Selama berada di biara ini, aku merangkap sebagai seksi bulog, menangani urusan logistik biara. Tentu saja, namanya bulog, pasti dekat dengan makanan-makanan enak dan kulkas. Sayangnya, semua makanan dan cemilan adalah milik komunitas. Jadi, bila satu makan, semua makan bersama. Tidak ada ceritanya cemilan pribadi di dapur. Apa boleh buat, cemilan-cemilan sedap hanya sebatas pandangan mata. Tidak ada perlakuan khusus untukku, biarpun aku adalah sie bulog. Hixx… :’(

Menjadi bulog memiliki resiko tersendiri. Salah satunya (yang cukup berat) adalah belanja pagi. Dalam keadaan biasa, para anggota biara sudah bangun cukup subuh untuk ibadat pagi. Namun, seolah belum cukup subuh, sie bulog harus bangun lebih pagi lagi untuk belanja kebutuhan dapur biara di pasar. Balapan bangun pagi sama ayam berkokok. Akibatnya, waktu istirahat berkurang dan aku bangun subuh untuk berangkat belanja sambil setengah sadar seperti zombie. Kadang, aku mengomel dengan tugas kehormatan ini.

Seperti pasar-pasar pada umumnya, pasar langganan belanjaku ini sangat ramai. Berjejal dengan orang-orang, becek, nggak ada ojek lagi… untung nggak hujan. Ada beragam orang dengan beragam kepentingan. Ada tante-tante dan mbak-mbak yang belanja, tawar-menawar dengan pedagang yang sewot gara-gara ditawar terlalu murah. Ada bapak-bapak yang mengangkuti barang dagangan ke dalam truk untuk disalurkan ke tempat lain, ada pula yang menurunkan muatan. Walau begitu, ada satu warna yang sama yang aku lihat dalam diri mereka : pengorbanan demi orang lain. Para pedagang berjualan demi mengepulkan asap dapur mereka. Maksudnya, buat masak makanan sehari-hari, bukan buat main petasan. Para ibu-ibu berbelanja demi kebutuhan dapur mereka, untuk memasak sarapan, makan siang, dan makan malam suami dan anak-anak. Kalau mbak-mbak pembantu, ya demi gaji yang lancar, yang juga untuk keluarga mereka di kampung. Satu hal lagi adalah mereka bangun lebih pagi dari aku, karena mereka sudah sampai duluan daripada aku.

Pasar ini lebih dari sekedar tempat transaksi ekonomi, melainkan juga transaksi kekudusan. Setiap orang berkorban demi orang lain, mempersembahkan diri mereka sebagai kurban. Ini adalah tempat penuh rahmat dan kesempatan emas untuk berkorban. Pada gilirannya, Allah akan memberkati setiap persembahan dengan kurban cinta Putra-Nya. Jika dipikir-pikir, aku bodoh sekali. Aku juga berbelanja di pasar ini demi orang lain, yakni demi saudara-saudaraku di biara. Mengapa aku menyia-nyiakan kesempatan berkorban ini dan menodainya dengan mengeluh dan bersungut-sungut? Seharusnya aku melakukannya dengan gembira.

Setiap saat dalam hidup sangat berharga, terutama untuk berkorban demi pengudusan diri sendiri dan orang lain. Kegiatan kecil seperti berbelanja di pasar juga adalah alat bagi Tuhan untuk mengajariku tentang pengorbanan. Aku dapat belajar menjadi kudus dengan hal-hal kecil ini dan melakukannya sekarang, bukan nanti atau esok.

“Tidak semua dari kita dapat melakukan hal-hal besar. Tapi, kita dapat melakukan hal-hal kecil dengan cinta yang besar.” – Bt. Teresa dari Kalkutta.

2 COMMENTS

  1. terima kasih team katolisitas.org and IOANNES telah berbagi renungan yang membuat saya boleh belajar bahwa hidup sangat berharga dengan berkorban untuk keluarga, orang lain.
    Take the bitter give the sweet thing.

  2. Refleksi yang betul-betul mendalam dari sesuatu yg sederhana. Saya rasa kini saya belajar tentang satu hal; bahwa agar hidup ini berarti, seseorang sebaiknya menggali dan merefleksikan hal-hal kecil yang ia lakukan, sebab dengan cara inilah ia dapat merasakan kasih Tuhan.
    Duc in altum!

Comments are closed.