Kalau pepatah mengatakan bahwa hidup adalah sekolah, di mana di dalamnya kita berkesempatan untuk belajar menjadi pribadi yang lebih baik lewat berbagai peristiwa sehari-hari, maka perkawinan bisa jadi adalah salah satu mata pelajaran yang paling sukar dan menantang. SKSnya banyak dan menentukan, sehingga perlu ketekunan dan keseriusan yang tinggi dalam menjalaninya. Bagaimana tidak, dapat kita bayangkan tidak mudahnya dua orang yang berbeda dalam banyak hal, sepakat untuk hidup dan berbagi bersama dengan kesetiaan penuh, sampai usia lanjut, dan di tengah segala tantangan hidup, hingga maut memisahkan. Maka itu ujian-ujiannya sering, dan kadang berat serta melelahkan. Tetapi kabar baiknya adalah jika kita gagal dalam ujian, seringkali masih ada kesempatan kedua dan seterusnya untuk memperbaiki dan terus memperbaiki, asal ada kemauan. Selain itu, PR (pekerjaan rumah)nya juga banyak, dan tidak seperti ujian yang kadang harus dihadapi sendirian, PR seringnya harus dikerjakan berdua, kalau hanya salah satu yang mengerjakannya, banyak pengertian dan keharmonisan tidak dapat dicapai. Padahal pengertian serta keharmonisan adalah sarana-sarana untuk mencapai kebahagiaan yang dicari. Tentu kebahagiaan bersama sekeluarga sampai akhir hidup adalah yang menjadi tujuan awal dan tujuan akhir dari orang-orang yang memutuskan untuk menikah. Kebahagiaan yang juga dirancang dan dikehendaki oleh Tuhan bagi manusia yang dikasihiNya, hingga setelah masa pembelajarannya di dunia ini selesai, boleh mencapai kehidupan bahagia kekal di Surga bersama Tuhan.
Berbeda dengan para lajang yang mempunyai banyak kebebasan untuk menentukan sendiri apa yang disukainya dan apa yang tidak, orang-orang yang dikaruniai kehidupan perkawinan terikat oleh aneka tuntutan yang lahir dari perbedaan kepribadian dan kebutuhan dengan pasangannya, serta berbagai situasi lain seperti anak-anak, pekerjaan pasangan, dan keluarga besar dari pasangan. Tetapi hadiah dari semua itu adalah pribadi yang terbentuk menjadi lebih toleran, sabar dan bijaksana, berpengertian, mudah berkorban, mudah merasa bahagia, dan berbagai ketrampilan pengendalian diri lainnya yang ujungnya adalah rasa damai dan bahagia dalam jiwa, serta sebuah jalan menuju kekudusan. Karena itu, sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya, kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesabaran.(Kol 3:12). Tentu saja para lajang dan orang yang memutuskan untuk tidak menikah bukannya tidak berkesempatan memiliki keutamaan pribadi seperti semua itu, namun mereka mengalami dan menjalaninya dalam bentuk yang berbeda. Tuntutan dari kehidupan perkawinan yang terus menerus memerlukan pengertian dan pengorbanan itu mestinya tidak terasa seperti sebuah tuntutan yang menyiksa jika pihak-pihak yang terlibat di dalamnya menjalaninya dengan cinta yang tulus, niat yang baik, yang didasari oleh komitmen yang kuat untuk setia demi kebahagiaan bersama.
Ada catatan tersendiri mengenai cinta. Ketika Tuhan mempertemukan dua insan dalam cinta yang indah dan mempersatukan keduanya dalam ikatan perkawinan yang suci, cinta itu adalah pemberian, anugerah, yang dikaruniakanNya dengan cuma-cuma, kita tidak perlu mengusahakan apapun untuk memperolehnya. Tetapi agar pemberian itu berdaya guna dan menghasilkan kebahagiaan yang didambakan manusia dan Tuhan, harus ada kerjasama dari kedua manusia yang menerimanya, agar cinta itu tetap menyala dan aktif bekerja, tidak redup, lalu dingin dan padam. Di sinilah komitmen dan niat baik itu masuk. Cinta akan selalu menjadi dasar utama sepasang suami istri menjalani hidup berkeluarga, tetapi cinta yang tidak hanya berhenti kepada pemberian dari Tuhan, tetapi yang juga disadari sebagai sebuah keputusan, dan disyukuri dengan tanggung jawab. Demikian jugalah pada layaknya tanggapan aktif manusia kepada pemberian-pemberian Tuhan yang lainnya seperti kepandaian, kesehatan, bakat, dan lain-lain. Cinta yang dikerjakan, diolah, dikembangkan, dan ditekuni lewat sebuah proses, membuat cinta itu tumbuh, berkembang,dan berbuah. Termasuk di dalamnya mengerjakan berdua PR-PR mata pelajaran perkawinan, yang tidak selalu sama bobot kesukaran dan kuantitasnya antara satu pasangan dengan pasangan yang lain.
Misalnya PR saya sendiri pada saat ini adalah belajar menerapkan bahwa pada saat saya ingin dilayani, disayangi dengan khusus, dan dimengerti oleh pasangan, itu adalah justru saat di mana saya harus lebih dulu melayani, menyayangi dengan khusus, dan mengerti pasangan saya, sehingga pasangan saya merasa bahagia, sebelum ia kemudian terdorong membalas dengan cinta yang sama. Harapan saya kepada pasangan diubah menjadi harapan untuk saya sendiri lakukan lebih dulu, sehingga kebahagiaan dapat masuk tanpa didahului protes atau rengekan, bahkan ternyata sukacita yang saya cari sudah saya dapatkan dengan mendahului mengungkapkan apa yang saya harapkan dari pasangan, sebelum ia sendiri melakukannya. Ini semua juga proses, memerlukan kesabaran, terutama proses menundukkan ego kita. Belajar mengendalikan ego itu baik, supaya kita tidak terus menerus dikendalikan oleh ego, sebab hal itu sebenarnya amat melelahkan. Sebaliknya mengalah demi kebaikan bersama dan mengikuti kehendak Tuhan, walaupun awalnya terasa berat, akan terasa lebih membebaskan dan membahagiakan dalam prosesnya, tidak hanya bagi diri kita tetapi juga bagi pasangan kita dan sesama. Sekali lagi, sebagaimana PR seringnya harus dikerjakan berdua, penerapan contoh di atas adalah timbal balik, harus ditanggapi dan dilakukan kedua belah pihak, supaya bahagia itu dirasakan berdua. Rasul Paulus mengajarkannya dalam Roma 12:10, “Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat.
Dan jika di jaman ini, kesetiaan nampak seperti sebuah benda usang yang sudah tidak mode lagi, di mana perpisahan, perceraian, perselingkuhan seolah menjadi begitu sering dan biasa, ingatlah bahwa dunia ini bisa berputar dan terus berjalan karena kesetiaan. Bumi setia berputar pada porosnya, matahari setia terbit di pagi hari tanpa pernah absen, hujan dan panas setia menyambangi bumi supaya kehidupan dapat berlangsung, organ-organ tubuh kita bekerja siang malam dengan sinergi yang mengagumkan dan setia supaya tubuh kita terus hidup. Lalu banyak orang di sekeliling kita begitu setia menjalankan tugasnya walau tugas itu selalu sama dan harus dilakukan setiap hari tanpa putus, misalnya seorang ibu yang harus selalu memasak untuk keluarga, petugas perlintasan rel kereta api yang harus selalu mengamati jalannya kereta dari berbagai arah, dan banyak lagi. Demikianlah kesetiaan adalah barang mahal yang tak ternilai harganya yang menopang seluruh kehidupan umat manusia. Di saat kejenuhan atau kebosanan melanda, ingatlah akan Tuhan yang tidak pernah bosan memelihara manusia, peliharalah kesadaran akan rasa syukur atas hidup, dan betapa kehidupan ini dapat terus berjalan karena ditopang oleh pilar-pilar kesetiaan. Kesetiaan adalah buah dari kasih. “Dan di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan. (Kol 3:14)
Semoga kasih selalu menyemangati kita untuk menikmati kehidupan perkawinan dan menjaganya sebaik-baiknya. Sehingga kebahagiaan yang dicita-citakan banyak orang dari sebuah kehidupan perkawinan, dapat mencapai tujuannya yang hakiki, yaitu kebahagiaan yang dicita-citakan Tuhan sendiri bagi manusia ciptaan yang dikasihiNya. (Triastuti )
“[Speaking of marriage and family] In this entire world there is not a more perfect, more complete image of God, Unity and Community. There is no other human reality which corresponds more, humanly speaking, to that divine mystery.”
– Pope John Paul II
(Di seluruh dunia ini tiada hal yang mewakili citra Allah, Persatuan dan Komunitas demikian sempurna dan lengkap seperti yang dinyatakan oleh sebuah perkawinan dan kehidupan keluarga. Tiada realitas kemanusiaan yang terkait begitu dalam kepada misteri Ilahi yang melebihi apa yang terjadi dalam perkawinan. -Paus Yohanes Paulus II Yang Terberkati-)
Touchable..!
Inspiring..!
Terima kasih atas sharing hikmatnya bu Caecilia Triastuti.. kiranya kasih karunia Bapa melingkupimu senantiasa. Amin
Terima kasih Allah Roh Kudus yang selalu setia hadir dan menemani kami [dengan hikmat-hikmatMu] hingga akhir jaman..
[dari Katolisitas: terima kasih juga untuk apresiasi dan doa Saudara Respati, amin, semoga kasih dan bimbingan-Nya terus menguatkan dan memurnikan niat baik kita untuk hidup dalam kasih-Nya – Triastuti]