[Hari Minggu Biasa XXIV: Kel 32:7-11,13-14; Mzm 51:3-19; 1Tim 1:12-17; Luk 15:1-32]
Belakangan ini ada istilah yang lumayan populer: Tax amnesty. Pengampunan pajak. Slogannya pun tak kalah menarik: Ungkap, Tebus, Lega. Melalui Tax Amnesty ini, kita sebagai umat beriman diajak untuk secara jujur “memberikan apa yang wajib kita berikan kepada Kaisar (lih. Luk 20:25)” [dalam hal ini adalah, kepada Pemerintah], sebagai tanggung jawab kita sebagai warga negara di dunia. Namun sebenarnya, sebagai umat beriman kita juga memiliki tanggung jawab, jika kita ingin kelak menjadi warga di Surga. Yaitu, untuk “memberikan apa yang menjadi hak Allah”: selain pujian dan syukur kepada-Nya, juga ungkapan tobat atas segala dosa kita. Maka slogan “Ungkap, Tebus, Lega” kurang lebih juga dapat dihubungkan dengan kehidupan rohani kita.
Di Bacaan Pertama kita mendengar kisah bagaimana bangsa Israel jatuh dalam dosa menyembah berhala, ketika Nabi Musa sedang berada di Gunung Sinai, menerima perintah Allah (lih. Kel 32:7-8). Seakan lupa pada pertolongan Tuhan yang baru saja melepaskan mereka dari perbudakan Mesir, bangsa Israel membuat allah mereka sendiri dari emas tuangan. Namun syukurlah, atas doa syafaat Musa, dan kemurahan hati Allah, maka Allah tidak jadi menghukum bangsa Israel. Di sini nampak bahwa Allah adalah Allah yang Pengampun, dan berbelas kasih, sebagaimana kita daraskan dalam Mazmur hari ini. Kisah bangsa Israel menegur kita, agar jangan kita pun memiliki sikap serupa, yang kurang berterima kasih kepada Tuhan, “take God for granted”, dan bahkan memberikan perhatian dan penghargaan utama kepada apa-apa yang bukan Tuhan. Namun walau umat-Nya sering tidak setia, Allah tetap setia kepada umat-Nya.
Kesabaran dan belas kasih Allah paling besar dinyatakan melalui pengorbanan Yesus Kristus, Putra-Nya yang datang ke dunia untuk menyelamatkan kita, orang berdosa. Rasul Paulus bahkan mengatakan, bahwa di antara orang-orang berdosa, ia adalah orang yang paling berdosa. Namun justru itu ia dikasihani, sebab Tuhan mau menyatakan seluruh kesabaran-Nya (1Tim 1:15-16). Demikianlah, Allah tidak pernah menyerah sampai Ia dapat mengampuni orang-orang yang telah melukai hati-Nya dengan dosa-dosa mereka. Allah, digambarkan sebagai gembala yang baik, yang terus mencari dombanya yang hilang, atau sebagai bapa yang dengan setia menantikan anaknya yang hilang untuk kembali pulang (lih. Luk 15:4,20-32).
Nah, namun dalam membaca Injil hari ini, mungkin kita bertanya, bagaimana dengan domba-domba yang tidak hilang? Bagaimana dengan si anak sulung yang tinggal di rumah bapanya? Bukankah mereka juga layak menerima “perlakuan istimewa” seperti yang diberikan kepada domba yang hilang dan anak yang hilang? Kita perlu waspada terhadap sikap “merasa diri sudah benar” yang berujung kepada sikap iri hati kepada saudara kita yang bertobat, seperti sikap si anak sulung. Lagipula, sejujurnya, kita perlu dengan rendah hati mengakui bahwa di dalam hidup kita, kitapun pernah, bahkan mungkin sering juga menjadi “anak yang hilang”. Kalau kita memiliki kepekaan jiwa, kitapun akan menyadari bahwa sering kita jatuh ke dalam dosa yang memisahkan kita dari Allah, yang membuat kita seolah meninggalkan-Nya, agar kita dapat mengikuti kesenangan kita sendiri. Injil hari ini mengajak kita untuk bertobat dan mengingatkan kita bahwa bagi kita pertobatan itu tidak cukup hanya terjadi sekali dalam hidup, tetapi terus menerus seumur hidup, setiap kita jatuh dalam dosa. Allah Bapa menantikan kita kembali pulang, jika kita meninggalkan-Nya, atau menjauh daripada-Nya.
Dalam sakramen Pengakuan Dosa, Allah bertindak melalui para imam untuk memulihkan kita kepada keadaan rahmat dan kepada martabat kita sebagai anak-anak Allah. Yesus menetapkan sakramen ini supaya kita dapat kembali, lagi dan lagi, ke rumah Bapa dan memperoleh pengampunan- Nya. “Allah Bapa kita, ketika kita datang kepada-Nya dengan menyesal, mendatangkan sesuatu yang berharga dari keadaan kita yang menyedihkan; mendatangkan kekuatan dari kelemahan kita. Jadi apakah yang akan Ia persiapkan bagi kita, jika kita tidak meninggalkan Dia, jika kita menghadap-Nya setiap hari, jika kita menyapa-Nya dengan cinta dan meneguhkan kasih kita kepadaNya dengan perbuatan-perbuatan, jika kita pergi kepada-Nya untuk segala sesuatu, mengandalkan kuasa dan belas kasih-Nya? Jika pulangnya seorang anak yang telah mengkhianatiNya cukuplah bagi-Nya untuk menyiapkan sebuah pesta, apakah yang akan Ia persiapkan bagi kita, yang telah berusaha untuk tetap selalu berada di sisi-Nya?” (St. Jose Maria Escriva, Friends of God, 309)
Melalui sakramen Pengakuan dosa, Allah memberikan kepada kita kesempatan untuk bertobat dan memperoleh sin amnesty. Memang Tuhan Yesus-lah yang menebus dosa-dosa kita, namun untuk menerima penebusan dosa itu, Ia menghendaki kita mengambil bagian di dalamnya, untuk menyatakan pertobatan kita dan kesungguhan kita untuk memperbaikinya. Mari kita datang kepada-Nya dalam sakramen Pengakuan, mengungkapkan dosa-dosa kita, menebusnya dengan melakukan penitensi dan silih, agar kitapun beroleh kelegaan. Mari menikmati kelegaan, tidak saja dari tax amnesty, tetapi juga dari sin amnesty, yang dari Tuhan!