[Malam Natal: Yes 9:1-6; Mzm 96:1-13; Ti 2:11-14; Luk 2:1-14]
Di awal Bacaan Injil kita mendengar, bahwa peristiwa kelahiran Tuhan Yesus di Betlehem tak terpisahkan dari perintah sensus yang dikeluarkan oleh Kaisar Agustus pada waktu itu. Maka semua orang pergi mendaftarkan diri di kota asalnya, termasuk St. Yusuf dan Bunda Maria. Mereka pergi ke Betlehem, kota Daud, bapa leluhur mereka. Mungkin tak terbayangkan bagi kita sekarang, bagaimana melakukan perjalanan dari Nazareth di Galilea ke Betlehem, yang mungkin memakan waktu empat atau lima hari, dengan berjalan kaki, atau yang sering kita lihat di gambar-gambar Natal, Bunda Maria menaiki keledai, dengan dituntun oleh St. Yusuf di sampingnya. Tentunya keduanya begitu lelah begitu sampai di Betlehem. Namun seolah kelelahan itu belum cukup, mereka masih mesti menerima kenyataan, bahwa “tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan” (Luk 2:7). Mungkin St. Yusuf sudah mengetuk banyak pintu, dan bertanya adakah tempat bagi mereka, namun jawab yang mereka terima, “Maaf, tidak ada.” Mungkin St. Yusuf sudah mencoba menjelaskan bahwa mereka datang dari jauh, memohon dengan penuh harap… dan Bunda Maria berdiri beberapa meter darinya, menunggu di dekat keledai itu, dan mendengar penolakan demi penolakan. Mereka tidak mengizinkan Kristus masuk. Betapa dinginnya dunia ini terhadap Tuhannya!
Namun syukurlah akhirnya mereka menemukan tempat untuk beristirahat, di salah satu gua yang terletak di pinggir kota, yang umum digunakan juga sebagai kandang hewan. Bunda Maria mungkin menghibur St. Yusuf dengan senyumnya, “Tak apa, jangan kuatir Yusuf, kita akan baik-baik saja di sini…” Dan Bunda Maria mulai mengeluarkan apa yang dibawanya dari Nazareth: kain lampin dan mungkin juga benda-benda lain yang telah ia siapkan untuk sang Bayi, dengan sukacita seorang ibu yang menantikan kelahiran anaknya. Di sanalah, di kandang itu, terjadilah peristiwa terbesar di sepanjang sejarah manusia, dengan kesederhanaan yang sepenuhnya. Yesus Kristus, Sang Putra Allah, lahir sebagai manusia, melalui Perawan Maria. Mungkin baik Bunda Maria dan St. Yusuf memandang sang Bayi itu dengan rasa takjub dan syukur. Bagaimana Allah telah memilih mereka untuk menjaga, melindungi dan mengasihi Sang Bayi kecil ini, yang adalah Sang Mesias yang telah dinubuatkan berabad-abad lamanya oleh para nabi! Bunda Maria mungkin mencium kaki Bayi Yesus, dan tunduk menyembah-Nya, … “Terimalah salam hormatku, ya Tuhan.” Namun juga berbisik, “O, Anakku, betapa ibu-Mu sayang kepada-Mu!” dan mencium pipi-Nya penuh haru, sebab Bayi yang kudus itu adalah juga Anaknya! Bunda Maria yang menyimpan segala sesuatunya di dalam hatinya, tentu melewati saat-saat istimewa itu dengan memandang Yesus dengan tatapan kasih tanpa henti; memeluk-Nya dalam dekapannya dan menyenandungkan lagu untuk membuat-Nya lelap. Ketika Bunda Maria memberikan Bayi Yesus kepada St. Yusuf, ia pun memandang-Nya, sambil mengingat kembali apa yang dikatakan malaikat itu kepadanya. Bahwa Bayi ini adalah Anak Allah, Sang Imanuel, Yesus, yang berarti Allah yang menyelamatkan umat-Nya. Adalah tugasnya untuk menjaga dan melindungi Bayi ini dan ibu-Nya, dan ini adalah tugas yang dipercayakan Allah kepadanya….
Dibungkus dengan kain lampin, kemudian Yesus dibaringkan di dalam palungan. Ia dilahirkan sebagai Seorang Bayi yang miskin. Ia yang adalah Empunya seluruh alam semesta, memilih untuk datang ke dunia tanpa membawa apa-apa. Dengan demikian Ia mengajarkan kepada kita bahwa kebahagiaan tidak untuk ditemukan dalam kelimpahan benda-benda duniawi. “Ia merendahkan diri-Nya supaya kita dapat datang mendekat kepada-Nya, supaya kita dapat memberikan cinta kasih kita sebagai balasan bagi cinta kasih-Nya, sehingga kehendak bebas kita dapat tunduk, tidak semata-mata pada pandangan akan kekuatan-Nya tetapi pada kerendahan hati-Nya yang mengagumkan” (St. Jose Maria Escriva, Christ is passing by, 14).
Di hari yang istimewa ini, mari kita meresapkan apa yang dikatakan oleh Paus Fransiskus, “Hari ini, Putra Allah lahir, dan semuanya berubah. Sang Juruselamat dunia datang untuk mengambil bagian dalam kodrat manusiawi kita. Kita tidak lagi sendirian dan ditinggalkan. Sang Perawan Maria mempersembahkan kepada kita Putranya sebagai awal kehidupan baru. Terang yang sejati telah datang untuk menerangi hidup kita, yang kerap ditimpa kegelapan dosa. Hari ini kita sekali lagi menemukan siapakah kita! Hari ini kita telah ditunjukkan jalan untuk mencapai akhir perjalanan. Kini kita harus membuang semua ketakutan dan rasa ngeri, sebab terang itu menunjukkan jalan ke Betlehem… Kita mesti berangkat untuk melihat Juruselamat kita yang terbaring di palungan. Ini adalah alasan bagi sukacita kita: Anak ini telah “lahir untuk kita”, Ia “diberikan kepada kita”, sebagaimana dikatakan oleh Nabi Yesaya (lih. Yes 9:5)… Maka ketika kita mendengar kisah kelahiran Kristus, mari kita hening dan membiarkan Anak itu berbicara. Mari meresapkan perkataan-Nya saat kita tenggelam dalam pandangan akan wajah-Nya. Jika kita menggendong-Nya dalam pelukan kita, biarkan diri kita dipeluk oleh-Nya, Ia akan membawa kita kepada rasa damai di hati, yang takkan berakhir. Ia telah lahir dalam kemiskinan dunia ini; tak ada tempat di rumah penginapan bagi-Nya dan keluarga-Nya. Ia menemukan tempat perlindungan di sebuah kandang dan dibaringkan di sebuah palungan [tempat makan] bagi hewan. Tetapi, dari kepapaan ini, terang kemuliaan Tuhan terpancar ke luar. Sejak saat itu, jalan pembebasan yang otentik dan penebusan yang abadi terbuka kepada setiap manusia, yang sederhana hatinya. Anak ini, yang wajah-Nya memancarkan kebaikan, kerahiman dan kasih Allah Bapa, mendidik kita, para murid-Nya, sebagaimana dikatakan Rasul Paulus, “untuk meninggalkan kefasikan dan keinginan-keinginan duniawi dan supaya kita hidup bijaksana, adil dan beribadah di dunia sekarang ini” (Ti 2:12)…. Seperti para gembala di Betlehem, semoga kita pun, dengan mata yang penuh kekaguman, memandang Kanak-kanak Yesus, Sang Putra Allah. Dan di dalam hadirat-Nya semoga hati kita bersorak menyambut-Nya dalam doa, ‘Perlihatkanlah kepada kami kasih setia-Mu, ya Tuhan, dan berikanlah kepada kami keselamatan dari pada-Mu’ (Mzm 85:8)!” (Paus Fransiskus, Homili Malam Natal, 2015)