Pada perayaan Jumat Agung, Gereja Katolik mengadakan upacara penghormatan/ penciuman Salib Kristus. Ada sejumlah orang yang mempertanyakannya, bahkan mencurigainya sebagai ‘berhala’. Untuk itu kita perlu memahami makna penciuman Salib, dan apakah pengertian berhala, agar kita dapat membedakannya.
Penciuman Salib pada perayaan Jumat Agung bukan berhala, karena yang dihormati bukan salib itu, tetapi maknanya, yaitu Kristus yang tersalib, yang rela mengurbankan diri-Nya demi menebus dosa-dosa kita. Penghormatan kepada Kristus yang tersalib, adalah sesuai dengan ajaran Sabda Tuhan sebagaimana tertulis dalam Surat Rasul Paulus, “Aku telah memutuskan untuk tidak mengetahui apa-apa di antara kamu selain dari Yesus Kristus, yaitu Dia yang disalibkan” (1Kor 2:2). Itulah juga sebabnya, mengapa salib di Gereja Katolik menyertakan tubuh (corpus) Kristus, yang disebut sebagai Crucifix, yang arti literalnya adalah: Seseorang yang disalibkan. Penghormatan terhadap Crucifix ini disebut sebagai dulia relatif, yang arti dan dasar Kitab Suci-nya sudah pernah dijabarkan di sini, silakan klik. Silakan membandingkannya dengan pengertian berhala, sebagaimana pernah diulas di sini, silakan klik.
Selama masa Prapaskah, Gereja mengajak seluruh umat untuk merenungkan peristiwa iman yang menjadi dasar seluruh iman Katolik, yaitu Allah Bapa yang mengutus Putera-Nya yang tunggal untuk datang ke dunia untuk menyelamatkan kita dari belenggu dosa. Dan kasih-Nya kepada umat manusia mencapai puncaknya pada hari Jumat Agung, hari di mana Yesus mengurbankan diri-Nya dengan wafat-Nya di kayu salib untuk menyelamatkan kita manusia. Dari pengorbanan di salib inilah, maka seluruh berkat dari Allah mengalir dan Roh Kudus juga tercurah kepada umat-Nya. Jadi kita melihat bahwa tanpa peristiwa wafat Yesus di salib atau Jumat Agung tidak akan ada kebangkitan Kristus atau Minggu Paskah. Untuk inilah salib menjadi tanda kemenangan dan kekuatan Allah (1 Kor 1:18). Penghormatan salib Kristus dalam liturgi Jumat Agung dimulai sekitar abad ke-4 di Yerusalem, yang kemudian berkembang ke seluruh dunia, sampai sekarang. Kita tidak dapat merayakan dan menekankan Kebangkitan Kristus tanpa merenungkan sengsara dan wafat-Nya di kayu salib, yang mendahului Kebangkitan-Nya.
Jadi penciuman salib adalah berakar dari tradisi yang mempunyai dasar teologi yang dalam. Kalau kita perhatikan semua yang dilakukan di dalam liturgi adalah merupakan ungkapan ekspresi iman yang keluar dari hati. Juga penciuman salib Kristus adalah suatu ekspresi yang keluar dari dalam hati, yaitu suatu ekspresi syukur dan kasih kepada Yesus yang telah terlebih dahulu mengasihi kita. Tentang dalamnya Makna Tanda Salib, silakan membaca di sini, silakan klik.
Pertanyaannya, apakah di ibadat Jumat Agung, kita boleh maju dan menghormati Kristus tanpa mencium salib? Boleh saja, sejauh hati kita benar-benar mengasihi Kristus dan menghormati dan mensyukuri pengorbanan-Nya. Namun bagi kami pribadi, kami memilih untuk mencium salib. Tidak ada penghormatan bagi Kristus Tuhan yang terlalu berlebihan. Semua penghormatan yang kita lakukan adalah selalu kurang dibandingkan apa yang seharusnya diterima oleh Yesus. Pada saat kita menghormati salib Kristus kita mensyukuri rahmat kasih-Nya yang tak terbatas, yang telah menyelamatkan kita. Kita mensyukuri kasih-Nya yang terbesar, sebab tiada kasih yang lebih besar daripada kasih seseorang yang menyerahkan nyawanya bagi sahabat-sahabat-Nya (Yoh 15:13). Dan penyerahan diri ini nyata terlihat dari Sang Crucifix, yaitu Kristus yang tersalib.
“Tuhan Yesus, terima kasih atas pengorbanan-Mu di kayu salib bagiku. Bantulah aku untuk bersama Rasul Paulus, mengatakan ini dengan iman: “Aku telah disalibkan dengan Engkau. Namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Engkau yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Engkau, yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Mu untuk aku.” (Gal 2:19-20)
Dear Katolisitas yang BAIK.
Celinne mau bertanya saja, pada Ritus Penutup di Perayaan Ibadat Jumat Agung; Imam menutup perayaan dengan mengulurkan kedua tangannya ke atas jemaat (=Berkat, tapi bukan dengan tanda salib besar).
MENGAPA…?
Bukankah tanda salib merupakan tanda kemenangan Kristus?
Terima Kasih atas pencerahannya.
Shalom Celinne,
Perayaan liturgi Jumat Agung bukan perayaan yang berdiri sendiri, namun merupakan bagian dari perayaan Triduum Paska, yang dimulai pada perayaan Ekaristi memperingati Perjamuan Terakhir pada hari Kamis Putih dan berakhir pada sore hari Minggu Paska. Perayaan Ekaristi pada hari Kamis Putih tidak diakhiri dengan pengutusan ataupun berkat, maka perayaan Jumat Agung (bukan perayaan Ekaristi Kudus) merupakan kelanjutan dari perayaan Kamis Putih. Karena sesungguhnya perayaan Kurban Misa adalah penghadiran kembali peristiwa Perjamuan Terakhir, Penyaliban, dan Kebangkitan Yesus, seluruhnya dalam kesatuan. Dengan demikian, perayaan Triduum Paska merayakan ketiga hal itu: walaupun dalam 3 liturgi yang terpisah, namun sebenarnya tergabung menjadi satu. Pada hari Jumat Agung Gereja mengarahkan perhatiannya kepada Salib di Golgota. Dalam perayaan Jumat Agung kita menyembah Kristus yang tersalib, sebab dengan salib suci-Nya Ia telah menebus dunia. Tidak didaraskannya doa konsekrasi maksudnya adalah untuk menunjukkan rasa kehilangan kita, sebab di sepanjang tahun, Misa dirayakan untuk memperingati kemenangan Kristus atas maut. Maka pada hari Jumat Agung, Gereja tidak mendaraskan doa konsekrasi itu, agar mengingatkan kita akan penderitaan Kristus di kayu salib.Itulah sebabnya, maka pada pembukaan ataupun penutup perayaan liturgi Jumat Agung tidak dibuat tanda salib. Sebab tanda salib mengingatkan kita kepada tanda kemenangan Kristus atas maut, namun pada hari itu (Jumat Agung) fokus perayaan adalah penghormatan kepada Kristus yang tersalib demi menebus dosa-dosa kita.
Tanda Salib dibuat kembali pada perayaan Malam Paska, saat kita memperingati kebangkitan Tuhan Yesus Kristus, demikian pula pada hari Minggu Paska.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Kak Ingrid yang terkasih dalam Tuhan.
Sebelumnya terima kasih atas pencerahannya.
Tidak ada sama sekali keberatan atas penjelasan kakak, terlebih Triduum itu sendiri merupakan sebuah rangkaian Perayaan Ekaristi yang kita rayakan (umumnya) setiap minggu.
Issue bahwa sebaiknya Umat pun sudah selayaknya tenggelam dalam suasana haru ini sudah menjadi tradisi turun temurun, bagaimana kita “menemani” Kristus dalam simbolisasi malam tuguran di Perayaan Ekaristi Kamis Putih.
Segala denting logam ditiadakan sebagai simbol kedukaan Gereja yang mendalam.
Pada ketika esok hari, kita semua dihantar pada dramatisasi Via Dolorosa, sebagian Gereja menampilkannya dalam bentuk tableu, dan kita menyaksikan bagaimana kejamnya manusia memperlakukan Yesus yang tidak bersalah itu (terkadang Celinne sampai menangis mengikuti ibadat itu). Pada kelanjutannya; Ibadat Jumat Agung dimulai sebagai “keterusan” dari rangkaian Perayaan the last supper (Kamis Putih).
Kita tenggelam lebih ke dalam, “sepertinya” (Celinne tulis, “sepertinya”), tanda kemenangan Kristus yang biasa kita kenakan baik sebelum dan sesudah berdoa menjadi absurd di hari itu.
Bagaimana absurd?
Kita tau bahwa pada hari itu (ie. Jumat Agung) adalah hari yang sungguh membawa kedukaan yang mendalam, salib *belum* membawa kemenangan, justru ketika malam Vigili Paskah dan Paskah, tanda kemenangan itulah yang “pantas” kita kenakan kembali.
Ini menjadi bukti bahwa Ibadat Jumat Agung pun tidak ditutup dengan berkat tanda salib melainkan selebran hanya memberi berkat dengan mengulurkan kedua tangannya ke atas jemaat
Terus terang Celinne sulit mengaplikasikan apa yang ada di pikiran Celinne menjadi sebuah kalimat yang mudah dipahami, semoga kakak bisa memahami essensi dari tulisan Celinne.
Mohon kakak memahami dan akhirnya berkenan membuka ruang di pemikiran Celinne yang keliru.
Salam dan terima kasih.
Shalom Celinne,
Agaknya harus dibedakan, gerak-gerik (gestures) di dalam liturgi, dan gerak gerik kita pribadi di luar liturgi. Nah, yang saya sampaikan di atas adalah gerak gerik dalam liturgi, yaitu dalam perayaan Jumat Agung, yang merupakan kesatuan dalam perayaan Triduum Paska.
Sedangkan yang Celine tanyakan di sini, ternyata mencakup juga devosi pribadi, yaitu untuk membuat tanda salib pada saat kita sendiri berdoa. Nah untuk sikap di luar liturgi, tentu saja boleh dilakukan. Silakan berdoa dengan membuat tanda salib pada hari Jumat Agung. Yang dibahas di jawaban saya di atas, adalah dalam konteks perayaan liturgis, di mana seluruh Gereja memfokuskan permenungannya pada pengorbanan Yesus di kayu salib. Adapun maksud liturgi adalah Gereja menghadirkan kembali oleh kuasa Roh Kudus, Misteri Paska Kristus. Dalam liturgi, Misteri Paska Kristus yang mengatasi ruang dan waktu itu dirayakan di dalam waktu, secara khusus dalam masa Triduum Paska. Hal ini dimulai dari Perjamuan Terakhir, lalu kemudian sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus. Maka karena perayaan itu dihadirkan dalam rangkaian, maka sudah sepantasnya gerak-gerik di sana memperhatikan juga makna yang ingin disampaikan, agar dapat lebih mudah dipahami maksudnya oleh Gereja sebagai satu kesatuan Tubuh Kristus.
Sedangkan dalam doa-doa pribadi di luar liturgi, ketentuan ini tidaklah mengikat. Sebab doa pribadi maknanya tidak sama dengan liturgi. Maka silakan saja, jika Celine ingin membuat tanda salib dalam doa- doa pribadi pada hari Jumat Agung itu. Sebab memang kita tahu, bahwa Yesus telah bangkit 2000 tahun yang lalu. Dan karena kuasa-Nya yang mengatasi ruang dan waktu, maka kita dapat selalu mengenangkan wafat Kristus sekaligus juga kebangkitan-Nya. Namun demikian, jika Gereja dalam liturgi Jumat Agung tidak membuat tanda salib (yang menandai wafat dan kebangkitan-Nya), mohon dipahami, bahwa itu disebabkan karena Gereja sedang mengkhususkan hari itu sebagai permenungan akan sengsara dan wafat Kristus. Maka Gereja seolah ‘memandang kepada Kristus yang tersalib dalam batin, dalam keheningan’.
Mohon maaf juga atas keterbatasan kata-kata saya, dan kalau saya belum dapat menjelaskannya dengan baik. Namun kira-kira itulah yang bisa saya sampaikan, semoga berguna, dan tidak malah membuat tambah bingung…. :)
Mungkin ada baiknya Celinne membaca artikel tentang makna liturgi, klik di sini dan di sini.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Ytk. Kak Ingrid.
Ini adalah putaran terakhir dari diskusi kita yang sejuk.
Agaknya harus dibedakan, gerak-gerik (gestures) di dalam liturgi, dan gerak gerik kita pribadi di luar liturgi. Nah, yang saya sampaikan di atas adalah gerak gerik dalam liturgi, yaitu dalam perayaan Jumat Agung, yang merupakan kesatuan dalam perayaan Triduum Paska.
———————————
Yup, Celinne cukup terima dan memahami.
Sedangkan yang Celine pertanyakan di sini, ternyata mencakup juga devosi pribadi, yaitu untuk membuat tanda salib pada saat kita sendiri berdoa. Nah untuk sikap di luar liturgi, tentu saja boleh dilakukan. Silakan berdoa dengan membuat tanda salib pada hari Jumat Agung. Yang dibahas di jawaban saya di atas, adalah dalam konteks perayaan liturgis, di mana seluruh Gereja memfokuskan permenungannya pada pengorbanan Yesus di kayu salib. Adapun maksud liturgi adalah Gereja menghadirkan kembali oleh kuasa Roh Kudus, Misteri Paska Kristus.
———–
Kak Ingrid, memang betul sekali maksud Celinne ini mencakup dalam soal devosi pribadi, namun karena Triduum Paschalne ini bukan hanya merayakan saja tetapi *dihadirkan* kembali, maka disposisi hati kita yang sejak Kamis Putih itu berpengaruh pada devosi pribadi.
Maksudnya begini, setiap kita dihantar untuk merenungkan (nah ini pribadi) tentang peristiwa itu yang diaplikasikan di dalam Perayaan Triduum; di mana kita mengikuti tuguran dan *hanya* diam menemani Yesus di Taman Getsemani.
Kita pun dihantar pada penyangkalan St. Petrus pada pkl. 5:00 (ayam berkokok), sebagai permenungan diri kita.
Pada kira-kira jam 10:00 kita berada bersama-sama di rumah Pilatus menyaksikan Yesus diadili.
Pada kira-kira jam 12:00 kita merayakan ibadat Jalan Salib dan pada pkl 14:30, Yesus disalibkan.
Pada pkl 15.00, Yesus menyerahkan nyawa-Nya.
Nah rangkaian peristiwa itu sungguh oleh Gereja dihadirkan ke tengah kita dan disposisi hati kita larut dalam peristiwa itu…
aargh……Celinne sulit menuliskannya kak Ingrid…
Itu saja yang menurut Celinne justru pada peristiwa itu disposisi hati kita harus sesuai dengan “apa yang dihadirkan” oleh Gereja…
Semoga kak Ingrid mengerti yah…
Salam dan maafkan Celinne.
[Dari Katolisitas: Tidak apa Celinne, tidak perlu meminta maaf. Silakan Celinne menimbang di dalam hati, apakah mau membuat tanda salib atau tidak, pada hari Jumat Agung sebagai ungkapan devosi pribadi. Gereja tidak mengatur sedetail-detailnya sampai kepada devosi pribadi, namun hanya pada perayaan liturgi. Kalau Celinne tergerak untuk membawa sikap liturgi ini ke dalam devosi pribadi, itu adalah sesuatu yang baik, namun sebaliknya, jika Celinne tergerak untuk membuat tanda salib dalam devosi pribadi ini, sambil menekankan akan pengharapan bahwa sengsara dan wafat Kristus yang direnungkan pada hari Jumat Agung, menghantar kepada pengharapan akan kebangkitan-Nya pada hari Raya Paska, maka itu juga bukan hal yang keliru. Yang penting apapun sikap dalam doa, merupakan cerminan sikap batin yang didasari oleh iman, pengharapan dan kasih kepada Tuhan.]
Salam Jessica,
menambahkan jawaban oleh Ibu Ingrid, tanda salib dan penghormatannya secara agung sudah dilaksanakan dalam perayaan sebagai inti dari perayaan Jumat Agung. Maka tanda salib kecil pada awal dan akhir perayaan Jumat Agung tidak dilaksanakan. Ini suatu kekhasan peerayaan Jumat Agung. Bandingkan akhir dari ibadat penguburan orang mati. Karena sudah ada pemberkatan dengan salib pada jenasah dalam makam maka tanda salib kecil di akhir ritus pemakaman juga tidak ada.
Doa dan Gbu.
Rm B.Boli.
mengenai penciuman salib, meskipun saya tidak pernah menganggap itu penyembahan berhala, tapi saya kadang ragu melakukannya ( tidak mencium menggunakan bibir, biasanya saya menggunakan dahi atau ujung hidung — entah benar /salah ya?) hal itu saya lakukan hanya untuk menjaga kesehatan saja, karena saya kuatir dari sekian ratus orang itu mungkin ada yang menderita penyakit yang bisa ditularkan lewat air liur/keringat. dan setau saya misdinar hanya mengelap dengan kain kering, yang karena hanya satu buah, maka mungkin kumannya malah menumpuk di kain, jadi alasan saya hanya masalah kesehatan saja, meskipun saya tau sakit dan mati adalah Tuhan yang menentukan.
[dari katolisitas: Tidak menjadi masalah kalau Anda menempelkan dahi atau ujung hidung. Yang terpenting di sini adalah sikap kita menghormati salib Kristus, karena dengan Salib Kristus maka dosa-dosa kita telah diampuni dan dunia dibebaskan dari belenggu dosa.]
Dalam ajaran katholik, salib dan lainnya merupakan sebuah simbol utk kita mengenang Tuhan. Hal ini sama jika kita sedang merasakan saat mengenang seseorang dimana yg kita dapatkan saat kita melihat atau memegang barang yg menjadi milik seseorang tersebut menjadikan kita rindu atau teringat pengalaman sebelumnya dengan orang tersebut. Dan terkadang tanpa sadar jika kita sangat rindu dengan seseorang maka bahkan barang seseorang tersebut kita simpan atau kita dekap dalam pelukan kita, hal ini menjadi sangat manusiawi ( emosional ). Dan begitu juga dengan bagaimana kita juga rindu akan Tuhan yg telah memberikan kasihNya, sehingga kita saat ini memiliki kebebasan dalam memiliki hidup dengan penghapusan dosa asal kita karena penebusanNya, hal inilah yang menjadikan kita secara emosional menunjukan dengan menggenggam salib atau mencium salib dalam doa atau perayaan dalam gereja.
Semoga tulisan ini bisa memaknai bagaimana kita sebagai manusia masih diberikan hak dan kekuasaan dalam diri kita dengan emosi yg bisa kita expresikan untuk kerinduan akan kedekatan kita dengan Tuhan.
Mencium adalah tanda hormat/kasih/setia , bila yang dicium menggambarkan image/ sosok yg memang harus dan pantas untuk dihormati. Contoh bendera merah putih,photo pacar, istri apalagi salib Kristus.
Pemberhalaan adalah penyembahan yg dianggap mempunyai arti/makna , namun object yg disembah tidak mempunyai image ato sosok yg memang pantas utk dihormati alias benda mati (batu/pohon/hajar aswad/salib tanpa corpus).
Jadi jelas bahwa penciuman bukanlah pemberhalaan. Coba anda bayangkan waktu anda pacaran, apa makna anda cium pacar ?
Gimana tim katolisitas apa pendapat saya ini salah ?
[Dari Katolisitas: Silakan Anda membaca artikel Apakah berhala itu?, silakan klik. Mencium seseorang tidak otomatis menjadi tanda pemberhalaan, namun yang sedang dipermasalahkan di sini adalah mencium memberikan sikap penghormatan kepada suatu benda yang menjadi lambang dari pribadi Kristus atau orang kudus. Tentang hal ini, juga sudah pernah dibahas di artikel ini, silakan klik.]
Tambahan :
Apa kata st Germanus dari Kontantinopel ;
Jika kita menghormati gambar Kristus kita tidak menghormati kayu ato cat melainkan menyembah Kristus yang tidak kelihatan dalam roh dan kebenaran.
Jadi Inilah pemahaman umat Katolik dan tuduhan pemberhalaan adalah tidak tepat.
Jika dianggap berhala,utk apa digantung salib dileher,kemana bersama,menempel pd tubuh kita,lebih dr mencium salib,karena menempel terus pd tubuh kita……..tdk pernah dilepaskan,,,ini adalah prantanda kita menghormati,menyembah DIA,karena dlm namaNYA adalah ROH ALLAH dan MANUSIA,,,Dr pada pasang jimat yg katanya utk menyelamatkan,menjaga dll. lebih mantap memakai SALIB KRISTUS,sangat yakin YESUS KRISTUS dan ROH KUDUS akan selalu dekat, …. [edit]. SALIB selalu mengingatkan kita sesorg pribadi ALLAH MANUSIA….ALLAH YG BERINKARNASI DLM DIRI MANUSIA YESUS KRISTUS,,,,siapa mau mengatakan itu berhala,itu hak dia….jika SALIB yg dipakai mau dirampas org,silahkan saja,masih ada SALIB yg abadi dlm hati dan detak jantung…..
untuk mereka yang mengatakan bahwa salib dan patung-patung orang kudus atau Tuhan Yesus itu berhala,,silahkan datang ke salah satu ritual pengusiran setan gereja Katholik,,dan saksikan sendiri betapa anak buah si pendusta gemetar ketakutan di hadapannya…shalom…
Pa stef pada kenyataannya banyak dari umat katolik sangat ingin sekali mencium salib itu contoh bapa mertua saya bilang ayo sana cium salib ngak apa2 kok… tapi saya tolak.
Mengapa harus mencium salib pa stef sdh jelas salib itu mempunyai arti yang sangat hina buat Tuhan Yesus kok dipakai sarana utk devosi.
Soal foto, misalnya foto orang tua saya contohnya saya tidak berdoa di hadapan foto lalu berdoa kepada orang tua saya agar bisa menolong saya agar doa permohonan saya di sampaikan kepada Tuhan. Berbeda dengan gereja katolik yang sdh jelas memastikan bahwa berdoa di hadapan patung apa lagi Bunda Maria adalah hal dibenarkan oleh Tuhan lewat pernyataan gereja Katolik padahal itu adalah kekejian bagi Tuhan.
Shalom Riswan,
Kita harus mengingat bahwa walaupun salib adalah cara yang hina untuk menjatuhkan hukuman bagi para terhukum, namun cara yang hina ini adalah cara yang dipilih oleh Kristus untuk menyelamatkan umat manusia (lih. 1Pet 2:24). Ada banyak yang tidak dapat menerima hal ini, namun Rasul Paulus mengatakan dengan tegas demikian “tetapi kami memberitakan Kristus yang disalibkan: untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan” (1Kor 1:23) Jadi, sebagai umat Allah, kita justru dengan rasa syukur mengenangkan pengorbanan Kristus yang mencurahkan darah dan memberikan nyawa-Nya di kayu salib.
Tentang foto, Anda dapat juga berdoa kepada Tuhan dengan memandang foto tersebut. Dan hal ini bukanlah kekejian di mata Tuhan. Anda dapat berdoa kepada Tuhan dengan memandang foto orang-orang yang Anda kasihi, meminta mereka agar mereka dapat juga mendoakan Anda. Namun, doa Anda tetap tertuju kepada Tuhan. Itulah yang dilakukan oleh umat Katolik ketika mereka berdoa di depan patung. Umat Katolik tidak berdoa kepada patung, karena umat Katolik dapat membedakan mana ciptaan dan mana Pencipta, mana patung dan mana yang nyata. Dan karena topik ini telah didiskusikan berulang-ulang, silakan membaca terlebih dahulu beberapa diskusi panjang ini – silakan klik, klik ini, dan klik ini dilanjutkan dengan ini. Cobalah membaca perlahan-lahan dari semua diskusi tersebut. Semoga dapat diterima.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Mencium salib bagiku jelas bukan pemberhalaan. Ini adalah ungkapan kerendahan hati dan ungkapan cinta.
Jika aku merasa berat untuk mencium salib itu,mungkin aku belum cukup rendah hati dan belum cukup cinta pada Pribadi yg ada di balik salib itu.
Selalu ada pembenaran atas anggapan bahwa ritual penciuman salib bukanlah pemberhalaan. Namun, bagi saya, apapun alasannya, ritual itu adalah pemberhalaan. Keyakinan itu pula yang membuat saya tidak pernah mencium salib setiap kali mengikuti misa Jumat Agung.
Itu tidak ubahnya dengan umat mesir yang membangun berhala untuk sebagai penghormatan kepada Allah saat ditinggal sementara waktu oleh Musa dalam perjalanan menuju tanah yang dijanjikan.
Pahamilah Saudara- saudariku bahwa sesungguhnya kita semua tidak membutuhkan salib berpatung yesus dan patung-patung yang menjadi simbol Yesus, Maria, Yusuf dan atau orang-orang suci lainnya. Itu adalah pemberhalaan! Kita selalu mendapatkan alasan pembenaran atas keberadaan patung-patung itu dan bagaimana sikap hormat terhadap patung-patung itu, tapi itu tidak akan mengubah fakta bahwa tindakan itu adalah pemberhalaan.
Tidak percaya?
Bagaimana perasaaan Anda semua jika saya mengencingi salib dan patung – patung simbol orang suci (bukan patung suci) itu? Bagaimana perasaan Anda? Jika sedikit saja ada perasaan tersinggung, marah, maka waspadalah, sesungguhnya Anda sudah terjebak pada pemberhalaan. Anda sudah mengidentifikasikan salib dan patung itu tidak saja sebagai simbol namun Anda bahkan telah melekatkan kesucian pada benda-benda mati itu.
Shalom Kristo,
Kalau Anda tidak mau mencium salib juga tidak menjadi masalah. Penciuman salib bukanlah sakramen, namun merupakan bentuk devosi – yang tidak mengikat umat beriman. Namun, kalau devosi tersebut dijalankan dengan sepenuh hati, tentu saja dapat membantu perkembangan spiritualitas seseorang. Jadi, kita juga harus memberikan kesempatan kepada orang lain untuk melakukan devosinya dengan baik. Yang mungkin perlu dimengerti adalah konsep dulia relatif, yaitu penghormatan kepada benda-benda yang menggambarkan santa-santo, Bunda Maria dan Allah. Dan ini bukanlah berhala.
Anda menggunakan logika mengencingi salib dan patung-patung, di mana kalau ada yang tersinggung maka terjebak dalam pemberhalaan. Kalau ada orang lain melakukan hal yang sama pada foto-foto orang yang Anda sayangi, dan Anda juga marah dan tersinggung, maka apakah kesimpulannya Anda juga terjebak dalam pemberhalaan? Tentu saja kita tidak dapat menyimpulkan demikian khan? Jadi, mari kita tempatkan segala sesuatunya secara proporsional.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Izinkan saya yang awam ikut berpendapat,
Mengenai “Ide ide menyembah berhala”
Menurut saya mencium patung salib, jelas bukan berhala. Saya rasa semua yang melakukan ibadah mengerti, ini adalah simbolik, wujud penghormatan pada pribadi Yesus, hati pun berdoa mengarah pada Tuhan, bukan mengarah kepada salib kayu – nya dan corpus Yesus.
Lagipula “berhala” adalah sebutan, untuk sesosok imajiner, dewa atau Tuhan palsu, karangan manusia. Kalau Tuhan sejati, anda mau bilang “berhala” ? Kan tentu tidak.
Maaf jika di telaah lebih “tajam” mengenai yang nampaknya serupa
-Berdoa dihadapan salib kayu (tanpa corpus)
-Berdoa dihadapan salib kayu dengan corpus
-Berdoa dihadapan patung buddha
-Berdoa dihadapan kaabah dan hajar aswad
-dan seterusnya
Jika seseorang sensitif mengenai “berhala” ini, berhati hatilah, jika berdoa, jangan sampai ada “benda apapun” di hadapan anda, nanti akan menjadi berhala, tapi tidak seperti itu kan?
Apakah yang lebih riil dari sesosok Yesus Kristus yang nyata ada, disalibkan, dan wafat, untuk seluruh umat manusia?
kalau mau mengencingi salib dan semua simbol orang suci ya silahkan saja….gak masalah.Cara setiap orang dalam menjalin hubungan dengan tuhan adalah pribadi sifatnya. Gak bisa kita mengatakan bahwa si ini benar dan si itu salah . Saya termasuk salah seorang yg akhir-akhir ini enggan mencium salib saat jum’at agung kr gak merasa mantap , tapi gak bisa juga sy memberikan penilaian bahwa orang lain yg mencium salib itu sudah terjebak pada pemberhalaan.
[dari katolisitas: Sebenarnya tanpa menggunakan alasan teologis, mengencingi barang orang lain yang dianggap baik oleh orang lain, merupakan perbuatan yang melanggar hukum kasih.]
Dear Kristo.
[Selalu ada pembenaran atas anggapan bahwa ritual penciuman salib bukanlah pemberhalaan. Namun, bagi saya, apapun alasannya, ritual itu adalah pemberhalaan. Keyakinan itu pula yang membuat saya tidak pernah mencium salib setiap kali mengikuti misa Jumat Agung.]
Respon Celinne:
No respon karena itu “bagi saya”, jadi masing-masing orang memiliki interpretasi sendiri, tergantung pada sudut pandangnya sendiri yang BISA KELIRU.
[Itu tidak ubahnya dengan umat mesir yang membangun berhala untuk sebagai penghormatan kepada Allah saat ditinggal sementara waktu oleh Musa dalam perjalanan menuju tanah yang dijanjikan.]
Respon Celinne:
BERBEDA SEKALI.
Berhala itu dibangun dengan semangat apa?
Penciuman Salib itu dibangun dengan semangat apa?
APA SAMA?
[Pahamilah Saudara- saudariku bahwa sesungguhnya kita semua tidak membutuhkan salib berpatung yesus dan patung-patung yang menjadi simbol Yesus, Maria, Yusuf dan atau orang-orang suci lainnya. Itu adalah pemberhalaan!]
Respon Celinne:
Lalu untuk apa kamu membutuhkan photo-photo masa kecilmu atau orang yang kamu kasihi melekat di dalam kehidupanmu?
Dengan semangat yang sama, itu adalah pemberhalaan???
Be a wise dong di dalam menyikapi setiap perkara, jangan asal tulis pak.
[Kita selalu mendapatkan alasan pembenaran atas keberadaan patung-patung itu dan bagaimana sikap hormat terhadap patung-patung itu, tapi itu tidak akan mengubah fakta bahwa tindakan itu adalah pemberhalaan.]
Respon Celinne:
Demikianlah kamu sudah memberhalakan photo-photo mereka yang kamu kasihi, inilah yang sering dilupakan bahwa tergenapilah apa yang Tuhan pesan…
Lukas 6:41
Mengapakah engkau melihat selumbar di dalam mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu sendiri tidak engkau ketahui?
[Tidak percaya?]
Respon Celinne:
TIDAK SAMA SEKALI.
[Bagaimana perasaaan Anda semua jika saya mengencingi salib dan patung – patung simbol orang suci (bukan patung suci) itu?]
Respon Celinne:
Yang pasti respon Celinne, kamu akan Celinne tampar sebagai salah satu bentuk upaya menyadarkan tindakan kamu yang KURANG AJAR terhadap apa yang Celinne kasihi.
[Bagaimana perasaan Anda? Jika sedikit saja ada perasaan tersinggung, marah, maka waspadalah, sesungguhnya Anda sudah terjebak pada pemberhalaan.]
Respon Celinne:
ITU namanya bukan terjebak pemberhalaan tetapi tepatnya adalah pembelaan terhadap sesuatu yang Celinne kasihi, sesuatu yang telah menawarkan Jalan dan Keselamatan dan Hidup bagi Celinne.
Tentu saja sebagaimana kamu akan membela orang tuamu ketika photonya Celinne kencingi di hadapanmu. itu baru oang tuamu saja sudah kamu marah kali yah, gimana photo atau patung Tuhanmu diperlakukan demikian…???
Matius 10:37
Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku; dan barangsiapa mengasihi anaknya laki-laki atau perempuan lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku.
[Anda sudah mengidentifikasikan salib dan patung itu tidak saja sebagai simbol namun Anda bahkan telah melekatkan kesucian pada benda-benda mati itu.]
Respon Celinne:
Kamu tau apa tentang kesucian, sementara kamu saja sulit membedakan mana pemberhalaan atau bukan kok mau bicara kesucian?
Orang yang suci hatinya tidak akan berupaya mengecingi milik mereka yang sangat dikasihinya.
BELAJAR untuk tau diri dulu sebelum memberikan statement yang tidak elok untuk dibaca.
Apakah mencium salib pada waktu Jumat Agung adalah berhala?
Mohon pencerahan Imannya, terima Kasih…!!!
Das Svardaniya…!!!!! :-)
[Dari Katolisitas: Silakan membaca tanggapan kami, di atas, silakan klik]
Comments are closed.