Prinsip dasar Perkawinan

Allah sendiri menetapkan perkawinan dan meneguhkannya dengan hukum-hukum-Nya (bdk. Kej. 1: 27-28; 2; 18-24). Tugas Gereja adalah menjaga lembaga perkawinan itu dan mempertahankan hukum-hukum perkawinan baik yang bersifat kodrati, ilahi maupun yang positif. Gereja tidak bisa mengubah ketetapan itu tetapi dia bisa mencapai suatu pemahaman yang lebih lengkap akan hukum-hukum itu. Selain bermaksud untuk mencegah perkawinan yang tidak sesuai dengan hukum Gereja. Prinsip dasar perkawinan dapat dilihat dalam isi kanon 1055, KHK 1983:

§1: Perjanjian (foedus) perkawinan dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah kepada kesejahteraan suami-isteri (bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen,

§2: Karena itu antara orang-orang yang dibaptis tidak dapat ada kontrak perkawinan sah yang tidak dengan sendirinya sakramen.

Perkawinan ditetapkan sebagai suatu kebersamaan seluruh hidup (communio totius vitae), yang dibangun antara seorang pria dan seorang wanita, yang karena kodratnya diarahkan pada kebahagiaan dari pasangan itu sendiri dan pada kelahiran dan pendidikan anak. Persatuan antara seorang laki-laki dan perempuan itulah yang menjadikan suatu perkawinan sehingga memenuhi syarat sebagai prinsip dasarnya.

Kebersamaan itu mengandung pemberian diri dari pasangan yang bersangkutan, yang mengandaikan adanya saling menerima dan memberi antara satu dengan yang lain, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Namun kebersamaan itu tidak bisa ditetapkan secara mutlak sebab kebersamaan itu bisa digambarkan sebagai hubungan antara suami-isteri yang menurut penilaian umum suatu budaya tempat pasangan itu hidup dan dihayati secara manusiawi.

Allah memberikan pada persatuan ini tidak hanya strukturnya yang tidak bisa diubah, tetapi juga fungsi persisnya. Dia melengkapi persatuan itu dengan kebaikan dan tujuannya sendiri. Kebaikannya terletak dalam nilai-nilai yang membuat suatu hidup perkawinan itu layak dipilih. Tujuannya adalah tanggungjawab yang harus dipenuhi. Kebaikan (bonum) bagi pasangan bertepatan dengan dan dapat dirangkum dalam dua hal yakni kebahagiaan pasangan itu dan kebahagiaan

Persatuan hati

Persatuan hati atas dasar cinta suami-isteri merupakan core (inti/nucleus) dari perkawinan, bisa dikatakan sebagai kekuatan rohani untuk saling belajar memahami, memberi dan menerima, mendukung dan memberi perhatian, saling mengampuni dan membantu pasangan mencapai kepenuhan manusiawi. Persatuan hati dari pasangan membentuk persekutuan seluruh hidup, baik secara fisik (physical intimacy) maupun emosi (emotional intimacy) dan bahkan spiritual (spiritual intimacy). Hidup perkawinan menjadi utuh jika 3 dimensi tersebut dihayati dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari pasangan suami istri. Persatuan hati itu nyata dalam hal dialog, persatuan fisik dan dalam doa bersama dengan pasangannya, termasuk dengan anak-anak mereka.

Perkawinan in fieri dan in facto esse

Perkawinan in fieri adalah jalan masuk ke dalam status menikah melalui perjanjian perkawinan. Inti dari perkawinan in fieri adalah kesepakatan nikah. Sedangkan perkawinan in facto esse adalah status perkawinan itu sendiri. Perkawinan in facto esse intinya adalah hubungan (relasi) suami isteri yang menjadi sumber hak dan kewajiban mereka.

Kanon 1055, §1, menegaskan kembali ajaran Gereja yang dipandang sebagai salah satu butir iman Katolik, bahwa perjanjian perkawinan dari dua orang yang dibaptis telah diangkat oleh Kristus ke martabat sakramen. Hal itu berarti bahwa, Kristus sendiri telah menentukan bahwa perjanjian perkawinan dari dua orang kristen tak hanya harus dihidupi menurut pola persatuan Kristus sendiri dengan Gereja-Nya yang setia tak terputuskan dan tanpa syarat, tetapi juga harus menjadi gambaran dari hubungan itu. Pasangan suami isteri tersebut berada dalam keadaan siap berpartisipasi dengan cara baru dalam aliran rahmat yang menghidupkan hubungan itu dan mengarahkan mereka untuk menemukan persatuan dengan Tuhan dalam perkawinan mereka.

Ketika mereka menyatakan kesepakatan nikah (matrimonium in fieri) mereka merupakan simbol kemiripan baru dengan Kristus. Mereka saling memberikan diri dan menerima untuk hidup sebagai suami isteri. Mereka menjadi model konkrit hubungan Kristus dengan Gereja-Nya. Hubungan suami isteri yang nyata dalam hidup sehari-hari (matrimonium in facto esse) menandakan sakramentalitas perkawinan yang menjadi tindakan kultis dan menyelamatkan dari Kristus. Suami isteri menerima rahmat dari Kristus bukan karena iman penerima sakramen melainkan karena keunggulan kuasa ilahi yang diberikan Kristus dalam ibadat perayaan imam (ex opere operato). Sakramen perkawinan yang diterima itu bukan otomatis menerima rahmat. Perlu juga kehendak untuk menerimanya, untuk mendatangkan buah berlimpah. Maka kehidupan perkawinan kristiani yang diangkat ke martabat sakramen adalah jalan pengudusan untuk suami isteri dan anak-anak mereka.

Namun sebaliknya jika salah satu pasangan nikah dapatkah menjadi sakramen jika terjadi salah satu yang dibaptis itu tidak mempunyai iman? Maka seruan apostolik Familiaris Consortio, no. 68, dari Paus Yohanes Paulus II dapat menjawab persoalan itu. Inilah pegangan pastoral kita: sakramen perkawinan memiliki unsur khas yang membedakan dari sakramen lainnya yakni sakramen yang tercakup dalam tata penciptaan sendiri. Perjanjian nikah sendiri yang diadakan oleh sang Pencipta “pada awal mula”. Maka dari itu keputusan seorang laki-laki atau perempuan untuk menikah sesuai dengan rencana ilahi. Dengan kata lain, keputusan kedua mempelai melalui persetujuan nikah tidak dapat ditarik kembali. Mereka mempertaruhkan seluruh hidup dalam cinta kasih yang tidak terpisahkan serta kesetiaan tanpa syarat. Akan tetapi jika segala usaha pasangan-pasangan tunangan menunjukkan bahwa secara eksplisit dan formal menolak apa yang dimaksudkan oleh Gereja, gembala jiwa tidak dapat menerima mereka untuk merayakan pernikahan. Oleh karena itu, syarat iman menjadi penting karena menjadi arah perjalanan pasangan suami-isteri sesuai dengan ketulusan intensi mereka. Sudah pasti rahmat Kristus akan mendukung dan menopang kehidupan mereka.

68 COMMENTS

  1. Ibu Ingrid.
    Shalom..sekali lagi saya ingin menanyakan sumber kuasa bagi pasangan yang berkawin dalam gereja katolik untuk mendpatkan surat nikah gereja ?

    • Shalom Adrain,
      Mohon maaf saya kurang paham atas pertanyaan Anda. Sebab menurut saya adalah sesuatu yang wajar, jika pasangan sudah menikah secara sah di gereja Katolik (menurut ketentuan hukum Gereja Katolik), maka otomatis paroki yang bersangkutan akan mengeluarkan surat Perkawinan, yang menyebutkan tanggal perkawinan, nama pasangan, nama imam, nama para saksi, dan ditandatangani oleh imam yang bersangkutan. Silakan Anda menanyakan hal ini kepada imam/ pastor paroki Anda.

      Mohon Anda perjelas apakah maksud Anda dengan istilah “sumber kuasa”? Sebab jika segala persyaratan sudah dipenuhi, maka tidak ada yang menghalangi pasangan itu untuk memperoleh surat perkawinan mereka.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  2. 1.) Saya seorang pria, 40 tahun dan sudah menjadi Katolik sejak saya bayi. Pada usia 38 tahun saya menikah dengan wanita pilihan saya sendiri. Akan tetapi, saya menikahi wanita yang berasal dari Gereja di luar Katolik. Dan saya menikah di Gereja itu. Walau bukan di Gereja Katolik, pernikahan saya dilakukan oleh Romo, sekaligus oleh Pendeta Gereja itu.
    Yang menjadi pertanyaan saya, apakah saya sudah termasuk menerima “Sakramen Pernikahan?”, mengingat saya tidak menikah di Gereja Katolik, tapi saya tetap dilayani oleh Romo dan Pendeta.
    Mohon bimbingannya ?

    2.) Setelah pernikahan berjalan 6 tahun, saya baru menyadari, ternyata akta nikah yang dikeluarkan oleh Gereja itu, ada terdapat kesalahan di bagian JANJI SUAMI (kata kata yang diketik di JANJI ISTRI, di “Copy-Paste” dan tidak diperiksa lagi, dijadikan JANJI SUAMI.
    Sudah 3 minggu yang lalu sejak hari ini, saya menginformasikan tentang kesalahan ini, tapi hingga sekarang belum ada jawaban dari pihak GEREJA. Apa yang harus saya lakukan ? Apakah saya harus menuntut GEREJa itu atau Bagaimana ?

    Tolong saya yang sedang bingung ini.
    Terima kasih.

    • Ponsianus Yth,

      Pernikahan Anda yang diteguhkan di luar Gereja Katolik harus mendapat dispensasi dari Uskup, selain itu perlu izin menikah karena pada prinsipnya seorang yang Katolik dilarang menikah dengan orang yang non- Katolik/ berbeda gereja dengannya (perkawinan campur). Nah apakah saat itu sudah dilakukan ke dua hal ini? Silakan ditanyakan ke pastor yang mendampingi pendeta ketika perkawinan Anda diteguhkan oleh pendeta di Gereja Protestan.

      Prinsipnya, perkawinan tetap eksis dan berjalan dengan sah, selama belum ada bukti yang menggagalkan keabsahan perkawinan itu. Oleh karena itu jangan cemas dan bingung. Demikian pula soal dokumen yang keliru tersebut, tidak mengubah keabsahan perkawinan Anda jika semua terpenuhi sesuai norma kanonik, dalam hal ini, jika Anda telah menerima dari pihak Keuskupan dispensasi dari forma kanonik dan izin menikah beda gereja tersebut.

      Oleh karena itu, cobalah tanyakan kepada pastor yang mendampingi atau pastor paroki di mana anda mengaplikasikan permohonan peneguhan perkawinan pada saat dilakukan penyelidikan kanonik. Paroki mana? Tanyakanlah apakah ada arsip surat dispensasi dan izin saat Anda menikah di Gereja Protestan. Jika surat tersebut ada, maka perkawinan Anda sah secara hukum kanonik Gereja Katolik, tetapi jika surat tersebut tidak ada, maka silakan Anda melakukan konvalidasi biasa perkawinan dengan memperbaharui janji perkawinan di hadapan pastor paroki Anda sekarang. Dengan kata lain, jika halangan dan larangan tadi memang terjadi pada perkawinan Anda (ternyata Anda belum memperoleh dispensasi dan izin dari Keuskupan, padahal Anda menikah dengan istri yang non- Katolik) maka Anda perlu mengurus konvalidasi perkawinan. Namun konvalidasi ini tidak diperlukan, jika sekarang istri Anda sudah Katolik, dan Anda dahulu telah memperoleh dispensasi dan izin dari Keuskupan.

      Intinya kalau tidak ada dispensasi perkawinan dari Keuskupan, diperlukan konvalidasi biasa dengan syarat halangan dan larangan dibereskan. Tanpa itu konvalidasi tidak bisa berjalan. Jika kedua pihak sudah Katolik, tentu tidak perlu lagi tapi kiranya demi kenyamanan dan kepuasan batin konvalidasi dapat dilakukan dengan pembaruan perkawinan. Banyak pasutri melakukan ini meskipun sudah dibaptis pasangan yang non-katolik. Sebaiknya ketika mau dibaptis langsung diadakan konvalidasi.

      Harap memahami, kedua unsur penting normatif yuridis dan pastoral praktis demi kebahagiaan umat.

      Saya yakin pastor paroki Anda tahu baik tentang hal-hal yang saya katakan jadi tak perlu cemas. Bila ada kesulitan tanyakan lagi kepada saya.

      salam
      Rm Wanta

  3. syalom katolisitas,,

    sehubungan dengan kasus pernikahan dalam agama katolik, saya mohon tim katolisitas dapat memberikan solusi atas beberapa kasus dibawah ini :

    1. si A(pria) katolik menikah dengan C yang juga katolik dengan pernikahan katolik. entah dengan alasan apa si C (istri A) meninggalkan A dan menikah dengan Z tetangganya yang non-katolik dengan cara non-katolik (ikut suami baru)hingga kini….

    si A kini sendiri…

    2. Si B (wanita) katolik menikah dengan D (non katolik)dengan cara non-katolik. si B dan D bercerai lalu B menikah dengan E non-katolik dengan cara katolik, dan romo men-sahkan pernikahannya….sehingga si E menjadi katolik.
    si E yang sudah katolik ini meninggalkan si B dan menikah lagi dengan F non-katolik…

    si B kini sendiri dan ingin menikah dengan dengan A(kasus no-1) dengan cara katolik, tetapi tidak diizinkan romo….

    pertanyaan :

    1. bagaimana solusi untuk si A terhadap istrinya yang meninggalkan dia? karena tampaknya dia tidak akan bisa menikah lagi, kecuali si C mati… kasihan….

    2. bagaimana solusi untuk B supaya bisa menikah dengan A?

    3. apakah yang dilakukan oleh romo dalam pernikahan kedua B (dengan E) adalah benar secara agama?

    4. apakah romo (dan gereja) tidak memiliki wewenang (secara hukum agama) untuk memperkarakan si C ? karena rupanya sanksi hanya diberikan kepada yang masih katolik…

    5.(pertanyaan pribadi) apakah gereja tidak kasihan dengan A yang ditinggalkan istrinya dan harus menunggu istrinya mati?

    maaf jika pertanyaan terlalu banyak, sebab kasus ini memang benar-benar terjadi tanpa solusi dari gereja…. dan saya berharap tim katolisitas dapat memberikan solusi bukan sekedar mengatakan boleh dan tidak…..

    terimakasih,,

    • Shalom Xeliz,

      Pertama- tama mohon dipahami bahwa izin pembatalan perkawinan diberikan atas pemeriksaan kasus per kasus, dan harus dibuktikan terlebih dahulu bahwa memang terdapat dasar- dasar yang menunjukkan bahwa perkawinan tersebut memang tidak sah sejak semula. Tanpa adanya dasar ini, dan tanpa adanya para saksi dan bukti- bukti yang menunjukkan ketidaksah-an perkawinan tersebut, maka Tribunal Kekuskupan tidak dapat memberikan izin pembatalan perkawinan.

      Kedua, perlu diketahui bahwa Katolisitas bukan Tribunal perkawinan, jadi kami tidak dapat memberi keputusan apakah perkawinan tersebut dapat dibatalkan atau tidak, apalagi memberikan solusi pada perkawinan bermasalah tersebut. Yang berhak memberikan izin pembatalan adalah pihak Tribunal Keuskupan dan yang dapat mengusahakan jalan keluar/ solusi adalah masing-masing pihak yang terkait, tentu setelah meninjau permasalahan mereka menurut perintah Tuhan dan hukum Gereja.

      1. Keterangan yang Anda berikan tidak lengkap, sehingga tidak diketahui dalam perkawinan antara A dan C, adakah halangan/ cacat yang perkawinan? Silakan membaca di sini untuk melihat hal-hal apakah yang membatalkan perkawinan menurut hukum Gereja Katolik, silakan klik.

      Silakan ditanyakan kepada yang bersangkutan (dalam hal ini, A) apakah ada halangan/ cacat dalam perkawinannya tersebut? Jika ada, silakan menulis surat permohonan pembatalan perkawinan ke Tribunal Keuskupan tempat di mana perkawinan diteguhkan. Jika tidak ada halangan/ cacat, maka sesungguhnya perkawinan tidak dapat dibatalkan.

      2. Keterangan Anda juga tidak lengkap. Fakta bahwa B dapat menikah dengan E di Gereja Katolik, kemungkinan karena B tidak mengatakan sebelumnya kepada romo bahwa ia sudah pernah menikah sebelumnya dengan D. Sebab jika B memberitahukan kepada Romo bahwa ia sudah pernah menikah, maka pihak Gereja Katolik tidak dengan begitu saja mau memberkati perkawinannya dengan E. B harus meminta izin pemutusan ikatan perkawinan kepada pihak keuskupan, atas dasar perkawinannya tidak sah, karena cacat kanonik, karena tidak dilakukan menurut hukum Gereja Katolik (tidak secara Katolik di hadapan imam dan 2 orang saksi). Jika izin ini sudah diberikan oleh Keuskupan, dan baru kemudian perkawinan diberkati, maka sesungguhnya perkawinannya dengan E adalah perkawinan yang sah menurut hukum Gereja Katolik.

      3. Nah, kalau perkawinan B dan E itu sudah sah, maka tidak dapat dibatalkan. Maka tidak heran, kalau Romo tidak mengizinkan B menikah dengan A, karena status perkawinan mereka; atau dengan kata lain, di hadapan Allah, keduanya masih terikat dengan pasangan masing- masing dalam perkawinan mereka yang terdahulu (A dengan C, dan B dengan E).

      Maka:

      1. Kalau tidak ada halangan/ cacat perkawinan A dengan C, maka perkawinan tersebut tetap sah di hadapan Tuhan, meskipun faktanya C telah meninggalkan A. 

      2. Jika kedua perkawinan (A dengan C dan B dengan E) keduanya sah, maka nampaknya, secara hukum kanonik, sesungguhnya A dan B tidak dapat menikah lagi.

      3. Jika sudah diperoleh surat izin pemutusan ikatan perkawinan sebelumnya dari Tribunal Keuskupan atas dasar cacat kanonik [karena perkawinan tersebut, walau melibatkan seorang yang Katolik namun dilakukan secara non Katolik], maka apa yang dilakukan Romo adalah benar.

      4. Romo ataupun Gereja Katolik tidak dapat menuntut ke pengadilan/ memperkarakan seseorang yang melakukan dosa. Jika Gereja diperbolehkan menuntut, semua dari kita itu akan dituntut, sebab semua dari kita berdosa di hadapan Allah. Maka Gereja tidak dapat menuntut C; walaupun demikian, nanti C akan diminta pertanggungjawabannya di hadapan Tuhan dalam Pengadilan Terakhir.

      5. Tentu Gereja berbelas kasihan dengan A, namun tidak berarti bahwa sebagai solusinya Gereja dapat menyetujui perbuatan yang tidak sesuai dengan ajaran iman Katolik yang menjunjung tinggi hakekat perkawinan, yang monogam dan setia sampai akhir.

      Paus Yohanes Paulus II dalam Surat Ekshortasi Apostolik-nya yang berjudul Familiaris Consortio (Peran Keluarga Kristiani dalam Dunia Modern), menyebutkan kasus orang-orang yang bercerai, demikian:

      “83. Sayangnya, bermacam alasan dapat mengarahkan kepada perpisahan yang tak tertanggulangi dari perkawinan-perkawinan yang sah. Ini termasuk saling salah paham dan ketidakmampuan untuk memasuki hubungan antar pribadi. Jelaslah, perpisahan harus dianggap menjadi jalan terakhir, setelah segala upaya yang masuk akal bagi rekonsiliasi telah terbukti sia-sia.

      Kesendirian dan kesulitan-kesulitan lainnya sering membebani pasangan-pasangan yang berpisah, terutama pihak yang tidak bersalah. Komunitas-komunitas gerejawi harus mendukung orang-orang semacam ini secara lebih lagi. Komunitas harus memberi mereka penghormatan, solidaritas, pengertian dan bantuan praktis, sehingga mereka dapat mempertahankan kesetiaan bahkan di dalam situasi yang sulit: dan komunitas harus membantu mereka untuk menumbuhkan kebutuhan untuk mengampuni yang melekat kepada kasih Kristiani, dan untuk menjadi siap, kemungkinan untuk kembali kepada kehidupan perkawinan mereka yang dulu.

      Situasi tersebut adalah serupa bagi orang-orang yang telah mengalami perceraian, tetapi karena sadar bahwa ikatan perkawinan yang sah tidak dapat diputuskan, tidak melibatkan diri di dalam persatuan yang baru dan mengarahkan hati mereka terutama untuk melaksanakan tugas-tugas keluarga dan tanggungjawab kehidupan Kristiani. Di dalam kasus-kasus ini, teladan hidup mereka tentang kesetiaan dan konsistensi Kristiani mencapai nilai yang khusus sebagai saksi di hadapan dunia dan Gereja. Di sini, bahwakan lebih lagi Gereja perlu memberikan kasih dan bantuan yang terus menerus, tanpa menjadi penghalang bagi penerimaan sakramen-sakramen.

      84. Sayangnya, kehidupan sehari-hari menunjukkan bahwa orang-orang yang bercerai umumnya berkeinginan untuk menjalin hubungan yang baru, yang tentunya tidak dapat disahkan secara Katolik. Karena hal yang salah/ ‘evil’ ini mempengaruhi orang-orang Katolik, maka masalah ini juga harus diberi jalan keluarnya. Sinode Uskup telah mempelajari hal ini. Gereja, yang didirikan untuk memimpin semua orang untuk mencapai keselamatan, terutama mereka yang telah dibaptis, tidak dapat mengabaikan mereka yang telah dibaptis namun yang telah menikah yang kedua kali. Maka, Gereja akan terus mengadakan usaha yang tidak mengenal lelah untuk menyediakan bagi mereka sarana untuk mencapai keselamatan.

      Para imam harus mengetahui bahwa, demi kebenaran, mereka harus dengan bijaksana menyikapi keadaan ini. Ada perbedaan antara mereka yang dengan tulus telah berusaha untuk menyelamatkan perkawinan yang pertama dan yang telah disingkirkan dengan tidak adil, dengan mereka yang oleh kesalahan mereka yang besar telah merusak sebuah perkawinan yang sah. Akhirnya, ada pula orang-orang yang menikah kedua kali demi membesarkan anak-anak, dan yang kadang-kadang di dalam hati nurani mereka yakin secara subyektif bahwa perkawinan mereka yang terdahulu dan yang tak terselamatkan itu bukan merupakan perkawinan yang sah.

      Bersama dengan Sinode para Uskup, saya menganjurkan pada para imam, dan seluruh komunitas umat beriman untuk membantu mereka yang telah bercerai, dan dengan perhatian yang sungguh untuk meyakinkan mereka bahwa mereka tidak terpisah dari Gereja, sebab sebagai orang-orang yang telah dibaptis, mereka dapat dan bahkan harus turut serta di dalam hidup Gereja. Mereka harus didorong untuk mendengarkan Sabda Tuhan, menghadiri Misa Kudus, bertekun di dalam doa, tergabung dalam kegiatan kasih dan usaha komunitas dalam hal menegakkan keadilan, dalam mendidik anak-anak di dalam iman Kristiani, menerapkan semangat dan pertobatan, dan dengan demikian hari demi hari memohon rahmat Tuhan. Biarlah Gereja mendoakan mereka, mendorong mereka, dan menjadi bagi mereka seperti seorang ibu yang berbelas kasih, yang menopang mereka dalam iman dan pengharapan.

      Walaupun demikian, Gereja menegaskan kembali praktek pelaksanaannya yang berdasarkan Kitab Suci, yaitu tidak memperbolehkan mereka yang telah bercerai dan menikah lagi untuk menerima Komuni Kudus. Mereka tidak dapat menerima Komuni, berdasarkan kondisi kehidupan mereka yang secara objektif bertentangan dengan kesatuan kasih antara Kristus dan Gereja-Nya yang ditandai dan diakibatkan oleh Ekaristi. Di samping itu, ada pula alasan pastoral lain: Jika orang-orang seperti ini diperbolehkan menerima Ekaristi, umat beriman yang lain dapat dipimpin pada kesalahan dan kebingungan mengenai hal ajaran Gereja tentang Perkawinan yang tak terceraikan.

      Sakramen Tobat, yang membuka jalan kepada Ekaristi, hanya dapat diberikan kepada mereka, yang menyesal telah menghancurkan tanda Perjanjian dan kesetiaan Kristus, dan secara tulus siap untuk menjalankan cara hidup yang tidak lagi bertentangan dengan prinsip perkawinan yang tak terceraikan. Hal ini, dalam pelaksanaannya, adalah, ketika untuk alasan yang serius, misalnya demi membesarkan anak-anak, seorang laki-laki dan seorang perempuan tidak dapat menjalankan keharusan untuk berpisah, maka mereka dapat menjalankan hidup di dalam kesucian yang penuh, yaitu dengan berpantang terhadap segala perbuatan yang layak dilakukan oleh suami istri. [Tambahan saya: Sehingga dalam hal ini pasangan tidak hidup sebagaimana layaknya suami istri melainkan sebagai kakak dan adik. Sebab di mata Tuhan, perkawinan yang sah adalah perkawinan yang pertama. Untuk kemurnian kasih sebagai kakak dan adik inilah, maka pasangan diharapkan untuk memohon rahmat dari Tuhan. Namun, hal ini bukannya sesuatu yang tidak mungkin, sebab kepada orang-orang tertentu, seperti kepada para imam dan biarawati, Tuhan telah memberikan rahmat untuk hidup kudus yang seperti ini].

      Demikianlah, demi  menghormati makna Sakramen Perkawinan, untuk pasangan tersebut, dan keluarga mereka, dan juga semua komunitas umat beriman, maka para imam dilarang, dengan alasan apapun juga, bahkan dengan alasan pastoral, untuk memimpin upacara dalam bentuk apapun juga kepada mereka yang telah bercerai dan menikah lagi. Upacara semacam itu akan memberikan kesan akan perayaan Perkawinan sah yang baru, dan akan memimpin orang-orang kepada anggapan yang salah tentang sifat Perkawinan sah yang tidak terceraikan.

      Dengan bertindak demikian [seperti yang disebutkan di dalam keseluruhan perikop di atas], Gereja menyatakan kesetiaannya kepada Kristus, dan kepada kebenaran-Nya. Pada saat yang sama ia menyatakan perhatian kasih keibuannya kepada anak-anaknya, terutama mereka yang bukan karena kesalahannya sendiri, telah disingkirkan oleh pasangan mereka yang sah.
      Dengan keyakinan yang teguh, ia [Gereja] percaya bahwa mereka yang telah menolak perintah Tuhan dan tetap hidup dalam keadaan ini, akan tetap dapat memperoleh dari Tuhan rahmat pertobatan dan keselamatan, asalkan mereka tetap bertekun di dalam doa, tobat, dan kasih.” (Familiaris Consortio 83- 84)

      Demikian tanggapan saya, semoga berguna.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

      • syalom bu ingrid, terima kasih atas tanggapannya…
        saya minta maaf bila pertanyaan saya rupanya salah alamat. Namun alasan saya menanyakan hal ini karena rupanya tidak ada lagi yang bisa memberikan semacam nasehat atau-dalam pertanyaan saya-‘solusi’ atas masalah-masalah perkawinan. maaf apabila saya kemudian bertanya panjang lebar…

        tafsiran ibu atas pertanyaan saya yang menurut ibu kurang lengkap itu (karena menghindari kalimat yang terlalu panjang) rupanya sudah pas. Memang semua perkawinan yang dilakukan oleh pihak A dan B adalah sah secara katolik(tidak cacat). Hanya tidak ada solusinya.

        kasus diatas juga rumit karena melibatkan 2 agama. dimana dari katolik dapat mensahkan perkawinan dari janda non katolik, dan agama lain yang juga mensahkan (secara agamanya) perkawinan dari wanita katolik yang tidak (mungkin) bercerai…

        dan kalau hanya menunggu hukuman dijatuhkan pada pasangan yang tidak setia di akhir jaman kelak, rasanya berat… malah bisa stres dan bunuh diri…

        Maka, kemudian timbul dalam pikiran saya behwa perkawinan (katolik) menjadi alasan ‘populer’ bagi muda-mudinya untuk berpindah haluan, lantaran takut karena tidak ada solusi dalam masalah tersebut. Hasilnya, perkawinan akan menjadi batu sandungan bagi iman katolik.

        romo paroki yang ditanya pun hanya bisa memberikan jawaban “tidak bisa, tidak boleh, pokoknya tidak!” bukankah hidup ditinggal pasangan yang menikah lagi begitu menyakitkan, ini manusiawi saja…..

        yang perlu dketahui adalah tidak semua orang mampu berbuat seperti yang dianjurkan oleh bapa suci dalam jawaban ibu. Apa lagi hanya menganggap kakak adik…maaf, kalu boleh saya katakan disini, banyak juga para imam/romo yang kemudian menikah dengan biarawatinya.

        saya hanya bingung ketika mulai dicemooh bahwa agama katolik tidak mampu memberikan solusi atas masalah perkawinan (tidak seperti agama lain) seperti kasus dalam pertanyaan saya. Hal ini seringkali menggoyahkan iman.

        saya tidak mampu membayangkan bagaimana perasaan si A, ketika melihat istrinya (yang menikah lagi) berjalan mesra dengan suami dan anaknya..(hasilnya sekarang si A pergi merantau)

        saya pernah mendengar bahwa, perkawinan katolik dapat dipisahkan (bukan dibatalkan) oleh bapa suci, artinya orang katolik boleh bercerai dengan alasan tertentu melalui kuasa Paus. apakah ini benar? kalau iya,bagaimana caranya? apalagi ketika membandingkan dengan pernikahan katolik di(film) barat, sering kawin cerai…

        sekiranya masalah saya disini juga mungkin kurang pas untuk dijawab bagi tim katolisitas, saya mohon bimbingannya dengan rujukan situs atau lainya yang lebih berwenang. terimakasih.

        • Shalom Xellz,

          Tidak ada salahnya bertanya, tetapi sejujurnya memang Katolisitas tidak mempunyai wewenang apapun untuk memberikan solusi dalam permasalahan tersebut. Sebab pada akhirnya masalah perkawinan itu harus diselesaikan oleh pasangan itu sendiri. Dari pihak luar, kita hanya dapat memberi masukan, tetapi kata akhir ada di tangan mereka sendiri.

          Solusi yang Anda inginkan yaitu agar mereka dapat menikah lagi secara sah, memang sejujurnya tidak mungkin, jika kita berpegang kepada hukum perkawinan Gereja Katolik. Adapun hukum perkawinan ini didasari atas ajaran Kristus dalam Kitab Suci bahwa memang perkawinan adalah antara seorang pria dan seorang wanita, dan apa yang sudah disatukan Allah ini tak dapat diceraikan oleh manusia sampai seumur hidup sebagaimana disampaikan dalam Mat 19:1-12.

          Maka yang Anda anggap solusi adalah restu dari Gereja agar pasangan dapat bercerai dan menikah lagi, maka tentu ini tidak dapat dilakukan Gereja, karena itu sama saja mau membuat Gereja mengingkari ajaran Kristus. Kekecualian adalah kalau memang dapat dibuktikan bahwa perkawinan memang sudah tidak sah sejak awal mula. Gereja bukannya tidak peduli terhadap kesulitan seseorang yang ditinggal pasangannya karena pasangannya itu tidak setia. Namun kepedulian Gereja tidak harus disamakan dengan Gereja harus mengorbankan ajaran Kristus, atau ajaran itu harus bisa dimanipulasikan sedemikian sehingga dapat memberikan solusi yang umum diinginkan manusia. Tidak demikian. Gereja mempunyai tanggungjawab di hadapan Kristus untuk mempertahankan kemurnian ajaran-Nya sepanjang segala abad. Maka memang mungkin cara yang dilakukan oleh Romo tersebut terdengar keras (“pokoknya tidak bisa”) tetapi nampaknya ia hanya melakukan tugasnya untuk setia kepada pengajaran yang dipercayakan kepadanya.

          Memang berat apa yang dihadapi oleh A, dan semoga ia dapat memperoleh dukungan dari komunitas gerejawi di lingkungan tempat tinggalnya yang baru. Jika Anda mengenal A dengan baik, silakan Anda terus mendoakan dan memberikan penghiburan kepadanya.

          Saya tidak tahu dari mana Anda memperoleh informasi itu, namun ajaran Gereja Katolik jelas, sebagaimana disebutkan dalam Katekismus, bahwa perkawinan Katolik itu – jika sudah sah diberikan- tidak dapat diceraikan oleh manusia, dalam hal ini oleh Paus sekalipun.

          KGK 1614    Dalam pewartaan-Nya, Yesus mengajarkan dengan jelas arti asli dari persatuan pria dan wanita, seperti yang dikehendaki Pencipta sejak permulaan; izin yang diberikan oleh Musa untuk menceraikan isteri adalah suatu penyesuaian terhadap ketegaran hati; (Bdk. Mat 19:8) kesatuan perkawinan antara pria dan wanita tidak tercerai – Allah sendiri telah mempersatukan mereka; “Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Mat 19:6).

          Perceraian yang ada di film-film Barat tidak dapat dijadikan patokan, sebab film-film itu sering memang diproduksi untuk mendisreditkan Gereja Katolik dan sering disengaja untuk menampilkan keadaan yang memojokkan Gereja Katolik. Jelas kawin cerai tidak pernah dibenarkan oleh Gereja Katolik, dan kalau sampai terjadi di film-film, ya itu merupakan pelanggaran. Sikap Gereja Katolik tentang perpisahan ini, jika sampai tidak terhindarkan (misalnya karena sudah membahayakan nyawa pasangan dan anak-anak, ataupun alasan genting lainnya):

          KGK 1649    Tetapi ada situasi, di mana hidup bersama dalam keluarga, karena alasan-alasan yang sangat bervariasi, praktis tidak mungkin lagi. Dalam keadaan semacam ini Gereja mengizinkan, bahwa suami isteri secara badani berpisah dan tidak perlu lagi tinggal bersama. Tetapi Perkawinan dari suami isteri yang berpisah ini tetap sah di hadirat Allah; mereka tidak bebas untuk mengadakan Perkawinan baru. Dalam situasi yang berat ini perdamaian merupakan penyelesaian yang terbaik, jika mungkin. Jemaat Kristen harus membantu orang-orang ini, agar dapat menanggulangi situasi hidup mereka ini secara Kristen dan dalam kesetiaan kepada ikatan Perkawinannya yang tak terpisahkan (Bdk. FC 83; CIC, cann. 1151-1155).

          KGK 1650    Dalam banyak negara, dewasa ini terdapat banyak orang Katolik yang meminta perceraian menurut hukum sipil dan mengadakan Perkawinan baru secara sipil. Gereja merasa diri terikat kepada perkataan Yesus Kristus: “Barang siapa menceraikan isterinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinaan terhadap isterinya itu. Dan jika si isteri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zinah” (Mrk 10:11-12). Karena itu, Gereja memegang teguh bahwa ia tidak dapat mengakui sah ikatan yang baru, kalau Perkawinan pertama itu sah. Kalau mereka yang bercerai itu kawin lagi secara sipil, mereka berada dalam satu situasi yang secara obyektif bertentangan dengan hukum Allah. Karena itu, mereka tidak boleh menerima komuni selama situasi ini masih berlanjut. Dengan alasan yang sama mereka juga tidak boleh melaksanakan tugas-tugas tertentu dalam Gereja. Pemulihan melalui Sakramen Pengakuan hanya dapat diberikan kepada mereka yang menyesal, bahwa mereka telah mencemari tanda perjanjian dan kesetiaan kepada Kristus, dan mewajibkan diri supaya hidup dalam pantang yang benar.

          KGK 1651    Kepada orang-orang Kristen yang hidup dalam situasi ini dan yang sering kali mempertahankan imannya dan ingin mendidik anak-anaknya secara Kristen, para imam dan seluruh jemaat harus memberi perhatian yang wajar, supaya mereka tidak menganggap diri seakan-akan terpisah dari Gereja, karena mereka sebagai orang yang dibaptis dapat dan harus mengambil bagian dalam kehidupannya.
          “Hendaklah mereka didorong untuk mendengarkan Sabda Allah, menghadiri kurban Ekaristi, tabah dalam doa, menyumbang kepada karya-karya cinta kasih dan kepada usaha-usaha jemaat demi keadilan, membina anak-anak mereka dalam iman Kristen, mengembangkan semangat serta praktik ulah tapa, dan dengan demikian dari hari ke hari memohon rahmat Allah” (FC 84).

          Demikian yang dapat saya sampaikan. Mohon maaf jika apa yang kami sampaikan tidak sesuai dengan kehendak Anda. Kami sungguh tidak dapat menyampaikan ajaran yang berbeda dengan apa yang sudah disampaikan oleh Magisterium Gereja Katolik, sebab kami percaya ajaran tersebut adalah yang dikehendaki oleh Kristus sejak awal mulanya, dan kami sungguh tidak mempunyai kuasa apapun untuk mengubahnya ataupun mengusulkan pandangan yang lain.

          Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
          Ingrid Listiati- katolisitas.org

          • syalom bu ingrid dan tim katolisitas..

            sebenarnya saya agak sedikit kecewa (atau bangga)…

            kecewa karena katolik, rupanya tidak mampu memberikan solusi yang benar-benar melegakan kedua belah pihak….namun bangga karena ukuran yang dipakai, bukan keegoisan manusia, namun kemurnian Allah (yang menunjukan kemurnian Agama itu sendiri) yang sekuat tenaga berusaha menerima hukum Tuhan (yang menyenangkan dan yang tidak) terutama masalah pernikahan.

            Ah, rupanya Tuhan juga tidak selalu membuat manusia bahagia…entahlah apa dan bagaimana kebahagiaan itu menurut Tuhan….

            [Dari Katolisitas: Mungkin lebih tepatnya adalah: sebab seringkali definisi kebahagiaan menurut manusia berbeda dengan kebahagiaan menurut Tuhan. Namun jika kita menyerahkan diri kita ke dalam pimpinan Tuhan, maka Ia akan memberikan kekuatan dan kemampuan kepada kita untuk menemukan kebahagiaan kita yang sesungguhnya, yang tidak dapat diberikan oleh dunia ini. Mungkin jalannya tidak mudah menurut mata manusia, namun bukannya tidak mungkin untuk dilakukan, sebagaimana telah disampaikan oleh saudari kita Agatha. Dan sungguh nyatalah kasih setia Tuhan kepada orang-orang yang dengan taat membuktikan iman dan kasih kepada-Nya, tanpa menghiraukan banyaknya pandangan dunia yang mencemoohkannya.]

        • Salam Xellz,

          Masalah seperti ini memang berat, dan saya sendiri mengalaminya.

          Suami saya menikah lagi dengan perempuan lain di KUA, dan sekarang telah memiliki 1 orang anak, dan setelah semua terbongkar, kami putuskan bahwa kami tidak bisa melanjutkan pernikahan kami, dan akhirnya kami cerai secara sipil.

          Dan keluarga suami yang juga Katolik, saat ini telah menerima perempuan itu sebagai istri yang sah dari suami saya (padahal pernikahan mereka tidak sah, karena pernikahan itu diadakan pada saat suami masih terikat pernikahan dengan saya).

          Saya dapat merasakan beratnya permasalahan ini, apalagi saya sudah memiliki 3 orang anak.

          Saya yakin tidak akan dapat melewati semua permasalahan ini kalau saya tidak mendapatkan dukungan dari keluarga saya sendiri, dan memasrahkan diri kepada Kristus.

          Jujur, sampai saat ini saya masih sangat membenci suami saya (sempat hilang setelah saya mengaku dosa), tapi perasaan benci itu baru baru ini muncul lagi setelah mengetahui bahwa keluarga suami telah menerima perzinahan itu.

          Tapi saya yakin, dengan bantuan doa dari segenap keluarga saya dan team katolisitas, saya akan mampu menghadapi semua itu.

          Saran saya adalah: tetaplah mendampingi dan memberikan kekuatan bagi si A agar dia dapat bertahan dalam segala permasalahan yang dia hadapi, dan tetap bertahan dalam imannya kepada Kristus, tidak mengorbankan keselamatan kekalnya demi kesenangan di dunia ini. Yakinkan si A bahwa dalam segala permasalahan yang dihadapinya, Tuhan pasti tetap mencintainya dan selama kita bersandar padaNya, kita pasti akan kuat.

          Maaf, kalau bukan solusi yang saya berikan, tetapi saya berharap jangan sampai karena keinginan duniawi, kita melupakan keselamatan kekal yang harusnya kita dapatkan. Jangan sampai iblis memenangkan jiwa kita.

          Salam

          [Dari Katolisitas: Terima kasih sekali atas kesaksian Anda, Agatha. Sungguh kesaksian Anda ini berbicara lebih lantang daripada jawaban kami kepada Xellz. Doa kami untuk Anda dan anak-anak Anda, dan semoga suatu saat nanti suami Anda dapat kembali ke jalan yang benar yang sesuai dengan kehendak Tuhan.]

          • syalom Agatha,,

            saya mengucapkan terimakasih anda mau memberikan sebuah kesaksian.

            Saya merasa bangga dengan orang Katolik seperti anda, teguh dalam iman. Saya ingn sekali mendoakan anda, namun saya merasa tidak mampu untuk berdoa dengan iman saya yang rapuh ini, apa yang mau saya katakan kepada Allah????

            tampaknya saya harus belajar kepada anda, sebagai remaja, saya merasa sulit mencapai pendewasaan rohani…

          • Salam, Xellz

            Saya sungguh bersyukur anda telah memulai perjalanan pencarian iman. Saya mendoakan anda supaya Allah boleh berkenan menganugerahkan iman pada anda.

            Kalau boleh berbagi kisah hidup, Xellz tidak perlu khawatir tentang iman yang sedang bertumbuh. Iman adalah anugerah Allah yang ditanggapi kerjasama manusia. Setiap hari, pertumbuhan iman adalah kewajiban semua Katolik. Banyak orang mempelajari ajaran Katolik tanpa membuka hati (bekerjasama) dengan rahmat Allah sehingga mereka tidak melihat kebenaran Ilahi. Namun, kenyataan pula bahwa Allah sebenarnya selalu mencurahkan rahmat yang lebih dari cukup untuk memampukan kita untuk menemukan kebenaranNya. Untuk itu, senantiasalah berdoa memohon anugerah iman agar hati kita siap menerima anugerah iman tersebut. Mari bersama-sama kita atasi kerapuhan iman kita dan bertumbuh menuju kedewasaan rohani seiring denyut kasih Bapa.

            Xellz juga tidak perlu takut berdoa walaupun masih sedang mencari keteguhan iman karena selain memuat iman, doa juga memuat kasih dan harapan dalam Kristus. Kasih Xellz dan kita semua pada Agatha juga memampukan kita untuk memohon berkat dan kasih Allah bagi Agatha, termasuk siapapun yang lainnya. After all, kita semua adalah pengemis di hadapan Bapa, sebesar apapun kesucian kita, seteguh apapun iman kita.

            Semoga Bapa berkenan mengikat kita dengan keindahan iman, kelembutan kasih, dan ketenangan harapan dalam Kristus. Amin.

            Pacem,
            Ioannes

  4. pastor yang terkasih saya mau tanya,,,
    Jika seorang Katolik menikah dengan seorang kristen protestan (yang sdh dibaptis secara kristen)dan perkawinan dilangsungkan secara katolik, apakah itu termasuk sakramen?

    terimaksih. Tuhan memberkati

    • Shalom Jul El,

      Jika salah satu dari pihak yang menikah (suami atau istri) Katolik, maka pasangan itu terikat oleh hukum kanonik Gereja Katolik, dan seharusnya mereka menikah di Gereja Katolik. Namun jika karena satu dan lain hal, ini tidak dapat dilakukan [perkawinan tersebut hendak diberkati secara Kristen non-Katolik), maka pihak yang Katolik harus meminta izin kepada pihak Ordinaris (yaitu Keuskupan) agar walaupun diberkati di gereja non- Katolik, namun perkawinan tetap dapat dianggap sah. Jika izin ini diperoleh, maka perkawinan sah secara kanonik, dan kelak pihak yang Katolik tetap diperkenankan untuk menerima Komuni di Gereja Katolik. Tentu hal di atas didasari atas asumsi bahwa baptisan pasangan yang non-Katolik tersebut diakui oleh Gereja Katolik [gerejanya termasuk dalam daftar gereja-gereja PGI]. Jika kondisi di atas terpenuhi, maka perkawinan tersebut adalah sakramen, yaitu merupakan tanda dan sarana keselamatan bagi pasangan tersebut, sehingga tidak terceraikan. Dasarnya adalah ajaran Katekismus Gereja Katolik dan Kitab Hukum Kanonik 1983:

      KGK  1683   “Perjanjian Perkawinan, dengan mana pria dan wanita membentuk antar mereka kebersamaan seluruh hidup, dari sifat kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-isteri serta pada kelahiran dan pendidikan anak; oleh Kristus Tuhan Perkawinan antara orang-orang yang dibaptis diangkat ke martabat Sakramen” (KHK kan. 1055 §1).

      KHK Kan. 1055

      § 1 Perjanjian (foedus) perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen.

      § 2 Karena itu antara orang-orang yang dibaptis, tidak dapat ada kontrak perkawinan sah yang tidak dengan sendirinya sakramen.

      Atas dasar prinsip ini, maka Gereja Katolik juga mengakui perkawinan kedua orang yang non- Katolik yang baptisannya sah, yang diadakan di gereja non-Katolik. Oleh karena itu, jika karena satu dan lain hal pasangan ini berpisah, dan kemudian salah satunya ingin menikah lagi di Gereja Katolik, ini tidak diperkenankan, karena Gereja Katolik menghargai ikatan perkawinannya yang terdahulu, yang merupakan sakramen, sehingga tidak terceraikan.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

      • terimakasih bu ingrid atas penjelasannya…ini saya tanyakan untuk memperjelas, karena teman saya mengatakan perkawinannya belum sakramen karena istrinya masih protestan (padahal gerejanya masuk dalam PGI).
        untuk kasus seperti yang ibu utarakan (diberkati di protestan tetapi mendapat persetujuan dari uskup setempat,sehingga dapat dikatakan sakramen dan salah satu pasangan yang katolik tetap bisa komuni, jika suatu saat pasangan yang non katolik mau menjadi katolik, apakah mereka harus pemberesan perkawinan juga…

        terimakasih. Tuhan memberkati

        • Shalom Jul Em,

          Sebenarnya yang perlu diperiksa adalah apakah sebelum menikah, teman Anda telah meminta izin ke pihak keuskupan bahwa perkawinannya itu akan diberkati di gereja istrinya itu. Jika ini sudah dilakukan dan ia telah menerima surat pemberian izin dari pihak keuskupan, maka sesungguhnya perkawinannya dengan istrinya itu telah sah menurut hukum Gereja Katolik, meskipun dilakukan di gereja non-Katolik. Dengan surat izin ini, perkawinan tersebut sah, dan sakramen, karena diadakan antara dua orang yang dibaptis secara sah (karena baptisan istrinya diakui sah oleh Gereja Katolik). Namun jika izin ini tidak diperoleh, maka perkawinan tersebut sesungguhnya cacat secara kanonik; dan dalam keadaan sedemikian, sesungguhnya pihak yang Katolik tidak boleh menerima Komuni Kudus. Dalam kondisi ini, perkawinan tersebut walau diadakan di antara dua orang yang terbaptis, menjadi tidak sah (cacat kanonik), karena tidak sesuai dengan ketentuan hukum Gereja Katolik. Mengapa? Karena perkawinan Katolik tidak terpisahkan dari Misteri hubungan kasih antara Kristus dengan Gereja sebagai mempelai-Nya; sehingga harus dilakukan atas sepengetahuan, izin, dan ketentuan Gereja.

          Seandainya surat izin ini tidak ada, dan kemudian istrinya yang non-Katolik ingin diteguhkan menjadi Katolik, maka sebelum diteguhkan, perlu diadakan pemberesan perkawinan terlebih dahulu. Istilahnya adalah konvalidasi perkawinan, untuk menjadikan perkawinan tersebut sah secara kanonik. Silakan menghubungi Romo paroki untuk mengetahui lebih lanjut tentang hal ini.

          Nah, jika ternyata setelah diperiksa, surat izin tersebut ada, artinya perkawinan itu sudah sah; dan kalau sudah sah, maka tidak perlu disahkan lagi. Jika pihak istrinya yang non- Katolik, ingin menjadi Katolik, silakan menunjukkan surat izin itu kepada pihak Romo paroki, seharusnya tidak menjadi masalah.

          Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
          Ingrid Listiati- katolisitas.org

           

  5. Malam Romo…
    Saya mau sharing dan minta petunjuk Romo… Mohon petunjuknya..
    Saya pernah menikah secara kristen dan sekarang telah bercerai. Dan sekarang saya telah menjalin kasih dengan seorang jejaka yang beragama Katholik. dan hubungan kami serius sehingga kami ingin menikah …….. [dari Katolisitas: pesan berikut disatukan karena terputus]

    maaf kurang lengkap…
    sehingga kami ingin menikah secara Katholik..
    yang ingin saya pertanyakan :
    1. bagaimana prosedur menikah secara Katholik sedangkan saya berasal dari agama kristen dan telah di baptis secara kristen. tetapi saya bersedia masuk ke agama Katholik secara sungguh2 dan bersedia belajar serius. apa saja yg harus saya lakukan??
    2. brapa lama saya harus mengikuti pelajaran pernikahan Katholik secara umum??? apakah bisa di persingkat dikarenakan kami berlainan kota… dan jarang bertemu…
    Trima kasih Romo dan saya mohon penjelasannya..

    • Michelle yth

      Kemauan anda luar biasa silakan anda datang ke paroki dimana anda tinggal (domisili tetap) bawa surat baptis gereja kristen anda dan sampaikan bahwa anda mau menjadi katolik; umumnya perlu belajar berapa minggu. Nanti akan diberikan petunjuk. Kemudian soal perkawinan anda sebelumnya anda bisa ceritakan dalam surat tertulis agar bisa dibaca dan kemudian ajukan permohonan pemutusan ikatan anda dengan mantan pasangan anda. Apakah sudah mendapat keputusan dari pengadilan sipil ttg perceraian anda? kalau sudah lampirkan surat tersebut di bawa ke pastor paroki Gereja Katolik nanti akan diurus (mudah- mudahan), ajaklah pasangan anda.

      salam
      Rm Wanta

      • Romo..terima kasih buat penjelasannya..
        surat keputusan dr catatan sipil sdh keluar dari beberapa tahun lalu romo..
        saya dan pasangan yg skrg tinggal berlainan kota dan frekuensi bertemu saya sangat jarang… jadi kemungkinan besar saya mengurus sendiri.. tapi romo saya benar2 tidak tau tentang katholik..krn saya dr kecil bersekolah di sekolah kristen (singkat kata saya nol ttg katholik). semoga saya bisa mengikuti dengan maksimal…
        Romo satu hal lagi yg ingin saya tanyakan : butuh waktu berapa lama untuk permohonan pemutusan ikatan saya dengan mantan pasangan??? ( umumnya brapa lama??)

        terima kasih romo forum ini sangat membantu banyak orang..
        God Bless U…

        • Michelle Yth

          Meskipun mengurus sendiri cobalah ke paroki Gereja katolik yang dimana anda tinggal. Kedua tentang berapa lama saya tidak bisa menjawab karena sangat tergantung dari para romo dan petugas yang mengurusnya. Bisa cepat dan bisa lambat, semoga bisa cepat minimal sekitar 6 bulan. Jangan buru buru menikah buatlah fondasi hidup perkawinan dengan kokoh kuat jika ada badai dan goncangan rumah keluargamu tidak roboh.

          salam
          Rm Wanta

  6. Berkah Dalem,

    Mohon penjelasan tentang perbedaan antara “IJIN’ dan ‘DELEGASI’ meneguhkan perkawinan. Sepengetahuan kami ‘Ijin’ hanya untuk Pastor/Diakon dalam satu Keuskupan, sedangkan ‘Delegasi’ untuk Pastor/Diakon dari luar Keuskupan (seperti tercetak dalam blagko Penyelidikan Kanonik). Tapi dalam pelaksanaannya ada sebagian Pastor yang berpendapat bahwa semuanya adalah Delegasi, walaupun itu masih dalam satu keuskupan.
    Terimakasih atas penjelasannya.

    Yustinus Baryono – Wates

    • Yustinus Yth.

      Dalam konteks pemeberian kewenangan meneguhkan perkawinan, tidak semua imam dapat meneguhkan pasangan calon pengantin kecuali pastor yg mendapat yurisdiksi pada teritorial paroki yang diberikan oleh Uskup Diosesan atau yurisdiksi pada imam yang melayani di Keuskupan. Pada umumnya Imam memiliki kemampuan untuk meneguhkan namun demi layaknya licit sesuai hukum perlu apa yang disebut dengan kewenangan. Maka seorang pastor tidak serta merta bisa meneguhkan perkawinan di luar keuskupannya tanpa surat delegasi dari pastor paroki tempat pengantin diteguhkan perkawinannya. Pastorpun harus tidak ada halangan dari pelaksanaan kuasa tsb misalnya tidak dalam hukuman misalnya suspensi. Imam yang tanpa surat delegasi meneguhkan perkawinan perkawinan itu sah namun tidak layak/licit, karena dia tidak memiliki kewenangan melakukan peneguhan. Untuk imam satu keuskupan karena saling mengenal imamnya dan sudah secara lisan diberikan izin tanpa surat pada umumnya sudah bisa dikatakan dia menerima delegasi kecuali imam bukan di dalam keuskupannya yang tidak dikenal. Jadi ada dua hal pendelegasian dengan surat dan pendelegasian tanpa surat karena saling mengenal pastor rekan tetangga paroki. Jika mau tertib administrasi – birokrasi bisa saja dibuatkan surat delegasi kepada siapa saja meskipun satu keuskupan bahkan uskupnya sendiri.

      salam
      Rm Wanta

  7. Pastor yang terhormat,

    Saya adalah seorang wanita Katolik yang dua belas tahun lalu menikah secara resmi dengan seorang pria muslim di gereja Katolik. Waktu pemeriksaan kanonik dulu suami saya tahu akan janji saya untuk tetap dalam iman Katolik dan dia menyetujui anak-anak kami kelak dididik secara Katolik

    Pada awalnya perkawinan kami berjalan lancar-lancar saja, walaupun seluruh keluarganya menentang perkawinan kami di gereja Katolik. Bahkan pada saat itu ia sering mengantar saya ke gereja pada hari minggu untuk mengikuti perayaan ekaristi.

    Ketika saya melahirkan anak kami yang ketiga empat tahun lalu ia mulai enggan mengantarkan saya ke gereja. Kemudia ia bahkan tidak mengizinkan anak-anak dibawa ke gereja dan dididik secara Katolik.

    Awal tahun yang lampau ia mulai membujuk saya untuk masuk Islam. Saya tahu ini semua terjadi karena desakan keluarganya, yang selalu mengatakan bahwa perkawinan kami belum sah secara Islam, sebelum kami dinikahkan secara Islam di depan wali nikah. Mereka mengatakan bahwa dengan demikian suami saya hidup dalam percabulan berkepanjangan dengan saya.

    Akhir-akhir ini suami saya mulai mendesak dan mengancam bahwa kami akan terpaksa cerai kalau saya tetap tidak mau masuk Agama Islam.

    Pastor, saya sekarang bingung. Apakah saya mesti tetap berpegang teguh pada Iman Katolik, dengan resiko saya diceraikan dan mungkin kehilangan anak-anak saya. Ataukah saya terpaksa masuk agama Islam, tetapi perkawinan saya selamat dan saya tetap bersama suami dan anak-anak saya. Saya sunggu sangat membutuhkan petunjuk dari pastor.

    Salam dalam Kristus Tuhan kita

    • Natalia Yth

      Sungguh sebuah perjuangan yang berat bagi anda dan saya sendiri. Menjawab pertanyaan anda saya mengalami kesulitan namun saya harus mengatakan sesuatu. Ini pelajaran bagi siapa saja yang hendak melangsungkan perkawinan campur beda agama. Janji kesetiaan dalam keutuhan hidup perkawinan dengan menghormati agama masing-masing pasangan yang telah diucapkan waktu meneguhkan perkawinan maupun selama pacaran kadang tidak ditepati. Artinya mulai goyah, pada hal sebenarnya cinta dan keseetiaan itu sama seperti uang logam yang memiliki dua sisi pada satu mata uang yang sama. Oleh karena itu, komitmen ini perlu ditanyakan pada suami anda. Mana cinta dan kesetiaan suami anda ketika dulu di saat pacaran dan menjelang perkawinan serta saat perkawinan. Sudah berubah karena pengaruh dan desakan orang lain (keluarga)? Saya anjurkan anda tanyakan dari hati ke hati dan jangan cerai-pisah namun tetap beriman katolik. Kalau suami anda sungguh mencintai berarti juga sungguh menghormati anda sebagai orang beriman Katolik. Jika tidak lagi anda jangan ambil tindakan apapun untuk berpisah dengannya. Tetaplah ke Gereja Katolik dan berdoalah selalu, doakan dia dan anak-anak anda agar sadar bahwa memaksakan seseorang ikut agama lain dan dengan cara menghancurkan keluarga itu tidak benar dan tidak dikehendaki Tuhan. Selain itu cara semacam itu melanggar kebebasan beragama. Jadi tetaplah Katolik, sekali Katolik selamanya Katolik meski dengan resiko salib yang harus dipanggul karena Dia. Lalu carilah seseorang yang anda pandang bisa menasihati suami anda untuk meneguhkan perkawinanmu, menghormati agama istri dan berusaha untuk tetap rukun. Salam dan doa

      Rm Wanta

  8. Romo yang terkasih,
    saat ini saya menjalin hubungan dengan seorang pria dengan status duda karolik, cerai hidup. sebelumnya dia beragama kristen protestan, setelah menikah dia mau mengikut katolik demi anak-anaknya. tapi selang 5 tahun berjalan rumah tangganya dihadang badai besar, mantan istrinya tertangkap basah berselingkuh. si mantan istrinya terus menerus memanaskan rumah tangga dengan permintaan cerai juga KDRT terhadap teman dekat saya walaupun teman dekat saya sudah memaafkan dengan tulus juga bersabar. setelah perenungan hampir 2,5 tahun dengan kondisi yang semakin memburuk juga kasihan melihat anak-anaknya tertekan dengan pertengkaran orang tuanya, akhirnya dia mengabulkan permintaan istrinya. saat ini mantan istrinya sudah bersuami lagi. anak-anaknya dirawat oleh ibu mertua teman dekat saya tapi kesehariannya selalu diawasi teman dekat saya. sedang mantan istrinya tidak mau tahu anak-anaknya. saya iba tapi juga rasa cinta saya semakin besar pada teman dekat saya ini. saya sempat mencari tahu tentang cerai katolik, (tentang perkawinan sah-natural), saya mendapatkan secerca harapan untuk menjadi ibu silih anak-anaknya juga pendampingnya tapi kembali lagi, saya masih bingung apakah artikel yang saya baca itu dapat membantu kami mencari jalan keluar terbaik, kami sangat berharap bisa tetap menjadi umat katolik yang taat. tolong kebijaksanaan Romo dalam menyikapi juga menjawab tanda tanya besar saya ini. terima kasih. Tuhan memberkati.

    • Emmanuela Yth

      Pemikiran di luar aspek hukum Gereja perlu mendapat pertimbangan yakni pengalaman gagal dalam membangun perkawinan dan sejauh mana anda mengenal pasangan yang baru ini dimana telah memiliki anak dan masih memiliki ikatan perkawinan dengan istri lamanya. Iba dan belas kasih biasanya awal dari kedekatan dan jatuh cinta. Cinta bukan romantika emosional melainkan sebuah tindakan keputusan yang banyak resiko, maka cobalah melihat kembali hubungan anda selama ini dengan dia, bicaralah banyak hal terutama sifat pribadi dan masa depan keluarga jika membangun keluarga baru, bagaimana efek dari istri lama jika anda menjadi istri barunya. Ajaklah komunikasi yang sungguh-sungguh, perkawinan katolik harus menjadi dasar dengan sifatnya unitas dan tidakterputuskan. Secara hukum dia masih memiliki ikatan perkawinan dengan istri lamanya dan perkawinan itu sah, maka ini menjadi halangan untuk menikah dengan anda. Usaha yang perlu ditempuh harus dibuktikan apakah perkawinan dia dan istri lamanya itu tidak sah, sehingga dapat dinyatakan bahwa tidak ada ikatan perkawinan (nulitas). Hal Anulasi (pembatalan ikatan perkawinan) ini bisa diproses dalam tribunal (kira-kira 2 thn), yang dimulai dengan permohonan teman anda itu ke pihak tribunal keuskupan di mana perkawinannya dan istrinya itu diteguhkan. Setelah melewati proses itu jika pengadilan menyatakan perkawinan tidak ada dan dia berstatus bebas maka baru bisa menikah dengan anda. Pemikiran lain apakah anda yakin bisa hidup keluarga dengan dia? Apakah tidak ada masalah di kemudian hari jika perkawinan nanti berlangsung. Bisakah saya menolong dia karena iba tetapi tidak menjadi suami saya? Pertanyaan ini perlu dijawab sendiri untuk menyiapkan diri anda.
      Tuhan memberkatimu

      Salam
      Rm Wanta

  9. Yth. Bpk Pengasuh Rubrik

    Saya Pria kristen Protestan usia 30 tahun, pasangan saya kristen khatolik usia 25 tahun
    saya mantap dengan pasangan saya, dan sepakat menikah dalam khatolik.
    pertanyaan saya banyak sekali Romo, karena saya tidak tahu menahu persiapan apa yang
    harus saya lakukan karena saya berasal dari Protestan. Jadi
    Mohon Romo membantu saya diberi penjelasan jelas detail tahapan , persyaratan juga
    apa yang perlu disiapkan. karena saya tidak ingin terlalu lama karena kedinasan pekerjaan
    saya yang memang sibuk.
    Terima kasih Romo. saya benar-benar menantikan jawaban di alamta email saya :
    [edit: email pribadi tidak ditampilkan di publik]

    TERIMA KASIH

    • Andreas Yth

      Pertama yang anda harus lakukan adalah siapkan dokumen sipil dan Gereja yang menerangkan bahwa anda adalah pria yang belum pernah menikah atau tidak ada ikatan perkawinan. lalu surat pembaptisan dari Gereja anda minta yang terbaru, tentu KTP dan foto anda. Siapkan semua dokumen itu dan bawa ke Kantor Paroki dimana calon pasangan anda berdomisili. Kedua anda akan mengisi formulir penyelidikan kanonik di depan pastor paroki. Lebih lanjut anda akan mengikuti kursus persiapan perkawinan (KPP). Karena beda Gereja maka ada izin yang akan diurus pastor paroki dimana anda akan diteguhkan. Yang penting anda serius dan sungguh mengikuti KPP, mempersiapkan diri untuk masa depan membangun keluarga yang harmonis dan sejahtera, utuh tak terceraikan,

      salam
      Rm Wanta

  10. Shalom Bpk. Stefanus dan Ibu Inggrid

    Saya mau tanya tentang hukum pernikahan menurut ajaran Katolik:

    Saya mempunyai seorang teman, sedang katekumen, dia cerita bahwa dia dulu pernah menikah di Gereja Kristen tapi gerejanya apa dia lupa, dia hanya inget letak Gerejanya (gereja kecil).
    Menurutnya perkawinannya direncakan secara terburu-buru, persiapan hanya 1 bulan, karena pada waktu itu pacarnya ini mau keluar dari rumah orangtuanya karena ribut dengan mamahnya dan hendak tinggal dirumah temannya, oleh karena itu dia berpendapat lebih baik menikah saja.
    Perkawinannya berjalan selama 1 tahun akan tetapi tanpa hubungan suami istri, istrinya meninggalkan dia untuk memilih karir di luar negeri.
    Saya tidak menanyakan lebih lanjut kenapa dia tidak pernah berhubungan suami istri, tetapi hal ini saya kemukakan mungkin hal ini bisa menjadi informasi tambahan atas status dia sebagai suami istri.
    Yang saya mau tanyakan adalah:
    1. Perkawinannya sah tidak menurut Gereja Katolik.
    2. Kalau suatu hari dia ingin menikah lagi dan tentu saja di Gereja Katolik, apakah bisa?
    3. Kalau tidak bisa (pertanyaan No.2), adakah solusinya?

    Terimakasih

    Salam kasih dalam Kristus Tuhan

    • Adihanapi Yth

      Permasalahan yang anda utarakan dalam istilah kanonis perkawinan sepasar bubar meski agak lama tidak 5 hari tetapi setahun. Perkawinan semacam itu memiliki indikasi untuk dapat diajukan pembatalan perkawinan di Tribunal keuskupan. Tentu saja pihak pemohon menulis surat permohonan ke lembaga Gereja. Perkawinan mereka tetap sah secara sipil dan mempunyai ikatan natural, tapi tidak sah kanonik (karena tidak didepan pastor katolik). Perkawinan sah kalau memenuhi 3 syarat material konsensus (tidak ada cacat konsensus), formal perkawinan (dihadapan pastor dan dua saksi) dan material perkawinan (tidak ada halangan). Menikah lagi di Gereja Katolik bisa sejauh keadaan masing-masing yang hendak menikah memenuhi 3 syarat tadi.

      salam
      Rm wanta

  11. Sore Romo,
    Saya ada satu kasus perkawinan nich, mohon dibantu jalan keluarnya ya Mo…. Gini lho Mo, temenku cewek adalah seorang Prostestan dan telah menikah dengan seorang prostestan juga, tapi saat ini karena suaminya kurang bertanggung jawab dengan rumahtangga mereka, kerjanya mabuk-mabukan, bahkan sudah hampir 3 tahun mereka berumahtangga belum diperoleh keturunan pendeknya mereka sering perang mulut, perang batin apalagi, jadi akhirnya temanku (si cewek) tidak tahan lagi lalu mengajukan perceraian ke pengadilan. Dan saat ini surat dari pengadilan telah putus bahwa mereka telah bercerai. Lalu temanku ini punya kekasih seorang duda (cerai karena istri telah meninggal 4 tahun yg lalu) khatolik, dan mereka sudah berencana untuk menikah. nah dalam kasus ini, apakah mereka dapat di berkati di Gereja KhatoliK? Bagaimana prosedurnya/ apa yang harus mereka lakukan Mo? Mohon perncerahannya ya Mo. terimakasih sebelumnya.

    • Christine Yth

      Semoga bisa diberkati di Gereja Katolik namun ada prosesnya sebagai berikut: apakah yang teman anda yang cewek Protestan itu mau menjadi Katolik? Karena ia akan menikah dengan orang Katolik? Jika ya ada kemungkinan besar, sebagai alasan menikah dengan orang Katolik, ia dapat memohon kemurahan hati bapak Uskup untuk memutuskan perkawinan natural dengan suami yang Protestan dalam perkawinannya terdahulu, yang kurang bertanggungjawab itu. Setelah mendapat surat pemutusan hubungan perkawinan yang sebelumnya, dia statusnya bebas tanpa ikatan (tentu dengan menyertakan surat cerai sipil ke Uskup- dan ceritakan semua peristiwa perkawinannya). Setelah semua beres sekarang si duda Katolik itu menyertakan surat kematian istrinya untuk membuktikan bahwa dia statusnya bebas. Setelah semua beres maka bisa pekawinan dilangsungkan di Gereja Katolik. Semoga dapat dipahami dan ajukan ke Bapak Uskup melalui tribunal perkawinan.Tuhan memberkatimu

      salam
      Rm Wanta

  12. Romo, saya bersyukur bisa menemukan situs ini, karena saat ini saya memiliki masalah yang saya sendiri bingung mencari jalan keluarnya.
    8 tahun lalu saya menikah secara katolik dengan mantan suami saya. Saat itu usia saya 17 tahun lebih. Saya terpaksa menikah karena saya sudah hamil terlebih dahulu. Namun tetap perkawinan itu kami laksanakan karena kami juga saling mencintai. Kami dikaruniai seorang anak laki-laki dari perkawinan kami. Namun di usia perkawinan kami yang ke 2, saya terbawa arus pergaulan bebas. Saya tertarik dengan pria lain dan akhirnya terjadi kasus perselingkuhan. Saat mengetahui hal ini suami saya marah besar, dan akhirnya kami hidup terpisah. Anak saya ikut suami. 3 tahun setelah peristiwa itu, saya menyadari kesalahan saya. Saya bertobat, dan ingin memperbaiki semuanya. Mengingat saya menikah secara katolik dan tak terceraikan, saya berusaha untuk kembali kepada suami dan anak. Tetapi pada kenyataannya suami sudah menemukan wanita lain yang menggantikan saya sebagai istri dan sebagai ibu dari anak saya. Perlu diketahui suami saya menikah secara islam di pernikahannya yang kedua, dan dikaruniai satu orang anak laki2.
    Menyadari bahwa semuanya sudah terlambat bagi saya, saya menjalani hidup saya sendiri. Saya juga tidak terpikir untuk mencari pasangan hidup lagi, karena terus terang saya sangat merasa berdosa terhadap suami dan anak saya. Sampai saat ini rasanya masa lalu saya selalu membayangi kehidupan saya, dan terasa dikejar-kejar dosa setiap hari. Saya tidak pernah berkomunikasi ataupun bertemu dengan suami dan anak. Saat ini saya sudah bertobat penuh, dan ada seorang laki2 perjaka yang ingin menikahi saya. Awalnya saya menolak, karena mengingat perkawinan saya yang sebelumnya belum dibatalkan sakramennya. Namun dengan berjalannya waktu kami mendengar informasi bahwa ada pembatalan nikah dalam pernikahan katolik. Kami berdua belum tau harus berbuat apa, karena jujur kami saling mencintai, tapi kami tetap ingin memegang teguh iman katolik kami. Kami tidak ingin hanya karena ingin membangun rumah tangga baru, saya harus berpindah ke lain agama.
    Saya mohon bimbingan romo, apa yang harus kami lakukan? Atau mungkin kami harus menerima keadaan saling mencintai tanpa adanya ikatan pernikahan di depan altar?
    Kami mohon saran romo, agar kami tidak salah langkah dalam hal ini. Terimakasih

    • Hertanti Yth

      Anda dapat menulis surat permohonan (libellus) ke tribunal perkawinan dimana anda diteguhkan perkawinan kemudian anda akan diproses terlebih dahulu surat permohonan disertakan surat permandian dan perkawinan anda. Ceritakan semua peristiwa kehidupan perkawinan anda dan saksi-saksi yang mengetahui perkawinan anda untuk diinterogasi.
      Pihak tribunal akan memutuskan apakah perkawinan anda dapat dibatalkan atau tidak, sesuai dengan hasil pemeriksaan yang mereka lakukan.

      Tuhan memberkati

      salam
      Rm Wanta

  13. Romo, saya mau bertanya. Apabila ada seorang lelaki katholik yang sudah dibaptis menikah dengan wanita muslim secara Islam, kemudian mereka bercerai. Lelaki katholik ini kemudian menjalin hubungan dengan wanita katholik dan akan menikah secara katholik. Bagaimana menurut Romo? Terima kasih atas jawabannya Mo.

    • Maria yth,
      Seorang lelaki katolik yang menikah dengan seorang muslimah tanpa adanya dispensasi dan menikah di KUA, maka secara hukum kanonik tidak sah. Jika ia bercerai dan ingin menikah lagi di Gereja Katolik maka harus melalui prosedur pemutusan hubungan perkawinan pertama dengan seorang muslimah tersebut, meskipun tidak sah. Dengan jalan proses dokumenter administratif, maka prosesnya lebih cepat; bukan anulasi perkawinan melalui hukum proses seperti biasa.
      Dalam proses, diadakan interogasi dengan pihak-pihak terkait. Sesudah ia mendapat pemutusan ikatan perkawinan terdahulut, baru ia dapat memperoleh pengesahan perkawinan dengan seorang wanita katolik.
      Semoga dapat dipahami. Berkat Tuhan.
      salam
      Rm wanta

  14. Romo Wanta,
    Jika seorang pria katolik (baptis bayi) menikah dengan wanita yang baru di baptis 3hari sebelum hari pernikahan mereka, dan mereka tidak menjalani kursus persiapan perkawinan, dan tentu juga tanpa menjalani penyelidikan kanonik, jika dalam perkawinan mereka timbul masalah yg sulit diselesaikan (meski mereka telah berjuang terus utk tetap bersatu), apakah mereka dapat mengajukan pembatalan perkawinan? jika ya, apakah proses tsb melewati tribunal juga, atau melalui Ordinaris? (krn cacat kanonik..). Jika cacat kanonik seperti ini, berapa lamakah proses pembatalan perkawinan itu dapat selesai (paling lama)? Terima kasih banyak sebelum dan sesudahnya.

    • Maria Yth
      Semua orang yang di dalam hidup perkawinanya mengalami kesulitan yang tak dapat ditanggulangi karena bermasalah sejak awal, dapat mengajukan pembatalan perkawinan asalkan memenuhi syarat dalam surat permohonan dan kasusnya tidak bisa dirujukkan kembali dan tindakan dilakukan hanya melalui tribunal. Apa yang anda ceritakan bisa diajukan, tentu tetap melalui tribunal perkawian. Kalau lewat proses biasa paling lama bisa 3 tahun, tapi normalnya 1,5 sampai 2 tahun.
      salam
      Rm Wanta

      • Terima kasih banyak Romo atas penjelasannya. Memang membutuhkan waktu yg lama, dan belum tentu dikabulkan oleh tribunal, karena banyak kasus berat juga tidak terkabulkan. Saya sendiri sangat2 ingin tetap memeluk Katolik, krn sudah Katolik sejak bayi, namun sepertinya harapan beriman Katolik akan pupus, karena calon saya pria yg telah bercerai (katolik), dan tidak mungkin kami menunggu selama itu mengingat usia kami tidak muda lagi. Jika kami menikah sec Protestan, apakah masih boleh mengimani Katolik, mengikuti misa di gereja katolik? Dan apakah dengan kondisi seperti itu kami tidak berdosa krn meninggalkan katolik ketika menikah, namun tetap ke gereja katolik?Kami betul2 tidak bisa meninggalkan kekatolikan kami, tapi kami tidak punya cara lagi utk tetap menjadi katolik… kalau ingat ini sangat menyedihkan ya romo… Terima kasih sebelumnya.

        • Shalom Maria,
          Saya turut prihatin dengan kondisi yang sedang dialami oleh Maria. Namun, saya sependapat dengan Romo Wanta, menganjurkan agar Maria mengajukan terlebih dahulu permohonan Anulasi perkawinan calon suami anda yang terdahulu. Karena tanpa diluluskannya permohonan Anulasi (pembatalan perkawinan) ini, maka sesungguhnya di hadapan Tuhan, ikatan perkawinan yang terdahulu antara calon suami anda itu dengan istrinya masih tetap ada. Oleh karena itu, maka perkawinan Maria dan calon suami anda tidak dapat dipandang sah oleh Gereja Katolik, meskipun perkawinan anda mungkin dapat diberkati di gereja Protestan. Dalam keadaan demikian, maka Maria dan suami tidak dapat menerima Komuni, jika nanti kembali ke Gereja Katolik, karena di mata Gereja dan di hadapan Tuhan sebenarnya anda berdua hidup melanggar perintah-Nya.
          Saya tidak tahu persis bagaimana suara hati anda menyikapi hal ini. Karena saya mengenal seseorang juga yang menghadapi kasus seperti anda, dan memilih untuk menikah di gereja Protestan. Namun sesudahnya, ia dikejar perasaan bersalah sampai sekarang, karena mengetahui ia sesungguhnya telah ‘mengakali’ Tuhan. Ketika Tuhan bersabda, "Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia," (Mat 19:6) itu adalah perintah yang serius. Tuhan Yesus sangat serius dalam urusan perkawinan, karena perkawinan menggambarkan kesatuan yang tak terceraikan antara Dia dengan Gereja-Nya (lih. Ef 5: 25-27, 32).
          Saya mengajak Maria untuk sejenak merenungkan firman Tuhan dan kasih Allah kepada anda. Jika Allah begitu mengasihi anda sampai sekarang, mengapakah anda tidak bersedia untuk mengikuti perintah-Nya? Apalagi jika ini hanya berupa menunggu sampai permohonan anulasi itu diluluskan. Jika memang ditemukan adanya bukti-bukti tidak adanya/cacat kesepakatan perkawinan, sehingga perkawinan yang terdahulu itu dapat dibatalkan, maka anda dapat melangsungkan perkawinan anda dengan calon suami anda dengan hati lapang. Memang tidak bisa dijamin bahwa semua permohonan anulasi dapat dikabulkan, namun mengapa anda tidak mau mencobanya, jika memang dari datanya, ada kemungkinan ditemukan cacat kesepakatan tersebut. Ini bahkan dapat menjadi ujian bagi anda: jika memang Tuhan menghendaki pernikahan anda, Tuhan akan membukakan jalan, namun jika tidak (permohonan anulasi tidak dikabulkan), artinya rencana perkawinan anda ini tidak sesuai dengankehendak-Nya.
          Maria, anggaplah apa yang saya utarakan ini sebagai masukan dari sesama saudara dalam Kristus. Saya memberanikan diri untuk mengusulkan hal ini, justru karena saya melihat kesungguhan Maria untuk tetap menjadi Katolik. Semoga Tuhan memberikan kekuatan iman dan menambahkan kasih di dalam hati Maria, supaya anda dapat membuktikan kepada-Nya bahwa kasih anda kepada Tuhan melebihi kehendak diri anda sendiri. Soal umur selayaknya tidak menjadi alasan utama, karena sungguh, segala sesuatunya Tuhan yang menentukan. Kebahagiaan pernikahan anda nantinya ada dalam tangan Tuhan, dan juga masalah keselamatan jiwa anda dan suami. Bukankah lebih baik kita memperhatikan kebahagiaan kekal daripada hanya kebehagiaan di dunia ini? Jika fokus utama kita adalah melakukan kehendak Tuhan demi keselamatan kekal, maka segala sesuatunya akan ditambahkan kepada kita (lih. Mat 6:33).
          Saya akan turut mendoakan anda, semoga anda dan calon suami anda mendapat penerangan dan bimbingan Roh Kudus, sehingga dapat memutuskan segala sesuatunya, dalam terang iman dan kasih kepada Tuhan, di atas pertimbangan segala sesuatu yang lain.
          Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
          Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org

  15. Romo,
    Saya (baptis sejak bayi) sedang merencanakan menikah dg seorang duda cerai Katolik stlh mereka menikah 13 th. Perceraiannya sudah sah secara negara (sipil), namun belum secara gereja. Alasan bercerai adalah mantan istri yg amat otoriter shg melukai, menginjak2 harga diri suami, selama sekitar 7 th terakhir si suami sudah tidak tahan dg luka batin yg teramat dalam. Sifat/karakter yg otoriter, kemarahan yg super eksplosif dari mantan istri amat diyakini suami bahwa itu tidak akan bisa berubah. Dua anak mereka sering melihat kemarahan mamanya yg tidak terkontrol/ meledak2, bahkan kemarahan thd suami nya bisa bertahan 1.5 bulan. Kami ingin menikah secepatnya tahun depan.
    1. Apakah saya dan calon suami masih bisa melaksanakan pernikahan di gereja Katolik, meskipun tidak dengan ‘sakramen’? Kami berdua ingin tetap Katolik selamanya (kami baptis dari bayi).
    2. Jika kami tidak bisa menikah di Katolik, lalu terpaksa menikah di gereja protestan, apakah anak kami nanti bisa dibaptis Katolik? Dan apakah kami masih boleh menerima hosti setelah menikah di gereja protestan?
    Terus terang, kami tidak berniat sedikitpun meninggalkan Kekatolikan kami, tetapi saya bingung harus menempuh cara bagaimana. Terima kasih banyak sebelumnya.

    • Maria Yth
      Kasus yang anda tanyakan:
      1) Perkawinan yang diteguhkan di Gereja Katolik memiliki ikatan yang tidak terceraikan oleh siapapun, kecuali ada pembuktian bahwa perkawinan itu tidak ada sejak terjadi peneguhan, dengan bukti-bukti yang sungguh kuat dan dapat dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Langkah ini diproses dalam anulasi perkawinan di Tribunal. Kasus anda saya tidak bisa memastikan, apakah perkawinan suami anda pasti bisa dianulasi. Silakan mengajukan permohonan proses anulasi di Tribunal dimana perkawinan terdahulu suami anda diteguhkan.

      2) Jika semua dapat dibuktikan [yaitu bahwa tidak pernah ada kesepakatan perkawinan sejak sebelum perkawinan diteguhkan] dan calon suami anda bebas dari halangan perkawinan,  maka perkawinan anda berdua dapat diteguhkan di Gereja Katolik. Tapi jika halangan calon suami masih ada karena ikatan perkawinan sebelumnya, maka tidak dapat diteguhkan di Gereja Katolik. Sakramen itu secara otomatis diperoleh ketika kedua calon dibaptis yang diakui Gereja Katolik. Jadi jika suami masih terikat dengan perkawinan sebelumnya, tidak mungkin menikah [lagi] di Gereja Katolik.

      3) Jika anda menikah di gereja Protestan maka perkawinan anda tidak sah secara kanonik, sehingga tidak sah menurut Gereja Katolik. Maka, anda dan suami tidak bisa menerima Komuni kudus. Anak-anak yang lahir dari perkawinan tetap bisa dibaptis asal memiliki jaminan dididik secara Katolik oleh orang tuanya.

      Anjuran saya cobalah mengikuti aturan Gereja Katolik. Kasus suami anda diselesaikan di Tribunal keuskupan sampai memiliki status bebas agar dapat menikah dengan anda. Hubungi pastor paroki setempat di lingkungan anda tinggal dan minta bantuan untuk dibawa ke keuskupan.

      Semoga Tuhan memberkatimu
      salam Rm Wanta

  16. Romo,saya menikah dengan suami saya sudah 5th. Kami dianugrahi 2 org malaikat kecil. Dulu kami menikah karena keadaan pentng yaitu saya hamil. Ketika di depan altar saya merasa ragu dengan keputusan saya untuk menikah. ingin saya lari meninggalkan gereja tempat saya menikah. Tapi itu semua saya tahan karena saya tidak ingin mempermalukan keluarga saya. Sakramen perkawinan diberikan oleh kakak papa saya. Jadi dengan keraguan yang sangat akhirnya saya lakukan semuanya. Sejak awal pernikahan kami adalah kebohongan Romo. suami telah membohongi kedua orangtua saya yang katanya saat itu masih kuliah di malang semester akhir. Tapi semua itu hanya bohong. Saya juga tertipu Romo. Tapi saya berusaha untuk mempertahankan pernikahan saya walaupun suami saya seperti itu. Dia tidak bekerja dan gaya hidup sperti masih bujang. Pada akhir tahun lalu saya dapati kalau suami saya memiliki selingkuhan Romo. Mereka telah (sering) berhubungan layaknya suami istri. Pada mulanya saya sudah maafkan dia walau sakit hati saya sebagai istri. Tapi sampai saat ini tidak ada perubahan sikap dari suami saya. Kami masih hidup terpisah Romo. Dan slama terpisah 6bln bisa dihitung dengan jari dia sms or telp saya. Romo,bisakah saya mengajukan pembatalan untuk sakramen saya?Karena saya lelah di gantung seperti ini,saya rasa juga cinta itu sudah tidak ada lagi Romo, Saat ini saya sedang memproses perceraian saya secara sipil Romo. Mohon nasihat

    • Margaretha Dewi Yth.
      Jika anda yakin bahwa saat perkawinan anda terpaksa dan suami telah membohongi oran tua dalam perkawinan saat itu sehingga terbukti perkawinan anda kandas karena tidak ada tanggungjawab dan kesetiaan perkawinan dari suami, maka saya menganjurkan anda untuk memproses anulasi perkawinan ke Tribunal keuskupan di mana perkawinan anda diteguhkan. Mulailah dengan membuat surat permohonan dan baik jika pastor paroki bisa ikut terlibat dalam hal ini. Kemudian coba kumpulkan bukti-bukti sebelum perkawinan adanya cacat dalam konsensus sehingga perkawinanmu bisa dinyatakan tidak ada. Perceraian sipil tetap jalan sementara mengajukan anulasi ke Tribunal perkawinan keuskupan bisa dimulai. Semoga peristiwa ini tidak terulang lagi dan anda dapat membina dan mendidik anak-anak secara baik.
      Tuhan memberkatimu.
      Salam Rm Wanta

  17. Numpang tanya. Bagaimana status kekatolikan seseorang yang menikah dengan seorang protestan? Apakah ia masih boleh menerima komuni? Apakah ia harus disidi lagi di gereja yang baru? Terima kasih.

    • Sabinus Yth
      Seorang Katolik dikatakan tetap Katolik jika belum secara resmi formal keluar dari Gereja Katolik, dan masih mempraktekkan imannya di dalam Gereja Katolik. Karena perkawinan dengan beda Gereja tanpa dispensasi, dia tetap Katolik hanya dia terhalang kena sangsi tidak dapat komuni kudus karena hidup bersama yang belum sah kanonik. Orang Katolik tidak perlu sidi, kecuali jika dia keluar dari Gereja Katolik dan masuk Protestan. Sidi dianalogkan dengan sakramen Penguatan (pendewasaan iman), bagi saya tidak perlu lagi.
      Anda harus tetap menjadi Katolik, sekali Katolik selamanya Katolik.
      salam
      Rm Wanta

  18. romo boleh gak kami menikah di gereja kristen lalu kami menikah di gereja katolik, karena saat ini calon suami saya sedang belajar calon baptis dewasa, karena ada hal yang sangat penting maka kami harus menikah secepatnya. tapi orangtua kami belum mengizinkan karena saat ini kami masih kuliah. romo aku butuh banget sarannya karena keluarga dari pihak calon suami menginginkan kami segera menikah, aku ingin menikah secara kristen tapi tanpa pengetahuan dari orangtua aku. apa yang harus aku lakukan

    • Shera Yth.

      Jalan hidup dan pilihan menuju perkawinan itu adalah panggilan bebas dan hak asasi setiap manusia. Sebagai orang Katolik, kita hidup dalam tatanan Gereja dan juga dalam masyarakat. Untuk itu diperlukan aturan/hukum agar kehidupan dapat terkoordinasi dengan baik. Satu hal pokok yang anda harus pegang adalah bahwa setiap orang Katolik terikat dengan Hukum Gereja (bdk kann. 11; 208 dstnya), lihat hak kaum beriman kristiani. Karena itu, sebagai seorang Katolik, anda wajib menikah di Gereja Katolik di depan Pastor dan 2 saksi (forma canonica). Jika hal ini tidak memungkinkan karena alasan berat dan masuk akal, maka bisa mendapat dispensasi dari Forma Canonica di depan Pendeta di Gereja Kristen tapi harus dengan izin Ordinaris setempat (Uskup). Selain itu mohon juga izin dari perkawinan campur beda gereja. Jika semua hal itu dapat diselesaikan, maka perkawinan anda yang dilangsungkan di Gereja Kristen di depan Pendeta adalah sah dan sakramental. Jelas ya. Mohon dibicarakan baik-baik dengan orang tua. Dengan komunikasi dan keterbukaan, maka anda akan dengan tenang, tentram dan bahagia melangkah hidup perkawinan selanjutnya. Berkat Tuhan selalu
      salam
      Rm Wanta

        • Roed, Yth

          Alasan berat dan masuk akal misalnya: 1) karena memang keadaan tidak memungkinkan diteguhkan di depan imam katolik, calon anak pendeta saling bersikukuh mempertahankan pendapatnya dan disepakati untuk membagi tugas misalnya peneguhan pendeta dan sebelum menikah misa secara katolik. 2) Karena alasan pastoral dan lokasi dimana imam jarang dijumpai dalam melayani umat Katolik, dan memungkinkan peneguhan di depan pendeta. 3) Pertimbangan keluarga dan demi kebaikan bersama keluarga besar.
          Demikian beberapa contoh alasan yang berat dan masuk akal.
          Prinsipnya Gereja Katolik memberi kelonggaran untuk mendapatkan peneguhan karena memang dimungkinkan demi oikumene dan kesatuan umat beriman. Tapi ada juga Uskup yang tidak memberikan sama sekali juga karena alasan pastoral yang masuk akal.
          salam, Rm Wanta

  19. Syalom Romo RD.D. Gusti Bagus Kusumawanta, Pr

    Pertanyaan saya hampir sama dengan Sdr. Julius Santoso yaitu :
    1. Dapatkah seorang Perawan/Jejaka Katolik menikah dengan seorang Janda/Duda yang tadinya bukan Katolik mau menjadi Katolik? (Janda/Duda tersebut punya anak 1 dan keduanya bersedia hidup baru secara Katolik)

    • Veronika Yth

      Jawabannya harus dilihat dulu status liber (bebas) tanpa ikatan janda/duda tsb. Apakah janda atau duda tsb isitrinya atau suaminya telah meninggal atau masih hidup, ditinggal pergi atau masih ada ikatan (pisah ranjang). Hal-hal itulah yang perlu diselidiki.
      Prinsip perkawinan katolik dapat terjadi, jika pasangan calon pengantin tidak memiliki ikatan perkawinan sebelumnya. Kalau pasangan duda/janda yang sudah meninggal, maka bisa dikatakan tidak ada ikatan lagi. Untuk itu, silakan menunjukkan bukti bahwa pasangan telah meninggal kepada pastor paroki. Jika masih ada ikatan, maka itu menjadi halangan yang harus diatasi. Untuk mengatasinya, maka pastor paroki anda akan memberikan jalan keluar atau silakan menghubungi Tribunal Perkawinan keuskupan.
      salam
      Rm Wanta Pr

  20. Yth. Rama Wanta Pr
    Salam Damai

    Rama ada beberapa hal yang akan saya tanyakan perihal pernikahan Gereja Katholik yang saya imani menganut sekali untuk selamanya dan tidak dapat dibatalkan / dipisahkan kecuali oleh maut. Ada masalah muncul ketika teman saya yang menikah secara Gereja Katholik digugat cerai oleh istrinya (X)karena sesuatu hal (menurut versi istri bahwa suaminya menggunakan guna2, dan secara sipil mereka telah cerai (dalam sidang suami tidak pernah hadir karena bekerja diluar kota, dan dia sebenarnya tidak menghendaki perceraian, tetapi istrinya ngotot untuk bercerai). Kemudian si istri mengurus ke Gereja (Tribunal) kata istrinya bahwa Tribunal bisa membatalkan pernikahan Gereja mereka, kemudian apa anak yang telah lahir juga bisa dibatalkan ?? Apakah pertimbangan Gereja bisa membatalkan sakramen Pernikahan?? Saya dimintai tolong oleh pihak wanita (X) untuk menjadi saksi. Hal apakah yang harus saya siapkan Rama. Tks atas nasihat & masukkannya. Berkah Dalem
    Tambahan data:
    Melengkapi data tentang pertanyaan saya mengenai pembatalan pernikahan Gereja. Pernikahan teman saya dilaksanakan di Gereja Kumetiran Yogyakarta Keuskupan Agung Semarang. Dan pihak istri teman (X) telah tanya ke Romo di Paroki tsb bahwa bisa dibatalkan pernikahan mereka, karena ada cacat (padahal menurut saya sewaktu kanonik mereka menjawab dg baik, dan mereka telah mengenal pribadi masing-masing cukup lama), lagipula apa dokumen kanonik bisa diminta oleh istri teman (X) untuk mengurus perceraian / pembatalan ?? Saya kemarin sempat tanya ke istri teman (X) alasannya sudah tidak ada rasa dengan mantan suaminya. Apakah hal ini bisa sebagai dasar pembatalan pernikahan ?? Romo selama ini saya khususnya meyakini bahwa pernikahan Katholik tidak pernah bisa diceraikan. Kenapa kasus teman saya ini bisa ?? Terima kasih atas saran / masukannya. Berkah Dalem

    • Thomas Aquinas Yth.
      Prinsip annulasi perkawinan adalah adanya cacat konsensus saat peneguhan perkawinan baik oleh pihak suami atau istri atau keduanya. ada banyak pokok anulasi lihat di KHK 1983 mulai 1095 dstnya. Jika pembuktian menunjukkan adanya cacat konsesus dan setelah diadakan penelitian seksama dan berdasarkan penilaian kepastian moral, Hakim dapat dapat menyatakan perkawinan tersebut batal walau sudah berjalan karena ternyata perkawinan tersebut cacat konsensus. Dokumen kanonik bisa menjadi data tertulis biasanya ada catatan di situ kalau pastor meragukan pihak yang mau menikah. Tidak disimpan pihak istri atau suami, itu dokumen gereja harus di arsip paroki. Saksi-saksi akan menjadi kunci apakah ada sungguh bukti tidak adanya eksistensi perkawinan. Perlu diketahui pemutusan anulasi perkawinan ada dua tahap tingkat I kemudian tingkat II dan harus ada hakim kolegial (beberapa hakim) untuk proses tsb. Demikian panjang dan telitinya sehingga proses itu sungguh adil dan dalam nama Tuhan, Hakim diberi kewenangan dalam pemutusan perkara perkawinan. Benar perkawinan tidak bisa dipisahkan; tapi dalam kasus annulasi, perkawinan itu sesungguhnya tidak ada/ tidak lahir/ tidak eksis sehingga bisa dianulir oleh Gereja (ordinaris) yang memiliki kewenangan yang diberikan Tuhan demi kesejahteraan rohani umat-Nya. Semoga semakin jelas. Kalau belum jelas beli buku tentang tribunal di Kanisius dan buku saya juga ada di sana. salam Rm Wanta, Pr

  21. Romo,

    Kami menikah 13 th yang lalu secara katolik dan dikaruniai 3 orang anak (12,10 dan 4 th). Sebetul perkawinan kami sangat membahagiakan. Hanya saja 4 th yl keluarga kami dilanda masalah bertubi2. Ortu suami meninggal, ada bayi baru dalam keluarga, kantor suami sedang banyak masalah. Singkatnya, suami saya jatuh dalam perselingkuhan dengan seorang pegawai di kantornya. Kondisi psikis suami pada saat itu ternyata lebih parah dari yang kami duga. Upaya untuk bicara dengan pastor paroki, dan orang2 yang dekat dengannya malah membuat dia semakin memusuhi kami. Puncaknya, si wanita hamil dan dengan halus suami saya mulai di bawa ke dalam ide mengakhiri perkawinan kami dan mulai lembaran baru dengan si wanita ini. Masalahnya suami saya akhirnya mengakui, bahwa yang ia lakukan (membela si cewek dan mengawininya di gereja protestan di luar jawa, -yg tentu saja tidak sah dan akhirnya dibatalkan karena tidak ada surat cerai dan karena saat itu dia sudah mulai sadar bahwa dia tidak menginginkan perceraian dengan saya-) adalah semata karena ia sangat kecewa kami tidak percaya ia bisa memutuskan hubungan itu tanpa camput tangan kami. Akhirnya, pada saat si wanita hamil besar, suami saya meninggalkannya dan kembali pada keluarga kami (dia sempat pergi sekitar 3 bulan). Pada saat itu suami saya menyatakan bersedia menanggung semua biaya persalinan dan biaya hidup selama si ibu belum bisa bekerja. Namun semuanya akan dilakukan melalui saya (jadi saya yang menransfer, dll, dsb). Sebetulnya saya sangat berat menyanggupi ini, tapi karena saya mau membantu pertobatan suami saya, ya saya ok kan.
    MASALAH KAMI: si wanita menolak diberi uang kalau harus melalui persetujuan saya. Dia hanya mau ditengok dan dibantu kalau saya tidak diikutsertakan sama sekali. Suami saya menolak. Akibatnya, sampai sekarang suami saya belum pernah melihat dan memberikan apa pun ke pada si anak. Suami saya pernah bilang ke saya bahwa dia memilih untuk tidak lihat anak itu dan tidak bantu keuangan wanita itu sama sekali dari pada harus merahasiakan sesuatu dari saya lagi.
    Menurut romo, berdosakah suami saya kalau tidak memberikan bantuan keuangan ini? Apa yang mesti kami lakukan? (saya pernah mengirim satu tas baju anak tahun lalu dan semuanya dia langsung sumbang ke gerejanya…)
    Mohon jawaban romo.

    • Saudari Paula Yth.
      Suami anda karena sebelumnya menyatakan bersedia menanggung persalinan dan biaya hidup anak yang dilahirkan sampai ibu kandung anak itu bekerja, maka jika tidak terpenuhi sudah bisa dikategorikan berdosa. Berdosa karena tidak menepati janji, menelantarkan orang yang sedang susah, melanggar hukum kasih dan tidak bertanggungjawab atas perbuatannya. Maka saya anjurkan agar bertanggungjawab dengan mengirim dana untuk kelahiran anak yang dikandung oleh perempuan itu. Jika tidak mau lewat ibu lebih baik suami anda langsung mengirimkannya. Usaha ibu sungguh terpuji mengembalikan kesadaran dan ke jalan yang benar suami anda, dengan kasih dan pengampunan. Semoga suami tidak melakukan lagi sehingga kejadian serupa tidak terulang lagi. Sebagai penitensi, suami tetap harus bertanggungjawab atas perbuatannya dan memberi santunan kepada anak yang dilahirkan. Semoga bermanfaat dan keutuhan keluarga anda terjamin. Berkat Tuhan.
      Salam
      Rm Wanta

      • Pertama-tama saya salut sekali dengan cara Paula yang begitu berbesar hati menyikapi ‘musibah’ rumah tangga yang harus dialaminya itu. Saya yakin Paula seorang yang sangat beriman kepada Yesus.
        Saya tergerak untuk menanggapi kejadian ini. Terutama karena saya yakin bahwa ada Paula2 lain atau suami2 semacam suami Paula lain, baik yang membaca ataupun tidak membaca forum ini.
        Tentu Pak Paula (suami Paula) harus menerima dan menanggung konsekuensi atas perbuatannya, bertanggung jawab atas perbuatannya itu dengan cara sbgmana dikatakan Romo Wanta. Mengirimkan dana langsung tentu tidak harus berarti dengan bertemu secara langsung kepada wanita tsb. Tapi bisa dengan jalan transfer, yang dapat dilakukan bersama-sama oleh Paula dan suami. Ini untuk mengakomodir keinginan Pak Paula yang tidak mau ada hal tersembunyi dari istrinya. Lalu, jika ternyata transfer tidak memungkinkan, maka Paula mengantar suami untuk bertemu langsung dan memberikan dana sebagaimana dijanjikan. Pak Paula jangan sampai pergi sendiri menemui wanita itu lagi, karena beresiko untuk terjalinnya kembali hubungan terlarang dengan wanita tsb.
        NAH, pertanyaan kepada Rama Wanta : (1) Bagaimana jika ternyata wanita itu TIDAK MAU MENERIMA pemberian dari Pak Paula karena penyerahan dana/bantuan dalam bentuk lain dilakukan berdua oleh Paula dan Pak Paula? apakah Pak Paula masih tetap berdosa?
        Satu hal yang sebaiknya dipertimbangkan adalah, secara duniawi menurut saya masuk akal jika Pak Paula sangat menghindari untuk bertemu dan melihat anaknya, guna menjaga jangan sampai masuk ke dalam kesalahan yang sama. Membaca cerita Paula, kejadiannya sudah 4thn yll. Berarti anaknya juga sudah cukup besar, yang barangkali akan membangkitkan rasa ‘trenyuh’ Pak Paula dan ada keinginan untuk menjalin lagi hubungan tsb. (2) Mana yang lebih berdosa, tidak mengenal anak samasekali – walaupun jelas2 itu darah dagingnya, atau berhubungan dengan anak tsb yang berarti melanggar keutuhan perkawinan dengan Paula? Bagaimana menurut Rama?Terima kasih atas jawabannya.

        • Yustina dan Paula Yth,

          Pertama, secara hukum kodrati suami Paula memiliki tanggungjawab moral untuk membiayai anak dan (boleh) melihat anak kandungnya. Semakin dewasa anak itu harus diberi pengertian dan pemhaman bahwa ayahmu adalah ini…. Bukan berarti membangkitkan hubungan dengan wanita lain. Kedewasaan harus dibangun dalam hal ini. Sama halnya dengan keluarga yang adopsi anak, pelan dan sesudah mengerti (paham) anak perlu diberitahu bahwa kamu adalah anak angkat (itu lebih baik) dari pada disembunyikan dan nanti ketahuan lewat orang lain, atau diberitahu tetangga bahkan bisa menjadi omongan. Demikianlah jika kelak terjadi pertemuan anak dan ayah kandung bisa saling mengerti. Tapi kalau jarak jauh dan hal itu mungkin perlu hanya bisa disampaikan pada ibu kandungnya saja. Intinya anak perlu diberitahu siapa ayah kandungnya (baik oleh ibunya atau ayah kandungnya, jika memungkinkan). Soal kiriman dana yang penting usaha bertanggungjawab memberi nafkah kalau tidak sekarang ya nanti kelak kalau sudah besar bisa dikirim langsung pada anak tsb kalau ibunya tidak mau terima.
          semoga bermanfaat.

          salam
          Rm Wanta Pr

          Tambahan dari Ingrid:

          Shalom Paula,
          Pertama-tama saya ingin mengucapkan salut atas iman Paula, dan kesediaan Paula untuk mengampuni suami. Pastilah anda memperoleh kekuatan dan rahmat dari Tuhan untuk dapat melakukan hal itu. Untuk selanjutnya memang sebaiknya dipikirkan bagaimana untuk melakukan tindakan yang adil, baik bagi anak suami itu, maupun bagi keluarga Paula. Untuk itu diperlukan keterbukaan dari Paula dan suami untuk mendiskusikan caranya yang terbaik. Saya setuju dengan Romo Wanta, agar tetap mendukung anak itu secara finansial, walaupun juga harus dibarengi usaha, jangan sampai terjadi keretakan rumah tangga kembali, karena suami menjalin hubungan dengan ibu anak itu lagi. Saya usulkan, agar Paula dan suami semakin mendekatkan diri kepada Tuhan sebagai pasangan, seperti selalu berdoa bersama setiap hari, pagi dan malam, dan meluangkan waktu untuk berkomunikasi dari hati-ke hati secara rutin. Semoga dengan pertolongan Tuhan dan dengan komunikasi yang baik, segala masalah dapat anda selesaikan berdua karena tidak ada lagi yang disembunyikan di antara anda. Semoga Tuhan memulihkan segala rasa sakit hati dan menambahkan cinta kasih di antara anda dan suami.

          Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
          Ingrid Listiati

  22. Saya mau bertanya:
    1.Pernikahan yg sdh berjalan 5 tahun tetapi disadari dari awal krn tdk ada perasaan cinta
    Tetapi lbh krn kasihan dan terpaksa karena sudah pada persiapan yg mencapai titik akhir.
    Lbh karena kasian sama calon suami dan keluarga jd pernikahan terpaksa dilaksanakan.apakah itu sah?
    2.Stlh menikah pun hati rela dan berusaha utk dapat mencintai hingga rela bekeroban utk memilkiki keturunan karena
    Ingin ada perubahaan dlm kehidupan.tetapi akhirnya tetap tidak mampu
    Shg hati dan batin makin tersiksa.
    3.ketika keluarga suami yg dr awal kurang menyetujui slalu membuat masalah dlm rmh tangga
    Rasa mentok dan capek pun terasa amat saat mengganggu dan membuat hidup saya menjadi tidak nyaman lagi.

    Apa yang sebaiknya dilakukan?terima kasih

    • Saudari Ve yth
      Berusahalah mencari rama atau pastor yang anda kenal berdua. Datanglah dan ungkapkan peristiwa ini, serta mintalah nasihat darinya. Perkawinan yang tidak didasarkan atas cinta memang dapat menjadi halangan dan pokok anulasi, apalagi dengan terpaksa (bdk kan.1103). Sebaiknya anda mengajak suami anda untuk berbicara serius tentang perkawinan anda. Bicarakan dengan tenang mengapa kehidupan keluarga menjadi tidak nyaman? Selama keluarga tetap eksis, perkawinan masih sah; kecuali ada bukti yang menyatakan sebaliknya, melalui tribunal perkawinan (jalan terakhir). Silahkan anda membuat discerment dengan berdoa terlebih dahulu, semoga ada perubahan ke arah lebih baik dalam kehidupan keluargamu. Semoga Tuhan memberkatimu.

      Salam
      Rm Wanta

  23. Shalom Romo,
    Saya seorang gadis, berusia 25 tahun. Saat ini saya menjalin dengan seorang pria, lajang usia 26 tahun. Kami sudah berhubungan selama hampir 10 tahun.
    Sejak awal orang tua saya tidak menyetujui hubungan kami berdua karena perbedaan ras.
    Kami berdua sudah coba bernegosiasi dengan orang tua saya mengenai hal ini, tapi prinsipnya tetap tidak setuju karena perbedaan ras tersebut. Saya sudah ajak mama (karena papa sudah meninggal) untuk bertemu dan berkenalan, hanya beliau tetap keukeuh tidak mau bertemu sekalipun.
    Akhirnya kami memutuskan untuk tetap melangsungkan sakramen karena kami sudah mantap satu sama lain, dan kami ingin buktikan bahwa semua mitos yang beredar tentang pernikahan beda ras itu tidak benar. Yang paling penting adalah kami saling mencintai dan sudah siap menjalankan suka dan duka kami bersama.
    Pertanyaan saya, bila nanti kami sudah menerima sakramen pernikahan dan sudah disahkan gereja, dapatkan orang tua saya mengajukan pembatalan pernikahan karena alasan tersebut?
    Terima kasih atas jawabannya, romo.

    • Choco Yth. Perkawinan anda tetap sah dan sesuai dengan aturan Gereja Katolik. Anda sudah dewasa ketika mau melangsungkan perkawinan, jadi meskipun orang tua ngotot dengan pendiriannya untuk tidak setuju, maka itu tidak memengaruhi keabsahannya. Syarat pokok adalah anda berdua harus sadar dan bebas bertanggungjawab atas kesepakatan yang anda ucapkan, tidak ada tekanan dan paksaan dalam perkawinan. Dalam mengajukan pembatalan biasanya dilakukan oleh pihak yang menikah (suami atau istri) atau promotor iustitiae karena melihat ketidakadilan dalam kehidupan keluarga. Tapi kalau semua baik dan sejahtera maka perkawinan itu tetap berdiri (eksis) dan berjalan sampai ada bukti kebalikannya tidak sah. Ketidaksetujuan bukan menjadi alasan yang membatalkan konsensus anda berdua. Prinsip pokok ada dalam diri anda berdua (disposisi batin dan pribadi anda) salam Rm Wanta

      • Dear Rm. Wanta,
        Terima kasih untuk jawabannya. Selama ini kami berdua terus mencari jawaban untuk pertanyaan tersebut. Paling tidak membuat kami semakin mantap untuk melangkah. Mohon bantuan doa agar semua berjalan lancar.

  24. Romo, saya pernah dengar tentang sebuah kasus, ada sebuah pasutri keduanya muslim, lalu mereka bercerai. Selang beberapa lama, sang suami ingin menjadi katolik dan menikah dengan seorang wanita katolik. Romo paroki menyetujui dengan syarat: istri lama (muslim) tidak boleh dibaptis dalam gereja katolik, dengan alasan pernikahan pertama mereka (secara muslim) akan berubah jadi sakramen bilang sang istri juga dibaptis.
    Apakah ini benar? Bagaimana jika sang Istri (muslim) setelah itu juga mendapatkan jodoh orang katolik dan ingin di baptis?
    Apakah hukum2 perkawinan menghalangi org memperoleh keselamatan(baptis)?

    • Gabrielle Yth.

      Apa yang dikatakan pastor paroki itu benar peristiwa itu disebut perkawinan yang diputuskan melalui dispensasi, memohon kemurahan pada Ordinaris dengan “previlegi pauliunum” atau matrimonium per favourem dei fiedei. Perkawinan diputuskan degan kemurahan demi iman pihak yang akan dibaptis. Syaratnya harus ada interpelasi atau interigasi pihak yang ditinggalkan dan pihak yang mau menjadi katolik. Sedangkan istri kalau mau menikah lagi menjadi katolik bisa asalkan sesudah perkawinan pertama dari pasangannya menjadi katolik dan bukan saat mereka masih utuh dan perkawinan masih eksis. Semoga bermanfaat.
      Salam
      Rm Wanta, Pr

  25. Syalom Rm. RD. D. Gusti Bagus Kusumawanta, Pr.
    Tanya Romo :
    1. Dapatkah seorang Perawan / Jejaka Katolik menikah dengan seorang Janda / duda cerai beda agama melaksanakan pernikahannya di Gereja Katolik?.
    2. Bagaimanakah syaratnya apabila seseorang akan menikah di Gereja Katolik, kalau :
    a. Beda agama?
    b. Beda Gereja?.

    Terima kasih atas jawabannya.

    • Julius Yth
      Jawaban pertanyaan nomor satu tidak bisa karena ada halangan beda agama/gereja dan salah satu calon sebelumnya pernah menikah meskipun telah cerai sipil. Kedua, syarat perkawinan beda gereja/agama adalah halangan itu harus diatasi dulu, yakni dengan meminta dispensasi dari perkawinan beda agama atau izin beda gereja pada ordinaris wilayah (Uskup setempat).
      Semoga bermanfaat.
      Salam
      Rm Wanta, Pr

Comments are closed.