“Relakah aku memberikan liburan tahun baruku untuk menghibur yang berduka?” Itulah pergulatan batinku di saat seorang ibu memohon dengan sangat agar aku memimpin Misa Requiem untuk ayahnya pada tanggal 01 Januari 2016. Ia bukan umat parokiku sehingga aku bisa membenarkan diri untuk menolaknya. Untunglah suara hatiku masih peka terhadap kelelahannya. Ia pasti telah menghubungi banyak pihak dan jawabannya pasti sama “aku tidak bisa”. Aku pun mengatakan “siap”. Kata “siap” dariku ternyata membuatnya lega karena ia hampir putus asa. Kelegaannya nampak jelas dari air matanya yang deras.

Misaku hanya dihadiri oleh segelintir umat. Keadaan ini dapat dimaklumi karena banyak orang menyambut pergantian tahun baru di luar kota atau masih pulas setelah merayakan detik-detik perubahan tahun.

Aku tidak menghakimi keadaan itu. Keadaan itu menyadarkan aku bagaimana menjadi seorang Katolik yang bermutu. Seorang Katolik yang bermutu terangkum dalam puisi ini. Semoga tidak ada yang tersinggung karena ini hanyalah refleksiku.

Katolik bukanlah sekedar sebuah “aksi”.

Salib tergantung di leher biar nampak keren.

Kemaki dan penuh gaya dengan membawa Kitab Suci ke sana ke mari.

Semua kursus Kitab Suci diikuti biar nampak sebagai ahli.

Ayat Kitab Suci dihafal dan digunakan kapan saja

agar semua orang tahu bahwa ia adalah sumber kebijaksanaan.

Nyanyian dengan keras digemakan,

dan kata “Yesus” yang diserukan berkali-kali agar nampak suci.

Katolik adalah perbuatan cinta yang nyata.

Yang haus diberi minum.

Yang lapar diberi makan.

Yang berduka dihibur.

Yang lemah dilindungi.

Yang takut ditemani.

Semuanya perlu pengorbanan diri agar cinta itu terjadi.

Jawaban atas refleksiku kudapat dari anjing pittbullku yang nampak lelah tertidur di samping gereja. Ia lelah karena berjaga semalam suntuk ketika kebanyakan orang larut dalam kegembiraan dan semaraknya kembang api sehingga mungkin lupa untuk peduli. Ia peka terhadap ketakutan satpam atas hal buruk yang mungkin terjadi sehingga ia rela duduk di samping pos satpam di tengah hujan rintik-rintik. Aku belai kepalanya sambil mengucapkan terimakasih: “Bourbon, jangan-jangan kamu itu Katolik ya… karena kamu telah memberi teladan kesetiaan, kepekaan, dan pengorbanan. Trim ya Bon. Selamat tahun baru Bon. Hebat kamu Bon, sudah berkorban dan tak perlu balasan. Memang kamu adalah teladan cinta yang nyata bagiku”.

Tuhan Memberkati