Supaya kita sungguh –sungguh merdeka, Kristus telah memerdekakan kita. Karena itu berdirilah teguh dan jangan mau lagi dikenakan kuk perhambaan. (Galatia 5:1)

Manakah yang lebih enak, memiliki segala yang dibutuhkan dan bisa memperoleh semua yang diinginkan, atau mengalami keterbatasan dalam banyak hal sehingga merasakan pengalaman tidak mempunyai hal-hal yang didambakan dan tak berdaya mencegah kehilangan hal-hal yang dibutuhkan? Tentu saya kesulitan untuk menetapkan jawaban pada pilihan yang kedua. Bila pertanyaannya mana yang enak, pastilah saya memilih yang pertama. Tetapi dalam karunia Tuhan yang bernama hidup ini, ternyata ada hal-hal lain untuk diraih yang bukan hanya mengenai enak dan tidak enak. Dan hal-hal lain itu sebenarnya justru hal-hal yang paling penting di dalam kehidupan ini dan sesudahnya.

Di dalam masa puasa dan pantang seperti saat ini, ketika saya sedang menahan lapar dan membatasi berbagai keinginan hati saya untuk memuaskan kesenangan diri dan ego pribadi, saya digoda oleh beberapa pertanyaan yang mengusik. Misalnya, bukankah Tuhan sudah menciptakan berbagai kebaikan dalam makanan dan minuman, indra pencecap untuk menikmatinya, serta mengijinkan terbentuknya berbagai benda dan fasilitas yang indah untuk membuat hidup menjadi indah dan nikmat seperti yang Dia maksudkan bagi umat ciptaan-Nya? Mengapa harus menarik diri dari semua itu, apa manfaatnya?

Pada suatu hari saya membaca terjadinya peristiwa unik di sebuah desa di Spanyol yang bernama Sodeto. Di bulan Desember tahun lalu, seluruh penduduk desa itu memenangkan lotre dengan hadiah senilai hampir Rp 8,5 triliun, sehingga masing-masing penduduk mendapatkan Rp 1,1 miliar. Lotre memang sesuatu yang umum di banyak negara di Eropa, dan cukup populer di banyak kalangan di masyarakat. Di tengah sukacita seluruh desa, hanya satu orang yang bersedih, karena kebetulan saat itu ia tidak ikut membeli karcis lotre. Tetapi sukacita itu tidak berlangsung lama. Karena semua orang sudah kaya, maka tidak ada lagi yang mengusahakan tersedianya barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hendak ke toko membeli susu, pemilik toko menutup tokonya, merasa tidak perlu berjualan lagi karena sudah kaya. Hendak ke salon juga salonnya tutup semua. Keadaan serba berpunya dan merasa serba terpenuhi membuat saling melayani antar sesama tidak terjadi lagi.

Ketika Yesus Kristus Tuhan kita dengan sukarela menyerahkan segala kekuasaan yang ada pada diri-Nya sebagai Allah untuk mengalami ketidakberdayaan manusia ciptaan dalam berhadapan dengan dosa dan penderitaan, Tuhan mengajarkan kita untuk menggunakan kehendak bebas kita untuk tujuan yang tepat. Kalau mau, tentu Tuhan sangat leluasa untuk memilih jalan yang lebih mudah dan lebih enak untuk menebus dosa manusia. Tetapi justru keputusan-Nya secara bebas adalah untuk masuk dalam penderitaan manusia dengan segenap kehinaan dan pengosongan diri yang total. Tidak hanya sama dengan manusia, bahkan lebih rendah lagi, penuh nista dan kesengsaraan.

Memilih dengan bebas dan sadar untuk menahan diri terhadap segala kebiasaan yang berdosa dan membatasi untuk menyenangkan diri sendiri memberi saya kesempatan untuk mengenali diri sendiri. Pengekangan diri adalah awal dari benih-benih ketaatan kepada Sang Pencipta, karena kita dengan sukarela menyerahkan kesempatan untuk memanjakan diri menjadi sarana untuk memurnikan diri kita. Pada saat keadaan kita lapar, terbatas, dan tidak berpunya, hati kita diarahkan kepada kebutuhan kita yang sesungguhnya akan kasih setia Tuhan. Berbagai gelimang kesuksesan dan kemudahan hidup sering mengaburkan kerinduan jiwa kita yang sebenarnya untuk bersama dengan Tuhan. Kekayaan, kehormatan dan kecukupan hidup yang terlalu diagungkan dapat mengurangi kepekaan kita terhadap penderitaan sesama. Orang kaya dalam perumpamaan yang dikisahkan Yesus bukan dihukum karena kekayaannya, namun karena ia begitu tenggelam di dalamnya dan membiarkan kekayaannya itu membutakan mata hatinya terhadap penderitaan Lazarus yang terjadi di depan pintu rumahnya. Di saat berbagai keinginan dan ego diredam, kepekaan saya kepada keadaan sesama di sekitarku dipertajam. Merasakan penderitaan dan kekurangan adalah jalan masuk kepada kepedulian dan belas kasihan yang murni. Di dalam solidaritas saya kepada yang lemah, saya menjadi mudah bersyukur atas hal-hal yang kecil dan membuat saya lebih mudah untuk merasa bahagia. Dalam menahan diri untuk tidak menonjolkan diri, kerendahan hatiku diasah, dan kesombonganku ditundukkan, kehausanku akan pengakuan dan citra diri diubahkan menjadi kehausan akan cinta Tuhan. Akhirnya, sama ketika kita datang ke dalam hidup ini dengan tidak membawa apa-apa dan menyandang apa-apa kecuali kasih Tuhan yang menciptakan kita, kelak kita akan kembali kepada Tuhan dengan tidak membawa apa-apa pun juga kecuali bergantung sepenuhnya kepada kemurahan kasih dan kerahiman-Nya.

Tuhan membutuhkan kesediaan kita dan penyerahan kehendak bebas kita supaya rahmat-Nya dapat bekerja. Tuhan tidak pernah memaksa kita, tetapi kita tahu apa yang kita hadapi bila kita memilih untuk tidak bersama Tuhan. Bila kita belajar untuk taat dan merendahkan diri di hadapan Tuhan, damai sejahtera dan sukacita akan menyelimuti kita, sukacita yang tidak sama dan tidak dapat diberikan oleh dunia ini, yang serba sementara dan menuju kepada kesudahannya. Masa Prapaska adalah masa penyadaran kembali tujuan hidup kita yang sebenarnya. Bersama Kristus yang dengan rela menyerahkan seluruh hidup-Nya supaya Ia dapat menyertai kita hingga selamat sampai ke rumah Bapa, marilah kita memilih dengan bebas untuk mengosongkan diri dan membiarkan diri kita dialiri sepenuhnya dengan kuasa kasih dan damai-Nya yang memberi hidup.

Dan apabila Aku telah pergi ke situ dan telah menyediakan tempat bagimu, Aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempat-Ku, supaya di tempat di mana Aku berada, kamupun berada. (Yoh 14:3). Tuhan senantiasa rindu untuk bersama kita setiap saat, baik di dalam kehidupan sekarang di dunia ini, maupun (dan apalagi) di dalam kekekalan nanti. Kita hanya perlu mengatakan “ya” dengan taat dan memutuskan untuk memilih menggunakan kehendak bebas kita demi teladan cinta-Nya. (Triastuti)