Home Blog Page 27

Bersahabat dengan perbedaan

0

Refleksi Kerahiman Allah oleh Pst Felix Supranto, SS.CC

“Bersahabat dengan orang yang berbeda” merupakan niat Paus Fransiskus. Paus Fransiskus mempraktekkan hal ini dalam pembasuhan kaki pada upacara Kamis Putih kemarin. Bapa Suci mencuci kaki dan mencium kaki saudara-saudari dari berbagai suku dan keyakinan. Tindakan Bapa Suci ini membuat banyak orang larut dalam keharuan. Persahabatan dengan orang yang berbeda sungguh memancarkan wajah kerahiman Allah.

Ketika menghargai perbedaan dengan kasih, kita bisa melihat keindahannya. Indahnya perbedaan itu dapat digambarkan dengan pelangi. Indahnya pelangi terbentuk dari berbagai macam warna yang berbeda. Keindahan pelangi hanya dapat dinikmati oleh hati yang bersih.

Dasar dari indahnya perbedaan ini adalah kisah penciptaan Allah (Kejadian 1:1, 26-31a). Tuhan Allah sejak awal mula menjadikan ciptaan-Nya dalam perbedaan. Kisah penciptaan ini dibacakan atau dinyanyikan pada Malam Paskah. Tuhan menjadikan langit dan bumi, berbagai macam tumbuhan, berbagai macam jenis binatang, dan manusia adalah pria dan wanita. Setelah selesai menciptakan hal-hal itu, Tuhan Allah melihat bahwa semuanya itu baik adanya.

Ketika kita menyadari bahwa Tuhan menjadikan semuanya dalam perbedaan, kita akan menyikapi perbedaan dengan bijaksana. Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak bisa menghindari untuk berjumpa dengan orang yang berbeda, seperti latar belakang, watak, kepribadian, status sosial, status ekonomi, keyakinan, dan suku. Dalam perbedaan yang ada itu, kita tidak perlu mencari siapa yang lebih baik, karena semua diciptakan secara unik dan untuk saling melengkapi. Artinya, kita memandang perbedaan itu untuk melengkapi ketidaksempurnaan kita.

Perbedaan pria dan wanita dapat menjadi ilustrasi bahwa perbedaan itu untuk saling melengkapi. Hanyalah wanita yang dapat mengandung bayi, tetapi wanita tidak bisa mengandung tanpa pria. Perbedaan-perbedaan yang digabungkan itulah yang membuat kita kuat! Ketika kita menyadari hal ini, kita tidak akan merasa lebih unggul dari satu sama lain.

Ketika kita menyadari bahwa perbedaan itu berasal dari Tuhan Allah, sikap toleran pasti terjadi. Sikap toleran nampak dalam mendiskusikan pendapat dengan sopan dan tidak menghina. Kita tidak mengganggap orang yang berbeda pendapat sebagai musuh, tetapi mengasihinya sebagai saudara.

Sayangnya kita manusia terkadang menyukai keseragaman karena keseragaman itu nampak rapi dan teratur. Akibatnya adalah kita sulit membuka diri terhadap perbedaan, terutama jika hal itu bertentangan dengan nilai yang kita anut. Sikap yang menutup diri terhadap perbedaan ini akan membuat kita buta terhadap kebenaran dan kekayaan nilai dari yang lain. Kita akan menjadi seperti katak dalam tempurung. Artinya: kita tidak memiliki pengetahuan luas atau sangat sedikit pengetahuannya atau kurang luas pandangannnya.

Ada beberapa ciri orang yang terjangkit virus “seperti katak dalam tempurung”. Pertama adalah ia merasa bahwa dirinya serba paling (paling hebat, paling pintar, paling berani, paling kaya, paling terkenal, paling senior, paling jenius dan seabrek-abrek embel-embel paling lainnya). Kedua adalah ia biasanya mempunyai sifat-sifat negatif seperti mau menang sendiri, otoriter, mudah tersinggung, gampang menyalahkan, menuduh, bahkan memvonis orang lain salah. Ketiga adalah ia suka mempergunjingkan kekurangan pihak yang berbeda.

Sikap “seperti katak dalam tempurung” ini bisa berkembang menjadi kebencian. Kebencian terjadi karena kecurigaan yang berlebihan. Kecurigaan ini terbentuk oleh rasa terancam dengan perbedaan. Lebih parah lagi adalah kebecian dibentuk karena bisa menjadikan perbedaan sebagai sebuah komoditi yang mudah didapatkan. Artinya, imbalan diperlukan demi rasa aman dalam melakukan sesuatu.

Kita yang mempertahankan diri sebagai “yang paling” sebenarnya hatinya tidak akan pernah bahagia karena terus tergoda dengan keinginan untuk bertengkar. Penderitaan itu dapat diterangkan dengan sebuah ilustrasi berikut ini. Ada dua murid di dalam sebuah perguruan. Murid yang satu adalah pandai dan murid yang satunya adalah bodoh. Pada suatu hari terjadi perdebatan yang keras dan tidak ada hentinya antara mereka tentang jumlah dari 3X7. Murid yang pandai bersekukuh bahwa 3×7 adalah 21, sedangkan murid yang bodoh tetap berpendapat bahwa 3×7 adalah 27. Mereka kemudian membawa persoalan ini kepada sang guru untuk memperoleh kebenaran darinya. Di hadapan sang guru, murid yang bodoh itu mengatakan kepada murid yang pandai: “Jikalau pendapatku yang benar bahwa 3×7 adalah 27, engkau akan dicambuk sepuluh kali dan aku akan mencambuk diriku sendiri seribu kali kalau pendapatmu yang benar bahwa 3×7 adalah 21”. Guru itu kemudian mencambuk murid yang pandai itu sepuluh kali. Menerima cambukan itu, murid yang pandai itu berteriak: “Guru, mengapa guru mencambuk aku, padahal aku yang benar bahwa 3×7 adalah 21’. Guru itu menjawab: “Aku mencambuk engkau bukan karena engkau salah, tetapi engkau tidak arif dalam menghadapi temanmu yang kurang pandai.

Bagaimana membentuk sikap yang arif terhadap perbedaan sehingga terbangun persahabatan dalam keragaman? Pertama adalah kita harus menyadari bahwa kita bukan orang yang paling segalanya dalam hidup ini. Kedua adalah kita harus menyadari bahwa kelebihan-kelebihan yang Tuhan telah berikan kepada kita ternyata masih banyak umat-Nya memiliki hal yang lebih dari kita dalam berbagai segi. Dengan kata lain, di atas langit masih ada langit. Ketiga adalah kita menampilkan diri apa adanya. Tampil apa adanya akan menambah simpati orang yang berbeda dengan kita. Tampil apa adanya berarti kita jujur dan tulus dalam menjalani hidup kita. Kita tidak perlu kuatir dan kecewa dengan kekurangan kita karena Tuhan sudah menyiapkan lebih banyak lagi kelebihan dalam diri kita. Dengan demikian, kita dapat mensyukuri perbedaan sebagai berkat, yaitu untuk saling mengenal dan memahami sehingga terjalin relasi yang lebih harmonis seperti nasihat Santo Paulus: “supaya jangan terjadi perpecahan dalam tubuh, tetapi supaya anggota-anggota yang berbeda itu saling memperhatikan” (1Korintus 12:25).

Kesimpulan dari pembahasan “bersahabat dengan perbedaan” terangkai dalam doa singkat berikut ini :

Bapa di surga,

Terimakasih aku haturkan kepadaMu.

atas perbedaan yang ada.

Tolong aku untuk menghargai dan mensyukuri perbedaan itu,

sehingga perbedaan itu menjadi indah.

Amin.

Tuhan memberkati

Persembahan seorang ibu

0

Kesaksian iman untuk permenungan Trihari Suci oleh Pst Felix Supranto, SS.CC

Aku berkenalan dengan Tante Annie Liem melalui email. Ia lahir tanggal 01 Januari 1941 (75 tahun). Tante Annie sekarang tinggal di Kanada. Aku mengetahuinya melalui Ibu Yohana, salah satu peserta Bina Lanjut Kitab Suci (BLKS), di mana saya mengajarnya dan Bapak Agus, Komunitas Emmaus Journey-Serpong. Aku terkejut bahwa Tante Annie membantu pembangunan Rumah Doa dan Gua Maria di Solear-Paroki St. Odilia-Tangerang di pinggiran Keuskupan Agung Jakarta. Dalam hatiku berkata bahwa ia pasti memiliki hidup rohani yang sangat mendalam. Benarlah yang aku pikirkan bahwa ia ingin mempersembahkan Gua Maria itu untuk mengenang Eka, anak satu-satunya, yang telah berpulang ke rumah Allah Bapa.

Eka menderita leukemia sebelum meninggal dunia. Sebelum menghadap Bapa, ia pernah beberapa kali merasakan kedatangan Tuhan. Tuhan memberikan pesan kepadanya: “Engkau akan disembuhkan”. Maksudnya baru dipahami Tante Annie ketika Eka sudah meninggal dunia, yaitu kesembuhan total. Kesembuhan Total adalah kebahagiaan kekal. Kebahagiaan kekal itu diterimanya dengan melaksanakan ajaran Injil. Tuhan menunjukkan jalan kebahagiaan kekal kepadanya tersebut dalam sebuah mimpi bahwa Tuhan memberikan kepadanya empat buku. Tante Annie menafsirkannya sebagai sebagai Injil Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes.

Inti dari Injil adalah hidup di dalam kasih. Kasih merupakan perintah baru, sebagai wasiat Tuhan Yesus, sebelum Ia menuju ke Bukit Golgota: “Aku memberi perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi” (Yohanes 13:34). Perintah Tuhan Yesus itu menjadi baru karena kasih itu menjadi hidup karena diperagakan dengan ketulusan menurut teladan-Nya. Eka terus-menerus memberi pesan kepada orang-orang yang mendoakannya untuk melaksanakan perintah baru dari Tuhan itu beberapa saat sebelum ia meninggal dunia: “Please help Kevin/Tolong bantu Kevin”. Kevin adalah teman bermain Eka sewaktu ia masih kecil. Setelah mengatakan demikian, pada hari Jumat pagi Eka mengatakan kepada Daisy, istrinya: “I’m going home tonight/Aku mau pulang ke Surga malam ini”. Ia meninggal dunia pada hari itu, Jumat tanggal 28 Juni 1996, pukul 19.45, dalam usia tiga puluh tiga tahun, seperti usia Tuhan Yesus. Ia meninggal persis seperti yang dikatakannya kepada Tante Annie pada hari Selasa tanggal 25 Juni pada tahun yang sama: “Mom, I’m going home on Friday”. Keesokan harinya (Sabtu), Norton, teman dekat Eka, mencari Kevin dan ia menemukan Kevin betul-betul dalam kesusahan.

Hati Tante pasti hancur dengan kepergian Eka, apalagi Eka adalah anak tunggalnya. Akan tetapi, pembimbing rohaninya menguatkannya dalam menerima kepergian Eka: “Annie you should be happy that Eka knows that he is going home to the Father”. Eka pasti suci hatinya sehingga diperkenankan melihat Allah sebelum meninggal dan pasti ia kini bersatu dengan Dia dalam Kerajaan-Nya : “Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah” (Matius 5:8). Kedekatan Tante Annie dengan Tuhan membuatnya memperoleh penglihatan akan tempat yang damai bagi Eka ketika ia sakit. Gambaran tempat yang sangat damai itu adalah Eka mengenakan jubah putih dan baru saja tidur di antara rumput dan bunga lili. Rumput dan bunga lili itu dilukiskan dalam Mazmur 23, khususnya ayat 2: “Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang”.

Yang membuat Tante Annie bahagia setelah kepergian Eka adalah banyak teman-temannya berubah dan menjadi dekat dengan Tuhan. Eka seperti sebuah akar yang rela masuk ke dalam tanah untuk menumbuhkan benih ke atas bumi dan menikmati hangatnya sinar matahari. Sebagai contoh adalah Kevin sangat tersentuh dengan hangatnya kasih Tuhan melalui Eka: “Aku sangat terharu dengan kasih Eka yang masih mengingat aku dalam detik-detik akhir hayatnya di dunia”. Berkat kedekatannya dengan Tuhan, Tante Annie mampu mengolah pengalaman atas kepergian Eka menjadi sebuah pengalaman spiritual yang indah: “Bunda Maria memiliki Tuhan Yesus hanya selama tiga puluh tiga tahun dan mempersembahkanNya demi keselamatan manusia. Demikian juga, aku mempersembahkan anak tunggalku supaya banyak orang menjadi dekat denganNya”. Kedalaman rohaninya sungguh menyentuh hatiku: “Kebanyakan orang menjauh dari Tuhan ketika anaknya yang tunggal dipanggilNya pulang, tetapi Tante Annie justru semakin dekat dengan Tuhan dan semakin menjadi saluran berkat-Nya”.

Pesan yang dapat kita renungkan dari kesaksian Tante Annie tentang Eka tergores dalam sebuah kata-kata bijaksana: “Pejamkan matamu, lalu anggaplah semua yang ada di dunia ini hampa dan fana. Anggaplah semuanya seolah-olah tiada dan ingatlah akan Tuhan dan perintah-Nya, maka engkau akan merasakan sinar-Nya. Engkau akan merasakan betapa damainya berbaring di bawah naungan-Nya: “Peliharalah aku seperti biji mata, sembunyikanlah aku dalam naungan sayap-Mu” (Mazmur 17:8).

Tuhan memberkati

Memperhatikan orang miskin

0

Refleksi kerahiman Allah oleh Pst Felix Supranto, SS.CC

“Dan Allah sanggup melimpahkan segala kasih karunia kepada kamu, supaya kamu senantiasa berkecukupan di dalam segala sesuatu dan malah berkelebihan di dalam pelbagai kebajikan” (2 Korintus 9:8).

Memperhatikan orang miskin merupakan niat Paus Fransiskus karena perhatian terhadap orang miskin merupakan perwujudan dari wajah kerahiman Allah. Allah menyatakan diri-Nya sebagai tempat perlindungan, pertolongan, dan pemelihara mereka: “Engkau memang melihatnya, sebab Engkaulah yang melihat kesusahan dan sakit hati, supaya Engkau mengambilnya ke dalam tangan-Mu sendiri. KepadaMulah orang lemah menyerahkan diri; untuk anak yatim Engkau menjadi penolong” (Mazmur 10:14). Kita adalah saluran dari perlindungan, pertolongan, dan pemeliharaan Allah kepada orang-orang miskin itu.

Tuhan Yesus menjadi teladan yang sempurna bagaimana menjadi saluran kerahiman Allah. Tuhan Yesus tidak menjauhi orang-orang miskin, tetapi bersahabat dengan mereka. Bersahabat dengan orang miskin berarti memperhatikan mereka. Sebagian besar pelayanan Tuhan Yesus adalah untuk orang miskin dan kurang beruntung, seperti mereka yang tertindas, orang sakit, orang kusta, dan para janda.

Tuhan Yesus juga meminta kepada para rasul-Nya untuk membantu orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Dalam tugas penginjilannya, Paulus dan Barnabas tetap harus mengingat orang-orang miskin: “hanya kami harus tetap mengingat orang-orang miskin dan memang itulah yang sungguh-sungguh kuusahakan melakukannya” (Galatia 2:10). Mengingat orang miskin bukan sekedar mengenang mereka dalam doa, tetapi juga benar-benar membantu apa yang mereka butuhkan. Sambil memberitakan Injil, Paulus dan Barnabas mengumpulkan bantuan untuk saudara-saudari yang kelaparan di Yerusalem.

Kita sebagai orang Kristiani, seharusnya juga melakukan hal yang sama, terlebih pada saat kehidupan sangat sulit seperti sekarang ini. Sekarang ini banyak orang terkena PHK. Banyak orang yang bekerja saja sulit memenuhi kebutuhan dasar dalam hidupnya, apalagi dengan tidak bekerja, pasti mereka menderita. Kita harus menjadi saluran berkat Tuhan bagi sesama yang sekarang mengalami kesulitan hidup. Tuhan telah memberkati kita dengan banyak hal, bukan untuk membuat kita tinggi hati, tetapi untuk membagikannya kepada sesama: “Dan Allah sanggup melimpahkan segala kasih karunia kepada kamu, supaya kamu senantiasa berkecukupan di dalam segala sesuatu dan malah berkelebihan di dalam pelbagai kebajikan” (2 Korintus 9:8).

Bantuan kepada orang-orang dalam kesukaran haruslah nyata. Mendoakan mereka itu wajib dan penting, tetapi doa harus diwujudkan dalam tindakan nyata sehingga doa kita menjadi sempurna. Banyak orang sering terjebak dengan memilih mendoakan saja mereka karena mendoakan mereka itu tindakan yang mudah dan gratis, sedangkan berdoa dan memberikan sesuatu itu berarti mengurangi miliknya. Bantuan kepada mereka juga bukan sekedar uang. Ketika kita tidak bisa membantu mereka dalam bentuk uang, kita dapat mendengarkan keluhan/cerita mereka dengan sabar dan memperlakukan mereka dengan hormat. Kita memperlakukan mereka dengan hormat dengan cara mau menyapa mereka sebagai sahabat dan tidak memandang nista mereka. Ketika kita tidak dapat memberikan pekerjaan kepada mereka yang terkena PHK, kita bisa mencarikan informasi tentang lowongan pekerjaan. Perhatian kita kepada mereka mungkin tidak berpengaruh besar kepada kita, tapi itu bisa memberi kelegaan dan sukacita besar bagi mereka yang tengah terdesak.

Ketika kita memperhatikan orang miskin, Tuhan memberkati kita: “Berbahagialah orang yang memperhatikan orang lemah! TUHAN akan meluputkan dia pada waktu celaka” (Mazmur 41:2). Tuhan memberkati kita karena kita telah memuliakanNya dengan menolong mereka: “Siapa menindas orang yang lemah, menghina Penciptanya, tetapi siapa menaruh belas kasihan kepada orang miskin, memuliakan Dia” (Amsal 14:31). Karena itu, perhatian terhadap orang-orang miskin merupakan salah satu tuntutan bagi kita untuk dapat masuk kerajaan-Nya. Tuhan Yesus mengindentifikasikan diri-Nya dengan orang yang sakit, orang yang lapar, dahaga, tunawisma, dan telanjang.

Kesimpulan dari refleksi tentang Kerahiman Allah terangkai dalam sebuah doa berikut ini:

Tuhan,

Begitu banyak orang miskin di sekitarku.

Makan saja, mereka tidak mampu,

apalagi rumah dan pakaian yang layak.

Mereka terutama kelaparan cinta,

karena dihina dan dipandang nista

Tuhan,

Semoga aku dapat menolong mereka,

mungkin bukan dengan uang,

tetapi dengan menyapa mereka.

Sapaan sederhana pasti memuliakan harkat martabatnya.

Amin

Sang pemenang (menaklukkan keganasan kanker)

0

Sharing pelayanan oleh Pst Felix Supranto, SS.CC

Seorang ibu, pada tanggal 12 Februari 2016, mengunjungiku. Ibu itu berasal dari Sunter. Nama ibu itu adalah Maria Fransiska Ira Susilo. Aku mengenalnya pertama kali pada saat aku memberikan retret penyembuhan setahun silam. Usianya empat puluh empat tahun. Hidupnya penuh semangat sehingga tidak ada yang menyangka kalau ia sedang menderita kanker yang ganas. Ia datang kepadaku untuk mensharingkan pengalaman atas jamahan Tuhan yang mengubah hidup imannya.

Jamahan Tuhan itu terjadi pertama kali pada bulan Mei 2010. Pada saat itu ia bersama keluarganya berziarah ke Tanah Suci di Israel. Ketika sedang berdoa di Taman Getsemani, ia menangis begitu lama. Ia menangis karena merasa hidupnya hampa. Kehampaan dalam hidupnya ini disadarinya karena ia kurang melayani Tuhan walaupun telah mendapatkan banyak berkat dariNya. Berkat-berkat yang diterimanya itu antara lain adalah keluarganya sangat harmonis, ia dikaruniai dua anak laki-laki, pekerjaannya sangat menyenangkan, dan kehidupan ekonominya baik. Namun demikian, selama itu ia adalah orang Katolik pasif. Ia jarang pergi ke Gereja, apalagi aktif dalam kegiatan gerejani. Ia selama tiga puluh delapan tahun tidak merasa bersalah kepada Tuhan atas kehidupan imannya seperti itu. Baginya sudah cukup baik sebagai orang Katolik kalau ia sudah berbuat amal kepada sesama. Sejak saat itu, ia terus-menerus berdoa dan memohon kepada Tuhan Yesus agar bisa lebih melayaniNya dan sesama.

Sepulang dari ziarah, ada perubahan besar dalam hal iman pada dirinya dan pada keluarganya. Ia mulai membaca Firman Tuhan setiap hari. Ia dapat selesai membaca seluruh isi Alkitab dalam satu tahun. Ia dan keluarganya juga mulai secara rutin pergi ke Gereja setiap Minggu.

Ketika hidup rohaninya mulai berkembang, justru ujian iman datang kepadanya. Pada bulan Mei 2011 ia dinyatakan menderita kanker rahim dengan tipe kanker yang sangat ganas. Mendengar vonis itu, ia merasa dunia seakan runtuh. Ia tidak percaya bahwa Tuhan mengijinkan cobaan yang begitu berat terjadi kepadanya. Ia merasa tidak mampu menanggungnya. Namun demikian, ia tidak marah kepada Tuhan. Ia terus berdoa memohon kepadaNya untuk diberikan kekuatan, kesabaran, kerendahan hati, dan kerelaan untuk memikul salibnya. Ia juga memohon kepadaNya agar bisa menanggung penyakitnya tanpa rasa sakit dan takut.

Kanker yang dideritanya itu justru membuatnya semakin dekat dengan Tuhan. Ia lebih mengandalkan Tuhan. Ia setiap hari mengikuti Perayaan Ekaristi dan terus berdoa memohon kesembuhan dariNya. Ia meminta kepada Tuhan agar diberi kesempatan untuk bertobat dan bisa membawa banyak orang kembali kepadaNya. Tuhan akhirnya menjawab doanya. Kanker di dalam rahimnya ternyata tidak menyebar. Ia sangat bersyukur atas kebaikan-Nya itu. Akan tetapi, setelah sembuh, ia kembali bekerja sehingga perkembangan kehidupan rohaninya agak terhambat.

Setelah berkerja kembali, ujian iman yang kedua menimpanya. Pada bulan Oktober 2012 kankernya telah menyebar secara agresif ke paru-parunya. Ia merasa terpuruk karena sudah berada di ambang kematian. Ia sangat ketakutan bahwa Tuhan marah kepadanya karena ia telah “ingkar janji”. Ketika telah berada dalam ambang keputusasaan, ia dan suaminya pergi mengaku dosa dan mohon ampun kepada Tuhan. Pengakuan dosanya ini dilakukannya setelah dua puluh lima tahun.

Dalam menghadapi penyebaran kankernya ini, ia memohon kepada Tuhan agar diberi kesempatan hidup yang kedua:

Tuhan beri aku waktu untuk memperbaiki hidupku.

Tuhan beri aku kesempatan untuk menyenangkanMu.

Pakailah aku sepanjang hidupku untuk melayaniMu dan sesamaku.

Ia kemudian memutuskan berhenti bekerja agar bisa mempersembahkan hidupnya untuk melayani Tuhan, keluarga, dan sesama. Ia menyerahkan segala kekuatirannya kepada Tuhan, seperti pengobatan yang mahal, masa depan anak-anaknya, dan hidupnya yang sudah berada dalam ujung kematian.

Ketika sudah menyerahkan segalanya kepada Tuhan, ia menerima begitu banyak mukjizat. Ia mengatakan kepadaku tentang mukjizat itu: “Romo, mukjizat yang aku terima dari Tuhan bukanlah kesembuhan dari penyakit kankerku, tetapi kesembuhan rohaniku. Aku bisa memikul salibku dan penyakitku dengan penuh rasa syukur dan tanpa rasa takut. Aku dapat merasakan bahwa Tuhan mencukupkan semua kebutuhanku. Aku kini memiliki banyak waktu untuk keluargaku. Aku bisa melayani Tuhan di dalam komunitasku. Aku bisa membawa saudara dan teman-temanku kembali kepada Tuhan. Aku bisa mengikuti Ekaristi, berdoa, dan membaca Firman Tuhan setiap hari. Pendek kata, aku kini mempunyai relasi yang dekat dengan Tuhan”.

Kesembuhan rohani, yaitu kedekatannya dengan Tuhan, memberikan kebahagiaan dan sukacita dalam hidupnya. Andaikan diminta untuk memilih “sembuh dari penyakitnya, tetapi jauh dari Tuhan atau tetap sakit, tetapi dekat dengan Tuhan, ia akan memilih “tetap sakit, tetapi dekat dengan Tuhan”. Pilihannya itu bisa terjadi karena ia mengimani Firman Tuhan ini: “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu” (Matius 6:33).

Kesimpulan sebagai sebuah refleksi iman: jamahan Tuhan membangun cinta kepadaNya. Cinta kepada Tuhan membentuk jiwa yang lapang. Kesabaran iman menaklukkan ganasnya penyakit yang ada di dalam diri kita.

Tuhan memberkati

Catatan : Ira akan menjadi sharer/memberi kesaksian dalam Retret Penyembuhan yang saya berikan pada tanggal 1 sd 3 April 2016.

Rasa cukup

0

Refleksi Tahun Kerahiman Allah oleh Pst Felix Supranto, SS.CC

“Rasa cukup” merupakan salah satu niat dari Paus Fransiskus. Paus Fransiskus mengungkapkannya dengan membeli barang-barang yang lebih sederhana. “Rasa cukup” ini merupakan perwujudan dari wajah Kerahiman Allah. Allah Yang Maharahim memiliki hati terhadap orang-orang kecil.

Dunia sekarang ini berusaha menarik kita untuk menjadi manusia yang konsumtif. Manusia yang konsumtif adalah manusia yang memuja trend. Manusia yang memuja trend berperilaku beringas, menjadi gila terhadap sebuah produk yang ditawarkan pasar. Manusia berlomba-lomba mengejar merk-merk terkenal dan mahal atau simbol-simbol kemewahan lainnya. Ada begitu banyak kebutuhan tiba-tiba harus dipenuhi. Padahal banyak di antaranya bukan karena fungsi, tetapi demi gengsi. Akibatnya, banyak di antara kita “jor-joran”/ persaingan dalam memiliki produk baru, seperti mobil dan gedget. Sikap “jor-joran” ini terjadi karena kita takut dianggap ketinggalan jaman, kuper (kurang pergaulan), atau tidak mampu. Kita tanpa sadar telah membodohkan diri dengan obat bius dari iklan-iklan dalam televisi. Hidup menjadi kehilangan jati diri.

Hidup yang konsumtif ini membuat kita tidak pernah merasa puas dengan apa yang kita miliki. Kita menjadi sering iri hati melihat apa yang dimiliki orang lain. Hidup kita menjadi tidak bahagia karena frustasi ketika kita tidak dapat memenuhi keinginan kita. Kemarahan melingkupi diri kita. Kita pun sering menyalahkan diri kita sendiri, bahkan menyalahkan Tuhan yang kita anggap tidak adil: “Tuhan memberikan hal ini pada orang lain, tetapi kok pelit dengan saya”.

Ketidakbahagiaan orang yang selalu membandingkan dirinya dengan orang lain dapat diterangkan dengan ilustrasi berikut ini. Seorang petani dan istrinya bergandengan tangan menyusuri jalan sepulang dari sawah sambil diguyur air hujan.Tiba-tiba lewat sebuah sepeda motor di depan mereka. Berkatalah petani kepada istrinya,”Lihat Bu, betapa bahagianya suami istri yang naik sepeda motor itu karena meski mereka kehujanan, tetapi mereka bisa cepat sampai di rumah”. Pengendara motor itu berkata kepada istrinya ketika melihat mobil pick up yang melewati mereka: “Lihat Bu, betapa bahagianya orang yang naik mobil itu, mereka tidak perlu kehujanan seperti kita”. Di dalam mobil pick up yang dikendarai sepasang suami istri terjadi perbincangan ketika sebuah sedan Mercy lewat: “Lihatlah Bu, betapa bahagia orang yang naik mobil bagus itu, pasti nyaman tidak seperti mobil kita yang sering mogok”. Pengendara mobil mercy itu berkata dalam hatinya ketika melihat sepasang suami istri yang berjalan bergandengan tangan di bawah guyuran air hujan: “Betapa bahagianya suami istri itu, mereka dengan mesranya berjalan bergandengan tangan sambil menyusuri indahnya jalan di pedesaan ini, sementara aku dan istriku tidak pernah punya waktu untuk berduaan karena kesibukan masing-masing”. Makna dari ilustrasi itu adalah kita tidak akan bahagia kalau kita terperangkap dalam kata “seandainya”:

Seandainya aku lahir di keluarga yang kaya raya & sukses.
Seandainya aku punya keahlian, kekayaan, dan popularitas.
Seandainya aku seperti orang itu.

Kebahagiaan hanya dapat kita miliki dengan melepaskan diri dari gaya hidup konsumtif. Belenggu gaya hidup konsumtif ini hanya dapat dipatahkan dengan sikap pengendalian diri. Pengendalian diri dapat dibangun dengan “rasa cukup”. Rasa cukup bukanlah berarti menghentikan hasrat atau kemauan untuk bekerja keras. Rasa cukup membuat kita mampu melihat yang terbaik dari apa yang kita miliki sehingga membuat kita menghargai serta memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.

Kehidupan Mark Zuckerberg dapat kita tiru dalam memiliki “rasa cukup”. Ia merupakan salah satu orang terkaya di dunia dalam usia yang masih relatif muda karena ia adalah pendiri media sosial Facebook. Dengan kekayaan yang melimpah, ia bisa saja membeli dengan mudah apapun yang ia inginkan. Akan tetapi, ia memilih hidup sederhana. Sebagai contoh: ia mengadakan pesta pernikahannya secara sederhana, yaitu di halaman rumah mereka yang hanya dihadiri oleh seratus orang dari teman-teman dan kalangan yang biasa-biasa saja; rumahnya tergolong sederhana dengan lima kamar; ia hanya menggunakan mobil yang kira-kira seharga Rp 300 juta dan tidak menggunakan sopir pribadi (nyetir sendiri); ia dikenal sebagai orang yang suka beramal. Dari kehidupannya ini, kita boleh meyakini bahwa hidup ini tidak dinilai dari banyaknya harta yang kita miliki, tetapi dari seberapa besar kita bermanfaat bagi orang lain.

“Rasa cukup” memberikan kedamaian di dalam hati karena memiliki “rasa syukur”. Rasa syukur tidak membiarkan diri dikendalikan oleh barang-barang, tetapi justru dapat mengendalikannya: “Janganlah kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu. Karena Allah telah berfirman: Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau” (Ibrani 13:5). Karena itu, mari kita tidak membiarkan diri terperangkap dalam pikiran “seandainya”, tetapi bersyukur senantiasa atas hidup kita supaya kita tahu di mana kebahagiaan itu berada.

Kesimpulan dari pembahasan tentang “rasa cukup” terangkum dalam sebuah doa berikut ini:

Tuhan,

Ampuni aku karena aku terkuasai oleh keserakahan.

Terus mencari hal duniawi,

tanpa pernah tercukupi.

Membiarkan diri dikendalikan oleh gengsi.

Gengsi telah membutakan diri,

membodohkan diri,

menghancurkan daya kreatif,

dan menghilangkan jati diri.

Berikanlah kesadaran diri,

untuk mensyukuri apa yang telah aku miliki,

sehingga aku mampu mengatakan “cukup”

terhadap godaan iblis konsumtif.

Dengan demikian, orang-orang yang kurang beruntung,

tidak berkecil hati.

Amin.

Tidak menghakimi

0

Refleksi Kerahiman Allah oleh Pst Felix Supranto, SS.CC

“Tidak Menghakimi” merupakan salah satu niat dalam kehidupan Paus Fransiskus. “Tidak menghakimi” dapat juga diterjemahkan sebagai wajah kerahiman Allah. Wajah kerahiman Allah adalah wajah yang senantiasa menampilkan belas kasih. Belas kasih akan memikat hati sehingga orang dapat melepaskan dosa dan kesalahannya.

Sikap “tidak menghakimi” ini dapat diterangkan dengan peribahasa “tak ada gading yang tak retak”. Artinya adalah setiap orang itu tidak pernah luput dari kesalahan. Tak ada manusia yang sempurna! Sebaik-baiknya manusia pasti ada kesalahan atau kekurangan. Hal itu sering dinyatakan dengan ungkapan ini: “Pastor/ayah/ibu/boss/ kan manusia”.

Orang mudah menghakimi karena merasa diri yang paling benar dan paling baik. Orang yang merasa paling benar dan paling baik adalah munafik. Kemunafikan itu diungkapkan dalam pepatah ini: “Gajah di pelupuk mata tidak terlihat, semut di seberang lautan nampak jelas”. Artinya: kesalahan atau aib sendiri yang besar tidak tampak. Tapi kesalahan atau aib orang lain meskipun sedikit namun tampak jelas. Orang yang merasa diri paling benar dan paling baik ini mudah menjadikan orang lain sebagai terdakwa. Sebagai contoh: Ketika ada saudara yang mengalami pergumulan berat dan sakit tak kunjung sembuh kita langsung berkata, “Wah… dia terlalu banyak dosanya, makanya Tuhan menimpakan masalah berat kepadanya”. Orang mudah menghakimi karena tidak mengetahui alasan orang lain dalam melakukan suatu tindakan. Padahal tidak seorang pun mengetahui beratnya pergumulan orang lain dalam menghadapi sesuatu. Menghakimi orang lain adalah dosa di hadapan Tuhan karena penghakiman adalah hak Allah: “Hanya ada satu Pembuat hukum dan Hakim, yaitu Dia yang berkuasa menyelamatkan dan membinasakan. Tetapi siapakah engkau, sehingga engkau mau menghakimi sesamamu manusia?” (Yakobus 4:12). Kita tidak memiliki kuasa untuk menghakimi, karena apa yang kita pandang baik dan benar menurut ukuran kita belum tentu demikian. Tuhan adalah satu-satunya yang tahu akan kebenaran. Itulah sebabnya firman-Nya berkata, “Pembalasan adalah hak-Ku. Akulah yang akan menuntut pembalasan” (Ibrani 10:30). Bentuk hukuman dari dosa menghakimi sesama adalah kita akan dihakimi oleh Tuhan sesuai dengan ukuran yang kita pakai untuk mengakimi sesama kita: “…dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu.” (Matius 7:2).

Peringatan Tuhan Yesus terhadap kita yang mudah menghakimi sangat keras karena akibatnya sangat buruk. Dampak dari mudah menghakimi sesama:

1. Menyebabkan perpecahan dalam umat.

Menghakimi membuat umat Allah tidak merasa aman satu sama lain karena adanya kecenderungan saling menjatuhkan. Ketika terjadi perpecahan dalam diri umat, gereja tidak menarik lagi bagi orang-orang yang belum mengenal Tuhan. Pendek kata, sikap saling menghakimi dalam diri murid Tuhan membuat gereja tidak lagi menjadi pewartaan sukacita Injili.

2. Membuat orang lain sakit hati dan menjadi pahit.

Menghakimi membuat orang yang terhakimi merasa dipermalukan dan semakin terpuruk.

Bagaimana kita bisa menghentikan kebiasaan mudah menghakimi sesama? Kita harus melatih diri membentuk sikap reflektif. Artinya: kesalahan dan kekurangan orang lain menjadikan kita mawas diri/berkaca karena mungkin kesalahan dan kekurangan mereka merupakan kesalahan dan kekurangan kita, bahkan kita mungkin lebih parah daripada mereka. Ada sebuah cerita menerangkan hal ini. Pada suatu hari ada seorang bapak menghadap seorang pastor dengan keluhan: “Romo, istri saya sudah tuli. Saya lelah karena saya harus bicara berkali-kali padanya, barulah ia mengerti”. Pastor tersebut memberi usul: “Bicaralah dengannya dari jarak sepuluh meter. Jika tak ada respons, coba dari jarak lima meter, lalu dari jarak satu meter. Dari situ kita akan tahu tingkat ketuliannya”. Si suami itu mencobanya. Dari jarak sepuluh meter, ia bertanya pada istrinya, “Kamu masak apa malam ini, sayang?” Tak terdengar jawaban. Ia mencoba dari jarak lima meter, bahkan satu meter, tetap saja tak ada respons. Akhirnya ia bicara di dekat telinga istrinya, “Masak apa kamu malam ini, sayang?” istrinya menjawab: “Sudah empat kali aku bilang: sayur asam!” Rupanya, sang suamilah yang tuli dan bukannya istrinya.

Pelajaran yang kita dapat peroleh dari ceritera tersebut: kita boleh menilai orang lain secara kritis. Namun, janganlah membesar-besarkan kesalahan orang lain dengan mengabaikan kesalahan diri sendiri. Yang terbaik adalah introspeksi diri terlebih dulu sebelum memberi kritik kepada orang lain. Kita yang mau intropeksi diri/mawas diri akan bertumbuh di dalam kasih dan tidak mudah menghakimi, tetapi menegur sesama dengan sharing perubahan hidup kita sendiri. Ingatlahlah Sabda Tuhan: “Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui? Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok di dalam matamu” (Matius 7:3-4). Artinya: Orang yang memiliki balok dalam matanya itu tidak mungkin dapat menolong mengeluarkan selumbar dari mata saudaranya. Pada saat orang ini ingin mengeluarkan selumbar itu, ada balok yang menghalangi dia untuk bisa melihat dengan jelas selumbar itu. Sebelum menolong saudara kita untuk bertobat, kita sendiri harus lebih dulu melepaskan diri dari dosa. Ada sebuah nasihat yang indah: “Orang yang kudus, bukanlah orang yang tidak dapat berbuat dosa lagi, tetapi orang kudus adalah orang yang makin memiliki kepekaan terhadap dosa-dosa diri sendiri, bahkan dosa-dosa yang terkecil sekalipun”.

Kesimpulan dari tema ini terangkum dalam doa di bawah ini. Semoga doa ini mengasah kepekaan hati.

Kepekaan Hati

Tuhan,

Hidupku tlah terjerumus dalam menghakimi sesamaku.

Mereka pun terpuruk,

dan terbebani dengan mimpi-mimpi buruk.

Langkah kehidupan mereka menjadi berat

karena kepahitan hati.

Itu semuanya akibat ketumpulan nurani.

Tuhan,

Aku ingin terbebas dari sikap menghakimi,

karena aku tidak tahu masalah yang membelenggunya.

Aku tidak tahu motivasinya.

Tidak semua orang mau menceriterakan hidupnya.

Daripada menghakimi lebih baik memahami.

Daripada menghakimi lebih baik berdiri di sampingnya,

membantu memperindah masa depannya.

Semoga, kejernihan hati anak kacil menjadi idaman setiap insan ini.

Amin

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab