Kitab Perjanjian Lama mencatat bahwa di zaman Patriarkh bangsa Israel, ayah/ kepala keluarga bertindak sebagai imam bagi keluarganya, dengan mempersembahkan kurban (lih. Kej 8:20;12:7; Ayb 1:5). Peran bapa dan imam merupakan dua peran yang berhubungan satu sama lain (lih. Hak 17:10;18:19). Maka Kitab Suci mencatat adanya peran imam dan bapa dalam lingkup keluarga (yaitu para bapa), maupun imam dan bapa dalam lingkup bangsa Israel, yang dilakukan oleh mereka yang menjabat sebagai imam, yaitu mereka yang berasal dari keluarga/ keturunan Harun dan suku Lewi (Kel 19:22, 29:1-37; 40:12, Im 8:1-36).

Dalam Perjanjian Baru, kita semua melalui sakramen Pembaptisan mengambil bagian dalam ketiga misi Kristus, sebagai imam, nabi dan raja (lih. KGK 783). Artinya kita semua yang dibaptis memperoleh peran imamat bersama (lih. 1 Pet 2:9); walaupun peran ini tidak meniadakan adanya peran imamat jabatan. Imamat bersama ini dilaksanakan dalam keluarga dengan menyambut sakramen-sakramen Gereja. Namun dalam kesehariannya, orang tua (secara khusus bapa) menjalankan peran sebagai imam dalam keluarga, yang adalah Gereja rumah tangga (ecclesia domestica).

Katekismus Gereja Katolik mengajarkan tentang hal ini:

KGK 783    Yesus Kristus diurapi oleh Bapa dengan Roh Kudus dan dijadikan “imam, nabi, dan raja“. Seluruh Umat Allah mengambil bagian dalam ketiga jabatan Kristus ini, dan bertanggung jawab untuk perutusan dan pelayanan yang keluar darinya (Bdk. RH 18-21).

KGK 784    Siapa yang oleh iman dan Pembaptisan masuk ke dalam Umat Allah, mendapat bagian dalam panggilan khusus umat ini ialah panggilannya sebagai imam. “Kristus Tuhan, Imam Agung yang dipilih dari antara manusia (lih. Ibr 5:1-5), menjadikan umat baru kerajaan dan imam-imam bagi Allah dan Bapa-Nya (Why 1:6; lih. 5:9- 10). Sebab mereka yang dibaptis karena kelahiran kembali dan pengurapan Roh Kudus disucikan menjadi kediaman rohani dan imamat suci” (LG 10).

KGK 1656    Dewasa ini, di suatu dunia yang sering kali berada jauh dari iman atau malahan bermusuhan, keluarga-keluarga Kristen itu sangat penting sebagai pusat suatu iman yang hidup dan meyakinkan. Karena itu Konsili Vatikan II menamakan keluarga menurut sebuah ungkapan tua “Ecclesia domestica” [Gereja-rumah tangga] (LG 11, Bdk. FC 21). Dalam pangkuan keluarga “hendaknya orang-tua dengan perkataan maupun teladan menjadi pewarta iman pertama bagi anak-anak mereka; orang-tua wajib memelihara panggilan mereka masing-masing, secara istimewa panggilan rohani” (LG 11,2).

KGK 1657    Disini dilaksanakan imamat yang diterima melalui Pembaptisan, yaitu imamat bapa keluarga, ibu, anak-anak, semua anggota keluarga atas cara yang paling indah “dalam menyambut Sakramen-sakramen, dalam berdoa dan bersyukur, dengan memberi kesaksian hidup suci, dengan pengingkaran diri serta cinta kasih yang aktif” (LG 10). Dengan demikian keluarga adalah sekolah kehidupan Kristen yang pertama dan “suatu pendidikan untuk memperkaya kemanusiaan” (GS 52,1). Di sini orang belajar ketabahan dan kegembiraan dalam pekerjaan, cinta saudara sekandung, pengampunan dengan jiwa besar, malahan berkali-kali dan terutama pengabdian kepada Allah dalam doa dan dalam penyerahan hidup.

St. Thomas Aquinas, sebagaimana dikutip oleh Paus Yohanes Paulus II juga mengajarkan akan peran imamat orang tua (bapa dan ibu) dalam keluarga:

“Betapa besarlah dan agungnya pelayanan pendidikan dari para orang tua Kristiani sehingga St. Thomas tidak ragu membandingkannya dengan pelayanan para imam: “Sejumlah orang meneruskan dan membimbing kehidupan rohani dengan pelayanan rohani: ini adalah peran sakramen Tahbisan suci; sejumlah orang lainnya melakukan hal ini bagi kehidupan jasmani dan rohani dan ini diwujudkan dengan sakramen Perkawinan, yang dengannya seorang pria dan wanita bersatu untuk melahirkan keturunan dan mendidik mereka dalam penyembahan kepada Tuhan.” (Paus Yohanes Paulus II dalam Surat Apostolik Familiaris Consortio, 38)

Selanjutnya, Paus Yohanes Paulus II mengatakan:

“…. Hanya dengan berdoa bersama dengan anak-anak mereka, seorang bapa dan ibu -yang melaksanakan peran agung imamat mereka – dapat menembus kedalaman hati anak-anak mereka yang terdalam dan meninggalkan kesan yang tak dapat terhapuskan oleh kejadian-kejadian yang akan mereka alami dalam hidup mereka. Mari mendengarkan kembali himbauan Paus Paulus VI kepada para orang tua: “Para ibu, apakah engkau mengajarkan anak-anakmu doa-doa Kristiani? Apakah engkau mempersiapakan mereka, bersama dengan para imam, bagi sakramen-sakramen yang mereka terima di saat mereka muda: Pengakuan Dosa, Komuni, dan Penguatan? Apakah engkau menguatkan mereka ketika mereka sakit untuk merenungkan penderitaan Kristus, untuk memohon pertolongan dari Perawan Maria yang terberkati dan para orang kudus? Apakah kalian berdoa rosario bersama? Apakah engkau, para bapa, berdoa dengan anak-anakmu, dan dengan seluruh komunitas rumah tangga…? Teladan kejujuranmu dalam pikiran dan tindakan, yang disatukan dengan doa bersama, adalah pelajaran kehidupan, sebuah tindakan penyembahan yang tidak tertandingi…. (Familiaris Consortio, 60)

Nah, maka memang baik bapa dan ibu melaksanakan tugas imamat bersama dalam keluarga, dengan mendidik anak-anak dalam iman. Bahwa bapa memiliki peran yang khusus dalam keluarga sehingga disebut ‘imam dalam keluarga’ itu berhubungan dengan fakta bahwa seorang bapa adalah kepala rumah tangga (suami adalah kepala istri 1 Kor 11:3); dan bahwa peran bapa-lah yang sering dihubungkan dengan peran imam dalam Kitab Suci (lih. Hak 17:10;18:19), sebagaimana telah disebutkan di atas.

15 COMMENTS

  1. Salam damai dalam Kristus,

    Yth Katolisitas,

    Saya ingin meminta pendapat dari tim Katolisitas, apakah bijaksana apabila suami saya yg notabene adalah ayah dari anak2 kami, membiarkan anak2 kami membaca seri Harry Potter? Saya sendiri sangat tidak setuju dengan pendapat suami saya. Sebetulnya saya sangat kecewa dg sikap suami saya atas sikapnya itu. Saya sudah menerangkan dengan gamblang siapa sebetulnya Harry Potter etc, saya katakan juga bhw seri Harry Potter sangat bertentangan dg iman katolik (suami saya sebelumnya bukan katolik). Saya sebagai ibu cukup merasa kuatir dg kebebasan yang di bolehkan oleh suami saya kepada anak2 kami. Maksud saya disini, bukan kebebasan dalam hal2 spt hidup bebas, tapi dalam hal ini terfokus dg buku2 fiksi yang pada saat ini beredar spt Harry Potter cs. Apa yang harus saya lakukan? Dalam hal ini, saya tidak mau bertengkar dg suami saya, saya hanya ingin cari jalan keluar bagaimana kiranya agar suami saya bisa mengerti. Tapi keliatannya sulit sekali dia utk mengerti, saat ini, anak saya yg paling besar malahan mengkoleksi buku harry potter tsb dan tragisnya suami saya saat ini sibuk pula mendownload buku2 tsb ke e-reader utk anak kami. Ada sekitar 4000 an buku yang saat ini suami saya sedang sibuk memindahkannya ke e-reader, memang bukan semuanya ttg harry potter, tapi ada pula buku2 lain spt roman, kriminal, etc. Rasanya hati saya ikut tercabik-cabik. Ada rasa kesal, marah dan putus asa, tapi saya tidak ingin bertengkar dg suami. Lalu kira2 apakah yg harus saya lakukan? membiarkan anak2 kami membaca buku2 tsb? Kalau saya membiarkan anak2 kami membaca buku2 tsb berarti sama saja artinya bhw saya menjerumuskan anak2 kami ke dalam pencoba’an. Apakah ini tidak berarti bahwa suami saya memberi batu sandungan untuk anak2nya sendiri?
    Mohon pencerahan dari tim katolisitas

    Terimakasih

    salam dan doa
    Maria

    • Shalom Maria,

      Kami setuju dengan Anda bahwa orang tua bertugas untuk mengawasi dan menentukan buku-buku/ informasi apa yang bisa diberikan kepada anak-anak, agar tidak membahayakan iman mereka. Hal pendidikan anak adalah tugas yang sangat penting dan utama dari orang tua. Tugas ini adalah untuk dijalani berdua dengan semangat kekompakan dan kesepahaman di antara suami dan istri, agar anak-anak tidak bingung melainkan menjadi mantap untuk mengenali dan memiliki nilai-nilai iman dan nilai-nilai yang positif bagi kehidupan.

      Komunikasi yang baik dengan suami merupakan salah satu kuncinya dalam hal ini. Komunikasi keluarga selalu perlu untuk terus dikembangkan dan ini salah satu kesempatan yang baik untuk melatih dan mengembangkannya. Konunikasi yang baik dibangun perlahan-lahan dan selalu sambil saling memberikan kasih dan perhatian yang memadai setiap hari. Ajaklah suami Anda berbicara dengan baik dalam suasana yang tenang, ungkapkanlah perasaan dan pemikiran Anda mengenai buku-buku yang baik sebagai bahan bacaan anak-anak. Walaupun kebebasan (yang bertanggungjawab) itu perlu bagi anak, tetapi dalam hal menyaring informasi apa saja yang layak mereka terima dan kegiatan apa saja yang layak untuk mereka lakukan, mereka harus tetap dipandu dan diarahkan (dan tentu kalau perlu juga dibatasi serta dilarang) sehingga mereka mencapai tumbuh kembang jasmani dan rohani yang sebaik-baiknya sebagaimana Tuhan menghendakinya melalui ajaran iman dan cinta kasih.

      Jajagi minat aktivitas lain (selain yang berhubungan dengan membaca) dari suami dan anak-anak, dan melalui minat mereka Anda bisa secara aktif memperkenalkan bacaan-bacaan yang sehat, menarik, sekaligus mendidik bagi pertumbuhan iman dan kepribadian. Juga aktiflah mengajak mereka terlibat dalam aktivitas rohani, baik bersama-sama di rumah (doa rutin bersama sekeluarga, doa Rosario dan doa devosi bersama), maupun di gereja (kegiatan Bina Iman atau OMK, misalnya), sehingga wacana mereka menjadi seimbang dan mulai diperkaya dengan wacana-wacana kerohanian yang baik dan membangun. Sesungguhnya bila nilai-nilai rohani dan iman kepada Tuhan itu sudah terbangun dan terus dipelihara, kelak anak-anak bisa mempunyai kemampuan memilah sendiri dan menyaring dengan hatinya yang sudah semakin peka, hal-hal yang buruk dari yang baik dan mengikuti yang baik. Hanya saja kepekaan ini harus terus dipupuk dengan relasi yang intim dengan Tuhan setiap hari.

      Khususnya mengenai bacaan dunia sekular dari berbagai topik, sekalipun anak-anak diberikan izin untuk membaca, orang tua sesungguhnya harus membaca lebih dahulu buku itu (mengerti benar isinya) dan harus memberitahukan nilai-nilai mana yang keliru, agar anak tidak terpengaruh dengan nilai-nilai yang jahat/ bertentangan dengan iman (misalnya bahwa ilmu sihir itu menyenangkan dan akhirnya ‘menang’). Namun mengingat bahwa ada resiko orang tua tidak akan ada waktu untuk membaca begitu banyaknya buku seri Harry Potter maka memang lebih baik agar tidak diizinkan membaca, mengingat besarnya resiko yang harus dibayar oleh orang tua di kemudian hari, jika anak sudah mulai terpengaruh akan nilai-nilai negatif yang secara halus menyusup ke dalam hati nurani mereka, yang seolah menghalalkan segala cara untuk menang/ memenuhi kehendak mereka. Buku buku yang lebih bernilai positif yang bisa Anda sajikan misalnya seperti The Chronicles of Narnia, The Lord of the Rings (membaca inipun sebaiknya anak-anak tetap didampingi, sebab memang di kisah-kisah itu juga ada karakter peri ataupun tokoh-tokoh yang sepertinya misterius, namun bedanya, di kisah-kisah itu jelas ada pembedaan yang cukup jelas antara pihak yang jahat dan yang baik), atau carilah bacaan-bacaan dari Ignatius Press tentang kisah-kisah rohani yang dikemas dengan cukup baik di sana. Juga buku kisah para kudus dan santo/a untuk remaja patut Anda sediakan di rumah agar kapanpun mereka bisa melihat dan membacanya. Bagus lagi bila Anda turut membacanya juga sehingga bisa dijadikan topik pembicaraan saat makan bersama di meja makan atau di saat santai sekeluarga. Menciptakan suasana doa dan atmosfir kasih akan Tuhan dan sesama bisa senantiasa kita ciptakan dengan aktif setiap hari di rumah lewat pembicaraan, buku, kegiatan sosial bersama, maupun inisiatif kepedulian yang konkrit bagi orang lain yang membutuhkan di sekitar kita.

      Semoga usaha Anda diberikan terang dan jalan oleh Tuhan dan niat mulia Anda diberkati sepenuhnya dalam bimbingan kasih-Nya.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati dan Triastuti – katolisitas.org

    • Dear Ibu Maria,

      kebetulan saya juga mempunyai puteri usia 10 tahun yang senang sekali membaca Harry Potter dari seri 1 sampai 7, bahkan sampai hafal mantra2 nya, binatang2nya, guru2 Hogwarts, hantu2 Hogwarts hahahaaa… Memang bacaan HP adalah favorite kami berdua sewaktu masih belum menikah dan kami juga mempunyai koleksi vcd, dvd maupun bukunya lengkap.

      anak2 mempunyai rasa penasaran yang tinggi, apabila kita sebagai orang tua selalu melarang, maka dikhawatirkan di kemudian hari, anak itu malah akan mencari kesempatan untuk mencoba dengan orang lain / orang asing yang mungkin bukan orang baik2. saya memiliki pendapat, lebih baik saya mendampingi anak saya dan memuaskan rasa ingin tahunya sejak batita, misalnya ingin minum kopi / soda, saya malah belikan dan temani minum. dari pengalaman baru tersebut, saya biasanya meminta pendapat anak saya, untuk mengekspresikan rasa suka / tidak suka terhadap pengalaman tsb. kadang-kadang saya pun mendapat response yang tidak saya harapkan, misalnya ternyata anak saya suka soda, maka saya akan memberikan penjelasan bahwa soda itu tidak baik untuk kesehatan karena bla bla blaa, asalkan dijelaskan dengan logika, nanti pelan-pelan anak akan bisa menerima arahan kita.

      demikian pula dengan buku / vcd HP, saya rasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan asalkan kita sebagai orang tua bisa menjelaskan bahwa cerita itu adalah fiksi belaka, dan mana bagian2 yang tidak sesuai dengan iman Katolik. membaca HP bukan berarti menjauhkan iman anak, asalkan anak tahu bahwa buku itu sekedar hiburan; anak saya sudah menerima Komuni Pertama Juni kemarin, dan sekarang sedang mendaftarkan diri menjadi Putri Sakristi. menurut saya mengingat kita tidak bisa selalu bersama anak secara fisik, maka lebih baik memberikan bekal pengetahuan, iman dan doa kepada anak; sehingga suatu saat apabila mereka disodorkan pada pilihan buruk oleh lingkungan pergaulan mereka, mereka punya sikap dan berani mengatakan “tidak” atau “aku sudah tau rasanya sehingga tidak penasaran lagi”.

      kalau mengenai buku2 lain seperti roman, kriminal, dll ada baiknya dijauhkan terlebih dahulu, dan disortir sesuai dengan umur dan kebutuhan anak. saya dukung dalam doa ya bu.

      sekian sharing dari saya, semoga berkenan ^ ^

      Berkah Dalem

      • Shalom Fransisca Maria,

        Situs ini adalah situs Katolik, dan karena itu, yang kami sampaikan di sini adalah apa yang ideal/ sesuai dengan prinsip ajaran iman Katolik. Atas dasar inilah kami menanggapi pernyataan Anda. Mungkin jika surat Anda ini Anda kirimkan ke situs sekular, surat Anda akan dipandang netral atau bahkan baik. Namun sepertinya belum tentu demikian jika dipandang dari perspektif ajaran iman Katolik.

        Gereja Katolik mengajarkan bahwa orang tua adalah pendidik iman yang pertama dan utama bagi anak-anaknya (lih. KGK 1653). Artinya dalam berbagai kesempatan, orang tua sedapat mungkin berjuang untuk menanamkan nilai-nilai iman dan nilai-nilai Injil kepada anak-anak. Nah, pertanyaannya, apakah hal ini dapat dicapai dengan efektif, jika orang tua membiarkan anak-anak membaca atau bahkan ketagihan membaca buku-buku fiksi semacam serial Harry Potter dan sejenisnya? Buku-buku tersebut, walaupun mungkin ‘seru’, namun secara obyektif mengaburkan nilai-nilai yang baik/ benar dengan nilai-nilai kejahatan, dan jika dibaca pada usia yang terbilang dini, maka sedikit banyak akan mempengaruhi cara berpikirnya, berimajinasi, minat dan perhatiannya, cara menilai segala sesuatu dalam hidupnya kelak.

        Maka, walaupun benar bahwa anak-anak memiliki rasa ingin tahu yang besar, namun tidak selalu orang tua harus mengikuti dan mengizinkan anak untuk mencoba segala sesuatu yang ingin diketahuinya. Justru orang tua perlu untuk mengarahkan sejak dini, hal-hal yang benar-benar baik dan menolak hal-hal yang jahat, sehingga dengan sendirinya anak tidak terpikat untuk mencoba hal-hal yang tidak baik atau tidak sepenuhnya baik. Kita hanya memiliki 24 jam dalam sehari. Lebih dari setengahnya telah digunakan untuk waktu tidur, sekolah dan belajar (bagi anak-anak), bekerja (bagi orang tua). Maka waktu senggang bersama-sama dalam sehari memang relatif tidak banyak. Dari waktu yang tersisa itu orang tua harus memilih cara apa yang paling efektif untuk menyampaikan ajaran iman kepada anak-anak. Sebab bagi orang tua, itulah tugas yang paling utama, yang kelak harus dipertanggungjawabkannya di hadapan Tuhan. Kalau dari waktu yang sudah terbatas itu hampir semua digunakan misalnya untuk mambaca kisah Harry Potter, masih adakah waktu buat berdoa, membaca dan merenungkan Kitab Suci bersama-sama sebagai keluarga? Masih adakah minat anak untuk membaca buku-buku lainnya yang lebih baik dan mendukung pertumbuhan iman, seperti buku-buku atau VCD para Santa/Santo? Sebab menurut fakta yang kerap kali kami dengar adalah, semakin tinggi minat anak-anak kepada bacaan sekular macam Harry Potter dan berbagai jenis game di Ipad, maupun Hp, semakin rendahnya minat anak-anak akan hal-hal rohani. Jika minatnya lebih terarah untuk menghafalkan kisah dan nama-nama para guru dan hantu Hogwarts, apakah masih ada ruang di hati untuk menghafalkan kisah dan nama-nama tokoh dalam Kitab Suci? Sebab jangan sampai ajaran iman dan kisah-kisah rohani hanya menjadi semacam ‘pelengkap’ saja bagi anak, sedangkan menu utamanya adalah berbagai hiburan dan kisah-kisah fiksi yang berpotensi melemahkan iman. Dibutuhkan kearifan orang tua untuk mengarahkan anak, sehingga tercipta keseimbangan penggunaan waktu pada anak, misalnya untuk belajar, berdoa, berekreasi, berinteraksi/ bersosialisasi dengan orang-orang di sekitarnya, dst.

        Pengaruh dominasi entertainment  pada anak-anak bahkan berpotensi membentuk cara berpikir anak bahwa mempelajari iman adalah sesuatu yang kurang menarik bahkan membosankan. Mereka dapat menganggap bahwa pembahasan tentang iman sebagai hal-hal yang terlampau fanatik. Betapa sulitnya orang tua mengubah pandangan anak-anaknya, jika pandangan ini sudah terlanjur melekat di sanubari anak-anaknya. Padahal sesungguhnya orang tua dipercaya oleh Allah untuk mewariskan iman kepada anak-anaknya, dan warisan iman adalah warisan yang paling berharga yang dapat diberikan oleh orang tua kepada anak-anak, sebagai bekal bagi mereka untuk menjalani kehidupan selanjutnya, di tengah dunia yang cenderung makin mengaburkan nilai-nilai kebenaran dan menganggap segala sesuatu sebagai sesuatu relatif.

        Gereja mengajarkan agar nilai-nilai Injil hidup di dalam keluarga, dan agar keluarga Kristiani tersebut membagikan nilai-nilai Injil kepada keluarga-keluarga lainnya dan bahkan masyarakat di sekitarnya. Jika nilai-nilai tersebut belum dengan sungguh-sungguh berakar dan menjadi yang paling utama di dalam keluarga kita, bagaimana kita dapat membagikannya kepada orang lain atau keluarga lain?

        Mari kita mengacu kepada apa yang diajarkan oleh St. Paus Yohanes Paulus II dalam ekshortasi apostoliknya tentang keluarga, Familiaris Consortio. Mengulangi apa yang pernah disampaikan oleh Paus Paulus VI, ia berkata:

        “… Keluarga, seperti Gereja, harus menjadi tempat di mana Injil diteruskan dan yang daripadanya Injil bersinar ke luar. Di dalam sebuah keluarga yang menyadari misi ini, semua anggotanya menginjili dan diinjli. Orang tua tidak hanya menyampaikan Injil kepada anak-anak mereka, tetapi dari anak-anaknya mereka sendiri menerima Injil yang secara mendalam mereka hidupi. Dan keluarga semacam ini menjadi penginjil bagi keluarga-keluarga yang lain dan dari lingkungan sekitarnya, di mana mereka menjadi bagiannya….” (Familiaris Consortio, 52)

        Mengingat bahwa begitu besarlah namun begitu halusnya pengaruh kisah Harry Potter ini merusak pikiran anak-anak, Paus Benediktus XVI pernah mengatakan, “It is good that you shed light and inform us on the Harry Potter matter, for these are subtle seductions that are barely noticeable and precisely because of that deeply affect (children) and corrupt the Christian faith in souls even before it (the Faith) could properly grow and mature.

        Selanjutnya sekilas berita tentang mengapa prinsip-prinsip yang dijabarkan dalam kisah Harry Potter tidak sesuai dengan ajaran iman Kristiani, silakan membaca di sini, silakan klik.

        Demikianlah tanggapan saya terhadap pandangan Anda.

        Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
        Ingrid Listiati- katolisitas.org

        • Ibu Inggrid ytk,

          terima kasih atas link yang diberikan. saya sudah membaca mengenai occult, witchcraft dan wicca serta memahami tulisan Ibu di atas. memang agak rumit kalo mendiskusikan occultisme, karena memang masih ada juga umat Allah yang tidak mengkonsumsi Harry Potter namun terjebak dalam occultisme, mungkin terpengaruh budaya atau mungkin ingin mendahului melihat masa depan / hal2 yang kasat mata.

          mohon maaf bila dirasa terdapat ketidaksesuaian dalam pandangan dan tulisan saya tsb dengan situs Katolik. semoga dengan keadaan rohani keluarga kami yang jauh dari sempurna, puteri saya tetap setia dalam pelayanan sekitar Altar, yang memang menjadi cita-citanya sejak TK. sekali lagi terima kasih atas kasih dan perhatian Ibu kepada puteri saya.

          Berkah Dalem ^ ^

          • Shalom Fransisca,

            Memang tidak bisa dikatakan bahwa semua orang yang suka membaca Harry Potter pasti akan terjebak occultisme, seperti juga kita tidak bisa mengatakan bahwa semua yang suka ke diskotik/ dugem pasti akan terjerat narkoba. Namun memang tidak mengherankan jika di banyak kejadian, itu ada pengaruhnya, walau tentu tidak pada semua orang. Sebab seperti kata Anda, ada yang tidak membaca Harry Potter toh terjebak occultisme, atau yang tidak pernah ke diskotik/ dugem toh tetap terkena narkoba. Semoga kita diberi kebijaksanaan untuk dapat menerima secara obyektif walau biar bagaimanapun, resiko tetap lebih besar pada sejumlah orang yang membiarkan dirinya masuk dalam lingkaran pengaruh tersebut.

            Saya berterima kasih juga atas keterbukaan Anda terhadap tanggapan saya. Ya, semoga anak Anda tetap setia dalam tugas pelayanannya di sekitar Altar, sehingga tidak terpengaruh oleh segala paham yang tidak sesuai dengan ajaran iman Kristiani. Mendorong anak untuk menjadi pelayan Altar memang merupakan salah satu cara untuk mendidik anak di dalam iman, namun hal itu tidak mengurangi peran orang tua untuk terus menanamkan pengertian dan pemahaman yang benar akan ajaran iman kepada anak-anaknya. Sebab ada pula surat-surat yang masuk ke Katolisitas, yang mengaku dulunya putra altar namun setelah dewasa malah menjadi atheis ataupun meninggalkan Gereja. Tentu ini bukan maksud saya menakut-nakuti atau menyamakan dengan keadaan anak Anda, tetapi saya hanya ingin menyampaikan suatu kenyataan bahwa memang tugas orang tua tidaklah selesai karena anak sudah ikut aktif di gereja. Yang terpenting tetap bukan aktif tidaknya dalam pelayanan, tetapi kepada penghayatan iman dan relasi yang dekat dengan Tuhan. Dan hal ini adalah tantangan bagi kita semua, tidak saja bagi anak Anda.

            Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
            Ingrid Listiati- katolisitas.org

          • Ibu Inggrid ytk,

            saya ingin menanggapi tulisan Ibu yang ini :

            “… Sebab ada pula surat-surat yang masuk ke Katolisitas, yang mengaku dulunya putra altar namun setelah dewasa malah menjadi atheis ataupun meninggalkan Gereja… ”

            kalau melihat beberapa kasus di sekitar Paroki, kebanyakan kepahitan yang dialami para pelayan Altar ini ada macam-macam penyebabnya, di antaranya kecewa dengan para Imam, atau mungkin terjadi konflik dengan sesama rekan paroki; di mana pihak yang lebih punya power (lebih dekat dengan hirarki) biasanya yang memenangkan perkara dan kaum2 yg lebih lemah akhirnya merasa diperlakukan tidak adil.
            kalau sampai para barisan sakit hati ini tenggelam dalam kepahitan terus menerus, maka bukanlah tidak mungkin mereka akan menggeneralisir keadaan dan malah menjadi kepahitan terhadap Gereja Katolik.
            idealnya memang seharusnya pelayanan difokuskan kepada Tuhan saja, bukan untuk mencari menang kalah atau ketenaran atau jabatan. namun kadang ketika terjadi konflik, semua idealisme terlupakan dan emosilah yang berbicara.
            saya maklum kalau ada ex Pelayan Altar yang meninggalkan Gereja seperti yang Ibu ceritakan di atas.

            jadi memang untuk menjadi Pelayan Altar, bukan hanya ketrampilan saja yang diperlukan, namun juga diperlukan kedewasaan, kerendahan hati serta keikhlasan mengampuni saudara-saudari dalam Kristus. benar bu, menjadi Pelayan sekitar Altar itu banyak tantangannya juga, saying is easier than doing, susah untuk mempraktekkan sifat” Kristus dalam keadaan” sulit dan sengsara, saya sendiri pernah mengalami patah hati dan break 2 bulan.

            Berkah Dalem ^ ^

          • Salam Fransisca,

            Ya, mungkin benar apa yang Anda sampaikan, bahwa dapat terjadi orang-orang yang tadinya aktif melayani di Gereja kemudian meninggalkan iman mereka, karena sakit hati ataupun mengalami pengalaman yang kurang mengenakkan di paroki, entah dengan imam atau dengan sesama umat. Padahal sesungguhnya gesekan ini merupakan kesempatan untuk mendewasakan iman, dan menguji kemurnian hati dalam melayani Tuhan. Demikianlah pentingnya penghayatan iman bagi semua orang yang terlibat dalam pelayanan ataupun karya kerasulan di Gereja. Sebab gesekan antar pribadi memang dapat saja muncul karena faktor kelemahan manusia, namun kalau kita sungguh-sungguh memahami ajaran iman kita dan menghayatinya, maka masalah-masalah ini tidak akan membuat kita meninggalkan Gereja. Di sinilah besarnya peran keluarga dan sesama anggota komunitas gerejawi, untuk saling menghibur, mengusahakan perdamaian, dan juga menguatkan iman.

            Demikianlah pembicaraan tentang topik ini saya akhiri. Terima kasih atas sharing Anda.

            Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
            Ingrid Listiati- katolisitas.org

  2. Syalom,
    Mohon materi dan pembahasan pendalaman iman dalam bulan kitab suci nasional tahu 2013 khususnya pertemuan ke 4 tentang keluarga sebagai sarana menuju kesucian.
    Terima kasih.

    [Dari Katolisitas: Silakan untuk membaca terlebih dahulu artikel:
    Perkawinan Katolik vs Perkawinan Dunia
    Seruan Familiaris Consortio
    Peran orang tua dalam pembinaan iman anak
    Keluarga Kristiani sebagai Ecclesia domestica
    Kemurnian dalam Perkawinan

    Mohon maaf memang kami tidak mengulas secara khusus tema ke-4 itu. Namun tentang kekudusan dalam keluarga, telah dibahas dalam artikel-artikel di link-link tersebut.]

  3. bagaimana dengan suatu keluarga, di mana sang ibu adalah seorang katolik sedangkan suami adalah non katolik

    [Dari Katolisitas: Sejujurnya, ini adalah tantangan dan konsekuensi yang sudah harus disadari oleh pihak wanita yang Katolik yang mau menikah dengan pria yang tidak Katolik. Keadaan yang tidak ideal ini pasti akan berpengaruh dalam cara pendidikan anak, dan akan membuat tanggungjawab ibu menjadi lebih berat dalam mendidik anak-anak secara Katolik. Namun jika ini disadari oleh pihak ibu, untuk mengambil peran sebagai imam bagi anak-anaknya, dan ini sudah diketahui dan disetujui oleh pihak suaminya (karena perkawinan beda agama/ beda gereja yang disahkan secara Katolik mensyaratkan persetujuan pihak yang non-Katolik tentang hal ini), maka peran ibu yang sedemikian dapat dilaksanakan]

  4. Syalom, Stef & Ingrid.

    Terima kasih atas artikelnya untuk menjawab pertanyaan saya.
    Maaf, baru sekarang saya bisa mengunjungi Anda lagi, dan menanggapi artikel di atas.
    1.Dalam artikel ini Anda ingin menyampaikan betapa besar peran ayah sebagai imam keluarga. Tapi, Anda sendiri mengecilkan artinya dengan hanya sebatas peran seperti pada butir 7 dalam artikel ‘Dalamnya makna tanda salib’.
    2.Tulisan yang Anda cetak tebal justru menekankan peran imamat bersama di dalam keluarga. Sedangkan, kutipan dari PL, untuk zaman sekarang, lebih tepat disebut sebagai imamat jabatan, seperti halnya di dalam Gereja Katolik.
    3.Beberapa contoh bahwa ayah bukan (belum?) sebagai imam keluarga satu- satunya.
    a. Pada persiapan penerimaan Sakramen, misal Komuni I, Paroki bukan hanya mewajibkan si calon untuk mengikuti pembekalan, tapi juga orang tuanya.
    b. Saat berangkat ke sekolah, anak diberkati (†) oleh ibunya. Sesampai di sekolah, ia diberkati (†) lagi oleh ayahnya.
    c. Dalam perjalanan jauh, seorang ayah menerima SMS dari anaknya:”Selamat jalan, Ayah. GBU(†).”
    4.Paus Paulus VI justru menekankan peran penting ibu:”Para ibu, apakah engkau mengajarkan anak-anakmu doa-doa Kristiani? dst.”
    5.Dari ayat 13 dalam 1 Kor 11: 1-16, seandainya, perempuan-perempuan Korintus memutuskan tidak perlu kerudung, apakah ayat 3, seperti yang Anda tawarkan, masih berlaku?
    Jangan sampai ayat 3 ini diartikan seperti dalam ungkapan orang Jawa bahwa isteri itu ‘swarga nunut, neraka katut’.

    Kesimpulan saya, dalam imamat bersama tidak perlu dominasi peran ayah (bdk. Kol 3: 11).

    Salam,
    FX. Marsudi

    • Shalom FX. Marsudi,

      Sesungguhnya peran ayah sebagai imam dalam keluarga, adalah konsekuensi logis dari ajaran Katekismus, bahwa keluarga adalah Gereja rumah tangga/ ecclesia domestica (KGK 1656, 2204). Sebagaimana Kristus adalah Kepala Gereja-Nya (yaitu Gereja Katolik, sebagai Keluarga Tuhan), demikian pula, para suami adalah kepala Gereja rumah tangga (yaitu keluarganya sendiri). Sebagaimana dalam Gereja di dunia ini dipimpin oleh Paus (artinya: bapa) atas nama Kristus yang berperan sebagai imam bagi seluruh Gereja, demikian pula, keluarga, yang merupakan ‘Gereja kecil’ tersebut juga dipimpin oleh sang ayah/bapa, yang berperan sebagai imam bagi keluarga tersebut. Sebagaimana kepemimpinan Paus sebagai imam dalam Gereja, tidak meniadakan peran uskup dan para imam pembantu mereka, demikianlah kepemimpinan seorang bapa dalam keluarga tidak meniadakan peran imamat bersama, dari sang ibu.

      Paus Yohanes Paulus II dalam Surat Apostoliknya tentang keluarga, Familiaris Consortio, mengatakan, “Keluarga Kristiani…, adalah komunitas pertama yang dipanggil untuk mewartakan Injil kepada seseorang sepanjang pertumbuhannya dan untuk membawanya, melalui pendidikan dan katekese yang berkesinambungan, kepada kedewasaan manusia dan kedewasaan Kristiani. Selanjutnya, Sinoda secara logis menghubungkan [peran keluarga Kristiani tersebut] dengan cara tertentu, dengan peran imamat jabatan …. di dalam dunia modern.”

      Dengan prinsip ini saya menanggapi komentar Anda:

      1. Dalam artikel dalamnya makna tanda Salib, kami menyampaikan bahwa para bapa dalam keluarga dapat memberkati anak-anaknya dengan tanda Salib Kristus, setiap hari. (Berikut ini saya cut and paste apa yang tertulis di sana: “7) Ketika ayah, sebagai imam dalam keluarga memberkati anak-anaknya, ia dapat menandai anak-anaknya dengan tanda salib di dahi mereka, misalnya sebelum anak-anak berangkat ke sekolah atau sebelum mereka tidur pada waktu malam hari.”) Ini tentu tidak berarti bahwa peran bapa sebagai imam sudah dipenuhi hanya dengan menandai anak-anak dengan tanda salib. Pernyataan ini, hanya mau menyatakan bahwa untuk menghayati makna tanda salib dalam hidup sehari-hari, salah satu contohnya adalah dengan penerapannya dalam keluarga, misalnya saat para bapa memberkati anak-anaknya dengan Tanda Salib.

      2. Benar, bahwa dalam perkawinan Katolik, baik bapa dan ibu mempunyai peran imamat bersama untuk mendidik anak-anak seturut ajaran iman Katolik. Namun demikian, peran bapa (dan ibu) dalam keluarga tidak sama dengan peran imamat jabatan para imam, -sebab imamat jabatan adalah diberikan oleh rahmat sakramen tahbisan, sedangkan para bapa (dan ibu) tidak ditahbiskan. Jika peran imamat orang tua dalam keluarga dihubungkan dengan peran imamat jabatan, itu adalah karena tugas dari keluarga Kristiani (yang dipimpin oleh para bapa) untuk menanamkan nilai-nilai Kristiani, tentang keadilan dan kasih, kepada anak-anak mereka sedini mungkin, secara terus menerus. Paus Yohanes Paulus II dalam Surat Apostoliknya tentang keluarga, Familiaris Consortio, mengatakan demikian:

      “Keluarga Kristiani…, adalah komunitas pertama yang dipanggil untuk mewartakan Injil kepada seseorang sepanjang pertumbuhannya dan untuk membawanya, melalui pendidikan dan katekese yang berkesinambungan, kepada kedewasaan manusia dan kedewasaan Kristiani. Selanjutnya, Sinoda secara logis menghubungkan [peran keluarga Kristiani tersebut] dengan cara tertentu, dengan peran imamat jabatan dan peran keadilan di dalam dunia modern. Sesungguhnya, sebagai komunitas yang mendidik, keluarga harus membantu seseorang untuk menemukan panggilannya, dan untuk menerima tanggung jawab dalam mencari keadilan yang lebih tinggi, mendidiknya dari permulaan hubungan antar manusia, yang kaya dalam keadilan dan kasih.” (FC 2)

      Nah, maka memang peran imamat bersama antara bapa dan ibu dalam keluarga tidak untuk dipertentangkan satu sama lain; sebab keduanya berperan untuk mendidik anak-anak secara Kristiani; dan dengan demikian menyampaikan nilai-nilai Injil kepada dunia. Namun jika para bapa disebut sebagai imam dalam keluarga, itu adalah karena perannya sebagai kepala keluarga, yang bertanggungjawab sebagai pemimpin dalam keluarga, yang memimpin keluarganya atas nama Kristus.

      3&4. Jadi, seperti telah disebutkan, baik ayah dan ibu sama-sama melaksanakan peran imamat bersama dalam keluarga. Peran ayah sebagai kepala keluarga, tidak meniadakan ataupun mengurangi peran ibu untuk bersama-sama dengan ayah meneruskan pendidikan iman kepada anak-anak.

      – Keterlibatan orang tua dalam persiapan Komuni pertama justru berhubungan dengan peran imamat bersama, yang mereka emban, untuk bersama-sama dengan Gereja, mendidik anak-anak mereka.
      – Hal memberi berkat kepada anak-anak memang adalah tugas ayah sebagai imam, namun jika dikehendaki dapat pula dilakukan oleh ibu, terutama jika ayah sedang tidak ada di tempat, atau sudah meninggal dunia, atau ayah bukan Katolik. Dalam hal ini tidak ada aturan yang kaku dan baku, maka silakan diterapkan menurut penghayatan keluarga.
      – Hal memohonkan berkat Tuhan dapat dilakukan oleh siapa saja. Maka anak dapat juga memohon berkat Tuhan untuk orang tuanya. Namun hal memberkati dalam kapasitas sebagai kepala keluarga, ya hanya dilakukan oleh seorang ayah, sebab ia sebagai suami adalah kepala istri (lih. 1 Kor 11:2-3, Pope Leo XIII, “On the Condition of Labor,” in Five Great Encyclical (New York: Paulist Press, 1940), p. 6, Pope Pius XI, “On Christian Marriage,” quoting Pope Leo XIII, ibid., p. 85.)

      5. Kalau wanita tidak berkerudung maka artinya wanita tak perlu tunduk pada suami?

      Tidak demikian. Kerudung itu hanya lambang, namun pengajaran bahwa suami adalah kepala istri dan kepala keluarga, sehingga istri selayaknya tunduk pada suami, itu jelas diajarkan dalam Kitab Suci dan Tradisi Suci, silakan membaca di link ini, silakan klik, dan diajarkan pula oleh Magisterium Gereja. Mohon maaf karena terbatasnya energi kami dan karena masih banyaknya pertanyaan yang lain, kami belum dapat menerjemahkannya.

      Kalau suami tidak percaya Tuhan, istri harus ikut suami? (dalam hal ini istilah bahasa Jawanya, ‘neraka katut?’) Tentu tidak. Kitab Suci mengajarkan, bahwa istri yang beriman menguduskan suami yang tidak beriman, demikian sebaliknya (lih. 1Kor 7:14). Tentu tantangannya lebih besar bagi pasangan yang tidak seiman, namun adalah kewajiban dari seorang yang beriman, untuk hidup seturut dengan ajaran imannya, dan dengan demikian menguduskan pasangannya; dan bukan malah sebaliknya.

      6. Tidak perlu dominasi peran ayah?

      Peran imamat bersama yang dilakukan oleh ayah dan ibu, tidak seharusnya mendominasi satu sama lain, tetapi melengkapi satu sama lain. Maka sering dikatakan bahwa ayah adalah kepala, ibu adalah hati, dalam keluarga. Peran kepala tidak dapat digantikan dengan hati demikian pula sebaliknya, namun tidak dapat dipungkiri bahwa gerakan hati timbul dari apa yang diarahkan dari kepala. Demikianlah peran bapa dan ibu dalam keluarga, keduanya saling melengkapi, dengan perannya masing-masing, sesuai kehendak Allah.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

       

      • Shalom, Bu Ingrid.

        Terima kasih atas penjelasan Anda yang panjang lebar, sekaligus tentunya ikut andil menguras energi Anda.
        Sekiranya saya boleh memberi usul.
        1. Agar artikel-artikel katolisitas.org dapat dijadikan pedoman umat yang setara dengan Ajaran Gereja, mungkinkah memintakan persetujuan (imprimatur/nihil obstat) dari Bapak Uskup setempat, seperti halnya publikasi berupa buku?
        2. Jika topik di atas sekiranya Anda anggap mendesak untuk didengungkan kembali kepada keluarga-keluarga Katolik, apa tidak sebaiknya Anda mengusulkan kepada KWI agar para Uskup memasukkan topik ini dalam materi Kursus Perkawinan di wilayah masing-masing, seperti halnya KBA?
        Fakta yang saya lihat, dalam pertemuan-pertemuan keluarga untuk pembekalan penerimaan Sakramen di paroki misalnya, atau pun Pendalaman Iman/Doa Lingkungan, mayoritas didominasi kaum ibu. Bukan tidak mungkin hal ini terjadi karena sang Suami tidak menyadari peran lebihnya dibandingkan dengan isterinya dalam imamat bersama di dalam keluarganya, bukan?

        Semoga Tuhan selalu memberkati Anda dengan energi berlimpah dalam perjuangan Anda ini.

        Salam,
        FX. Marsudi

        • Shalom FX Marsudi,

          1. Artikel-artikel di situs ini memang tidak/ belum memiliki nihil obstat dan imprimatur. Secara umum, nampaknya belum menjadi standar pewartaan di dunia internet, bahwa setiap artikel diberi nihil obstat dan imprimatur, maka sepertinya juga belum umum diberlakukan di situs- situs/ blog Katolik berbahasa Indonesia. Walaupun demikian, memang sudah ada situs Katolik yang melakukannya, misalnya beberapa artikel di situs Catholic Answers dan New Advent Encyclopedia. Ide Anda untuk mengusahakan nihil obstat dan imprimatur bagi artikel-artikel di situs ini adalah ide yang baik, dan mungkin memang dapat dicoba. Namun sekalipun diperoleh nihil obstat dan imprimatur, artikel-artikel tersebut tidak dapat disetarakan dengan dokumen resmi Magisterium Gereja Katolik.

          2. Ide yang baik, untuk mengingatkan kembali dalam KPP (Kursus Persiapan Perkawinan) tentang peran bapa sebagai kepala keluarga Katolik, dan dengan demikian menjadi pemimpin dalam melaksanakan peran imamat bersama dalam keluarga. Memang tentang kepemimpinan bapa sebagai imam dalam keluarga tidak secara eksplisit tertulis dalam dokumen-dokumen Gereja Katolik, tidak seperti tentang KBA, (yang jelas disebutkan terutama dalam Humanae Vitae). Namun sebagaimana disebut dalam Familiaris Consortio, yaitu bapa sebagai kepala/ pemimpin keluarga yang menyatakan kebapaan Allah (FC 25) -dan dengan demikian menjalankan peran imam dalam keluarganya- jelas mempunyai dasar dari Kitab Suci dan dokumen-dokumen Gereja lainnya, sebagaimana telah dibahas dalam tanggapan kami sebelumnya.

          Itulah sebabnya dalam beberapa gerakan gerejawi dalam Gereja Katolik, seperti contohnya dalam Couples for Christ, topik ini sering dibahas dan dianjurkan untuk dilaksanakan dalam keluarga- keluarga Katolik.

          Hal lebih banyaknya kaum ibu/ istri (jika dibandingkan dengan bapa/ suami) dalam kegiatan Gereja, nampaknya juga disebabkan oleh hal-hal yang lain. Sebab umumnya, jumlah keterlibatan kaum wanita memang lebih tinggi daripada keterlibatan pria, walaupun dalam organisasi remaja/ mudika yang tidak melibatkan para bapa. Maka sepertinya belum dapat dipastikan bahwa kurangnya jumlah partisipasi pria dalam kegiatan paroki/ lingkungan, disebabkan karena para suami (pria yang sudah menikah) kurang menyadari perannya sebagai imam dalam keluarga. Ada faktor-faktor lain yang juga mempengaruhinya.

          Mungkin yang juga penting dipikirkan adalah membuat suatu komunitas/ kegiatan di paroki, yang menarik bagi para pria Katolik, sehingga merekapun menjadi terpanggil untuk lebih aktif terlibat dalam kegiatan gerejawi, dan dengan demikian membawa dampak yang positif dalam kehidupan keluarganya -karena para bapa lebih aktif melaksanakan peran mereka sebagai pemimpin/ imam dalam keluarga, sehingga otomatis ini akan membawa pengaruh positif juga dalam kehidupan lingkungan dan paroki.

          Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
          Ingrid Listiati- katolisitas.org

  5. Shalom Katolisitas,
    Saya baru tahu ada istilah “ayah sebagai imam keluarga” dalam ajaran Katolik.Selama ini saya belum pernah mendengar istilah tersebut, baik saat katekumenat; kursus perkawinan; homili-homili misa; maupun dalam pertemuan lingkungan/paroki. Dan, belum juga saya jumpai dalam buku-buku Katolik yang pernah saya baca. …[edit] Boleh dijelaskan apa maksud “ayah sebagai imam keluarga?”. Ajaran Gereja Katolikkah?
    Terima kasih.

    [Dari Katolisitas: Silakan membaca artikel di atas, silakan klik]

Comments are closed.