Berikut adalah khotbah Paus Fransiskus pada Doa Malam bersama dengan Komunitas Benediktin Calmadolese:
Mari kita renungkan seseorang yang mengenali dan mencintai Yesus [sedemikian rupa] seakan tiada lagi makhluk lain sepertinya. Injil yang telah kita dengar mengungkapkan cara mendasar Maria mengekspresikan kasihnya bagi Yesus: dengan melakukan kehendak Allah. “Sebab siapapun yang melakukan kehendak Bapa-Ku di surga dialah saudara-Ku laki-laki, dan saudara-Ku perempuan, dan ibu-Ku” (Mat 12:50). Dengan kata-kata ini Yesus meninggalkan kita sebuah pesan penting: kehendak Allah adalah hukum tertinggi yang menetapkan dengan setia milik-Nya. Itulah bagaimana Maria membina sebuah ikatan kekeluargaan dengan Yesus bahkan sebelum melahirkanNya. Dia pantas menjadi murid dan ibu bagi Sang Putera pada saat dia menerima kata-kata dari Malaikat dan berkata: “Sesungguhnya, aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Luk 1:38). Kata “jadilah” ini adalah bukan hanya merupakan sikap menerima, tetapi juga sebuah keterbukaan dengan penuh kepercayaan akan masa depannya. Kata “jadilah” ini adalah pengharapan!
Maria adalah ibu pengharapan, ikon yang paling sepenuhnya mengekspresikan pengharapan Kristiani. Keseluruhan hidupnya adalah serangkaian episode pengharapan, yang dimulai dengan “ya”-nya pada saat menerima kabar gembira. Maria tidak tahu bagaimana dia bisa menjadi seorang ibu, tetapi dia telah mempercayakan dirinya secara total kepada misteri yang hendak dipenuhi, dan dia menjadi wanita harapan dan pengharapan. Kemudian kita lihat dia di Betlehem, di mana Seseorang yang telah dinyatakan kepadanya sebagai Juruselamat Israel dan sebagai Mesias lahir dalam kemiskinan. Yang belakangan, ketika dia berada di Yerusalem untuk memperlihatkanNya di dalam Bait Allah di tengah kegembiraan Simeon tua dan Anna, sebuah tanda akan terjadinya sesuatu juga dibuat bahwa sebuah pedang akan menembus hatinya dan seorang penubuat meramalkan bahwa Dia akan menjadi sebuah tanda pertentangan. Maria menyadari bahwa misi dan identitas yang luar biasa dari Sang Putera ini melebihi keibuannya sendiri. Kita lalu sampai pada episode Yesus yang hilang di Yerusalem dan kemudian dipanggil kembali: “Puteraku, mengapakah Engkau berbuat demikian terhadap kami?” (Luk 2:48), dan pada jawaban Yesus yang menghapus kecemasan keibuan Maria dan mencurahkan [isi hati] hal-hal tentang Bapa Surgawi-Nya.
Namun dalam menghadapi semua kesulitan dan kejutan dalam rencana Allah ini, pengharapan sang Perawan [Maria] tidak pernah goyah! Wanita pengharapan. Hal ini memberitahu kita bahwa pengharapan dipelihara dengan pendengaran, kontemplasi, dan kesabaran, sampai waktu dari Tuhan itu matang. Selain itu pada pesta perkawinan di Kana, Maria adalah ibu pengharapan, yang memberi perhatian dan kecemasannya terhadap urusan-urusan manusia. Dengan permulaan dari pelayanan publik-Nya, Yesus menjadi Guru dan Mesias: Bunda Maria memandang misi Puteranya dengan kegembiraan yang sangat besar tetapi juga dengan kekuatiran akan terjadi sesuatu, karena Yesus menjadi semakin jelas menandakan pertentangan yang diramalkan oleh Simeon tua itu. Di kaki Salib [Kristus], dia ialah wanita berduka dan sekaligus [wanita] harapan yang hati-hati terhadap sebuah misteri yang jauh lebih besar daripada kesedihan yang akan segera dipenuhi. Tampaknya bahwa segala sesuatu telah berakhir; setiap pengharapan bisa dikatakan telah padam. Maria juga, pada saat itu, yang mengingat janji-janji Khabar Sukacita bisa mengatakan: mereka tidak menjadi kenyataan, aku tertipu. Tapi Maria tidak mengatakan ini. Dan oleh karena itu dia yang diberkati karena dia telah percaya, melihat bunga dari imannya sebuah masa depan yang baru dan menantikan hari esok Allah dengan harapan. Kadang-kadang saya pikir: tahukah kita bagaimana untuk menunggu hari esok Allah? Atau apakah kita menginginkan hal itu hari ini? Bagi Maria hari esok Allah adalah sang fajar dari Paskah di pagi hari, sang fajar di hari pertama dalam minggu itu. Hal ini akan menjadikan kita baik untuk berpikir, dalam kontemplasi, akan pelukan ibu dan Puteranya. Satu-satunya cahaya yang menyala di makam Yesus adalah pengharapan ibu-Nya, yang pada saat itu merupakan pengharapan dari semua manusia. Saya bertanya pada diri sendiri dan saya bertanya pada kalian: apakah cahaya ini masih menerangi dalam biara-biara? Dalam biara-biara kalian apakah kalian sedang menunggu hari esok Allah?
Kita berhutang begitu banyak kepada Ibu ini! Dia hadir di setiap saat dalam sejarah keselamatan, dan di dalam dirinya kita melihat sebuah kesaksian teguh terhadap pengharapan. Dia, ibu pengharapan, mendukung kita di saat-saat kegelapan, kesulitan, keputusasaan, [di saat-saat] yang tampaknya kalah atau manusia sejati kalah. Semoga Maria, pengharapan kita, menolong kita untuk membuat hidup kita sebuah persembahan yang menyenangkan Bapa Surgawi, dan sebuah karunia yang penuh sukacita bagi para saudara-saudari kita, di dalam sebuah sikap yang selalu sangat mengharapkan hari esok.
(AR)
Paus Fransiskus,
Biara Santo Anthony Abbas, 21 November 2013
Diterjemahkan dari : www.vatican.va