Sesungguhnya yang pertama kali mengajarkan tata cara perayaan Ekaristi [yaitu adanya liturgi Sabda dan liturgi Ekaristi] adalah Tuhan Kristus sendiri, yaitu melalui penampakan-Nya kepada kedua orang murid di perjalanan ke Emaus (Lih. Luk 24:13-35); sedangkan tentang prinsip liturgi Ekaristinya sendiri mengacu kepada apa yang diajarkan Yesus dalam Perjamuan Terakhir dengan para Rasul-Nya (Mat 26:26-28; Mrk 14:27-31; Luk 22:24-38). Perayaan Ekaristi disebut dalam Kitab Suci sebagai perayaan pemecahan roti, sebab dengan cara demikianlah Tuhan Yesus mengajarkan para rasul-Nya. Penerimaan roti dan anggur yang telah dikonsekrasikan itu menjadi persekutuan dengan Tubuh dan Darah Kristus (lih. 1Kor 10:16); dan karena itu umat harus menerimanya dengan cara yang layak. Artinya, tidak dalam keadaan berdosa berat, dan harus percaya dan mengakui bahwa itu adalah tubuh Tuhan (lih. 1Kor 11:27-29).
Dalam Kisah Para Rasul (ditulis sekitar tahun 64), perayaan pemecahan roti (Ekaristi) ini disebutkan demikian, “Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa.” (Kis 2:42) Maka di sini dikatakan bahwa ibadah jemaat perdana mencakup empat hal yaitu pengajaran para Rasul (penjelasan tentang Sabda Tuhan), persekutuan, pemecahan roti (Ekaristi), dan doa. Keempat hal ini tetap dilakukan di dalam perayaan Ekaristi (Misa Kudus) dalam Gereja Katolik sampai sekarang. Dalam ayat Kis 2:42 jika dibaca dalam kaitannya dengan ayat berikutnya, yaitu: “Maka ketakutanlah mereka semua, sedang rasul-rasul itu mengadakan banyak mujizat dan tanda.” (Kis 2:43) maka kita ketahui bahwa ibadah jemaat perdana (yang melakukan perayaan pemecahan roti/ Ekaristi) dipimpin oleh para rasul, jadi bukan hanya asal semua orang/ kepala keluarga dapat memimpin perayaan tersebut; dan pada saat diadakannya ibadah itu, para Rasul itu juga mengadakan mukjizat dan tanda.
Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Korintus (ditulis sekitar tahun 58) juga secara implisit mengatakan demikian (lih. 1 Kor 11:23-33), saat ia mengatakan bahwa perjamuan Tuhan dilakukan saat mereka melakukan pertemuan jemaat (lih. 1Kor 11:18). Artinya perayaan Ekaristi tidak dilakukan di rumah- rumah pribadi oleh kepala keluarga masing- masing, tetapi dilakukan pada saat pertemuan Jemaat.
Ketika Gereja/ Jemaat sudah mulai berkembang, para Rasul memilih penatua- penatua Jemaat (presbiter/ imam), dan kita mengetahui bahwa ibadah Jemaat perdana tersebut dipimpin oleh para penatua Jemaat (imam) tersebut, atau oleh penilik Jemaat (Uskup). Hal ini kita ketahui, pertama- tama dari tulisan St. Ignatius Martir dari Antiokhia (wafat sekitar tahun 98-117), sebagai berikut:
“Maka, kamu harus bertindak sesuai dengan pikiran para uskup, seperti yang pasti kamu lakukan. Para imam… adalah terikat dengan erat dengan para uskup seperti senar pada sebuah harpa…. Jangan salah tentang hal ini. Jika barangsiapa tidak berada di dalam tempat kudus (gereja), ia kekurangan roti Tuhan. Dan jika doa satu atau dua orang sangat besar kuasanya, betapa lebih lagi doa uskup dan seluruh Gereja. Barang siapa yang gagal bergabung dalam penyembahanmu menunjukkan kesombongannya, dengan kenyataan bahwa ia menjadi seorang skismatik. Ada tertulis, “Tuhan menolak orang yang sombong”. Mari kita, dengan sungguh menghindari melawan uskup sehingga kita dapat tunduk kepada Tuhan.” (St. Ignatius of Antioch, Letter to the Ephesians, n. 5)
“Jauhkan dirimu dari skisma sebagai sumber dari segala kesulitan/ kejahatan. Kamu semua harus tunduk pada uskup sama seperti Yesus Kristus kepada Allah Bapa. Tunduk juga kepada para imam seperti kamu kepada para rasul; dan hormatilah para diakon seperti kamu menghormati hukum Tuhan …. Kamu harus menganggap Ekaristi sebagai yang sah, jika dirayakan oleh uskup atau oleh seseorang yang diberinya kuasa. Di mana uskup berada, biarlah kongregasi umat berada, seperti di mana Yesus Kristus berada, di sanalah ada Gereja Katolik. Tanpa supervisi dari uskup, tidak ada baptisan ataupun perayaan Ekaristi diperbolehkan….” (St. Ignatius of Antioch, Letter to the Smyrnaeans, n. 8)
“Berhati-hatilah, untuk melaksanakan satu perayaan Ekaristi. Sebab terdapat satu Tubuh Tuhan kita, Yesus Kristus, dan satu piala Darah-Nya yang membuat kita satu, dan satu altar, sama seperti terdapat satu Uskup bersama dengan para imam dan diakon, sesama pelayan seperti saya.” (Letter to the Philadelphians, n. 4)
“…saya berbicara dengan suara yang keras, suara dari Tuhan: “Perhatikanlah uskup dan imam dan para diakon“. Sebagian orang mengira bahwa saya mengatakan hal ini karena saya tahu adanya perpecahan di antara beberapa orang; namun Dia, yang menjadi alasan mengapa saya dirantai, menjadi saksi bahwa saya tidak mengetahuinya dari manusia; melainkan dari Roh yang membuatku mengatakan hal ini, “Jangan melakukan sesuatu tanpa uskup, jagalah badanmu sebagai bait Allah, cintailah persatuan, jauhkanlah perpecahan, turutilah Kristus, seperti Dia telah menuruti Allah Bapa.” (St. Ignatius of Antioch, Letter to the Philadelphians, n. 7)
Maka jika dikatakan dalam Kis 13:1-2 ada beberapa nabi dan pengajar, kita tidak dapat menginterpretasikannya bahwa mereka melakukan ibadah terpisah dari kesatuan dengan para Rasul. Barnabas sendiri telah bergabung dengan para Rasul sejak zaman Jemaat awal (lih. Kis 4:36). Yang mengutus Barnabas ke Antiokhia adalah Jemaat di Yerusalem (lih. Kis 11:22), yang dipimpin oleh Rasul Petrus (lih. Kis 11:2).
Dengan demikian, dari Kitab Suci dan Tradisi Suci (terutama tulisan St. Ignatius dari Antiokhia) kita ketahui pada awalnya ibadah perayaan Ekaristi dipimpin oleh para Rasul, namun kemudian setelah Jemaat berkembang di banyak tempat, maka para Rasul atas tuntunan Roh Kudus memilih para Uskup (penilik Jemaat) untuk melaksanakan kepemimpinan mereka, yang kemudian dibantu oleh para imam dan diakon. Para Uskup ini melaksanakan tugas kepemimpinan tersebut dalam kesatuan dengan para Rasul, dan karena itu perayaan Ekaristi yang mereka rayakan adalah Ekaristi yang sah, karena dilaksanakan sesuai dengan maksudnya, yaitu antara lain sebagai pemersatu Jemaat, dan tanda kesatuan Jemaat. Tanda ini absen pada ibadah para skismatik terlepas dari kesatuan dengan para rasul, dan kepada mereka ini St. Ignatius dari Antiokhia mengatakan, bahwa mereka, “kekurangan roti Tuhan”.
Mari kita mengucap syukur atas karya Roh Kudus yang tetap menjaga kesatuan Gereja Katolik, sejak zaman para Rasul sampai sekarang, yang terus mempertahankan pengajaran Kristus dan para Rasul, terutama tentang hal perayaan Ekaristi yang merupakan sumber dan puncak kehidupan Gereja.
Untuk katolisitas terkasih
Biasanya kalau saya mencoba menggambarkan peranan presbiter para uskup dalam Perjanjian Baru, saya dapati bahwa mereka tidak pernah diceritakan merayakan Ekaristi. Yang paling mungkin dilihat sebagai gambaran bahwa para presbiter melakukan tindakan liturgis adalah Yak 5:14-17. Kalau ada yang sakit, para penatua jemaat hendaknya dipanggil agar mendoakan dan mengolesi si sakit dengan minyak. Pada awal abad kedua, seperti telah kita lihat dalam surat-surat Ignatius dari Antiokia, dalam struktur yang terdiri dari seorang uskup, para penatua dan para diakon, yang disarankan oleh Ignatius untuk mempersembahkan Ekaristi hanya uskup saja. Demikian juga membaptis orang. Kalau dia pergi, ia boleh mendelegasikan kepada orang lain. Tetapi sebelum masa itu, dalam masa Perjanjian Baru, kita sedikit sekali mendapat informasi tentang siapa yang mempersembahkan Ekaristi.
Karena pada kedua versi perjamuan akhir (Lukas dan Paulus) YESUS mengatakan kepada yang hadir, termasuk “Keduabelas”: “Lakukankah ini sebagai kenangan akan Aku,” maka ada anggapan bahwa mereka dikenang sebagai yang memimpin perayaan Ekaristi. Tetapi hampir tidak mungkin bagi mereka hadir pada semua perayaan Ekaristi pada abad pertama. Kita tidak tahu apakah ada seseorang yang secara teratur ditugaskan untuk melaksanakan pelayanan itu, dan kalau ada, siapa. (Saya merasa perlu menekankan hal ini berhubung banyak penulis modern yang merasa yakin bahwa pemimpin keluargalah yang memimpin perayaan Ekaristi. Ini hanya dugaan belaka, tak satupun teks Perjanjian Baru
mengisyaratkan hal itu). Dalam Didakhe 10.7 kita temukan bahwa kendati ada kecurigaan terhadap para nabi yang mengembara, namun penulis menekankan bahwa mereka tidak bisa dihalangi dari “mengEkaristi.” Seandainya itu berarti
“merayakan Ekaristi” dan bukan hanya “mengucapkan terima kasih,” maka berarti di beberapa tempat para nabi mungkin memegang peranan Ekaristis dalam liturgi. (lih. juga Kisah 13: 1-2). Jelas akhirnya Gereja mengatur dan menjadwal perayaan Ekaristi. Dan itu pasti merupakan suatu perkembangan yang tidak bisa dihindarkan jika komunitas-komunitas ingin senantiasa mendapat roti kehidupan. Mereka tidak bisa tergantung pada ketetapan yang
serampangan, perlu ada kepastian.
[Dari Katolisitas: Pertanyaan ini sudah dijawab di atas, silakan klik]
Comments are closed.