Pertanyaan:
Shalom Pak Stef dan Bu Inggrid,
Sebelumnya saya ingin mengucapkan syukur atas website ini yang telah membantu saya dalam hal apologetik. Ada yang ingin saya tanyakan mengenai budak. Posisi Gereja di jaman sekarang mungkin sudah jelas mengenai perbudakan, tapi bagaimana dengan dulu?
Saya hanya sekilas membaca di internet bahwa Gereja baru melarang perbudakan beberapa abad belakangan mengikuti perkembangan jaman, sedangkan dulu kesannya bukan suatu masalah, misalnya bagaimana menanggapi keluaran 21? Dalam perjanjian baru pun beberapa kali tersirat disebutkan ada yang namanya perbudakan. Apakah benar bahwa Paus pun dulu memiliki budak?
Mohon penjelasannya, termasuk posisi islam dalam hal ini, yang bahkan mengatur (saya tidak baca sendiri) lebih detail lagi mengenai perbudakan dalam Al Quran. Apakah ada relevansi masalah TKW yang bekerja di Arab yang sering terjadi masalah penganiayaan sampai hari ini dan terkesan dibiarkan oleh pemerintah mereka karena mereka mencoba mengambil keuntungan dari apa yang tertulis dalam Al Quran?
Terima kasih atas kesempatan yang diberikan, Tuhan memberkati pelayanan Bapak dan Ibu selalu.
Teddy
Jawaban:
Shalom Teddy,
1. Jika kita mempelajari Kitab Suci, maka kita mengetahui bahwa kedatangan Kristus merupakan penggenapan nubuat para nabi, yaitu bahwa Kristus datang untuk membawa pembebasan kepada orang-orang tawanan dan orang-orang yang tertindas (lih. Luk 4: 18-21). Penggenapan nubuat ini mencapai puncaknya melalui wafat dan kebangkitan Kristus, dan karena itu, maka para rasul mengajarkan kepada para jemaat awal, bahwa di dalam Kristus, tidak ada lagi penindasan, tidak ada lagi pembedaan antara budak ataupun orang merdeka, karena kita semua yang dibaptis dalam Kristus dipersatukan menjadi anggota-anggota Tubuh-Nya sendiri:
“Sebab dalam satu Roh kita semua, baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, baik budak, maupun orang merdeka, telah dibaptis menjadi satu tubuh dan kita semua diberi minum dari satu Roh.” (1 Kor 12:13, lih. juga Gal 3:37-28)
“….dalam hal ini tiada lagi orang Yunani atau orang Yahudi, orang bersunat atau orang tak bersunat, orang Barbar atau orang Skit, budak atau orang merdeka, tetapi Kristus adalah semua dan di dalam segala sesuatu.” (Kol 3:11)
Maka sudah sejak abad awal para rasul telah menanamkan benih pengajaran persamaan hak-hak azasi manusia, walaupun pada zaman mereka memang perbudakan masih ada/ umum. Menurut sejarah, perbudakan ini tidak secara otomatis ditumpas oleh ajaran para rasul, namun kita mengetahui bahwa menurut pengajaran Kristiani, para tuan diajar untuk berlaku adil, dan jujur terhadap para hamba (Kol 4:1) dengan menghargai hak-hak hamba mereka, dan mengingatkan kepada para tuan, bahwa merekapun mempunyai Tuan yang di surga, yaitu Allah. Hal ini dicontohkan oleh Rasul Paulus sendiri, seperti yang kita baca di suratnya kepada Filemon. Di surat itu, Rasul Paulus mengembalikan Onesimus (yang disebutnya sebagai ‘anakku’ dan ‘buah hatiku’ lih. Film. 1:10, 12) kepada Filemon yang dulunya adalah tuan dari Onesimus. Rasul Paulus mengatakan demikian tentang Onesimus kepada Filemon,
“….dahulu memang dia tidak berguna bagimu, tetapi sekarang sangat berguna baik bagimu maupun bagiku… Sebab mungkin karena itulah dia dipisahkan sejenak dari padamu, supaya engkau dapat menerimanya untuk selama-lamanya, bukan lagi sebagai hamba, melainkan lebih dari pada hamba, yaitu sebagai saudara yang kekasih, bagiku sudah demikian, apalagi bagimu, baik secara manusia maupun di dalam Tuhan. Kalau engkau menganggap aku temanmu seiman, terimalah dia seperti aku sendiri.” (Flm 1:11, 15-17)
Dengan demikian jelaslah Kristus memperbaharui pengajaran PL (Kel 21), karena pengorbanan Kristus di kayu salib telah menebus semua orang, termasuk para hamba. Bahkan ajaran Kristus adalah agar kita berbuat kasih kepada mereka yang terkecil dan terhina, sebab dengan demikian kita melakukannya untuk Dia (lih. Mat 25: 40). Dengan demikian peraturan perbudakan dalam PL (Kel 21) diperbaharui di dalam PB, sepertihalnya sunat, yang juga tidak lagi diharuskan dalam PB.
2. Harus diakui tidaklah mudah untuk mengubah tatanan masyarakat pada abad- abad awal bahkan sampai abad pertengahan, di mana perbudakan masih merupakan sesuatu yang legal. Hukum Romawi pada saat itu tidak mengakui hak budak untuk menikah dan membesarkan anak-anak, dan tidak mengakui halangan perkawinan yang tidak wajar pada budak. Hal-hal inilah yang pertama- tama mendapat perhatian oleh Gereja yang terus berlanjut sampai mengusahakan pengakuan persamaan hak azasi manusia. Berikut ini saya sarikan beberapa point yang penting yang dilakukan oleh Gereja Katolik dalam hal ini, berdasarkan sumber di link ini, silakan klik, dan ini, silakan klik.
- St. Basil (330- 379): Bagi Gereja, perkawinan para budak/ hamba adalah sakramen, sehingga tetap memiliki kesatuan yang tak terceraikan (Ep. cxcix, 42). Hal ini kemudian ditekankan kembali oleh Paus Adrian I (771-795)
- St. Gregorius Nissa (335- 394) menuliskan penolakan absolut terhadap perbudakan (dalam Ecclesistem, hom, iv)
- St. Yohanes Krisostomus (347-407): “Perbudakan adalah buah dari hasrat yang berlebihan,… keserakahan” (Epist. as Ephes., Hom, xxii.2 Para budak mempunyai hak atas istri mereka dan hak untuk membesarkan anak-anak mereka (Ep. ed. Ephes., Hom XXII, 2). “Mereka yang mengadakan hubungan tak bermoral dengan istri seorang budak sama bersalahnya seperti jika ia mengadakan hubungan tersebut dengan istri pangeran; keduanya berzinah…. (“In I Thess“, Hom. v.2; “In II Thess, Hom iii, 2). St. Yohanes Krisostomus mengajarkan visi kemasyarakatan tanpa perbudakan.
- Konsili di Orleans (511, 538, 549) dan Konsili Epone (517) memberi perhatian dan perlindungan kepada para budak dan membuka gereja-gereja sebagai tempat penampungan/ pengungsian para budak yang diperlakukan dengan tidak wajar.
- St. Gregorius Agung (595) memperbolehkan budak untuk menjadi imam pertapa tanpa persetujuan tuan/ majikannya.
- Konsili Auxerre (578, 585) menetapkan hari istirahat bagi para budak pada hari-hari Minggu dan hari perayaan.
- Konsili Verberie (752) dan Compiegne (759) menyatakan sahnya pernikahan antara para orang merdeka dan budak.
- Ordo Trinitarian yang didirikan tahun 1198 oleh St. Yohanes Martha dan St. Felix of Valois mendirikan rumah-rumah sakit di Algiers dan Tunisia pada abad 16 dan 17, dan membebaskan 900.000 budak pada tahun 1787. Ordo Our lady of Ransom (Mercedarians) yang didirikan abad 13 oleh St. Petrus Nolasco, membebaskan 490.736 orang budak antara 1218-1632. Kaul mereka adalah, “Jika perlu, menjadi tawanan di tangan orang-orang kafir, bagi pembebasan umat Kristus.” Maka banyak dari Mercedarians ini yang memegang kaul ini sampai dibunuh menjadi martir. St. Vincentius de Paul mengirimkan para imam dari ordonya untuk membebaskan para budak, dan dari tahun 1642- 1660 membebaskan 1200 budak. Sejak abda ke- 15 misionaris Katolik, teolog dan pemimpin negara bekerja keras untuk memerangi “human trafficking” untuk dijadikan budak.
- Para Paus yang mengecam perbudakan: Pius II (1462): Perbudakan adalah perbuatan kriminal yang besar (magnusm scelus); Paul III (1537): melarang perbudakan orang-orang Indian; Gregorius XIV (1591); Urban III (1639); Innocentius (1686); Benediktus XIV (1741); Pius VII (1815); 6) Gregorius XVI (1839) melarang perbudakan dan penjualan budak; 7) Pius IX (1846); 8) Leo XIII (1888) yang menginstrusikan kepada uskup-uskup Brazil untuk melenyapkan sisa-sisa perbudakan di daerah mereka. Paus Leo XIII dengan ensikliknya Rerum Novarum juga sangat jelas membela hak kaum pekerja.
- Pada masa Revolusi Perancis, atas pengaruh seorang Imam Katolik, Abbe Henri Gregoire (1750-1831) National Assembly 1794 mendekritkan penghapusan perbudakan dan perdagangan budak di semua daerah kekuasaan Perancis. Tahun 1890, Kardinal Lavigerie (1825-1892) mendirikan badan anti perbudakan untuk memerangi perbudakan pada lingkup interbasional. Maka dapat dikatakan bahwa Gereja Katolik menentang perbudakan dan Gereja berperan aktif untuk mengakhiri perbudakan di Eropa.
- Dr Jaime L Balmes dalam bukunya European civilization: Protestantism and Catholicity compared (Baltimore: Murphy & Co, 1850, 1874) bahkan memberikan ringkasan langkah-langkah yang berarti yang dibuat oleh gereja Katolik dari abad awal sampai pertengahan untuk melawan perbudakan, sebagai berikut:
- 441 A.D. (censuring slavers)
- 549 A.D. (church buildings as refuges for escaping slaves)
- 566 A.D. (excommunication-of-slavers proviso)
- 583 A.D. (church issuance of freedom papers)
- 585 A.D. (use church property to free slaves)
- 595 A.D. (freeing entrants to monastic life)
- 616 A.D. (liberty restoration proviso)
- 625 A.D. (ban new slaves, use church property to free current slaves)
- 666 A.D. (ban shaving slaves)
- 844 A.D. (use church property to free slaves)
- 922 A.D. (defines slave-trade as homicide)
- 1102 A.D. (ban slave trade)
3. Melihat begitu konsistennya perjuangan Gereja Katolik untuk memerangi perbudakan, maka dengan obyektif kita dapat mengatakan bahwa Gereja Katolik tidak pernah mendukung perbudakan. Karena itu saya rasa tidak berdasar jika mengatakan Paus memiliki budak. Kalaupun sampai ada orang-orang yang bekerja sebagai pelayan (seperti yang disebutkan oleh Rasul Paulus terhadap Onesimus), itu tidak diperlakukan sebagai budak, karena hal itu tidak sesuai dengan ajaran Kristus dan para rasul.
4. Saya tidak dalam posisi untuk menerangkan pandangan Islam dalam hal perbudakan di sini. Silakan anda bertanya kepada ahli dalam ajaran agama Islam.
Demikian semoga keterangan di atas menjawab pertanyaan anda.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- www.katolisitas.org
Dear Katolisitas,
Apakah dalam Kisah di PL, ada kisah Tuhan menghalalkan untuk menggauli budak?
Terimakasih
Shalom Dianne,
Kitab Kejadian mengajarkan kepada kita bahwa sejak penciptaan manusia pertama, Allah berkehendak untuk menjadikan perkawinan sebagai ikatan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan/ istrinya (lih. Kej 2:24), dan dengan demikian tidak menghendaki perkawinan dengan banyak istri. Hal perkawinan monogam ini diajarkan kembali oleh Kristus dalam Injil (lih. Mat 19:1-12).
Namun kehendak Allah ini memang kenyataannya dilanggar tak lama setelah kejatuhan manusia pertama ke dalam dosa. Dalam Kitab Suci tercatat poligami pertama kali dilakukan oleh keturunan Adam dan Hawa, yaitu keturunan Kain yang bernama Lamekh. Lamekh mengambil dua orang istri (Kej 4:19). Selanjutnya ada banyak tokoh dalam Kitab Suci yang mempraktekkan poligami, dan ada pula yang selain mempunyai istri, kemudian mengambil budak istri-nya agar memperoleh keturunan darinya (seperti Abraham yang mengambil Hagar atas kehendak istrinya Sara), ataupun ada pula yang mempunyai sejumlah gundik/ concubines, seperti halnya Daud dan Salomo.
Memang Kitab Suci tidak secara langsung menghukum Abraham, Daud dan Salomo karena tindakan mereka mempunyai istri lebih dari satu. Namun yang jelas, mereka menuai sendiri kesulitan akibat keputusan mereka itu. Abraham menuai pertikaian antara Sarah istrinya dengan Hagar (lih. Kej 16:4-6). Daud tertimpa malapetaka yang datang dari keluarganya sendiri, dan isteri-isterinya diambil daripadanya di depan seluruh Israel (lih. 2Sam 12:11). Salomo berpaling dari Tuhan karena isteri-isterinya, dan Allah menunjukkan murka-Nya kepada Salomo, dengan mengoyakkan kerajaannya dan memberikannya kepada hambanya (1 Raj 11:4, 9-11). Hal-hal itu menunjukkan betapa sesungguhnya Allah menghendaki perkawinan hanya bagi seorang pria dan wanita, sebagaimana dikatakannya dalam Kej 2:24, yang diulanginya juga sebagai persyaratan seorang raja (Ul 17:17).
Sedangkan larangan untuk menggauli budak, tercatat dalam kitab Imamat, “Apabila seorang laki-laki bersetubuh dengan seorang perempuan, yakni seorang budak perempuan yang ada di bawah kuasa laki-laki lain, tetapi yang tidak pernah ditebus dan tidak juga diberi surat tanda merdeka, maka perbuatan itu haruslah dihukum… ” (Im 19:20). Atau larangan tersebut juga dikatakan dalam perintah ke-9 dan 10 dalam kesepuluh perintah Allah (lih. Kej 20:17). Nampaknya di zaman dahulu, isteri cenderung dianggap sebagai hak milik oleh suaminya, demikian pula budak oleh tuannya, dan ketentuan umumnya adalah harus diperlakukan dengan adil. Namun pada zaman Perjanjian Baru, Tuhan Yesus mengembalikan hukum/ ketentuan sesuai dengan kehendak Allah seperti pada awal mulanya, yaitu bahwa sejak awalnya, Tuhan menghendaki perkawinan yang monogam. Allah tidak menghendaki poligami (ataupun perceraian), ataupun kurangnya pengendalian hawa nafsu yang melatarbelakanginya. Hal ini nyata dalam ajaran Yesus yang mengatakan, “Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya.” (Mat 5:27-28) Atau selanjutnya, “Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian…” (Mat 19:8) … “Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” (Mat 19:4-6)
Perkawinan monogami didasari oleh ajaran bahwa pria dan wanita memiliki martabat yang sama di hadapan Tuhan. Perkawinan antara seorang pria dan wanita adalah untuk menggambarkan hubungan antara Kristus dan Gereja (lih. Ef 5:22-33). Bahwa nyatanya diperlukan berabad-abad untuk mengajarkan manusia akan makna keluhuran perkawinan ini, tidak menihilkan fakta bahwa sejak awalnya Tuhan menghendakinya demikian. Jika Allah bersabar terhadap kekeliruan/ kelemahan manusia selama berabad-abad, itu berhubungan dengan divine pedagogy, yang pernah sekilas diulas di sini, silakan klik. Namun dengan hadirnya Kristus dalam Perjanjian Baru, yang memberikan teladan kasih yang sempurna untuk diterapkan dalam hubungan antara suami dan istri dalam perkawinan, maka Tuhan menyatakan kehendaknya untuk kesucian perkawinan, yang tidak memberikan tempat bagi hubungan dengan pihak ketiga (entah itu budak atau bukan) ataupun melakukan hubungan suami istri dengan pihak yang bukan istri atau suaminya (entah itu budak atau bukan).
Selanjutnya silakan membaca tentang Indahnya Makna Perkawinan Katolik, silakan klik di sini.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
waktu indonesia masih diajajah
RODI
ROMUSA
adalah perbudakan ………..kerja paksa
Posisi GEREJA PADA SAAT ITU DIMANA
melawan atau membiarkan ……………
kalau ada tidak sejarah lengkap ………………
gereja bereprang melawan penjajahan ,,,,,,,,,
atas nama gerja ,,,,,,,,,,,,,,,
pasti kalian tau
gereja pada massa penjajahan dikuasai oleh penjajah ……….
Shalom S4leh,
Saya mengundang anda untuk membaca riwayat Mgr. Soegijapranata – silakan klik. Setelah wafat tanggal 10 Juli 1963, kemudian beliau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Giritungggal semarang. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No.152 Tahun 1963, tanggal 26 Maret 1963, beliau ditetapkan sebagai Pahlawan Pembela Kemerdekaan. Mengapa beliau diangkat menjadi pahlawan nasional? Karena beliau turut membantu kemerdekaan Indonesia dengan kemampuan diplomasinya dan tindakannya melawan penjajahan.
Kalau anda sempat silakan menonton film tentang Pahlawan Nasional Mgr. Soegijapranata, yang akan ditayangkan di bioskop pada bulan Juni 2012. Dari film itu, maka anda dapat melihat perjuangan seluruh anak bangsa – baik Islam, Katolik, dll – dalam melawan penjajahan. Dan anda juga akan melihat bagaimana Vatikan (Gereja Katolik) mengangkat Mgr. Soegijapranata pada tanggal 6 November 1940 sebagai uskup pribumi pertama. Dengan kata lain, sebelum kemerdekaan tahun 1945, Gereja Katolik telah mengakui adanya negara Indonesia. Semoga harapan Mgr. Soegijapranata yang menyerukan “100 Katolik dan 100 Indonesia” dapat menjadi kenyataan.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Lalu apa yang dimaksud dalam Alkitab (Ulangan 20:10-11) ?
10)Apabila engkau mendekati suatu kota untuk berperang melawannya,
maka haruslah engkau menawarkan perdamaian kepadanya.
(11)Apabila kota itu menerima tawaran perdamaian itu dan dibukanya
pintu gerbang bagimu, maka haruslah semua orang yang terdapat di situ
melakukan pekerjaan rodi bagimu dan menjadi hamba kepadamu.
artinya apa ya? bukankah ini mentolerir perbudakan dan kerja paksa ?
Shalom Astrid,
Ayat Ul 20:10-11 harus dibaca sesuai dengan konteks yang terjadi pada saat itu. Memang menurut standar saat ini terkesan kejam dan brutal, namun pada jaman bangsa Israel, kondisi mensyaratkan musuh untuk bekerja sebagai hamba, itu merupakan persyaratan yang lebih baik daripada kekejaman pembunuhan dengan penyiksaan terhadap bangsa musuh, yang dilakukan oleh bangsa- bangsa non- Yahudi kepada para musuh mereka, seperti yang disebutkan dalam Amos 1:13 dan 2 Raj 8:12. Sedangkan penetapan kriteria yang keras kepada bangsa- bangsa Kanaan, adalah karena mereka menjadi ancaman bagi kesetiaan bangsa Israel kepada Tuhan Allah (lih. Ul 2:23-37). Selanjutnya tentang topik ini, silakan klik di sini.
Maka, kita harus melihat adanya prinsip “divine pedagogy” (cara pendidikan dari Allah) di dalam sejarah peradaban manusia, yang memang menunjukkan perkembangan ke arah yang lebih baik. Contoh yang lain adalah menurut hukum Musa, begitu banyak kejahatan yang hukumannya rajam/ hukuman mati. Oleh karena itu, jika sekilas kita membaca kisah Perjanjian Lama terkesan Allah begitu keras mengajar umat-Nya. Ini seperti halnya peran orang tua pada anak, yang pada masa kecilnya perlu didisiplinkan dengan hukuman. Namun dalam Perjanjian Baru, Allah mengajar umat-Nya dengan cara yang berbeda, yaitu dengan menekankan hukum kasih. Ini sama dengan cara mendidik anak- anak yang telah beranjak dewasa, maka cara hukuman tidak lagi dipergunakan, namun ditanamkan pengertian, agar sang anak dapat melakukan kebaikan bukan atas dasar takut dihukum tetapi atas dasar kasih kepada orang tua.
Dengan konteks inilah kita memahami bermacam perintah Tuhan yang tertulis dalam Perjanjian Lama; yang jika dibaca sekilas terkesan keras. Namun, kita mengetahui bahwa segala hukum pada Perjanjian Lama akhirnya diperbaharui dan disempurnakan di dalam Kristus dalam Perjanjian Baru. Seperti telah dijabarkan di atas, Rasul Paulus dalam surat- suratnya mengajarkan bahwa tidak ada lagi pembedaan antara hamba/ budak ataupun orang merdeka (lih. 1 Kor 12:13, Gal 3:37-38; Kol 3:11) sebab kita semua dipersatukan di dalam Kristus. Inilah yang menjadi prinsip persamaan martabat manusia; dan Gereja Katolik mempertahankan prinsip ini sampai sekarang.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Shalom Pak Stef dan Bu Inggrid,
Sebelumnya saya ingin mengucapkan syukur atas website ini yang telah membantu saya dalam hal apologetik. Ada yang ingin saya tanyakan mengenai budak. Posisi Gereja di jaman sekarang mungkin sudah jelas mengenai perbudakan, tapi bagaimana dengan dulu?…….
[dari Admin Katolisitas: Pertanyaan ini kami edit karena sudah ditampilakan selengkapnya dan dijawab di atas, silakan klik]
Comments are closed.