Sumber gambar: https://cacina.wordpress.com/tag/transfiguration/

[Hari Minggu Prapaska II: Kej 12:1-4; Mzm 33:4-22; 2Tim 1:8-10; Mat 17:1-9]

Kisah perjalanan iman sahabatku ini sungguh menginspirasi. Ia seorang warga Singapura keturunan India, yang lahir dari keluarga non-Kristen. Tak mengherankan, selama sekian puluh tahun ia tidak mengenal Tuhan. Suatu kali ia terkena penyakit myoma di rahimnya, yang membuat ia harus menjalani operasi. Entah mengapa, myoma itu tumbuh dan tumbuh lagi dengan sangat cepat, sehingga ia harus menjalani operasi demi operasi yang hanya berselang beberapa bulan. Menjelang operasinya yang ke-sekian, ia singgah di gereja Novena, Singapura. Sebagai seorang non-Katolik, ia tidak memahami Siapakah tokoh yang digambarkan di patung  salib yang ada di gereja itu. Ia hanya berdoa dalam hati, “Tuhan, kalau Engkau sungguh ada, sembuhkanlah aku…” Juga di depan lukisan Bunda Maria Penolong Abadi, ia mengatakan hal yang sama, “Kalau engkau Ibu, sungguh ada, tolonglah supaya aku dapat sembuh….” Namun rupanya doa sederhana ini berkenan pada Tuhan dan Tuhan Yesus mengabulkannya. Singkat cerita, sahabatku ini memperoleh mukjizat kesembuhan dari Tuhan. Saat ia diperiksa kembali keesokan harinya,  penyakitnya hilang. Ia tak jadi dioperasi, dan sejak saat itu, ia tidak lagi mengalami gangguan myoma. Sahabatku ini kemudian dibaptis Katolik, beserta seluruh keluarganya. Namun sekitar 5 tahun kemudian, ia terkena kanker usus, sehingga sebagian dari usus besarnya harus dipotong. Kemoterapi dan radiasi ia jalani; yang disertai dengan penderitaan fisik yang tak terbayangkan bagiku. Bahkan setelah sembuh pun, kini ia selalu membawa colostomy bag, yang seolah telah menjadi anggota baru di tubuhnya. Tetapi aku sungguh mengagumi keteguhan iman dan semangatnya untuk tetap hidup dengan sukacita dan melayani sesama. Ia menjadi pendoa bagi kaum kerabat dan sahabat-sahabatnya, dan bahkan menghibur sesama pasien kanker lainnya. Dengan caranya sendiri Ia mewartakan Kristus, yang diimaninya sebagai Tuhan yang mengasihi menyelamatkan, “The Lord Jesus has been so good to me. If He wants me to carry my little cross like this, I will do it for Him. Doesn’t He promise Heaven to those who are faithful until the end?” (“Tuhan Yesus sudah begitu baik kepadaku. Kalau Ia menghendaki aku memikul salib kecilku dengan cara ini, aku akan melakukannya untuk Dia. Bukankah Ia menjanjikan Surga kepada mereka yang setia sampai akhir?”). Suatu perkataan penuh iman yang mengingatkanku pada ungkapan serupa dari sejumlah Santo dan Santa.  Dari kesaksian hidupnya, aku belajar dua hal penting. Yaitu bahwa baik penyakit, penderitaan atau kesulitan yang terbesar sekalipun, tidak dapat memisahkan kita dari kasih Allah di dalam Kristus (lih. Rm 8: 38-39). Dan juga, bahwa kita senantiasa perlu mengingat pengalaman “perjumpaan” kita dengan Tuhan Yesus. Sebab terutama pada saat-saat kita mengalami kesulitan hidup, pengalaman “perjumpaan” dengan Kristus itu akan menguatkan iman kita.

Seseorang yang sudah “berjumpa” secara pribadi dengan Kristus memang dapat memandang hidup dan menjalaninya dengan cara yang berbeda dengan pandangan dunia. Dunia berpikir, bahwa hanya dengan kesuksesan, kesehatan dan kelimpahan, orang baru bisa bahagia. Paham inipun masuk dalam pikiran sejumlah umat Kristen, yang menganggap bahwa hanya dalam kelimpahan dan kesuksesan itulah, kasih Tuhan dinyatakan. Namun sabda Tuhan tidak mengajarkan demikian. Sebab walaupun berkat memang bisa menjadi tanda kasih Tuhan yang dapat mendatangkan kebahagiaan, namun bahkan dalam kesulitan dan penderitaan sekalipun—terutama jika itu demi mewartakan Injil—kita tetap dapat mengalami kebahagiaan bersama Tuhan. Tuhan Yesus sendiri menghibur para murid-Nya dengan janji kebahagiaan kekal, ketika Ia menampakkan terang kemuliaan-Nya di depan mata mereka, di atas Gunung Tabor, seperti yang kita dengar di Injil hari ini. Peristiwa Transfigurasi itu terjadi, enam hari setelah Yesus memberitahukan para murid-Nya bahwa Ia akan menderita dan dibunuh, yang tentu saja membuat para murid sangat sedih dan mungkin juga terguncang. Bagaimana tidak, Sang Mesias yang mereka harapkan akan menjadi Pemimpin yang jaya, yang membebaskan mereka dari tangan penguasa Romawi, koq malah akan dibunuh! Namun Yesus meneguhkan iman mereka dengan suatu pengalaman untuk turut menyaksikan kebesaran-Nya. Melalui pengalaman ini, seolah Yesus ingin berpesan agar mereka tidak berputus asa, sebab akan tiba saatnya mereka akan dapat mengambil bagian dalam kemuliaan Kerajaan-Nya itu, yang bukan dari dunia ini. Tentulah pengalaman ini sangat membekas di hati Rasul Petrus, Yohanes dan Yakobus yang menyaksikannya. Rasul Petrus sendiri mengenang kembali pengalaman ini bertahun-tahun kemudian dalam suratnya. Saat dalam keadaan dikejar-kejar penguasa Romawi untuk dibunuh sebagai martir karena mengimani Kristus, Rasul Petrus tetap mengingatkan jemaat akan panggilan hidup mereka sebagai umat Kristen. Yaitu untuk beriman, berbuat kebajikan, bertumbuh dalam pengetahuan, pengendalian diri, ketekunan, kesalehan dan kasih kepada semua orang (lih. 2 Ptr 1:5-18). Nampaknya, pesan ini juga lah yang hendak disampaikan oleh sabda Tuhan hari ini. Kita dipanggil untuk tetap teguh beriman dan berharap di tengah berbagai tantangan hidup, dan tetap menjadi berkat bagi orang lain (lih, Kej 12:2). Sebab “Kristus telah mematahkan kuasa maut dan mendatangkan hidup yang tidak dapat binasa” (2Tim 1:10), maka kita memperoleh kekuatan yang dari Tuhan untuk mengalahkan kekuatiran dan kesulitan apapun. Sebab tantangan yang terbesar sekalipun, yaitu maut, sudah dipatahkan oleh Kristus.

Dengan demikian, kalau Tuhan Yesus ada di dalam kita, tak menjadi masalah apakah kita sedang mengalami sukses yang besar, ataukah kita sedang mengalami sakit yang luar biasa. Yang terpenting adalah kita melewati hari-hari kita bersama Yesus di kehidupan ini, agar kelak dapat sampai pada kebahagiaan bersama Yesus di kehidupan yang akan datang. Sebab kalau kita dekat dengan Tuhan Yesus, oleh-Nya, kita pun dibawa mendekat kepada sesama. Sebab kasih-Nya yang melimpah itu mendorong kita untuk membagikannya. Sahabatku, yang kisahnya kutulis di atas, telah menjadi contoh yang nyata akan pengalaman iman yang sedemikian. Di tengah kesukaran dan penderitaan hidup, ia memikirkan kebahagiaan yang menantinya di Surga. Dan dengan cara-Nya yang rahasia, Allah menopang dan memberikan kepadanya sukacita dan kebahagiaan yang tak dapat diberikan oleh dunia. “Seperti apakah kelak, ketika semua keindahan, semua kebaikan dan semua keajaiban Allah dicurahkan ke dalam bejana tanah liat yang rapuh seperti aku dan kita semua ini? Maka aku memahami perkataan Rasul Paulus, ‘Apa yang tak pernah dilihat oleh mata, apa yang tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia’…. (1Kor 2:9)” (St. Jose Maria Escriva,  in  Newsletter  No.1, for the Cause of his Beatification).

Semoga kisah Transfigurasi Kristus menambah iman dan pengharapan kita, agar kita dapat tetap setia menjalani panggilan hidup sebagai murid-murid Kristus, dan menjadi berkat bagi banyak orang. “Sinarilah kami dengan terang wajah-Mu, ya Tuhan, dan kiranya kasih setia-Mu menyertai kami, seperti kami berharap kepada-Mu. Amin.”