Pertanyaan:
Pak Stef yang baik… Salam dalam Kristus
Mengapa menjadi Katolik kok susah ya.. khususnya bagi orang yang tidak terpelajar (illiterate)… di daerah asal istri saya (kepulauan) masih banyak orang dewasa yang buta huruf dan kebanyakan dari suku tionghoa yang totok sehingga bicara bahasa indonesia saja sepotong2 campur bahasa melayu lagi.. (herankan… hare gini masih ada yang buta huruf? tapi ini fakta lho), tetapi bukan berarti gereja tidak dapat bertumbuh di antara mereka, banyak sekali gereja (tentunya non Katolik) disana…
setelah saya selidiki … memang untuk urusan “menjaring jiwa” saya harus angkat 2 jempol kepada saudara kita dari Kristen non Katolik, mereka begitu agresif dalam pewartaan bagi semua orang termasuk yang tak terpelajar.. dan begitu mereka menyatakan mantap menjadi Kristen, maka langsung diBaptis selam… jadilah mereka seorang Kristen…
Coba bandingkan dengan menjadi Katolik… harus mengikuti katekumen dulu selama lebih kurang 1 tahun
harus menghafal doa2 wajib, menghayati hukum gereja, mengerti tata cara perayaan Ekaristi yang mungkin bagi mereka sangat rumit dan melelahkan (bagaimana tidak baca saja susah…)sehingga akibatnya gereja Katolik “tidak populer” diantara mereka, atau… apakah gereja Katolik hanya untuk mereka yang pernah mengecap bangku sekolah dan secara eksklusif berdiri di kota-kota besar saja… mohon tanggapannya terima kasih – Tormento
Jawaban:
Shalom Bapak Tormento yang dikasihi Tuhan,
Terimakasih atas pengamatan Pak Tormento terhadap Gereja Katolik dan penginjilan yang dilakukannya. Ini menunjukkan bahwa Pak Tormento mengasihi Gereja Katolik. Mari kita melihat pertanyaan-pertanyaan Pak Tormento.
I. Proses Katekese untuk menjadi seorang Katolik.
- Untuk daerah-daerah yang mempunyai kendala dalam hal bahasa dan komunikasi, memang menjadi tantangan tersendiri bagi Gereja Katolik untuk mewartakan kabar gembira kepada mereka. kita bersama-sama harus berdoa agar muncul katekis-katekis baru yang dapat mengerti bahasa lokal, sehingga komunikasi tidak lagi menjadi kendala. Tidak dapat membaca, tidak menghalangi mereka untuk menjadi murid Kristus. Kita melihat bahwa sebelum abad ke-12, mayoritas bangsa-bangsa di Eropa tidak dapat membaca dan menulis. Namun pada abad-abad tersebut kekristenan dapat berkembang dengan baik. Jadi, tidak benar bahwa Gereja Katolik hanya untuk konsumsi orang-orang yang berpendidikan. Jangan lupa juga bahwa Paus kita yang pertama, St. Petrus, dan juga para rasul adalah orang-orang yang datang dari kalangan yang sederhana.
- Namun tentu saja menjadi tantangan bagaimana Pastor atau para katekis dapat menyampaikan pengajaran kepada mereka dengan baik. Mungkin mereka harus mempunyai bahan-bahan pengajaran yang banyak gambar, video, dll. Mengapa Gereja tidak dapat memperbolehkan seseorang langsung dibaptis (kecuali dalam kondisi darurat), walaupun mereka telah percaya? Gereja percaya bahwa seseorang tidak dapat mengasihi kalau tidak tahu. Bagaimana seseorang dapat merayakan dan mengasihi Ekaristi, kalau dia tidak tahu bahwa di dalam Ekaristi, Yesus sendiri yang menjadi Korban dan penderitaan Kristus yang sama dihadirkan kembali. Untuk itulah diperlukan waktu untuk belajar tentang iman Katolik dengan baik.
Ini terjadi dalam komunitas-komunitas yang lain, seperti kalau kita masuk ke universitas, maka kita menjalani suatu proses inisiasi. Baptisan adalah suatu rahmat yang begitu besar, karena seseorang menerima rahmat kekudusan dan dengan demikian menjadi anak Allah melalui Kristus, dan pada saat yang bersamaan menjadi anggota Gereja. Dalam perkembangan proses katekese, dahulu orang harus belajar selama tiga tahun baru dapat dibaptis. - Jadi sebenarnya, dalam proses katekese yang sekarang, yaitu sekitar satu tahun, merupakan suatu proses bagi katekumen (calon baptis) untuk semakin menghayati apakah yang benar-benar dipercayai oleh Gereja Katolik. Dan setelah mereka tahu tentang iman Katolik, percaya, dan mempunyai tekad yang teguh untuk menjalankannya, serta secara sadar ingin bersatu dengan Kristus dan Gereja-Nya, maka mereka dapat dibaptis. Secara prinsip, satu tahun (atau waktu yang ditentukan oleh keuskupan setempat) adalah waktu yang diperlukan untuk mempersiapkan calon baptis, walaupun tentu saja ada beberapa pengecualian, misalkan: untuk orang-orang yang lanjut usia, atau dalam kondisi-kondisi khusus.
- Yang perlu diajarkan kepada katekumen sebelum dibaptis: Apa yang diajarkan oleh Gereja Katolik dapat dilihat di dalam Katekismus Gereja Katolik, yang terdiri dari empat pilar yang semuanya bersumber pada Kristus, yaitu:
- Aku Percaya (apakah yang dipercayai atau diimani oleh Gereja)
- Sakramen (bagaimana untuk merayakan apa yang kita percayai)
- Ajaran bagaimana untuk Hidup dalam Kristus atau Moral (bagaimana hidup sesuai dengan apa yang dipercayai)
- Doa (bagaimana untuk mendapatkan kekuatan dalam menjalankan ajaran Allah serta bagaimana untuk mendapatkan relasi pribadi dengan Allah).
Jadi dari empat pilar ini, kita melihat adanya dimensi vertikal dan horisontal, dimensi pribadi dan komunitas, fokus terhadap pribadi Kristus dan bagaimana untuk mengikuti Kristus dengan baik dengan bergantung pada rahmat Allah dan kerjasama dari kita masing-masing terhadap rahmat Allah.
II. Tantangan bagi proses katekese:
- Yang menjadi masalah adalah, seringkali, walaupun sudah dipersiapkan selama satu tahun, banyak dari antara mereka yang tidak benar-benar mengerti tentang iman Katolik yang benar, sehingga mudah sekali bagi mereka untuk berpindah agama. Sungguh suatu hal yang memprihatinkan. Kita bersama-sama dengan hirarki harus memikirkan bagaimana caranya agar Gereja melalui para katekis dan para Pastor dapat membuat katekumen benar-benar tahu dan mengasihi iman Katolik. Mungkin program yang dipakai sama, namun cara menyampaikannya yang berbeda, atau kalau memang diperlukan, programnya dapat diperbaiki. Dan semua ini tidak lepas dari pentingnya untuk melatih para katekis, sehingga mereka dapat menyampaikan kebenaran secara lebih efektif dan lebih baik.
- Semoga Tuhan memberikan kebijaksanaan kepada para Pastor dan para katekis, agar mereka dapat benar-benar memberikan pengajaran yang baik bagi para calon baptis.
- KIta tentu saja dapat belajar dari gereja-gereja lain, bagaimana agar para calon baptis benar-benar dapat mencintai Sabda Allah, dan agar Sabda Allah ini juga dapat mewarnai kehidupan mereka setelah dibaptis.
III. Menjadi seorang Katolik yang baik lebih sulit daripada proses katekese untuk dibaptis.
- Kita bersama-sama harus mengambil bagian dalam karya evangelisasi ini. Kita dapat melakukannya dalam kapasitas kita masing-masing. Bagi Pak Tormento, dengan segala permasalahan kehidupan, namun Bapak terus bertahan di dalam Gereja Katolik, adalah suatu kesaksian yang baik. Kesetiaan ini tentu saja diperhitungkan oleh Tuhan, walaupun tentu saja semua orang berjuang untuk hidup lebih kudus setiap hari dan seringkali harus mengorbankan kesenangan diri kita.
- Kita juga tahu bahwa dalam kehidupan kita masing-masing bahwa tidak mudah untuk hidup kudus dan mengikuti semua perintah Tuhan. Kita sering jatuh bangun. Dan proses katekese selama satu tahun juga untuk mempersiapkan para calon baptis agar pada saat mengalami kesulitan dan penderitaan, mereka dapat terusbergantung kepada Tuhan.
Demikian jawaban yang dapat saya sampaikan. Mari kita bersama-sama berjuang untuk hidup kudus, sehingga kita dapat menjadi terang Kristus. Dan kita berdoa agar lebih banyak lagi katekis yang dapat mengajarkan iman Katolik yang begitu indah dengan baik.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – https://katolisitas.org
Salam Bu Ingrid dan Pak Stef,
Tulisan saya ini bukan pertanyaan tetapi hanya uneg2. Boleh ya. Saya tidak tahu mau dimasukkan ke kategori apa. Untuk sementara saya masukkan di sini saja, kalau kurang tepat silahkan untuk dipindah.
Hm, bagaimana ya. Bukan maksud saya ingin membicarakan keburukan orang lain. Tetapi kalau memang tidak berkenan, silahkan di-delete saja. Tulisan ini hanya sekedar ingin mengungkapkan kegundahan/ keprihatinan khususnya terhadap kelakuan umat Katolik sendiri yang kurang/tidak menghormati perayaan Ekaristi Kudus. Saya hanya ingin mengungkapkan beberapa kasus saja:
1. Kasus pertama terjadi tgl 5 Juni 2011 tepat saat Hari komunikasi sedunia. Bertepatan dengan hari tersebut, homili pastor juga berhubungan dengan penggunaan alat-alat komunikasi modern secara bertanggung jawab seperti internet, ponsel, dll. Beliau juga menyinggung masih banyaknya umat yg mengaktifkan ponsel bahkan ber-ponsel-ria saat Ekaristi berlangsung. Nah ini yang ironis, sekitar 15 menit setelah homili usai ada dering ponsel dari bangku umat. Ketika misa berakhir -saat pengutusan- pastor mengungkapkan kekecewaannya dengan kejadian ini. Beliau tidak habis pikir & sampai kehabisan kata2 bagaimana lagi cara untuk mengingatkan umat-umat yg bandel. Bagaimana tidak, sebelum misa dimulai putra/ putri altar pasti membacakan pengumuman agar ponsel dinonaktifkan. Masa sih dengan pengumuman yg selalu dibacakan plus homili pastor tidak nyangkut di telinga sama sekali. Sangat keterlaluan.
Kasus di atas terjadi di salah satu paroki di Jakarta Timur tempat saya tinggal. Dan boleh jadi kasus semacam ini sekarang sudah menjadi “tren” di paroki-paroki lain. Saya ambil kasus yang sama dengan tingkat yg bahkan lebih parah. Ini saya kutip dari Surat Pembaca majalah HIDUP edisi 24, 12 Juni 2011.
“ ……. Saya punya pengalaman yg menjengkelkan pada misa Kamis Suci, 21 April 2011 di Jakarta Selatan. Saya datang jauh sebelum jam misa. Saya mendapatkan tempat duduk di balkon atas. Apa yang saya kawatirkan terjadi. Pemandangan hampir merata, di depan, di belakang, di bawah, beberapa umat mengaktifkan HP-nya. Bahkan ada yang telpon, buka Facebook, Twitter, membuka folder, dll. Di depan saya persis, ada satu keluarga, orangtua dengan dua anak remaja, semua ber-Blackberry ria. Lebih parah lagi, sang ibu membuka laptopnya dan mengakses internet. Walaupun misa belum dimulai, apakah pantas mengaktifkan peralatan itu di dalam gereja? ….dst”
2. Kejadian kedua tepat 1 minggu berikutnya di paroki yang sama. Saat itu perayaan sudah dimulai (kalau tidak salah pas lagu Kemuliaan), masuklah 1 keluarga (?) (5 orang terdiri 1 ibu dan 2 pasangan dewasa) dengan tergesa-gesa. Cukup menyita perhatian karena agak berisik dan langsung maju ke baris kursi depan (tepat 3 baris di depan saya). Sementara misa terus berlangsung si ibu tampak selalu tengak-tengok ke belakang, Dugaan saya dia sedang mencari-cari seseorang. Benar saja, beberapa menit kemudian muncul laki-laki (suaminya?) yang kemudian ikut bergabung di sebelahnya (datang lebih lambat barangkali baru saja susah payah mencari tempat untuk parkir mobil). Selama misa berlangsung saya cukup terganggu dengan seringnya mereka membuka-buka tas (bunyi resleting yang cukup berisik). Nah yang parah adalah ketika misa akan berakhir (sehabis komuni), tepatnya saat pengumuman dibacakan. Samar-samar terdengar bunyi yang tidak asing lagi, mirip bungkus permen yang sedang dibuka. Duh Gusti, semoga dugaan saya keliru, toh di sebelah situ tidak ada ayah/ibu dengan anak kecil rewel sampai harus diberi permen. Apa yang terjadi? Memang tidak ada anak kecil, yang ada adalah justru mereka-mereka yang sudah berumur ini (6 orang tadi) sedang sibuk saling membagikan perrmen, mengupas bungkusnya yg menimbulkan bunyi berisik dan memasukkan ke mulut dengan santainya. O, my God. Sejenak saya agak tertegun. Kalau anak balita mungkin bisa “dimaklumi”, tapi yang ini…?? Sempat saya lihat beberapa umat yang duduk disamping mereka tampak agak jengah. Yah, semoga pada misa hari raya Pentakosta ini Roh Kudus turun atas mereka.
Dengan melihat beberapa kasus semacam ini kadang-kadang terlintas pertanyaan di benak saya. Apa ada yang salah dengan proses katekumen? Apa saja materi yang diajarkan saat itu? Atau mungkin mereka sering bolos saat sekolah minggu atau sekedar legalitas saja? Saya sering membandingkan umat Katolik sekarang ini dengan saat saya masih kecil dulu. Ketika itu belum ada ponsel tentunya, tetapi umat dalam mengikuti Ekaristi Kudus sangatlah kusyuk dan tidak banyak yang aneh-aneh seperti sekarang ini. Kalau bukan kita -umat Katolik sendiri- yang menghargai/ menghormati ekaristi kudus, terus siapa lagi?
Jadi ingat dengan ayat ini:
“Lalu Yesus masuk ke Bait Allah dan mengusir semua orang yang berjual beli di halaman Bait Allah. Ia membalikkan meja-meja penukar uang dan bangku-bangku pedagang merpati dan berkata kepada mereka: “Ada tertulis: Rumah-Ku akan disebut rumah doa. Tetapi kamu menjadikannya sarang penyamun.” (Mat 21:12-13)
Sangat ironis kalau para penyamunnya malah kita-kita sendiri.
Berkah Dalem
Shalom Ryan09,
Terima kasih atas masukannya. Memang apa yang anda ceritakan tentang sikap dari orang-orang di gereja, yang masih menggunakan HP, BB, dan juga makan permen, sungguh sangat memprihatinkan. Diperlukan usaha yang sungguh-sungguh untuk mengubah keadaan ini, baik dalam proses pendidikan katekese sebelum dibaptis, maupun katekese umat setelah dibaptis. Diperlukan juga homili dari pastor yang menekankan bahwa Ekaristi adalah sumber dan puncak kehidupan Kristiani. Namun, solusi ini adalah solusi jangka panjang, yang tidak langsung mengubah perilaku umat. Diharapkan dengan katekese yang berkelanjutan, maka umat juga mempunyai pengetahuan dan kecintaan yang besar kepada Sakramen Ekaristi, yang berarti umat dapat berpartisipasi secara sadar dan aktif dalam setiap perayaan Ekaristi. Kalau memang penggunaan HP dan BB menjadi semakin parah dan benar-benar mengganggu jalannya liturgi, mungkin perlu dipikirkan solusi jangka pendek dan sementara, seperti: pemasangan jammer HP, yang memaksa semua HP tidak berjalan di dalam Gereja. Kembali perlu ditekankan, bahwa solusi ini hanya merupakan solusi jangka pendek dan sementara, serta harus disosialisasikan dengan benar. Setelah umat sadar akan pentingnya suasana yang baik di dalam Gereja, maka jammer HP tidak perlu lagi digunakan. Solusi ini mungkin dapat menimbulkan pro dan kontra, dan tentu saja perlu persetujuan pastor dan dewan paroki di masing-masing paroki. Ada pemikiran lain?
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Salam Bu Ingrid dan Pak Stef,
Tentang pemasangan jammer HP kalau saya tidak keliru dahulu pernah dilakukan tetapi sekarang tidak lagi. Mungkin ada pro/kontra juga sehingga dilepas atau seperti yg dikatakan oleh Pak Stef bahwa itu dilakukan untuk jangka pendek saja sebagai pembelajaran. Cuma setelah dilepas, lambat laun kok kembali tidak tertib lagi. Barangkali memang butuh proses tidak sebentar ya? Memang pemasangan alat semacam ini tidak ideal sih menurut saya, ibarat pengguna jalan raya yg ugal-ugalan tidak mau mematuhi rambu2 jalan . Solusi terakhir ya “dipaksa” dengan memasang polisi tidur.
Yang dilakukan gereja saat ini adalah selalu mengumumkan sebelum misa dimulai. Ini sebenarnya efektif kalau umat tidak keras kepala atau datang terlambat. Dahulu pernah dibuat leaflet yang ditempel di tiang-tiang di dalam gereja dan pintu masuk. Cuma sekarang dilepas mungkin karena membuat tampak kotor/kumuh. Alternatif lain yang tampaknya belum dilakukan adalah menuliskan di Warta Paroki.
Berkah Dalem
Shalom Ryan,
Upaya dapat dilakukan dengan pengumuman sebelum misa, warta paroki, dll. Namun, kalau umat belum sadar juga dapat digunakan jammer HP. Kalau sudah terbiasa tanpa HP dan umat sudah mulai menyadarinya, maka jammer hp-nya dapat dilepas lagi. Dan siklus ini dapat dilakukan beberapa kali. Selama umat sadar dan dapat diatur, maka tidak perlu digunakan jammer hp.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Pak Stef yang baik… Salam dalam Kristus
Mengapa menjadi Katolik kok susah ya.. khususnya bagi orang yang tidak terpelajar (illiterate)… di daerah asal istri saya (kepulauan) masih banyak orang dewasa yang buta huruf dan kebanyakan dari suku tionghoa yang totok sehingga bicara bahasa indonesia saja sepotong2 campur bahasa melayu lagi.. (herankan… hare gini masih ada yang buta huruf? tapi ini fakta lho), tetapi bukan berarti gereja tidak dapat bertumbuh di antara mereka, banyak sekali gereja (tentunya non Katolik) disana…
setelah saya selidiki … memang untuk urusan “menjaring jiwa” saya harus angkat 2 jempol kepada saudara kita dari Kristen non Katolik, mereka begitu agresif dalam pewartaan bagi semua orang termasuk yang tak terpelajar.. dan begitu mereka menyatakan mantap menjadi Kristen, maka langsung diBaptis selam… jadilah mereka seorang Kristen…
Coba bandingkan dengan menjadi Katolik… harus mengikuti katekumen dulu selama lebih kurang 1 tahun
harus menghafal doa2 wajib, menghayati hukum gereja, mengerti tata cara perayaan Ekaristi yang mungkin bagi mereka sangat rumit dan melelahkan (bagaimana tidak baca saja susah…)sehingga akibatnya gereja Katolik “tidak populer” diantara mereka, atau… apakah gereja Katolik hanya untuk mereka yang pernah mengecap bangku sekolah dan secara eksklusif berdiri di kota-kota besar saja… mohon tanggapannya terima kasih
Shalom Bapak Tormento yang dikasihi Tuhan,
Pertanyaan telah dijawab di atas: silakan klik.
salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
Salam Bu Ingrid dan Pak Stef, Saya nimbrung pertanyaan Pak Tormento.
Saya punya banyak tetangga Protestan, dari berbagai denominasi. Di kampung kami ada beberapa gereja Protestan berbagai denominasi. Anehnya, mereka cerita, tiap ada “baptisan baru”, sebenarnya hanyalah warga yang “pindah gereja’ dari aliran lain. Maka, sebenarnya tak ada penambahan jumlah orang Kristen Protestan walaupun rajin membaptis. Sudah dibaptis di satu gereja, namun jika mau masuk anggota gereja lain, karena tidak suka pada gereja asalnya, maka harus dibaptis lagi di gereja yg baru. Saya pernah pula diajak berkunjung ke penjara oleh pastor. Pastor mengadakan pengakuan dosa dan misa untuk yang Katolik. Anehnya banyak narapidana Katolik maupun Protestan mengatakan bahwa tiap kali ada pendeta datang selalu dibaptis lagi secara selam, pakai gentong besar. Pendeta yang datang berganti-ganti dari berbagai denominasi. Maka, mereka lebih suka jika pastor yang datang, karena tidak akan basah kuyub. Cerita Pak Tormento benar bahwa orang Protestan rajin membaptis, namun menurut pengalaman saya, praktek semacam itu tidak bijaksana. Pak Stef/Bu Ingrid, bagaimanakah paham Gereja Katolik tentang baptisan yang berulang-ulang ini? Apakah baptisan yang paling update menghapuskan baptisan sebelumnya? Jika baptisan sebelumnya sudah absah, mengapa orang Protestan yang datang ke penjara itu tidak mengakui baptisan sebelumnya itu? Terima kasih atas jawabannya, terima kasih pula mau direpotkan oleh kami-kami yang haus kebenaran iman Katolik ini. Bagaimana cara seorang yang sudah dibaptis Protestan untuk jadi Katolik, apakah harus baptis lagi? Saya doakan Pak Stef dan Bu Ingrid sehat selalu dan web ini berjalan dengan baik.
Shaloom.
Isa Inigo
Shalom Isa,
Terimakasih atas tanggapan dan pertanyaannya. Mari kita membahasnya.
Hanya ada satu Tuhan, Satu Iman, Satu Baptisan
1) Gereja Katolik melihat gereja-gereja non Katolik sebagai saudara dalam Kristus, namun tidak dalam kesatuan penuh dengan Gereja Katolik (Lumen Gentium 15). Kalau diperhatikan, seseorang yang pindah dari gereja Kristen denominasi ke Gereja Katolik, maka Gereja Katolik tidak mengulangi pembaptisan jika dilakukan di dalam nama Bapa, Putera dan Roh Kudus dan mempunyai intensi yang sama dengan Gereja Katolik (lih. Kan 869 – § 2) Sebagai contoh, baptisan yang dilakukan oleh Saksi Yehowah harus diulang kembali, karena walaupun mereka membaptis dalam nama Tritunggal Maha Kudus, namun mereka tidak mempunyai pengertian yang sama tentang Yesus, sebagai Pribadi Kedua dari Trinitas.
Sakramen Baptis, Penguatan dan Tahbisan suci adalah memberikan materai (character), sehingga tidak dapat diulang (lih. Kan. 845 – § 1).
2) Geraja Katolik mengikuti apa yang dikatakan oleh Rasul Paulus di Efesus 4:5, yang mengatakan "satu Tuhan, satu iman, satu baptisan." Di sini, saya hanya mau menunjukkan bahwa Gereja Katolik menjalankan apa yang diperintahkan oleh Kristus berdasarkan Firman Allah dan secara tidak langsung menunjukkan bahwa ini adalah suatu sikap yang terbuka dari Gereja Katolik untuk mengakui pembaptisan yang dilakukan oleh gereja lain, asal sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Yesus (lih. Mat 28:19). Karena memang, hubungan antara Gereja Katolik dan gereja-gereja non Katolik adalah diikat oleh Sakramen Baptis yang satu. Namun sebaliknya, ada beberapa gereja tidak mengakui pembaptisan yang dilakukan oleh Gereja Katolik, dengan alasan bahwa Baptisan yang dilakukan oleh Gereja Katolik tidak sah, sehingga perlu dibaptis ulang. Ada yang mengatakan bahwa Baptisan dari Gereja Katolik tidak sah, karena tidak dibaptis dengan cara baptisan selam. Yang lebih ektrim lagi mengatakan bahwa Gereja Katolik bukanlah Kristen, sehingga baptisan yang dilakukan tidak sah.
Mari kita bersama-sama mensyukuri rahmat Sakramen Baptis yang kita terima, yang memungkinkan kita menjadi anak-anak Allah di dalam Kristus. Terimakasih juga atas dukungan Isa terhadap website ini. Kami bersyukur kalau website ini dapat menjadi alat Tuhan, sehingga akan semakin banyak lagi orang yang mengasihi Kristus dan Gereja-Nya, Gereja Katolik.
Salam kasih dari https://katolisitas.org
stef
Comments are closed.