[Dari Admin Katolisitas: berikut ini adalah lanjutan bagian ke-2 pertanyaan dari Simon, yang menyampaikan point-point kesalahpahaman saudara/i kita yang dari gereja Protestan. Berikut ini kami membagi beberapa point, agar pembahasan dapat menjadi lebih terarah dan sistematis.]
Pertanyaan (lanjutan):
[A. Apakah uskup Roma/ Paus timbul karena perintah Kaisar Valentinian?]
5) Karena kota Roma adalah ibukota kekaisaran Romawi, maka bishop (=uskup) Roma makin lama makin kuat kedudukannya, dan pada tahun 445 M, Kaisar Valentinian memutuskan bahwa semua bishop harus tunduk pada bishop Roma. Ini mengarah pada timbulnya Paus dan muncul-nya Roma sebagai pusat Roma Katolik.
[B. Kristen Protestan bukanlah agama/ ajaran baru yang memberontak dari Roma Katolik, tetapi ajaran yang kembali kepada kekristenan yang lama/ mula-mula?]
6) Penyelewengan yang menjadi-jadi pada abad 16, akhirnya menimbulkan Reformasi oleh Martin Luther (1517) dan lalu disusul oleh Zwingli, John Calvin, dan John Knox.
Reformasi ini bertujuan untuk memanggil orang-orang untuk ‘kembali pada Alkitab’ (back to the bible).
Dari istilah / semboyan ‘kembali pada Alkitab’ ini sebetulnya sudah jelas bahwa orang kristen yang mempunyai jiwa reformasi, harus menganggap Roma Katolik sebagai kristen yang sudah menyimpang. Kalau tidak menyimpang, mengapa harus kembali pada Alkitab?
Kesimpulan:
Kristen Protestan bukanlah agama / ajaran baru yang memberontak dari Roma Katolik, tetapi ajaran yang kembali kepada kekristenan yang lama / mula-mula, yang sudah ada sejak abad pertama!
Seperti yang dikatakan oleh Loraine Boettner:
“Roman Catholics often attempts to represent Protestantism as something comparatively new, as having originated with Martin Luther and John Calvin in the sixteenth century. … Protestantism as it emerged in the 16th century was not the beginning of something new, but a return to Bible Christianity and to the simplicity of the Apostolic church from which the Roman Church had long since departed” (= Orang Roma Katolik sering mencoba untuk menunjukkan / meng-gambarkan Protestanisme sebagai sesuatu yang baru, yang berasalmula dengan Martin Luther dan John Calvin di abad ke 16. … Protestanisme yang muncul di abad ke 16 bukanlah permulaan dari sesuatu yang baru, tetapi pengembalian pada kekristenan Alkitab dan pada kesederhanaan gereja rasuli dari mana gereja Roma sudah sejak lama menyimpang) – ‘Roman Catholicism’, hal 1.
Ia melanjutkan lagi:
“Protestantism, therefore, was not a new religion, but a return to the faith of the early church. It was Christianity cleaned up, with all the rubbish that had collected during the Middle Age thrown out” (= Karena itu, protestanisme bukanlah suatu agama baru, tetapi suatu pengembalian pada iman dari gereja mula-mula. Itu adalah kekristenan yang dibersihkan, dengan semua sampah / kotoran yang terkumpul selama abad pertengahan dibuang) – ‘Roman Catholicism’, hal 12.
Untuk lebih jelasnya, lihatlah gambar di bawah ini (hal 5).
[C. Umat Katolik dilarang membaca Alkitab?]
Kristen Protestan
Reformasi 1517
penyimpangan2 sehingga
menimbulkan Roma Katolik
Kristen mula2
III) Perbedaan dasar Katolik – Kristen Protestan:
Sebelum kita membahas perbedaan Roma Katolik dan Kristen Protestan, ada satu hal yang perlu diketahui. Loraine Boettener berkata bahwa ajaran dan praktek Roma Katolik di negara-negara dimana Katolik adalah golongan minoritas berbeda dengan Roma Katolik aslinya, atau dengan Roma Katolik di negara-negara dimana Roma Katolik merupakan golongan mayoritas, karena di negara-negara dimana mereka merupakan golongan minoritas mereka mengadakan kompromi-kompromi untuk menyesuaikan diri. Kalau kita mau melihat Roma Katolik yang sesungguhnya, kita harus melihatnya pada abad pertengahan, atau melihatnya sekarang di negara-negara seperti Spanyol, Portugal, Italia, Perancis, Irlandia Selatan dan Amerika Latin, dima-na mereka berkuasa dalam politik maupun gereja – ‘Roman Catholicism’, p 3.
Dengan mengingat satu hal itu, sekarang mari kita melihat perbedaan dasar antara Roma Katolik dengan Kristen Protestan.
A) Pandangan tentang Kitab Suci:
Secara teoritis, baik Roma Katolik maupun Kristen Protestan, mempercayai bahwa Alkitab adalah Firman Allah, tetapi:
1) Dalam Kristen Protestan:
a) Alkitab adalah untuk semua orang. Orang kristen harus memiliki dan membaca Alkitab dengan rajin dan tekun!
b) Hanya Alkitab yang merupakan dasar hidup, iman dan gereja.
2) Dalam Roma Katolik:
a) Alkitab bukan untuk orang awam (ini bertentangan dengan Maz 1:1-2 Kis 17:11).
Bahwa dalam Roma Katolik orang awam memang dilarang untuk membaca, bahkan untuk memiliki Alkitab terlihat dari:
• Keputusan Council of Valencia pada tahun 1229, yang berbunyi sebagai berikut:
“We prohibit also the permitting of the laity to have the books of the Old and New Testament, unless any one should wish, from a feeling of devotion, to have a psalter or breviary for divine service, or the hours of the blessed Mary. But we strictly forbid them to have the above-mentioned books in the vulgar tongue” (= Kami melarang juga pemberian ijin kepada orang awam untuk memiliki buku-buku Perjanjian Lama dan Baru, kecuali seseorang ingin, dari suatu perasaan untuk berbakti, untuk mempu-nyai kitab Mazmur atau buku doa Roma Katolik untuk kebaktian / pelayanan ilahi, atau saat-saat Maria yang terpuji. Tetapi kami dengan keras melarang mereka untuk memiliki buku-buku tersebut di atas dalam bahasa kasar) – Loraine Boettner, ‘Roman Catholicism’, hal 97.
Dari kata-kata ini jelas bahwa orang awam dilarang memiliki Alkitab. Yang boleh dimiliki hanyalah kitab Mazmur dan buku doa Roma Katolik, dan itupun tidak boleh dalam ‘vulgar tongue / bahasa kasar’, maksudnya buku-buku itu harus ada dalam bahasa Latin, yang jelas ada di luar jangkauan orang awam.
• Penegasan larangan itu oleh Council of Trent dengan memberi-kan keputusan sebagai berikut:
“In as much as it is manifest, from experience, that if the Holy Bible, translated into the vulgar tongue, be indis-criminately allowed to everyone, the temerity of men will cause more evil than good to arise from it; it is, on this point, reffered to the judgment of the bishops, or inquisitors, who may, by the advice of the priest or confessor, permit the reading of the Bible translated into the vulgar tongue by Catholic authors, to those persons whose faith and piety, they apprehend, will be augmented, and not injured by it; and this permission they must have in writing” [= Karena jelas / nyata, dari pengalaman, bahwa kalau Alkitab Kudus, yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa kasar (bahasa biasa yang non Latin) diijinkan secara sembarangan kepada semua orang, kesembronoan manusia akan menyebab-kan lebih banyak kejahatan dari pada kebaikan yang muncul dari padanya; maka pada titik ini diserahkan pada penghakiman dari uskup, atau pejabat Roma Katolik yang meneliti penyesatan, yang oleh nasehat dari imam / pastor atau confessor (= pastor yang diberi otoritas untuk menerima pengakuan dosa), boleh mengijinkan pembacaan Alkitab yang diterjemahkan ke dalam bahasa kasar / biasa oleh pengarang Katolik, ke-pada orang-orang yang iman dan kesalehannya, menu-rut mereka, akan bertambah, dan bukannya dirusak oleh pembacaan itu; dan ijin itu harus mereka miliki secara tertulis] – Loraine Boettner, ‘Roman Catholicism’, hal 97.
• Kata-kata Liguori sebagai berikut:
“The Scriptures and books of Controversy may not be permitted in the vulgar tongue, as also they cannot be read without permission” (= Kitab Suci dan buku-buku Pertentangan / Perdebatan tidak boleh diijinkan dalam bahasa kasar / biasa, sebagaimana mereka juga tidak boleh dibaca tanpa ijin) – Loraine Boettner, ‘Roman Catholicism’, hal 98.
• Kata-kata Paus Clement XI (tahun 1713) dalam Bull Unigenitus, yang berbunyi:
“We strictly forbid them (the laity) to have the books of the Old and New Testament in the vulgar tongue” [= Kami dengan keras melarang mereka (orang awam) untuk mempunyai buku-buku Perjanjian Lama dan Baru dalam bahasa kasar / biasa] – Loraine Boettner, ‘Roman Catholicism’, hal 98.
Karena itu, kalau sekarang ada gereja Katolik / pastor yang menganjurkan jemaat biasa membaca Alkitab, sebetulnya itu adalah suatu penyimpangan dari ajaran Roma Katolik yang sesungguhnya!
Kalau ada orang yang berpendapat bahwa itu bukanlah suatu penyimpangan dari Roma Katolik, tetapi memang Roma Kato-liknya sudah diperbaiki / berubah, maka perlu diingat bahwa dalam Roma Katolik, tradisi (termasuk keputusan Council dan Paus) disetingkatkan dengan Firman Tuhan, sehingga tidak bisa berubah / diperbaiki!
[D. Apakah Tradisi bertentangan dengan Alkitab? Apa yang termasuk sebagai Tradisi?]
Sebetulnya mengapa Roma Katolik melarang jemaatnya memiliki / membaca Alkitab? Loraine Boettner menjawab sebagai berikut:
“Rome simply does not like Bible study either for her priests or for her people, for they find too many things there that are not in accord with their church” [= Roma tidak menyenangi pemahaman Alkitab baik untuk imam / pastor maupun untuk jemaat, karena mereka men-dapatkan terlalu banyak hal di sana (dalam Alkitab) yang tidak cocok / sesuai dengan gereja mereka] – ‘Roman Catholicism’, hal 67-68.
b) Alkitab ditambahi dengan ‘tradisi’ (ini bertentangan dengan Ul 4:2 Wah 22:18-19).
1. Yang disebut ‘tradisi’ dalam ajaran Roma Katolik:
a. 12 kitab-kitab Apocrypha.
Ada 15 kitab Apocrypha yang ditambahkan kepada Alkitab oleh orang Roma Katolik, yaitu:
1. Kitab Esdras yang pertama.
2. Kitab Esdras yang kedua.
3. Tobit.
4. Yudit.
5. Tambahan-tambahan pada kitab Ester.
6. Kebijaksanaan Salomo.
7. Yesus bin Sirakh.
8. Barukh.
9. Surat dari nabi Yeremia.
10. Doa Azarya dan Lagu pujian ketiga pemuda.
11. Susana.
12. Bel dan naga.
13. Doa Manasye.
14. Kitab Makabe yang pertama.
15. Kitab Makabe yang kedua.
Catatan: Dalam Kitab Suci Roma Katolik bahasa Indonesia, no 10,11,12 dijadikan satu kitab, yaitu ‘Tambahan-tambahan pada kitab Daniel’.
Tetapi 3 dari kitab-kitab Apocrypha ini akhirnya ditolak oleh Council of Trent, yaitu no 1, no 2 dan no 13, dan karena itu akhirnya hanya 12 kitab Apocrypha yang dimasukkan ke dalam Alkitab mereka.
Loraine Boettner mengatakan bahwa:
• Kitab Esdras yang kedua ditolak karena di dalamnya ada penolakan terhadap doa untuk orang mati (2 Esdras 7:105) – Loraine Boettner, ‘Roman Catholicism’, hal 80.
• Sebetulnya ada lebih banyak lagi kitab-kitab Apocrypha yang lain, tetapi semua ini tidak pernah dimasukkan ke dalam Kitab Suci Roma Katolik. Mengapa? Loraine Boettner menjawab:
“The Council of Trent evidently selected only books that would help them in their controversy with the Reformers, and none of these gave promise of doing that” (= Council of Trent dengan jelas menyeleksi hanya buku-buku yang akan membantu mereka dalam pertentangan dengan para Reformator, dan tidak ada satupun dari buku-buku itu menjanjikan mereka untuk melakukan hal itu) – ‘Roman Catholicism’, hal 87.
[E. Kitab-kitab Deuterokanonika tidak diilhami Roh Kudus dan karenanya ‘sesat’?]
Ke 12 kitab-kitab Apocrypha ini tebalnya lebih kurang dua per tiga Perjanjian Baru. Ini juga disebut dengan istilah Deutrokanonika (= kanon yang kedua).
Kristen Protestan menolak kitab-kitab Apocrypha ini dengan alasan:
• Dalam Perjanjian Baru, ada kira-kira 260 kutipan langsung dari Perjanjian Lama, dan juga ada kira-kira 370 penggunaan bagian-bagian Perjanjian Lama yang tidak merupakan kutipan langsung. Ini menunjukkan bahwa baik Yesus maupun rasul-rasul mengakui otoritas Per-janjian Lama sebagai Firman Allah, dan mengguna-kannya sebagai dasar hidup, iman dan ajaran mereka. Tetapi baik Yesus maupun rasul-rasul tidak pernah me-ngutip dari kitab-kitab Apocrypha sebagai dasar ajaran mereka, padahal kitab-kitab Apocrypha itu sudah ada / beredar pada jaman Tuhan Yesus hidup di dunia ini. Ini menunjukkan bahwa mereka tidak mengakui kitab-kitab Apocrypha itu sebagai Firman Allah!
• Penulis kitab-kitab Apocrypha itu sendiri tidak menunjukkan dirinya sebagai penulis Firman Tuhan yang diberi-kan Allah kepada manusia.
Untuk itu bandingkan Wah 22:18-19 yang terletak pada akhir Kitab Suci / Perjanjian Baru dengan 2Makabe 15:37b-38 yang terletak pada akhir dari kitab-kitab Deutrokanonika:
Wah 22:18-19 berbunyi:
“Aku bersaksi kepada setiap orang yang mendengar perkataan-perkataan nubuat dari kitab ini: Jika seorang menambahkan sesuatu kepada perkataan-perkataan ini, maka Allah akan menambahkan kepadanya malapetaka-malapetaka yang tertulis di dalam kitab ini. Dan jikalau seorang mengurangkan sesuatu dari perkataan-perka-taan dari kitab nubuat ini, maka Allah akan mengambil bagiannya dari pohon kehidupan dan dari kota kudus seperti yang tertulis di dalam kitab ini”.
Dari Wah 22:18-19 ini terlihat dengan jelas otoritas dari tulisan rasul Yohanes ini sebagai Firman Tuhan yang tidak boleh ditambahi ataupun dikurangi.
Sekarang bandingkan dengan 2 Makabe 15:37b-38 yang berbunyi:
“Maka aku sendiripun mau mengakhiri kisah ini. Jika susunannya baik lagi tepat, maka itulah yang ku-kehendaki. Tetapi jika susunannya hanya sedang-sedang dan setengah-setengah saja, maka hanya itulah yang mungkin bagiku”.
Ini sama sekali tidak menunjukkan orang yang menuliskan Firman Tuhan di bawah pengilhaman Roh Kudus! Perhatikan kata-kata ‘kukehendaki’ dan ‘bagiku’. Bagai-mana kita bisa mempercayai otoritas tulisan seperti ini, sedangkan penulisnya sendiripun tidak yakin akan ke-benaran tulisannya!
Hal yang mirip dengan itu terdapat dalam Kata Pengantar dari ‘Yesus bin Sirakh’ yang mengandung kalimat sebagai berikut:
“Maka para pembaca dipersilakan mengadakan pembacaan karangan ini dengan rela hati dan penuh minat, lagi pula menaruh kemurahan hati, andaikata kami sendiri, meskipun sedapat-dapat-nya mengusahakan terjemahannya, kurang teliti menyalin beberapa kalimat”.
• Dalam kitab-kitab Apocrypha itu ada kesalahan-kesalahan, seperti:
o Yudit 1:1,7 menyebut Nebukadnezar sebagai raja Asyur di Niniwe, sedangkan kita tahu bahwa sebetul-nya Nebukadnezar adalah raja Babilonia (Daniel 4:4-6,30).
o Tobit 5:13 menceritakan tentang seorang malaikat yang bernama Rafael, yang berdusta dengan mem-perkenalkan dirinya sebagai ‘Azarya bin Ananias’, atau ‘Azarya anak laki-laki dari Ananias’.
Bagaimana mungkin kitab-kitab yang mengandung kesalahan seperti itu bisa disetingkatkan dengan Kitab Suci / Firman Tuhan?
• Dalam kitab-kitab Apocrypha ada doktrin sesat ’salvation by works’ (= keselamatan karena perbuatan baik), se-perti:
o Tobit 12:9 berbunyi: “Memang sedekah melepaskan dari maut dan menghapus setiap dosa”.
o Tobit 4:10 berbunyi: “Memang sedekah melepas-kan dari maut dan tidak membiarkan orang masuk ke dalam kegelapan”.
o Tobit 14:10-11a berbunyi: “Nak, ingatlah kepada apa yang telah diperbuat Nadab kepada bapa pengasuhnya, yaitu Ahikar. Bukankah Ahikar hidup-hidup diturunkan ke bagian bawah bumi? Tetapi Allah telah membalas kelaliman Nadab ke atas kepalanya sendiri. Ahikar keluar menuju cahaya, sedangkan Nadab turun ke kegelapan kekal, oleh karena ia telah berusaha membunuh Ahikar. Karena melakukan kebajikan maka Ahikar luput dari jerat maut yang dipasang ba-ginya oleh Nadab. Sedangkan Nadab jatuh ke dalam jerat maut yang juga membinasakan-nya. Makanya anak-anakku, camkanlah apa yang dihasilkan oleh sedekah dan apa yang dihasilkan oleh kelaliman”.
o Sirakh 3:3a berbunyi: “Barangsiapa menghormati bapanya memulihkan dosa”.
Doktrin sesat ini jelas bertentangan dengan Gal 2:16,21 dan Ef 2:8-9.
[F. Tulisan Bapa Gereja bertentangan? Paus Gregorius Agung mengatakan 1 Makabe tidak kanonikal?]
b. Tulisan bapa-bapa gereja.
Padahal tulisan-tulisan bapa-bapa gereja ini sering bertentangan satu sama lain, dan bahkan sering terjadi bahwa seorang bapa gereja berubah pandangan sehingga ia lalu menuliskan sesuatu yang bertentangan dengan tulisannya yang sebelumnya.
c. Keputusan sidang-sidang gereja (council).
d. Keputusan-keputusan Paus.
Lucunya, ada Paus-paus yang menentang kitab-kitab Apocrypha, dan dengan demikian mereka bertentangan dengan Council of Trent yang memasukkan kitab-kitab itu ke dalam Alkitab. Loraine Boettner mengutip kata-kata Dr. Harris yang dalam bukunya yang berjudul ‘Fundamental Protestant Doctrines’, I, hal 4, berkata:
“Pope Gregory the Great declared that First Maccabees, an Apocryphal book, is not canonical. Cardinal Zomenes, in his polygot Bible just before the Council of Trent, excluded the Apocrypha and his work was approved by pope Leo X. Could these popes have been mistaken or not? If they were correct, the decision of the Council of Trent was wrong. If they were wrong where is a pope’s infallibility as a teacher of doctrine?” (= Paus Gregory yang Agung menyatakan bahwa kitab Makabe yang pertama, suatu kitab Apocrypha, tidak termasuk kanon. Kardinal Zomenes, dalam Alkitab polygotnya persis sebelum Council of Trent, mengeluarkan / membuang Apocrypha dan pekerjaannya disetujui oleh Paus Leo X. Apakah Paus-paus ini bisa salah atau tidak? Jika mereka benar, keputusan Council of Trent salah. Jika mereka salah, dimana ketidakbersalahan Paus sebagai seorang pengajar doktrin?) – Loraine Boettner, ‘Roman Catholicism’, hal 83.
[Dari Admin Katolisitas: surat ini diedit/ dipenggal sampai di sini untuk bagian ke-2. Bagian selanjutnya dari surat ini akan dimasukkan dalam bagian ke-3, dan akan dijawab dalam tulisan bagian ke-3 tersebut]
Salam, Simon
Jawaban (lanjutan):
Shalom Simon,
Pertama-tama, sebelum saya melanjutkan, saya ingin menekankan di sini agar dalam diskusi /menanggapi pertanyaan dari sdr/i kita yang Protestan, kita harus menomorsatukan kasih. Maksud kami di sini adalah semata-mata menjelaskan apa yang kami ketahui menjadi ajaran Gereja Katolik dan berdasarkan fakta objektif yang terjadi, dan bukannya untuk ‘menjatuhkan’ apalagi menjelek-jelekkan. Setelah kita menyampaikan apa yang kita ketahui, sesungguhnya, terpulang kepada mereka yang bertanya, bagaimana mereka menyikapi keterangan kita.
[A. Apakah uskup Roma/ Paus timbul karena perintah Kaisar Valentinian?]
Dari fakta sejarah, kira ketahui bahwa keutamaan keuskupan Roma untuk memimpin Gereja telah dimulai sejak Gereja awal yaitu di abad pertama. Kita mengetahuinya dari tulisan St. Klemens, Paus penerus ketiga setelah Rasul Petrus, (tahun 96) kepada jemaat di Korintus. St. Klemens yang menyelesaikan konflik di antara jemaat di Korintus membuktikan kepemimpinan Gereja di bawah penerus Rasul Petrus sebagai uskup di Roma.[4] Kepemimpinan di bawah Paus di Roma ini diakui oleh Gereja Katolik sampai saat ini (Lumen Gentium 22).
Fakta bahwa daerah yurisdiksi keuskupan Roma meluas di abad ke 4, itu adalah sejalan dengan perkembangan dan penyebaran Gereja Katolik. Kaisar Valentinian (321-375) memang seorang Kristen, dan semasa pemerintahannya ia mengizinkan kebebasan beragama. Maka demi menjaga kedamaian dan keteraturan kehidupan beragama, ia menganjurkan agar orang Kristen mengikuti ajaran Bapa Paus di Roma, namun itu bukan berarti bahwa sebelumnya umat Kristen tidak mengakui kepemimpinan Paus di Roma.
[B. Kristen Protestan bukanlah agama/ ajaran baru yang memberontak dari Roma Katolik, tetapi ajaran yang kembali kepada kekristenan yang lama/ mula-mula?]
Untuk melihat hal ini sebaiknya kita melihat kepada fakta yang membandingkan Gereja jemaat awal dengan Gereja Kristen Protestan sekarang. Gereja awal memiliki sifat yang jelas, yaitu Gereja yang tidak terpecah-pecah (satu), walaupun tersebar secara universal di banyak kawasan, dan yang berdasarkan atas pengajaran dan iman para rasul. Pengajaran para rasul ini termasuk hal iman dan moral maupun tata cara ibadah.
Sesungguhnya, walaupun dikatakan bahwa prinsip pengajaran Protestan “Sola Fide (Iman saja) dan Sola Scriptura (Kitab Suci saja)” yang menyelamatkan berdasarkan Alkitab, kita dapat melihat bahwa sesungguhnya Alkitab secara keseluruhan tidak mengajarkan demikian. Walaupun benar dikatakan bahwa kita diselamatkan karena iman, namun iman di sini tidak pernah terlepas dari kasih, atau iman bekerja oleh kasih (lih. Gal 6:5). Maka memisahkan iman dari kasih sebenarnya tidak sesuai dengan pesan keseluruhan Alkitab. Paus Benediktus XVI dalam salah satu khotbahnya tentang Sola Fide, telah menjelaskan hal ini, silakan klik di sini untuk membacanya.
Sedangkan Sola Scriptura (Alkitab saja) tidak pernah diajarkan dalam Alkitab. Yang ada adalah ayat dari 2 Tim 3:16 yang menyebutkan “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran” , namun tidak dikatakan bahwa hanya dengan berpegang kepada Alkitab saja, maka seseorang diselamatkan. Yang dikatakan malah “tiang penopang dan dasar kebenaran” adalah Gereja/ jemaat Allah yang hidup (lihat 1 Tim 3:15). Selanjutnya, fakta menunjukkan bahwa doktrin Sola Scriptura ini malah mengakibatkan perpecahan gereja, karena semua orang dapat mengklaim, memperoleh inspirasi Roh Kudus untuk menginterpretasikan Alkitab. Namun kenyataannya, mereka mengartikannya sesuai dengan pendapatnya sendiri-sendiri. Silakan klik untuk membaca lebih lanjut mengenai hal ini.
Selanjutnya, jika kita perhatikan dari hal ibadahnya, juga kita melihat dari bukti tulisan para Bapa Gereja di abad-abad awal, bahwa bentuk ibadah Gereja awal lebih menyerupai perayaan Ekaristi dalam Gereja Katolik; karena ibadah jemaat awal tidak hanya menitikberatkan pada pembacaan Alkitab dan khotbah, tetapi juga pada perayaan perjamuan kudus yang merupakan kenangan kurban Kristus. Silakan membaca mengenai hal ini dalam artikel ini, silakan klik
[C. Umat Katolik dilarang membaca Alkitab?]
Pernyataan ini sungguh keliru. Kutipan yang diambil di atas diambil, tanpa melihat konteks yang ada pada saat itu. Loraine Boettner, (1928), pernah mengutip, “Alkitab dilarang untuk orang awam, yang dimasukkan dalam buku Indeks Buku-buku Terlarang oleh Konsili Valencia thn 1229? (”Bible forbidden to laymen, placed on the Index of Forbidden Books by the Council of Valencia . . . [A.D.] 1229.“) Namun sebenarnya Boettner mengutip sumber yang keliru. Sebab, indeks Buku-buku Terlarang itu baru dikeluarkan tahun 1559, sehingga Konsili yang diadakan jauh sebelumnya, tidak mungkin memasukkan daftar buku-buku tersebut.
Hal kedua yang cukup penting adalah, kelihatannya sangat tidak mungkin diadakan Konsili Gereja Katolik di Valencia, Spanyol pada tahun itu. Seandainya ada, semestinya terjadi sebelum tahun 1229, sebab pada tahun itu, orang-orang Islam menguasai kota itu. Sangat sukar dibayangkan, jika orang-orang Muslim pada saat itu, yang menentang orang-orang Kristen di Spanyol, dapat memberikan izin bagi para Uskup Katolik untuk mengadakan Konsili di salah satu kota mereka. Pasukan Kristen baru dapat membebaskan Valencia setelah 9 tahun kemudian. Maka, besar kemungkinan, Konsili Valencia sebenarnya tidak pernah ada.
Tetapi ada juga kemungkinan lain, yaitu yang dimaksud adalah Konsili di Toulouse, Perancis yang diadakan pada tahun 1229, sebab Konsili tersebut membahas tentang Kitab Suci. Konsili tersebut diadakan sebagai reaksi terhadap heresi Albigensian/ Catharist, yang percaya pada dua Tuhan (Tuhan yang Baik dan yang Jahat) dan bahwa perkawinan adalah jahat/ buruk, sebab melibatkan tubuh/ matter, karena tubuh dianggap buruk. Heresi ini menyimpulkan bahwa perzinahan bukan dosa, dan bahkan menganjurkan bunuh diri di antara anggota-anggotanya. Untuk menyebarluaskan paham ini, maka para Albigensian menyebarluaskan terjemahan Alkitab yang tidak akurat dalam bahasa setempat (menyerupai terjemahan Alkitab dari Saksi Yehova sekarang ini). Seandainya terjemahan itu akurat, tentu Gereja Katolik tidak berkeberatan. Sebab terjemahan dalam bahasa lokal memang sudah ada sejak lama. Tetapi apa yang dikeluarkan dari Albigensian ini adalah Alkitab yang sudah ’salah terjemahan’. Maka para Uskup di Toulouse melarang para awam untuk membacanya, sebab isinya keliru. Ini adalah langkah untuk melindungi umat, sama seperti para pendeta Protestan sekarang ini juga yang melarang jemaatnya membaca Injil Saksi Yehova.
Selanjutnya, mari kita lihat sikap resmi yang dikatakan oleh Gereja Katolik, yaitu pernyataan Paus Klemens XI melalui Bull Unigenitus 1713, yang memuat 101 proposisi menanggapi ajaran sesat Quesnel yang mengajarkan faham Jensen. Silakan membaca di link ini tentang keseluruhan Bull tersebut –silakan klik Pada dasarnya, 101 proposisi itu ditolak oleh Paus Klemens XI karena mengandung unsur ajaran yang keliru/ salah, yaitu:1) Ajaran bahwa dalam keadaan berdosa, manusia sudah tidak punya kehendak bebas lagi; padahal menurut Gereja Katolik, walaupun manusia telah jatuh dalam dosa asal, selanjutnya manusia masih mempunyai kehendak bebas. 2) Ide bahwa rahmat Allah itu sifatnya mutlak dan tak bisa ditolak, padahal menurut Gereja Katolik, manusia dengan kehendak bebasnya dapat menolak atau tidak bekerjasama dengan rahmat Allah; 3) Ide bahwa Tuhan tidak memberi rahmat yang cukup pada semua orang, seolah sekelompok orang ditentukan ke surga, sebagian yang lain ke neraka; padahal menurut Gereja Katolik, Tuhan memberikan rahmat yang cukup kepada semua orang, namun tergantung juga pada kerjasama orang itu mau menanggapi atau tidak, 4) Penolakan bahwa manusia dapat berbuat sesuatu yang baik tanpa rahmat Tuhan, padahal menurut Gereja Katolik seseorang dapat tetap berbuat baik, tanpa rahmat Tuhan, namun perbuatan baik itu tidak mempunyai nilai supernatural 5) kurang adanya pembedaan antara kodrat (natural) dan ke-ilahian (supernatural); padahal Gereja Katolik membedakan keduanya dan 6) praktek religius yang ketat/ keras di luar batas yang diajarkan oleh Gereja.
Jadi dari jawaban di atas, menurut saya jelaslah sudah duduk masalahnya. Gereja Katolik tidak melarang umatnya membaca Alkitab, hanya memang pada suatu periode tertentu sekitar abad ke 13, yang terasa akibatnya sampai pada abad 15/16, memang terjadi kondisi khusus sehubungan dengan adanya penyelewengan teks Kitab Suci yang dilakukan oleh sekte- sekte sesat (seperti Albigensian dan Jensenism) pada saat itu. Maka larangan untuk membaca Alkitab pada saat itu merupakan tindakan gembala untuk menyelamatkan kawanan dombanya. Dan jika kita melihat, ungkapan yang dikeluarkan oleh Konsili Trente adalah merupakan anjuran dengan maksud agar penerjemahan Alkitab dilakukan dengan hati-hati, dan jangan sampai malah melemahkan iman umat, karena salah terjemahan. Maka kata yang digunakan adalah ‘if’/ ‘kalau’.
“In as much as it is manifest, from experience, that if the Holy Bible, translated into the vulgar tongue, be indiscriminately allowed to everyone, the temerity of men will cause more evil than good to arise from it; it is, on this point, refered to the judgment of the bishops, or inquisitors, who may, by the advice of the priest or confessor, permit the reading of the Bible translated into the vulgar tongue by Catholic authors, to those persons whose faith and piety, they apprehend, will be augmented, and not injured by it; and this permission they must have in writing”
Para uskup dihimbau untuk menggunakan kebijaksanaan mereka dalam hal menerjemahkan Alkitab ke bahasa lokal/ setempat, agar jangan sampai di-salah terjemahkan, dan karenanya untuk menerjemahkan harus ada ijin tertulis dari pihak otoritas Gereja. Namun dalam kondisi sudah dijamin bahwa terjemahannya sesuai maka Gereja Katolik mengharuskan umat membaca Kitab Suci, seperti yang diajarkan dalam Konsili Vatikan ke II Dei Verbum 25, yang mengatakan,
“Begitu pula Konsili suci mendesak dengan sangat dan istimewa semua orang beriman, terutama para religius, supaya dengan sering kali membaca kitab-kitab ilahi memperoleh “pengertian yang mulia akan Yesus Kristus” (Flp3:8). “Sebab tidak mengenal Alkitab berarti tidak mengenal Kristus”[39]. Maka hendaklah mereka dengan suka hati menghadapi nas yang suci sendiri, entah melalui liturgi suci yang sarat dengan sabda-sabda ilahi, entah melalui bacaan yang saleh, entah melalui lembaga-lembaga yang cocok untuk itu serta bantuan-bantuan lain, yang berkat persetujuan dan usaha para Gembala Gereja dewasa ini tersebar dimana-mana dengan amat baik….”
Mari kita melihat segala sesuatunya dengan kacamata yang objektif, melihat fakta sejarah, namun juga dengan kepercayaan penuh kepada apa yang diputuskan oleh para pemimpin Gereja. Jangan lupa, bahwa Roh Kudus yang telah diutus oleh Yesus untuk melindungi Gereja-Nya adalah Roh Kudus yang sama yang menuntun para pemimpin Gereja yang adalah penerus para Rasul.
[D. Apakah Tradisi bertentangan dengan Alkitab? Apa yang termasuk sebagai Tradisi?]
Karena bersumber dari Allah yang sama, maka Tradisi tidak akan mungkin bertentangan dengan Alkitab.Tradisi itu ada, karena kita ketahui bahwa tidak semua yang Kristus lakukan ter-rekam dalam Kitab Suci, seperti yang dikatakan oleh Rasul Yohanes (lih. Yoh 21:25). Kita ketahui dari Alkitab bahwa para rasul mengajarkan agar para penerus mereka mengajarkan apa yang telah mereka dengar (2 Tim 2:2) dan bahwa pengajaran Kristiani diteruskan baik melalui tulisan maupun perkataan (lih. 2 Tes 2:15; 1 Kor 11:2). Maka di sinilah kita melihat bahwa Tradisi Suci, yang bersumber dari pengajaran yang tidak tertulis dari para rasul mempunyai bobot yang sama dengan pengajaran yang tertulis dalam surat, yang nantinya menjadi bagian dari Alkitab.
Berikut ini adalah Tradisi Suci:
Dei Verbum 8, “Maka para Rasul, seraya meneruskan apa yang telah mereka terima sendiri, mengingatkan kaum beriman, supaya mereka berpegang teguh pada ajaran-ajaran warisan, yang telah mereka terima entah secara lisan entah secara tertulis (lih. 2Tes2:15), dan supaya mereka berjuang untuk membela iman yang sekali untuk selamanya diteruskan kepada mereka (lih. Yud 3) Adapun apa yang telah diteruskan oleh para Rasul mencakup segala sesuatu, yang membantu Umat Allah untuk menjalani hidup yang suci dan untuk berkembang dalam imannya…..”
Dei Verbum 9, “Jadi Tradisi suci dan Kitab suci berhubungan erat sekali dan berpadu. Sebab keduanya mengalir dari sumber ilahi yang sama, dan dengan cara tertentu bergabung menjadi satu dan menjurus ke arah tujuan yang sama. Sebab Kitab suci itu pembicaraan Allah sejauh itu termaktub dengan ilham Roh ilahi. Sedangkan oleh Tradisi suci sabda Allah, yang oleh Kristus Tuhan dan Roh Kudus dipercayakan kepada para Rasul, disalurkan seutuhnya kepada para pengganti mereka, supaya mereka ini dalam terang Roh kebenaran dengan pewartaan mereka memelihara, menjelaskan dan menyebarkannya dengan setia…”
Dei Verbum 10, “Tradisi suci dan Kitab suci merupakan satu perbendaharaan keramat sabda Allah yang dipercayakan kepada gereja.”
Jadi walaupun Tradisi Suci diperoleh dari pembicaraan lisan antara Yesus dan para murid-Nya, namun ketika diteruskan kepada generasi berikutnya, pengajaran tersebut dituliskan. Jadi bukan berarti selama-lamanya Tradisi Suci hanya pengajaran dari mulut ke mulut, sehingga tidak bisa dijamin kebenarannya. Selanjutnya dalam sejarah Gereja dikenal Tradisi Suci dan tradisi disipliner/ konkret, yaitu:
KGK 83 Tradisi yang kita bicarakan di sini, berasal dari para Rasul, yang meneruskan apa yang mereka ambil dari ajaran dan contoh Yesus dan yang mereka dengar dari Roh Kudus. Generasi Kristen yang pertama ini belum mempunyai Perjanjian Baru yang tertulis, dan Perjanjian Baru itu sendiri memberi kesaksian tentang proses tradisi yang hidup itu. Tradisi-tradisi teologis, disipliner, liturgis atau religius, yang dalam gelindingan waktu terjadi di Gereja-gereja setempat, bersifat lain. Mereka merupakan ungkapan-ungkapan Tradisi besar yang disesuaikan dengan tempat dan zaman yang berbeda-beda. Dalam terang Tradisi utama dan di bawah bimbingan Wewenang Mengajar Gereja, tradisi-tradisi konkret itu dapat dipertahankan, diubah, atau juga dihapus.
Maka dari KGK 83 kita memiliki 2 pengertian Tradisi, yaitu
1) Tradisi Suci (dengan huruf besar), yang berasal dari Para Rasul yang berasal dari Yesus sendiri. Tradisi Suci ini, karena berasal dari Yesus, maka tidak dapat diubah.
2) Tradisi konkret, berupa tradisi (huruf kecil) teologis, dislipliner, liturgis yang berlaku dalam Gereja sehubungan dengan keadaan setempat. Tradisi konkret ini, dapat dipertahankan, diubah, atau dihapus, sesuai dengan bimbingan Wewenang Mengajar (Magisterium)
Maka menurut pengertian di atas, maka Tradisi Suci tidak sama dengan Kitab Deuterokanonika (yang disebut oleh gereja Protestan sebagai Apocrypha). Kitab Deuterokanonika adalah bagian dari Alkitab Perjanjian Lama, yang telah ditetapkan di dalam kanon Alkitab sejak Konsili Hippo 393 dan Carthage 397. Melalui Konsili tersebut, yang kemudian dikukuhkan dalam kosili-konsili berikutnya, kitab Deuterokanonika yang termasuk dalam PL ditetapkan sebagai kitab-kitab yang di-ilhami oleh Roh Kudus. Maka yang ditetapkan oleh Konsili ini sendiri adalah Tradisi Suci, yaitu kanon Kitab Suci, sedangkan kitab Deuterokanonika-nya itu sendiri, setelah ditetapkan dalam kanon, menjadi bagian dari Kitab Suci.
Kitab Deuterokanonika yang dibicarakan di sini adalah 7 kitab yaitu Kebijaksanaan Salomo, Sirakh, Yudit, Barukh, Tobit, 1 dan 2 Makabe, beserta tambahan Kitab Daniel dan Esther yang tidak diakui oleh gereja Protestan.
Silakan membaca lebih lanjut mengenai hal kanon Kitab Suci ini di artikel ini, silakan klik
Penting juga diketahui di sini bahwa pada saat Konsili Hippo dan Carthage menetapkan kanon Kitab Suci di abad ke-4 tersebut, kitab Deuterokanonika sudah termasuk di dalamnya. Jadi bukannya kitab tersebut baru ‘ditambahkan’ oleh Gereja Katolik pada Konsili Trente (1564). Gereja Protestan yang mencoret kitab-kitab tersebut dari Alkitab, karena berpandangan bahwa kitab-kitab tersebut tidak asli (karena tidak ditemukan teks Ibrani-nya), dan dengan keinginan mengikuti kanon umat Yahudi tentang Perjanjian Lama. Sayangnya, fakta menunjukkan bahwa umat Yahudi tidak memiliki otoritas yang menentukan kanon kitab suci mereka, dan terdapat pandangan yang berbeda-beda (Saduki dan Farisi tidak sepaham, dll), dari abad awal sampai sekarang. Sebenarnya, adalah suatu ironi, untuk lebih mempercayai kanon Yahudi hasil dari suatu pertemuan di Jamnia, yang tidak memiliki otoritas bahkan di kalangan Yahudi sendiri- daripada mempercayai otoritas Gereja, dalam hal ini Gereja Katolik. Terlebih lagi, konsili para rabi di Jamnia yang dijadikan patokan itu adalah konsili yang menolak Perjanjian Baru, sebab mereka tidak percaya kepada Kristus.
[E. Kitab-kitab Deuterokanonika tidak diilhami Roh Kudus dan karenanya ‘sesat’?]
Pertama- tama, tidak benar bahwa ajaran dalam kitab Deuterokanonika tidak dikutip dalam Perjanjian Baru. Silakan klik di link ini untuk melihat bahwa ada banyak ayat dalam Perjanjian Baru yang mengambil dasar dari pengajaran yang dituliskan dalam Kitab Deuterokanonika. Ada sedikitnya 87 ayat dari Kitab Deuterokanonika yang mempunyai kemiripan dengan ayat-ayat dari Perjanjian Baru.
Berikut ini adalah tanggapan akan pandangan yang mengatakan bahwa terdapat ketidakcocokan/ kesesatan dalam kitab Deuterokanonika:
1) Ketidakcocokan tentang nama raja Nebukadnezzar dalam Kitab Yudit. Hal ini sudah pernah saya jawab panjang lebar di sini, silakan klik, yang dapat menjelaskan bagaimana menjelaskan kitab Yudit secara historis.
2) Penyamaran malaikat Rafael dalam diri Azarya bin Ananias, dikatakan sebagai kesalahan/ kebohongan sehingga tidak dapat dikatakan sebagai firman Tuhan. Namun dalam kitab lain dalam Perjanjian Lama, kita mengenal kisah ‘penyamaran’ malaikat dalam rupa manusia, misalnya, dalam kedua malaikat yang diutus untuk menyelamatkan Lot dari kehancuran kota Sodom (Kej 19:1-29), pergumulan Yakub (Kej 32:22–32), dan penyamaran malaikat dalam bentuk manusia juga kita lihat dalam kisah kebangkitan Yesus (lih. Mrk 16:5-7; Luk 24:5-7). Hanya memang mereka tidak memperkenalkan diri dan meyebutkan nama mereka. Namun mengenai hal nama, sebenarnya malaikat Rafael tidak berbohong, sebab ia menyebutkan namanya sesuai dengan tugas yang diembannya saat diutus Tuhan pada saat itu, yaitu menjadi “Azarya”, yang dalam bahasa Ibrani artinya: pertolongan Tuhan, dan “Ananias”, yang artinya rahmat Tuhan. Kita ketahui bahwa malaikat Rafael diutus oleh Tuhan untuk menolong keluarga Tobit, yaitu membantu mengusir Iblis pada Sara yang akhirnya menikah dengan Tobia, dan kemudian menyembuhkan Tobit dari kebutaan. Nama Azarya ini digunakan juga oleh malaikat yang diutus Tuhan untuk menyelamatkan Sadrakh, Mesakh dan Abednego dari hukuman di perapian yang dipasang atas perintah Raja Nebukadnezar (lih Dan 3, Tamb Dan 3:24-50)
3) Dikatakan bahwa di kitab Deuterokanonika terdapat doktrin sesat ’salvation by works’ (= keselamatan karena perbuatan baik), karena dalam kitab Tobit diajarkan pentingnya arti sedekah dan perbuatan baik, yang dikatakan sebagai “melepaskan dari maut dan menghapus setiap dosa” (Tobit 12:9) dan “tidak membiarkan orang masuk dalam kegelapan.” (Tobit 4:10). Lalu Tobit 14:10-11a membandingkan akibat sedekah dan akibat perbuatan kelaliman. Selanjutnya dalam Sirakh 3:3a, “Barangsiapa menghormati bapanya memulihkan dosa”.
Dikatakan bahwa ayat-ayat ini bertentangan dengan Gal 2:16,21 yang mengatakan bahwa seseorang “dibenarkan bukan oleh hukum Taurat tetapi hanya oleh iman dalam Kristus Yesus”, dan Ef 2:8-9, yang mengatakan, “karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman.”
Perlu kita ketahui bersama, bahwa Gereja Katolik juga tidak mengatakan bahwa seseorang diselamatkan karena hukum Taurat. Maka Gereja Katolik juga meng-aminkan Gal 2:16,21 dan Ef 2:8-9. Namun, ‘iman di dalam Yesus Kristus’ di sini tidak untuk dipertentangkan dengan kasih, atau “iman saja, kasih tidak perlu” bagi seseorang untuk diselamatkan. Kenapa? Karena di seluruh Alkitab, iman tidak dipisahkan dengan kasih. Maka kita memang diselamatkan hanya karena iman di dalam Kristus, namun iman ini tidak terlepas dari kasih. Apa yang tertulis dalam kitab Tobit, adalah pengajaran yang baik (dan tidak sesat), karena merupakan persiapan akan ajaran Injil yang digenapi di dalam Kristus.
Berikut ini beberapa kutipan yang mungkin dapat kita renungkan, bahwa perbuatan kasih tidak terlepas dari iman:
1) Kasih menutupi/ menghapus dosa, tidak hanya dikatakan dalam kitab Tobit, tetapi juga pada ayat Alkitab yang lain, contohnya:
Ams 10:12, “Kebencian menimbulkan pertengkaran, tetapi kasih menutupi segala pelanggaran.” Pelanggaran di sini juga adalah kata lain dari dosa.
1Pet 4:8, “Tetapi yang terutama: kasihilah sungguh-sungguh seorang akan yang lain, sebab kasih menutupi banyak sekali dosa.”
2) Kasih kepada orang tua memulihkan dosa (Sirakh 3:3a), juga tidak bertentangan dengan pesan keseluruhan Alkitab. Sebab kita ketahui bahwa perintah Tuhan Yesus yang utama adalah kasihilah Tuhan dan sesama (Mat 22:34-40, Mrk 12:28-34, Luk 20:25-28) dan ini merangkum hukum sepuluh perintah Allah. Hukum ke 1-3 pada sepuluh perintah Allah ditujukan untuk mengasihi Tuhan, dan hukum ke 4-10, adalah untuk mengasihi sesama. Dan di antara kasih kepada sesama itu, kasih kepada orang tua mengambil tempat utama (perintah ke- 4, Kel 20:12). Kalau kasih kepada sesama menutupi/ menghapus/ memulihkan dosa, maka kasih kepada orang tua pastilah yang paling utama memulihkan dosa, sebab dalam tingkatan mengasihi sesama, kasih/hormat kepada orang tua mengambil urutan pertama.
[F. Tulisan Bapa Gereja bertentangan? Paus Gregorius Agung mengatakan 1 Makabe tidak kanonikal?]
Kita memang dapat menemukan bahwa adakalanya Bapa Gereja mengajarkan hal yang tidak sesuai dengan pengajaran Magisterium Gereja Katolik. Untuk hal ini kita dapat menyimpulkan setidaknya 3 hal:
1) Bahwa para Bapa Gereja juga adalah manusia yang terbatas dalam menginterpretasikan Alkitab maupun Tradisi Suci. Adakalanya, seorang Bapa Gereja dapat mengajarkan ajaran yang belum tentu diterima oleh para Bapa Gereja yang lain atau oleh Magisterium. Contohnya di sini adalah misalnya Origen yang mengajarkan bahwa sebelum manusia diciptakan, jiwanya sudah ada terlebih dahulu (pre-existent soul)- ini keliru, dan St. Jerome yang mengatakan bahwa kitab Deuterokanonika tidak kanonikal- ini juga tidak sesuai dengan ajaran Magisterium. Keduanya adalah Bapa Gereja yang sangat baik dalam pengajaran banyak hal tetapi mereka keliru dalam pengajaran yang disebutkan di atas.
Namun demikian, jangan lupa, bahwa pada akhirnya, para Bapa Gereja menyerahkan keputusan kepada Magisterium Gereja, dan mereka dengan rendah hati tunduk dan taat kepada keputusan Magisterium Gereja. Contohnya, meskipun St. Jerome berpendapat bahwa kitab Yudit, Tobit, Makabe, Sirakh dan Kebijaksanaan tidak kanonikal, namun pada akhirnya, ia tunduk dan taat pada keputusan Magisterium Gereja, dan memasukkan kitab-kitab tersebut ke dalam Alkitab Latin Vulgate yang diterjemahkan olehnya.
2) Maka, tidak berarti bahwa ajaran-ajaran dari Para Bapa Gereja tidak dapat diperhitungkan. Kita mengetahui bahwa ajaran Bapa Gereja sangat besar manfaatnya dalam mengajar kita, karena mereka menghubungkan kita dengan pengajaran para Rasul.
3) Pada akhirnya, otoritas yang menentukan ajaran yang benar ada dalam tangan Magisterium Gereja, yaitu pada saat Paus atau Paus dan para uskup dalam persekutuan dengannya menyatakan secara definitif ajaran perihal iman dan moral, baik seperti yang dinyatakan melalui 1) pengajaran ex- cathedra, 2) konsili-konsili baik yang lokal maupun universal yang menyangkut kepentingan Gereja universal, [point 1 dan 2 ini disebut Credenda] 3) pengajaran definitif lainnya dalam hal iman dan moral, [walaupun tidak ex-cathedra, namun jelas menunjukkan sifat ‘definitif’- dalam hal ini disebut sebagai Tenenda]. Gereja Katolik mengajarkan bahwa jika ketiga syarat ini dipenuhi, maka pengajaran itu bersifat infallible/ tidak dapat sesat, sehingga tidak dapat diubah. Sedangkan di luar kriteria di atas, suatu ajaran dapat diubah karena tidak infallible.
Maka jika seorang Paus tidak mengajarkan sesuatu secara definitif, maka tidak dapat dikatakan bahwa pengajarannya itu infallible. Dengan pengertian ini, maka kita mengetahui bahwa Paus St. Gregorius Agung tidak mengajarkan pengajaran magisterial pada saat ia menuliskan komentarnya tentang kitab Ayub, yang juga dikenal dengan sebutan Magna Moralia, yang dikutip oleh Boettner sebagai ajaran yang mempertanyakan Kanonitas Kitab 1 Makabe. Ada dua fakta dalam hal ini:
1) Penulisan Magna Moralia dimulai tahun 578 ketika St. Gregorius tinggal di Konstantinopel (buku XIX), dan ia menyelesaikan bagian terakhir dari buku itu (buku XXXV) tahun 595. St. Gregorius baru menjadi Paus tahun 590-604, dan buku Magna Moralia itu sudah mulai ditulis 12 tahun sebelum ia menjadi Paus. Maka hal ini tidak dapat dikatakan sebagai dokumen pengajaran magisterial. Karyanya hanya merupakan karya yang bersifat pribadi (private speculation), dan tidak memiliki otoritas selain sebagai karya tulis seorang peneliti Alkitab.
2) Mari kita melihat sekarang kepada tulisan St. Gregorius Agung dalam hal ini:
With reference to which particular we are not acting irregularly, if from the books, though not Canonical, yet brought out for the edification of the Church, we bring forth testimony. Thus Eleazar in the battle smote and brought down an Elephant, but fell under the very beast that he killed.” (1 Macc 6:46)
[Library of the Fathers of the Holy Catholic Church, (Oxford: Parker, 1845), Gregory the Great, Morals on the Book of Job, Volume II, Parts III and IV, Book XIX.34, p. 424]
Jadi St. Gregorius sesungguhnya juga menganggap bahwa ajaran dalam kitab 1 Makabe tetaplah berguna bagi ‘edification of the Church‘, yaitu bagi kepentingan pengajaran Gereja, meskipun ia mengakui adanya semacam keraguan tentang kanonitas kitab tersebut [dengan menggunakan kata ‘if’/ jika]. Maka sikap ini sangat berlainan dengan sikap Boettner yang mencoret kitab Deuterokanonika dan mengatakan bahwa kitab tersebut tidak diinspirasikan oleh Roh Kudus dan bahkan ‘sesat’ dan tidak berguna bagi Gereja.
3) Kenyataan lainnya adalah setelah St. Gregorius menjadi Paus, ia mendukung kanonitas kitab-kitab Deuterokanonika. Maka ketika ia menuliskan buku, Book of Pastoral Rule yang disusun setelah Magna Moralia, ia menuliskan 12 kali kutipan dari kitab Sirakh, 2 kali dari kitab Kebijaksanaan Salomo, 1 kali dari kitab Tobit. Ia menuliskan dengan kata “Seperti tertulis/ …it is written…” seperti istilah yang dipakainya pada saat ia mengutip kitab kanonikal lainnya dalam Alkitab.
Sekarang tentang persetujuan Paus Leo X terhadap tulisan Kardinal Zomenes. Saya rasa yang benar adalah bukan Kardinal Zomenes tetapi Kardinal Francisco Ximenez de Cisneros (1436-1517), seorang Kardinal yang hidup pada jaman kepemimpinan Paus Leo X (1513- 1521), yang terkenal karena mencetak polyglot Bible yaitu Alkitab dengan beberapa bahasa. Polyglot Bible yang dicetak oleh Kardinal Ximenez terkenal dengan sebutan “the Complutensis“. Menurut New Catholic Encyclopedia, Vol XI yang dikeluarkan oleh The Catholic University of America, p. 542, dikatakan:
“The Complutensis was important for the fact that it was the first Catholic printing of the Hebrew, the Septuagint, and the NT Greek text.” (The Complutensis adalah penting karena merupakan cetakan [Alkitab] Katolik pertama dalam bahasa Ibrani, Septuagint dan Perjanjian Baru dalam bahasa Yunani).
Dan kita ketahui bersama bahwa Septuagint adalah Alkitab Perjanjian Lama termasuk kitab Deuterokanonika. [Bahkan sumber yang netral seperti Wikipedia juga mengatakan hal itu]. Memang dikatakan juga bahwa cetakan Perjanjian Baru tersebut sesungguhnya telah selesai sejak atahun 1514, namun cetakan seluruhnya baru selesai tahun 1522, setelah menunggu persetujuan Paus Leo X dan tambahan keseluruhan Perjanjian Lama (termasuk Deuterokanonika). Maka jika yang diambil adalah cetakan Perjanjian Baru saja, tentu tidak ada kitab Deuterokanonika-nya, sebab kitab Deuterokanonika termasuk dalam Perjanjian Lama yang ditambahkan kemudian. Namun keseluruhan polyglot itu memuat kitab Deuterokanonika, bersama dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.
Demikian yang dapat saya tuliskan untuk menanggapi point A s/d F tentang keberatan dari saudara/i kita yang dari gereja Protestan. Point-point berikutnya, akan saya sampaikan dalam tulisan yang terpisah.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- www.katolisitas.org
Terima Kasih atas tanggapannya bu Ingrid… saya tidak sabar menunggu artikel2 lain dari katolistas termasuk mengenai keutamaan Paus…
Kiranya melalui situs ini, makin banyak orang yang tau tentang iman GK terutama orang2 spt saya yang lagi belajar :)
Kiranya Tuhan memberkati pelayanan yang ibu dan rekan2 katolisitas berikan terutama melalui forum ini..
Salam damai…
Kalau umat katholik mau belajar banyak tentang iman mereka saya yakin dan percaya tidak ada satupun dari ajaran yang menyimpang dari Alkitab. yang jadi pertanyaan adalah masih banyak saudara2 kita yang malas untuk mempelajari agamanya sendiri (katholik) sehingga kalau ada yang bertanya tentang iman kita, lalu bingung seperti katak dalam tempurung, itu karna kita sendiri yang memang malas dan menjadi katolik KTP atau napas. jadi jangan ragu untuk banyak belajar. GBU.
Saya pikir sangat penting sekali bagi orang yang mengklaim segala sesuatu untuk mengerti konteks sejarahnya dahulu. Kalau konteksnya sendiri sudah bias dan tidak obyektif, maka tulisannya pun malah menyesatkan orang lain, karena informasinya juga tidak benar. Saya kira kalau kita hanya mendasari pengetahuan kita pada satu buku atau satu pengarang buku, maka tentunya informasi yang kita terima sangat mungkin menjadi tidak benar. Tetapi kalau memang kita belajar dan sehingga mengerti konteksnya, dan even bisa memeriksa sumber2 referensinya apakah kredibel/tidak, saya kira kesalahpahaman tidak perlu terjadi… Saya pikir jawaban bu ingrid di atas sangat bagus sekali. =) Sangat meluruskan pemahaman yang… Read more »
salam damai katolisitas menarik sekali 2 artikel ini…. sungguh menambah pengetahuan tentang GK… saya mau bertanya tentang masalah posisi Roma dan Paus… (saya sdh tulis pertanyaan hari sebelumnya, tapi sptnya tidak masuk..jadi maaf klo berulang)… diatas ibu ingrid mengatakan, bhw Karena kota Roma adalah ibukota kekaisaran Romawi, dan Paus juga berada disitu… apakah, jika seandainya Paus pindah dari Roma, katakanlah ke Indonesia, apakah pusat Gereja juga akan berpindah ke Indonesia ?? saya punya teman dari Orthodox yg mengatakan, bhw keutamaan Roma itu hanya krn Roma ada ibu kota.. nah, adakah tulisan bapa2 Gereja or bukti2 sejarah gereja spt hasil konsili… Read more »
Shalom Antonius, Memang untuk menerima keutamaan kepemimpinan Paus di Roma / the Primacy of Peter in Rome, kita perlu melihat kepada sejarah, dan juga pada ayat Kitab Suci. Kedudukan Roma menjadi penting dalam hirarki Gereja, bukan karena ibukota kekaisaran Romawi, tetapi karena pendiri keuskupan Roma itu, yaitu Rasul Petrus, yang kepadanya Kristus telah berjanji akan mendirikan Gereja-Nya, dan alam maut tidak akan menguasainya (lih. Mat 16:18). Sedangkan kota Roma dipilih oleh rasul Petrus sebagai tempat kepemimpinannya, mengingat pada saat itu Roma adalah ibukota kerajaan Romawi yang merupakan tempat yang dianggap menjadi pusat dunia; sehingga dengan demikian, ajaran Kristus dapat disebarkan… Read more »