Manusia, yang selalu memiliki sifat ingin tahu, mempunyai harapan dan kerinduan untuk mengenal Tuhan, mengalami Tuhan, mendengar Dia berbicara, bahkan kalau bisa melihatNya dengan mata kepala kita sendiri dalam kehidupan sehari-hari.  Maka topik diskusi mengenai Tuhan selalu terasa menarik. Walaupun diskusi tentang Tuhan kadang berujung pertanyaan yang tetap menggantung. Tak jarang bahkan saling bersitegang karena peserta diskusi seringkali tidak mempunyai dasar tentang pengalaman akan Tuhan,dan saling berbantah seputar asumsi-asumsi yang mereka buat sendiri. Apalagi jika peserta diskusi saling merasa lebih pintar dari pihak lain.

Di  jaman yang semakin modern ini di mana semakin banyak orang melupakan Tuhan, masih banyak sekali orang, beragama maupun tidak, disadari atau tidak, merindukan pengalaman menemukan Tuhan dan melihatNya menyatakan Diri-Nya. Kita menebak-nebak bagaimana seandainya Tuhan ada di saat tertentu dan peristiwa tertentu dalam hidup ini,  terutama saat terjadi kesukaran hidup. Kita bertanya di mana Tuhan di saat terjadi suatu peristiwa yang menyedihkan atau jahat, dan berbagai pikiran kerinduan untuk melihat, mendengar, dan mengalamiNya.  Dalam benak kita, tentunya kita memikirkan bagaimana seharusnya (menurut harapan kita sebagai manusia) Tuhan itu menyatakan Diri-Nya.  Tetapi apakah Tuhan memang memilih atau mempunyai cara dan sarana yang sama dengan yang kita pikirkan atau harapkan untuk menyatakan Diri-Nya kepada kita ? Saya merasa hal ini sangat penting untuk dicermati, karena sesungguhnya Tuhan sangat rindu untuk menyatakan Diri-Nya kepada kita dan selalu berusaha untuk mengungkapkan kasih-Nya kepada kita di dalam hidup ini. Dia sangat setia dan rindu selalu bersama kita. Allah Bapa berkata kepada nabi Yeremia, “Berserulah kepada-Ku, maka Aku akan menjawab engkau, dan akan memberitahukan kepadamu hal-hal yang besar dan tidak terpahami, yakni hal-hal yang tidak kau ketahui “ (Yeremia 33:3).

Bagaimana kita mampu menerima pernyataan kasih-Nya dan segala hal mengenai kebijakan-Nya, baik dalam suka maupun duka hidup ini ? Dalam Matius 11 : 25-26, Tuhan Yesus mengatakan kepada Bapa-Nya, “Aku bersyukur kepada-Mu, Bapa, Tuhan langit dan bumi, karena semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil. Ya Bapa, itulah yang berkenan kepada-Mu”.  Tentu Tuhan Yesus tidak bermaksud mencegah kita menjadi pandai dan bijak supaya dapat memahami Tuhan. Tetapi menjadi ‘kecil’ membuat kita mampu dan siap untuk memahami kebenaranNya dan kebesaranNya.

Apakah arti menjadi kecil ? Mempunyai kerendahan hati, kemurnian motivasi, dan keterbukaan hati seperti seorang anak kecil. Inilah tantangannya. Walaupun oleh karena pengetahuan dan pengalaman hidup kita merasa pandai dan bijak, kita memerlukan sikap seperti seorang anak kecil dalam menghayati iman dan kasih kita kepada Tuhan.  Kepada para murid, Yesus berkata, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga. Sedangkan barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga”. Kita memerlukan kualitas seorang anak kecil supaya kita bisa berjumpa dengan Tuhan, mengerti kehendak-Nya, dan mengalami Dia sepenuhnya.

Walaupun kita bukan anak kecil lagi, kita selalu bisa memilih untuk mempunyai kualitas seorang anak kecil, apalagi semua dari kita pernah menjadi anak kecil. Belajar untuk menjadi ‘kecil’ tidak sukar karena sedari awal kehidupan, kita telah memiliki sifat itu. Seorang anak kecil menaruh kepercayaan penuh. Bukan berarti ia tidak mempertanyakan segala sesuatu, tapi ia merasa aman dan nyaman bersama orang yang ia percaya. Walaupun tidak semua hal yang ingin ia ketahui ia dapatkan jawabannya, dan tidak semua hal yang ia inginkan bisa ia dapatkan, ia merasa tenang, karena ia percaya sepenuhnya kepada orang yang dikasihi dan dikenalnya. Ada ‘trust’, dan tidak hanya sekedar ‘believe’ di sana.

Setelah kita semakin dewasa, kita berusaha segala sesuatu harus ada di dalam kontrol kita. Kadang kita lupa sebagai anak-anak dulu, kita menyerahkan segalanya kepada orang tua kita, pihak kepada siapa kita meletakkan rasa percaya , trust kita. Sebagai seorang anak kita tahu dan sadar secara insting bahwa kita tidak selalu bisa mengontrol segala sesuatu sesuai kemauan kita.  Ada sikap berserah di sana.

Seorang anak kecil bersikap polos, selalu menaruh pikiran positif kepada orang lain, tidak berprasangka buruk, karena dalam alam kesadarannya ia tahu ia bahwa ia tidak mempunyai seluruh pengetahuan yang memadai untuk bisa menghakimi  seseorang atau sesuatu begitu saja.

Anak-anak mudah sekali terkagum-kagum. Saya pernah melihat seorang tukang sulap yang sedang beraksi di depan sejumlah anak-anak. Saya terkesan melihat rasa tercengang yang murni di wajah anak-anak itu. Menghargai segala sesuatu dengan rasa kagum yang tulus membantu anak-anak selalu merasa gembira dan bersyukur atas apapun yang diberikan kehidupan kepadanya. Maka anak-anak menjadi sangat mudah dibuat bahagia dan merasa bahagia. Tawa riang anak-anak bukan datang dari segala sesuatu yang serba sophisticated tetapi karena kehadiran dan kasih sayang orang-orang yang ia percayai dan cintai.

Seorang anak kecil bersikap ada adanya, tidak “jaga image” (jaim). Anak-anak tidak munafik. Mereka tidak menampilkan sesuatu yang sesungguhnya bukan jati dirinya. Apalagi sampai berusaha dengan segala cara untuk sekedar tampil baik. Anak-anak bebas menjadi dirinya sendiri. Tidak perlu menjadi terkenal atau harus dikenal karena kelebihan-kelebihannya, karena mereka bahagia dengan dirinya sendiri.

Ciri khas anak-anak adalah ketidakberdayaan, karena kemudaan dalam segala sesuatu. Akibatnya, hidup mereka menjadi lebih sederhana, sebab mereka cenderung menerima, menikmati, dan mensyukuri, apa yang ada. Dalam hal kepemilikan, anak-anak umumnya juga tidak serakah. Kalau bisa cukup dengan satu, mereka tidak perlu lima, selama mereka masih bisa menikmatinya, dan mereka cenderung selalu bisa menikmati, karena kesederhanaan hati mereka.

Seperti juga anak-anak kita dan kita sendiri di waktu kecil, anak-anak memang tidak selalu menurut kata orangtua. Namun hal itu bukan dilakukannya karena ingin melawan atau menyakiti orangtuanya, namun karena ia masih belajar menyesuaikan diri dengan berbagai bidang kehidupan yang masih baru baginya sambil merasakan dorongan-dorongan alamiah dalam dirinya. Tidak menurut karena sedang bertumbuh tidak sama dengan memberontak karena kesombongan dan keras kepala.

Anak-anak adalah tempat kita belajar kerendahan hati. Secara alamiah, di antara kehidupan bersama orang dewasa,  anak-anak memang tidak punya apa-apa untuk membuat mereka merasa superior. Kerendahan hati membuat anak-anak tidak memaksakan pendapatnya kepada orang lain. Mereka mudah memaafkan, tidak cepat iri hati, dan mau mengerti, walau kadang harus ngambek duluan. Maka mudah dipahami bila sifat rendah hati itu juga membuat anak-anak tidak bersikap sok pintar dan merasa tahu segalanya. Dalam kepolosannya, anak-anak mau mendengarkan orang lain, menghargai pendapat dan pengalaman orang lain, dan tidak berusaha mendominasi atau mengintimidasi orang lain dengan pikiran-pikirannya.

Tentu saja anak-anak juga bisa merasa iri hati, tetapi karena sekali lagi, mereka manusia bebas yang gembira dengan dirinya dan tidak stres oleh hal-hal di luar kemampuannya untuk mengontrol keadaan, mereka lebih mudah menerima dan mengakui kelebihan orang lain.

Di saat hidup berjalan tidak sesuai dengan harapan, anak-anak akan menangis, tetapi tidak berkepanjangan, karena ia akan segera menemukan hal-hal baru yang menarik perhatiannya dan membuatnya asyik lagi di dalam situasi baru yang dihadapi, sehingga pada dasarnya anak-anak sangat mudah menikmati hidup. Fleksibilitas mereka sangat tinggi.

Anak-anak adalah guru kehidupan yang penuh belas kasihan. Mereka mudah merasakan empati yang dalam kepada binatang yang terluka, sekecil dan segeli apapun binatang itu. Bahkan seringkali merasa simpati kepada boneka atau mainannya sendiri yang telah patah.

Dan akhirnya, anak-anak sangat mudah memaafkan dan melupakan. Walau ia juga menangis kalau disakiti, tetapi keterbukaan hatinya membuatnya segera bisa berbaik kembali dan melupakan kesalahan orang lain. Banyak kesedihan datang dalam hidup karena sikap tidak mau memaafkan. Damai Tuhan sulit untuk hadir di dalam kekerasan hati yang menolak untuk mengampuni.

Jadi, bila kita merasakan bahwa Tuhan jauh dan penuh misteri, mungkin ini saatnya membiarkan Dia mengubah kita menjadi seperti seorang anak kecil lagi, sehingga kehadiran-Nya yang begitu nyata dalam kehidupan ini bagi kita masing-masing, terbuka jelas di hadapan kita. Bagaimana kita tahu bahwa kita telah berjumpa dengan Dia? Kedamaian. Pengalaman bersama Tuhan adalah pengalaman tentang kedamaian. Bila hati kita masih gelisah oleh berbagai hal, dan masih merasa terus ingin mengeluh dan berontak kepada sang hidup, mungkin kita memang belum sepenuhnya mengalami Dia. Dalam Lukas 10: 38-42, ketika Yesus berkunjung ke rumah Maria dan Martha, Maria duduk di kaki-Nya sambil terkagum-kagum mendengarkan Dia. Martha yang gelisah menegur Yesus yang tidak menegur Maria untuk membantunya. Yesus juga mengasihi dan menghargai Martha, tetapi Dia mengatakan bahwa Maria telah memilih bagian terbaik yang tidak akan diambil dari padanya. Semoga kita terus memutuskan untuk memilih bagian yang terbaik untuk selalu dapat duduk di kaki-Nya dan menemukan kedamaian dan mengalami kebesaran-Nya. (uti)

7 COMMENTS

  1. Dear Katolisitas

    Dalam Lukas 10:38-42, Maria duduk tekun mendengarkan yesus, sementara Marta begitu sibuk melayani para tamu yg datang bersama Yesus, mengapa Yesus berkata bahwa Maria telah memilih bagian yang terbaik (ay 42), apakah perbuatan Marta salah dalam hal melayani? Mohon pencerahan untuk perikop ini.
    salam kasih, johanes

    • Shalom Johanes,

      Jangan lupa, bahwa Marta yang disebut di sana juga seorang Santa. Maka perbuatan melayani juga tidak salah, namun jika tidak dibarengi dengan doa dan mendengarkan sabda Tuhan, maka perbuatan pelayanan itu menjadi hampa, sebab tidak dijiwai oleh hubungan kasih dengan Allah. Gereja melihat sosok Maria dan Marta sebagai teladan dalam doa dan karya, yang harus saling melengkapi. Hal ini disampaikan juga oleh Paus Benediktus XVI dalam pesan Prapaskah 2013, klik di sini.

      Maka duduk diam mendengarkan Allah adalah bagian yang harus dilakukan oleh siapa saja yang mau melayani Tuhan, agar tidak lekas lelah dan putus asa, terutama jika menghadapi tantangan dan kesulitan dalam karya- karya mereka. Sebab hati yang terarah kepada Kristus, akan memurnikan semangat pelayanan seseorang, sehingga ia tidak mencari kemuliaan bagi namanya sendiri, dan tidak berkecil hati jika karyanya tidak/ kurang dihargai oleh orang lain.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

      • Terima kasih Bu Ingrid atas penjelasan Ibu,

        Saya melihat ada yang tidak tepat/salah dalam tindakan Marta, dalam ayat 40 Marta mengatakan bahwa Yesus tidak perduli dan membiarkan dia melayani sendirian dan Marta kemudian MENYURUH Tuhan supaya Maria membantu Marta. Tidakah Marta kehilangan figure Yesus ketika dia menyuruh Yesus? kata “menyuruh” ini nampak Marta lupa bahwa Marta manusia dan Yesus adalah Tuhan, Marta juga lupa bahwa Yesus adalah Guru dan Marta sebagai murid/pengikut.
        Mohon penjelasan Bu..
        Salam kasih, johanes

        • Shalom Johanes,

          Ayat yang Anda sebutkan mengatakan, “Maria ini duduk dekat kaki Tuhan dan terus mendengarkan perkataan-Nya, sedang Marta sibuk sekali melayani. Ia mendekati Yesus dan berkata: “Tuhan, tidakkah Engkau peduli, bahwa saudaraku membiarkan aku melayani seorang diri? Suruhlah dia membantu aku.” (Luk 10:39-40).

          Kata ‘suruhlah’, itu kata asal dalam bahasa Yunani-nya adalah λέγω/ légō. Kata tersebut dulunya berarti: ‘kumpulkanlah/ hubungkanlah’, maka mempunyai konotasi kepada sesuatu yang dihubungkan bersama-sama. Kata tersebut kemudian diartikan: ‘katakanlah’ atau ‘gunakanlah kata-kata yang tepat’.

          Nah, maka jika kata itu diterjemahkan sebagai ‘suruhlah’, sesungguhnya Martha tidak bermaksud memarahi ataupun menyuruh-nyuruh Yesus, tetapi, agar Yesus mengatakan sesuatu kepada adiknya, Maria, agar bergabung bersamanya untuk mempersiapkan makanan, seperti layaknya kebiasaan Yahudi saat melayani para tamu.

          Dalam A Catholic Commentary on Holy Scripture, ed. Dom Orchard OSB, dikatakan tentang ayat tersebut demikian:

          “Martha disibukkan oleh perhatian untuk menyiapkan makanan: Lukas sama sekali tidak bermaksud mengatakan bahwa Martha tidak peduli akan ajaran-ajaran Yesus. “Sibuk melayani” tidak berarti bahwa para tamu sudah duduk di meja, dan Tuhan Yesus sedang mengajar. Maria juga disibukkan, pikirannya terbagi antara makanan yang harus disiapkan dan mendengarkan perkataan-perkataan Yesus. Adegan tersebut dan perkataan Martha menunjukkan keakraban persahabatan di antara mereka, dan adalah keliru untuk menginterpretasikan keluhan Martha sebagai seolah ungkapan kemarahan terhadap jawaban Tuhan Yesus. Juga sepertinya tidak mungkin Yesus memarahi seorang wanita, yang jika ia sibuk, ia sibuk demi melayani Dia dan para murid-Nya. Lagipula Yesus adalah tamunya, dan ia adalah tuan rumahnya….”

          “Terdapat perbedaan pendapat tentang maksud kejadian ini; sejumlah ahli berpikir bahwa Lukas bermaksud menunjukkan bahwa perbuatan amal kasih tidaklah cukup; iman juga disyaratkan. Sejumlah yang lain mengartikan bahwa Allah harus dikasihi dan dicari pertama-tama melalui kontemplasi, sehingga hidup kontemplatif menjadi lebih utama daripada perbuatan amal….”

          Maka secara umum dapat dikatakan bahwa hal doa dan karya keduanya penting untuk dilakukan sebagai bukti kasih kita kepada Tuhan, namun doa merupakan suatu yang lebih utama untuk membina relasi kasih kita dengan Tuhan.

          Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
          Ingrid Listiati- katolisitas.org

  2. Dear Mb Uthi,

    Sungguh suatu renungan yang bagus..mengena dan dalam di hati…..

    Kadang kita berontak berkepanjangan kepada sang hidup… tidak bisa mengerti betapa Dia sungguh sudah datang dalam hidup dan kehidupan kita setiap hari.. Seperti anak kecil..selalu merengek..namun dengan cepat bisa tertawa dan ucap syukur…

    Tetap bersyukur akan hidup kita mungkin bisa membantu membuka diri terhadap kehadiranNya..

    Thanks God for my life today..

    ~widihandoyo

  3. Seperti yang misalnya terdapat pada “Tafsir Alkitab Perjanjian Baru (Bergen dan Karris, Eds), “orang kecil” pada Mat.11: 25 itu dapat pula ditafsirkan sebagai “orang sederhana dan orang bodoh” (hal.51) sebagai lawan kata dari”orang terpelajar dan orang pandai yang sering dikaitkan dengan orang yang (dianggap atau menganggap diri sebagai ) orang yang berpendidikan dan pintar dengan ciri khasnya yang (sok) logis dan rasionil. Bagi orang semacam itu segala sesuatu ingin dirasionalisasikan dan dipahami dengan akal dan logika. Dalam cara berpikir dan bersikap orang semacam itu segala sesuatu diukur dan ditakar secara rasionil termasuk hal-hal yang termasuk pada ranah iman dengan implikasi bila tidak dapa dipahami secara rasionil maka tidak dapat diterima dan diiyakan. Dalam memahami dan menerima ajaran yang pada dasarnya bersifat iman, kedua kelompok orang itu (sederhana- bodoh, dan pintar-terpelajar) akan bersikap berbeda, yang satu akan dengan segera dan lebih mudah menyikapi ajaran iman, yang lain akan sulit atau tidak sampai pada penerimaan ajaran iman. Iman pada dasarnya bukanlah perkara rasio dan nalar, melainkan pertama-tama adalah masalah penerimaan dan penyikapan dan bukan pemahaman dan nalar yang kalaupun “ngotot” diandalkan, tidak akan mampu memecahkan apa yang hanya dapat diterima lewat iman. Dalam hal iman, sikap mengandalkan nalar sebagai satu-satunya senjata tidak akan mampu membuat seseorang sampai pada iman yang kepemilikannya harus mengandalkan dan bergantung kepada belas kasihan Tuhan seperti memiliki iman yang kokoh karena betapapun sampai kepada.Dalam hal ini benarlah sabda Tuhan seperti ditulis dalam Mat.11: 25 itu seperti yang secara pribadi prosesnya saya alami.

    Soenardi

Comments are closed.