Suatu hari, saat aku sedang membereskan dan membersihkan rak sepatu di rumah, aku menyadari ada sebuah sepatuku yang tak ada pasangannya. Padahal itu termasuk salah satu sepatu kesayanganku. Aku mencari-cari ke semua sudut lemari, tetapi pasangan dari sepatu yang masih bagus, utuh dan cukup cantik itu tetap tidak kutemukan. Mungkin ia terselip entah ke mana, lalu terbuang secara tak sengaja. Maklum teman-temannya sesama sepatu yang jumlahnya banyak itu berebut tempat dalam lemari. Aku merasa sayang sekali. Betapapun utuh, cantik, mahal, dan bagusnya sebuah sepatu, kalau pasangannya tidak ada, maka ia tidak berguna, hanya bisa dibuang ke tempat sampah karena fungsinya sebagai alas kaki sudah lenyap.

Aku mencari-cari ide apa yang bisa dimanfaatkan dari sepatu yang tinggal sebelah itu ya? Sayang banget karena masih bagus sekali, rasanya dibuat jadi hiasan pun tidak sesuai. Sepatu menurut fungsinya harus selalu sepasang, tidak bisa hanya sebuah.

Lalu sebuah pikiran yang menggelitik menyadarkan aku akan kehidupan kerohanian dan kemasyarakatan yang kulakukan selama ini. Terlibat dengan banyak pihak di Gereja, mengerjakan berbagai voluntary work untuk kegiatan rohani dan sosial secara online, terlibat dalam gerakan pro-life activity,  mengajar Sekolah Minggu, membantu kepengurusan komunitas Indonesia Katolik di kota aku tinggal saat ini, menyumbang secara rutin kepada anak asuh dan kaum miskin papa. Dari luar, semua itu tampaknya mulia dan indah. Tetapi kalau diteliti sampai ke dalam, apakah motivasiku melakukan semua perbuatan mulia itu? Kulakukan semata-mata untuk membalas cinta kasih Tuhan kepadaku ? Atau jangan-jangan hanya sebuah pelarian, sebuah kedok cantik untuk menutupi kekurangan-kekuranganku, atau justru sarana yang kuanggap efektif untuk mencari pujian dan kemuliaan diriku sendiri dari orang-orang di sekitarku? Aku menelan ludah…..glekk….

Aku bangkit berdiri sambil membawa sepatu tanpa pasangan itu dalam genggamanku. Saat itulah aku menyadari, bahwa seindah dan semulia apapun perbuatan yang kulakukan dengan hidupku di dunia ini, bila aku melakukannya tanpa Yesus di hatiku, tanpa hikmat keteladananNya, pengorbananNya, dan kerendahan hatiNya menjiwai latar belakang sepak terjangku, maka semua perbuatan indahku itu hanya akan sama saja dengan sepatu yang tidak ada pasangannya itu. Elok, utuh, mahal, dan masih berfungsi penuh. Tapi tidak ada pasangannya. Yah, mau diapakan lagi kalau tidak terus dilempar ke tempat sampah. Tanpa Yesus sebagai pasanganku, maka hidup dan pelayananku tidak banyak artinya lagi, bahkan mungkin hanya akan menjadi batu sandungan bagi orang lain, dan sumber keluh kesah orang-orang terdekat. Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikitpun tidak ada faedahnya bagiku. (1 Korintus 13 : 3). Kasih itu adalah Dia, Tuhan Yesus Sang Putera Allah, yang kulayani, yang telah datang ke dunia untuk menyelamatkan dunia ini dari cengkeraman maut dan menyiraminya dengan kasih yang sejati. Kasih tanpa syarat.

Ingatanku melayang kepada pengalaman penyelenggaraan suatu acara kerohanian di Gereja yang kuketahui atau kudengar dari sesama. Atau  dalam suatu susunan organisasi dan kelompok kategorial di Gereja. Walaupun tidak sering, kegiatan dan aktivitas untuk Tuhan dan GerejaNya kadang tak luput dari sikap-sikap ingin menang sendiri, memaksakan kehendak, kesombongan rohani, gerutu dan gosip kepada sesama umat beriman. Bahkan sampai pada “perebutan” posisi dan jabatan tertentu yang dianggap jabatan kehormatan. Hatiku hanya mampu bertanya dalam keprihatinan, di manakah Yesus yang sedang kita semua layani ? Apakah kita sedang benar benar melayani kebutuhanNya ataukah kita sedang sibuk melayani kebutuhan-kebutuhan kita sendiri untuk tampil dan dihormati? Ke manakah teladan agungNya akan kasih tanpa pamrih dan kerendahan hati menguap dalam hiruk pikuk ego dan kesombongan manusiawi yang tidak dikendalikan?

Aku pun teringat akan anak-anak dan suami seorang teman yang protes karena sang ibu (dan sekaligus istri) sangat aktif di kegiatan Gereja sehingga mereka kadang merasa ditelantarkan. Bagaimanapun juga, melayani keluarga sesungguhnya adalah melayani Tuhan sendiri, sehingga selayaknya tugas dan perhatian untuk keluarga diprioritaskan oleh seorang ibu rumah tangga, sebelum banyak terjun ke pelayanan di Gereja. Memang hal ini sungguh memerlukan sikap batin yang terus menerus terarah kepada suara Tuhan. Supaya aku mampu memutuskan yang terbaik dan memprioritaskan apa yang menjadi tugas panggilanku yang terutama dari Tuhan. Keluarga adalah tugas dan ladang pelayanan yang pertama dan utama.

Demikianlah pilar terpenting pelayanan yang justru amat mudah terlupakan, ketika aku telah terbuai oleh rasa puas diri dan perasaan telah berbuat banyak bagi GerejaNya. Aku perlu sesekali berhenti sejenak dan bertanya, apakah aku telah cukup merenungkan apa yang sebenarnya Dia harapkan dan Dia butuhkan dari dan bagiku? Apakah aku sudah sungguh-sungguh mengenal Yesus dan semua aspirasiNya, melaksanakan kehendakNya dan mengesampingkan pertimbangan-pertimbanganku sendiri demi mengutamakan Dia, sehingga seluruh hidupku sudah menceritakan tentang kasihNya?

Pertimbangan dan keputusan manusiawi sangat rawan terhadap keadaan emosi yang dinamis di dalam peristiwa-peristiwa kehidupan. Misalnya kebiasaan menghakimi dan memberi label pada sesama, iri hati dan kedengkian yang sesungguhnya berakar dari kesombongan, atau penilaian-penilaian sempit dan sepihak lainnya, yang dipengaruhi dinamika relasi dengan sesama dan latar belakang pengalaman kehidupan.Tetapi hidup dan bekerja untuk Tuhan adalah hidup oleh dan karena kasih. Jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh (Galatia 5 : 25). Dan buah-buah Roh Kudus itu sangat jelas, pemeriksaan diri dan pemeriksaan motivasiku dalam melayani Dia dan sesama harus selalu diletakkan dalam terang buah-buah kekudusanNya itu. Aku akan segera tahu apakah aku masih berada di dalamNya atau sudah di luar dan hanya menuruti pertimbanganku sendiri, berdasarkan ini: Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri. Tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu (Galatia 5 : 22-23). Dan ketika buah-buah itu ada padaku, aku harus memastikan bahwa semua itu bukan hasil usahaku, dan hanya akan terus mampu untuk menjadi sikap dasarku, bila aku melibatkan Dia, Sang Putera, yang telah diutus Bapa untuk selalu bersama kita, dan memimpin kita dengan seluruh hikmatNya. Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus AnakNya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita (1 Yohanes 4 : 10).

Masih pula segar dalam ingatanku sebuah kisah seorang aktivis Gereja yang menemukan kekosongan dan perasaan jauh dari Tuhan. Karena begitu sibuk dalam pelayanan, kita sering menjadi lupa atau tak punya waktu lagi untuk diluangkan menjadi saat-saat pribadi dan intim buat bersama-sama dengan Tuhan dalam doa dan keheningan yang dipersembahkan khusus untukNya. Justru itulah sumber kekuatan yang sejati yang akan menggerakkan semua sepak terjang kita sesuai dengan kehendakNya. Waktu-waktu khusus, teratur, dan spesial, yang kusediakan bersama Tuhan dan untuk Tuhan, selayaknya menjadi kekuatan utama pelayananku. Bagaikan seorang sahabat yang kita ingin selalu berkontak dan sering-sering berhubungan karena kita sayang dan rindu, demikian juga frekuensi untuk selalu berusaha berjumpa dan berelasi dengan Dia melalui doa dan merenungkan FirmanNya adalah cermin seberapa penting dan berhargaNya Dia bagi seluruh gerak hidupku

Aku meletakkan sepatu kesayanganku yang tinggal sebelah itu di tempat di mana aku masih bisa melihatnya setiap saat. Hmm..untung masih ada gunanya juga ia, yaitu membantuku berefleksi. Aku memandanginya sambil membisikkan doa di dalam hatiku, “Yesus, aku tidak berarti apa-apa tanpa Engkau. Berjalanlah selalu di sisiku, jadi pemandu perjalanan budi pekertiku, penopang semua keputusan-keputusanku. Hanya bersama Engkau dan oleh karena Engkau, hidup dan pelayananku akan punya arti dan dapat berguna bagi kemuliaan KerajaanMu di dunia. Amin”. (uti)

18 COMMENTS

  1. Renungan yang indah. Saya sendiri merasa tersentuh untuk lebih memperdalam relasi dengan Tuhan lewat doa & refleksi. Terima kasih Mbak Uti. Sukses untuk karya pelayanannya lewat website ini.

  2. Makasih yach Bu…walaupun tulisan Ibu sudah hampir 1 tahun…tapi masih relevansi sebagai renungan saya pribadi hari ini…..Kadang….bila sedang melamun…saya ingin sekali hidup melayani Tuhan secara khusus…tapi apakah niat saya itu tulus…? Itu yang akan saya gali lagi….karena melayani Dia bukan sebagai pelarian tapi sungguh2 menjadi kerinduan saya….
    Sebenarnya dalam hati yang paling dalam …saya ingin hidup tenang….misalnya dengan melayani sesama di tempat terpencil tetapi saya memikirkan keluarga saya (suami & anak) yang masih sangat membutuhkan saya…
    tapi dengan membaca renungan Ibu saya mendapat satu hal bahwa melayani keluraga pun adalah suatu pelayanan yang sangat indah….

  3. trimakasih Ibu Caecilia…
    sbg orang muda katolik saya aktif d OMK, tp spertix saya lupa tujuan saya yg s’benarx ( yaitu memuliakan Tuhan) dan menjadikan Tuhan sbgai ‘pasangan’ saya dlm mnjalani smua kegiatan dan pelayanan saya. sehingga lama-kelamaan smuax terasa semakin m’bosankan n tdk semangat. untuk itu terimakasih karena telah mengingatkan saya.

  4. Ketika saya membaca, saya memikirkan lagi masalah yang sering saya dapat saat ini.
    Saya memiliki seorang teman dekat yang keadaannya sama seperti saya.
    Ketika ia kekurangan, saya merasa bahwa saya adalah bagian darinya, dengan perbuatan, saya berusaha agar ia tidak mendapat kesulitan, karena saya juga sering merasakan hal yang sama. Namun ketika tiba tiba, ia memiliki sesuatu yang lebih, kadang ia terlihat kekurangan di depan saya, sehingga saya berusaha membantunya. Tapi semakin lama, dia melakukan hal itu terus menerus. Ini membuat saya berpikir, bahmwa saya juga masih seorang pelajar, sama sepertinya, dan semua yang saya dapat masih pemberian orangtua. Semakin lama, saya merasa bahwa semakin bantuan yang saya berikan, menyusahkan diri saya sendiri dan akan berdampak pada orang tua saya. Orangtua saya bekerja hanya demi sekolah saya, tapi ada pihak lain yang menyulitkan kami sendiri. Saya sering membahas hal ini dengan mereka, karena kami keluarga dan saya rasa kami adalah team (saya dan orangtua). Orangtua selalu mengajarkan saya untuk tetap jaga jarak. Namun ketika, ia berwajah “mendapat kesulitan”, saya selalu merasa bahwa saya harus membantunya. Namun dia keterlaluan, dan disisi lain di dalam hati saya berkata “Saya tidak boleh menyusahkan orangtua saya”. Ini pilihan yang sangat berat bagi saya. Saya bingung apa yang harus saya lakukan.?

    • Shalom Kaoruchan,
      Agaknya, di sini kuncinya adalah “prudence”/ kebijaksanaan. Mohonlah kepada Roh Kudus untuk membimbing anda, agar anda dapat mengetahui dan membedakan situasi di mana teman anda itu sungguh- sungguh memerlukan bantuan, atau tidak. Lalu apakah bantuan itu sungguh bersifat membangun ke arah positif atau tidak. Sebab anda harus bisa membedakan bantuan untuk keadaan genting, misal untuk biaya rumah sakit, atau hanya untuk keperluan lain yang tidak genting, misalnya untuk mengganti HP baru. Dalam hal ini anda harus dapat berlaku adil dan jujur, agar anda dapat dikatakan sungguh- sungguh membantu demi kebaikan teman anda, tanpa berbuat yang tidak adil terhadap orang tua anda, mengingat bantuan itu datang dari uang saku yang diberikan orang tua kepada anda. Sebab jika bantuan dana diberikan, namun kemudian jadi kebiasaan dan menjadikannya malas, tidak menjadikannya hidup hemat/ ‘prihatin’ dan berjuang keras untuk bekerja/ mencari kerja sambilan, maka hal itu sebenarnya juga bukan hal yang positif dan membangun dia (saya mengasumsikan teman anda itu sehat jasmani rohani dan ada dalam usia produktif, sehingga semestinya dapat bekerja). Sebab arti kasih yang sejati adalah memberikan yang terbaik (artinya sesuatu yang membangun) kepada orang yang dikasihi.

      Semoga anda dapat bertindak bijaksana dalam bimbingan Roh Kudus untuk menyikapi hal ini.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

      • Saya dan teman saya sendiri masih duduk di bangku sekolah saat ini. Ketika saya merenungkan masalah ini dengan orang tua saya, orang tua saya mengatakan hal yang sama dengan Bu Ingrid tentang bagaimana mengajarkan hal yang baik pada teman saya, agar dia menjadi lebih bijaksana, dan melihat kondisi orang lain ketika ia meminta bantuan.
        Saya mengenal teman saya baru sebentar, dan yang saya lihat selama ini, dia bisa (dalam arti enak) diajak untuk merenungkan, dan mencari jalan keluar dari masalah yang berhubungan dengan orang lain. Tapi begitu saya menasehatinya saat dia ada masalah dengan saya, dia selalu berfikiran yang tidak tidak (tentang saya). Sehingga dalam masalah ini saya tidak berani untuk menyelesaikan dan membicarakannya baik baik. Apa yang harus saya lakukan menurut Bu Ingrid, agar masalah ini benar benar clear, (dalam arti akhirnya dia juga bisa lebih dewasa dalam hal ini).
        Terimakasih,
        Salam Damai
        n.n

        • Shalom n.n,
          Jika anda sudah pernah membicarakan tentang masalah yang terjadi antara anda dengan teman anda itu dengan sejujurnya dari hati ke hati, maka sesungguhnya permasalahan tersebut sudah ‘clear’. Jika nampak masih ada ganjalan, silakan anda bicarakan kembali, agar minimal dari pihak anda, ganjalan itu sudah tidak ada lagi. Dalam hal pertemanan, memang minimal ada dua pihak yang terlibat, sehingga jika ada masalah, memang umumnya melibatkan kedua belah pihak. Ada aksi ada reaksi. Jika ada salah paham, maka anda wajib menjelaskan kepadanya, tentu tak perlu marah. Dengarkan juga pandangannya, apakah anda dapat menerimanya. Jika anda setuju, tentu tidak ada masalah. Namun kalau ternyata anda tidak setuju, itulah yang memang memerlukan kebesaran hati kedua belah pihak untuk menerima perbedaan. Katakan sejujurnya tentang pandangan anda, atas dasar kasih kepada sahabat anda itu. Memang hal ini dapat berakibat dua hal, yaitu akhirnya dia mau menerima alasan/ pemahaman anda, atau tidak. Bersyukurlah jika ia dapat menerima pandangan anda. Namun jika ia tetap tidak menerima, walaupun sudah anda sampaikan penjelasan anda, janganlah terlalu resah. Sebab yang terpenting anda sudah menjelaskan duduk masalahnya dari pihak anda, dengan motif kasih. Soal dia menerima atau tidak, itu memang sudah bukan berada dalam kuasa anda. Teman anda berhak mempunyai pandangannya sendiri. Yang penting anda tidak berubah dalam mengasihinya sebagai teman anda. Semoga suatu hari nanti teman anda dapat melihat ketulusan hati anda, dan kembali mengasihi anda sebagai sahabatnya.

          Di atas semua itu bawalah semua pergumulan/ masalah anda dengan teman anda di dalam doa kepada Tuhan. Semoga Tuhan memimpin anda dengan Roh Kudus-Nya agar anda dapat bertindak dengan bijaksana, atas dasar kasih.

          Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
          Ingrid Listiati- katolisitas.org

  5. Ibu Astuti ijin share ya,,,kiranya makin banyak orang Katholik yang mau membaca dan di ingatkan,,,,
    Terimakasih bu Astuti,…tulisan sekaligus renungan yang sangat bermanfaat buat saya,,,semoga tulisan yg sarat dengan nilai-nilai Iman,,,bisa saya praktekan dalam kehidupan sehari2,,,semoga ya bu,,,amin.

  6. Ibu Uti, tulisan yang indah sekali.. sarat dengan nilai-nilai iman & refleksi yg dalam.. sangat meneguhkan, terima kasih… ^_^

    Tuhan Yesus memberkati!

  7. Ibu Uti, terima kasih atas renungan yang indah. Menyadarkan saya juga untuk selalu memiliki “pasangan” dalam aktivitas saya, yaitu Tuhan Yesus Kristus sendiri.
    Salam: Adriana Primawati

    • Salam damai sejahtera

      Saya ingin menyampaikan sedikit renungan ini semoga bermanfaat bagi semua saudara-saudara yang membacanya .

      K U R A N G S E D I K I T

      Dalam suatu perlombaan lari ada seorang pelari yang handal, ia berada paling depan bahkan jauh dari lawan-lawannya.
      Ada harapan besar menjadi juara dan ia akan mendapat piala serta hadiah-hadiah yang besar-besar. Itu sudah pasti akan diterimanya, ia sudah melihat garis finish yang tidak berapa jauh lagi dihadapannya.
      Ia menjadi lebih bergairah lagi untuk lari lebih cepat lagi. Tetapi …………………………………………..
      Tiba-tiba kakinya kram,sakit sekali sehingga tidak bisa digerakkan ,ia terjatuh kesakitan dan tidak bisa berdiri lagi, tetapi ……….. bagaimana dengan piala dan hadiah2nya ?
      Apa boleh buat .
      Piala itu sebetulnya sudah 95% di tangannya, namun sekarang ia jatuh !
      Dengan cepat pelari2 lainnya mendahuluinya, hatinya tambah pahit dan kecut.
      Ia berusaha bangkit dan dengan merangkak menuju garis finish.
      Tiba2 ia mendengar sorak sorai sebab seorang pelari lainnya telah mencapai garis finish dan ia sendiri gagal, hanya kurang sedikit saja.
      Ia sangat menyesal, menangis, kecewa, marah dan macam2 lagi, sebab garis finish sudah nampak didepan mata, tetapi ia gagal untuk mencapainya.

      Dalam dunia rohani banyak keadaan yang mirip dengan keadaan ini.
      Tetapi orang2 yang gagal itu tidak menyesal, sebab mereka tidak melihat garis finish.

      Contohnya :
      1.NUH
      ia seorang yang sangat berkenan kepada Tuhan. Ia berjalan dengan Allah.

      Kitab Kejadian 6 : 8 – 9 menulis : Tetapi NUH itu mendapat karunia dihadirat Tuhan. Maka inilah anak buah NUH. Maka NUH itu seorang yang benar dan tulus hatinya diantara orang zamannya, dan ia hidup dengan Allah.

      Semua Firman Tuhan ditaati dengan sempurna oleh NUH.

      Kitab Kejadian 6 : 22 : Lalu NUH melakukan semuanya itu ; tepat seperti yang diperintahkan Allah kepadanya, demikianlah dilakukannya.

      Allah mempercayai NUH luar biasa, keluarganya juga taat dan beribadah.
      Ia bekerja sama dengan Allah dan mengalami banyak hal2 yang luar biasa.
      Bahtera NUH, banjir besar, binatang2 yang berubah jadi jinak dan masuk bahtera, hidupnya tidak terpengaruh oleh orang2 yang sangat jahat di sekelilingnya, banyak ber-cakap2 dengan Tuhan, banyak sekali pengalaman yang indah2 dengan Tuhan, sampai banjir besar membinasakan semua orang. Kalau setelah itu ia terus berjalan dengan Allah, maka beberapa tahun lagi ia mungkin menjadi sempurna dan terangkat naik ke Sorga.
      Ini sangat mungkin sekali sebab NUH sudah berjalan dengan Allah ratusan tahun dan ia sudah melakukan hal2 yang luar biasa besarnya dengan Allah dalam banjir besar itu.
      Sebetulnya kurang sedikit saja dan ia bisa masuk dalam kesempurnaan.
      Tetapi sayang meskipun kurang sedikit saja tetapi NUH jatuh dalam mabuk anggur.Sesudah itu ia tidak ada lagi ceriteranya.
      Se-olah2 sesudah air bah riwayat NUH sudah habis, padahal ia masih hidup 300 tahun lagi setelah air bah, namun hidup dengan sia2.
      NUH tidak menangis, sedih atau kecewa seperti pelari tadi, sebab NUH tidak bisa melihat finishnya. Kalau bisa melihat finish, tidak mungkin seseorang mau berhenti, pasti ia akan makin bergairah sebab kurang sedikit.
      Seringkali mata ini dibiarkan menjadi kabur oleh segala macam keduniawian sehingga tidak melihat finish.
      Pelari yang jatuh itu berusaha dengan se-kuat2nya untuk bangun atau merangkak sampai ke finish, tetapi ia tidak sanggup dan roboh kembali sambil menangis se-jadi2nya, sebab ia melihat garis finish yang akan membuatnya mulia dan ternama.
      Sayang tinggal sedikit dan NUH membiarkan dirinya mabuk dengan anggur kesukaan dunia ini.

      2. ACHAN.
      Achan sudah mengalami banyak hal2 yang indah.
      Bangsa Israel keluar dengan kemenangan yang heran dari Mesir dan mereka menyeberang lewat laut Kolsom dengan cara yang begitu fantastis.
      Mungkin waktu itu ACHAN masih kecil tetapi ia tahu, atau ia dilahirkan di padang gurun.
      Tetapi ia sudah ikut ber-sama2 umat Tuhan mengalami banyak peristiwa2 yang indah dalam pimpinan MUSA.
      Setiap hari Tuhan memberi makan umatnya dengan manna (roti yang turun dari Sorga), selama 40 tahun mereka mengembara di padang gurun, juga air diberikan melalui batu, kesembuhan, kesehatan yang ajaib, terlepas dari macam2 bela dan serangan musuh dsb.
      Mereka sudah cukup lama menderita di padang gurun dan sekarang saatnya untuk masuk kenegeri perjanjian Kanaan.
      Negeri terakhir Jericho sudah dikepung dan roboh, tetapi sayang ACHAN terpikat oleh kerungsang emas dan kain Babilonia yang bagus2 sehingga ia mengambil dan menyembunyikan barang tumpas itu.
      Hanya kurang sedikit, tetapi ia membuat kesalahan yang fatal.
      Akibatnya ACHAN dan keluarganya dirajam sampai mati sebab mengambil barang yang sudah ditentukan untuk tidak boleh diambil.
      Coba ACHAN sabar menunggu sebentar lagi, hanya beberapa bulan saja, maka mereka akan dapat menikmati negeri perjanjian yang amat indah itu, yang dipenuhi dengan air susu dan madu.
      Kurang sedikit, tetapi gagal sehingga tidak menikmati hal2 besar yang sudah disediakan Tuhan.
      Waktu ACHAN menyembunyikan kerungsang emas dll, ia tidak melihat garis finish seperti yang dilihat oleh pelari itu.
      Coba ia bisa melihat garis finish yang mulia itu, ia tidak akan mau menukarkan pahala yang begitu indah gilang gemilang dengan sedikit harta yang fana.

      Begitu banyak orang2 beriman yang sudah berjuang bagi Tuhan beberapa puluh tahun, sudah berbuat banyak hal2 yang indah dengan Tuhan, lalu pada akhir pelayanannya mereka berpaling pada dunia. Menikmati segala kesukaan dosa yang hanya seketika lamanya itu, sehingga tenggelam dalam segala dosa dan kedagingan.
      Coba ia bisa melihat garis finish yang mulia itu, pasti ia tidak mau menukarkan kemuliaan kekal itu dengan perkara sia2 dan fana ini.
      Masih ada banyak orang2 beriman yang bisa melihat garis finish ini seperti MUSA.

      Surat Ibrani 11 : 27 menulis : Dari sebab iman juga ia meninggalkan tanah Mesir dengan tiada takut akan murka raja itu, karena tetaplah ia se-olah2 ia nampak yang tiada kelihatan.

      Seringkali di dalam pengurapan Rohkudus dan terang Firman Tuhan orang2 dicelikkan matanya sehingga bisa melihat garis finish itu.
      Ini keuntungannya kalau kita mengerti Firman Tuhan dan selalu dipimpin dan diurapi oleh Rohkudus.

      Kitab Mazmur 73 : 17 menulis : Sampai aku masuk ke dalam tempat kudus Allah, dan memperhatikan kesudahan (“finish”) mereka.

      Kadang2 waktu seorang sakit keras, matanya celik dan bisa melihat garis finish.
      Kadang2 juga dirumah kematian, mata banyak orang dicelikkan sehingga bisa melihat garis finish. Yang rutin dan selalu membuat mata kita celik, yaitu kalau kita berada di dalam hadirat Allah yang nyata, dalam doa dan FirmanNya.
      Orang yang bisa melihat garis finish akan mengerahkan seluruh kekuatannya, seluruh kemampuannya untuk meraih kemuliaan yang besar itu.
      Ia tidak akan me-nyia2kan kesempatannya, bahkan menebus waktu baik2.

      Ada orang berkata : dahulu saya rajin, dahulu saya melayani Tuhan ber-api2, seluruh waktu, tenaga, harta dan hidup saya, saya berikan buat pekerjaan Tuhan.
      Tetapi sekarang bagaimana ?
      Sekarang ia terjerat dalam segala kesukaan dosa yang fana dan najis itu, dalam keuangan dan percabulan, dalam keduniawian.
      Sayang kurang sedikit tetapi tidak lulus.

      ELIA kurang sedikit hampir gagal.
      Tetapi untung ia masih dapat bertahan dengan roti dan air dari Sorga, dapat bertahan sedikit waktu lagi lalu masuk dalam kemuliaan yang begitu besar.
      Jangan kita main2, sebab sampai dimana tingkat kemuliaan kita waktu mati (itu ukurannya) sebegitu besar ukuran kita untuk kekal se-lama2nya.

      PAULUS matanya selalu celik, selalu bisa melihat garis finish yang mulia itu.
      Sebab itu ia selalu bergairah melakukan tugas2nya dengan tulus dan sungguh2.
      Tidak ada yang bisa menahankan dia dari pada hidup bagi Kristus.

      Didalam suratnya ia menulis Filipi 1 : 22 – 23 : Tetapi jika aku harus hidup didunia, itu berarti bekerja memberi buah. Jadi mana yang harus kupilih aku tidak tahu. Aku didesak dari dua pihak : Aku ingin pergi dan diam ber-sama2 dengan Kristus itu memang lebih baik.

      Didalam surat Roma 8 : 35 ia menulis : Siapa yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus ? Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan atau bahaya, atau pedang ?

      Bahkan sampai hampir mendekati titik akhir , sebelum PAULUS dipenggal karena Kristus, ia masih ber-api2 menguatkan TIMOTIUS untuk berjuang terus sampai ke finish.

      Jangan tertipu oleh segala macam godaan dan rayuan Setan.
      Mintalah Rohkudus dan Firman Tuhan mencelikkan mata rohani kita, supaya jangan seperti contoh2 yang celaka itu.
      Jangan sampai gugur padahal hanya kurang sedikit saja lalu bisa masuk dalam kemuliaan yang sangat besar dan kekal.
      Kalau tidak jadi masuk dalam kemuliaan ,justru akan masuk dalam perhambaan dan aniaya Setan yang kekal sebab “makan buah larangan “, karena tergoda oleh falsafah iblis yang licin itu.
      Kalau toh kita masih punya banyak waktu, itu lebih indah lagi, sebab kita bisa ber-buah2 lebih banyak dalam umur dan kesempatan yang lebih panjang, dan semua buah2 itu akan mengikut menyertai kita se-lama2nya.

      Apakah mata kita sudah bisa melihat garis finish itu ataukah mata kita sudah dibutakan oleh gemerlapnya dunia ini ?
      Hanya kita yang bisa menjawabnya masing2.

      Mac : 23.Juni.2010

  8. saya sangat senang ini menjadi ingatan bagi kita semua…………….trima kasih Tuhan

  9. Sungguh suatu renungan yang bagus, sebagai sarana instropeksi bagi saya sendiri dalam memaknai kasih Tuhan dalam kehidupan rohani saya.

    Trima kasih, GBU

  10. Tulisan yang indah..
    Memang Tanpa Tuhan, kita tidak ada apa-apanya… Dia yang terlebih dahulu mengasihi kita, adalah yang besar dan utama, lembut dan penuh cinta…jangan terjebak pada rutinitas dan kesibukan liturgi (walaupun itu kadang terasa begitu hebat) namun keheningan batin, refleksi setiap hari lebih penting….

    Dia, yang mencintai kita, juga adalah Bapa kita, datang kepadaNya….bagaikan anak kecil menemukan pangkuan orang tua tercintanya…

    Semoga semakin diberkati,

    Benedictus Widi Handoyo

  11. Terimakasih Sdr Yohanes Yudi dan Princess Bee. Memang benar Sdr Yohanes, bahwa mengikuti Yesus itu sulit dan penuh tantangan. Tantangan yang besar datang terutama dari diri sendiri dan ego kita. Tetapi jika Tuhan memberi teladan dan meminta kita mengikutiNya, tentu Ia juga melengkapi kita dengan kekuatan dan kemampuan untuk menjalani, asalkan kita terus membuka diri dg penuh kerendahan hati di hadapanNya. Kita jalani setiap satu tantangan kecil bersama Dia, satu langkah kecil dalam iman, dan Dia akan membantu kita untuk terus membuat langkah-langkah selanjutnya hingga menjadi besar dan akhirnya kita tahu kita sudah melangkah jauh bersamaNya, dalam kerendahan hati dan ketaatan yg penuh kepadaNya. Akhirnya spt yang Princess Bee katakan, tanpa Yesus saya tidak sanggup melakukan apa-apa, tetapi konsisten dg Yesus membuat kita bisa melakukan segalanya..:)). Trimakasih untuk sharingnya dan kita saling mendoakan ya, salam damai dalam Tuhan.

  12. Terima kasih untuk renungan yang indah dan menarik. Kiranya dapat mengingatkan kita agar senantiasa menjadikan Yesus sebagai ‘pasangan’ dalam melayani sesama. Berkah Dalem

  13. Refleksi yang sangat bagus. Saya jadi sangat terberkati dan diingatkan untuk slalu menyadari bahwa tanpa Tuhan Yesus saya tidak sanggup melakukan apa-apa

  14. Senang membaca renungan di atas… terima kasih. Mungkin yang pernah hadir dalam hidupku dan belum pernah dapat kujalani hampir sama dengan pengalaman mbak Uti. Aku pasang tulisan indah di dinding ruang kerjaku dan di depan meja doaku di rumah: “… hendaklah hidupmu tetap di dalam Dia (Kolose 2:6).” Tetapi sampai sekarang aku begitu sulit menjalani. Tuhan Yesus tolong aku…

    salam,
    yang berdosa

Comments are closed.