I. Pendahuluan
Mungkin pertanyaan ini adalah pertanyaan yang terdengar sangat janggal, yaitu “Apakah hubungan antara seks dan perkawinan dengan Magisterium Gereja?” Bukankah masalah seks dan perkawinan adalah masalah pribadi dari masing-masing keluarga dan tidak ada seorangpun yang dapat campur tangan, termasuk Gereja? Apakah hak dari Gereja untuk mengatur sendi-sendi kehidupan yang bersifat pribadi, yaitu urusan tempat tidur?
Pertama- tama, karena Gereja Katolik, melalui Magisterium Gereja mengatur hal-hal yang berhubungan dengan iman dan moral, karena memang Gereja diberi mandat oleh Kristus sendiri untuk menjadi pilar kebenaran. Tuhan Yesus tidak menulis Kitab Suci, atau menurunkan Kitab Suci dari langit. Namun Ia mendirikan Gereja-Nya atas dasar Rasul Petrus (lih. Mat 16:18) dan Gereja-Nya inilah kemudian menentukan Kanon Kitab Suci dan mengajarkan interpretasinya. Dengan demikian, warisan iman dapat diteruskan dari generasi ke generasi selanjutnya dengan murni.
Kedua, dengan adanya Magisterium Gereja, maka umat Allah dapat memperoleh kepastian iman yang dipercaya, sehingga tidak terjebak pada kebohongan relativisme. Kristus adalah Sang Kebenaran itu (Yoh 14:6) dan Roh Kebenaran-Nya akan menuntun kita kepada seluruh kebenaran (Yoh 16:13). Seluruh kebenaran mengacu kepada suatu kebenaran yang sifatnya obyektif, dan bukan tergantung masing- masing orang, yang sifatnya subyektif dan berubah- ubah. Sebab kebenaran yang disesuaikan dengan pandangan masing- masing itu bukan ‘seluruh kebenaran’. Namun jika Kristus yang menentukan pengajaran, kemudian diwariskan kepada para rasul dan para Bapa Gereja, dan para penerus mereka, maka kita dapat meyakini hal tersebut sebagai kebenaran yang penuh, yang sifatnya obyektif dan tidak dapat diubah.
Ketiga adalah, karena perkawinan antara laki- laki dan perempuan dimaksudkan untuk menjadi gambaran akan kasih Allah kepada umat pilihan-Nya, kasih Kristus kepada Gereja-Nya. Kasih Allah ini adalah kasih penyerahan diri yang total dan kasih yang menghasilkan buah, seperti yang ditunjukkan oleh kasih Kristus sendiri di kayu salib, yang terus membuahkan anggota- anggota Tubuh-Nya melalui Pembaptisan. Kasih yang demikianlah yang dikehendaki Allah.
Tiga prinsip dasar inilah yang menjadi alasan, mengapa Magisterium Gereja – dengan beberapa dokumen Gereja, termasuk Casti Connubii dan ensiklik Humane Vitae – menyatakan kebenaran bahwa perkawinan dan hubungan suami istri adalah merupakan sesuatu yang sakral/ suci. Perkawinan selain bertujuan untuk mempersatukan suami dan istri, harus juga terbuka terhadap kelahiran anak. Dengan demikian, penggunaan alat kontrasepsi melanggar kesucian perkawinan dan rencana ilahi dalam perkawinan, penggunaan alat kontrasepsi melanggar kedua tujuan ini.
II. Hakekat kebenaran dan tantangannya dengan dunia modern.
Dunia modern saat ini didominasi oleh modernisme ((1909 Catholic Dictionary mendefiniskan modernisme sebagai: “Istilah yang digunakan oleh mereka yang mempengaruhi sebuah pilihan untuk menilai apa yang modern, dan sebuah pengabaian untuk semua yang bersifat kuno dan berasal dari abad pertengahan, biasanya karena mereka tahu sedikit saja tentang sejarah atau institusi dari masa lalu; sebuah usaha transformasi radikal dari pikiran mengenai Tuhan, manusia, dunia, hidup saat ini dan hidup sesudah kematian; sebuah asumsi bahwa semua yang modern adalah lebih sempurna daripada hal-hal yang mendahuluinya, bahwa oposisi / perlawanan terhadap setiap teori baru atau spekulasi, adalah perlawanan terhadap apa yang baik dalam kemajuan modern. Di dalam agama, menurut Paus Pius X, Modernisme adalah perwujudan dari setiap kesesatan; berdasarkan pendukung utamanya yang berasal dari Perancis, Loisy, sebuah penyingkiran dari setiap doktrin Katolik. Gerakan itu tidak baru. Gerakan ini dimulai dengan Reformasi, yang darinya gerakan ini merupakan hasil yang logis. Di pertengahan abad ke-19, di bawah Paus Pius IX, gerakan ini neguhkan dirinya sendiri dalam liberalisme politik, sebuah usaha untuk menceraikan masyarakat dan pemerintah dari agama; di bawah Paus Leo XIII, gerakan ini menjadi gerakan sosial; di bawah Paus Pius X, menjadi agresi melawan agama yang benar. Pendukung-pendukungnya tidak pernah sepakat. Ia membutuhkan kejeniusan Paus Pius X dan rekan-rekannya untuk mengidentifikasikan keyakinan mereka yang samar-samar dan memberi mereka sistem. Kaum modernis menuntut emansipasi dari otoritas gereja, emansipasi dalam ilmu pengetahuan, dalam kenegaraan, dalam kesadaran hati nurani, tanpa menyebut secara khusus di mana (dalam hal apa) otoritas telah bersifat tirani, dalam hal apa bidang sains, kenegaraan, atau hati nurani menjadi terlibat. Mereka tidak menyukai pikiran-pikiran mengenai kebenaran yang mutlak, dogma dalam logika yang riil, atau pengetahuan yang diturunkan dari pewahyuan. Mereka mengklaim bahwa jiwa mempunyai kerinduan akan sesuatu yang lebih tinggi dari apa yang dapat ia tangkap di alam, bahwa kerinduan-kerinduan ini dipahami secara sadar, mengungkapkan kehadiran Tuhan yang intim; bahwa kehadiran ini merupakan wahyu; bahwa pengalaman relasi dengan Tuhan tersebut mengarahkan jiwa untuk bersikap secara benar bersama Dia; bahwa pemimpin-pemimpin bangkit, yang menginterpretasikan semua ini, dan menjadi pendiri-pendiri agama. Iman Kristen kemudian adalah sentimen kerinduan ini kepada Tuhan sebagai bapa, manusia, dan saudara. Rumusan ini dianggap baik untuk sesaat namun dan harus memberi jalan lain bersamaan dengan berubahnya zaman. Menurut mereka, Kristus menurut iman bukanlah Kristus menurut sejarah: Ia mendirikan Gereja dan Sakramen-Sakramen tidak secara personal dan tidak secara langsung tetapi hanya melalui gerakan yang Dia awali seolah lewat sebuah proses evolusi; Sakramen-sakramen adalah hanya suatu formula yang menyentuh jiwa dan membuatnya terlena; Kitab Suci adalah hanya sebuah kumpulan dari pengalaman-pengalaman religius. Gerakan tersebut pernah kuat di Italia, dan mempengaruhi banyak orang di Jerman, Perancis, dan Inggris. Gerakan itu hanya mempunyai sedikit pengaruh di Amerika Serikat, walaupun promotor-promotornya di Inggris dan Perancis melakukan segalanya dalam kekuasaan mereka untuk menyebarkannya, khususnya di antara kaum seminaris. Sejumlah besar dokumen-dokumen kepausan telah diterbitkan untuk menentang hal itu, dirinci di dalam Catholic Encyclopedia di bawah Modernisasi. Ensiklik Pascendi Dominici Gregis menentang hal itu dan ensiklik ini adalah contoh sikap paus yang menyuarakan sikap yang bersifat universal di antara para uskup, para imam, dan kaum awam, maka ajaran Gereja mengekspresikan pandangan dan harapan yang diajarkan Gereja.”)). Modernisme dikatakan oleh Paus Pius X sebagai “sintesis dari semua bidaah” ((lih. Paus Pius X, Pascendi Dominici Gregis, 39)), yang kemudian ditegaskan oleh Paus Benediktus XV ((lih. Paus Benediktus XV, Ad Beatissimi Apostolorus, 25)). Dapat dikatakan bahwa modernisme menggabungkan semua ajaran bidaah karena modernisme ingin menghilangkan semua hal yang berhubungan dengan Tuhan dari seluruh sendi kehidupan. Berikut ini adalah beberapa hal yang harus dicermati terhadap gerakan modernisme:
a. Prinsip emansipasi.
Prinsip ini menempatkan kebebasan ilmu pengetahuan, tata negara dan hati nurani, terpisah dari Gereja. Dengan demikian, otoritas Gereja sebagai pilar kebenaran tidak mempunyai tempat, baik di dalam kehidupan bermasyarakat maupun pribadi.
Prinsip ini menginginkan kebebasan ilmu pengetahuan tanpa mempertimbangkan nilai-nilai etika maupun moral. Hal-hal seperti embryonic stem sells research diperbolehkan, tidak memperdulikan bahwa untuk melakukan penelitian ini mereka harus membunuh embrio – yang adalah manusia.
Keterpisahan tata negara dari hukum moral– yang sering diserukan oleh Gereja– terjadi ketika negara membuat peraturan-peraturan yang berlawanan dengan akal budi, seperti legalisasi aborsi, yang jelas-jelas merupakan pembunuhan. Dan yang menyedihkan, dokter-dokter yang mempertahankan prinsip-prinsip Kristiani–tidak mau terlibat dalam aborsi–justru mengalami kesulitan dan dilema. Kalau pemerintah melegalkan aborsi, maka pasien-pasien dapat menuntut dokter-dokter yang tidak mau melakukan aborsi dan mereka bahkan dapat kehilangan pekerjaaannya.
Dan yang paling parah adalah, ketika setiap individu merasa dapat menggunakan kehendak bebasnya dengan sebebas-bebasnya tanpa mengindahkan kebenaran yang mempunyai kodrat absolut, maka ia akan hidup ‘semau gue‘: mengaku beriman, tetapi hidup seolah- olah tidak ada Tuhan. Ketika seseorang merasa bahwa pada akhirnya dirinya sendiri menjadi satu-satunya parameter dari kebenaran, dan setiap orang dapat memegang kebenaran menurut pikirannya sendiri, maka ia sesungguhnya menjadi pemeluk paham relativisme.
b. Relativisme
Prinsip relativisme ada di dalam seluruh sendi kehidupan. Dengan prinsip ini, seolah-olah semua orang dapat mempunyai kebenaran yang berbeda-beda, yang dapat diterapkan pada hal yang sama. Prinsip ini bertentangan dengan prinsip self- evident principle (prinsip yang utama, yang tidak perlu dibuktikan kebenarannya), yaitu: prinsip non-contradiction, yang mengatakan bahwa sesuatu tidak dapat menjadi dan tidak menjadi pada waktu yang sama dan dengan cara yang sama. Kalau seseorang mengatakan bahwa sebuah mobil berwarna biru, dan kemudian orang lain mengatakan bahwa mobil yang sama berwarna merah, maka tidak mungkin kedua-duanya benar. Yang benar adalah hanya salah satu dari kedua mobil itu yang sesuai dengan realitas yang ada. Ini disebabkan karena definisi kebenaran adalah “kesesuaian antara pikiran dengan realitas (conformity of mind with reality)“.
Tidak mungkin kita mengatakan bahwa sesuatu pasti benar atas dasar hati nurani, kalau ternyata keduanya menghasilkan dua kesimpulan yang berbeda. Masalahnya bukan terletak pada keraguan akan fungsi hati nurani yang diciptakan oleh Tuhan, namun pada diri kita yang sering tidak membentuk hati nurani kita dengan baik dan bahkan cenderung untuk mengotorinya, sehingga hati nurani kita tidak lagi peka terhadap kebenaran dan bahkan dapat salah serta menyimpang dari kebenaran.
III. Tentang suara hati
Mari sekarang kita membahas tentang hati nurani, yang sering dipergunakan oleh banyak orang untuk memberikan justifikasi akan semua perbuatan, terutama dalam hal menentukan pelaksanaan hubungan suami istri dalam perkawinan. Pertama- tama kita akan melihat definisi dari suara hati, manfaat, bagaimana membentuknya, serta bagaimana suara hati juga dapat salah.
1. Pengertian suara hati/ hati nurani:
a. Hati nurani adalah keputusan akal budi.
KGK 1778, “Hati nurani adalah keputusan akal budi, di mana manusia mengerti apakah satu perbuatan konkret yang ia rencanakan, sedang laksanakan, atau sudah laksanakan, baik atau buruk secara moral. Dalam segala sesuatu yang ia katakan atau lakukan, manusia berkewajiban mengikuti dengan seksama apa yang ia tahu, bahwa itu benar dan tepat. Oleh keputusan hati nurani manusia mendengar dan mengenal penetapan hukum ilahi.
Dengan hati nurani–yang adalah anugerah dari Tuhan– dan pertimbangan akal budi, manusia mampu mengetahui apakah suatu perbuatan yang telah, sedang dan akan dilakukan adalah baik atau buruk secara moral.
b. Hati nurani merupakan hukum yang diberikan oleh Allah dalam hati manusia.
KGK 1776, “Di lubuk hati nuraninya manusia menemukan hukum, yang tidak diterimanya dari dirinya sendiri, tetapi harus ditaatinya. Suara hati itu selalu menyerukan kepadanya untuk mencintai dan melaksanakan apa yang baik, dan untuk menghindari apa yang jahat. Bilamana perlu, suara itu menggemakan dalam lubuk hatinya: jauhkanlah ini, elakkanlah itu. Sebab dalam hatinya manusia menemukan hukum yang ditulis oleh Allah. Martabatnya ialah mematuhi hukum itu,… Hati nurani ialah inti manusia yang paling rahasia, sanggar sucinya; di situ ia seorang diri bersama Allah, yang sapaan-Nya menggema dalam batinnya” (Gaudium et Spes 16)
Hhati nurani penting, karena merupakan tempat sakral, di mana manusia bertemu dengan Tuhan. Tempat sakral ini adalah pemberian Tuhan, di mana Tuhan mengatur kehidupan manusia dan di mana Tuhan sendiri menuliskan hukum-hukum-Nya. Rasul Paulus menegaskannya dengan menuliskan “Aku akan menaruh hukum-Ku di dalam hati mereka dan menuliskannya dalam akal budi mereka” (Ibr 10:16).
c. Manfaat suara hati: untuk memimpin manusia berbuat baik dan menghindari perbuatan jahat.
KGK 1777, “Di dalam lubuk hati seseorang bekerjalah hati nurani (Bdk. Rm 2:14-16). Pada waktu tertentu ia memberi perintah untuk melakukan yang baik dan mengelakkan yang jahat. Ia juga menilai keputusan konkret, di mana ia menyetujui yang baik dan menolak yang jahat (Bdk. Rm 1:32). Ia memberi kesaksian tentang kebenaran dalam hubungan dengan kebaikan tertinggi, yaitu Allah, oleh siapa manusia ditarik, dan hukum-hukum Siapa manusia terima. Kalau ia mendengar hati nuraninya, manusia yang bijaksana dapat mendengar suara Allah, yang berbicara di dalamnya.
Dengan hati nurani yang baik, orang tahu mana yang baik dan yang buruk, karena Allah berbicara kepada manusia, salah satunya melalui hati nurani. Karena hukum Allah tertulis di hati nurani manusia maka kalau manusia mau mendengarkan hati nuraninya yang terbentuk dengan baik, ia dapat melakukan yang baik dan menolak yang jahat.
2. Hati nurani dapat salah (invincible ignorance dan culpable ignorance)
Hati nurani bisa salah karena ketidaktahuan yang tak terhindari (invincible ignorance); dalam keadaan ini orang tersebut tidak bersalah. Namun ketidaktahuan juga dapat disebabkan oleh ketidakpedulian orang itu sendiri (culpable ignorance); dan dalam kondisi ini orang itu bersalah.
KGK 1790, “ Manusia selalu harus mengikuti keputusan yang pasti dari hati nuraninya. Kalau ia dengan sengaja bertindak melawannya, ia menghukum diri sendiri. Tetapi dapat juga terjadi bahwa karena ketidaktahuan, hati nurani membuat keputusan yang keliru mengenai tindakan yang orang rencanakan atau sudah lakukan.”
KGK 1791, “Sering kali manusia yang bersangkutan itu sendiri turut menyebabkan ketidaktahuan ini, karena ia “tidak peduli untuk mencari apa yang benar serta baik, dan karena kebiasaan berdosa hati nuraninya lambat laun hampir menjadi buta” (Gaudium et Spes 16). Dalam hal ini ia bertanggungjawab atas yang jahat, yang ia lakukan.“
3. Bagaimana membentuk hati nurani yang benar?
a. Hati nurani dibentuk oleh pengetahuan yang kita dapat, sehingga pendidikan hati nurani merupakan tugas seumur hidup.
Hati nurani memang merupakan anugerah Tuhan, di mana Tuhan sendiri menuliskan hukum-hukum-Nya. Namun, hati nurani juga merupakan suatu keputusan akal budi. Maka yang menjadi masalah adalah: keputusan akal budi ini dapat salah–karena tidak dibentuk dengan benar dengan pondasi kebenaran yang utuh. Kebenaran yang utuh hanya mungkin ada kalau manusia mendasarkan kebenaran di atas terang Sabda Allah, yaitu Kitab Suci dan Tradisi Suci yang terus mendasari kehidupan umat Kristen, serta dipelihara oleh pengajaran Magisterium Gereja. Sabda Tuhan adalah Terang yang membentuk suara hati. Suara hati harus dilaksanakan dalam iman dan doa, oleh bimbingan Roh Kudus, dibantu oleh kesaksian ataupun nasihat orang lain dan juga oleh pengajaran Gereja. Katekismus Gereja Katolik menekankan pentingnya untuk menjaga hati nurani agar tetap peka terhadap perintah-perintah Tuhan.
KGK 1783, “Hati nurani harus dibentuk dan keputusan moral harus diterangi. Hati nurani yang dibentuk baik dapat memutuskan secara tepat dan benar. Dalam keputusannya ia mengikuti akal budi dan berorientasi pada kebaikan yang benar, yang dikehendaki oleh kebijaksanaan Pencipta. Bagi kita manusia yang takluk kepada pengaruh-pengaruh yang buruk dan selalu digoda untuk mendahulukan kepentingan sendiri dan menolak ajaran pimpinan Gereja, pembentukan hati nurani itu mutlak perlu.”
KGK 1784, “Pembentukan hati nurani adalah suatu tugas seumur hidup. Sudah sejak tahun-tahun pertama ia membimbing seorang anak untuk mengerti dan menghayati hukum batin yang ditangkap oleh hati nurani. Satu pendidikan yang bijaksana mendorong menuju sikap yang berorientasi pada kebajikan. Ia memberi perlindungan terhadap dan membebaskan dari perasaan takut, dari cinta diri dan kesombongan, dari perasaan bersalah yang palsu, dan rasa puas dengan diri sendiri, yang semuanya dapat timbul oleh kelemahan dan kesalahan manusia. Pembentukan hati nurani menjamin kebebasan dan mengantar menuju kedamaian hati.”
KGK 1785, “Dalam pembentukan hati nurani, Sabda Allah adalah terang di jalan kita. Dalam iman dan doa kita harus menjadikannya milik kita dan melaksanakannya. Kita juga harus menguji hati nurani kita dengan memandang ke salib Tuhan. Sementara itu kita dibantu oleh anugerah Roh Kudus dan kesaksian serta nasihat orang lain dan dibimbing oleh ajaran pimpinan Gereja (Bdk. Dignitatis Humanae 14)“
b. Lebih mengenal hati dan rajin memeriksa batin.
Agar dapat mendengarkan suara hati, kita harus mengenal hati sendiri dan rajin memeriksa batin.
KGK 1779, Supaya dapat mendengarkan dan mengikuti suara hati nurani, orang harus mengenal hatinya sendiri. Upaya mencari kehidupan batin menjadi lebih penting lagi, karena kehidupan sering kali mengalihkan perhatian kita dari setiap pertimbangan, dari pemeriksaan diri atau dari introspeksi. “Masuklah ke dalam hati nuranimu dan tanyakanlah dia! … Masuklah ke dalam batinmu saudara-saudara! Dan di dalam segala sesuatu yang kamu lakukan, berusahalah agar Allah adalah saksimu” (Agustinus, ep. Jo. 8,9).
c. Berpijak pada tiga pilar kebenaran: Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium Gereja
Suara hati berhubungan dengan akal budi, dan akal budi memerlukan pilar kebenaran yang dapat menjadi pondasi untuk memahami kebenaran iman. Gereja Katolik mengenal tiga pilar kebenaran, yaitu: Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium Gereja.
IV. Tiga pilar kebenaran: Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium Gereja
1. Tradisi Suci (KGK 75-83)
Tradisi Suci adalah Tradisi yang berasal dari para rasul yang meneruskan apa yang mereka terima dari ajaran dan contoh Yesus dan bimbingan dari Roh Kudus. Oleh Tradisi, Sabda Allah yang dipercayakan Yesus kepada para rasul, disalurkan seutuhnya kepada para pengganti mereka, supaya dalam pewartaannya, mereka memelihara, menjelaskan dan menyebarkannya dengan setia. ((Katekismus Gereja Katolik, 81, Dei Verbum, 9)) Maka Tradisi Suci ini bukan tradisi manusia yang hanya merupakan ‘adat kebiasaan’. Dalam hal ini, perlu kita ketahui bahwa Yesus tidak pernah mengecam seluruh adat kebiasaan manusia, Ia hanya mengecam adat kebiasaan yang bertentangan dengan perintah Tuhan (Mrk 7:8).
Jadi, Tradisi Suci dan Kitab Suci tidak akan pernah bertentangan. Pengajaran para rasul seperti Allah Tritunggal, Api penyucian, Keperawanan Maria telah sangat jelas diajarkan melalui Tradisi Suci dan tidak bertentangan dengan Kitab Suci, meskipun hal-hal itu tidak disebutkan secara eksplisit di dalam Kitab Suci. Demikian pula dengan ajaran tentang perkawinan. Janganlah kita lupa, bahwa Kitab Suci sendiri mengajarkan agar kita memegang teguh Tradisi yang disampaikan oleh para rasul kepada kita secara tertulis ataupun lisan (2Tes 2:15).
Juga perlu kita ketahui bahwa Tradisi Suci bukanlah kebiasaan-kebiasaan seperti doa rosario ataupun berpuasa setiap hari Jumat. Walaupun semua kebiasaan tersebut baik, namun hal-hal tersebut bukanlah doktrin. Tradisi Suci meneruskan doktrin yang diajarkan oleh Yesus kepada para rasulNya yang kemudian diteruskan kepada Gereja di bawah kepemimpinan penerus para rasul, yaitu para Paus dan uskup.
2. Kitab Suci (KGK, 101-141)
Allah memberi inspirasi kepada manusia yaitu para penulis suci yang dipilih Allah untuk menuliskan kebenaran. Allah melalui Roh KudusNya berkarya dalam dan melalui para penulis suci tersebut, dengan menggunakan kemampuan dan kecakapan mereka. “Oleh sebab itu, segala sesuatu yang dinyatakan oleh para pengarang yang diilhami tersebut, harus dipandang sebagai pernyataan Roh Kudus.” ((lihat Katekismus Gereja Katolik, 107)) Jadi jelaslah bahwa Kitab Suci yang mencakup Perjanjian Lama dan Baru adalah tulisan yang diilhami oleh Allah sendiri (2Tim 3:16). Kitab-kitab tersebut mengajarkan kebenaran dengan teguh dan setia, dan tidak mungkin keliru. Karena itu, Allah menghendaki agar kitab-kitab tersebut dicantumkan dalam Kitab Suci demi keselamatan kita. ((Lihat Ibid., 107, Dei Verbum, 11))
Sebagai tulisan yang diilhami Allah, Kitab Suci sangatlah penting, namun keselamatan tidak diperoleh melalui Kitab Suci saja, menurut tafsiran sendiri. Sebab hal itu tidak pernah diajarkan dalam Kitab Suci. Malah yang disebutkan adalah bahwa Kitab Suci tidak boleh ditafsirkan menurut kehendak sendiri (2Pet 1:20-21) sebab ada kemungkinan dapat diartikan keliru (2Pet 3:15-16). Gereja pada abad-abad awal juga tidak menerapkan teori ini. Teori ‘hanya Kitab Suci’ atau ‘Sola Scriptura’ ini adalah salah satu inti pengajaran zaman Reformasi pada abad 16, yang jika diteliti, malah tidak sesuai dengan yang disampaikan dalam Kitab Suci.
Faktanya, Kitab Suci tidak dapat diinterpretasikan sendiri-sendiri, karena dapat menghasilkan pengertian yang berbeda-beda. Sejarah membuktikan hal ini, di mana dalam setiap tahun timbul berbagai gereja baru yang sama-sama mengklaim “Sola Scriptura” dan mendapat ilham dari Roh Kudus. Ini adalah suatu kenyataan yang memprihatinkan, karena menunjukkan bahwa pengertian yang berbeda-beda dan dapat bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Jika kita percaya bahwa Roh Kudus tidak mungkin menjadi penyebab perpecahan (lih. 1Kor14:33) dan Allah tidak mungkin menyebabkan pertentangan dalam hal iman, maka kesimpulannya adalah: “Sola Scriptura” itu teori yang keliru.
3. Magisterium (Wewenang mengajar) Gereja (KGK, 85-87, 888-892)
Dari uraian di atas, kita mengetahui pentingnya peran Magisterium yang “bertugas untuk menafsirkan secara otentik Sabda Allah yang tertulis atau diturunkan itu yang kewibawaannya dilaksanakan dalam nama Yesus Kristus.” ((Katekismus Gereja Katolik, 85, dan Dei Verbum, 10.)) Magisterium ini tidak berada di atas Sabda Allah, melainkan melayaninya, supaya dapat diturunkan sesuai dengan yang seharusnya. Dengan demikian, oleh kuasa Roh Kudus, Magisterium yang terdiri dari Bapa Paus dan para uskup pembantunya [yang dalam kesatuan dengan Bapa Paus] menjaga dan melindungi Sabda Allah itu dari interpretasi yang salah.
Kita perlu mengingat bahwa Gereja sudah ada terlebih dahulu sebelum keberadaan kitab-kitab Perjanjian Baru. Rasul Paulus mengajarkan bahwa Gereja (bukan Kitab Suci) adalah tiang penopang kebenaran. “Jadi jika aku terlambat, sudahlah engkau tahu bagaimana orang harus hidup sebagai keluarga Allah, yakni jemaat [Gereja] dari Allah yang hidup, tiang penopang dan dasar kebenaran.” (1 Tim 3:15) Para pengarang/ penulis suci dari kitab-kitab tersebut adalah para anggota Gereja yang diilhami oleh Tuhan, sama seperti para penulis suci yang menuliskan kitab-kitab Perjanjian Lama. Magisterium dibimbing oleh Roh Kudus diberi kuasa untuk meng-interpretasikan kedua Kitab Perjanjian tersebut. Jelaslah bahwa Magisterium sangat diperlukan untuk memahami seluruh isi Kitab Suci.
V. Magisterium Gereja dan kebenaran
1. Magisterium Gereja yang tidak dapat sesat
Magisterium diperlukan agar kebenaran yang dinyatakan dalam Kitab Suci (tertulis) dan Tradisi Suci (lisan) dapat dengan jelas dinyatakan dan tidak bertentangan satu sama lain. Inilah sebabnya Gereja Katolik tetap bertahan dari generasi ke generasi dengan kesatuan pengajaran. Magisterium Gereja juga membawa seluruh umat Kristus untuk memahami kebenaran dan mengaplikasikannya dalam kehidupan.
a. Kristus memberikan mandat kepada Gereja
Kristus sendiri telah memberikan mandat atau kuasa kepada rasul Petrus atau Paus pertama dan para penerusnya (lih. Mt 16:16-19) dan juga kepada para rasul yang diteruskan oleh para uskup (lih. Yoh 20:21-23). Ini didukung oleh kesaksian jemaat awal dan secara konsisten diajarkan dari generasi ke generasi. Jika Kristus tidak memberikan kuasa mengajar kepada para murid-Nya, tetapi kemudian Gereja Katolik mengklaim bahwa Magisterium Gereja memegang interpretasi akhir dari Sabda Allah, maka hal ini menjadi sesuatu yang dapat dipertanyakan. Namun kenyataannya, Kristus benar-benar memberikan otoritas mengajar ini kepada Gereja. “Apa yang kamu ikat di dunia ini akan terikat di surga, dan apa yang kamu lepaskan di dunia ini akan terlepas di surga.” (Mat 18:18, Mat 16:19) Maka tentu, peran Magisterium (Wewenang Mengajar Gereja) menjadi penting untuk keselamatan seluruh umat Allah. Begitu pentingnya hal ini, sehingga Kristus menegaskan kembali dengan mengatakan, “Barangsiapa mendengarkan kamu, ia mendengarkan Aku.” (Lk 10:16)
Karunia mengajar yang ‘infallible‘ (tidak mungkin sesat) itu diberikan kepada Magisterium pada saat mereka mengajarkan secara definitif doktrin-doktrin Gereja dalam hal iman dan moral. Karunia ini adalah pemenuhan janji Kristus untuk mengirimkan Roh KudusNya untuk memimpin para rasul dan para penerus mereka kepada seluruh kebenaran (Yoh 16:12-13).
b. Kondisi yang harus dipenuhi sehingga keputusan Magisterium Gereja harus dijalankan
Seperti yang telah disebutkan di atas, yang termasuk dalam Magisterium Gereja adalah Paus dan uskup-uskup yang berada dalam persatuan dengan Paus. Uskup-uskup dapat memberikan pengajaran dalam persatuan dengan Paus, terutama dalam konsili-konsili, seperti Konsili Nicea, Konsili Vatikan II, dll. Masing-masing uskup juga menjadi pengajar bagi keuskupannya masing-masing, yang tidak boleh bertentangan dengan pengajaran dari Gereja semesta (universal Church).
Paus juga dapat memberikan pengajaran yang tidak mungkin salah, ketika dia berbicara ex-cathedra, (di atas kursi Petrus) yang mempunyai tiga syarat, yaitu: 1) berbicara untuk seluruh umat beriman di dunia dan bukan hanya untuk keuskupan tertentu, 2) dalam kapasitasnya sebagai Paus selaku penerus Rasul Petrus dan bukan dalam kapasitas pribadinya, 3) pengajarannya dinyatakan secara definitif tentang iman dan moral. Ketika Paus mengeluarkan pengajaran yang memenuhi tiga syarat di atas, maka sebagai umat Katolik, kita harus menaati ajaran tersebut. Kita harus pertama- tama mempelajari ajaran tersebut, sehingga kita dapat menerapkannya. Dengan demikian kita dituntun untuk berjalan dalam kebenaran.
2. Seorang Katolik harus menjalankan kebenaran tentang iman dan moral yang dinyatakan oleh Magisterium Gereja.
Umat Katolik sudah seharusnya memberikan persetujuan akal budinya untuk mengetahui, menerima dan menempatkan kebenaran di atas kepentingan pribadi. Sikap seperti inilah yang menjadikan iman seseorang mempunyai sifat adi kodrati (supernatural), karena dia memberikan seluruh keberadaannya agar dapat berjalan sesuai dengan kebenaran, betapapun sulitnya kebenaran tersebut untuk dilaksanakan.
Iman seperti ini adalah iman yang menerima segala kebenaran yang dinyatakan oleh Magisterium Gereja, dan bukan iman yang berdasarkan keinginan diri sendiri. Jenis iman atas dasar diri sendiri atau pemdapat pribadi adalah iman yang bersifat “iman manusia (human faith)”. Ini menjadikan kebenaran sebagai sesuatu yang subyektif, karena apa yang benar bagi diri sendiri dapat menjadi salah bagi orang lain, demikian pula sebaliknya. Jika demikian, bukankah iman menjadi sesuatu yang tidak pasti, dan tidak dapat menjadi pondasi yang kokoh seperti yang disebutkan di dalam Ibr 11:1?
VI. Apakah Magisterium Gereja berhak mengatur tentang seks dan perkawinan?
Jika Magisterium memberikan interpretasi yang jelas tentang apa yang tertulis di dalam Kitab Suci sehubungan dengan iman dan moral, maka sudah seharusnya Magisterium mengatur kehidupan umat beriman termasuk tentang seks dan perkawinan. Mengingat bahwa Magisterium telah diberi kuasa oleh Kristus untuk mengajar tentang iman kristiani yang otentik, yang tidak mungkin salah (lih. Mt 16:16-19), maka sudah seharusnya seluruh umat beriman taat dan melaksanakannya.
Ajaran ini termasuk tentang seks dan perkawinan, yang dipandang sebagai sesuatu yang sakral dan mempunyai dimensi iman dan moral. Seks bukan hanya urusan libido dan kesenangan. Begitu sakralnya perkawinan, sehingga Rasul Paulus menyatakan bahwa hubungan suami istri adalah seperti hubungan antara Kristus dengan Gereja-Nya (lih. Ef 5: 22-33). Di dalam Perjanjian Lama, hubungan ini digambarkan sebagai hubungan antara Allah dan umat pilihan-Nya, seperti yang tertulis di Kitab Kidung Agung.
Persatuan dengan Allah inilah yang menghantarkan manusia kepada kebahagiaan sejati. Karena Allah menginginkan kita semua mencapai kebahagiaan ini, dinyatakanlah caranya kepada manusia melalui Gereja-Nya. Karena itu, Gereja berhak mengatur tentang seks dan perkawinan agar manusia dapat sampai kepada kebahagiaannya sesuai dengan rencana Tuhan.
1. Perkawinan dan hubungan suami istri adalah sesuatu yang agung.
Katekismus Gereja Katolik mengajarkan bahwa Perkawinan merupakan:
a. Tanda kasih Allah
KGK 1659 (KGK 1616 dan KGK 1661), Santo Paulus berkata: “Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat. Rahasia ini besar; tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dengan jemaat” (Ef 5:25.32)….. Sakramen Perkawinan adalah tanda untuk perjanjian antara Kristus dan Gereja. Ia memberi rahmat kepada suami isteri, agar saling mencintai dengan cinta, yang dengannya Kristus mencintai Gereja. ….
KGK 1604, Tuhan yang telah menciptakan manusia karena cinta, juga memanggil dia untuk mencinta, satu panggilan kodrati dan mendasar setiap manusia. Manusia telah diciptakan menurut citra Allah, (Bdk. Kej 1:27) yang sendiri adalah cinta (Bdk. 1 Yoh 4:8.16). Oleh karena Allah telah menciptakannya sebagai pria dan wanita, maka cinta di antara mereka menjadi gambar dari cinta yang tak tergoyangkan dan absolut, yang dengannya Allah mencintai manusia. Cinta ini di mata Pencipta adalah baik, malahan sangat baik Bdk. (Kej 1:31). Cinta Perkawinan diberkati oleh Allah dan ditentukan supaya menjadi subur dan terlaksana dalam karya bersama demi tanggung jawab untuk ciptaan: “….. Beranak-cuculah dan bertambah banyaklah; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi” (Kej 1:28).
KGK 1602, Kitab Suci mulai dengan penciptaan pria dan wanita menurut citra Allah (Bdk. Kej 1:26-27) dan berakhir dengan penglihatan “perjamuan kawin Anak Domba” (Why 19:7.9). Dari halaman pertama sampai halaman terakhir Kitab Suci berbicara tentang Perkawinan dan “misterinya”, tentang penetapan dan artinya, yang Allah berikan kepadanya, tentang asal dan tujuannya, tentang pelaksanaannya yang berbeda-beda dalam seluruh proses sejarah keselamatan ….
KGK 1612, Perjanjian perkawinan antara Allah dan umat-Nya Israel telah mempersiapkan perjanjian yang baru dan abadi. Dalam Perjanjian ini Putera Allah dalam penjelmaan-Nya menjadi manusia dan dalam penyerahan hidup-Nya boleh dikatakan mempersatukan diri dengan seluruh umat manusia yang diselamatkan-Nya (Bdk. GS 22) dan dengan demikian mempersiapkan “Perkawinan Anak Domba” (Why 19:7.9).
b. Hakekat cinta dalam perkawinan: penyerahan diri secara keseluruhan, monogami, kesetiaan dan tak terceraikan.
KGK 1643, “Cinta kasih suami isteri mencakup suatu keseluruhan. Di situ termasuk semua unsur pribadi: tubuh beserta naluri-nalurinya, daya kekuatan perasaan dan afektivitas, aspirasi roh maupun kehendak. Yang menjadi tujuan yakni: kesatuan yang bersifat pribadi sekali; kesatuan yang melampaui persatuan badani dan mengantar menuju pembentukan satu hati dan satu jiwa; kesatuan itu memerlukan sifat tidak terceraikan dan kesetiaan dalam penyerahan diri secara timbal balik yang definitif, dan kesatuan itu terbuka bagi kesuburan. Pendek kata: itulah ciri-ciri normal setiap cinta kasih kodrati antara suami dan isteri, tetapi dengan makna baru, yang tidak hanya menjernihkan serta meneguhkan, tetapi juga mengangkat cinta itu, sehingga menjadi pengungkapan nilai-nilai yang khas Kristen”. (FC 13).
KGK 1644, Cinta suami isteri dari kodratnya menuntut kesatuan dan sifat yang tidak terceraikan dari persekutan pribadi mereka, yang mencakup seluruh hidup mereka: “mereka bukan lagi dua, melainkan satu” (Mat 19:6, Bdk. Kej 2:24). “Mereka dipanggil untuk tetap bertumbuh dalam kesatuan mereka melalui kesetiaan dari hari ke hari terhadap janji Perkawinannya untuk saling menyerahkan diri seutuhnya” (FC 19). Persatuan manusia ini diteguhkan, dijernihkan, dan disempurnakan oleh persatuan dalam Yesus Kristus yang diberikan dalam Sakramen Perkawinan. Ia memperdalam diri dengan hidup iman bersama dan oleh Ekaristi yang diterima bersama.
KGK 1646, Dari kodratnya cinta Perkawinan menuntut kesetiaan yang tidak boleh diganggu gugat oleh suami isteri. Itu merupakan akibat dari penyerahan diri yang di dalamnya suami isteri saling memberi diri. Cinta itu sifatnya definitif. Ia tidak bisa berlaku hanya “untuk sementara”. …. begitu pula kesejahteraan anak-anak, menuntut kesetiaan suami isteri yang sepenuhnya… (GS 48, 1).
KGK 1647, Alasan terdalam ditemukan dalam kesetiaan Allah dalam perjanjian-Nya dan dalam kesetiaan Kristus kepada Gereja-Nya. Oleh Sakramen Perkawinan suami isteri disanggupkan untuk menghidupi kesetiaan ini dan untuk memberi kesaksian tentangnya. ….
KGK 1648, Mengikat diri untuk seumur hidup kepada seorang manusia, dapat kelihatan berat, malahan tidak mungkin. Maka lebih penting lagi untuk mewartakan kabar gembira, bahwa Allah mencintai kita dengan cinta yang definitif dan tak terbatalkan, bahwa suami isteri mengambil bagian dalam cinta ini, bahwa cinta ini menopang dan membantu mereka dan bahwa mereka dapat menjadi saksi-saksi cinta Allah yang setia melalui kesetiaan mereka…. . (Bdk. FC 20).
KGK 1605, 1614, …..”Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging” (Kej 2:24). Bahwa ini berarti ‘kesatuan hidup mereka berdua yang tidak dapat diceraikan, ditegaskan oleh Yesus sendiri, karena Ia mengingatkan bahwa “sejak awal” adalah rencana Allah bahwa “mereka bukan lagi dua, melainkan satu” (Mat 19:6)… Allah sendiri telah mempersatukan mereka; “Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Mat 19:6).
c. Tujuan perkawinan: untuk kesejahteraan suami istri, kelahiran dan pendidikan anak, dan keselamatan pribadi dan masyarakat.
KGK 1601, (dan KGK 1660, KGK 1664), Perjanjian Perkawinan, dengan mana pria dan wanita membentuk antar mereka kebersamaan seluruh hidup, dari sifat kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-isteri serta pada kelahiran dan pendidikan anak….. Sifat kesatuan, tak terceraikan, dan kesediaan untuk kesuburan adalah sangat hakiki bagi Perkawinan.
KGK 1603, Persekutuan hidup dan kasih suami isteri yang mesra… diadakan oleh Sang Pencipta dan dikukuhkan dengan hukum-hukum-Nya. … Allah sendirilah Pencipta Perkawinan Perkawinan bukanlah satu institusi manusiawi semata-mata…..Walaupun martabat institusi ini tidak tampil sama di mana-mana, namun di semua kebudayaan ada satu pengertian tertentu tentang keagungan persatuan Perkawinan, karena “keselamatan pribadi maupun masyarakat manusiawi dan kristiani erat berhubungan dengan kesejahteraan rukun Perkawinan dan keluarga” (GS 47,1).
KGK 1652, “Menurut sifat kodratinya lembaga Perkawinan sendiri dan cinta kasih suami isteri tertujukan kepada lahirnya keturunan serta pendidikannya, dan sebagai puncaknya bagaikan dimahkotai olehnya” (GS 48, 1).
“Memang anak-anak merupakan karunia Perkawinan yang paling luhur, dan besar sekali artinya bagi kesejahteraan orang-tua sendiri. Allah sendiri bersabda: ‘Tidak baiklah manusia hidup seorang diri’ (Kej 2:18); lagi: ‘Dia… yang sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan’ (Mat 19:4), Ia bermaksud mengizinkan manusia, untuk secara khusus ikut serta dalam karya penciptaan-Nya sendiri, dan memberkati pria maupun wanita sambil berfirman: ‘Beranak-cucu dan bertambah banyaklah’ (Kej 1:28). Oleh karena itu pengembangan kasih suami isteri yang sejati, begitu pula seluruh tata hidup berkeluarga yang bertumpu padanya, tanpa memandang kalah penting tujuan-tujuan Perkawinan lainnya, bertujuan supaya suami isteri bersedia untuk penuh keberanian bekerja sama dengan cinta kasih Sang Pencipta dan Penyelamat, yang melalui mereka makin memperluas dan memperkaya keluarga-Nya” (GS 50,1).KGK 1653, Kesuburan cinta kasih suami isteri terlihat juga di dalam buah-buah kehidupan moral, rohani, dan adikodrati, yang orang-tua lanjutkan kepada anak-anaknya melalui pendidikan. Orang-tua adalah pendidik yang pertama dan terpenting. Bdk. GE 3. Dalam arti ini, maka tugas mendasar dari perkawinan dan keluarga terletak dalam pengabdian kehidupan. Bdk. FC 28.
KGK 1655, Kristus memilih supaya dilahirkan dan berkembang dalam pangkuan keluarga Yosef dan Maria. Gereja itu tidak lain dari “keluarga Allah”. Sejak awal, pokok Gereja sering kali dibentuk dari mereka yang menjadi percaya “dengan seluruh keluarganya” (Bdk. Kis 18:8)…..
KGK 1656, 1666, ….Karena itu Konsili Vatikan II menamakan keluarga menurut sebuah ungkapan tua “Ecclesia domestica” [Gereja-rumah tangga] (LG 11) (Bdk. FC 21). Dalam pangkuan keluarga “hendaknya orang-tua dengan perkataan maupun teladan menjadi pewarta iman pertama bagi anak-anak mereka; orang-tua wajib memelihara panggilan mereka masing-masing, secara istimewa panggilan rohani” (LG 11,2).
d. Keadaan perkawinan akibat dosa asal dan rahmat pemulihannya dari Tuhan
KGK 1607, Setelah merusakkan hubungan dengan Allah, sebagai akibat pertama, dosa asal merusakkan persekutuan asli antara pria dan wanita. Hubungan mereka diganggu oleh dakwaan timbal balik (Bdk. Kej 3:12) rasa saling ketertarikan (Bdk. Kej 2:22) yang diberi oleh Sang Pencipta berubah menjadi nafsu berkuasa dan nafsu seks; (Bdk. Kej 3:16b) panggilan yang indah bagi pria dan wanita supaya menjadi subur, beranak cucu, dan menaklukkan muka bumi (Bdk. Kej 1:28), dibebani oleh sakit melahirkan dan oleh keringat untuk mencari nafkah (Bdk. Kej. 3:16-19).
KGK 1608, Tetapi tata ciptaan tetap bertahan, walaupun sudah sangat terguncang. Untuk menyembuhkan luka-luka yang diakibatkan dosa, pria dan wanita membutuhkan pertolongan rahmat, yang Allah selalu berikan dalam kerahiman-Nya yang tidak terbatas. (Bdk. Kej 3:21). Tanpa bantuan ini pria dan wanita tidak pernah berhasil menciptakan kesatuan hidup yang Allah telah maksudkan “sejak awal”.
KGK 1612, Perjanjian perkawinan antara Allah dan umat-Nya Israel telah mempersiapkan perjanjian yang baru dan abadi. Dalam Perjanjian ini Putera Allah dalam penjelmaan-Nya menjadi manusia dan dalam penyerahan hidup-Nya boleh dikatakan mempersatukan diri dengan seluruh umat manusia yang diselamatkan-Nya (Bdk. GS 22) dan dengan demikian mempersiapkan “Perkawinan Anak Domba” (Why 19:7.9).
KGK 1615, Penegasan-Nya bahwa tali Perkawinan tidak dapat diputuskan, menimbulkan kebingungan dan dianggap satu tuntutan yang tidak dapat dipenuhi. Tetapi Yesus tidak meletakkan kepada suami isteri beban yang tidak terpikulkan (Bdk. Mat 11:29-30), yang lebih berat lagi daripada peraturan Musa. Dengan memperbaiki tata ciptaan awal yang telah diguncangkan oleh dosa, Ia sendiri memberi kekuatan dan rahmat, untuk dapat menghidupkan Perkawinan dalam sikap baru Kerajaan Allah. Kalau suami isteri mengikuti Kristus, menyangkali diri sendiri dan memikul salibnya (Bdk. 8:34) mereka akan “mengerti” arti asli dari Perkawinan (Bdk. Mat 19:11) dan akan dapat hidup menurutnya dengan pertolongan Kristus. Rahmat Perkawinan Kristen ini adalah buah dari salib Kristus, sumber setiap penghayatan Kristen.
KGK 1617, Seluruh kehidupan Kristen diwarnai cinta mempelai antara Kristus dan Gereja. Pembaptisan, langkah masuk ke dalam Umat Allah, sudah merupakan satu misteri mempelai; ia boleh dikatakan “permandian perkawinan”, (Bdk. Ef 5:26-27) yang mendahului perjamuan perkawinan, Ekaristi. Perkawinan Kristen menjadi tanda yang berdaya guna, Sakramen perjanjian antara Kristus dan Gereja. Karena ia menandakan dan membagikan rahmat-Nya, maka Perkawinan antara mereka yang dibaptis adalah Sakramen Perjanjian Baru yang sebenarnya. (Bdk. DS 1800; CIC, can. 1055 ? 2).
2. Gereja meneruskan pengajaran moral dan hukum kodrat kepada seluruh umat beriman.
Selanjutnya, agar perkawinan dan hubungan suami istri dapat berlangsung seperti yang direncanakan oleh Allah, Magisterium Gereja memberikan pengajaran tentang perkawinan, yang secara khusus tertulis dalam dua dokumen ini:
a. Casti Connubii, surat ensiklik Paus Pius XI (1930)
“Any use whatever of matrimony, exercised in such a way that the act is deliberately frustrated in its natural power to generate life, is an offense against the law of God and of nature, and those who indulge in such acts are branded with the guilt of grave sin.” (Casti Connubii, 56) atau “Penggunaan apapun dari perkawinan, yang dilakukan sebagai suatu tindakan yang disengaja menelantarkan kodrat dari kekuatan untuk memberikan kehidupan, adalah bertentangan dengan hukum Tuhan dan hukum kodrat, dan kepada yang melakukan perbuatan tersebut dicap dengan kesalahan dosa berat.”
b. Humanae Vitae, surat ensiklik Paus Paulus VI (1968)
Unlawful Birth Control Methods
14. Therefore We base Our words on the first principles of a human and Christian doctrine of marriage when We are obliged once more to declare that the direct interruption of the generative process already begun and, above all, all direct abortion, even for therapeutic reasons, are to be absolutely excluded as lawful means of regulating the number of children. (14) Equally to be condemned, as the magisterium of the Church has affirmed on many occasions, is direct sterilization, whether of the man or of the woman, whether permanent or temporary. (15)
Similarly excluded is any action which either before, at the moment of, or after sexual intercourse, is specifically intended to prevent procreation—whether as an end or as a means. (16)
Neither is it valid to argue, as a justification for sexual intercourse which is deliberately contraceptive, that a lesser evil is to be preferred to a greater one, or that such intercourse would merge with procreative acts of past and future to form a single entity, and so be qualified by exactly the same moral goodness as these. Though it is true that sometimes it is lawful to tolerate a lesser moral evil in order to avoid a greater evil or in order to promote a greater good,” it is never lawful, even for the gravest reasons, to do evil that good may come of it (18)—in other words, to intend directly something which of its very nature contradicts the moral order, and which must therefore be judged unworthy of man, even though the intention is to protect or promote the welfare of an individual, of a family or of society in general. Consequently, it is a serious error to think that a whole married life of otherwise normal relations can justify sexual intercourse which is deliberately contraceptive and so intrinsically wrong.
Terjemahan teks ini :
Penggunaan metoda pengontrolan kelahiran yang tidak dapat dibenarkan
14. Oleh karena itu, Kami mendasarkan perkataan Kami atas prinsip- prinsip pertama dari kemanusiaan dan ajaran Kristiani tentang perkawinan ketika Kami diharuskan sekali lagi untuk menyatakan bahwa pemutusan secara langsung dari proses pembuahan/ generatif yang sudah dimulai, dan di atas semua itu semua tindakan aborsi, bahkan untuk alasan- alasan terapi, sama sekali tidak termasuk sebagai cara- cara yang dapat dibenarkan untuk pengaturan jumlah anak- anak. Demikian juga untuk ditolak, seperti telah ditegaskan berkali- kali oleh Magisterium Gereja, adalah sterilisasi langsung, baik di pihak laki- laki maupun perempuan, baik bersifat permanen/ tetap selamanya atau sementara.
Juga tidak termasuk adalah segala perbuatan, baik sebelum, pada saat, ataupun sesudah hubungan seksual, yang secara khusus dimaksudkan untuk mencegah prokreasi, apakah sebagai tujuan ataukah sebagai cara.
Juga tidak perlu dipertanyakan, sebagai pembenaran bagi hubungan seksual yang secara sengaja bersifat kontraseptif, bahwa kejahatan yang lebih kecil adalah untuk dipilih jika dibandingkan dengan kejahatan yang lebih besar, atau bahwa suatu hubungan seksual adalah untuk digabungkan dengan tindakan pro-kreasi dari kejadian lampau ataupun yang akan datang sebagai satu kesatuan, dan untuk dinilai memenuhi syarat dengan kebaikan moral seperti ini. Walaupun itu benar, bahwa seringkali dibenarkan untuk mentolerir kejahatan moral yang lebih kecil untuk menghindari kejahatan yang lebih besar ataupun untuk mendorong kebaikan yang lebih besar, adalah tidak pernah dibenarkan, bahkan untuk alasan- alasan yang besar, untuk melakukan kejahatan agar kebaikan dapat dihasilkan darinya- dengan perkataan lain, untuk melakukan sesuatu secara langsung dengan sengaja, yang dengan sendirinya secara kodrati bertentangan dengan hukum moral, dan karena itu harus dinilai sebagai sesuatu yang tidak layak bagi manusia, meskipun maksudnya adalah untuk melindungi ataupun memajukan kesejahteraan individu, keluarga ataupun masyarakat secara umum. Akibatnya, adalah sebuah kesalahan serius untuk menganggap bahwa sebuah kehidupan berkeluarga yang tidak menjalani hubungan- hubungan normal dapat membenarkan hubungan seksual yang secara sengaja bersifat kontraseptif dan karena itu salah secara mendasar.
VII. Beberapa pengajaran dari para Bapa Gereja tentang hal ini:
Dokumen pengajaran tentang perkawinan tersebut bukan timbul dituliskan sebagai hal baru, atau “buatan manusia” seperti sangkaan banyak orang. Ajaran Katekismus di atas telah menunjukkan dasar- dasar Kitab Suci tentang perkawinan, yang hakekatnya adalah kasih yang memberikan diri secara total, setia/ ekslusif, tak terceraikan. Tujuannya adalah untuk kesejahteraan suami istri, dan kelahiran dan pendidikan anak demi keselamatan pribadi dan masyarakat. Tradisi Suci juga mengajarkan hal yang sama. Dengan demikian, perbuatan- perbuatan yang menentang pengajaran di atas (seperti penggunaan alat kontrasepsi) tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Penggunaan alat- alat kontrasepsi tidak melambangkan kedua tujuan perkawinan (pro- union dan pro-creation), oleh karena itu merupakan suatu perbuatan yang melawan hukum Allah dan hukum moral.
Berikut ini adalah beberapa pengajaran dari para Bapa Gereja yang telah sejak awal menyatakan bahwa tindakan kontrasepsi adalah penyimpangan:
1. Surat Barnabas [70-90]
“Lebih lanjut, Musa telah dengan benar membenci tikus (menurut konteks teks dalam Im. 11:29). Karena dia bermaksud, “Engkau tidak boleh menyerupai mereka yang kita dengar melakukan kejahatan dengan mulut mereka, dengan tubuh mereka melalui ketidakmurnian (hubungan seksual secara oral); juga engkau tidak diperkenankan bergabung (bersatu/ berhubungan seksual) dengan para wanita yang tidak kudus yang telah melakukan perbuatan tak bermoral dengan mulut, dengan tubuh, melalui ketidakmurnian.” (Surat Barnabas 10:8 [74 M] )
2. St. Klemens dari Aleksandria [150-215]
“Hubungan sanggama yang dilakukan dengan tujuan di luar tujuan untuk melahirkan anak-anak adalah perbuatan yang melukai alam.” (Who is the Rich Man That Shall Be Saved?, ibid., 2:10:95:3).
3. St. Klemens dari Aleksandria [150-215]
“Oleh karena berketurunan adalah institusi ilahi, maka benih kehidupan (sperma) tidak untuk diejakulasikan dengan sia-sia, tidak untuk dirusak, dan tidak untuk dibuang.” (Exhortation to the Heathen Ch. 10, The Instructor of Children 2:10:91:2 [A.D. 191]).
4. Caius [180-240]
“Siapakah dia yang tidak dapat memperingatkan bahwa tak seorang wanita pun diperbolehkan mengkonsumsi suatu cairan atau ramuan tertentu supaya ia tidak dapat mengandung atau mengutuk dalam dirinya sendiri suatu kodrat alam di mana Tuhan menghendaki supaya ia menjadi subur dan produktif? Dari banyaknya jumlah kemungkinan ia mengandung dan melahirkan, maka sebanyak itulah juga ia akan dinyatakan bersalah, dan kecuali dia menjalani suatu pertobatan yang sungguh-sungguh, dia akan dikutuk dengan kematian kekal di neraka. Jika seorang wanita tidak ingin mempunyai anak, biarlah ia mengikat suatu kesepakatan religius dengan suaminya, karena tidak berhubungan seksual adalah satu-satunya cara untuk menjadi steril bagi seorang wanita Kristen.” (Sermons 1:12 [A.D. 522]).
5. Lactantius [290-350]
“Tuhan telah mengaruniai kita mata bukan untuk melihat dan menginginkan kenikmatan, tetapi untuk melihat perbuatan-perbuatan yang dilakukan demi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup, demikian juga alat kelamin (atau dalam bahasa Inggrisnya adalah ‘genital’ yang akar katanya adalah ‘generating’ yaitu ‘menciptakan’] sebagai bagian tubuh, seperti diajarkan kepada kita dari namanya, telah kita terima bukan untuk tujuan yang lain selain untuk menciptakan /melahirkan keturunan.” (Divine Institutes, Book, VI: 23:18).
6. Lactantius [290-350]
“Beberapa orang mengeluh terhadap ketidakmampuan ekonomi / pemenuhan kebutuhan hidup, dan menganggap bahwa mereka tidak cukup mampu secara ekonomi untuk membesarkan lebih banyak anak, walaupun sebenarnya, kecukupan kebutuhan hidup sesungguhnya ada dalam kemampuan mereka….atau Tuhan tidak setiap hari membuat yang kaya menjadi miskin dan yang miskin menjadi kaya. Maka dari itu, jika seseorang atas dasar alasan-alasan kemiskinan menjadi tidak mampu untuk membesarkan anak, adalah lebih baik baginya untuk pantang melakukan hubungan seksual dengan istrinya.” (Divine Institutes VI 6:20 [A.D. 307]).
7. St. Yohanes Krisostomus [347-407]
“Dalam kebenaran, semua orang tahu bahwa mereka yang berada di bawah cengkeraman penyakit ini [yaitu dosa menginginkan milik orang lain dengan iri hati] mengalami kelelahan spiritual, bahkan terhadap usia lanjut ayah mereka [mengharap ayah mereka meninggal supaya mereka memperoleh warisan], dan hal-hal yang manis dan secara umum merupakan dambaan, yaitu mempunyai anak, mereka nilai sebagai sesuatu yang menyedihkan dan bukan sesuatu yang layak disambut dengan gembira. Banyak orang yang setidaknya memiliki pandangan semacam itu dalam hatinya, bahkan telah mengeluarkan uang untuk bisa menjadi tidak punya anak, dan telah memutilasi alam, tidak hanya membunuh bayi-bayi yang akan / baru lahir, tetapi bahkan berbuat hal-hal yang menghambat / mencegah terjadinya awal dari kehidupan bayi-bayi tersebut.” (Homilies on Matthew 28:5 [A.D. 391]).
8. St. Yohanes Krisostomus [347-407]
“Orang yang telah memutilasi dirinya sendiri, pada kenyataannya, menanggung resiko kutukan, seperti Rasul Paulus mengatakan, “Baiklah mereka yang menghasut kamu itu mengebirikan saja dirinya!” (Gal 5:12). Dan adalah sangat beralasan, sebab orang seperti itu sebenarnya sedang mencoba untuk melakukan perbuatan seorang pembunuh, dan memberi kesempatan kepada mereka yang menjelek-jelekkan ciptaan Tuhan, dan membuka mulut para Manicheans, dan bersalah atas perbuatan yang melawan hukum seperti mereka yang memutilasi dirinya sendiri di antara orang-orang Yunani. Karena memotong anggota-anggota tubuh kita sendiri adalah sejak semula suatu pekerjaan agen-agen kegelapan dan sarana dari si Setan, sehingga mereka dapat membawa ke permukaan suatu laporan yang buruk terhadap pekerjaan-pekerjaan Tuhan, sehingga mereka dapat menodai mahluk hidup, membebankan kesalahan bukan kepada pilihan, tetapi kepada sifat-sifat alamiah anggota tubuh kita, bagian yang lebih besar dari mereka dapat berdosa dalam rasa aman sebagai tidak bertanggung jawab, sehingga dua kali lipat menodai mahluk hidup ini, baik melalui pemotongan/ mutilasi anggota-anggota tubuh maupun melalui penghambatan/ perintangan dorongan pilihan bebas atas nama perbuatan-perbuatan baik” (Homilies on Matthew 62:3).
9. St. Yohanes Krisostomus [347-407]
“Mengapa kamu menabur di mana ladangnya ingin memusnahkan buahnya, di mana terdapat obat-obat untuk sterilisasi [kontrasepsi oral], di mana terdapat pembunuhan sebelum kelahiran? Engkau bahkan tidak ingin membiarkan seorang pelacur tetap menjadi pelacur, tetapi engkau menjadikannya seorang wanita pembunuh pula. Sesungguhnya, itu adalah lebih buruk daripada pembunuhan, dan aku tidak tahu bagaimana harus menyebutnya, karena ia tidak membunuh yang telah terbentuk, melainkan mencegah pembentukannya. Lalu apakah itu namanya? Apakah engkau mengutuk karunia Tuhan dan melawan hukum-hukum alam-Nya? Tetapi kejahatan itu….persoalan itu masih nampak diacuhkan/ diabaikan oleh banyak pria lajang bahkan juga oleh pria-pria beristri. Di dalam pengabaian oleh para pria yang menikah ini, masih ada kejahatan yang lebih besar, karena kemudian racun dipersiapkan, bukan untuk melawan rahim dari seorang pelacur, tetapi melawan istrimu yang terluka. Berhadapan dengan dia adalah tipuan-tipuan yang tak terhitung banyaknya ini” (Homilies on Romans 24 [A.D. 391]).
10. St. Yohanes Krisostomus [347-407]
“Amatilah betapa pahitnya Paulus berbicara menentang penipu-penipu mereka….” Baiklah mereka yang menghasut kamu itu mengebirikan saja dirinya’ [Gal. 5 : 12]…Terhadap perbuatan ini dia mengutuk mereka, dan maksudnya adalah sebagai berikut: ‘Untuk mereka aku tidak punya keprihatinan khusus, “Seorang bidat yang sudah satu dua kali kaunasihati, hendaklah engkau jauhi” [Titus 3:10]. Jika mereka mau, biarlah mereka tidak hanya disunat tetapi dimutilasi. ‘Lalu di mana mereka yang berani memutilasi dirinya sendiri, melihat bahwa mereka mewarisi kutukan para rasul, dan menuduh karya tangan Tuhan, dan mengambil bagian bersama para Manichees?” (Commentary on Galatians 5:12 [A.D. 395]).
11. St. Hieronimus [347-420]
“Tetapi aku heran mengapa dia [bidat Jovinianus] menyajikan kepada kita Yehuda dan Tamar sebagai contoh, kecuali kemungkinan bahkan pelacur memberikan dia kesenangan; atau Onan, yang dibunuh karena dia membenci benih kakaknya. Apakah dia membayangkan bahwa kita menyetujui berbagai hubungan seksual kecuali sebagai prokreasi keturunan?” (Against Jovinian 1:19 [A.D. 393]).
12. St. Hieronimus [347-420]
“Kamu mungkin melihat sejumlah wanita yang sudah menjadi janda sebelum mereka menjadi istri. Wanita-wanita lainnya meminum minuman pembuat steril dan membunuh manusia yang belum sempat dilahirkan, [dan beberapa lagi melakukan aborsi]” (Against the Pelagians Bk I, Letters 22:13 [A.D. 396]).
13. St. Agustinus [354-430]
“Sebab aspek hubungan seksual yang diperlukan untuk memperoleh keturunan saja sudah menjadikan sebuah perkawinan berharga. Namun jika hubungan itu berlanjut ke hal-hal yang melampaui keperluan untuk memperoleh keturunan, maka hal itu tidak lagi mengikuti alasan yang benar tetapi mengikuti hawa nafsu. Dan hal itu berkaitan dengan karakter sebuah perkawinan…..untuk melakukan hal-hal itu kepada pasangannya supaya ia tidak melakukan dosa yang terkutuk [perselingkuhan di luar perkawinan]….Mereka tidak boleh memalingkan diri dari belas kasihan Allah…..dengan mengubah cara-cara alamiah kepada cara-cara yang melawan alam, yang menjadi lebih terkutuk ketika itu dilakukan dalam relasi antara suami dan istri. Karena, jika cara-cara alamiah ketika itu dilakukan melampaui batas tujuan perkawinan, yaitu bila, melampaui alasan keperluan untuk menghasilkan keturunan, adalah masih bisa diampuni bila dilakukan pada seorang istri, dan menjadi dosa yang dikutuk bila dilakukan kepada seorang pelacur; bahwa hal yang melawan alam itu adalah sangat buruk bila dilakukan kepada pelacur, tetapi menjadi lebih buruk lagi bila dilakukan kepada istri. Begitu besarnya kuasa ketentuan hukum Sang Pencipta, dan hukum alam mahluk ciptaan…sehingga, ketika seorang pria ingin menggunakan bagian tubuh dari istrinya, hal itu tidak diperkenankan untuk tujuan ini [hubungan seksual secara oral atau anal], sang istri akan merasa lebih dipermalukan, jika ia menderita karena mengalami hal itu pada dirinya sendiri, daripada jika itu terjadi pada wanita lain.” (On the Good of Marriage 11–12 [A.D. 401]).
14. St. Agustinus [354-430]
“Hal ini membuktikan kepadamu bahwa kalian [para Manicheans] setuju untuk mempunyai istri, bukan sebagai sarana prokreasi untuk melahirkan keturunan, tetapi sebagai sarana pemuasan nafsu. Dalam perkawinan, seperti yang dinyatakan dalam hukum perkawinan, pria dan wanita bersatu untuk menghasilkan keturunan. Oleh karena itu, barangsiapa membuat kegiatan prokreasi menjadi suatu dosa yang lebih besar daripada persetubuhan, menolak perkawinan dan membuat wanita pasangannya bukan menjadi seorang istri tetapi seorang wanita simpanan, yang untuk sejumlah imbalan yang diberikan kepadanya disatukan dengan pria pasangannya itu untuk memuaskan nafsunya.” (On The Morals of the Manichees 18:65 [388]).
15. St. Agustinus [354-430]
“Karena hukum abadi, yaitu kehendak Allah Pencipta segala mahluk, yang menganjurkan konservasi tatanan alam, tidak untuk melayani hawa nafsu, melainkan untuk memperhatikan kelangsungan ras manusia, mengijinkan kesenangan tubuh fana untuk dilepaskan dari kontrol nalar di dalam hubungan seksual, hanya demi tujuan prokreasi untuk melahirkan keturunan.” (The City of God Book XXII :30).
16. St. Agustinus [354-430]
“Kalian para Manicheans membuat para pengawasmu menjadi pelaku-pelaku perselingkuhan dari istri-istri mereka sendiri, ketika mereka berlaku sedemikian agar jangan sampai para wanita dengan siapa mereka melakukan hubungan seksual, menjadi mengandung. Mereka mengambil istri menurut hukum perkawinan dengan surat peringatan yang mengumumkan bahwa perkawinan diikat dalam sebuah kontrak untuk menghasilkan keturunan, dan kemudian, takut akan hukummu [yang menentang hal mengasuh dan membesarkan anak]….mereka berhubungan seksual dalam sebuah hubungan yang terlarang dan memalukan hanya untuk memenuhi nafsu terhadap para istri mereka. Mereka tidak ingin mempunyai anak, di mana sebuah perkawinan mendasarkan tujuannya. Bagaimana selanjutnya, bahwa kamu adalah bukan mereka yang menentang perkawinan, seperti yang sudah diramalkan para rasul tentang kamu sejak dahulu [1 Tim. 4:1-4], ketika kamu mencoba menghilangkan dari perkawinan, arti perkawinan itu sendiri? Ketika hal mendasar itu dihilangkan dari sebuah perkawinan, maka suami-suami menjadi para pencinta yang memalukan, dan istri-istri menjadi pelacur, kamar pengantin menjadi rumah pelacuran, dan para ayah mertua menjadi gigolo.” (Against Faustus 15:7 [A.D. 400]).
VIII. Penutup
Jika kita menyadari bahwa Allah telah mempercayakan wewenang mengajar kepada Gereja-Nya, maka selayaknya kita tunduk dan taat kepada pengajaran Magisterium. Karena ketaatan kepada Magisterium adalah bentuk ketaatan iman kita kepada Kristus. Kita tidak dapat memutuskan segala perkara iman dan moral semata- mata menurut hati nurani, jika hati nurani kita tidak kita sesuaikan dengan kebenaran Kristus. Kita mempunyai tanggungjawab untuk membentuk hati nurani dalam Terang ajaran Kristus dan Gereja, sebab jika tidak demikian, hati nurani kita menjadi kabur, karena terpengaruh oleh arus dunia.
Jika kita dengan jujur membaca pengajaran Kitab Suci dan Tradisi Suci tentang perkawinan seperti yang direncanakan Allah sejak semula untuk umat manusia, kita akan dapat menerima dan menaati ajaran Magisterium Gereja Katolik. Sebab ajaran tentang perkawinan ini berakar dari pengajaran Kristus dan para rasul dalam Kitab Suci, tetapi juga dari pengajaran para Bapa Gereja yang meneruskan Tradisi Suci para rasul.
Catatan: Bahan ini diberikan untuk session 2 (tanggal 19 Oktober 2010) dari 9 session, seminar tentang “kabar baik tentang seks dan perkawinan” yang diselenggarakan oleh Seksi Keluarga Paroki Stella Maris.
Shalom Romo Agung dan Bu Inggrid,
Setelah saya menopause, saya sudah tidak mau lagi berhubungan intim dengan suami. Sedangkan suami saya masih menginginkannya, sehingga sering terjadi keributan dan suasana dalam keluarga tidak lagi harmonis. Adakah peraturan gereja mengenai masalah ini? Mohon advis…
Tuhan memberkati,
Nova
Shalom Nova,
Idealnya, hubungan suami istri itu merupakan ungkapan pemberian timbal balik yang tulus antara suami dan istri. Maka seharusnya hal itu tidak menjadi suatu paksaan, atau keinginan satu pihak saja. Jika terjadi demikian, mungkin baik untuk dicari apakah akar permasalahannya? Diperlukan keterbukaan dari kedua pihak untuk membicarakannya, dan untuk mencari solusinya bersama-sama.
Anda bertanya apakah ketentuan Gereja tentang hal ini? Mari mengacu kepada apa yang tertulis dalam surat Rasul Paulus:
“Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu. Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman, supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela. Demikian juga suami harus mengasihi isterinya sama seperti tubuhnya sendiri: Siapa yang mengasihi isterinya mengasihi dirinya sendiri….” (Ef 5:22-28)
“Hendaklah suami memenuhi kewajibannya terhadap isterinya, demikian pula isteri terhadap suaminya. Isteri tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi suaminya, demikian pula suami tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi isterinya. Janganlah kamu saling menjauhi, kecuali dengan persetujuan bersama untuk sementara waktu, supaya kamu mendapat kesempatan untuk berdoa. Sesudah itu hendaklah kamu kembali hidup bersama-sama, supaya Iblis jangan menggodai kamu, karena kamu tidak tahan bertarak.” (1 Kor 7:3-5)
Dengan berpegang kepada sabda Tuhan ini, silakan Anda membicarakannya dengan suami Anda, untuk mencari penyelesaian atas konflik/ keributan yang terjadi di antara Anda berdua. Sebab Allah tidak menghendaki suami dan istri untuk saling menjauhi, kecuali atas persetujuan bersama untuk sementara waktu- dan ini umumnya dikaitkan dengan periode pantang berhubungan dalam metoda KB alamiah karena keputusan bersama untuk menghindari kehamilan, untuk alasan yang sah dan dapat diterima akal sehat sehubungan dengan keadaan yang khas dari pasangan. Tentang pengamatan siklus kesuburan wanita, sudah pernah dibahas di sini, silakan klik. Ada kalanya, masa-masa menjelang menopause atau di masa-masa awal menopause, siklus kesuburan wanita menjadi tidak teratur, sehingga relatif lebih sulit diamati/ ditemukan ritmenya. Ada kemungkinan pihak wanita khawatir jika ia kembali mengandung di saat usia sudah tidak muda lagi. Entah apa masalahnya, silakan dibicarakan secara terbuka dengan suami. Jika perlu konsultasikanlah dengan dokter kebidanan Anda.
Semoga dengan komunikasi yang baik antara suami istri dan niat yang tulus untuk saling membahagiakan, dapat diperoleh jalan keluar bagi permasalahan Anda berdua. Di atas semua itu bawalah pergumulan ini dalam doa-doa Anda bersama, sebagai suami istri. Mohonlah kepada Tuhan Yesus yang telah mempersatukan Anda berdua, untuk terus menyegarkan kasih di antara Anda. Hubungan kasih suami istri tidak hanya terbatas oleh hubungan seksual, maka mungkin perlu dipikirkan dan diusahakan bersama dengan suami, bermacam cara untuk mengungkapkan kasih.
Teriring doa dari kami di Katolisitas.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Shalom Bu Ingrid,
Terima kasih atas tanggapan yg sangat baik dan doa dari ibu. Semoga permasalahan ini cepat berlalu, dan tercipta kembali kedamaian dalam keluarga kami.
Tuhan memberkati Ibu dan keluarga,
Nova
[dari Katolisitas: Sama-sama, Nova. Semoga Tuhan memberkatimu dan keluarga juga.]
shalom, Bu Ingrid/Pak stef,
Saya mahu bertanya, apa ada himpunan-himpunan doa seperti “doa untuk mendapatkan kurnia anak” dalam katolik? kalau ada, boleh bu/ pak titipkan dalam ruangan ini, agar kami dapat juga mempelajari doa itu.
Salam damai,
Shalom Fonny,
Santa yang dikenal doa syafaatnya untuk pasangan yang mendambakan keturunan adalah St. Anna. Silakan membaca doanya di link ini, silakan klik.
Sesungguhnya, doa apapun dapat didaraskan untuk memohonkan keturunan, silakan mendoakan doa-doa spontan, atau doa novena Hati Kudus Yesus, Novena Tiga Salam Maria, doa rosario, atau doa novena memohon perantaaran doa St. Yudas Tadeus. Yang terpenting adalah dengan hati penuh penyerahan dan dengan penuh iman doakanlah permohonan tersebut dengan hati penuh ucapan syukur (lih. Flp 4:6).
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Shalom tim katolisitas yang diberkati……..
Maaf sebelumnya apabila pertanyaan saya ini masuk melalui halaman yang salah. Sebab saya masih bingung bagaimana harus berkorespondensi atau memulai suatu pertanyaan kepada tim katolisitas.
Saya ingin bertanya mengenai kontrasepsi dalam keluarga Katolik. oleh seorang teman saya yang sedang mengikuti kursus perkawinan, saya diberikan bahan sbb:
4. Seruan MAWI dalam penjelasan pastoral 1972 ( saya mengutip dari foto yang di bbm kan. Di atas poin nomor 4 tersebut mungkin ada penjelasan lain, demikian pula mungkin setelah poin nomor 4 tersebut masih ada poin lagi)
Suami-istri yang bingung karena merasa harus mengatur kelahiran padahal tidak dapat melaksanakannya dengan cara pantang mutlak atau pantang berkala. Dalam keadaan demikian tidak perlu merasa berdosa apabila mereka menggunakan cara lain, asal cara itu tidak merendahkan martabat istri atau suami, tidak berlawanan dengan hidup manusiawi (pengguguran dan pemandulan tetap) dan dapat dipertanggungjawabkan secara medis. Hendaknya para imam cukup toleran untuk tidak menyalahkan mereka, baik yang merasa wajib menggunakan pantang mutlak atau pantang berkala maupun merasa wajib menggunakan cara lain.
Jadi pertanyaan saya, apakah yang dimaksud cara lain tersebut. Dan apakah berarti penggunaan alat kontrasepsi dalam keluarga Katolik diperbolehkan?
Terima kasih sebelumnya. Semoga Roh Kudus senantiasa membimbing dalam karya tim katolisitas mengajarkan iman Katolik melalui dunia maya.
[dari Katolisitas: untuk kesempatan berikutnya, untuk memulai memposting suatu pertanyaan, silakan Anda membaca langkah-langkahnya di artikel”Apakah Anda pengunjung baru?”, silakan klik]
Sdri Lenny Kartika,
Sebetulnya sudah sejak lama pernyataan MAWI tahun 1972 itu sudah tidak digunakan lagi dan pada tahun 1975 MAWI menerbitkan Pedoman Pastoral Keluarga, yang menjelaskan pernyataan MAWI tahun 1972 dalam konteks Keluarga Berencana.
Sesudah 35 tahun berjalannya Pedoman Pastoral Keluarga MAWI itu, KWI pada tahun 2010 menerbitkan Pedoman Pastoral yang baru, yang isinya menjelaskan dan menegaskan katekese perkawinan dan hidup berkeluarga, termasuk masalah Keluarga Berencana.
Jika surat pernyataan itu saat ini masih digunakan dalam KPP di paroki, padahal sudah terbit PPK yang baru, rasanya menjadi suatu tanda bahwa tim pengajar KPP tidak mengikuti perkembangan yang terjadi di Gereja Indonesia atau tidak meng-update isi pengajaran tentang KB dalam ajaran Gereja.
Oleh karena itu saya sarankan agar anda membaca Pedoman Pastoral Keluarga yang diterbitkan pada 2010 oleh KWI.
Semoga penjelasan singkat ini dapat membantu anda, sehingga tidak mengalami kebingungan lagi karena pengajaran KPP yang tidak up to date.
In amore Sacrae Familiae
Agung P. MSF
Sangat inspiratif dan mohon kalau ada artikel atau tulisan tulisan ttg pembangunan keluarga Katolik mohon dikirm ke alamat email saya di atas.
Atas perhatian dan kerjasamanya diucapkan tks
Salam Dalam Kasih Jesus
Sonny Soeharso
[Dari Katolisitas: Silakan anda membaca di rubrik ARSIP di situs ini, silakan klik, dan silakan membaca beberapa artikel keluarga yang sudah ada, silakan klik di judul-judul tersebut]
Wah, karena saya disebut maka nimbrung lagi nih… :) Semoga Katolisitas masih sabar membantu pemahaman saya.
Diskusi ini sangat menarik. Satu pihak mengangkat tema interpretasi-pribadi (istilah yg lebih luas: “conscience”), dan di pihak lain mengangkat tema wewenang Gereja (selanjutnya saya sebut “authority”).
Tegangan/tension antara conscience dan authority adalah wajar dan banyak terjadi di setiap area kehidupan kita. Contohnya: sebagai warganegara dgn otoritas politik/public, sebagai akademisi dgn otoritas akademis. Bila ada pertentangan antara kedua pihak, biasanya kita sebut pembela authority adalah konservatif, dan penentang tsb liberal.
Conscience memberi martabat kepada manusia sehingga tidak sekedar bertindak mengikuti feeling & instinc, conscience memampukan kita membuat keputusan mana yg baik kita lakukan dan mana yg tidak. Tetapi conscience tidaklah otonom (dia terpengaruh lingkungan) dan bisa salah maka perlu diedukasi. Karena itu otoritas publik misalnya, harus mendidik dan juga mengatur pelaksanaan conscience agar tidak melanggar hukum yang disepakati bersama. Dan otoritas akademis harus mendidik dan mengatur agar semua kegiatan ilmiah mengikuti metoda ilmiah yg disepakati. Maka terlihat disini bahwa conscience tidaklah absolut, tetapi argumentasi dasar Paulus Prana (PP) benar bahwa authority tidak boleh mendikte conscience anggotanya. Otoritas publik tidak dapat mendikte keyakinan warganegaranya, otoritas akademik tidak boleh memaksakan kesimpulan riset ilmiah akademisinya.
Argumentasi PP ini benar BILA dimengerti dalam konteks komunitas sekular. Tetapi komunitas Gereja berbeda dgn komunitas sekular setidaknya dalam dua aspek: purpose & origin. Dari aspek purpose: negara adalah komunitas untuk mencapai kesejahteraan bersama dibawah aturan bersama, dan akademisi bergabung ke universitas untuk mengikuti metode ilmiah tertentu. Masing2 warganegara/akademisi boleh punya keyakinan/ideologi pribadi yg berbeda. Namun Gereja adalah komunitas untuk iman dan kesaksian. Gereja berkomitmen untuk memelihara a substantive set of belief dan meneruskannya ke generasi2 berikut. Maka dalam derajat tertentu Gereja tidak dapat akomodasi pluralisme ideologi seperti dalam komunitas akademis. Dan dari aspek origin: Gereja dan deposit of faith nya didirikan oleh Allah sendiri, sehingga set of belief itu benar dan tidak boleh diubah. Katolik percaya bahwa Allah berjanji menyertai GerejaNya, Allah menghendaki hirarki, dari sini lahir Otoritas Gereja yaitu Magisterium.
Dalam kaitan dgn “conscience”, bagaimana kita (umat Katolik) merespon ajaran Magisterium, terletak dalam 2 pertanyaan ini: (1) “Can we conscientiously assent?” atau (2) “can we conscientiously do other than assent?” Jawabannya tergantung pada ajaran mana yang dimaksud. Bila dalam ajaran iman & moral Gereja menggunakan “infalible power” nya, maka wajib dipatuhi (assent), menolaknya berarti memisahkan diri dari komunitas ini. Infabilitas bisa berasal dari pernyataan “ex-cathedra” atau dari “ordinary magisterium”.
Hal yg krusial adalah: menentukan mana ajaran yg infalible dan mana yg bukan infalible. Karakter “ex-cathedra” relatif lebih mudah dikenali. Khususnya perlu studi yg sangat hati-hati untuk menyatakan suatu ajaran mempunyai sifat infalible dari Magisterium umum dan biasa (ordinary). Kehati-hatian menentukan bahwa suatu ajaran bersifat infalible dari Magisterium biasa & umum sangat perlu misalnya karena: (1) apakah ajaran tsb – sesuai fakta (studi) sejarah – diajarkan oleh semua Uskup secara universal, bukan hanya pendapat beberapa Uskup dan Uskup lainnya tidak peduli hal itu atau bahkan tidak sependapat. Dan ajaran itu secara konsisten diajarkan & diperjuangkan terus-menerus (continuity). Alasan lain (2) ajaran adalah produk historis, walaupun mengandung esensi kebenaran infalible, pasti menekankan pada satu-dua aspek (yg relevan pada saat itu) dan mungkin menyampingkan aspek lainnya. Dokumen2 ajaran Bapa Paus dan Konsili tidaklah lebih tinggi dari teks2 Kitab Suci. Sama seperti menafsirkan teks KS kita perlu memperhatikan konteks, maksud, keterkaitan, dll. shg tidak terikat pada arti yg sempit. Analoginya, bila kita berdiri dibawah Dome sebuah Katedral, kita tidak bisa mengalami keindahan seluruh Katedral tsb bila hanya melihat (overlook) ke satu arah, kita harus memutar badan dan melihat satu demi satu ornamen2 lainnya. Maka esensi ajaran tetap tetapi pemahaman dapat bertumbuh. Dalam konteks ini kelompok liberal cenderung membuat list ajaran infallible yg minimal dan kelompok konservatif cenderung membuat list yang lebih panjang.
Kita sebagai umat Katolik hendaknya tidak menganggap suatu ajaran infalible kecuali memang sudah jelas-jelas dinyatakan demikian (KHK). Untuk ajaran yg noninfalible kita dituntut untuk obsequium (spt anak kepada orang tua), Namun bila kita sudah strive positively untuk menerima ajaran tsb tetapi conscience kita tetap tidak dapat menerima secara pribadi, dan kita mempunyai alasan yg bertanggung-jawab yg diteguhkan (dikonsultasikan) dgn orang-orang yg mempunyai personal authority (imam, teolog, dll), dan kita sudah memeriksa batin bahwa conscience kita jujur, tidak egois, bukan alasan pride, dll maka kita DAPAT bertindak sesuai conscience kita. Tetapi sama seperti anak kepada orang tua, kita TIDAK BOLEH mempromosikan sikap-berbeda kita kepada anak2 lain, membujuk mereka untuk berpihak kepada kita, apalagi mengorganisir gerakan untuk menentang orang tua kita.
Akhirnya menurut saya, kelompok liberal harus menggunakan conscience sesuai koridor paparan di atas. Sebaliknya kita mesti mengarahkan katekisasi kepada tujuan: “to form conscience, free of coercion” sesuai semangat kebebasan keyakinan DH. Tidaklah produktif untuk mencap semua ajaran infallible sehingga mematikan conscience – membuat katekisasi semacam sistem indoktrinasi. Katekisasi perlu bersabar me”MANAGE” tegangan/tension antara conscience dan authority, dan mengingat Mt 13:28-30 ketika para hamba menjadi tidak sabar dan ingin mencabuti ilalang di ladang gandum, Yesus menjawab: “Jangan, sebab mungkin gandum itu ikut tercabut pada waktu kamu mencabut lalang itu.”.
Demikian pandapat saya. Semoga Tuhan memberkati kita.
Shalom Fxe,
Menarik apa yang anda paparkan. Sejauh yang saya baca, sesungguhnya secara umum anda sudah memiliki pola pikir yang baik dalam hal pemahaman bahwa kita bertanggung jawab untuk membentuk hati nurani (conscience) agar sesuai dengan ajaran iman/ deposit of faith kita sebagai umat Katolik. Untuk itulah kita harus memperhatikan pengajaran dari Magisterium, yang dapat memberikan interpretasi yang benar akan deposit of faith tersebut.
Jika Magisterium telah menentukan suatu pengajaran yang infallible: yaitu tentang iman dan moral secara definitif, yang diberikan dalam kapasitasnya sebagai penerus Rasul Petrus (kerap dimengerti sebagai ex-cathedra), untuk diberlakukan bagi Gereja Universal di seluruh dunia, maka kita harus menerimanya dengan taat/ assent terhadap apa yang diajarkan itu. Nah beberapa pernyataan dalam Humanae Vitae, seperti yang telah saya uraikan di jawaban sebelumnya termasuk dalam ajaran yang infallible, dilihat dari ketiga syarat yang sudah dipenuhi tersebut.
Anda mungkin tidak setuju, dan bahkan mempertentangkannya dengan hati nurani anda, apalagi anda katakan telah berkonsultasi dengan imam dan teolog, sehingga anda memutuskan untuk melakukan sesuatu yang berbeda dengan apa yang sudah diajarkan dalam Humanae Vitae. Di sini bukan posisi saya untuk menghakimi, namun yang menjadi tanggung jawab kami di Katolisitas adalah untuk menyampaikan apa yang menjadi pengajaran Magisterium Gereja Katolik. Dalam hal ini, saya rasa siapapun yang dengan jujur membaca HV akan dapat melihat bahwa di sana jelas sekali tertulis bahwa penggunaan alat kontrasepsi apapun apakah itu bersifat abortif atau non-abortif tidak dapat dibenarkan secara moral, karena menghalangi procreation.
Memang ajaran ini sulit, tetapi ini bukan alasan bagi kita untuk mengabaikannya ataupun membuat interpretasi sendiri yang berbeda dengan ajaran yang sudah jelas disampaikan itu. Jadi bukan maksud kami di Katolisitas, untuk mengatakan bahwa segala pengajaran Magisterium sifatnya infallible. Tidak demikian. Namun pengajaran yang sudah memenuhi syarat infalibilitas, harus kami sampaikan tanpa “discount“.
Anda mengatakan, “Tidaklah produktif untuk mencap semua ajaran infallible sehingga mematikan conscience – membuat katekisasi semacam sistem indoktrinasi. Katekisasi perlu bersabar me”MANAGE” tegangan/tension antara conscience dan authority“. Ini pernyataan yang ambigu, sebab seolah anda mempertentangkan conscience dengan authority, seolah keduanya bertentangan. Conscience/ hati nurani itu harus dibentuk oleh pengajaran iman yang benar yang kita peroleh dari pengajaran Magisterium sebagai pihak otoritas Gereja. Magisterium di sini tentu adalah Paus dan para uskup dalam persekutuan dengannya. Maka para uskup di sini dan tentu semua imam mempunyai tanggung jawab untuk juga menjaga persekutuan penuh dengan Bapa Paus dengan mengajarkan segala sesuatunya seperti yang sudah diajarkan oleh Paus. HV no. 28 dan 30, secara khusus memuat pesan untuk para imam dan uskup. Adalah suatu permenungan apakah pesan ini sungguh sudah dibaca dan dilakukan oleh semua uskup dan imam di Indonesia. Agaknya pesan HV ini bukan hanya menuntut ketaatan penuh dari umat, tetapi terlebih juga ketaatan penuh para imam dan uskup untuk juga mengajarkan dengan jelas ajaran Magisterium tentang kesucian perkawinan, yang menolak segala bentuk penggunaan alat kontrasepsi. Para uskup dan imam mempunyai tanggung jawab lebih besar di hadapan Tuhan untuk mengajarkan ajaran ini kepada umat.
Maka jika pihak Magisterium mengajarkan suatu ajaran yang benar kepada semua umat beriman dan semua orang yang berkehendak baik, itu bukan indoktrinasi, melainkan mereka hanya menjalankan tugas wewenang mengajar yang sudah diberikan kepada mereka oleh Tuhan Yesus (lih. Mat 16:19, 18:18).
Anda lalu menggunakan ayat Mat 13:28-30 untuk mendukung argumen anda, yang menurut hemat saya agak tidak pas. Sebab ayat itu sebenarnya mau mengatakan bahwa di dunia ini Tuhan Yesus memang membiarkan orang baik/ benar untuk hidup berdampingan dengan orang yang jahat, sampai akhirnya Tuhan mengadili semua orang pada hari Penghakiman Terakhir. Nah dengan anda memakai analogi ini maka siapakah yang anda masukkan dalam katagori orang benar/ baik dan orang jahat? Apakah yang menaati HV adalah orang baik, dan yang tidak menaatinya, jahat? Agaknya hanya Tuhan yang mengetahuinya. Namun kita ketahui bahwa jika seseorang sudah mengetahui perintah Tuhan namun tidak melaksanakannya maka ia tidak dapat dikatakan sebagai orang yang mengenal dan mengasihi Allah dengan segenap hati dan kekuatannya (lih. 1 Yoh 2:4-5). Maka umumnya, jika seseorang mempunyai hati nurani yang jujur, maka hati nuraninya akan terus ‘menuduhnya’, sampai ia dengan rendah hati mau tunduk dan taat kepada ajaran iman yang benar.
Semoga dengan lapang hati kita terus membentuk hati nurani kita sesuai dengan ajaran iman, agar di akhir nanti kita dapat berkata bersama Rasul Paulus, “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman.” (2 Tim 4:7).
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Yth Mas/Mbak Fxe dan Mbak Ingrid,
Saya amat berterima kasih krn mas Fxe telah menguraikan dengan amat gamblang tentang apa yang banyak terjadi dalam konteks INDIVIDU masing-masing pemeluk iman.
Hal serupa pernah saya sampaikan di web ini (saya lupa dimuat atau tidak).
Dengan bahasa sederhana, saya sampaikan bahwa Ajaran / Agama dapat dipandang dari 2 sisi:
1. Sebagai Organisasi / Institusi yang punya visi, tujuan & tanggung jawab eksistensi organisasi.
2. Sebagai Ajaran Panduan Hidup bagi Setiap pemeluknya.
1. sebagai Institusi.
Jika dipandang dari sisi ini, maka demi keberlangsungan organisasi, perlu ada suatu koridor / rambu-rambu bersama yang harus disepakati.
Demikian juga perlu ada Pegangan bersama (yang dibuat se-valid-mungkin), atau bila perlu ada Musuh bersama (common enemy), dalam rangka harmonisasi & affinitas elemen dlm organisasi tsb.
Artinya organisasi haruslah bersifat komunal.
Sehingga, kita bisa memaklumi posisi & sikap yang harus diambil oleh pengurus organisasi tsb (dalam hal ini para “pemuka” agama), yang sering disimplifikasi sbg “konservatif” di atas.
2. Sebagai Ajaran Panduan Hidup
Jika dipandang dari sisi ini, maka hal ini bersifat privat, individual, transendental. Sehingga “rambu-rambu” atau “interpretasi”nya dapat lebih lentur, dengan mengandalkan akal budi kita.
Hal ini menyebabkan, muncul beragam pendapat yang tidak seragam dari para “pemeluk” agama, yang memang mengalami kondisi pribadi & lingkungan yang beragam.
Hal ini yang sering disimplifikasi sebagai pandangan “liberal” atau “relativisme” atau dll.
Jadi, Diskusi macam ini memang sesuatu yang “by-nature” pasti akan terjadi terus menerus.
Menurut pendapat saya, yang perlu (& barangkali sudah) dilakukan adalah usaha menemukan “Titik Equilibrium DINAMIS” dalam konteks-konteks lokal komunitas setempat.
Memang hal ini menjadi challenge yang cukup berat dari sisi organisatoris, tetapi, dengan kembali ke titik awal, bahwa tujuan adanya Ajaran Agama adalah demi keselamatan para pemeluknya (hence: the subject of a religion is the people), maka saya rasa “it is a noble thing to do that worth the risk”.
Kita memang sudah menyaksikan fenomena Ajaran / -isme lain yang lebih bersifat kontemplatif & privat, yang pada era modern ini, affinitas antar elemen dalam organisasinya amat Loose, sehingga hampir tidak dapat dikategorikan sebagai satu kesatuan institusi lagi. Misalnya seperti konfusianisme, taoisme, pangestu, komunitas samin, buddha, dll.
Tentu, Pernyataan Utopis yang menjadi argumentasi dasar adalah: Dengan semakin kuatnya institusi organisasi, maka dapat semakin efektif berkarya dalam rangka memperbaiki kualitas hidup manusia sebesar-besarnya.
Argumentasi tersebut benar untuk organisasi olahraga, bisnis, militer, politik, dan lainnya.
Tetapi argumentasi tersebut tidak selalu applicable untuk organisasi kesenian, kebudayaan, keagamaan, ketrampilan, ideologi, dan yang bersifat humaniora lainnya.
Mohon maaf saya tidak terlalu ingin menggunakan quote-quote dari kitab suci, karena nanti malah menjadi perdebatan baru yang barangkali tidak substansial & melebar kemana-mana….
Mohon maaf juga, saya bukan ingin memperpanjang diskusi, hanya menyampaikan fenomena yang dapat saya amati di masyarakat.
Salam,
Paulus Prana
*seorang pemeluk iman*
Shalom Paulus Prana,
Terima kasih atas komentarnya. Ada beberapa diskusi anda dengan tim katolisitas, salah satunya adalah ini – silakan klik, ini juga – silakan klik, dan anda dapat mencari di fasilitas pencarian di atas kanan, sehingga memberikan link ini – silakan klik. Di beberapa diskusi, anda akan melihat komentar-komentar anda dengan nada yaang sama. Jadi, ada banyak hal yang telah kita bahas dalam berbagai diskusi. Oleh karena itu, saya tidak akan menanggapi tanggapan dari anda secara detail, karena akan terjadi suatu pengulangan. Beberapa hal ini adalah tanggapan singkat dari saya:
1. Agama tidak dapat hanya dipandang dalam dua sisi: sebagai institusi yang memberikan rambu-rambu dan sebagai ajaran panduan hidup dalam sisi pribadi. Dikotomi atau dualisme ini menjadikan agama – yang dikaitkan institusi – menjadi seolah-olah hanya memberikan peraturan yang “sebaiknya” dituruti oleh pengikutnya. Dan pengikutnya dapat dengan interpretasinya sendiri menjalankan peraturan tersebut. Dengan demikian, maka akan terjadi begitu banyak interpretasi pribadi, yang pada akhirnya timbul relativisme. Dengan relativisme, maka seseorang akan sulit untuk mengerti kebenaran mana yang harus dipegang. Relativisme sendiri adalah faham yang kontradiktif, karena paham yang tidak percaya adanya kebenaran mutlak tetapi percaya akan satu kebenaran mutlak, yaitu tidak ada kebenaran mutlak di dunia ini.
2. Bahwa ada diskusi tentang bagaimana menerapkan iman dalam kondisi tertentu dalam masyarakat, kelompok atau individu, tidak berarti bahwa pokok-pokok pengajaran (tenet) dalam suatu agama – minimal agama Katolik yang saya tahu – menjadi tidak relevan dalam kehidupan sehari-hari dan perlu diubah. Yang menjadi tantangan adalah bagaimana menerapkan ajaran-ajaran Gereja Katolik dengan bijaksana tanpa merubah apa yang menjadi warisan iman.
3. Yang menjadi subyek dari suatu agama bukanlah manusia – walaupun manusia berinteraksi dengan Tuhan -, namun Tuhanlah yang menjadi subyek. Jadi, bukan Tuhan yang menyesuaikan manusia namun, manusialah yang harus menyelaraskan hidupnya dengan Tuhan. Tuhan telah memberikan segala sesuatunya untuk keselamatan manusia, termasuk Gereja Katolik, yang mempunyai dimensi ilahi dan juga dimensi manusia, persatuan dengan Allah dan juga sebagai institusi. Dan sudah seharusnya kita bersyukur akan karunia iman yang dijaga oleh Gereja Katolik, sehingga dapat diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain dengan murni. Dengan demikian, kita dapat menjalankan iman Katolik kita dengan penuh syukur dan sukacita.
Semoga tidak terjadi pengulangan-pengulangan argumentasi dan semoga dapat diterima.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef (seorang pemeluk iman Katolik) – katolisitas.org
Yth Bu Ingrid,
Terima kasih atas Artikel-nya yang sangat menarik.
Ada satu point penting dalam proses Our never-ending effort untuk mengikuti ajaran Tuhan, yang rasanya belum disebutkan dalam artikel di atas.
Yaitu:
Selalu adanya DISTORSI INFORMASI dalam setiap proses perpindahan informasi (komunikasi), baik dalam direct-communication maupun komunikasi via interface.
1. Distorsi tsb dapat berupa Reduksi atau Exagerasi, Peyoratif atau Amelioratif.
2. Distorsi tidak dapat terhindarkan, atau dengan kata lain: Proses perpindahan informasi yang Zero-Distortion adalah TIDAK MUNGKIN ADA (implausible), sebab proses exchange of information tsb melibatkan manusia, baik dari Tuhan kpd manusia, atau dari Manusia kpd manusia lainnya.
Yang mana, kita semua menyakini bahwa manusia adalah mahluk yang tidak sempurna & finite dihadapan Tuhan yang Infinite & Maha Sempurna.
3. Semakin banyak Tahapan (phase) dalam perpindahan informasi, maka potensi intensitas distorsi-nya tentu semakin besar.
4. Yang terjadi dalam proses komunikasi adalah:
a. Komunikator menyampaikan Informasi, bisa direct atau menggunakan interface
b. Penerima pesan menangkap informasi (direct atau dengan bantuan interface)
c. Penerima pesan meng-ARTI-kan (meng-INTERPRETASI-kan) informasi tersebut.
d. Jadi jelaslah, bahwa semua hal yang kita tangkap dari orang lain atau sumber informasi apapun, adalah BUKAN INFORMASI TERSEBUT an-sich, tetapi INTERPRETASI KITA atas Informasi tsb.
e. Contoh sederhana: ketika kita melihat sebuah Bola warna Ungu, maka yg terjadi sesungguhnya adalah:
(i) Kita menginterpretasikan sebuah wujud 3-dimensi berbentuk spheric sebagai sebuah bola
(ii) Kita interpretasikan bahwa spektrum cahaya pada panjang gelombang sekian nm yang memantul sampai ke retina kita sebagai warna Ungu
(iii) Saya disanggah oleh teman saya, sebab itu belum tentu Bola, tetapi suatu Spheroid, sebab kita belum yakin betul apakah sumbu x, y, dan z nya sama panjang.
(iv) Ternyata saya dan teman saya juga berbeda, sebab menurut dia itu violet, sedang saya bilang purple, smtara teman lain bilang itu burgundy, dan lainnya.
Sehingga dengan senantiasa sadar akan point-point di atas, maka, sikap kita sebagai umat beriman:
1. Dengan rendah hati, kita menyadari KETERBATASAN kita sebagai manusia, bahwa sampai kapanpun kita TIDAK MAMPU meng-komprehensi 100% segala pokok-pikiran, maksud, kedalaman, dan keluasan dari ajaran Tuhan yang maha Infinite.
2. Bahwa apa yang KITA baca, KITA dengar, KITA lihat, dan akhirnya KITA pahami dan KITA imani, adalah sesungguhnya hal-hal yang KITA INTERPRETASI dari sumber bacaan, KITA INTERPRETASI dari bunyi-bunyian, KITA INTERPRETASI dari bayangan di retina mata, KITA INTERPRETASI dari daya analisis KITA sendiri, dan akhirnya KITA INTERPRETASI dari daya kognitif KITA sendiri.
3. Kita meyakini, bahwa:
a. Magisterium Gereja tentu telah memuat Sebagian dari Ajaran Tuhan yang hendak disampaikan kpd manusia,
b. Penyebar-luas-an informasi tentang Magisterium tersebut telah berhasil menyampaikan sebagian dari nilai-nilai mulia yang terkandung didalamnya.
c. Kita tentu telah berserah untuk mengimani dan memahami sebagian informasi yang kita terima tentang Ajaran (via Magisterium) tersebut, yang berkontribusi terhadap perbaikan kualitas hidup kita.
d. Kita tentu telah berusaha sekuat hati, untuk meng-implementasi sebagian dari pemahaman & keyakinan kita tersebut.
e. Berhubung keterbatasan kita sebagai manusia, unfortunately, faktor “sebagian” pada ke-4 point diatas tidak dapat kita hindarkan, dan seyogianya tidak kita abaikan (neglect).
f. Keterbatasan kita sebagai manusia pula, yang kadangkala / seringkali, baik secara sadar maupun sub-conscious, men-transpose beberapa faktor “sebagian” tsb menjadi faktor “exageratif” dengan derajat yang beragam. (Keduanya, sebagian/reduktif & exageratif adalah bentuk Distorsi).
4. Maka:
a. Marilah kita bersikap rendah hati, dan lapang dada, serta berserah, bahwa Kebenaran Tuhan TIDAK-lah Sesempit & sesederhana yang selama ini KITA mampu imani. Yang baru KITA MAMPU IMANI sampai hari ini Tentulah masih seujung kuku dibandingkan kompleksitas kedalaman & keluasan ajaran Tuhan yang komprehensif (kaffah).
b. Tentu tidak sepantasnya, bila kita berani menyatakan bahwa KEMAMPUAN kita men-IMAN-i ajaranNya sudah berhasil mencakup segala dimensi & komprehensifitas yang paripurna. Yang dengan kata lain, kemampuan pemahaman saya SETARA dengan kemampuan pemahaman Tuhan (hehe.. coba… pantas nggak ya?)
c. Juga tidak pantas tentu, bila point b. diatas lantas menjadi dasar justifikasi & falsifikasi kemampuan Manusia Lain dalam ber-UPAYA meng-IMAN-i ajaranNya. Jadi, pelaku sesungguhnya justifikasi / falsifikasi itu kan manusia tsb, ya? bukan Tuhan kan?, tapi cuma ngaku-ngaku aja, hehe…
d. Barangkali, Tuhan memang menciptakan mahluknya yang satu ini supaya tidak menjadi DOMBA-DOMBA yang MANJA karena semua serba tersedia lengkap & PENURUT tapi MALAS BERUPAYA. Sehingga barangkali dibiarkan untuk terus men-stimulasi akal budi (karunia-Nya yang luar biasa) untuk senantiasa dinamis dalam rangka perbaikan kualitas hidup.
e. Maka, perbedaan dan keberagaman, barangkali juga merupakan kehendak-Nya, yang tidak sepantasnya kita coba musnahkan / kita tentang, karena jangan-jangan tindakan macam ini justru me-LAWAN kehendak-Nya.
N.B. : Yth Bpk / Ibu Moderator,
Mohon tanggapan saya ini dapat ditayangkan, juga 3-5 tanggapan saya lainnya pd beberapa topik yang sudah sangat lama, tetapi belum ditayangkan. Mohon dibantu, karena masukan dari Bp/Ibu & para pembaca adalah bahan yang amat berarti dalam pengembaraan kehidupan & keimanan saya. Terima kasih.
Salam dalam Kristus,
Shalom Paulus Prana,
Telah beberapa kali anda menuliskan tanggapan di dalam situs ini, dan juga sudah pernah kami tanggapi, namun nampaknya nuansa komentar anda tidak berubah, dalam menyuarakan bahwa seolah- olah kebenaran itu relatif, dan bahwa manusia tidak dapat dengan sepenuhnya mengetahui kebenaran yang sifatnya obyektif dan absolut. Terus terang, tentang pendapat inilah kami di Katolisitas berbeda dengan anda. Karena itulah, kami memutuskan untuk tidak memasukkan beberapa komentar anda yang lain, karena keterbatasan waktu kami untuk menanggapinya, dan karena diskusi akan berkembang menjadi pengulangan- pengulangan dari apa yang sudah pernah kami sampaikan sebelumnya.
Memang manusia, dengan kemampuannya yang terbatas tidak dapat sepenuhnya memahami Allah, dan kesempurnaan pengetahuannya hanya dapat diperoleh di surga kelak. Namun ini tidak mengubah kenyataan bahwa dengan bantuan terang Roh Kudus-Nya, kita umat beriman dapat mengenal kebenaran yang sifatnya obyektif dan absolut melalui pengajaran yang diberikan oleh Gereja-Nya; yaitu seperti yang dijabarkan dalam Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium. Oleh kuasa yang diberikan oleh Kristus, Gereja Katolik menyampaikan kebenaran yang sesuai dengan apa yang diwahyukan oleh Allah sendiri. Silakan anda membaca ensiklikal Paus Yohanes Paulus II yang membahas tentang hal ini, berjudul Veritatis Splendor. Bahwa terang Roh Allah dapat memimpin kita umat beriman yang terus mencari, untuk sampai kepada kebenaran absolut yang hanya dapat kita peroleh di dalam Kristus. Ini sejalan dengan apa yang disampaikan dalam ajaran Gereja lainnya, seperti Dominus Iesus dan dokumen- dokumen Konsili Vatikan II.
Anda berargumen, seolah walaupun sudah diajarkan oleh Gereja sedemikian, namun masih ada kemungkinan dapat diartikan berbeda- beda, karena pemahaman tiap- tiap orang itu berbeda, lalu anda memberikan contoh- contoh dengan warna ungu dan bentuk bola/ sphere. Walaupun kelihatannya masuk akal, namun menurut hemat saya ini tidak pas untuk dibandingkan dengan bagaimana kita ingin menyikapi ajaran Gereja dalam hal iman dan moral. Magisterium Gereja, pada saat mendefinisikan suatu ajaran iman dan moral, sesungguhnya sudah dengan sangat jelasnya menjabarkan kondisi- kondisinya, ataupun batasan- batasannya. [Ibaratnya, definisi bola dan warna ungunya sudah dijelaskan. Jadi jika seseorang mempunyai definisi yang lain, ia menyalahi definisi yang sudah ditetapkan]. Begitu jelasnya, sehingga, interpretasi yang lain, sesungguhnya merupakan interpretasi yang ‘dipaksakan’, karena di dalam dokumen tersebut sudah jelas dinyatakan.
Contohnya saja, surat ensiklik Paus Paulus VI tentang Humanae Vitae (HV). Banyak orang yang tidak setuju mengatakan bahwa seolah- olah pengajaran Humanae Vitae itu masih dapat ‘diperdebatkan’/ disputable, atau diartikan berbeda oleh masing- masing orang. Padahal jelas sekali di dalam HV, tidak demikian. Silakan anda membaca diskusi kami dengan Fxe tentang hal ini di sini, silakan klik. Jadi masalahnya bukan keterbatasan manusia untuk mengartikan dokumen itu, tetapi apakah dia mau atau tidak untuk menerima dan taat akan apa yang disampaikan oleh Magisterium di dalam dokumen itu.
Jadi soal kerendahan hati ini bukan soal apakah kita bisa mengerti atau tidak, dalam hal ini, tetapi apakah kita mau dengan rendah hati menerima dan menaati apa yang disampaikan oleh Magisterium, karena yang disampaikannya adalah sesuatu yang sudah sangat jelas dan bukan sesuatu yang masih sangat sulit untuk dimengerti. Walaupun kerendahan hati diperlukan untuk mengakui segala keterbatasan kita, namun lebih sulit lagi mempunyai sikap kerendahan hati untuk menerima dan melaksanakan suatu pengajaran yang memang cukup sulit untuk dilakukan, demi kasih dan ketaatan kita kepada Kristus yang telah mengajar kita melalui Gereja-Nya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Comments are closed.