Sharing pelayanan oleh Pst Felix Supranto, SS.CC
Setelah selesai merayakan Ekaristi untuk orang-orang sakit pada tanggal 14 Oktober 2015 malam, aku ingin beristirahat. Sebelum tidur, aku membuka handphone untuk melihat SMS yang ada. Ternyata memang ada SMS dari seorang ibu, umat parokiku, seperti yang telah aku duga. SMS itu ditulisnya pada pukul 23.21 dengan permohonan agar aku memberikan Sakramen Perminyakan Suci kepada mama mertuanya. Mamanya itu mengalami pendarahan yang parah akibat penyakit diabetes yang telah menggerogoti organ-organ penting dalam tubuhnya. Isi SMSnya: “Malam romo, maaf saya mengganggu, boleh saya minta Sakramen Perminyakan untuk Oma? Kabari saya ya Romo”.
Tanpa menunggu waktu, aku membawa mobilku melaju ke tempat yang aku tuju. Perjalanan di tengah malam dan gelap membuatku tidak mudah menemukan rumah itu. Aku mengandalkan GPS. GPS itu mengarahkan aku melewati jalan yang semakin lama semakin sempit dan berakhir di jalan buntu. Aku turun dari mobilku untuk melihat keadaan. Aku terkejut ternyata aku berada di lokasi pemakaman. Aku sembunyikan rasa takutku karena malu dengan kosterku yang menemaniku “Romo kok takut…, gengsi dong”. Aku berusaha memutar mobilku, tetapi mobil itu tidak bisa maju dan tidak bisa mundur. Aku pun menyerah. Aku turun dari mobil dan duduk di dekat sebuah nisan. Aku memegang rosario erat-erat sebagai senjata untuk menenangkan jiwaku. Dalam hatiku, aku berkata: “Malam ini aku menjadi juru kunci/penjaga makam”. Ketika mendengar suara daun-daun yang bergesekan, aku semakin kencang memegang rosario itu. Kosterku tiba-tiba menyentuh pundakku yang membuatku terkejut karena aku pikir itu hantu. Koster itu bertanya kepadaku: “Romo, takut sekali ya, kok memegang erat sekali rosario itu ”. Aku menjawabnya: “Tidak, aku tidak takut. Aku sedang berdoa dengan sungguh-sungguh untuk arwah-arwah yang jenasahnya dimakamkan di sini”.
Tidak lama kemudian, aku ingat sebuah lampu “baterai” yang senantiasa aku bawa dalam jok belakang mobilku. Dengan lampu itu, aku menemukan jalan keluar dari pemakaman. Aku tidak langsung ke rumah Oma, tetapi kembali ke pastoran. Aku meminta suami dari ibu itu untuk menjemputku karena perasaan “shock” atas peristiwa itu belum dapat aku atasi.
Ketika aku sampai di rumah itu, oma itu tersenyum kepadaku. Senyuman oma itu memaknai peristiwa yang baru aku alami sebagai sebuah kebijaksanaan di dalam kehidupan. Aku bertanya kepada oma itu: “Oma kok kelihatan tetap bergembira walaupun baru saja mengalami pendarahan yang hebat”. Ia menjawabku: “Aku tetap bergembira karena aku tahu bahwa semuanya akan berlalu. Aku sudah tua dan tentu telah mengalami banyak hal tentang itu. Aku telah mengalami pujian dan makian. Aku pernah hidup kekurangan dan kecukupan. Aku yakin sakitku pun pasti akan berlalu. Tidak ada yang kekal di dalam dunia ini, selain iman akan cinta Tuhan. Iman tidak menjamin kehidupanku senantiasa di dalam kelimpahan dan tertawa, tetapi membuatku dapat merasakan kelembutan cinta-Nya di tengah derita yang mendera. Cinta-Nya itu membuatku tetap tersenyum karena akan menghantarkan aku ke tempat yang sangat indah pada saat aku nanti dipanggilNya. Kerinduanku akan tempat kekal nan indah itu membuatku tetap tersenyum”.
Pesan yang dapat kita renungkan: Sadarilah bahwa semuanya akan berlalu. Tiada yang permanen di dalam dunia, selain cinta Tuhan yang mengiringi kehidupan. Imanilah cinta Tuhan, yang tak akan pernah berlalu ditelan waktu, maka kehidupan kita akan bahagia. Jangan tuliskan cinta Tuhan itu di pasir karena ombak akan menghanyutkannya. Jangan tuliskan cinta Tuhan itu di langit karena awan akan menyapunya. Tuliskan cinta Tuhan itu di dalam jiwa karena tidak ada sesuatu yang dapat menghapusnya. Cinta Tuhan di dalam jiwa itu akan menjadi cahaya kekal di tengah gelapnya dunia, untuk menghantar kita menuju Allah Bapa, Sang Sumber Kebahagiaan: “Langit dan bumi akan berlalu, tetapi perkataan-Ku tidak akan berlalu” (Matius 24:35).
Tuhan Memberkati