Berikut ini adalah penjelasan yang kami terjemahkan dari buku karangan Paus Benediktus XVI dalam bukunya, “Yesus of Nazareth: The Infancy Narrative“, tentang bagaimana mendamaikan data bahwa Yesus dilahirkan di masa pemerintahan Raja Herodes (artinya sebelum Raja Herodes Agung wafat di tahun 4 BC), dan di masa sensus yang diadakan di saat Kirenius menjadi wali negeri di Syria (yang menurut catatan ahli sejarah abad pertama, Flavius Josephus, dalam Antiquities of the Jews, jatuh di tahun 6 AD):

“Masalah pertama dapat diselesaikan dengan mudah: sensus terjadi pada masa Raja Herodes yang Agung yang wafat di tahun 4 BC. Titik tolak dari perhitungan waktu- perhitungan waktu kelahiran Yesus- berasal dari perhitungan abbas Dionisius Exiguus (wafat 550 AD), yang jelas melakukan kesalahan penghitungan selama beberapa tahun. Maka, saat historis kelahiran Yesus harusnya ditempatkan beberapa tahun lebih awal.

Terdapat banyak debat tentang saat sensus diadakan. Menurut Flavius Josephus, yang kepadanya kita berhutang sumber hampir semua pengetahuan tentang sejarah sekitar zaman Yesus, sensus itu terjadi di tahun 6 AD. di bawah gubernur Kirenius (Quirinius) dan karena pada akhirnya itu adalah masalah keuangan, sensus itu mengakibatkan pemberontakan Yudas seorang Galilea (Kis 5:37). Menurut Josephus, hanya setelahnya, dan bukan sebelumnya, bahwa Kirenius menjadi aktif di kawasan Syria dan Yudea. Namun demikian, klaim ini tidaklah pasti. Sebab terdapat indikasi bahwa Kirenius telah menjadi pelayan Kaisar di Syria sejak tahun 9 BC (sebelum Masehi). Maka adalah sesuatu yang membawa titik terang, ketika para ahli seperti Alois Stoger memperkirakan bahwa ‘sensus populasi’ tersebut merupakan proses dalam keadaan saat itu yang berlangsung lama selama beberapa tahun. Lagipula, sensus itu diterapkan dalam dua tahap: yang pertama, adalah pendaftaran semua daerah dan kepemilikan properti dan lalu- di tahap kedua- penentuan tentang pembayaran yang disyaratkan. Tahap pertama terjadi pada saat kelahiran Yesus; sedangkan tahap kedua, yang sangat menyulitkan rakyat, adalah yang menyebabkan pemberontakan terjadi (lih. Stoger, Lukasevangelium, pp. 372f).

Sejumlah orang telah mengemukakan keberatan lebih lanjut bahwa hal tersebut tidak diperlukan, dalam sensus semacam ini, bahwa setiap orang harus mengadakan perjalanan untuk kembali ke tanah kelahirannya (lih. Luk 2:3). Tetapi kita juga mengetahui dari berbagai sumber bahwa mereka yang bersangkutan harus hadir menunjukkan diri mereka di tempat properti mereka. Oleh karena itu, kita dapat mengasumsikan bahwa Yusuf, dari keturunan Daud, mempunyai properti di Betlehem, sehingga ia harus pergi ke sana untuk pendaftaran pajak.

Tentang detail-detailnya, diskusi dapat berlangsung tanpa akhir. Adalah sangat sulit untuk memperoleh suatu pandangan kehidupan sehari-hari dari sebuah masyarakat yang demikian kompleks dan begitu jauh dari masyarakat kita sendiri seperti yang ada pada masyarakat di zaman kekaisaran Romawi. Namun demikian, kisah penjabaran Lukas tetaplah secara historis dapat dipercaya semuanya dengan sama: Lukas menjabarkan, sebagaimana dikatakan di pendahuluan Injilnya, “untuk membukukannya dengan teratur bagimu” (Luk 1:3). Ini nyatanya dilakukannya, dengan menggunakan sarana-sarana yang dapat diperolehnya. Apapun yang terjadi, ia berada di zaman yang lebih dekat kepada sumber-sumber dan kejadian-kejadian daripada kita, betapapun kita mengklaimnya demikian, meskipun dengan semua pengetahuan dari pembelajaran sejarah yang kita lakukan.”

Melihat fakta tersebut, yaitu bahwa: 1) kemungkinan terjadi dua tahap sensus yang dimulai sekitar tahun 9 BC saat Kirenius mulai bertugas di kekaisaran Siria, dan tahun 6 AD menurut tulisan sejarawan Josephus, 2) kelahiran Yesus adalah beberapa tahun sebelum wafat Raja Herodes di tahun 4 BC, dan juga 3) konjungsi planet Jupiter dan Saturnus yang terjadi di sekitar tahun 7-6BC yang mengakibatkan cahaya bintang yang terang di sekitar Betlehem, maka Paus memperkirakan tahun kelahiran Tuhan Yesus adalah sekitar tahun 7-6BC.

4 COMMENTS

  1. Syalom bapak/ibu Tay,

    Tanpa mengurangi iman pada kebenaran Injil dan pada Kristus, saya hendak menyampaikan kebingungan yang saya alami setelah membaca artikel anda dan link dari saudara Loren.

    1. Dalam Injil Lukas 3, apa benar Yesus berumur 30 tahun, pada tahun ke-15 pemerintahan kaisar Tiberius ?

    2. Jika jawaban nomor 1 adalah Ya, maka; pada tahun 29 AD Yesus berumur 30 tahun. Tiberius menjadi kaisar tahun 14 AD (14 + 15 = 29). Artinya secara implisit dalam Injil Lukas, Yesus lahir pada pemerintahan Herodes Arkhelaus, karena Herodes Agung wafat pada tahun 4 BC. Benarkah?

    3. Namun, Injil Matius 2 disebut bahwa Yesus sudah lahir pada pemerintahan Herodes Agung. Diketahui dari peristiwa pembunuhan bayi masal di daerah Betlehem. Benarkah?

    4. Terus terang, saya mengalami kesulitan dalam memahami dua penulis Injil diatas yang terlihat saling bertentangan. Lalu apa hubungannya isi Injil tersebut dengan Dionisius Exiguus (wikipedia menyebutkan 470-544 AD, namun anda menyebutkan wafat tahun 550 AD). Dalam dua Injil tersebut hanya menuliskan masa pemerintahan raja Yahudi dan Kaisar Romawi, bukan tahun pastinya.

    5. Kebingungan saya bertambah lengkap ketika membaca di wikipedia bahwa sejarawan Josephus menulis; sensus ini dilakukan oleh gubernur Yudea yaitu Kirenius pada tahun 6-7 AD. Padahal, menurut Lukas 2:2 Kirenius pertama kali mengadakan sensus pada masa-masa kelahiran Yesus. Berapa kali Kirenius mengadakan sensus? http://en.wikipedia.org/wiki/Census_of_Quirinius#The_Census

    6. Mungkin sekitar 10 kali saya membaca artikel anda diatas (mungkin karena artikelnya yang terlalu singkat). Dan mungkin juga ada pembaca lain yang sependapat dengan saya bahwa artikel anda (maaf) kurang menjawab. Ada lagi, anda menulis : “sensus itu mengakibatkan pemberontakan Yudas seorang Galilea (Kis 7:37)”. Saya baca dan baca lagi Kis 7:37, namun tampaknya otak saya yang dangkal kurang bisa memahami apa hubungan sensus di Yudea dengan Kis 7:37? o_O

    Mohon maaf bapak Stef, mohon maaf ibu Inggrid, mungkin anda bisa memperjelas lagi, dan apa ajaran Magisterium Gereja tentang hal ini. Atau, jika ajaran Magisterium Gereja tetap membuat saya bingung, saya tetap harus ‘ho-oh’ saja tanpa boleh bertanya, seperti yang dituduhkan tetangga non-katolik atau non-kristen itu? Jikapun saya belum mendapatkan jawabannya sekarang, saya tetap memohon belas kasih dan bimbingan Allah agar tetap taat pada ajaran Magisterium Gereja.

    Sekali lagi mohon maaf jika saya merepotkan anda, dan terima kasih sudah berkenan menanggapi pertanyaan saya di waktu sibuk anda. Berkah dalem.

    • Shalom Bimomarten, 

      Silakan untuk terlebih dahulu membaca kronologis riwayat hidup Kristus, ketika mengambil rupa manusia, di link ini, silakan klik.

      1. Yesus berumur kira-kira 30 tahun ketika memulai pekerjaan-Nya?

      Dikatakan dalam Luk 3:23, bahwa Kristus kira-kira berumur 30 tahun pada saat memulai karya publiknya (lih. Luk 3:23). Kira-kira, itu artinya sekitar; jadi tidak harus persis 30 tahun.

      Sebagaimana disebutkan dalam artikel di link tersebut dan juga dalam tulisan Paus Benediktus XVI dalam Jesus of Nazareth: Infancy Narratives, dikatakan bahwa kemungkinan Yesus lahir di tahun 747-749 a.u.c (kalender Romawi) atau kalau dikonversi-kan ke kalender Gregorian adalah sekitar -5 s/d -8 BC. (Sebab konversinya adalah tahun a.u.c dikurangi 753 atau 754). Dengan berpatokan pada catatan sejarah, adanya konjungsi planet Mars, Yupiter dan Saturnus di tahun 748 a.u.c (yang cocok dengan penyebutan dalam Injil. adanya bintang timur di Betlehem), maka diperkirakan Yesus lahir sekitar tahun 7 atau 6 BC.

      2 & 3. Dengan demikian, Yesus lahir di masa pemerintahan Raja Herodes Agung, yang diperkirakan wafat tahun 4 BC, cocok dengan yang disebutkan dalam Injil Matius 2. Sebab memang raja Herodes Agunglah yang memerintahkan pembunuhan bayi masal di daerah Betlehem.

      4. Dionisius Exiguus adalah seorang abbas di abad ke-6 (menurut wikipedia ia hidup di tahun 470-544, sedangkan Paus Benediktus XVI yang kami kutip, menuliskan ia wafat tahun 550, tidak menjadi masalah, sebab kemungkinan Paus hanya menuliskan perkiraan), yang memperkenalkan sistem penanggalan/ era Kristen, atas dasar tahun kelahiran Tuhan Yesus. Penghitungan ini dimaksudkannya untuk menggantikan era Diocletian. Namun seperti dikatakan oleh Paus Benediktus, nampaknya patokannya penghitungannya meleset beberapa tahun, sebab sepertinya Yesus lahir lebih awal beberapa tahun sebelum tahun yang dijadikan sebagai patokan itu.

      5. Berapa kali Kirenius mengadakan sensus? Seperti telah disebutkan di atas oleh Paus Benediktus XVI dalam penjelasannya mengutip Alois Stoger memperkirakan bahwa ‘sensus populasi’ tersebut merupakan proses dalam keadaan saat itu yang berlangsung lama selama beberapa tahun. Maka sensus yang terjadi memang masih sensus yang sama, tetapi dilakukannya bertahun-tahun, mengingat di zaman itu juga belum ada alat transportasi, alat komunikasi, dan mass media, seperti sekarang ini. Maka dapat terjadi, sensus itu berlangsung sejak Kirenius menjadi pejabat Kaisar (sekitar tahun 9 BC) sampai dengan tahun 6-7 AD. Maka, menurut Stoger, sensus yang sama itu terdiri dari dua tahap, yang pertama, adalah pendaftaran semua daerah dan kepemilikan properti dan lalu- di tahap kedua- penentuan tentang pembayaran yang disyaratkan. Tahap pertama terjadi pada saat kelahiran Yesus; sedangkan sensus tahap kedua, yang sangat menyulitkan rakyat, adalah yang menyebabkan pemberontakan terjadi, sebab pada saat itu, pemerintah Romawi menetapkan besarnya pembayaran pajak kepemilikan sebagai konsekuensi dari harta milik yang sudah didaftarkan itu.

      6. Apa hubungannya sensus Kirenius itu dengan Kis 5:37? (Maaf, seharusnya pemberontakan Yudas itu tercata di Kis 5:37, bukan Kis 7:37, terima kasih atas koreksi Anda).

      Nah Kis 5:37 itu menyebutkan tentang pernah terjadinya pemberontakan Yudas seorang Galilea, terhadap pemerintahan Romawi pada saat sensus/ pendaftaran penduduk; sebagai akibat diberlakukannya ketentuan pajak sehubungan dengan sensus yang diadakan di zaman Kirenius tersebut.

      Semoga tambahan keterangan ini membuat semakin jelas. Harus diakui di sini kita mempelajari fakta sejarah yang begitu jauh masanya dengan kita, dan juga pada masa penghitungan kalender yang berbeda dengan sistem kita sekarang, sehingga, memang menyimpan kesulitannya sendiri. Namun tidak benar bahwa segala sesuatunya hanya kita ‘ho-oh’ kan saja, tanpa ada dasarnya. Semua ada perhitungan dan kemungkinan alasannya, namun memang diperlukan keterbukaan hati untuk mempelajarinya, dan tidak berkeras berpegang kepada pengertian sendiri atas dasar membaca suatu sumber yang terbatas, apalagi yang ditulis oleh orang-orang yang sudah sejak awal menentang Kristus, sehingga terdapat kecenderungan untuk mencari data-data ataupun informasi yang sepertinya mendukung prakonsepsi mereka; dan tidak lagi dipikirkan apakah sumber yang dipakai sebagai patokan itu asli/ otentik atau tidak.

      Sedangkan kita umat Kristiani membaca Kitab Suci dengan hormat/ reverence, sebab kita meyakini itu adalah sabda Tuhan yang tidak mungkin salah. Sikap ini membuat kita mencari penjelasannya dengan sikap terbuka, namun juga mencari patokan dari sumber yang otentik dan dapat dipertanggungjawabkan, agar dapat dipakai untuk melengkapi/ memperjelas kebenaran yang telah disampaikan oleh sabda Tuhan itu.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

    • Shalom Loren,

      Silakan Anda membaca artikel di atas yang baru saja ditayangkan untuk menanggapi pertanyaan Anda, silakan klik.

      Demikianlah, memang harus  diterima juga suatu fakta, bahwa jika seseorang membaca Kitab Suci sejak awal dengan prasangka bahwa apa yang ditulis di sana adalah karangan manusia semata yang dapat salah, maka akan terdapat kecenderungan, bahwa jika terdapat ayat-ayat yang nampaknya tidak saling bersesuaian, ia berkesimpulan bahwa Kitab Suci menyampaikan fakta yang salah. Namun seseorang yang membaca Kitab Suci dengan menghormatinya sebagai Sabda Tuhan, ia akan melihat ketidaksesuaian itu bukan sebagai suatu kesalahan, namun sebagai informasi yang benar dan saling melengkapi, yang ditulis oleh penulis yang berbeda, untuk menyampaikan suatu fakta dengan sudut pandang yang berbeda. Tentang hal ini Paus Benediktus XVI mengingatkan bahwa cara pandang para ahli Kitab Suci dari kalangan Kristiani adalah cara yang kedua, sebab umat Kristiani mengimani bahwa apa yang tertulis dalam Kitab Suci ditulis atas inspirasi Roh Kudus, dan dengan dengan demikian tidak mungkin salah. Jika ada ketidaksesuaian antara ayat yang satu dengan yang lain, maka fakta itu dapat dijelaskan dengan mengacu kepada sumber- sumber lain, yang dapat diterima akal sehat. Pada akhirnya, kita perlu mengakui dengan rendah hati, apa yang dikatakan oleh Paus Benediktus XVI adalah benar: apapun yang terjadi, para pengarang Injil “berada di zaman yang lebih dekat kepada sumber-sumber dan kejadian-kejadian daripada kita, betapapun kita mengklaimnya demikian, meskipun dengan semua pengetahuan dari pembelajaran sejarah yang kita lakukan.”

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

Comments are closed.