Berkomunikasi dengan bayi gampang-gampang susah. Karena bayi belum bisa mengucapkan kata-kata dengan jelas, maka orangtua awalnya hanya bisa mengira-ngira apa yang sebenarnya sedang ingin ia sampaikan. Saat ia menangis, itu tidak selalu karena haus atau lapar. Saat ia tampak ingin bermain, orangtua pun mencoba-coba, permainan apa yang paling disukainya, supaya tidak malah membuatnya takut, lalu malah menangis lagi. Untuk terlatih mengetahui aspirasi seorang bayi diperlukan kesabaran dan pengalaman.Tapi selama komunikasi dua arah itu belum terwujud sempurna, bahasa kasih orangtua yang selalu diusahakan tanpa kenal lelah membuat setidak-tidaknya bayi merasa bahwa dirinya dimengerti dan dikasihi. Kata-kata yang memenangkan, kecupan dan belaian sayang, yang lahir dari kasih tulus padanya, bisa membuat bayi tenang, separuh keresahannya sudah terobati, walaupun kadang keinginannya belum bisa terpenuhi dengan tepat.
Bahasa kasih memang universal. Walau berhadapan dengan orang asing di mana kita tidak saling memahami bahasa yang digunakan pun, bahasa kasih bisa tetap efektif, karena tidak harus dinyatakan dengan kata-kata, tetapi justru makin tersampaikan melalui sikap atau bahasa tubuh. Bahasa kasih adalah bahasa kepedulian, dimengerti semua mahluk yang diciptakan Allah oleh karena kasih-Nya. Kalau dinyatakan dalam kata-kata mungkin bahasa itu sederhananya berbunyi, “Ini aku, aku peduli padamu”. Atau, “Walau aku belum tahu bisa melakukan apa, aku ada di sini untukmu”. Dan bagi hati manusia, entah bagaimana nanti bentuk konkrit dari kasih itu, pesan kepedulian itu sudah mampu memberikan ketenangan, rasanya separuh dari masalah kita sudah mendapat sentuhan kesembuhan. Kebalikan dari bahasa kasih adalah acuh tak acuh. Ini mungkin bahasa yang lebih umum di dalam kehidupan era postmodernism jaman ini, di mana semua manusia sibuk dengan masalahnya sendiri, yang semakin kompleks dari hari ke hari. Ibaratnya memikirkan diri sendiri saja sudah berat, persaingan dan tuntutan kehidupan semakin mencekam, mana sempat memikirkan kesusahan orang lain, apalagi berbuat sesuatu untuk meringankannya. Maka walau tidak sepenuhnya kita sadari, bahasa sehari-hari dan sikap tubuh kita kepada sesama mungkin kalau dibahasakan berbunyi, “Maaf aku tidak punya cukup waktu untukmu”, atau bahasa gaulnya mungkin “Mana da urus” terhadap keadaan orang lain di sekitar kita.
Setelah Tuhan Yesus berpesan kepada para murid-Nya dan kemudian naik ke Surga, sungguh menarik bahwa dinyatakan dalam Lukas 24:52 demikian, “mereka pulang ke Yerusalem dengan sangat bersukacita”. Bukannya menangis haru karena kangen dan sedih ditinggalkan Yesus yang amat mereka kasihi itu kembali ke Surga, atau gamang gemetar membayangkan memikul tugas berat tanpa Yesus lagi di sisi mereka, tapi malahan mereka kembali ke Yerusalem dengan bersukacita. Yerusalem? Tentu para murid belum lupa dengan apa yang telah terjadi di Yerusalem,apa yang telah Yesus alami di sana, dan betapa penolakan, ketidakpastian, penghukuman dan kekejian masih akan menanti mereka di sana ! Sukacita? Jelas kalau hanya kekuatan dan akal budi manusia tidak akan menghasilkan sikap yang satu ini. Kepergian Yesus membuat Sang Penolong yang Ia janjikan itu, yaitu Roh yang berasal dari persatuan kasih mesra antara Yesus Sang Putera dengan Bapa, dapat hadir di dunia. Kehadiran-Nya kali ini tidak lagi bisa dibatasi oleh ruang, waktu, tempat, bahkan penghukuman dan penderitaan sekalipun. Kekuatan Roh Kudus yang diutus Kristus menjaga, mengajar, mengingatkan mereka akan segala pengajaran yang telah Tuhan Yesus berikan, akan menyertai dan mengarahkan mereka (dan kita semua) setiap saat, hingga akhir jaman. Itulah yang membuat fokus para murid bukan lagi pada kegamangan, kesedihan atau ketakutan, tetapi kepada harapan, keyakinan, kekuatan, semangat, dan kepedulian. Itulah tanda-tanda yang terlihat oleh mata jasmani maupun mata rohani kita, saat Roh Kudus hadir dan bekerja. Tanda-tanda itu pada saatnya akan mewujud dalam perbuatan-perbuatan kasih yang kaya dan penuh dengan kemungkinan, karena Allah kita adalah Allah yang teramat kaya dan penuh dengan segala kemungkinan yang indah.
Hanya berfokus pada keterbatasan kemanusiaan kita dan hanya mendengarkan persuasi tentang keputusasaan yang selalu dikumandangkan si Iblis di telinga kita, kita bisa pesimis terus. Kita hanya bisa melihat bahwa sudah terlalu banyak kesusahan di dunia ini. Cukuplah saya berkubang dan berjuang dalam kesusahan saya sendiri saja, supaya saya tidak makin frustasi . Sayangnya itulah justru keadaan yang diinginkan si Jahat supaya dia bisa melancarkan program-programnya selanjutnya. Pada saat berkata demikian, saya menutup kesempatan, untuk mengalami kelegaan dan penghiburan Ilahi, penyelenggaraanNya yang kuat kuasa di dalam wujud Sang Utusan, yaitu Roh Penolong dan Penghibur yang dijanjikan Kristus sebelum Ia kembali ke Surga. Roh Penolong itu selalu siap meneguhkan dan menyampaikan aneka pergumulan kita kepada Bapa.
Roh Kudus adalah pribadi yang dihasilkan dari kasih Bapa dan Putera. Maka Ia bisa menemukan jalan-Nya untuk bekerja di dalam kita, juga melalui bahasa kasih, yaitu kasih yang telah diberikan dan diajarkan oleh Kristus kepada kita. Bahasa kepedulian, bahasa keterbukaan iman dan harapan kepada kuasa Tuhan yang begitu mengasihi dunia ini. Kasih-Nya yang terlalu sempurna untuk membiarkan dunia ini lenyap dalam keputusasaan. Demikianlah Sang penolong itu membutuhkan kerjasama kita. Dengan bahasa kasihlah hati kita terbuka, artinya sebenarnya kita merespon Dia dengan berkata, ”Ini aku, Tuhan, aku mengasihimu, aku peduli, aku percaya Engkau bisa Tuhan, datanglah dalam hatiku, sembuhkanlah aku, kemudian utuslah dan pakailah aku”. Bahasa kasih membuat kita sepenuhnya bekerja sama dengan Sang Penolong itu, dan mengalami kepenuhan-Nya, sehingga kita bisa turut menyampaikan pesan kasih dan harapan itu kepada orang lain. Lihatlah betapa dekat dan kasihnya Roh Penolong itu pada kita, ”Demikian juga Roh membantu kita dalam kelemahan kita; sebab kita tidak tahu, bagaimana sebenarnya harus berdoa; tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan. (Rm 8:26)
Sesekali di halaman sebuah majalah atau situs rohani, kita temukan artikel “Kring, no telepon Tuhan” atau “Nomor telepon darurat untuk saat-saat genting”, yaitu daftar ayat Kitab Suci untuk meneguhkan kita dalam kesendirian dan kelesuan hidup ini. Tentu saja ! Dalam Firman-Nya, Yang Maha Hadir selalu siap membantu kita. Ia ada di mana-mana dan kapan saja, juga melalui orang-orang lain di sekitar kita. Ia siap membimbing kita melewati saat-saat tergelap dalam hidup kita dengan penuh keberanian, iman, dan harapan. Ia siap ‘ditelpon’ kapan saja. Ketika Anda memanggil, Tuhan menjawab; saat Anda menangis minta tolong, Dia akan berkata: “Ini Aku” (Yesaya 58:9). Itulah Roh Kepedulian dari Tuhan. Dia rindu kita memanggil dan mengundangNya masuk dan berkarya dalam hati dan hidup kita, Ia selalu rindu kita mengalami damai sejahtera-Nya, sekalipun kita masih berjuang di dunia ini. Saat kita menyatakan bahwa kita peduli dan mau, pasti Dia segera datang. Ia bisa berkarya dalam diri siapa saja. Kita sambut dan panggil Dia dalam doa-doa kita, dalam Ekaristi Kudus-Nya, dalam kuat kuasa Sabda-Nya, dinyatakan dalam perbuatan kasih kita pada Dia dan sesama. Dan sebagaimana yang dialami para murid yang bersukacita dan bersemangat itu, bersiaplah mengalami kehadiran karya-Nya yang indah, dahsyat dan mengubahkan di dalam hidup kita dan orang lain. Bagaimana, kita siap? Mari kita selalu siap sedia untuk-Nya!