prapaskah

Mengganti diaper

Sudah hampir tiga tahun saya dan suami tinggal di Amerika ini, dan selama ini kami tinggal di rumah keluarga sepupu saya. Anak-anak sepupu saya ini masih kecil-kecil, 6 tahun, 4 tahun dan 2 tahun. Tinggal bersama keponakan dan satu rumah merupakan pengalaman yang pasti tak akan saya lupakan seumur hidup, karena mereka sungguh telah menjadi berkat buat saya. Tanpa kata-kata, sesungguhnya mereka telah banyak mengajar saya untuk bertumbuh di dalam iman di dalam keseharian. Ketulusan, kesederhanaan, kerendahan hati dan suka cita mereka selalu menjadi bahan inspirasi bagi saya. Saya menikmati saat-saat bermain, bercanda, makan, dan bertukar ceritera dengan mereka. Tapi ada satu pengalaman yang saya pikir sangat istimewa, yaitu: mengganti diaper!

Sadarkah kita, bahwa kita perlu dibersihkan dari dosa

Nicholas keponakan saya yang paling kecil adalah anak yang sangat periang dan lucu. Ia selalu mempunyai cara untuk membuat kami serumah tertawa. Tapi rupanya dalam hal membedakan diapernya masih bersih atau sudah ‘sarat muatan’ dia belum bisa. Jadi kalau saya tanya, “Nicholas, apa kamu pu?” Lalu dengan jawaban sangat yakin dan serius dia menjawab, “NO!” Padahal sudah jelas bahwa pasti diapernya sudah perlu diganti, wong aromanya sudah ‘membahana’. Karena beberapa kali saya mengalami hal ini, maka saya jadi merenung…. Ya, memang mungkin itu masalah anak-anak, tapi sebenarnya hal inilah yang sering terjadi dalam spiritualitas kita sebagai orang dewasa. Pengalaman mengganti diaper memang tidak sepenuhnya cocok untuk menggambarkan kehidupan rohani kita, namun menurut saya, ada sedikit kemiripannya. Pernahkah anda mendengar, bahwa ada orang yang tidak mau ke Sakramen Tobat, karena merasa tidak berdosa. Terus keluarlah komentar- komentar seperti ini: “Males ngaku dosa, ah. Habis nggak tahu dosaku apa”, atau “Buat apa ngaku dosa ke Pastor, wong Pastor-nya juga manusia berdosa.” Atau, bagi yang sudah bertumbuh di dalam iman, tetap saja ada godaan untuk merasa diri sudah cukup baik. Padahal mungkin malah itu dapat berarti bahwa kita sombong rohani, dipenuhi cinta diri yang berlebihan. Mata hati kita seolah tertutup, sebab meskipun masih banyak yang dapat kita lakukan untuk bertumbuh di dalam iman dan kasih, tapi kita tak menyadari dan berpuas diri. Singkatnya: kita dapat menjadi kurang peka, bahwa ‘diaper‘ rohani kita sudah penuh dan siap diganti. Sudah saatnya kita datang dengan kerendahan hati kepada Tuhan dalam Sakramen Tobat, dan berdoa kepada-Nya, “Ampunilah aku, Tuhan, sebab aku telah berdosa terhadap Engkau. Bersihkanlah aku seluruhnya dari kesalahanku, dan tahirkanlah aku dari dosaku.” (Mzm 51:4)

Masa Prapaska: masa pertobatan

Pertobatan dimulai dengan mengakui dengan rendah hati bahwa kita sudah berdosa terhadap Tuhan. Pengalaman mengganti diaper keponakan saya mengajarkan kepada saya, bahwa pertobatan melibatkan keterbukaan diri. Diaper yang lama harus dibuka dulu, baru diganti. Jadi selain kita mengakui bahwa kita kita telah berdosa, kita juga harus mau membuka diri, dan dengan jujur menyebutkan segala dosa-dosa kita di hadapan Tuhan dalam Sakramen Tobat. Mungkin hal ini dapat melibatkan perasaan malu, takut, atau enggan, tetapi layaklah kita berharap bahwa segala perasaan ini akan musnah, jika kita memiliki motivasi yang kuat untuk mengasihi Tuhan yang sudah lebih dahulu mengasihi kita. Maka dengan demikian kita dapat memiliki kelapangan hati untuk mengatakan segala dosa kita di hadapan pastor, yang adalah wakil Kristus. “Tuhan, aku tak mau terpisah dari-Mu oleh karena dosa-dosa-ku. Berikan kepadaku kerendahan hati untuk mengakui semua salahku kepada-Mu, dan meninggalkan segala dosaku demi kasihku kepada-Mu.”

Masa Prapaska adalah masa yang penuh rahmat, yang harusnya membuat kita semakin sadar, bahwa kita ini manusia lemah yang sering jatuh dalam dosa. Namun demikian, Tuhan yang Maha Kasih selalu menunggu dengan setia untuk menerima kita kembali dengan kasih-Nya yang tiada terkira. Dosa kita, seberapapun besarnya, tak akan pernah lebih besar dari belas kasih Tuhan. Kasih Tuhan selalu melebihi segalanya, dan kasih itu tercurah pada kita, jika kita menanggapi panggilan-Nya untuk bertobat. Dan karena selama hidup ini kita tidak pernah sempurna, maka pertobatan ini tak cukup hanya sekali, namun seterusnya sepanjang hidup kita. St. Agustinus mengajarkan, “Awal dari kehidupan yang benar adalah pengakuan dosa.” Maka, jika kita ingin hidup mengikuti jalan kebenaran, kita harus merendahkan diri untuk berani mengakui kesalahan kita; tidak hanya sekali, tetapi setiap kali kita jatuh di dalam dosa. Allah Bapa yang Maha Pengampun selalu menunggu kita  untuk menyambut kita sebagai ‘anak yang hilang’ yang pulang kembali ke rumah bapanya (lihat Luk 15: 11-32). Kasih Allah yang besar itu tersedia bagi kita di dalam sakramen Pengakuan Dosa, dan sungguh, betapa Ia merindukan kita semua untuk bertobat dan kembali kepadaNya.  Ia rindu untuk dapat membalut luka-luka batin kita akibat dosa, menyembuhkan kita, dan menjadikan kita manusia baru di dalam Dia. Ya, jika kita mengakui dosa kita dengan tulus, maka kita akan beroleh pengampunan dari Tuhan. Pada saat itu kita akan mengalami kasih Tuhan yang luar biasa, sebab pengalaman ‘anak yang hilang’ menjadi pengalaman kita, dan seluruh surga bersuka menyambut kembalinya kita ke dalam rumah Tuhan. Pertobatan kita akan mempersatukan kita dengan Tuhan, karena tiada lagi dosa yang menjadi penghalang antara kita dengan Dia.

Pertobatan yang terus menerus membawa rahmat yang selalu baru

Sungguh, Tuhan kita memang Maha Rahim dan Maha Pengampun. Namun jangan sampai  kita menjadi terlalu pede (percaya diri) bahwa meskipun kita tidak menyesal dan bertobat, Tuhan juga pasti mengampuni. Justru, karena Tuhan begitu mengasihi kita, Dia tidak menjadikan kita seperti boneka wayang, yang tidak dapat mengambil keputusan untuk bertobat dan menghindari kesalahan. Rahmat Pembaptisan kita adalah bekal awal yang cukup untuk menghantar kita berjuang dalam kehidupan sehari-hari untuk menolak dosa. Apalagi jika kita setia menerima Kristus di dalam Ekaristi Kudus. Namun sayangnya, oleh kelemahan kita, meskipun kita sudah berusaha menghindari kesalahan, sering kita jatuh lagi. Dan dalam kejatuhan itu kita berpikir…. alangkah indahnya kalau kita bisa bangkit dan hidup senantiasa dalam kelimpahan suka cita dan rahmat. Betapa sesungguhnya kita perlu menyadari bahwa kebangkitan dimulai dari satu langkah sederhana: kesediaan kita bertobat dan mempercayakan hidup kita ke dalam pimpinan-Nya. Selebihnya, Tuhan yang akan menolong kita untuk berjuang dan bertumbuh di dalam iman, pengharapan dan kasih.

Marilah  kita memandang Yesus Kristus dan temukanlah bukti nyata akan kasih Allah yang tak terbatas. Di sanalah kita akan melihat  Kristus telah rela meninggalkan kemuliaan-Nya, menjadi seorang hamba, dan rela memberikan diri-Nya bagi kita sampai wafat di kayu salib (lih. Fil 2:6-9), untuk menebus dosa-dosa kita. Ya, bahkan dosa yang terbesar sekalipun. Dengan mata tertuju pada salib Kristus, marilah kita sadari, “Betapa besar dan dalamnya kasih-Mu, ya Tuhan, sebab Engkau rela menanggung siksa dan derita untuk menghapus segala dosaku. Bantulah aku untuk bangkit dari kesalahanku, dan hidup seturut perintah-Mu. Tambahkanlah kasih di dalam hatiku, ya Tuhan, supaya aku dapat lebih mengasihi Engkau dan sesamaku.”

Ya, Kristuslah jawaban untuk menghadapi ujian hidup ini. Yesus-lah sumber kekuatan kita; pada-Nyalah kita menaruh pengharapan dan iman. Dan pengharapan di dalam Dia tidak pernah mengecewakan sebab Ia yang menjanjikan pertolongan dan keselamatan adalah Allah yang setia (lih. Ibr 10:23). Mari kita berjalan mengiringi Yesus di jalan salib-Nya, sambil memikul salib kehidupan kita. Memikul salib ini juga berarti kita bersedia ‘mati’ terhadap dosa, untuk dibangkitkan bersama Kristus, dan hidup di dalam Dia (Rom 6:11). Di dalam Dialah letak sukacita yang tak dapat diberikan oleh dunia. Sebab meskipun keadaan yang kita hadapi mungkin tetap sama, tetapi kita dapat menghadapinya dengan kekuatan yang istimewa untuk meninggalkan dosa dan kelemahan kita, sebab Kristus menopang dan memberi kekuatan kepada kita. Inilah rahmat Allah yang dijanjikan-Nya bagi kita yang senantiasa memeriksa diri dan bertobat. Rahmat-Nya selalu baru dan tak pernah terlambat pertolongan-Nya sebab besar setia-Nya di dalam hidup kita!

Selamat menjalani masa Prapaska. Semoga Tuhan memberikan rahmat pertobatan dan kerendahan hati kepada kita semua.

PS: Untuk pemeriksaan batin yang baik, silakan membaca artikel: Masih Perlukah Sakramen Pengakuan Dosa (bagian ke-4).

15 COMMENTS

  1. Bu Inggrid
    Berarti yang hukum menabur dan menuai, walaupun kita sudah bertobat dari perbuatan-perbuatan atau dosa dosa masa lalu kita, tetapi tetap ada konsekuensi dosa, berarti kita tinggal menunggu hukuman dari Tuhan atas perbuatan-perbuatan kita dulu ?

    • Shalom Asri,

      Artinya, memang ada konsekuensi yang harus kita tanggung akibat dosa-dosa yang sudah kita lakukan di masa lalu. Istilah yang dipergunakan dalam Katekismus adalah ‘siksa dosa sementara’ (temporal punishment due to sins) namun ini sama sekali berbeda dengan hukuman dari para orang terkutuk di neraka. Sebab konsekuensi dosa-dosa kita di dunia ini, banyak yang sudah dapat kita alami di dunia ini. Tuhan hanya mengizinkan hal-hal itu terjadi untuk mendidik kita untuk dapat bertumbuh menjadi orang yang lebih baik dan belajar dari kesalahan di masa yang lalu. Dalam banyak kejadian, konsekuensi merupakan akibat logis dari suatu perbuatan yang keliru, jadi bukan Tuhan yang sengaja ‘menghukum’ kita, namun kita sendiri yang memasukkan diri ke dalam situasi yang sulit tersebut, akibat kesalahan kita sendiri. Namun demikian dalam situasi yang sulit tersebut, pertolongan Tuhan masih dapat kita peroleh, sebab Ia adalah Allah yang maha berbelas kasih. Seringkali malah pengalaman pertolongan Tuhan itu dapat semakin menyadarkan kita akan kesalahan yang telah kita perbuat dan membuat kita menjadi semakin rendah hati untuk mengakui kelemahan kita, dapat termotivasi untuk memperbaiki diri dan menyatakan kasih kepada Tuhan yang telah mengampuni, dan dapat lebih membangun empati terhadap sesama kita yang juga mungkin mengalami hal seperti yang kita alami.

      Selanjutnya, baik jika kita pahami ajaran Gereja tentang indulgensi, sebab indulgensi adalah penghapusan siksa dosa sementara dari dosa-dosa yang telah diampuni, yang diperoleh umat beriman dengan sikap batin yang sesuai, dengan memenuhi persyaratan keadaan-persyaratan tertentu, melalui tindakan Gereja, yang secara otoritatif membagikan harta kekayaan rohani Gereja yang diperoleh melalui jasa Kristus dan para orang kudus (lih. KHK 1471).

      Selanjutnya tentang apa itu Indulgensi, silakan klik di sini.

      Dan bagaimana agar memperoleh Indulgensi, klik di sini.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

        • Shalom Asri,

          Dosa dengan sendirinya membawa konsekuensi. Itulah yang disampaikan dalam Kitab Suci. Kitab Suci mengatakan bahwa upah dosa adalah maut (Rm 6:23). Oleh karena itu, Kristus wafat di salib untuk kita, agar dapat mengambil penghukuman atas dosa, yaitu maut itu; Kristus datang ke dunia, untuk mematahkan kuasa maut dan mendatangkan hidup yang tidak dapat binasa (2Tim 1:10). Nah, maka oleh pengorbanan Kristus itu kita dapat memperoleh hidup yang kekal, asalkan kita percaya kepada-Nya (lih. Yoh 3:16); yaitu hidup melaksanakan kehendak Allah, agar kita dapat masuk ke dalam Kerajaan dan kemuliaan-Nya itu (lih. 1 Tes 2:12).

          Nah, namun kenyataannya, kita manusia jatuh bangun dalam melaksanakan kehendak Allah itu. Atau, kata lainnya, kita tetap jatuh di dalam dosa, walaupun kita telah dibaptis. Rasul Yohanes juga mengatakan demikian. Bahkan kalau kita mengatakan bahwa kita tidak berdosa, artinya tidak ada kebenaran di dalam kita (lih. 1Yoh 1:8-10). Tetapi kalau kita mengakui dosa kita di hadapan Tuhan, maka Tuhan akan mengampuni kita. Namun demikian, kita tetap menerima balasan atas perbuatan kita, sebab Kitab Suci mengatakan, “TUHAN, Allah kami, Engkau telah menjawab mereka, Engkau Allah yang mengampuni bagi mereka, tetapi yang membalas perbuatan-perbuatan mereka.” (Mzm 99:8).

          Nah balasan perbuatan ini, merupakan konsekuensi perbuatan kita, yang dapat terjadi semasa kita hidup di dunia ini, atau kalau belum lunas, dilanjutkan di dunia yang akan datang, yaitu di Api Penyucian, sebelum kita dapat dipandang sempurna di hadapan Allah untuk bersatu dengan-Nya di Surga. ‘Balasan perbuatan’/ konsekuensi dosa yang sudah diakui ini merupakan bagian dari rencana Tuhan untuk mengajar dan membentuk kita menjadi anak-anak-Nya; sehingga ‘balasan’ ini tidak sama dengan hukuman/ siksa dosa di neraka. Sebab hukuman di neraka memisahkan kita dari Tuhan, namun sebaliknya, konsekuensi dosa yang diizinkan Tuhan terjadi atas kita, adalah kesempatan pemurnian jiwa kita, untuk membuat kita menjadi semakin menyerupai Kristus. Sabda Tuhan menyatakan, “Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak.” (Ibr 12:6)

          Maka mari, jangan menggambarkan Allah sebagai Sang Pemberi hukuman. Sebab hukuman upah dosa yaitu maut, telah dihapus oleh Allah, atas jasa pengorbanan Putera-Nya, Yesus Kristus. Asalkan kita bertobat, kita dapat memperoleh buah pengorbanan Kristus itu, yaitu kehidupan kekal di Surga. Ini sendiri adalah bukti kasih Allah yang tiada terukur! Namun bahwa masih ada konsekuensi dosa yang harus kita tanggung, itu adalah bagian dari pengudusan diri kita. Adapun setelah kita bertobat dan mengimani Kristus, kita harus berjuang untuk hidup menurut hukum-hukum-Nya. Ini sendiri dapat menjadi salib bagi kita, sebab kita harus menyalibkan segala keinginan daging, keinginan mata dan keangkuhan hidup (1 Yoh 2:16), yang mungkin dulu membelenggu kita. Namun salib ini tidak akan terlalu berat jika kita memikulnya bersama Yesus, sebab Ia berjanji, “Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Kupun ringan.” (Mat 11:29-30). Proses pengudusan ini menjadi hal yang tiada terpisahkan dengan perjalanan hidup rohani kita, sampai Tuhan mendapati kita sempurna dan siap untuk bersatu dengan-Nya dan memandang-Nya dalam keadaan-Nya yang sebenarna (1Yoh 3:2) dalam Kerajaan Surga.

          Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
          Ingrid Listiati- katolisitas.org

  2. Dear Katolisitas,
    Saya tidak sedang meragukan sakramen tobat.
    Saya hanya mau bertanya, apakah dosa kita bisa diampuni bila kita mengaku dosa kita di hadapan Tuhan (tanpa mengaku di hadapan Pastor)dengan penyesalan yang penuh dan berjanji tidak akan melakukan dosa yang sama?
    Jika tidak bisa, untuk apa kita berdoa tobat saat misa? (saya mengaku kepada Allah yang maha kuasa bahwa saya telah berdosa dengan pikiran dan perkataan, dengan perbuatan dan kelalaian, saya berdosa saya berdosa saya sungguh berdosa dst.)

    • Shalom Yusuf,
      Dengan sakramen tobat, maka Kristus sendiri mencurahkan rahmat pengampunan-Nya secara pasti. (lih. Yoh 20:21-23; Mat 16:16-19; Mat 18:18) Dosa-dosa berat tidak dapat diampuni dengan mengikuti Sakramen Ekaristi. Hanya dosa-dosa ringan yang dapat diampuni melalui Sakramen Ekaristi. Gereja juga mengenal pertobatan sempurna yang dapat menghapuskan dosa-dosa berat, dengan kondisi: penyesalan yang sungguh-sungguh karena berdasarkan cinta Tuhan dan bukan takut hukuman; dibarengi dengan niat yang sungguh untuk mengaku dosa secepatnya di dalam Sakramen Tobat jika kondisi memungkinkan. Semoga dapat membantu.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      stef – katolisitas.org

      • Pak Stef, banyak terima kasih.
        jadi tetap harus diikuti dengan pengakuan dosa di depan Pastor ya?
        Karena saya punya dosa yang saya lakukan saat masih kecil / pra remaja, dan sepertinya dosa berat (dan itu sungguh karena ketidaktahuan). Saya merasa sangat malu bila harus mengaku di depan Pastor. Saat sudah tua, tidak mungkin saya melakukan dosa yang sama dengan itu lagi. Jadi mungkinkah saya mengaku saja di hadapanNya, dengan penyesalan / tobat penuh? karena saya yakin saya tdak mungkin akan melakukan hal itu di masa tua ini.

        • Shalom Yusuf Sumarno,

          Kalau dosa berat dilakukan sebelum menerima Sakramen Baptis, maka dosa berat dan dosa-dosa yang lain sebelum Baptisan telah diampuni pada waktu menerima Baptisan, sehingga tidak ada kewajiban untuk mengakukan dosa. Namun, kalau dosa berat tersebut dilakukan setelah Baptisan dan belum pernah diakukan di dalam Sakramen Tobat, maka tentu saja harus diakukan dalam Sakramen Tobat. Perlu diingat bahwa syarat dari tobat karena kasih atau pertobatan sempurna adalah secepat mungkin mengaku dosa di dalam Sakramen Tobat jika kondisi memungkinkan. Kalau Anda tidak mau mengaku dosa di depan pastor yang Anda kenal, silakan mengaku dosa di paroki lain. Menjelang Natal, menerima Sakramen Tobat adalah persiapan terbaik untuk kita semua.

          Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
          stef – katolisitas.org

          • Pak Stef, bnyak terima kasih.
            Selamat Natal buat bapak, ibu dan team katolisitas.

            [Dari Katolisitas: Selamat Natal juga untuk Anda sekeluarga]

  3. Ibu Inggrid
    Mungkin dalam Katolik tidak ada karma, tetapi hukum menabur dan menuai itu ada kan?
    Bu, bagaimana kalau dulu kita melakukan dosa berat, dan sudah bertobat, apakah tetap kena juga hukum menabur dan menuai? semisal kita jahat dengan orang, apakah nanti kita akan dapat balasannya? Bagaimana jika kita sudah bertobat, apakah tetap kena balasannya?

    • Shalom Asri,

      Kitab Suci mengajarkan, “Apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya” (Gal 6:7). Konteks ayat tersebut adalah, siapa yang menabur kedagingan/ dosa akan menuai kebinasaan dan siapa yang menabur dalam Roh Kudus, akan menuai hidup kekal (lih. Gal 6:8). Ada banyak kisah dalam Kitab Suci yang menunjukkan hal ini, yaitu kalau seseorang berbuat dosa/ kejahatan, maka ia akan menuai akibatnya, meskipun orang tersebut telah bertobat. Artinya, dosa itu selalu membawa konsekuensi. Banyak tokoh Kitab Suci yang mengalami hal ini, mulai dari Adam dan Hawa, yang walaupun telah diampuni oleh Tuhan, tetap diusir dari Taman Eden (Kej 3:23-24). Raja Daud, meskipun  telah diampuni dosanya setelah berzinah dengan Batsyeba dan membunuh Uria, tetap dihukum Tuhan dengan kematian anaknya dari Batsyeba itu (2Sam 12:13-14). Nabi Musa dan Harun yang berdosa karena tidak percaya dan tidak memghormati Tuhan di hadapan umat Israel, menanggung konsekuensi tidak dapat masuk ke tanah terjanji (Bil 20:12). Nabi Zakaria, yang tidak percaya akan pemberitaan malaikat, menjadi bisu (Luk 1:20), dst.

      Nah maka Kitab Suci menunjukkan bahwa manusia menuai apa yang ditaburnya. Kalau Daud yang disebut “man after God’s own heart“/ seorang yang berkenan di hati-Nya (1Sam 13:14) saja tidak dikecualikan dalam hal ini, maka kita juga tidak akan dikecualikan. Hal konsekuensi ini sesungguhnya jelas terlihat dalam kehidupan kita sehari-hari. Jika seorang anak malas belajar, maka walaupun ia sudah bertobat dan diampuni Tuhan, namun ia tetap harus menanggung akibatnya, misalnya nilainya kurang baik, atau bahkan tidak lulus. Seseorang yang menabrak mobil orang lain sampai rusak, meskipun ia sudah bertobat sekalipun, tetap harus mengganti kerusakan mobil yang ditabraknya. Pasangan muda mudi yang berhubungan terlalu jauh sampai sang pemudinya mengandung, maka ada banyak konsekuensi yang harus ditanggung oleh keduanya, walaupun keduanya sudah bertobat.

      Demikianlah konsekuensi dosa itu selalu ada, walaupun Kristus telah mengampuni kita. Keadilan Allah menentukan adanya konsekuensi dosa, yang merupakan bagian yang harus kita tanggung demi pengudusan kita. Konsekuensi dosa atau yang dikenal dengan istilah ‘siksa dosa sementara’ itu dapat kita tanggung selagi kita masih hidup di dunia ini, namun kalau belum ‘lunas’ di dunia ini, maka kita masih akan menanggungnya dalam kehidupan yang akan datang, yaitu di Api Penyucian, sebelum dapat masuk Surga. Sebab Allah memang adalah Allah yang mengampuni, namun juga adalah Allah membalas perbuatan-perbuatan kita (Mzm 99:8). Maka Api Penyucian ini ada, untuk memurnikan jiwa umat beriman, yang meninggal dalam keadaan rahmat, artinya sudah bertobat dari dosa-dosa yang berat, namun masih belum sempurna dalam kasih. Di Api Penyucianlah jiwa orang tersebut dibersihkan dari dosa-dosa ringan dan siksa dosa sementara akibat dosa-dosa yang sudah diampuni, namun yang belum sepenuhnya dilunasi saat hidup di dunia.

      Selanjutnya untuk membaca tentang Api Penyucian, silakan klik di sini.

      Demikianlah, mari kita renungkan kedua sifat Tuhan yang tak terpisahkan ini, yaitu Allah yang Maha Kasih namun juga Maha Adil. Hukum tabur tuai memang ada, sebab diajarkan dalam Kitab Suci. Namun di atas semua itu, kita percaya bahwa penilaian Allah itu pasti adil dan didasari oleh kasih-Nya demi mendatangkan kebaikan bagi kita, yaitu demi keselamatan kita, asalkan kita mau bekerja sama dengan rahmat-Nya.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  4. Pertama,
    Apa definisi akal budi yang membedakan manusia dan binatang?
    Kedua,
    Bagaimana membuktikan bahwa Allah juga adalah sebuah pribadi?
    Terima kasih.
    Setiawan

    • Shalom Setiawan,
      Terima kasih atas pertanyaannya. Untuk definisi akal budi yang membedakan manusia dan binatang, anda dapat melihat artikel ini (silakan klik). Dan Untuk membuktikan bahwa Allah adalah sebuah pribadi, silakan melihat artikel ini (silakan klik), di bagian: Argument of fittingness untuk menjelaskan Trinitas.
      Kalau setelah membaca kedua artikel tersebut, Setiawan masih mempunyai pertanyaan, silakan bertanya kembali. Semoga dapat membantu.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      stef – http://www.katolisitas.org

  5. Shalom katolisitas

    Salam kasih,
    Saya pernah ditanya oleh seorang teman mengenai hal karma dan reinkarnasi, dimana saya memberitahukan bahwasanya diolehkarnakan saya beragama katolik sehingga (maaf) saya tidak mempercayai hal-hal tersebut.-
    Kemudian teman saya mengutip ayat Kejadian 3:23 Lalu Tuhan Allah mengusir dia dari taman Eden supaya ia mengusahakan tanah dari mana ia diambil.-dan seterusnya teman saya berkata : apakah ini bukan karma dimana karna dosa asal Adam sehingga kita yang harus menanggungnya?.-
    Dan saya berkata kepada teman saya, bahwa saya kurang tahu dan akan saya coba tanyakan dan jika saya sudah mendapatkan jawabannya maka saya akan memberitahukan kepada anda.-
    Mohon pencerahaannya dan terima kasih.-

    Salam,
    K.Paulus J.C

    • Shalom Paulus,

      Terima kasih atas pertanyaannya. Saya minta maaf atas keterlambatan menjawab pertanyaan Paulus, karena kesibukan kuliah. Mari kita melihat pertanyaan Paulus tentang karma dan reinkarnasi serta hubungannya dengan dosa asal.

      A. KARMA DAN REINKARNASI

      Karma dan reinkarnasi adalah menjadi ajaran pokok dari agama Hindu maupun Budha. Karma adalah suatu ajaran yang mengajarkan bahwa apa yang dialami sekarang adalah merupakan akibat dari baik atau buruk kehidupan di masa sebelumnya. Dan oleh karena itu, ada suatu rangkaian reinkarnasi (penjelmaan kembali, baik dalam bentuk manusia, ataupun mahluk hidup lainnya) di mana rangkaian kehidupan ini dilihat sebagai suatu penderitaan, dan penderitaan ini hanya dapat dilepaskan ketika seseorang melepaskan semuanya dari dunia ini dan mencapai pencerahan (enlightment).Dari pengertian di atas, maka kita dapat melihat beberapa hal dalam konsep karma dan reinkarnasi:

      (1) Apa yang terjadi pada diri kita adalah suatu bentuk perbuatan masa lalu kita, yang mungkin satu generasi, ataupun beberapa generasi atau bahkan ratusan generasi. Yang menjadi masalah disini adalah apapun yang kita lakukan tidak merubah keaadaan kita, karena semua itu adalah sebagai akibat dari masa lalu kita. Jadi yang perlu dipertanyakan disini adalah sampai seberapa jauh manusia mempunyai kebebasan (free will) kalau semuanya telah ditentukan oleh kehidupan sebelumnya.
      (2) Penjelmaan dari satu mahluk hidup yang satu ke mahluk hidup yang lain dalam bentuk reinkarnasi menyebabkan tidak adanya perbedaan antara manusia dan mahluk hidup yang lain, seperti binatang. Dengan konsep reinkarnasi ini, manusia yang berbuat jahat dapat menjelma menjadi binatang.
      (3) Ajaran tentang karma dan reinkarnasi mengajarkan manusia untuk mencapai kebahagiaan sejati atau surga tanpa campur tangan Tuhan, karena semuanya adalah melalui perbuatan baik. Padahal di dalam ajaran Katolik, tanpa campur tangan Tuhan, yaitu Inkarnasi – Tuhan yang menjelma menjadi manusia – maka manusia tidak akan dapat mencapai keselamatan.

      B. KEBERATAN TERHADAP TEORI REINKARNASI DAN KARMA:

      (1) Reinkarnasi bertentangan dengan akal-budi. Manusia terdiri dari jiwa dan tubuh, yang tidak terpisahkan. Identitas manusia adalah bukan dari jiwanya atau tubuhnya, namun adalah dari persatuan antara tubuh dan jiwa. Dikatakan bahwa jiwa adalah merupakan prinsip kehidupan (principle of life) dari tubuh. Jadi identitas yang sama dari manusia yang sama memerlukan persatuan jiwa dan tubuh yang sama. Dalam reinkarnasi, tubuh dapat berlainan dan jiwanya adalah sama. Lebih-lebih lagi, jiwa yang sama dapat hidup di dalam tubuh binatang.

      (2) Reinkarnasi dan karma mensyaratkan bahwa jiwa manusia telah ada terlebih dahulu ada sebelum menempati tubuh atau bentuk yang ada sekarang, karena sebelumnya telah hidup di jaman yang lalu. Jiwa kita memungkinkan kita mengetahui bahwa kita ada, yang dibuktikan dengan pengetahuan kita akan masa lalu kita, misalkan: apa yang terjadi satu tahun yang lalu, atau masa kecil kita. Namun akan sangat sulit untuk menjumpai orang yang tahu dan sadar akan kehidupannya beberapa generasi sebelumnya, kalau teori reinkarnasi tersebut dianggap benar.

      (3) Seperti yang disebutkan di atas, bahwa inkarnasi dan karma memungkinkan jiwa manusia menempati roh binatang. Ini berarti bahwa tidak ada perbedaan antara jiwa manusia dan jiwa binatang. Padahal perbedaan manusia dan binatang adalah jauh sekali. Binatang tidak mempunyai akal budi dan manusia punya akal budi, yang memampukan manusia untuk mempertanyakan tujuan hidupnya, kebahagiaannya, Penciptanya, alasan mengapa manusia hidup, dll. Apakah pada waktu roh manusia menempati tubuh binatang, menyebabkan binatang tersebut mengetahui penciptanya dan tujuan kehidupannya, dan menyebabkan binatang ini mempunyai kepandaian seperti manusia? Tentu saja tidak.

      (4) Reinkarnasi bertujuan untuk mencapai suatu " enlightment", dimana menurut kepercayaan ini dibutuhkan ribuan tahun untuk mencapainya. Kalau memang demikian, maka roh manusia yang telah menjelma dalam ratusan kehidupan, seharusnya menjadi lebih baik, karena mereka belajar dari masa lalu. Namun kenyataannya tidaklah demikian, karena kejahatan manusia jaman dulu dan sekarang adalah sama, bahkan di beberapa sisi kehidupan, manusia saat ini menjadi lebih kejam daripada manusia masa lalu.

      C. APAKAH DOSA ASAL ADALAH KARMA?

      Kalau ditanya apakah ini bukan karma dimana karna dosa asal Adam sehingga kita yang harus menanggungnya? Kita tidak dapat mengatakan bahwa dosa asal adalah sama dengan karma, dengan beberapa alasan berikut ini:

      (1) Saya telah menjawab tentang dosa asal disini – di bagian I. (silakan klik). Dari pengertian dosa asal, yang memang berasal dari Adam dan Hawa, manusia lain yang merupakan keturunan dari Adam dan Hawa harus menanggung dosa, dimana seluruh umat manusia menangggung akibat:

      (a) Manusia kehilangan rahmat kekudusan dan terpisah dari Allah. (Lih Kej 3).
      (b) Manusia kehilangan "the gift of integrity", sehingga manusia dapat menderita dan meninggal (lih. Kej 3:16).
      (c) Manusia terbelenggu oleh dosa dan kejahatan (lih. Kej 3:15-16; Yoh 12:31; 14:30; 2 Kor 4:4; Ib 2:14; 2 Pet 2:19).

      (2) Pertanyaannya adalah: apakah dosa asal adalah sama dengan karma, karena dosa Adam dan Hawa diturunkan ke generasi berikutnya.

      (a) Untuk menjawab pertanyaan ini, maka kita harus mengerti tentang konsep penciptaan manusia. Tuhan menciptakan manusia menurut gambar dan rupa Tuhan (Kej 1:26). Dan ini termasuk adalah dengan berpartisipasi dalam penciptaan manusia, sehingga manusia beranak cucu, seperti yang diperintahkan oleh Tuhan (lih Kej 1:28). Dan hal yang lain juga untuk meneruskan berkat-berkat Tuhan yang diberikan oleh Tuhan kepada Adam dan Hawa, yaitu rahmat kekudusan dan juga the gift of integrity, yang memungkinkan manusia terbebas dari penderitaan dan kematian.
      (b) Namun karena manusia pertama gagal untuk meneruskan berkat Tuhan, maka seluruh umat manusia jatuh ke dalam dosa. Kenapa seluruh umat manusia harus menanggungnya? Karena prinsip partisipasi, di mana Tuhan menginginkan agar manusia berpartisipasi dalam pekerjaan Tuhan, baik dari sisi penciptaan manusia maupun untuk memberikan berkat-berkat yang lain. Kalau begitu, bukankah itu tidak adil untuk manusia setelah Adam dan Hawa? Sebenarnya, kalau kita di posisi Adam dan Hawa, kita juga dapat melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh Adam dan Hawa, yaitu melanggar apa yang diperintahkan oleh Tuhan.
      (c) Dan akibat dari dosa asal ini dipulihkan oleh Kristus, dengan Inkarnasi, yaitu Yesus Kristus, Putera Allah yang menjelma menjadi manusia untuk menebus dosa manusia, sehingga umat manusia (sebelum kedatangan Kristus, pada waktu, dan setelah kedatangan Kristus) dapat bersatu dengan Tuhan.

      (3) Dari keterangan di atas, maka dosa asal jelas sangat berbeda dengan karma dan inkarnasi.

      (a) Dosa asal memang disebabkan oleh manusia pertama, yang mempunyai jiwa dan tubuh sendiri, sedangkan karma disebabkan oleh individual tertentu yang mempunyai jiwa yang sama, namun tidak mempunyai badan yang sama.
      (b) Dosa asal dipulihkan dengan Inkarnasi Kristus, dimana dimanifestasikan dalam Sakramen Pembaptisan. Dari sini kita melihat ketergantungan manusia akan rahmat Allah untuk memulihkan manusia kepada kondisinya semula, sehingga berkenan kepada Allah. Sedangkan karma, yang tidak terlepas dari reinkarnasi adalah merupakan usaha manusia belaka tanpa adanya bantuan dari Tuhan. Oleh karena itu, terdapat perbedaan yang mendasar antara dosa asal dan karma.
      (c) Dosa asal tidak mengambil kebebasan manusia, namun karma sepertinya mengambil kebebasan manusia. Apa yang terjadi pada manusia seolah-olah adalah merupakan akibat dari apa yang dilakukannya di masa lalu, yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya, karena manusia tidak dapat mengingat masa lalu, beberapa generasi sebelumnya. Oleh karena itu, dengan konsep dosa asal, kita tidak dapat menyalahkan kehidupan kita sebelumnya, karena kehidupan masing-masing orang dimulai pada saat terjadinya proses pembuahan (conception), yaitu saat Tuhan sendiri memberikan jiwa kepada manusia.

      Itulah jawaban yang dapat saya sampaikan. Semoga dapat membantu. Tuhan memberkati.

      Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
      stef

Comments are closed.