Akhirnya, musim ujian telah tiba! Saat ini, aku sedang menjalani Ujian Tengah Semester (UTS). Biar dalam biara, aku tetap harus menjalani studi akademik. Apalagi, aku masih dalam masa formasi. Hingga hari ini, sudah ada tiga mata pelajaran yang telah diujikan. Jadi teringat masa ujian waktu kuliah dulu. Begadang mengejar materi pelajaran yang tertinggal, belajar kelompok dengan teman-teman, pusing saat menjawab soal ujian, dll. Benar-benar nostalgia.

Hingga tiga mata kuliah diujikan, aku masih jengkel pada diri sendiri. Perkaranya, aku hanya tinggal sejengkal dari nilai sempurna (ciehh, bukannya mau sombong :P). Parahnya, aku tersandung hanya karena kelalaian-kelalaian sepele, seperti lupa menuliskan jawaban, tidak memperhatikan perintah soal dengan baik, dll. Padahal, bukannya aku tidak ingat jawaban atas soal-soal yang ada. Kalau tidak tahu jawabannya atau soal terlalu sulit, aku masih bisa pasrah.

Sambil mempersiapkan ujian berikutnya, aku merenungkan pelan-pelan apa yang menyebabkan aku bisa begitu teledor. Jika dipikir-pikir, sebenarnya aku tidak perlu mengeluh masalah nilai ini. Malah, seharusnya aku bersyukur. Nilai yang aku peroleh bukannya nilai jelek. Selain itu, Tuhan sudah begitu baik menuntunku sehingga aku bisa mengejar jarak ilmu antara aku dan saudara-saudaraku yang berasal dari seminari. Lha wong biasanya mengurusi masalah marketing dan target penjualan, sekarang harus belajar bahasa Latin dan Kitab Suci. Bisa dapat nilai baik sebenarnya sudah harus bersyukur.

Tapi, mungkin Tuhan juga punya pesan lain melalui ujian-ujian ini, yakni mengenai semangatku mengejar kesempurnaan. Aku begitu semangat belajar mempersiapkan ujian dan menjawab ujian. Aku juga begitu kecewa ketika aku tidak dapat meraih nilai sempurna karena kesalahan kecil. Semangatku untuk meraih nilai sempurna begitu berkobar. Apakah kobaran ini juga hadir dalam perjuanganku meraih kesempurnaan hidup kudus? Pertanyaan yang mendadak terlontar ini langsung membuat semua celoteh mengenai nilai ujian dalam benakku terdiam. Jika aku begitu berjuang untuk kesempurnaan nilai yang fana, apakah aku melakukan hal yang sama untuk nilai yang baka?

You got me, Lord! Skak mat.. Aku memang belum memiliki semangat yang sama dalam hal hidup kudus. Aku tidak dapat menerima diriku yang teledor dalam menjawab, namun aku mentoleransi saat dosa menggoda, karena menyepelekan dan menganggap dosa itu dosa ringan. Aku, yang begitu semangat mempersiapkan ujian, seharusnya juga mempersiapkan diri lebih baik lagi untuk menghadapi ujian hidup yang bisa datang kapan saja. Belum tentu ada remidi lagi. Sebagaimana aku ingin sempurna dalam hal nilai, aku juga terlebih-lebih harus berjuang dalam hal kekudusan hidup. Karena hanya dengan memiliki hidup kudus, aku dapat memeluk dan mencium Allah pada waktu-Nya nanti.

“Berlarilah, melompatlah, buatlah keributan, tapi jangan berbuat dosa” – St. Yohanes Bosco.