau saya sih mikirnya sederhana aja, lebih ke konsekuensi dari penggunaan kedua methode yang diperdebatka antara Abin (Tetun ya??) dan ibu Ingrid sbb:

              1. Penggunaan alat2 Kontrasepsi.
              Kalau menggunakan alat2 kontrasepsi konsekwensinya adalah : Kebebasan menyalurkan hasrat seksual baik pria maupun wanita dikarenakan oleh kenyamanan bahwa tidak akan ada kehamilan (Tanggun Jawab) kecil kemungkinan terkena penyakit kelamin seperti AIDS, dengan demikian maka akan timbul konsekwensi lain yakni free sex, hubungan sexual dibawa umur, hubungan sexual di luar nikah, perselingkuhan (pengrusakan moralitas), yang pada intinya adalah pelanggaran perintah Allah yang ke 6.

              2. Methode Alamiah.
              Dengan methode ini suami dan istri akan berusaha untuk menahan hawa nafsunya untuk melakukan hub.sexual sampai datangnya masa tidak subur, ini akan menambah kasih sayang anatara suami dan istri di saat2 penantian akan masa dimana mereka bisa menyalurkan hasratnya dengan penyerahan total (tidak ada yang terbuang). Jangan lupa bahwa semua yang kita rencanakan TUHANLAH yang menentukan, methode apapun yang kita gunakan kalau TUHAN berkehendak maka akan terjadi sesuai kehendakNya.

              Salam damai Kristus buat Abin dan Ibu Ingrid, Tuhan memberkati.

              • Shalom Azio,
                Ya benar yang anda katakan. Ada orang yang memikirkan konsekuensinya, sehingga lebih dapat memahami mengapa Gereja Katolik melarang kontrasepsi. Namun sebenarnya, menurut Paus Yohanes Paulus II supaya lebih total dalam memahaminya, kita harus melihat dari kedua sisi sekaligus yaitu dari segi kasih dan tanggungjawab atau “love and responsibility“. Hanya manusia yang dapat mempertimbangkan dan melakukan kedua hal tersebut secara bijak. Inilah yang membuat kita sungguh-sungguh hidup sesuai dengan panggilan kita sebagai manusia yang diciptakan sesuai dengan gambaran Allah; yaitu yang dapat mengasihi dengan menyadari segala tanggung jawabnya, justru untuk membuktikan kedalaman makna kasih itu. Makna kasih yang terdalam adalah memberi tanpa syarat dan memberi dengan total, tanpa ada yang ditarik kembali atau dibuang. Makna kasih yang bertanggungjawab adalah kasih yang menginginkan hanya yang terbaik bagi pasangan dan keluarga, sesuai dengan kehendak dan perintah Tuhan. Jika kita telah sampai pada penghayatan yang demikian, maka kita akan dapat memahami pengajaran Gereja Katolik yang melarang kontrasepsi.
                Silakan anda membaca buku Theology of the Body, yang sudah diterjemahkan oleh R. Deshi Ramadhani SJ, dan semoga anda dapat memahami keindahan ajaran ini.
                Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
                Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org

            • ShalomBu Ingrid,
              Saya mau tanya mengenai kontrasepsi dengan kondom, apakah juga dilarang oleh gereja? Bukankah kontrasepsi dengan kondom (atau ada juga metode lain yang sejenis) menghalangi bertemunya sel sperma dengan sel telur sehingga belum terjadi pembuahan dan zygote, sehingga belum terjadi kehidupan baru? Jika metode yang ‘membiarkan’ pembuahan terlebih dahulu kemudian baru ‘dirusak’, saya dapat memahami mengapa gereja menentangnya.
              Apa bedanya dengan KB metode alamiah, jika niatnya dari kedua pasang suami istri itu memang tidak mempunyai anak (dulu) atau mengatur kapan mereka ingin mempunyai anak. Bukankah jika niatnya demikian juga ‘intervensi’ terhadap kehendak Tuhan dalam hal penciptaan atau seolah-oleah mereka adalah ‘tuhan’ yang berhak menentukan kelahiran atau tidak? Jika dari awal niatnya adalah demikian bukankah itu sama saja dengan hanya memanfaatkan siklus kesuburan alamiah seseorang yang artinya tidak berbeda dengan KB non-alamiah?

              Mohon penjelasannya dan terima kasih
              Tuhan memberkati,
              Abin

                • Terima kasih Bu Ingrid atas jawaban yang lengkap dan jelas. Saya dapat mengerti alasan Gereja menentang kontrasepsi, sayapun setuju dengan Gereja yang menentang kontrasepsi. Namun saya masih melihat bahwa dengan KB alamipun sebenarnya tidak berbeda dengan KB non alami. Bedanya hanya KB alami ‘memanfaatkan’ masa subur dan tidak subur siklus menstruasi (kesuburan) seorang wanita sedangkan KB non alami memakai alat-alat kontrasepsi. Jika ibu mengatakan “saya percaya kepada-Mu, Tuhan, namun saya ingin Engkau tidak campur tangan dalam perbuatan saya di kamar tidur.”, itupun terjadi pada KB alami, karena memanfaatkan dengan sengaja dan sadar dan memang itu tujuannya untuk menghalangi mendapatkan (tambahan) keturunan/anak, jadi aspek procreation disinipun tidak terpenuhi. Dan jika mengacu kepada Luk.1:38 “Kami ini adalah hamba Tuhan, jadilah pada kami menuru kehendakMu” seharusnya tidak perlu melihat dan memanfaatkan siklus haid untuk berhubungan suami istri, tetapi sepenuhnya menyerahkan kepada kehendak Tuhan.
                  Mohon maaf jika ada kata kata yang tidak berkenan.
                  Tuhan memberkati.

                  • Shalom Abin,
                    Jika mau total melaksanakan penyerahan diri terhadap rencana Tuhan dalam perkawinan, memang tidak usah memakai metoda apapun, tetapi konsekuensinya dapat terjadi bahwa pasangan dapat mempunyai anak banyak sekali. Hal ini tentu membawa konsekuensi lain, bagaimana pasangan itu dapat secara bertanggungjawab membesarkan dan mendidik anak-anak dengan baik. Maka, jika pasangan sanggup membesarkan dan mendidik banyak anak, tentu hal itu baik, namun jika ada keterbatasan, maka pasangan diperbolehkan untuk mengaturnya, sejauh itu tidak bertentangan dengan hukum Tuhan. Sebab tujuan perkawinan menurut KGK 1601 adalah: … "membentuk kebersamaan antar pria dan wanita seumur hidup, yang terarah pada kesejahteraan suami istri serta pada kelahiran dan pendidikan anak." Maka KB alamiah seharusnya dilihat sebagai jalan yang paling masuk akal untuk mencapai keseimbangan ini: yaitu membentuk keluarga bahagia, dengan jumlah anak-anak yang sesuai dengan kemampuan pasangan untuk mendidik mereka, tanpa melanggar perintah Tuhan. Jadi KB alamiah tidak sama dengan KB non-alamiah, dengan alasan-alasan:

                    1) Metoda KB alamiah mengajak pasangan sama-sama belajar menerapkan self- control / penguasaan diri; yang merupakan salah satu kebajikan. Alkitab menyebutkan penguasaan diri adalah salah satu dari buah Roh Kudus (Gal 5: 22). Jika sikap penguasaan diri diterapkan, maka suami istri dapat bertumbuh dalam kekudusan, entah sebagai perorangan ataupun sebagai pasangan. Karena dengan menerapkan metoda ini, pasangan belajar untuk memperhatikan proses biologis/ fisiologis tubuh pasangan, dan dengan demikian mengembangkan rasa saling pengertian, dan kesetiaan satu sama lain.
                    Pada KB non-alamiah pasangan tidak belajar menerapkan penguasaan diri dalam hal ini, dan dengan demikian, fokus utama umumnya tidak kepada kondisi fisiologis pasangan (dalam hal ini istri), namun lebih terarah pada  kebutuhan suami.

                    2) Pada metoda KB alamiah tidak terjadi pemisahan kedua aspek hubungan seksual suami istri. Pada saat ‘berpantang’ mereka tidak melakukan hubungan suami istri, sedangkan pada saat mereka berhubungan, maka hubungan itu dilakukan sesuai dengan kehendak dan rencana Tuhan, di mana kedua aspek union dan pro-creation diterima dengan hati terbuka. Maka pada saat hubungan dilakukan seharusnya pasangan mempunyai sikap keterbukaan pada rencana Tuhan untuk menganugerahkan seorang anak.
                    Sedangkan pada KB non alamiah, tidak ada kata ‘pantang’, maka pasangan dapat melakukan hubungan sesuai kehendak mereka sendiri, dengan tidak menerima aspek ‘pro-creation‘ dari hubungan tersebut, yang artinya mereka ‘menutup pintu’ bagi campur tangan Tuhan.
                    Dari sini terlihat jelas, bahwa dengan melakukan metoda KB alamiah pasangan tidak menutup kemungkinan Tuhan berkarya, sedangkan pada KB non-alamiah, Tuhan jelas-jelas ‘diatur’ supaya tidak berkarya. Contoh paling nyata adalah dalam kasus sterilisasi.

                    3) Hasil survey di sini (silakan klik) menunjukkan adanya kenaikan tingkat perceraian yang sebanding dengan kenaikan pemakaian pil KB (alat KB non alamiah); yang menunjukan indikasi hubungan antara praktek KB non-alamiah dengan aspek ketidaksetiaan dalam pernikahan. Maka statistik (menurut CCL San Antonio.org) menunjukkan, angka perceraian pada pasangan yang menerapkan KB non-alamiah di suatu negara adalah 30%-50%, namun di negara yang sama, angka perceraian pada pasangan yang menerapkan KB Alamiah hanya 1%-3%. Jika kita renungkan, maka fakta ini masuk akal, sebab memang dengan mental kontraseptif maka keterikatan batin dan fisik kepada pasangan tidak cukup berperan dalam relasi suami dengan istri.

                    Saya berharap keterangan di atas memperjelas jawaban saya sebelumnya tentang perbedaan KB alamiah dan KB non alamiah dilihat dari fakta-fakta yang berkaitan dengan kedua metoda tersebut.

                    Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
                    Ingrid Listiati

                    • Ibu Ingrid, mohon maaf jika saya dianggap “aw-ban” tetapi saya masih merasa ada yang mengganjal atas jawaban ibu.

                      Pada pertanyaan saya sebelumnya memang sengaja saya tidak menyinggung konsekwensi jika tidak memakai metode KB apapun (menyerahkan sepenuhnya kepada kehendak Tuhan) karena saya tidak ingin melebar ke permasalahan efek dari tidak ber KB, yaitu banyak anak, banyak permasalahan dalam hal membesarkan dan mendidik serta biaya, masalah pangan, kependudukan dlsb. Namun saya lebih mau fokus terhadap perbedaan KB alami dan non-alami. (kontrasepsi atau pro-creation) Dan dari jawaban ibu seolah-olah ada suatu kompromi bahwa karena jika total menyerahkan diri kepada kehendak Tuhan maka akan ada konsekwensi, sehingga perlulah diatur dengan suatu metode, dan dipilihlah metode alami yang tingkat intervensi manusia paling sedikit.

                      Dari penjelasan ibu, pada alasan no. 1 dikatakan mengenai self control. Menurut saya pengguna KB non-alami bukan tidak belajar atau tidak mempunyai self control tetapi memang tingkatnya yang berbeda. KB alami self controlnya jelas lebih tinggi daripada KB non alami. Dan saya rasa kebutuhan seksual pria dan wanita adalah sama, jadi KB non alami fokusnya bukan melulu pada kebutuhan suami. Istri/wanitapun memiliki hasrat/nafsu seksual yang bisa timbul pada saat baik dia sedang di masa subur atau tidak subur. Jadi KB apapun metodenya baik itu alami atau non alami adalah untuk mengatur kedua suami istri karena kebutuhan / hasratnya sama.

                      Dari alasan no.2, saya kurang sependapat dengan pernyataan bahwa dengan KB alami pada saat berhubungan, dilakukan sesuai dengan kehendak dan rencana Tuhan. Bagaimana bisa dikatakan sesuai kehendak dan rencana Tuhan, padahal jelas-jelas mereka tahu dengan memanfaatkan masa tidak subur pasti tidak membuahkan hasil (saya tidak berbicara persentase kegagalan suatu metode). Jadi disini baik KB alami maupun non-alami sama-sama melakukan kontrasepsi bukan pro-creation.

                      Alasan no.3 saya tidak bisa berkomentar karena tidak tahu bagaimana survey tersebut dilakukan dan apakah perceraian itu bisa hanya dilihat dari ada tidaknya alat kontrasepsi yang digunakan. Saya rasa masalah perceraian lebih kompleks daripada itu.

                      Sekali lagi saya mohon maaf jika dirasa masih “ngeyel” tapi bolehkan menyampaikan suatu pendapat?

                    • Shalom Abin,
                      Saya yang mohon maaf karena tidak dapat menjelaskannya dengan baik. Saya coba lagi ya, menjabarkan apa yang menjadi pengajaran Magisterium Gereja Katolik yang menentang kontrasepsi ini, yang sesungguhnya sangat masuk akal.
                      Paus Yohanes Paulus II dalam pengajarannya "Theology of the Body" (Teologi Tubuh) menjelaskan bahwa konsumasi dalam hubungan seksual suami istri dimaksudkan sebagai tanda sakramental yang menggambarkan keseluruhan (sums up, con-summates) kehidupan perkawinan. Tanda ini maksudnya penyerahan diri yang total (total self-giving) kepada pasangan, tanpa ada yang ‘dibuang’/ ‘dikurangi’. Pemberian diri yang total ini menjadi tanda sakramental tentang kemanunggalan Tuhan dalam kehidupan Trinitarian-Nya, dan juga tanda yang menggambarkan penyerahan diri Yesus yang total/sehabis-habisnya di kayu salib kepada Mempelai-Nya yaitu Gereja-Nya. Jadi di sini, saat pasangan saling memberikan diri (the gift of self), seharusnya pemberian diri ini mencakup keseluruhan pribadi (rohani dan jasmani), termasuk adalah berkat potensial kesuburan (fertility) kepada pasangan, entah berkat kesuburan itu nantinya mendatangkan anak atau tidak. Maka Gereja mengajarkan bahwa dalam hubungan suami istri, selalu menyangkut 2 aspek, union dan pro-creation: bahwa persatuan yang direncanakan oleh Allah berpotensi untuk mendatangkan kehidupan baru.
                      Pemberian diri yang total inilah yang tidak terjadi dalam KB dengan kontrasepsi, karena dalam tindakan hubungan yang menggunakan alat kontrasepsi terdapat ‘sesuatu yang sengaja tidak diberikan’. Kontrasepsi yang membawa ‘pemisahan’ fungsi pro-creation adalah ekspresi ‘ketidakjujuran’ akan kasih yang total (mencakup jiwa dan tubuh) yang seharusnya digambarkan dalam hubungan suami istri tersebut. Sedangkan pada KB alamiah, ‘pemberian diri’ yang dilakukan oleh pasangan merupakan pemberian yang total, tidak ada yang ditahan/ dibuang, walaupun dapat saja pada akhirnya tidak menghasilkan keturunan. Karena pada akhirnya yang memutuskan untuk menganugerahkan anak atau tidak adalah Tuhan. Pada KB alamiah, dapat saja usaha membatasi jumlah anak dilakukan dengan mengamati masa kesuburan/ ketidaksuburan istri, namun Tuhan masih tetap menganugerahkan anak juga (sedang dalam KB kontrasepsi maka hal ini tidak terjadi). Namun sebaliknya ada juga pasangan yang merindukan anak, namun walaupun sudah memperhitungkan masa subur, tetap saja belum dikaruniai anak. Jadi di sini nyata bahwa pada akhirnya, Tuhan-lah yang berkuasa menentukan.

                      Perlu kita pahami di sini bahwa Gereja ‘mengizinkan’ KB alamiah untuk pengaturan kelahiran, bukannya ‘menganjurkan’. Artinya, harus ada alasan yang kuat untuk mengadakan perencanaan kelahiran dengan KB alamiah. Humanae Vitae 16, mengatakan, "…untuk mengatur jarak kelahiran, harus ada alasan yang serius yang berasal baik dari kondisi fisik ataupun psikologis dari pasangan ataupun dari keadaan eksternal…" yang tidak memungkinkan bagi pasangan untuk tidak membatasi jumlah anak.  Jadi kalau ada pasangan yang membatasi jumlah anak hanya melulu karena supaya tidak repot, supaya hidup lebih enak, supaya bisa nabung lebih banyak, dst, padahal misalnya secara ekonomi, kesehatan, dll. memungkinkan, sesungguhnya mereka menyalahgunakan prinsip KB alamiah.

                      Sekarang saya ingin kembali menanggapi keberatan Abin tentang 3 point yang saya sebutkan dalam jawaban saya terdahulu:

                      1) Tentang self-control / penguasaan diri. Saya hanya ingin mengatakan bahwa pasangan yang mempraktekkan KB alamiah akan lebih terlatih menahan/ menguasai diri dalam hal ini (yaitu mengatasi nafsu seksual) daripada mereka yang tidak mempraktekkannya. Jadi, bukan berarti mereka yang pakai kontrasepsi sama sekali tidak punya pengendalian diri; sebab mereka tentu punya, hanya saja dalam hal menahan nafsu seksual, mereka tidak terbiasa menahan diri. Ya, memang benar pria dan wanita diciptakan dengan kecenderungan seksual sendiri-sendiri. Dorongan seksual inilah yang seharusnya dikuasai, sebagai bagian dari latihan pengendalian diri, untuk membuktikan kepada pasangan, bahwa pada saat mereka melakukan hubungan suami istri, mereka melakukannya atas dasar kasih yang murni dan bukan karena semata-mata untuk mengikuti dorongan nafsu.
                      Namun memang dapat difahami jika di dalam diskusi dikatakan bahwa pria memiliki dorongan inisiatif yang lebih besar dari wanita, terutama karena mereka secara biologis/ alamiah pria tidak memiliki ‘penyaluran’ dalam hal seksual  (pria tidak mengalami datang bulan). 
                      Paus Paulus VI dalam Humanae Vitae 17 menyebutkan, "….pria yang terbiasa melakukan praktek kontrasepsi, akhirnya dapat kehilangan respek terhadap istrinya, dan tidak lagi mengutamakan keadaan fisik dan psikologis istrinya; akan sampai pada suatu titik dimana ia menganggap istrinya sebagai alat saja untuk memuaskan diri sendiri (‘a mere instrument of selfish enjoyment‘), dan bukan sebagai sahabat yang dihormati dan dikasihi."

                      2) Tentang aspek union dan pro-creation, yang berkaitan dengan maksud Allah pada mulanya menciptakan manusia sebagai pria dan wanita untuk bersatu menjadi satu tubuh ini,  akan lebih diperjelas dengan uraian dari Paus Yohanes Paulus II. Di waktu mendatang, mungkin saya akan menuliskan ulasan tentang Theology of the Body ini, sehingga mudah-mudahan lebih jelas. Mohon kesabarannya, ya. Jika masih ada pertanyaan silakan bertanya setelah artikel tentang Teologi Tubuh ini ditulis.

                      3) Mengenai survey yang mengatakan kenaikan tingkat pemakaian kontrasepsi berbanding lurus dengan kenaikan tingkat perceraian. Ini memang masih merupakan studi, namun sesungguhnya fakta ini sungguh masuk di akal, walaupun memang kenyataannya perceraian disebabkan oleh banyak hal. Para ahli banyak yang menyelidiki mengenai hal ini, sehingga saya hanya mengutip saja penemuan yang mengatakan adanya kaitan antara kontrasepsi dan perceraian.
                      Paus Paulus VI sendiri dalam Humanae Vitae 17 telah memperkirakan hal itu, bahwa jika kontrasepsi dilakukan, maka terbuka jalan yang lebar untuk "ketidaksetiaan dalam perkawinan dan penurunan nilai-nilai moral". Dan inilah yang terjadi jaman sekarang, yaitu dengan meningkatnya hubungan seks di luar nikah, seks pra-nikah, seks bebas, dll. Maka walaupun memang banyak aspek yang menyebabkan perceraian, tetapi, sangat logis jika dikatakan bahwa kontrasepsi termasuk salah satu penyebabnya.  Sebab dengan kontrasepsi dimungkinkan keadaan ‘seks yang tidak membawa dampak anak’, sehingga hal ini dapat disalahgunakan.

                      Saya berharap uraian di atas dapat sedikit memberikan masukan pada Abin. Perlu kita ketahui bersama, bahwa ajaran Magisterium Gereja tentang penolakan kontrasepsi ini merupakan ajaran yang bukan berasal dari manusia, tetapi dari Tuhan berdasarkan atas wahyu Tuhan yang diteruskan dengan setia oleh Gereja; maka ajaran ini tidak dapat berubah/’definitive and irreformable‘ (seperti disebutkan dalam Vademecum for Confessors Concerning Some Aspects of Morality of Conjugal Life, 4). Ini terbukti bahwa walaupun gereja-gereja lain mengubah ajaran ini, (dimulai dari gereja Anglikan, hasil dari Lambeth Conference pada tahun1930), namun Gereja Katolik tetap setia mempertahankannya sampai sekarang. Kesetiaan kita untuk menaatinya, adalah ungkapan ketaatan iman kita kepada perintah Tuhan yang diteruskan oleh Magisterium Gereja. Ketaatan iman yang total inilah yang termasuk dalam ungkapan, "Jadilah pada kami menurut kehendakMu." Dewasa ini, banyak orang, termasuk orang Katolik sendiri yang menolak ajaran Gereja tentang kontrasepsi ini, entah karena mereka tidak mengetahui dasar ajarannya ataupun karena ajaran ini memang relatif sulit diterapkan. Paus Paulus VI mengatakan bahwa, para pria dan wanita tidak dapat melaksanakan ajaran ini "tanpa Tuhan sendiri datang membantu mereka dengan memberikan rahmat yang dapat mempertahankan dan memperkuat niat baik mereka." (Humanae Vitae, 3, 20,25).

                      Semoga rahmat Tuhan menguatkan kita untuk hidup sesuai dengan ajaran-ajaran-Nya.

                      Salam kasih http://www.katolisitas.org
                      Ingrid Listiati

                    • Terima kasih atas jawaban ibu Ingrid,
                      pertanyaan terakhir (semoga tidak bosan ya bu), jadi meskipun kita menggunakan metoda KB alami tetapi mentalnya adalah kontraseptif, niatnya menghalangi karya penciptaan Allah, bisa karena berbagai alasan seperti yang ibu sebutkan (ekonomi, agar tidak repot, dsb – alasan-alasan ini bisa subyektif sekali) adalah dosa. Betul begitu bu?
                      Lalu bagaimana dong kita supaya tidak melanggarnya, pelik bener ya?

                    • Saya adalah org katholik yang benar-benar awam, dan membaca topik terbuka ini karena mencari exorcism dan kemudian tertarik mengenai KB secara katholik.
                      Kami telah memiliki 3 anak, dan kami memutuskan untuk melakukan steril pada saat anak ke tiga lahir, saya tidak tahu manakah cara dan keputusan yang benar. Banyak teman-teman katholik yang mempertanyakan keputusan kami. Saya adalah karyawan dengan penghasilan yang terbatas juga, sehingga saya akan berusaha terbaik bagi ketiga anak saya. Saya yakin banyak sekali keluarga khatolik yang dengan KB alamiah berusaha dengan segala cara untuk membatasi anaknya dengan maksimum 2 anak saja.

                    • Shalom Vincent,
                      Sterilisasi bukanlah hal yang diperbolehkan di Gereja Katolik. Tentang hal ini, sudah pernah dibahas di artikel ini, silakan klik Pada prinsipnya, sterilisasi itu tidak diperbolehkan karena melanggar hakekat perkawinan, seperti yang telah diajarkan dalam katekismus dan surat ensiklik Humanae Vitae. Ulasan tentang Humanae Vitae sudah pernah dibahas di sini, silakan klik.

                      Walaupun dengan pertimbangan yang mungkin sama (dengan kebijaksanaan untuk membatasi jumlah anak), KB Alamiah tidak sama dengan sterilisasi, karena 1) pada metoda KB Alamiah, tidak tertutup kemungkinan adanya campur tangan Tuhan, 2) bahwa KB alamiah tidak merupakan bentuk penolakan tentang karunia kesuburan/ seksualitas yang sudah diberikan oleh Tuhan dan 3) pada KB Alamiah tidak ada pemisahan antara aktivitas seksual dan konsekuensinya yang mendatangkan kemungkinan adanya kelahiran.

                      Silakan anda membaca dulu artikel pada link- link tersebut, juga tanya jawab di bawahnya. Jika masih ada pertanyaan, silakan anda menanyakannya kembali.

                      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
                      Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org

                    • Ibu Ingrid yang saya hormati,

                      Maaf Bu, saya lupa tambahkan informasi bahwa istri saya melahirkan dengan operasi sectio caesar karena kesulitan dengan normal dan dokter juga mensyaratkan maksimum 3 anak karena resikonya terlalu besar.
                      Tuhan Maha Kuasa, saya yakin bila Tuhan menghendaki, kita juga mungkin punya anak kembar pada kelahiran ke tiga(saya sebenarnya juga selalu berharap punya anak kembar sejak kelahiran pertama), atau dengan segala alasan maka sterilisasi gagal(tidak sempurna) dan kita akan punya anak lagi). Anak ke tiga saya pun sebenarnya tidak kita rencanakan, walaupun kami memakai kontrasepsi tetapi tetap gagal ( sebenarnya ke dua anak kami semuanya cewek dan berharap anak cowok juga). Kami menerima kehamilan ketiga tersebut sebagai anugerah Tuhan. Saya sangat berterima kasih pada Tuhan, bahwa Tuhan selalu ikut campur tangan dalam kehidupan kami dan memberikan yang terbaik.

                      Saya yakin bahwa kebijakan Gereja Katholik dengan KB alamiah merupakan wujud dari hakekat perkawinan keluarga Katholik dalam menjaga nilai-nilai kehidupan secara Katholik, perkawinan Katholik, norma-norma seksualitas, dll.
                      Masalah yang utama biasanya adalah perkawinan itu sendiri sebagai dasarnya(misal ada yang menikah tapi tidak mau memiliki anak bukan karena alasan kesehatan tapi karena egoisme atau komitmen yang lemah), atau hanya mau anak satu dengan alasan yang penting punya anak( karena anak dianggap sebagai beban), bila memiliki anak lebih pun dianggap sebagai beban.
                      Semoga pasangan keluarga Katholik bisa memahami bahwa anak adalah anugerah Tuhan atas perkawinan.
                      Banyak juga keluarga Katholik yang tidak dianugerahi anak sama sekali, kalau mereka ditanya apakah memilih dikasih 6 anak atau tidak punya anak, kita semua pasti tahu apa jawabannya…

                      Biarlah Tuhan ikut ambil bagian dalam kehidupan kita terutama untuk hal yang satu ini, . Mungkin dalam pekerjaan, kita sering tidak melibatkan Tuhan dan tidak memberikan kesempatan bagi Tuhan untuk ambil bagian dalam pekerjaan kita karena kita menganggap diri kita sudah hebat
                      , tetapi untuk perkawinan dan masalah kehamilan hendaklah Tuhan berperan, karena Dia yang memberi “HIDUP”, dan yang ini sama sekali bukanlah kuasa kita.

                      Terima kasih Ibu Ingrid atas pencerahannya, memang pandangan orang akan berbeda-beda dari tingkat prioritas terhadap iman, kepraktisan, ekonomi, modernitas dll, yang terbentuk dari pendidikan,lingkungan, kematangan pribadi serta usia.
                      Gereja memberikan arahan dan pedoman yang terbaik bagi jemaat, dan kita sebagai jemaat berusaha melakukan yang terbaik dengan segala kemampuan dan kekurangan kita, tetapi kita jangan sampai menjadi batu sandungan bagi umat yang lain dengan mengarahkan hal yang tidak sesuai dengan ajaran gereja bagi sesama kita. Kita wajib memberitahukan pedoman gereja yang benar tanpa memaksakan kebenaran tersebut.

                      Semoga tulisan saya ini juga dapat berguna bagi keluarga yang lain.

                      Kami sedang mengatur pembaptisan sekaligus ketiga anak kami natal ini, mohon dukungan doa, dan semoga Tuhan memakai mereka sebagai pelita kehidupan keluarga kami dan sesamanya. Amin.

                    • Shalom Vincent,
                      Terima kasih banyak atas kesaksian hidup anda. Ya benar, memang anak adalah berkat dari Tuhan yang harus disyukuri. Semoga kesaksian hidup anda menjadi inspirasi bagi keluarga-keluarga lain dan para pembaca situs ini.
                      Semoga Tuhan memberikan rahmatnya kepada anda dan istri anda, sehingga anda berdua dapat menjadi gambaran akan kasih Allah bagi anak-anak, dan anda dapat mendidik anak-anak dengan baik, supaya mereka semua nanti dapat mencapai kerajaan Surga, tentu bersama anda juga. Teladan hidup orang tua dalam iman akan sangat berperan dalam kehidupan anak- anak, dan sungguh, iman adalah ‘harta ilahi’ yang paling berharga, yang dapat anda turunkan sebagai orang tua kepada kepada mereka, sebagai bentuk kasih anda kepada mereka yang sudah Tuhan ‘titipkan’ kepada anda.
                      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
                      Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org

                    • Kalau boleh saya bantu menjelaskan secara sederhana saja sih,
                      Alat-alat kontrasepsi yang digunakan dalam metode Keluarga Berencana pada hakikatnya merekayasa keadaan dalam tubuh agar sebagaimana mungkin tidak terjadi pembuahan (entah ‘dikantongi’ atau ‘ditutup jalannya’ ataupun ‘dihilangkan’), dan hal tersebut tidaklah alami. Tidak ada pengaruhnya antara masa subur dengan masa tidak subur karena pembuahan tidak terjadi karena dihalangi oleh campur tangan manusia.

                      Sedangkan pada metode Keluarga Berencana yang lain sepenuhnya bergantung pada keadaan tubuh sebagaimana yang telah diciptakan Tuhan, termasuk dengan adanya masa subur dan masa tidak subur pada perempuan (jelas itu adalah cipataan Tuhan). Pada konsep ‘kalender’ ini, justru kita masih tetap menyerahkan diri kepada rencana dan campur tangan Tuhan. Kenapa? Walaupun sang istri dalam masa tidak subur,tidak menutup kemungkinan bahwa terjadi juga pembuahan karena Tuhan berkenan.

                      Saya harap anda mengerti bahwa perbedaannya adalah metode Keluarga Berencana alami tidak menggunakan alat kontrasepsi apapun.

                      [Dari Katolisitas: Ya, secara garis besar penjelasan ini baik, hanya saja perlu diberi catatan istilah anda tentang konsep ‘kalender’. Karena penghitungan kalender kurang akurat, lebih akurat adalah mengamati ciri- ciri masa subur istri, seperti yang sudah pernah dibahas di sini, silakan klik. Dengan melakukan metoda KB alamiah, pasangan suami istri tetap melibatkan Tuhan dalam mengatur kelahiran dalam keluarga mereka, sehingga ini tidak menyalahi hukum Tuhan]

            Comments are closed.