Bacaan hari ini mengajak kita untuk mempertimbangkan analogi seorang penyelam mutiara yang, mengetahui nilai tak terhingga dari suatu harta yang terletak jauh di dalam lautan. Untuk mencapai mutiara tersebut, dia bersedia untuk menavigasi berbagai tantangan, bertahan terhadap segala tekanan, dan berani mengambil risiko. Ini serupa dengan perjalanan kita sebagai murid dan pengikut Kristus. Dimana, kita semua yang diundang untuk mengikuti Nya, harus mau menempuh suatu perjalanan yang mungkin tampak menakutkan dan penuh tantangan, tetapi memiliki imbalan yang luar biasa.
Langkah pertama di dalam mengikuti Kristus adalah dengan mentaati perintah Nya yang terpenting yaitu – untuk kita mencintai Tuhan di atas segalanya. Seperti yang diingatkan oleh St. Agustinus kepada kita, “Tuhan memiliki satu putra di bumi tanpa dosa, tetapi tidak pernah tanpa penderitaan.” Cinta kita kepada Tuhan haruslah begitu kuat, begitu meliputi segala aspek kehidupan kita, sehingga melampaui semua kasih duniawi lainnya. Cinta utama kepada Tuhan ini, haruslah tanpa kompromi dan penuh dengan dedikasi mutlak. Cinta ini mensyaratkan suatu pengorbanan dan kadang keberanian untuk mau berbagi penderitaan di dalam memikul salib Kristus di dalam kehidupan kita sendiri. Ini adalah persyaratan pertama dari seorang pengikut Kristus.
St. Paulus, dalam suratnya kepada Roma, memberi kita metafora yang indah untuk menjelaskan transformasi yang kita alami ketika kita menjadi seorang pengikut Kristus. Sama seperti Kristus yang telah mati dan bangkit kembali, kita juga, dalam perjalanan hidup kita sebagai seorang murid, dipanggil untuk mau mati bagi diri lama kita dan bangkit baru dalam kehidupan kebenaran Kristus. Kelahiran baru ini mensyaratkan penyerahan diri kita secara total kepada Kristus dengan mau menanggalkan diri kita yang lama dan penuh dosa. Kita tidak boleh mentoleransi dosa dalam bentuk apa pun, dan kita pun harus mau untuk menyerahkan diri kita seutuhnya supaya Kristus dapat sungguh memberi perubahan dan kehidupan baru bagi kita. Ini adalah persyaratan kedua dari menjadi murid.
Melalui kisah nabi Elisa, kita menemukan padanya perwujudan dari seorang murid yang sejati. Kehidupannya menunjukkan kepada kita apa artinya menjadi seorang hamba Tuhan, seorang nabi. Seperti yang diajarkan dalam Injil Matius, ketika kita menerima seorang hamba Tuhan, kita tidak hanya menerima mereka, tetapi juga Dia yang mengutus mereka. Kita dipanggil untuk membuka hati kita kepada ajaran dan kebijaksanaan mereka, dan ini mensyaratkan kita untuk mau menjadi rendah hati dan bersedia untuk belajar dan tumbuh di dalam bimbingan mereka yang sudah diutus Tuhan.
Namun, kita tidak sendirian dalam perjalanan ini. Saat kita berjalan bersama mengikuti Kristus, kita harus nya saling mendukung satu sama lain, belajar dari satu sama lain, dan berbagi dalam perjuangan dan kemenangan satu sama lain. Perjalanan komunal ini, penguatan yang saling mendukung ini, haruslah selalu ada di hati dan iman kita bersama.
Janganlah kita lupa bahwa perjalanan kita menjadi murid sejati Kristus adalah suatu perjalanan yang berkelanjutan yang harus senantiasa kita jalani sampai ahir hayat kita. Perjalanan ini membutuhkan komitmen sehari-hari, pengukuhan cinta kita kepada Tuhan dan keinginan kita untuk senantiasa mengikuti ajaran-Nya setiap saat. Seperti yang dikatakan oleh St. John Chrysostom, “Ini bukanlah satu pertempuran tunggal, tetapi perang yang konstan dan tanpa henti.”
Oleh karena itu, kita boleh bersuka cita dan ber besar hati, karena setiap langkah yang kita ambil akan membawa kita semakin dekat ke Bapa kita, ke kasih ilahi yang memberi kekuatan bagi kita semua.
Akhirnya, Saudara dan Saudari, marilah kita ingat bahwa meskipun perjalanan menjadi seorang murid Kristus mensyaratkan berbagai hal yang tidak mudah, imbalan yang akan kita terima sungguhlah tak ternilai. Setiap pengorbanan yang kita buat, setiap diri lama yang kita mau tinggalkan, setiap hamba Tuhan yang kita terima, akan membawa kita semakin dekat kepada Tuhan dan kepada imbalan abadi Nya yang menunggu kita di kerajaan-Nya di surga.
Seperti yang dikatakan oleh St. Ignatius dari Loyola, “Ambillah, Tuhan, dan terimalah segala kebebasanku, ingatanku, pengertianku, dan seluruh kehendakku, semua yang aku miliki dan dapat aku miliki … Engkau telah memberikan semuanya kepadaku. Kepada-Mu, ya Tuhan, aku kembalikan itu. Berikanlah aku, hanya rahmat dan kasihMu”
Semoga kita menjadi seperti sang penyelam mutiara, yang bersedia untuk menghadapi tantangan karena kita mengerti harta tak ternilai yang menanti kita. Saat kita melanjutkan perjalanan dalam iman, mari kita ingat bahwa persyaratan kita untuk menjadi pengikut Kristus sesungguhnya membawa kita ke hidup yang lebih dekat dengan Tuhan, dan ini akan senantiasa menjadi suatu hadiah yang tak terukur. Mari kita simpan kata-kata St. Ignatius dari Loyola ini dekat di hati kita, “Bukan kayu terbaik yang memanaskan api Cinta Ilahi, tetapi kayu Salib.”
Marilah kita berani dan mau untuk memikul salib dan menjadi nyala yang membangkitkan cinta ilahi di dunia. Amin.
Injil kita hari ini diambil dari Matius 10:26-33, di mana Tuhan kita Yesus Kristus memberikan jaminan kepada kita, ” Dan janganlah kamu takut terhadap mereka, karena tidak ada sesuatu pun yang tertutup, yang tidak akan dibuka, dan tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi, yang tidak akan diketahui.”
Yesus mengingatkan kita bahwa kebenaran akan selalu terungkap. Ini adalah seruan untuk transparansi, panggilan untuk hidup yang autentik. Panggilan ini mengundang kita untuk mengintrospeksi tujuan hidup kita, atau “telos” kita, seperti yang diterangkan oleh Aristoteles dan kemudian dikembangkan oleh Thomas Aquinas. Dalam filsafat Aristoteles, telos adalah tujuan ahir. Aquinas melanjutkan konsep ini, dan melalui lensa Kristiani, ia memberikan gagasan bahwa telos kita adalah untuk mengenal, mencintai dan melayani Tuhan dan, dengan melakukan demikian, kita bisa mencapai kebahagiaan abadi.
Hidup kita di bumi ini adalah fana, sementara. Sebenarnya, kita sering menemukan diri kita terombang-ambing oleh pesona kehidupan modern, terjebak dalam fatamorgana kekuasaan, kekayaan, ketenaran, dan kesenangan. Tetapi apakah ini tujuan sebenarnya dari eksistensi kita? Apakah ini akhir, “telos” yang dibicarakan oleh Aquinas? St. Thomas Aquinas menunjukkan bahwa tujuan duniawi apa pun yang mungkin kita kejar – baik itu kekayaan, prestise, atau pengetahuan – bukanlah akhir itu sendiri tetapi ditujukan untuk tujuan akhir kita: untuk mengenal, mencintai, dan melayani Tuhan dalam hidup ini dan ahirnya, bahagia bersama Dia di kehidupan yang akan datang. Jadi, pengejaran tujuan sementara apa pun, terpisah dari tujuan akhir ini, seperti mengejar fatamorgana.
Ini juga seumpama naik kapal yang megah, canggih tanpa kompas. Perjalanan mungkin tampak indah, dikelilingi oleh kenyamanan dan kemewahan. Tapi tanpa tujuan, tanpa kompas yang menunjuk ke arah dan tujuan ahir itu, perjalanan itu tidak berarti. Itu hanya akan membawa kita ke tempat yang kosong di tengah lautan yang luas dan tak berujung. Panggilan Yesus dalam Injil hari ini adalah panggilan untuk kita semua bangun dan menjadi sadar. Dia menjamin kita, mendorong kita untuk berdiri teguh, supaya kita jangan takut meskipun nilai-nilai modern saat ini bertentangan dengan keyakinan Katolik kita.
Dalam khotbahnya, Paus Fransiskus sering menekankan, “Jangan takut untuk melawan arus, ketika mereka mengambil kebenaran, ketika mereka mengambil makna sejati dari hidup, ketika mereka mengusulkan model-model kehidupan yang fana ini.” Dan Paus Benediktus XVI pun pernah berkata, “Dunia menjanjikan Anda kenyamanan, tetapi Anda tidak dibuat untuk kenyamanan. Anda dibuat untuk menjadi megah di dalam Kristus.”
Yesus mengingatkan kita bahwa tujuan sejati kita, telos kita, tidak ditemukan dalam daya tarik fana dunia ini, tetapi hanya bisa ditemukan di dalam Dia yang adalah Jalan, Kebenaran, dan Kehidupan. Dia adalah kompas kita, bintang pemandu kita, yang membawa kita ke pelabuhan yang aman dan kebahagiaan abadi. Jika kita mengarahkan hidup kita ke arah Dia, jika kita menjalani hidup sesuai dengan nilai-nilai Injil, niscaya, kita tidak akan pernah tersesat.
Jadi, saudara-saudari terkasih, mari kita selaraskan tujuan hidup kita dengan telos yang diungkapkan oleh Yesus. Mari kita mengikuti jalan cinta, kebenaran, dan kehidupan, dan janganlah kita takut untuk menjadi garam dan terang di dunia modern ini. Mari kita berani, mengetahui bahwa tidak ada yang kita lakukan atas nama Kristus yang akan tersembunyi atau tetap di dalam kegelapan. Karena dalam Tuhan, semua akan terlihat, semua akan diketahui, dan semua yang selaras dengan tujuan ilahi-Nya akan menemukan jalan ke kebahagiaan abadi.
Semoga kata-kata Injil pada hari ini membimbing kita dalam perjalanan kita, memberi kita kekuatan dalam cobaan hidup kita, dan membawa kita kepada sukacita sejati dalam memenuhi tujuan kita dalam Tuhan. Amin.
Hari ini, kita berkumpul sebagai satu komunitas untuk merayakan hari raya Tubuh dan Darah Kristus — Ekaristi Kudus yang Maha Suci. Perayaan ini mengundang kita untuk merenungkan dan mensyukuri hadiah tak tertandingi yang telah diberikan Tuhan Yesus sendiri kepada kita, yaitu Ekaristi Kudus.
Sebagaimana yang telah diungkapkan dengan begitu Indah oleh Bapa Suci kita, Paus Fransiskus dalam homilinya, ‘Ekaristi bukanlah sekedar peringatan atas peristiwa di masa lalu. Lebih dari peringatan akan Perjamuan Terakhir, Ekaristi adalah bukti hidup dari cinta abadi Tuhan kepada kita. Ekaristi adalah sakramen keselamatan kita, dan tanda nyata dari kehadiran Kristus yang berkelanjutan dalam hidup kita.’
Marilah kita coba membayangkan Ekaristi dengan hubungan kita semua dengan air, yang menjadi bagian sehari-hari yang umum namun mutlak di dalam hidup kita. Air sangat penting bagi kehidupan kita. Ia memuaskan dahaga kita, membersihkan kita, memberi nutrisi kepada kita, dan mempertahankan semua kehidupan di bumi. Kita sebagian besar terdiri dari air, dan tanpanya, kita tidak akan bisa bertahan lebih dari beberapa hari.
Merenungkan Ini, saya kembali dibawa dalam pengalaman saya sendiri ketika tahun lalu, saya memiliki kesempatan untuk memulai perjalanan spiritual Camino, suatu ziarah yang penuh dengan harapan dan ekspektasi. Namun, seperti yang sering terjadi, perjalanan tersebut ternyata lebih sulit dari yang diharapkan, baik secara fisik maupun rohani. Ada kalanya saya begitu terbuai dalam harapan dan ekspektasi diri sendiri, sehingga saya melupakan kebutuhan dasar saya akan air. Dan kelalaian fisik ini juga pada saat yang sama mencerminkan suatu kelalaian spiritual. Saya begitu terfokus pada mencapai tujuan spiritual saya, sehingga saya sering lupa untuk bertanya apa yang sebenarnya Tuhan inginkan dari saya.
Ekaristi, dalam banyak hal, mirip dengan air yang saya abaikan dalam ziarah saya. Ekaristi adalah makanan rohani, air kehidupan, yang sering kita abaikan ketika kita begitu fokus pada tujuan spiritual kita sendiri. Tanpanya, jiwa kita berisiko menjadi seperti gurun kering dan tandus. Dengan begitu, kita diingatkan untuk kembali menimba kekuatan melalui Ekaristi, makanan rohani kita, yang memberi nutrisi, membersihkan, dan mempertahankan iman kita.
Dalam dunia yang semakin penuh tantangan, terfragmentasi, dan acuh tidak acuh, perayaan hari raya Tubuh dan Darah Kristus ini menjadi peringatan yang menyentuh tentang hubungan intim yang ingin Tuhan jalin dengan kita melalui Ekaristi. ‘Ambillah ini, semua kalian, dan makanlah,’ kata Tuhan kita. Dengan kata-kata ini, Kristus tidak hanya membagi suatu makanan; Dia menawarkan Diri-Nya. Dia memberi kita Tubuh-Nya, Darah-Nya, Hidup-Nya sepenuhNya kepada kita.
Ekaristi, maka, adalah pemenuhan janji Kristus bahwa Ia akan bersama kita sampai akhir zaman. Setiap kali kita berpartisipasi dalam Perjamuan Kudus ini, kita ikut serta dalam kehidupan ilahi, kita dibawa ke dalam persekutuan yang intim dengan Allah yang mengasihi kita tanpa syarat, dan kita diingatkan akan persatuan kita sebagai komunitas, sebagai bagian dari tubuh Kristus.
Anugerah yang Tuhan kehendaki melalui Ekaristi sangatlah besar. Di dalamnya, kita tidak hanya diberi nutrisi secara rohani tetapi juga diberi kekuatan untuk menjalani panggilan hidup kita di dunia. Seperti yang dikatakan oleh Paus Fransiskus, “Ekaristi bukanlah berkat bagi yang sudah sempurna tetapi obat yang memberi krkuatan dan nutrisi bagi yang lemah.” Itu adalah rahmat dan kasih Allah yang menjadi nyata, dapat dirasakan, dan dapat dimakan.
Hari ini, saat kita merenung tentang keindahan dan misteri Ekaristi, mari kita juga ingat bahwa kita dipanggil untuk menjadi umat Ekaristi. Kita dipanggil tidak hanya untuk menerima Kristus tetapi juga untuk membawa Kristus kepada sesama, untuk menjadi apa yang kita konsumsi. Memberi makan kepada yang lapar, memberi minum kepada yang haus, menyambut orang asing, mengenakan pakaian kepada yang telanjang, merawat orang sakit, dan menjenguk orang yang dipenjara.
Sebagai kesimpulan, marilah kita berdoa agar ketika kita menerima Tubuh dan Darah Kristus, kita dapat menjadi semakin serupa dengan Kristus, dipenuhi dengan kasih, belas kasihan, dan keinginan untuk melayani. Dan marilah kita meminta rahmat untuk mengenali Kristus dalam pemecahan roti, dalam kehidupan sehari-hari kita, dan dalam sesama kita. Amin.
Tuhan Yesus yang baik, kami bersyukur untuk pengorbanan-Mu di kayu salib sehingga kami dapat memperoleh rahmat keselamatan. Kami juga bersyukur karena kami dapat memperoleh rahmat-Mu itu melalui Gereja-Mu. Kini Engkau mengundang kami untuk turut mengambil bagian dalam karya keselamatan-Mu dengan mewartakan Injil kepada semua orang, agar mereka dapat mengenal-Mu, mengasihi-Mu, dan memperoleh keselamatan kekal.
Kami ingin melakukan kehendak-Mu ini lewat karya kerasulan Katolisitas. Maka, kami mohon, utuslah Roh Kudus-Mu atas karya kerasulan ini. Bimbinglah kami semua yang terlibat di dalamnya agar dapat melakukan tugas pewartaan ini dengan kerendahan hati dan kelemahlembutan. Semoga kami semua dapat menyampaikan kebenaran dengan kasih sehingga melalui pelayanan ini, semakin banyak orang dapat diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kepenuhan kebenaran-Mu. Juga kami mohon, ketuklah hati banyak orang untuk mendukung karya pewartaan ini agar nama-Mu dapat semakin dikenal dan dimuliakan.
Kita memperingati Hari Raya Tritunggal Mahakudus satu minggu setelah Hari Raya Pentekosta, yang mana tahun ini jatuh pada tanggal 4 Juni. Pengakuan iman Tritunggal sendiri nampak dalam keseharian tata gerak kita, yakni ketika kita membuat tanda salib. Sesungguhnya ketika kita membuat tanda salib, kita sedang mengungkapkan misteri iman kita yang terdalam, suatu misteri sentral kehidupan batin ilahi kita (KGK 234). Merupakan misteri bukan karena ia tidak dapat dimengerti sama sekali, melainkan karena doktrin ini menjelaskan ada batas pengertian yang tidak dapat kita langkahi sebagai manusia. Misteri Tritunggal membawa kita untuk menerima wahyu Allah, bahwa Allah itu Esa dalam substansi, dan sekaligus tiga dalam Pribadi. Menolak untuk mempercayai doktrin ini karena keterbatasan kodrati, sama halnya seperti orang buta yang mengatakan tidak ada matahari karena ia tidak dapat melihatnya.
Tritunggal Dalam Alkitab
Walaupun kata Tritunggal sendiri tidak muncul secara eksplisit dalam Alkitab, tetapi penggambaran Tritunggal sangatlah jelas sejak Perjanjian Lama. Marilah kita melihat pada kisah penciptaan (Kej 1:1-3). Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi. Bumi belum berbentuk dan kosong; gelap gulita menutupi samudera raya, dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air. Berfirmanlah Allah: “Jadilah terang.” -> Ada Allah, ada Roh-Nya, dan ada Firman-Nya. Para Bapa Gereja memahami kisah penciptaan sebagai karya Tritunggal. St. Irenaeus (115-202): “Sebab bersama Allah Bapa selalu hadir Sabda dan kebijaksanaan-Nya, yaitu Putera-Nya dan Roh Kudus-Nya, yang dengan-Nya dan di dalam-Nya … menciptakan segala sesuatu, yang kepadaNya Ia bersabda, “Marilah menciptakan manusia sesuai dengan gambaran Kita.” (St. Irenaeus, Against Heresy, Bk. 4, Chap.20, Ibid., 148))
Sementara St. Fulgentius Ruspe mengutip Kej 1:26: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita”. Kata gambar bukan gambar-gambar, menunjukkan bahwa kodrat-Nya adalah satu. Tetapi kata Kita menunjukkan bukan satu Pribadi-Nya (Ancient Church Fathers Commentary on Scripture).
Penggambaran Tritunggal dalam Perjanjian Baru terlihat dari beberapa peristiwa seperti saat Yesus dibaptis (Mat 3:16 ; Mrk 1:9-11 ; Luk 3:21-22), transfigurasi Yesus (Mat 17:1-11 ; Mrk 9:2-8 ; Luk 9:34-35), rumusan Pembaptisan yang diberikan Yesus (Mat 28:19), serta rumusan Tritunggal yang diberikan para Rasul (2 Kor 13:13 ; 1 Ptr 1:2). Jika Perjanjian Lama berfokus adalah pada Allah Bapa, maka Perjanjian Baru berfokus pada Allah Putera. Ini adalah cara Allah menyatakan diri-Nya secara bertahap. Adalah berbahaya untuk menyatakan Allah Putera ketika Allah Bapa belum dipahami. Dan berbahaya untuk menyatakan Allah Roh ketika Allah Bapa dan Allah Putera belum dipahami – St. Gregorius Nazianzus, The Fifth Theological Oration.
Dalam perkembangannya, muncul bidaah-bidaah yang memberi pengertian menyimpang tentang Tritunggal; contoh Sabellianisme (oleh Sabellius dan Praxeas tahun 215) yang beranggapan bahwa Allah Bapa, Allah Putera dan Allah Roh Kudus hanyalah cara Allah memanifestasikan Diri-Nya, sehingga hanya ada satu Pribadi. Dengan demikian Sabelius menyatakan bahwa Pribadi yang wafat disalib sekaligus adalah Allah Bapa, Allah Putera dan Allah Roh Kudus. Saat itulah Bapa Gereja Tertulianus menggunakan kata Tritunggal secara resmi. Bidaah lainnya adalah Arianisme, diajarkan oleh Imam Arius (250-336) bahwa hanya Allah Bapa yang sungguh-sungguh Allah, sementara yang lain hanyalah ciptaan. Kaisar Konstantin melalui Konsili Nicea tahun 325 kemudian menyatakan Arianisme sebagai ajaran sesat, dan merumuskan Syahadat Nicea yang menyatakan kesetaraan Allah Bapa, Allah Putera dan Allah Roh Kudus.
Satu Substansi, Tiga Pribadi (Una Substantia, Tres Personae)
Apakah substansi dan apakah pribadi?
Mudahnya substansi digunakan untuk menjawab pertanyaan apa.
Tanya “Apakah kamu?”
Jawab “Saya manusia”
Sementara pribadi digunakan untuk menjawab pertanyaan siapa
Tanya “Siapakah kamu?”
Jawab “Saya Chieko”
Ayah saya memperanakkan saya, kami sama-sama mempunyai kodrat manusia. Ketika ayah saya meninggal, saya tidak ikut meninggal, sebab kami terdiri dari dua kodrat manusia yang terpisah. Tidak demikian halnya dengan substansi/ hakekat/ kodrat Allah. Substansi Allah hanya satu. Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa (Ul 6:4). Allah adalah Esa menurut kodrat, substansi, dan hakikat” (Catech.R. 1,2,2) KGK 200.
Tetapi Allah yang esa ini bukanlah Allah yang terisolasi/ sendirian. Allah dalam Dirinya sendiri sempurna dan bahagia tanpa batas, demikian KGK mengawali tentang Allah (KGK 1). Jika ada satu masa sebelum dunia diciptakan, dan Allah sendirian, maka Allah bukanlah Allah yang berbahagia. Kebahagiaan yang sempurna datang karena mengasihi dan dikasihi. “Bonum Diffusivum Sui” kodrat kasih adalah untuk dibagikan (St. Bonaventura). Suatu relasi substansial dimana ada yang memberi, yang menerima, dan yang diberikan. Allah mencipta dari ketiadaan, maka tidak ada sesuatu pun di luar Allah, selain yang ada di dalam Allah sendiri. Allah Bapa memperanakkan Allah Putera, lalu Allah Bapa dan Allah Putera menghembuskan Roh Kudus. Ini semua terjadi dalam kekekalan (praeksistensi). Inilah tiga Pribadi Allah.
Ketiga Pribadi bukan berarti ada tiga Allah, tetapi ketiga Pribadi ini memiliki satu substansi yang sama “Bahwa ada dua allah dan dua Tuhan adalah pernyataan yang tidak akan keluar dari mulut kami; bukan seolah Bapa dan Putera bukan Tuhan, ataupun Roh Kudus bukan Tuhan (Tertulianus, Against Praxeas 13:6 [A.D. 216]). Bukan pula masing-masing Pribadi hanya sepertiga Allah, melainkan sungguh Allah sepenuhnya dan seluruhnya (KGK 253, 255). “Mereka itu satu, bukan seperti sesuatu yang dibagi menjadi dua bagian … tetapi kodrat/ hakekat mereka adalah satu ((St. Athanasius, Four Discourses Against the Arians, n. 3:3, in NPNF, 4:395).
Kodrat yang satu membuat Tritunggal memiliki kegiatan yang satu dan sama (KGK 258). Apa yang diketahui dan diinginkan oleh Allah Bapa, juga diketahui dan diinginkan oleh Allah Putera dan Allah Roh Kudus. Apa yang dimiliki oleh Bapa, juga dimiliki oleh Anak. Masing-masing Pribadi memiliki wajah/ kekhususannya sendiri-sendiri. Perbedaan tiap Pribadi terletak dalam hubungan asalnya/ origin (KGK 252): “Bapa yang melahirkan, dan Putera yang dilahirkan dan Roh Kudus yang dihembuskan” (K. Lateran IV 1215: DS 804. KGK 254). Dalam buku On the Trinity (Book XV, ch. 3) St. Agustinus menggambarkan Tritunggal sebagai: pribadi yang mengasihi, pribadi yang dikasihi dan kasih itu sendiri.
Pribadi Pertama – Allah Bapa
Dalam pribadi saya terdapat kata-kata dan jiwa rohani saya. Ketiga ini adalah kesatuan yang tidak terpisahkan. Demikianlah halnya Allah. Tidak pernah Allah Bapa terpisah dari kata-kata (Firman/ Putera) dan RohNya. Allah yang Esa bukanlah ilah yang bisa tidak bisa berkata-kata, juga bukan ilah mati yang tidak memiliki roh dalam dirinya.
Beberapa karakteristik Allah Bapa:
1. Allah Bapa tidak berasal
Berkaca dari prinsip pergerakan dan sebab akibat, ada sebab utama yang tidak disebabkan oleh yang lain. Sebab utama ini adalah Allah Bapa (St. Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.2., a.3). Ketika berfirman kepada Musa, Allah Bapa menyatakan Diri-Nya sebagai: “AKU ADALAH AKU” (Kel 3:14), bahwa Ia adalah Pribadi yang tidak terbatas oleh waktu dan tidak tergantung siapapun/ apapun.
2. Kitab Suci menyebut Pribadi pertama sebagai Allah Bapa.
Dalam Perjanjian Lama, Bangsa Israel telah mengenali Allah sbg Bapa (Ul 32:6 Mal 2:10; Kel 4:22 ; 2 Sam 7:14). Dalam Perjanjian Baru, Yesus sendiri menegaskan bagaimana Ia menyebut Allah sebagai Bapa (Mat 5:48, Mrk 11:25 ; Luk 10:21 ; Yoh 20:21) dan terutama dalam doa Bapa kami.
3. Karya penciptaan diatributkan secara khusus kepada Allah Bapa.
Syahadat Nicea menyebut demikian:
Bapa yang mahakuasa
pencipta langit dan bumi,
dan segala sesuatu yang kelihatan dan tak kelihatan.
Allah mencipta bukan atas keharusan, ataupun demi memenuhi suatu kebutuhan, tetapi murni dari kebaikan-Nya sendiri, yaitu, karena itu adalah baik.” (St. Augustine, The City of God, Bk 11, Ch.24). Paus Fransiskus menyatakan bahwa kegiatan Allah adalah mengasihi. “Sebelum menciptakan apapun, Allah mengasihi. Itulah yang dilakukan oleh Allah: Allah sedang mengasihi. Allah selalu mengasihi. Allah adalah kasih- Deus Caritas Est” (Dear Pope Francis, Loyola Press, 2016).
Pribadi Kedua – Allah Putera
Kata-kata saya selalu dalam kesatuan dengan diri saya. Ketika saya berkata, maka kata itu keluar dan nyata bagi orang lain. Apa bedanya dengan kata-kata Allah? Bedanya kata-kata saya tidak mempunyai kuasa adikodrati. Sementara Firman Allah, yang selalu dalam kesatuan dengan Allah, memiliki kuasa adikodrati untuk mencipta. Segala karya penciptaan merupakan karya bersama Allah tritunggal, tidak ada sesuatupun tercipta tanpa didahului dengan “Berfirmanlah Allah” (Kej 1).
Beberapa karakteristik Allah Putera
1. Berasal dari Allah Bapa
Bidaah Arianisme menggunakan ayat Amsal 8:22 untuk menunjukkan bahwa Allah Putera tidak setara dengan Allah, sebab Ia adalah ciptaan. Kata yang digunakan untuk ‘menciptakan’ adalah Cana (Ibrani) yang artinya melahirkan/ memperanakkan. Maka memperanakkan disini berarti berbagi kodrat yang sama. Tertulianus menyatakan bahwa dalam nama Putera sudah tercakup nama baru Bapa (KGK 2779).
Syahadat Nicea menyebut demikian:
Ia lahir dari Bapa sebelum segala abad, Allah dari Allah
Terang dari Terang, Allah benar dari Allah benar
Ia dilahirkan, bukan dijadikan, sehakikat dengan Bapa;
segala sesuatu dijadikan oleh-Nya.
2. Kitab Suci menyebut Pribadi kedua sebagai Firman dan Yesus Kristus.
a. Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah (Yoh 1:1). Kalimat Firman itu adalah Allah mengacu bahwa Firman itu memiliki substansi yang sama dengan Allah. Sementara kata bersama-sama dengan Allah, menunjuk pada Pribadi diluar Allah Bapa.
Firman itu telah menjadi manusia (ay. 14) menunjuk pada Inkarnasi Allah menjadi manusia (bdk Ibr 1:2). Dengan demikian, ada dua kodrat yang menyatu sempurna dalam Pribadi yang kedua, yaitu kodrat Allah dan kodrat manusia.
b. Inkarnasi ini terwujud dalam Pribadi Yesus Kristus.
Yesus sendiri mengatakan bahwa “sesungguhnya sebelum Abraham jadi, Aku telah ada.” (Yoh 8:58). Kalimat Yesus ini mengacu pada pengungkapan jati diri Allah Bapa kepada Musa dalam Kel 3:14 “I am Who am”, mengacu pada frase Yahweh bahwa Ia adalah Allah.
3. Karya penebusan diatributkan secara khusus kepada Allah Putera.
Yang Ilahi itu mempesona sekaligus menakutkan (tremendum et fascinosum). Maka Allah menjadi manusia, agar manusia dapat melihat tanda dan sarana keselamatan Allah (KGK 515). Kemanusiaan Yesus yang kudus adalah jalan masuk menuju Bapa (KGK 2664, 2777: Rm 8:15).
KetaatanNya kepada Bapa, bahkan sampai mati di kayu salib, menjadikan Yesus Kristus Pribadi yang dikasihi Bapa . WafatNya demi keselamatan manusia, membuktikan kasihNya yang sempurna kepada Bapa dan manusia (Flp 2:8 ; Ibr 10:7 ; Luk 22:42). Dan sebagai ucapan syukur atas penebusan ini, di Malam Paskah umat manusia menyanyikan: ‘O, felix culpa, kesalahan yang membahagiakan, yang telah memperoleh bagi kita seorang Penebus yang begitu besar’
Pribadi Ketiga – Allah Roh Kudus
Jiwa rohani saya memungkinkan saya untuk mengasihi. Ketika saya mengasihi, maka perasaan itu nyata adanya, walaupun itu tidak kasat mata. Demikianlah kasih yang sempurna antara Allah Bapa dan Allah Putera menghembuskan Pribadi yang ketiga, yaitu kasih.
Beberapa karakteristik Allah Roh Kudus
1. Berasal dari Allah Bapa dan Allah Putera (KGK 246, 248)
Roh Kudus berasal dari Allah Bapa dan Allah Putera. Tetapi bukan dari perkawinan seperti yang kita kenal di dunia, sebab Allah adalah Roh, dan Roh tidak kawin ataupun dikawinkan. (Yoh 4:24 ; Mrk 12:25).
Syahadat Nicea menyebutnya demikian:
Ia berasal dari Bapa dan Putra, yang serta Bapa dan Putra, disembah dan dimuliakan;
2. Kitab Suci menyebut Pribadi ketiga sebagai Roh Kudus
Ketika Allah Putera kembali kepada Allah Bapa, Ia tidak meninggalkan kita sebagai yatim piatu (Yoh 14:18). Melainkan Ia memberikan kepada kita penolong yang lain/ parakletos.
3. Karya pengudusan diatributkan secara khusus kepada Allah Roh Kudus.
Roh Kudus hadir dalam pembaptisan kita (KGK2782), melimpahi dengan rahmat (Yoh 16:8-11; 13-15), membantu dalam doa (Rm 8:26), menginsafkan kita dari dosa (1 Kor 6:19 ; Rm 8:14-17). sehingga kita dapat menjadi anak Allah (Gal 4:7).
Demikianlah Ketiga-Nya adalah Satu,
Sebab ada tiga yang memberi kesaksian (di dalam sorga: Bapa, Firman dan Roh Kudus; dan ketiganya adalah satu (1 Yoh 5:7). Misteri Tritunggal adalah misteri yang tidak dapat dipahami sepenuhnya. St. Agustinus bahkan mengatakan, “Kalau engkau memahami-Nya, Ia bukan lagi Allah”. (St. Agustinus, sermon. 52, 6, 16, KGK 230). Tetapi daripada mempertanyakan mengapa 1+1+1=1, bukankah lebih tepat 1x1x1=1? Sebab dari satu kodrat, muncul tiga Pribadi yang sehakekat.
Ditulis: Chieko
Sumber:
1. Katekismus Gereja Katolik
2. Pokok Penting Pemikiran Tertulianus Sebagai Khasanah Baru Bagi Perkembangan Ajaran Tritunggal
Sumber gambar: https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Trinidad_-_Vicente_Requena_el_Joven.jpg
Saudara saudari terkasih dalam Kristus Hari ini Gereja merayakan hari Tritunggal Maha Kudus, sebuah misteri indah namun sangat mendalam di dalam iman kita: satu Tuhan dalam tiga pribadi – Bapa, Putera, dan Roh Kudus. Untuk memahami misteri ilahi ini, kita sering mencari simbol dan analogi dalam dunia di sekitar kita.
Ingatlah saat kita masih anak-anak, pada hari yang cerah, kita kadang-kadang menatap ke langit, melihat langsung ke matahari. Kita bisa merasakan panasnya di kulit kita, melihat cahayanya yang terang menembus mata kita, dan kita tahu, bahkan tanpa melihatnya secara langsung, bahwa itu adalah bola api yang bulat. Namun, mata kita tidak memiliki kemampuan untuk bisa menatap cahaya matahari yang begitu terang.
Perasaan seperti itu sedikit mirip dengan pemahaman kita tentang Tritunggal. Kita dapat merasakan efek cinta Tritunggal. Kita bisa melihat pekerjaan Bapa, Putera, dan Roh Kudus dalam hidup kita dan di dunia di sekitar kita. Dan namun, kita tidak bisa sepenuhnya memahami kedalaman misteri ilahi ini. Itu terlalu luas, terlalu indah bagi pikiran manusia kita untuk sepenuhnya bisa memahami.
Tritunggal Kudus dapat dibandingkan dengan matahari itu. Bapa seperti matahari itu sendiri, sumber kehidupan, Anak adalah seperti cahaya, yang merupakan refleksi terang sempurna sang Bapa, dan Roh Kudus adalah seperti panas yang memberi kehangatan dan kehidupan, yang juga merupakan cinta yang mengalir antara Bapa dan Anak. Masing-masing adalah berbeda, namun mereka semua adalah realitas yang sama, Tuhan yang sama.
St. Agustinus menggambarkan Tritunggal sebagai Dia yang mengasihi, Putra sebagai yang dikasihi, dan Roh Kudus sebagai kasih itu sendiri. Hubungan dinamis kasih yang saling memberikan diri ini adalah esensi daripada Tritunggal – bagaikan suatu symphony dan tarian abadi yang terdiri dari pertukaran kasih yang tak ada habisnya.
Tarian ilahi ini tidak hanya terbatas di rana surgawi saja, melainkan melalui kemurahan hatiNya, kasih tritunggal Allah itu meluas ke dalam hidup kita di dunia. Kita diajak untuk ikut serta, untuk mendaraskan hidup kita, hubungan kita, komunitas kita, di dalam kehidupan kasih Tritunggal Kudus. Untuk masuk dan tenggelam di dalam cinta Tritunggal berarti mencintai dengan bebas, mencintai tanpa pamrih. Kasih itu terwujud dalam penyerahan diri di dalam cinta yang saling memberikan diri secara habis habisan, tanpa pamrih dan bahkan penuh pengorbanan, seperti juga kasih yang mengalir dengan Bapa, Putera , dan Roh Kudus. Dan karena esensi terutama Tuhan adalah kasih, kita hanya akan sanggup saling mencintai jikalau kita mendapatkan kekuatan dari sumber sang Kasih sempurna itu, yaitu Tuhan sendiri.
Sering kali cinta menuntut pengorbanan dan kita bisa melihat dinamika ini di dalam keluarga kita, dimana cinta Tritunggal ini tercermin di orang tua yang merawat anak-anak mereka, di antara saudara kandung yang mendukung satu sama lain, di antara cucu yang menghargai kakek-nenek mereka – di mana suatu pemberian kasih dan pengorbanan terjadi untuk kebaikan mereka yang dikasihi, di mana hubungan cinta yang saling memberikan diri terjadi, kita melihat refleksi dinamika kehidupan Tritunggal.
Dalam komunitas kita, kita bisa berusaha mencerminkan cinta Tritunggal ini dengan menjangkau orang-orang yang membutuhkan bantuan kita, dengan berbagi sumber daya kita, dengan berdiri untuk membela keadilan dan perdamaian. Setiap tindakan baik, setiap kata yang menghibur, setiap komitmen untuk melayani, setiap kesediaan untuk mau mengesampingkan ego dan keinginan diri sendiri demi kebaikan bersama, adalah suatu expresi dari dinamika Tritunggal ini.
Teolog Thomas Merton pernah berkata, “Seluruh kehidupan Kristiani adalah kehidupan di mana semakin jauh seseorang maju melangkah, semakin dia harus bergantung sepenuhnya pada Tuhan.” Saat kita maju dalam perjalanan hidup Kristiani kita, kita dipanggil untuk lebih menggantungkan dan mempercayakan hidup kita pada Tritunggal Kudus. Dimana kita senantiasa mengundang Bapa, Putera, dan Roh Kudus ke dalam hati kita, di dalam keputusan hidup kita, dan dalam setiap interaksi kita.
Saat kita merayakan hari Tritunggal maha Kudus, mari kita berusaha untuk memperdalam pemahaman kita tentang misteri ilahi ini dan menjadikannya kenyataan yang dialami. Meskipun kita mungkin tidak sepenuhnya memahaminya, seperti matahari di hari-hari masa kecil kita, kita masih bisa berjemur dalam kehangatannya, dipandu oleh cahayanya, dan ditarik ke dalam cintanya. Semoga cinta Tritunggal membimbing langkah kita, mengarahkan jalur kita, dan bersinar dalam hidup kita. Amin.
Marilah kita berdoa
Ya Allah Tritunggal Maha Kudus, Bantulah kami, ya Tuhan, untuk meniru cinta Tritunggal Kudus dalam hidup kami sehari-hari. Ajari kami untuk mencintai dengan bebas, mencintai tanpa pamrih, dan memberi diri dalam cinta seperti yang telah Kau contohkan bagi kami. Kami berdoa agar kami dapat menghidupkan cinta ini dalam keluarga kami, dalam komunitas kami, dalam setiap tindakan baik yang kami lakukan. Biarkanlah setiap kata penghiburan, setiap tindakan pelayanan, menjadi cermin dari cinta Tritunggal Kudus. Kami bersyukur untuk misteri indah Tritunggal ini dan untuk kasihMu yang tidak pernah berakhir. Semoga kasih Tritunggal membimbing langkah kami, mengarahkan jalan kami, dan menyinari hidup kami. Amin