Home Blog Page 260

Tentang 1 Kor 5 dan 1 Kor 6

0

Pertanyaan:

Syalom katolisitas.org,

Saya mau menayakan, apa arti dari ayat-ayat sebagai berikut :
1 Kor 5 : 1 Memang orang mendengar, bahwa ada percabulan di antara kamu, dan percabulan yang begitu rupa, seperti yang tidak terdapat sekalipun di antara bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah, yaitu bahwa ada orang yang hidup dengan isteri ayahnya. 2 Sekalipun demikian kamu sombong. Tidakkah lebih patut kamu berduka-cita dan menjauhkan orang yang melakukan hal itu dari tengah-tengah kamu? 3 Sebab aku,sekalipun seara badani tidak hadir, tetapi secara rohani hadir, aku-sama seperti aku hadir-telah menjatuhkan hukuman atas dia, yang telah melakukan hal yang semacam itu. 4 Bilamana kita berkumpul dalam roh, kamu bersama-sama dengan aku, dengan kuasa Yesus, Tuhan kita.5 orang itu harus kita serahkan dalamnama Tuhan Yesus kepada Iblis, sehingga binasa tubuhnya, agar rohnya diselamatkan pada hari Tuhan. 6 Kemegahanmu tidak baik. Tidak tahukah kamu, bahwa sedikit ragi mengkhamiri seluruh adonan? 7 Buanglah ragi yang lama itu, supaya kamu menjadi adonan yang baru,sebab kamu memang tidak beragi. Sebab anak domba Paskah kita juga telah disembelih, yaitu kristus. 8 Karena itu marilah kita berpesta, bukan dengan ragi yang lama, bukan pula dengan ragi keburukan dan kejahatan, tetapi dengan roti yang tidak beragi,yaitu kemurnian dan kebenaran. 9 Dalam suratku telah kutuliskan kepadamu, supaya kamu jangan bergaul dengan orang-orang cabul.10 Yang aku maksudkan bukanlah dengan semua orang cabul pada umumnya dari dunia ini atau dengan semua orang kikir dan penipu atau dengan semua penyembah berhala, karena jika demkian kamu harus meninggalkan dunia ini. 11 Tetapi yang kutuliskan kepada kamu ialah, supaya kamu janganbergaul dengan orang, yang sekalipun menyebut dirinya saudara, adalah orang cabul, kikir, penyembah berhala, pemfitnah, pemabuk atau penipu:dengan orang yang demikian janganlah kamu sekali-kali makan bersama-sama. 12 Sebab dengan wewenang apakah aku menghakimi mereka, yang berada diluar jemaat? Bukankah kamu hanya menghakimi mereka yang berada di-dalam jemaat? 13 Mereka yang berada diluar jemaat akan dihakimi Allah. Usirlah orang yang melakukan kejahatan dari tengah-tengah kamu. dan seterusnya ayat-ayat di :
1 Kor 6 : 1 Apakah ada seorang di antara kamu,yang jika berselisih dengan orang lain,berani mencari keadilan pada orang-orang yang tidak benar, dan bukan pada orang-orang kudus? 2 Atau tidak tahukah kamu,bahwa orang-orang kudus akan menghakimi dunia? Dan jika penghakiman dunia berada dalam tangan kamu,tidakkah kamu sanggup untuk mengurus perkara-perkara yang tidak berarti? 3 Tidak tahukah kamu,bahwa kita akan menghakimi malaikat-malaikat? Jadi apalagi perkara-perkara biasa dalam hidup kita sehari-hari. 4 Sekalipun demikian,jika kamu harus mengurus perkara-perkara biasa,kamu menyerahkan urusan itu kepada mereka yang tidak berarti dalam jemaat? 5 Hal ini kukatakan untuk memalukan kamu. Tidak adakah seorang di antara kamu yang berhikmat,yang dapat mengurus perkara-perkara dari saudara-saudaranya? 6 Adakah saudara yang satu mencari keadilan terhadap saudara yang lain, dan justru pada orang-orang yang tidak percaya? 7 Adanya saja perkara di antara kamu yang seorang terhadap yang lain telah merupakan kekalahan bagi kamu. Mengapa kamu tidak lebih suka menderita ketidakadilan? Mengapakah kamu tidak lebih suka dirugikan? 8 Tetapi kamu sendiri melakukan ketidakadilan dan kamu sendiri mendatangkan kerugian,dan hal itu kamu buat terhadap saudara-saudaramu. 9 Atau tidak tahukah kamu,bahwa orang-orang yang tidak adil tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah? Janganlah sesat! Orang cabul,penyembah berhala,orang berzinah,banci,orang pemburit. 10 pencuri,orang kikir,pemabuk,pemfitnah dan penipu tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah. 11 Dan beberapa orang di antara kamu demikianlah dahulu.Tetapi kamu kamu telah memberi dirimu disucikan, kamu telah dikuduskan, kamu telah dibenarkan dalam nama Tuhan Yesus Kristus dan dalam Roh Allah kita. 12 Segala sesuatu halal bagiku, tetapi bukan semuanya berguna,Segala sesuatu halal bagiku,tetapi aku tidak membiarkan diriku diperhamba oleh suatu apapun. 13 Makanan adalah untuk perut dan perut untuk makanan:tetapi kedua-duanya akan dibinasakan Allah;Tetapi tubuh bukanlah untuk percabulan,melainkan untuk Tuhan,dan Tuhan untuk tubuh. 14 Allah,yang membangkitkan Tuhan,akan membangkitkan kita juga oleh kuasa-Nya. 15 Tidak tahukah kamu,bahwa tubuhmu adalah anggota Kristus? Akan kuambilkah anggota Kristus untuk menyerahkannya kepada percabulan? Sekali-kali tidak! 16 Atau tidak tahukah kamu,bahwa siapa yang mengikatkan dirinya pada perempuan cabul,menjadi satu tubuh dengan dia? Sebab,demikianlah kata nas: “Keduanya akan menjadi satu daging.” 17 Tetapi siapa yang mengikatkan dirinya pada Tuhan, menjadi satu roh dengan Dia. 18 Jauhkanlan dirimu dari percabulan! Setiap dosa lain yang dilakukan manusia, terjadi di luar dirinya. Tetapi orang yang melakukan percabulan berdosa terhadap dirinya sendiri. 19 Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu; Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah,-dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri? 20 Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!

Demikianlah pertanyaan-pertanyaan saya, sebelumnya saya ucapkan banyak terima kasih kepada katolisitas.org.-
Akhir kata, saya ucapkan : Selamat Tahun Baru Imlek 2561 kepada bpk Stef dan ibu Ingrid, Viva katolisitas.org

Salam kasih.- Adnilem Sg

Jawaban:

Shalom Adnilem,

Berikut ini adalah keterangan yang saya sarikan dari keterangan The Navarre Bible, the Letters of St. Paul (New York: Scepter Publishers, 2003):

Perikop 1 Kor 5:1- 1 Kor 6:20 membahas tentang dosa ketidakmurnian/ percabulan dan hal mencari penyelesaian melalui pengadilan pagan (orang yang tidak percaya). Rasul Paulus memulai dengan kasus incest (perkawinan sesama saudara), dan hukumannya (5:1-8) dan menggunakan kasus ini untuk menjelaskan bagaimana seharusnya memperlakukan orang- orang yang berkeras untuk hidup di dalam dosa: yaitu ekskomunikasi, artinhya mereka harus dikeluarkan dari komunitas Kristiani (5:9-13).

Pada bab 6, Rasul Paulus kemudian menyebutkan tentang bagaimana menyelesaikan pertikaian antara umat Kristen (6:1-8). Ketidakadilan yang terjadi menyebabkan Rasul Paulus menyebutkan dosa- dosa yang menghindari orang-orang untuk masuk dalam Kerajaan Surga (6:9-11). Kemudian, Rasul Paulus mengajarkan makna keluhuran tubuh manusia dan keharusan untuk menjaganya bagi kemuliaan Tuhan: ini adalah madah pujian bagi kebajikan kekudusan dan kemurnian (6:12-20).

5:1-2 Dengan sedih Rasul Paulus memperingatkan jemaat akan skandal “hidup bersama” dengan ibu tiri, yang bahkan merupakan sikap yang dilarang oleh hukum Romawi. Ibu tiri ini kemungkinan adalah istri kedua dari ayah yang bersangkutan, dan sang ayah ini kemudian meninggal. Ada kemungkinan beberapa jemaat Korintus men-tolerir apa yag dilakukan oleh orang itu, karena salah menginterpretasikan pertobatan sebagai kelahiran yang baru (lih. Yoh 3:5) yang meniadakan hubungan keluarga sebelumnya (seperti yang diajarkan oleh beberapa rabbi Yahudi kepada orang-orang yang non Yahudi yang convert/bergabung dengan agama Yahudi.

Rasul Paulus dengan keras melarang hal ini. Ia menegaskan bahwa dosa incest adalah dosa berat, dan segera memberitahukan konsekuensi/ tindakan yang harus diambil sehubungannya. Yang melakukan incest adalah pendosa berat, demikian juga mereka yang mendukung perbuatan ini.

5:3-5 Di sini Rasul Paulus memberikan keputusan tentang kasus orang yang melakukan incest, yaitu ekskomunikasi (ay. 4-5) Ini menyangkut 4 hal:

1. “dalam nama Tuhan Yesus” (ay. 5): menunjukkan keputusan Gereja sebagai sesuatu yang di atas kekuasaan manusia.

2. “dengan kuasa Yesus” (ay. 4): menunjukkan bahwa kuasa Gereja diperoleh dari Kristus sendiri seperti yang dijanjikan-Nya kepada para rasul, “Sesungguhnya apa yang kamu ikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kamu lepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga.” (Mat 18:18)

3. “ketika kita berkumpul dalam roh, kamu bersama-sama dengan aku” (ay. 4, “when you are assembled, my spirit is present“): menunjukkan keputusan yang diambil di bawah hirarki otoritas Rasul Paulus.

4. “orang itu harus kita serahkan kepada Iblis”: maksudnya adalah orang yang dikeluarkan dari Gereja tidak dapat menerima rahmat ilahi dan dengan demikian menjadi rentan terhadap kuasa jahat. St. Thomas Aquinas menjelaskan, “Orang yang di-ekskomunikasi, karena mereka di luar Gereja, kehilangan berkat- berkat dan rahmat yang ada di dalamnya…. Doa- doa Gereja menyebabkan Iblis kurang mampu untuk mencobai kita; oleh karena itu ketika seseorang berada di luar Gereja, maka ia akan dengan mudah dikalahkan oleh Iblis. Demikianlah di masa Gereja awal, ketika seseorang di ekskomunikasi, maka menjadi umum bahwa secara fisik ia disiksa oleh Iblis.” (St. Thomas Aquinas, Super Symbolum Apostolorum, 10). Namun demikian, hukuman ini bersifat sementara, sebab harapannya adalah “agar rohnya diselamatkan pada hari Tuhan”, yaitu sangsi tersebut diberikan untuk memperbaiki tingkah lakunya. Selanjutnya tentang sangsi ekskomunikasi, silakan klik di sini.

Maka dalam menangani kasus-kasus tertentu Gereja Katolik menerapkan sangsi, termasuk ekskomunikasi, jika pendekatan persuasif tidak membawa hasil. “Jika karena beratnya dosa hukuman diperlukan, mereka [para uskup] harus menerapkan ketegasan dan kelemah-lembutan, keadilan dan belas kasihan,….agar mempertahankan disiplin yang baik dan diperlukan bagi prang-orang, dan yang memimpin orang yang bersalah untuk memperbaiki kesalahannya; atau jika mereka tidak mau memperbaiki kesalahannya, agar hukuman itu menjadi peringatan bagi orang-orang lain dan memimpin mereka menjauhi kejahatan” (Konsili Trente, De reformatione, chap.1)

5:6 Perumpamaan ragi ini adalah untuk mengingatkan bahwa seperti ragi, orang yang berdosa incest tersebut dapat merusak seluruh komunitas melalui contoh hidupnya yang salah dan menimbulkan skandal: orang- orang lain dapat ‘terbawa’ untuk menyetujui apa yang dilakukannya tanpa membantunya memperbaiki diri.

Rasul Paulus menggarisbawahi keseriusan dosa skandal, sebab “apapun yang dikatakan atau dilakukan, atau tidak dilakukan, memimpin orang lain untuk berbuat dosa- dosa” (St. Pius X Catechism, 417): “Sebab, dosa- dosa yang lain… melukai hanya kepada orang yang melakukannya, tetapi dosa ini [skandal] membahayakan orang lain dengan meninggalkan jalan Allah.”

5:7-8 Bagi kita umat Kristiani, hidup kita adalah pesta/ festival, sebab kita selalu menerima berkat dan rahmat dari Tuhan melalui Misteri Paska Kristus yang selalu kita rayakan dalam sakramen- sakramen Gereja. Kita selayaknya menyadari bahwa demi kita, Tuhan Yesus menjadi manusia, membebaskan kita dari hukuman kekal, dan memanggil kita untuk mengambil bagian dalam Kerajaan Allah. Dengan keyakinan ini, bukankah kita hidup dalam pesta/ festival yang terus- menerus di dunia ini? Kemiskinan, penyakit dan penganiayaan tidak boleh membuat kita berputus asa: sebab hidup kita merupakan kehidupan yang menggembirakan (St. Yohanes Krisostomus, Homily on 1 Cor, ad loc)

5:9-10 Rasul Paulus  mengingatkan di sini agar jemaat Korintus tidak bergaul dengan dengan orang-orang yang cabul tersebut: bukan berarti agar mereka tidak boleh bergaul dengan orang-orang pagan yang berdosa, namun agar jemaat mengeluarkan dari komunitas mereka, orang-orang yang menyebut diri Kristen namun tidak mau bertobat dari perbuatan dosa percabulan mereka.

5:11-13 Rasul Paulus kembali kepada topik utama: bagaimana memperlakukan orang-orang yang berdosa incest/ cabul ini. “…janganlah kamu sekali-kali makan dengan mereka”, maksudnya adalah jangan membiarkan mereka mengambil bagian di dalam pertemuan liturgis (lih. 1 Kor 11) atau mempunyai hubungan yang pribadi yang dekat dengan mereka (lih. 2 Yoh :10). “Usirlah orang yang melakukan kejahatan dari tengah-tengah kamu” (ay. 13) adalah peringatan yang serupa dengan yang sering dikatakan di Perjanjian Lama (lih. Ul 17:7), yang maksudnya adalah untuk mengusir kuasa jahat dari tengah- tengah mereka.

Rasul Paulus menyebutkan daftar dosa pada ayat 11, yang mirip dengan yang disebut sesudahnya (1 Kor 6:9-10). Ia mengatakan bahwa orang-orang yang melakukan dosa ini tidak dapat masuk Kerajaan Allah (1 Kor 6:9; Gal 5: 19-21; Ef 5:5) sebab mereka menyebabkan Allah marah (Kol 3:5-8); dan mereka harus mempertanggungjawabkan perbuatan mereka pada saat Penghakiman Terakhir (2 Tim 3:2-5; 1 Kor 5:5). Dosa- dosa ini secara umum termasuk dalam tiga kelompok besar dosa: percabulan dan keserakahan dan penyembahan berhala, yang menurut Rasul Yohanes adalah: dosa yang menyangkut keinginan daging, keinginan mata dan keangkuhan hidup (1 Yoh 2:16).

Keserakahan, yang menghalalkan segala cara (dengan memperalat manusia dan bahkan jika perlu memperalat Tuhan) untuk memperoleh kekayaan, adalah dosa yang paling menentang cinta kasih. Sebab cinta kasih artinya adalah melayani Tuhan dan sesama, demi Tuhan.

Penyembahan berhala di sini maksudnya adalah tidak memberikan kepada Tuhan kemuliaan yang menjadi hak-Nya. Seperti keserakahan, orang yang menyembah berhala berpikir bahwa ia tidak memerlukan Tuhan (lih. 1:21) sebab mereka menggantikan Tuhan dengan keinginannya sendiri. Akar dari dosa ini adalah kesombongan/ keangkuhan.

Demikian pula percabulan, dosa pelanggaran perintah ke 6 dan 9, adalah dosa berat, yang serupa dengan penyembahan berhala (lih. Rom 1:24-27; 1 Kor 10:6-8), sebab tubuh adalah milik Tuhan dan anggota Kristus (lih. 1 Kor 6:14). Maka setiap penyalahgunaan kemampuan seksual melibatkan ‘penyembahan’ ke arah yang salah. Tubuh yang seharusnya memuliakan Tuhan malah berusaha memuliakan dirinya sendiri. Ini adalah alasan mengapa Rasul Paulus sepanjang suratnya ini mengatakan betapa seriusnya dosa- dosa percabulan ini- sebab mereka merampas kemuliaan yang seharusnya diberikan kepada Tuhan.

6:1-6 Skandal juga terjadi jika orang- orang Kristen terlibat dalam saling menuntut (ay. 7) dan membawa kasus mereka ke pengadilan kaum pagan (orang yang tidak percaya). Padahal melalui Baptisan umat Kristen menjadi kudus,  menerima bagian dalam kehidupan ilahi dan kebajikan Kristus dan mereka dipanggil untuk hidup seturut teladan Kristus. Maka seharusnya mereka tidak perlu saling menuntut satu sama lain. Seandainya ada kasus yang perlu diselesaikan, sepantasnya diselesaikan oleh komunitas Kristiani sendiri yang dipimpin oleh orang-orang yang dapat mengadili dengan baik.

Rasul Paulus bukannya mau merendahkan pengadilan sipil dan otonominya, sebab semua otoritas pemerintahan datang dari Tuhan (Rom 13:1-5). Rasul Paulus sendiri tunduk pada Tribunal Romawi, dan bahkan naik banding kepada Kaisar (lih. Kis 25:11-12). Maksud Rasul Paulus di sini adalah, ia pertama-tama menganjurkan kasih persaudaraan untuk menyelesaikan pertikaian tanpa harus pergi ke pengadilan pagan. Sebab, penuntutan yang demikian memberikan kesaksian yang buruk tentang Injil: apa menariknya komunitas itu, jika komunitas itu terpecah-pecah/ terbagi-bagi sendiri? Ini adalah skandal yang harus dihindari.

6:3 Kristus adalah satu-satunya Hakim yang akan menghakimi orang-orang yang hidup dan yang mati, para malaikat dan manusia (seperti yang kita ucapkan dalam Credo/ Syahadat Aku Percaya). Rasul Paulus mengatakan bahwa “kita (umat beriman) akan menghakimi dunia” maksudnya adalah untuk menunjukkan kedekatan/ persatuan antara kita sebagai anggota-anggota Tubuh Kristus dengan Kristus sebagai Kepalanya (Ef 5:22-33) sehingga Rasul Paulus menghubungkan bahwa yang dilakukan oleh Kepala, dilakukan oleh Tubuh-Nya juga. Bahwa jika kita bersatu dengan Kristus sang Kepala, maka kita akan mengetahui bagaimana kita dapat menyelesaikan perkara-perkara yang terjadi di antara umat beriman. Jadi di sini, pengajaran Rasul Paulus tidak untuk diartikan sebagai spekulasi bahwa pada Perngadilan Terkahir nanti kita manusia akan mengadili para malaikat, karena konteks yang sedang dibicarakan di sini adalah untuk mendorong para umat beriman untuk menyelesaikan sendiri perkara- perkara yang terjadi di antara mereka.

6:7-8 Rasul Paulus menegur umat di Korintus yang gagal memahami bagaimana menerapkan Kotbah Yesus di bukit (Mat 5: 39-42), yaitu untuk saling mengasihi dan saling berkorban. Mereka tidak memahami ini, dan saling menuntut di pengadilan pagan, yang sama sekali tidak memegang nilai-nilai persaudaraan Kristiani yang sehati sejiwa (lih Kis. 4:32).

Rasul Paulus tidak ingin menyatakan bahwa kedudukan yang pasif dan sikap yang lemah terhadap kesulitan adalah sikap yang baik, melainkan ia menganjurkan agar segala sesuatu dihadapi bersama dengan maksud untuk mendatangkan damai dan kebaikan bagi semua pihak seperti yang pernah diajarkannya dalam Rom 12:17-21.

6:9-10 Seperti pada bab sebelumnya Rasul Paulus juga mengajarkan bahwa mereka yang melakukan dosa- dosa ini tidak dapat mengambil bagian dalam Kerajaan Surga. Berikutnya Rasul Paulus menyebutkan daftar perbuatan yang menunjukkan makna “ketidakbenaran”. Sebab kebenaran, keadilan adalah makna lain dari kekudusan, dan karenanya bertentangan dengan segala macam dosa.

“Jangan sesat!” Menurut bahasa Yunani-nya dapat juga diartikan “Jangan membuat dirimu tertipu!” (lih. Ef 5:5-6). Membuat suatu perbuatan dosa menjadi seolah-olah perbuatan baik adalah lebih parah daripada melakukan dosa tersebut. Hal ini dikatakan oleh Rasul Paulus karena di sana berkembang tendensi bahwa orang-orang mengartikan perbuatan dosa tersebut sebagai kebajikan; dan ini tentu sungguh menyimpang.

6:11 Selanjutnya Rasul Paulus mengingatkan umat di Korintus akan janji Baptis, dan agar mereka kembali kepada kekudusan yang mula- mula. Merekapun diingatkan akan nama Allah Tritunggal (lih. Mat 28:19-20) yang dalam nama-Nya mereka telah dibaptis. Ketiga kata berikutnya, “disucikan, dikuduskan, dibenarkan” (lih Kis 22:16; Ef 5:16; Tit 3:5) kembali mengingatkan akan akibat Pembaptisan dalam diri orang beriman. Ini mengingatkan kita bahwa melalui Baptisan kita diangkat menjadi anak-anak Allah, mengambil bagian dalam kehidupan Allah sendiri sehingga kita sungguh  disucikan oleh-Nya, dan karenanya harus berjuang untuk hidup di dalam kekudusan (lih. Lumen Gentium 40)

6:12-20 Dalam bagian kedua dalam perikop ini, Rasul Paulus mengajarkan akan beratnya dosa percabulan. Penurunan moral manusia sebelum kedatangan Kristus (lih. Rom 1:18-22) telah membuat banyak bangsa pagan jatuh dalam dosa seksual, dan kebangkitan kembali kebiasaan pagan ini sungguh dikecam oleh Rasul Paulus (lih. Kis 15:29; 1 Tes 4: 3-5). Rasul Paulus mengajarkan agar umat berjuang untuk hidup dalam kekudusan. Ia mengecam dosa perzinahan bukan saja karena itu merupakan tindakan melukai sesama atau merusak tatanan sosial, tetapi juga karena mereka yang berzinah menentang Kristus yang telah menebus mereka dengan darah-Nya. Juga oleh dosa ini mereka menentang Roh Kudus, karena setelah dibaptis tubuh mereka sebenarnya adalah bait Allah Roh Kudus/ tempat kediaman Roh Kudus.

6:12-14 “Sesuatu halal bagiku” maksudnya adalah untuk menunjukkan kemerdekaan Kristiani yang tidak lagi terikat oleh hukum Yahudi yang menyangkut banyak sekali peraturan tentang kemurnian secara hukum Taurat, tentang makanan, tentang peraturan hari Sabat, dst. Rasul Paulus ingin menekankan kemerdekaan yang dimenangkan Kristus oleh kematian-Nya di kayu salib (lih. Gal 4:31), di mana umat Kristen tidak lagi harus tunduk di bawah kuasa dosa dan hukum Taurat; sebab di dalam Kristus rahmat kasih karunia mengatasi hukum dosa tersebut. Namun banyak yang menyalahartikan kemerdekaan ini sebagai “excuse“/ pelarian untuk hidup tanpa mengindahkan perintah Tuhan. Padahal maksud dari Rasul Paulus adalah, semua yang tidak bertentangan dengan hukum Tuhan adalah diijinkan/ diperbolehkan, namun segala hal yang menentang hukum Tuhan adalah kejatuhan kembali ke dalam perbudakan dosa.

Selanjutnya, Rasul Paulus juga menentang pandangan yang menganggap bahwa percabulan adalah sesuatu yang alamiah pada tubuh seperti makanan bagi tubuh. Tidak demikian! Sebab tubuh tidak harus diorientasikan untuk perkawinan, sebab walaupun perkawinan diperlukan untuk penyebaran umat manusia, namun perkawinan tidak menjadi keharusan bagi setiap orang. Maka keseluruhan manusia, tubuh dan jiwa, harus diorientasikan kepada Tuhan. Dan di sinilah lahir kebajikan kemurnian yang mengisi seluruh hati dengan kasih kepada Tuhan, yang memanggil manusia tidak kepada percabulan tetapi kepada kekudusan (lih. 1 Tes 4:7)

6:15-18 Di sini Rasul Paulus menerangkan mengapa dosa percabulan ini sangat ofensif terhadap Kristus. Sebab melalui Baptisan umat beriman telah menjadi anggota Tubuh-Nya dan mengambil bagian dalam kehidupan ilahi-Nya (Gal 2:20) menjadi satu jiwa dengan-Nya (lih. Rom 12:5; 1 Kor 12:27) Dosa seksual adalah mencemari dan bahkan mencabut seseorang dari kesatuan dengan Tubuh Kristus itu, dengan menjadi satu tubuh dengan seorang pelacur. Maka dosa ini menjadi dosa yang melanggar tubuhnya sendiri yang adalah anggota Tubuh Mistik Kristus.

“Jauhkan dirimu dari percabulan”: harus dilakukan demi kemurnian tubuh. Pencobaan tidaklah untuk diatasi dengan membangun pertahanan, tetapi diatasi dengan “menjauhkan diri” darinya (lih. St. Thomas Aquinas, Commentary on 1 Cor, ad loc). Jadi umat Kristiani dapat menerapkan hal berikut untuk menjaga kemurnian (menurut St. Yohanes Vianney):

1) Waspada dan menjaga hal-hal yang kita lihat dan lita baca, apa yang kita pikirkan dan kita katakan, 2) Tekun berdoa memohon rahmat kekudusan
3) Menerima Sakramen dengan disposisi hati yang baik
4) Menjauhkan diri dari segala kesempatan-kesempatan yang dapat mengarahkan kepada dosa
5) Berdevosi kepada Bunda Maria

6:19-20 Perzinahan tidak saja merupakan pelanggaran dosa terhadap Tubuh Kristus melainkan juga terhadap Bait Allah Roh Kudus, sebab Tuhan tinggal di dalam jiwa sebagai di tempat kediaman-Nya (lih.1 Kor 3:16). Saat kita merenungkan betapa Roh Kudus telah memilih tubuh kita sebagai tempat kediaman-Nya, dan maka kita akan mengingat bahwa tubuh dan jiwa kita adalah milik Tuhan. Rasul Paulus mengatakan, “muliakanlah Tuhan dengan tubuhmu” (1 Kor 6:20)

Kita harus selalu mengingat bahwa tubuh kita telah ditebus oleh Kristus dengan harga yang sangat tak terbatas, yaitu kematian Kristus di kayu salib. Maka kita bukanlah menjadi milik kita sendiri tetapi milik Tuhan, sehingga kita harus hidup sesuai dengan panggilan kita ini. Kemurnian, adalah suatu kebajikan, yaitu suatu kemampuan untuk menguasai/ mengendalikan tubuh sendiri di dalam kekudusan dan kehormatan (lih. 1 Tes 4:4). Ini sejalan dengan buah Roh Kudus, dan ia yang hidup dalam kemurnian memuliakan Allah dalam tubuhnya. “Purity is the glory of the human body in God’s sight. It is the glory of God in the human body.” (lih. Yohanes Paulus II, General Audience, 18 Maret 1981)

Maka St. Yohanes Krisostomus mengajarkan bahwa kemurnian dalam hidup seharusnya menghantar orang- orang kepada Allah Bapa, “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.” (Mat 5:16). “Jika mereka melihat seorang yang kudus menerapkan kebajikan- kebajikan yang tertinggi, mereka akan melihat betapa berbedanya kehidupan mereka dengan kehidupan orang Kristen itu. Sebab mereka melihat bahwa orang yang kodratnya sama seperti mereka, namun dapat hidup ‘di atas’ mereka, bukankah mereka akan melihat bahwa ada kuasa ilahi yang bekerja [yang menghasilkan kekudusan seperti itu?] (St. Yohanes Krisostomus, Homily, on 1 Cor, 18, ad. loc)

Demikianlah ulasan mengenai 1 Kor 5 dan 6, semoga berguna.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- www.katolisitas.org

Dalam keadaan apakah kita boleh tidak menuruti perintah orang tua?

48

Pertanyaan:

Dari 10 perintah Allah. Perintah ke 4 adalah Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu. (Keluaran 20:12)
Jadi… kita harus taat kepada orang tua kita. Adakah saat dimana kita harus tidak taat? Mis : orang tua yang menyuruh seorang anak perempuan untuk mengaborsi janin yang dikandungnya (karena hamil diluar nikah)
Dengan apakah kita sebagai anak harus memfilter kapankah harus mentaat orang tua? dan kapankah kita harus/boleh “melawan” orang tua?

Salam – Alexander Pontoh

Jawaban:

Shalom Alexander Pontoh,

Terima kasih atas pertanyaanya tentang 10 perintah Allah yang keempat, yaitu: “Hormatilah ayahmu dan ibumu” (Kel 20:12). Pertanyaannya adalah sampai seberapa jauh kita harus taat kepada orang tua kita? Apakah kalau orang tua menganjurkan aborsi, seorang anak harus menurut? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus melihat prinsip di balik perintah ke-empat ini. Secara prinsip, orang tua berpartisipasi dalam memberikan kehidupan bagi anak-anak dan mempunyai kewajiban untuk mendidik anak-anak agar mereka dapat bersatu dengan Tuhan di dalam Kerajaan Sorga. Dengan demikian, orang tua harus memberikan pendidikan iman yang benar, sehingga anak-anak dapat mengetahui dan mengasihi Tuhan dan sesama. Dengan dasar ini, anak-anak harus mematuhi orang tua. Namun dalam keadaan di mana orang tua memaksa anak-anak melakukan hal-hal yang berlawanan dengan perintah Allah, maka anak yang telah dewasa tersebut justru tidak boleh mengikuti perintah dari orang tua. Tentu saja, kita harus menyampaikannya dengan hormat dan penuh kasih, karena tahu bahwa apa yang mereka lakukan adalah berdasarkan kasih kepada kita, walaupun manifestasi dari kasih tersebut adalah salah dan melanggar perintah Allah. Katekismus Gereja Katolik (KGK, 2217) mengatakan:

Selama anak tinggal bersama orang-tuanya, ia harus mematuhi tiap tuntutan orang-tua, yang melayani kesejahteraannya sendiri atau kesejahteraan keluarga. “Hai anak-anak, taatilah orang-tuamu dalam segala hal, karena itulah yang indah di dalam Tuhan” (Kol 3:20) Bdk. Ef 6: 1.. Anak-anak juga harus mematuhi peraturan-peraturan yang bijaksana dari pendidiknya dan dari semua orang, kepada siapa mereka dipercayakan oleh orang-tua. Tetapi kalau seorang anak yakin dalam hati nuraninya bahwa adalah tidak sesuai dengan susila untuk menaati satu perintah tertentu, ia jangan mengikutinya. Juga apabila mereka sudah menjadi lebih besar, anak-anak selanjutnya harus menghormati orang tuanya, Mereka harus mendahului kerinduannya, harus meminta nasihatnya, dan menerima teguran yang masuk akal. Kewajiban untuk mematuhi orang-tua berhenti setelah anak-anak dewasa, namun mereka harus selalu menghormati orang-tua. Ini berakar dalam rasa takut akan Allah, salah satu anugerah Roh Kudus.

Dari KGK 2217 di atas, terlihat jelas bahwa kalau seorang anak yang telah dewasa tahu – pengetahuan ini adalah dari hati nurani dan juga dari pengajaran-pengajaran Gereja Katolik -, bahwa aborsi adalah berdosa, maka anak tersebut justru tidak boleh mengikuti perintah orang tuanya yang salah. Kalau anak ini mengikuti keinginan orang tuanya, maka anak dan orang tuanya sama-sama berdosa dan melawan perintah Allah. Secara prinsip, kita harus menempatkan Tuhan dan perintah-Nya lebih daripada apapun juga. Dan ini diungkapkan oleh Yesus sendiri yang mengatakan “Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku; dan barangsiapa mengasihi anaknya laki-laki atau perempuan lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku.” (Mt 10:37). Jadi, dengan ayat ini dan dari Katekismus Gereja Katolik di atas, maka kita tahu bahwa kita tetap harus mentaati orang tua sampai kita dewasa dan berdiri sendiri, walaupun kita juga harus tetap menghormati nasihat dan juga teguran dari mereka. Kita harus menghormati orang tua kita seumur hidup kita. Dan kita tidak perlu mengikuti perintah orang tua kalau perintah tersebut melanggar perintah Allah atau membuat hubungan kita dengan Allah terganggu. Namun, di sisi yang lain, kita harus bijaksana dalam menerapkan prinsip-prinsip ini, sehingga hubungan kita dengan orang tua kita tetap baik dan berdasarkan kasih yang murni. Semoga keterangan ini dapat membantu.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – www.katolisitas.org

Apakah Yesus hanya sekedar utusan?

23

Pertanyaan:

Maaf hanya mau koment sedikit aja

ini dikutip dari kitab suci kalian juga….

Yohanes 5:30 “aku tidak dapat berbuat apa-apa dari diriku sendiri; Aku menghakimi sesuai dengan apa yang aku dengar, dan penghakiman-Ku adil, sebab aku tidak menuruti kehendak-Ku sendiri, melainkan kehendak Dia yang mengutus Aku”.

Lukas 10:16 “Barangsiapa mendengarkan kamu, ia mendengarkan Aku; dan barang siapa menolak kamu, ia menolak Aku,; dan barangsiapa menolak Aku, ia menolak Dia yang mengutus Aku.”

Markus 9:37 “ Siapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku. Dan barangsiapa menyambut Aku, bukan Aku yang disambutnya, tetapi Dia yang mengutus Aku.”

Matius 10:40 “Barangsiapa menyambut kamu, ia menyambut Aku, dan barang siapa menyambut Aku, ia menyambut Dia yang mengutus Aku “.

Bukti lain bahwa Yesus benar-benar hanya seorang utusan Tuhan, baiklah saya kutip kembali dan saya komentari masih pada ayat tersebut tadi, untuk membuktikan pengakuan Yesus sendiri bahwa dia bukanlah Tuhan dan juga bukan Allah, tetapi hanya benar-benar hanya seorang utusan Tuhan saja.

Yoh 50:30 “Aku tidak dapat berbuat apa-apa dari diri-Ku sendiri; Aku menghakimi sesuai dengan apa yang Aku dengar, dan penghakiman-Ku adil, sebab Aku tidak menuruti kehendak-Ku sendiri, melainkan kehendak Dia yang mengutus Aku”.

Catatan: Jika Yesus itu Tuhan, sangat tidak masuk di akal sehat Tuhan tidak bisa berbuat apa-apa dari diri-Nya sendiri.

Dan tidak mungkin Tuhan tidak bisa menuruti kehendak-Nya sendiri. Yang namanya Tuhan, pasti Dia Maha Kuasa, jadi Dia bisa berbuat menurut kehendak-Nya sendiri.

Yesus mengaku dengan jujur dan polos bahwa dia tidak bisa berbuat apa-apa atas dirinya sendiridan tidak bisa menuruti kehendaknya sendiri, karena dia hanya seorang utusan Tuhan, bukan Tuhan!!

1. Setiap yang diutus Tuhan, pasti bukan Tuhan
2. Yesus diutus oleh Tuhan , berarti………..
3. Yesus bukan Tuhan, tetapi hanya utusan Tuhan
4. Setiap yang tidak bisa berbuat apa-apa atas dirinya sendiri, pasti bukan Tuhan
5. Yesus tidak bisa berbuat apa-apa atas dirinya sendiri, berarti Yesus bukan Tuhan
6. Setiap yang tidak bisa menuruti kehendaknya sendiri, pasti bukan Tuhan.
7. Yesus tidak bisa menuruti kehendaknya sendiri, berarti Yesus bukan Tuhan

ini menyatakan bahwa yesus yang kalian sembah adalah utusan Allah…..bukan Allah……dan bukan Tuhan…..
Terimakasih – Fadly

Jawaban:

Salam damai Fadly,

Terima kasih atas beberapa sanggahannya tentang ke- Allahan Yesus. Sebelum saya menjawab pertanyaan-pertanyaan dari beberapa ayat yang diberikan oleh Fadly, saya ingin memberikan prinsip dalam diskusi dengan mengutip ayat-ayat dari Alkitab untuk membuktikan bahwa Yesus bukan Tuhan. Ada dua kemungkinan dalam pendekatan ini: 1) jika Fadly beranggapan bahwa Alkitab bukanlah wahyu Allah, maka anda tidak perlu mengutip ayat-ayat Alkitab. 2) jika Fadly beranggapan bahwa semua ayat-ayat di Alkitab diwahyukan oleh Allah dan karena itu semua ayatdi Alkitab adalah benar, maka anda dapat mengutip ayat-ayat Alkitab untuk mendukung argumen anda. Sebaliknya, saya juga dapat mengutip ayat-ayat yang lain untuk mendukung argumentasi saya. Jadi, kalau saya mengutip ayat-ayat pendukung, anda tidak dapat mengatakan bahwa ayat-ayat yang saya kutip bukanlah Wahyu Allah. Dengan demikian, kita dapat berdiskusi dengan asumsi yang jelas, dan argumentasi yang mengalir menjadi konsisten. Kalau Fadly memilih alternatif 1, maka anda dapat memberikan argumentasi di luar Alkitab. Sebaliknya, kalau anda memilih alternatif 2, maka kita harus menganggap bahwa semua ayat-ayat di Alkitab adalah benar. Dengan dasar ini, maka berikut ini adalah jawaban yang dapat saya berikan:

1) Yohanes 5:30aku tidak dapat berbuat apa-apa dari diriku sendiri; Aku menghakimi sesuai dengan apa yang aku dengar, dan penghakiman-Ku adil, sebab aku tidak menuruti kehendak-Ku sendiri, melainkan kehendak Dia yang mengutus Aku”.

Kalau kita dapat menerima bahwa “Aku [Yesus] dan Bapa adalah satu.” (Yoh 10:30), maka kita akan dapat menerima perkataan di Yoh 5:30. Karena persatuan yang tak terpisahkan antara ketiga Pribadi (Allah Bapa, Allah Putera, Allah Roh Kudus), maka Yesus dapat mengatakan “Aku tidak dapat berbuat apa-apa dari diri-Ku sendiri” (Yoh 5:30), karena mereka (tiga Pribadi dalam Trinitas) melakukan perbuatan bersama-sama. Dengan demikian kita juga dapat menerapkan bahwa Allah Bapa dapat mengatakan hal yang serupa, karena apa yang dilakukan-Nya juga dilakukan oleh Allah Putera dan Allah Roh Kudus. Dan di ayat yang sama, dijelaskan tentang kehendak yang sama di dalam Trinitas, karena ketiga Pribadi tersebut adalah satu Tuhan.

2) Lukas 10:16Barangsiapa mendengarkan kamu, ia mendengarkan Aku; dan barang siapa menolak kamu, ia menolak Aku,; dan barangsiapa menolak Aku, ia menolak Dia yang mengutus Aku.

a) Di sini anda ingin mencoba membuktikan bahwa Yesus adalah hanya utusan. Namun, kalau kita melihat dari ayat-ayat lain di Alkitab, maka Yesus yang diutus ke dunia oleh Allah Bapa, adalah utusan yang mempunyai kodrat Allah dan kodrat manusia. Mari kita melihat satu persatu dari ayat yang anda kutip.

b) Dalam Lk 10:16 disejajarkan antara Yesus yang mengutus para murid dengan Alllah yang mengutus Yesus. Namun, kalau kita melihat ayat Lk 10:17, maka dikatakan “Kemudian ketujuh puluh murid itu kembali dengan gembira dan berkata: “Tuhan, juga setan-setan takluk kepada kami demi nama-Mu.”Kalau Yesus hanyalah seorang utusan yang terpisah dari Allah, mengapa para murid mengatakan “setan-setan takluk demi nama-Mu [Yesus]”? Dan mengapa Yesus mengatakan bahwa berbahagialah orang yang melihat Yesus karena banyak nabi dan raja ingin melihat Yesus tetapi mereka tidak melihatnya? (lih. Lk 10:23-24). Kalau Yesus tidak lebih besar dari raja dan nabi, mengapa para nabi dan para raja ingin melihatnya? Siapakah yang lebih besar dari para nabi? Kalau Yesus hanya nabi, mengapa para nabi ingin melihatnya?

Justru karena persatuan Yesus – yang adalah Allah Putera – dengan Allah Bapa tak terpisahkan, maka hal itu membuktikan bahwa keduanya tak terpisahkan. Perbandingan antara “para murid yang diutus Yesus” dan “Yesus yang diutus Allah Bapa” adalah jelas tidak setara, sebab para murid tidak dapat mengusir setan dalam nama para murid sendiri, sedangkan Yesus dapat mengusir setan dan melakukan mukjizat dalam nama-Nya sendiri. Selanjutnya, para nabi dan raja tidak pernah dikatakan ingin melihat para murid, namun mereka ingin melihat Yesus.

3) Markus 9:37Siapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku. Dan barangsiapa menyambut Aku, bukan Aku yang disambutnya, tetapi Dia yang mengutus Aku.

Kalau kita perhatikan kalimat di atas, maka kita akan melihat bahwa kalimat pertama menegaskan bahwa orang yang menyambut anak adalah sama seperti menyambut Yesus, kalau orang tersebut menyambut seorang anak dalam nama Yesus. Di sini terlihat bahwa dengan menyambut seorang anak dalam nama Yesus, maka orang itu menyambut Tuhan yang adalah Dia yang mengutus Yesus.

4) Matius 10:40Barangsiapa menyambut kamu, ia menyambut Aku, dan barang siapa menyambut Aku, ia menyambut Dia yang mengutus Aku “.

Kalau anda mau membaca tiga ayat sebelumnya, maka kita dapat melihat bahwa Yesus adalah Tuhan. Dikatakan “37 Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku; dan barangsiapa mengasihi anaknya laki-laki atau perempuan lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku. 38 Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak layak bagi-Ku. 39 Barangsiapa mempertahankan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya.” (Mt 10:37-39)

Di sini Yesus mengatakan bahwa kalau kita mengasihi orang tua, anak-anak melebihi kasih kita kepada-Nya, maka kita tidak layak mengikuti-Nya. Kalau seseorang tidak memikul salib dan mengikuti Yesus, maka dia tidak layak bagi Yesus. Dan lebih lagi, barangsiapa kehilangan nyawanya karena Yesus, maka dia akan memperolehnya. Kalau Yesus bukan Tuhan, mengapa Dia dapat mengatakan hal-hal seperti di atas?

5) Yoh 50:30Aku tidak dapat berbuat apa-apa dari diri-Ku sendiri; Aku menghakimi sesuai dengan apa yang Aku dengar, dan penghakiman-Ku adil, sebab Aku tidak menuruti kehendak-Ku sendiri, melainkan kehendak Dia yang mengutus Aku”. Mungkin maksudnya Yoh 5:30 dan bukan Yoh 50:30. Mari kita membahas tentang komentar yang diberikan oleh Fadly.

a) Anda mengatakan “Jika Yesus itu Tuhan, sangat tidak masuk di akal sehat Tuhan tidak bisa berbuat apa-apa dari diri-Nya sendiri.” Silakan melihat keterangan di point 1).

b) Kemudian anda melanjutkan dengan “Dan tidak mungkin Tuhan tidak bisa menuruti kehendak-Nya sendiri. Yang namanya Tuhan, pasti Dia Maha Kuasa, jadi Dia bisa berbuat menurut kehendak-Nya sendiri.

Untuk mengerti ayat ini secara mendalam, saya mengundang anda untuk membaca artikel “Yesus, sungguh Allah dan sungguh manusia” di sini (silakan klik). Dengan memahami hakekat Yesus, yang sungguh Allah dan sungguh manusia, maka kita akan dapat mengerti ayat-ayat tersebut dengan lebih baik. Karena Yesus mempunyai dua kodrat, sungguh Allah (dimana ke-Allahan-Nya tidak dapat dipisahkan dengan pribadi Allah Bapa dan Allah Roh Kudus) dan sungguh manusia, maka seluruh ucapan Yesus harus dilihat dalam kodrat ini.

Dengan demikian ayat tersebut ingin menunjukkan bahwa Tuhan Yesus tidak dapat berbuat apa dari Diri-Nya sendiri, tanpa melakukannya bersama-sama dengan Pribadi yang lain (Allah Bapa dan Allah Roh Kudus). Ini justru menunjukkan bahwa ketiga Pribadi terikat menjadi satu, sehingga tidak memungkinkan masing-masing Pribadi melakukan apapun secara terpisah.

6) Fadly mengatakan “Yesus mengaku dengan jujur dan polos bahwa dia tidak bisa berbuat apa-apa atas dirinya sendiri dan tidak bisa menuruti kehendaknya sendiri, karena dia hanya seorang utusan Tuhan, bukan Tuhan!!

Anda memberikan kesimpulan ini karena mengambil ayat-ayat, yang dimengerti secara salah, dimana saya telah mencoba untuk menerangkan ayat-ayat tersebut dalam konteks kodrat Yesus yang sungguh Tuhan dan sungguh manusia. Kalau anda mengganggap ayat-ayat tersebut di atas adalah benar, bagaimana dengan ayat-ayat di bawah ini yang mendukung tentang ke-Allahan Yesus (lihat artikel selengkapnya di sini – silakan klik):

1) Pertama-tama, ketika berusia 12 tahun dan Ia diketemukan di Bait Allah, Yesus mengatakan bahwa bait Allah adalah Rumah Bapa-Nya (lih. Luk 2:49). Dengan demikian, Yesus mengatakan bahwa Ia adalah Putera Allah.

2) Pernyataan ini ditegaskan kembali oleh Allah Bapa pada saat Pembaptisan Yesus, saat terdengar suara dari langit, “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nya Aku berkenan.”(Luk 3:22).

3) Yesus adalah Tuhan yang mengatasi para malaikat. Setelah Dia mengatasi cobaan Iblis di padang gurun, para malaikat- pun datang melayani Dia (lih. Mat 3:11).

4) Pada saat Yesus memulai pengajaranNya, terutama dalam Khotbah di Bukit (Delapan Sabda Bahagia), Ia berbicara di dalam nama-Nya sendiri, untuk menyatakan otoritas yang dimiliki-Nya (Mat 5:1-dst). Ini membuktikan bahwa Ia lebih tinggi dari Musa dan para nabi[6], sebab Musa berbicara dalam nama Tuhan (lih. Kel 19:7) ketika Ia memberikan hukum Sepuluh Perintah Allah; tetapi Yesus memberikan hukum dalam nama-Nya sendiri, “Aku berkata kepadamu….” Hal ini tertera sedikitnya 12 kali di dalam pengajaran Yesus di Mat 5 dan 6, dan dengan demikian Ia menegaskan DiriNya sebagai Pemberi Hukum Ilahi (the Divine Legislator) itu sendiri, yaitu Allah. Demikian pula dengan perkataan “Amen, amen…”, pada awal ajaranNya, Yesus menegaskan segala yang akan diucapkan-Nya sebagai perintah; bukan seperti orang biasa yang mengatakan ‘amen’ diakhir doanya sebagai tanda ‘setuju’.

5) Jadi dengan demikian Yesus menyatakan bahwa Ia adalah Taurat Allah yang hidup, suatu peran yang sangat tinggi dan ilahi, sehingga menjadi batu sandungan bagi orang-orang Yahudi untuk mempercayai Yesus sebagai Sang Mesias. Hal ini dipegang oleh banyak orang Yahudi yang diceriterakan dengan begitu indah dalam buku Jesus of Nazareth, yaitu dalam percakapan imajiner seorang Rabi Yahudi dengan Rabi Neusner,[7] mengenai bagaimana mencapai kesempurnaan hidup. Kesempurnaan inilah yang dimaksudkan oleh Yesus ketika Ia berbicara dengan orang muda yang kaya, “Jika engkau mau sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan bagikanlah kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di surga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku” (Mat 19:21). “Aku” di sini hanya mungkin berarti Tuhan sendiri.

6) Yesus menyatakan DiriNya sebagai Seorang yang dinantikan oleh para Nabi sepanjang abad (lih. Mat 13:17). Ia juga berkata,“…supaya kamu menanggung akibat penumpahan darah orang yang tidak bersalah mulai dari Habel, … sampai Zakharia… semuanya ini akan ditanggungkan pada angkatan ini!” (Mat 23:34-36). Secara tidak langsung Ia mengatakan bahwa darah-Nya yang akan tertumpah dalam beberapa hari berikutnya merupakan rangkuman dari penumpahan darah orang yang tidak bersalah sepanjang segala abad.

7) Yesus sebagai Tuhan juga terlihat dengan jelas dari segala mukjizat yang dilakukan dalam nama-Nya sendiri, yang menunjukkan bahwa kebesaran-Nya mengatasi segala sesuatu. Yesus menghentikan badai (Mat 8: 26; Mrk 4:39-41) menyembuhkan penyakit (Mat 8:1-16, 9:18-38, 14:36, 15: 29-31), memperbanyak roti untuk ribuan orang (Mat 14: 13-20; Mrk 6:30-44; Luk 9: 10-17; Yoh 6:1-13), mengusir setan (Mat 8:28-34), mengampuni dosa (Luk5:24; 7:48), dan membangkitkan orang mati (Luk 7:14; Yoh 11:39-44). Di atas semuanya itu, mukjizat-Nya yang terbesar adalah: Kebangkitan-Nya sendiri dari mati (Mat 28:9-10; Luk 24:5-7,34,36; Mrk 16:9; Yoh 20:11-29; 21:1-19).

8) Pada saat Ia menyembuhkan orang yang lumpuh, Yesus menyatakan bahwa Ia memiliki kuasa untuk mengampuni dosa (Mat 9:2-8; Luk5:24), sehingga dengan demikian Ia menyatakan DiriNya sebagai Tuhan sebab hanya Tuhan yang dapat mengampuni dosa.

9) Pada beberapa kesempatan, Yesus menyembuhkan para orang sakit pada hari Sabat, yang menimbulkan kedengkian orang-orang Yahudi. Namun dengan demikian, Yesus bermaksud untuk menyatakan bahwa Ia adalah lebih tinggi daripada hari Sabat (lih. Mat 12:8; Mrk 3:1-6).

10) Yesus juga menyatakan Diri-Nya lebih tinggi dari nabi Yunus, Raja Salomo dan Bait Allah (lih. Mt 12:41-42; 12:6). Ini hanya dapat berarti bahwa Yesus adalah Allah, kepada siapa hari Sabat diadakan, dan untuk siapa Bait Allah dibangun.

11) Yesus menyatakan Diri-Nya sebagai Tuhan, dengan berkata “Aku adalah… (I am)” yang mengacu pada perkataan Allah kepada nabi Musa pada semak yang berapi, “Aku adalah Aku, I am who I am” (lih. Kel 3:14):

a) Pada Injil Yohanes, Yesus mengatakan “Aku adalah….” sebanyak tujuh kali: Yesus menyatakan Dirinya sebagai Roti Hidup yang turun dari Surga (Yoh 6:35), Terang Dunia (Yoh 8:12), Pintu yang melaluinya orang diselamatkan (Yoh 10:9), Gembala yang Baik yang menyerahkan nyawa-Nya bagi domba-domba-Nya (Yoh 10:10), Kebangkitan dan Hidup (Yoh 11:25), Jalan, Kebenaran, dan Hidup (Yoh 14:6), Pokok Anggur yang benar (Yoh 15:1).

b) Yesus menyatakan diri-Nya sebagai sumber air hidup yang akan menjadi mata air di dalam diri manusia, yang terus memancar sampai ke hidup yang kekal (Yoh 4:14). Dengan demikian Yesus menyatakan diri-Nya sebagai sumber rahmat; hal ini tidak mungkin jika Yesus bukan Tuhan, sebab manusia biasa tidak mungkin dapat menyatakan diri sebagai sumber rahmat bagi semua orang.

c) Yesus menyatakan, “Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yoh 14:6); dan dengan demikian Ia menempatkan diri sebagai Pengantara yang mutlak bagi seseorang untuk sampai kepada Allah Bapa.

d) Ia menyatakan bahwa “… kamu akan mati dalam dosamu… jika kamu tidak percaya bahwa Akulah Dia” (Yoh 8:24) yang datang dari Bapa di surga (lih. Yoh 21-29).

e) Yesus mengatakan, “Aku ini (It is I)…”, pada saat Ia berjalan di atas air (Yoh 6:20) dan meredakan badai.

f) Yesus mengatakan, “Akulah Dia,” pada saat Ia ditangkap di Getsemani.

g) Ketika Yesus diadili di hadapan orang Farisi, dan mereka mempertanyakan apakah Ia adalah Mesias Putera Allah, Yesus mengatakan, “Kamu sendiri mengatakan, bahwa Akulah Anak Allah.”[8]h) Mungkin yang paling jelas adalah pada saat Yesus menyatakan keberadaan DiriNya sebelum Abraham, “…sebelum Abraham jadi, Aku telah ada.” (Yoh 8:58)

12) Dengan demikian, Yesus menyatakan DiriNya sudah ada sebelum segala sesuatunya dijadikan. Dan ini hanya mungkin jika Yesus sungguh-sungguh Tuhan. Mengenai keberadaan Yesus sejak awal mula dunia dinyatakan oleh Yesus sendiri di dalam doa-Nya sebelum sengsara-Nya, “Bapa, permuliakanlah Aku pada-Mu sendiri dengan kemuliaan yang Kumiliki di hadirat-Mu sebelum dunia ada.” (Yoh 17:5)

13) Dengan keberadaan Yesus yang mengatasi segala sesuatu, dan atas semua manusia, maka Ia mensyaratkan kesetiaan agar diberikan kepadaNya dari semua orang. “Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih dari Aku, ia tidak layak bagi-Ku” (Mat 10:37). Ia kemudian berkata bahwa apa yang kita lakukan terhadap saudara kita yang paling hina, itu kita lakukan terhadap Dia (lih. 25:40). Ini hanya dapat terjadi kalau Yesus adalah Tuhan yang mengatasi semua orang, sehingga Dia dapat hadir di dalam diri setiap orang, dan Ia layak dihormati di atas semua orang, bahkan di atas orang tua kita sendiri.

14) Yesus menghendaki kita percaya kepada-Nya seperti kita percaya kepada Allah (lih. Yoh 14:1), dan Ia menjanjikan tempat di surga bagi kita yang percaya. Dengan demikian Ia menyatakan diriNya sebagai yang setara dengan Allah Bapa, “Siapa yang melihat Aku, melihat Bapa, (Yoh 14:9), Bapa di dalam Aku dan Aku di dalam Bapa (Yoh 10:38). Tidak ada seorangpun yang mengenal Anak selain Bapa, dan mengenal Bapa selain Anak (lih. Mat 11:27). Yesus juga menyatakan DiriNya di dalam kesatuan dengan Allah Bapa saat mendoakan para muridNya dan semua orang percaya, ”… agar mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau…” (Yoh 17:21). Ini hanya mungkin jika Ia sungguh-sungguh Tuhan. Pernyataan Yesus ini berbeda dengan para pemimpin agama lain, seperti Muhammad dan Buddha, sebab mereka tidak pernah menyatakan diri mereka sendiri sebagai Tuhan.

15) Ketika Yesus menampakkan diri kepada para murid setelah kebangkitan-Nya, Thomas, Rasul yang awalnya tidak percaya menyaksikan sendiri bahwa Yesus sungguh hidup dan ia berkata, “Ya Tuhanku dan Allahku”. Mendengar hal ini, Yesus tidak menyanggahnya (ini menunjukkan bahwa Ia sungguh Allah), melainkan Ia menegaskan pernyataan ini dengan seruanNya agar kita percaya kepadaNya meskipun kita tidak melihat Dia (Yoh 20: 28-29).

16) Yesus menyatakan Diri sebagai Tuhan, dengan menyatakan diriNya sebagai Anak Manusia, yang akan menghakimi semua manusia pada akhir jaman (lih. Mat 24:30-31), sebab segala kuasa di Surga dan di dunia telah diberikan kepada-Nya, seperti yang dikatakanNya sebelum Ia naik ke surga, “Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa, dan Putera dan Roh Kudus…” (Mat 28:18). Dengan demikian, Yesus menyatakan diriNya sebagai Pribadi Kedua di dalam Allah Tritunggal Maha Kudus, dan dengan kuasaNya sebagai Allah ini maka ia akan menghakimi semua manusia di akhir dunia nanti, seperti yang dinubuatkan oleh nabi Daniel (Dan 7:13-14). Yesus tidak mungkin membuat pernyataan sedemikian, jika Ia bukan sungguh-sungguh Tuhan.

Dari ayat-ayat di atas, maka saya juga dapat mengatakan, kalau Yesus bukan Tuhan, maka sangat tidak mungkin kalau Yesus mengatakan banyak hal yang membuktikan bahwa Diri-Nya adalah Tuhan.

7) Akhirnya Fadly memberikan kesimpulan “1. Setiap yang diutus Tuhan, pasti bukan Tuhan. 2. Yesus diutus oleh Tuhan , berarti……….. 3. Yesus bukan Tuhan, tetapi hanya utusan Tuhan 4. Setiap yang tidak bisa berbuat apa-apa atas dirinya sendiri, pasti bukan Tuhan. 5. Yesus tidak bisa berbuat apa-apa atas dirinya sendiri, berarti Yesus bukan Tuhan. 6. Setiap yang tidak bisa menuruti kehendaknya sendiri, pasti bukan Tuhan. 7. Yesus tidak bisa menuruti kehendaknya sendiri, berarti Yesus bukan Tuhan. ini menyatakan bahwa yesus yang kalian sembah adalah utusan Allah…..bukan Allah……dan bukan Tuhan…..

a) Kesimpulan yang anda berikan cukup logis kalau anda hanya melihat ayat-ayat yang anda kutip (Yoh 5:30; Lk 10:16; Mk 9:37; Mt 10:40; Yoh 50:30). Namun, untuk dapat mengerti Pribadi Yesus, yang sungguh Allah dan sungguh manusia, anda juga harus melihat seluruh Alkitab, sehingga anda dapat memahami Pribadi Yesus yang sebenarnya. Oleh karena itu, dalam point 6), saya telah mencoba untuk memberikan ayat-ayat lain yang membuktikan bahwa Yesus bukan hanya sekedar utusan, namun Dia adalah Tuhan.

b) Saya mengundang anda untuk menganalisa lagi, apakah ada seorang yang hanya sekedar utusan mengatakan seperti yang Yesus katakan di point 6? Cobalah melihat dari seluruh sejarah manusia, adakah utusan Allah (yang sekedar utusan) yang melakukan mukjijat dalam nama-Nya sendiri, mengajar dalam namanya sendiri, yang dapat mengampuni dosa atas namanya sendiri, yang membiarkan murid-Nya mengatakan “ya Tuhanku dan Allahku”, yang para malaikat juga melayaninya, yang akan menghakimi seluruh manusia pada akhir zaman?

Dengan demikian, kalau kita menerima bahwa Yesus mengatakan semuanya itu, maka kita mempunyai alternatif, (1) bahwa Yesus hanyalah seorang utusan, hanya manusia, namun berbohong dan bahkan menghujat Allah atau (2) bahwa Yesus adalah Tuhan dan juga manusia, sehingga Dia dapat mengatakan segala sesuatu di ayat-ayat yang anda kutip dan segala sesuatu di ayat-ayat pada point 6).

c) Umat Kristen mempercayai bahwa Tuhan Yesus adalah Tuhan yang menjadi manusia, yang sungguh Allah dan sungguh manusia. Kalau anda percaya akan alternatif pertama, maka anda juga mempunyai kontradiksi, karena: Yesus (Isa) di dalam ajaran agama Islam (kalau anda beragama Islam) dihormati sebagai nabi yang utama, yang tidak akan mungkin membiarkan Diri-Nya disebut Tuhan, dan dapat mengampuni dosa atas nama-Nya sendiri. Untuk menghindari ini, maka anda dapat mengatakan bahwa ayat-ayat yang saya kutip di point 6) adalah palsu, dan ayat-ayat yang anda kutip – untuk membuktikan kemanusiaan Yesus – adalah asli. Kalau ini kesimpulannya, maka pertanyaan saya adalah: apakah parameter yang digunakan untuk menentukan asli atau palsu? Apakah kalau ayat tersebut menyatakan bahwa Yesus adalah manusia maka kesimpulannya asli, sedangkan kalau ayat tersebut menyatakan bahwa Yesus Tuhan, maka ayat tersebut palsu? Dan siapakah yang mempunyai otoritas untuk menentukan hal ini?

d) Dengan demikian, kalau anda mau konsisten, maka anda mempunyai dua alternatif seperti yang saya sebutkan di bagian awal: (1) Fadly beranggapan bahwa Alkitab bukanlah wahyu Allah, yang berarti anda tidak perlu mengutip ayat-ayat Kitab Suci (2) Fadly beranggapan bahwa semua ayat-ayat di Alkitab diwahyukan oleh Allah dan karenanya adalah benar, yang berarti anda dapat mengutip ayat-ayat di Alkitab untuk mendukung argumen anda dan sebaliknya, saya juga dapat mengutip ayat-ayat yang lain untuk mendukung argumentasi saya.

8) Jadi, sebagai kesimpulan, saya telah menunjukkan arti dari ayat-ayat yang anda kutip, yang membuktikan bahwa Yesus mempunyai kodrat manusia, namun juga yang membuktikan bahwa Yesus adalah Tuhan. Kalau Yesus hanya sekedar manusia atau hanya sekedar utusan, maka Yesus tidak akan mungkin mengeluarkan perkataan dan bertindak seperti yang saya sebutkan di point 6). Dengan demikian, Yesus yang kami sembah adalah sungguh Allah dan sungguh manusia. Semoga kita semua dapat melihat kenyataan dan kebenaran ini.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – www.katolisitas.org

Keutamaan Petrus (3): Tanggapan terhadap mereka yang menentang keberadaan Petrus di Roma

23

Pendahuluan

Harus diakui, bahwa banyak orang karena satu dan lain hal tidak percaya akan pengaruh Rasul Petrus dalam sejarah Gereja. Mereka umumnya menutup mata terhadap fakta sejarah yang begitu jelas menyatakan bahwa Rasul memang pernah tinggal di Roma, mendirikan Gereja di sana, dan akhirnya wafat sebagai martir di sana. Dewasa ini, dengan adanya akses yang semakin besar terhadap bukti- bukti sejarah dan terjemahannya, kita dapat mengetahui kenyataan yang sebenarnya, sehingga banyak para ahli dan komentator Protestan-pun mulai mengakui kebenaran ini.

Beberapa keberatan utama Protestan

Jika diperhatikan, terdapat beberapa keberatan Protestan tentang keberadaan Rasul Petrus di Roma, yang jika diringkas adalah sebagai berikut:

1. Mereka menganggap kata “Babilon” tidak sama dengan Roma.

Bukti sejarah menunjukkan bahwa pada abad- abad awal Gereja awal menggunakan kata figuratif Babilon untuk menggambarkan kota Roma. Pengertian ini tidak pernah dipertanyakan sampai pada sekitar masa Reformasi.
Allan Stibbs  seorang komentator Protestan, mengatakan, “Hanya pada dan sejak Reformasi, beberapa orang mulai condong untuk menganggap kata [Babilon di 1 Pet 5:13] secara literal mengacu kepada Babilon di Mesopotamia atau stasi militer yang bernama Babilon di Mesir.” ((The First Epistle General to Peter, Tyndale New Testament Commentaries (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1959), p. 176 ))

2. Mereka menganggap Rasul Petrus tidak pernah ke kota Roma.

Oscar Cullman, juga seorang Teolog Lutheran, mengatakan, “Pertanyaan [bahwa Rasul Petrus pernah tinggal di Roma] pertama kali diajukan di jaman abad pertengahan, [yaitu] kaum Waldensian yang memegang bahwa Alkitab hanya satu- satunya pegangan ….” ((Oscar Cullmann, Peter: Disciple, Apostle, Martyr, trans. Floyd V. Filson (Philadelphia: Westminster Press, 1953), 71)). Bagi kaum Waldensian (dipimpin oleh Peter Valdes dari Lyon, 1205-1218) dan mereka yang sepaham dengan mereka pada jaman Reformasi sekitar tiga abad setelahnya (1519- 1520), alasannya adalah: karena Kitab Suci tidak secara eksplisit mengatakan demikian.

3. Mereka menganggap Kitab Suci tidak mengatakannya.

Hal ini menjadi tanggapan umum umat Protestan yang memegang prinsip ajaran “Sola Scriptura“, sehingga apa yang tidak tertulis secara eksplisit dianggap sebagai tidak terjadi, atau dapat diragukan.

Komentar tokoh-tokoh Protestan dan bagaimana kita menanggapinya

1. Martin Luther (1483- 1546)
Ia sebenarnya menyimpulkan bahwa Babilon dalam (1 Pet 5: 13) mengacu kepada Roma. Namun ia selanjutnya mengatakan, “Tetapi saya ingin memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk menginterpretasikan ayat ini sesuai dengan apa yang dipilihnya, sebab ini tidak penting.” ((The Catholic Epistles, dalam Luther’s Works, ed. Jaroslav Pelikan (St. Louis, Mo.: Concordia Pub., 1967) 30:144))

Tanggapan kita umat Katolik:
Sesungguhnya keberadaan Petrus di Roma adalah sesuatu yang penting untuk membuktikan kepemimpinan Petrus pada Gereja awal. Sesuatu yang layak disayangkan adalah menyerahkan kepada setiap pribadi untuk menginterpretasikan ayat ini, tanpa mengindahkan bukti sejarah yang sudah dengan jelas menyatakan fakta yang sebenarnya bahwa memang Petrus pernah berada di Roma.

2. John Calvin (1509- 1564)

Dalam komentarnya terhadap teks 1 Pet 5:13, Calvin mengatakan, “Banyak dari para komentator kuno yang berpikir bahwa Roma di sini disimbolkan [dengan Babilon]. Para pengikut Paus (Papists) dengan gembira memegang komentar ini, sehingga Petrus kelihatannya sebagai sudah menjadi kepala Gereja Roma. Karakter yang buruk pada nama ini tidak menghalangi mereka asalkan mereka dapat meng-klaim gelar tersebut; tidak juga mereka mempunyai perhatian besar terhadap Kristus, asalkan Petrus ditinggalkan bagi mereka. Asalkan mereka dapat mempertahankan kursi Petrus, mereka tidak akan menolak untuk menempatkan Roma di daerah yang berhubungan dengan neraka (infernal regions). Tetapi komentar kuno ini tidak mempunyai warna kebenaran, tidak juga saya lihat bahwa ini disetujui oleh Eusebius dan lain-lainnya, kecuali bahwa mereka sudah disesatkan oleh kesalahan bahwa Petrus sudah pernah ke Roma…. adalah mungkin sekali bahwa ia [Petrus] ada di Babilon, dan ini sesuai dengan panggilannya, sebab kita mengetahui bahwa ia ditunjuk untuk menjadi rasul terutama bagi orang-orang Yahudi. Oleh karena itu, ia mengunjungi terutama bagian dunia yang terdapat sejumlah besar bangsa Yahudi.” ((Calvin, seorang bapa Teolog Reformasi, seperti dikutip oleh Stephen Ray, Upon the Rock, (San Francisco, Ignatius, 1999), p. 98-99))

Tanggapan kita umat Katolik:
Tanggapan di atas sepertinya mau mengatakan bahwa semua orang sampai abad ke 15  telah ‘tertipu’, seolah tidak ada yang mengerti fakta yang sesungguhnya, dan bahwa Calvin-lah yang mengetahui kebenaran tentang Petrus.  Calvin kelihatannya tidak menyadari akan banyaknya bukti yang menyatakan tentang fakta kehadiran Rasul Petrus di Roma. Memang mungkin ini disebabkan karena banyak dari teks-teks kuno para Bapa Gereja dan sejarahwan baru dapat diketahui dan diterjemahkan di abad-abad terakhir ini.  Pertanyaannya adalah apakah semua penulis di abad- abad awal ini menuliskan sesuatu yang salah tentang keberadaan Rasul Petrus di Roma? Jika fakta ini salah, mengapa tidak ada dokumen pada abad itu yang menentang pernyataan tersebut? Mengapa bahkan sekte sesat/ bidaah sekalipun tidak ada yang menuliskan protes tentang hal kepemimpinan Rasul Petrus di Roma? Mengapa tidak ada kota lain yang meng- klaim tulang- tulang Rasul Petrus?

Cukup menarik di sini bahwa Calvin tidak memberikan bukti yang menentang keberadaan Petrus di Roma. Ia hanya memberikan alasan bahwa sudah selayaknya Petrus berkhotbah kepada bangsa Yahudi, mengingat tugas utamanya adalah untuk mengajar umat Yahudi, dan karenanya ia tidak mungkin ke Roma. Namun alasan ini tidak tepat, sebab ahli sejarah Paul Johnson mengatakan bahwa diaspora (penyebaran bangsa Yahudi) terjadi sangat cepat pada abad pertama. “Strabo, seorang ahli geografi Roma (60BC- 21AD) mengatakan bahwa bangsa Yahudi adalah sebuah kekuatan bagi seluruh dunia yang berpenghuni…. Mereka telah berada di Roma, selama 200 tahun dan saat itu telah membentuk koloni yang substansial di sana; dan dari Roma mereka telah menyebar ke seluruh kota di Italia, dan lalu ke Gaul dan Spanyol dan menyeberangi laut ke barat laut Afrika.” ((Paul Johnson, A History of the Jews (New York: Harper & Row, 1987), 132)).

Kenyataannya, pengaruh orang-orang Yahudi begitu kuatnya di Roma, sehingga Suetonius mengatakan, “Karena orang-orang Yahudi terus membuat gangguan atas pengaruh ‘Chrestus’, Claudius (41-57) mengusir orang-orang Yahudi ini dari Roma.” ((Eerdman’s Handbook to the History of Christianity, ed. Tim Doley (Grand Rapids, Michigans: Eerdmans, 1977), p. 53)). Para ahli sejarah memperkirakan bahwa pada sekitar tahun 49 terjadilah pengusiran orang-orang Yahudi tersebut, di mana para penguasa Roma saat itu mengira bahwa Petrus adalah ‘Chrestus’ yang mendirikan agama Kristen. (lihat Kis 18:12)

Selanjutnya Peter Davids, seorang ahli Kitab Suci Protestan, mengkoreksi Calvin, dengan mengatakan, “Secara natural memang mungkin saja ‘Babilon’ dapat berarti kota Babilon yang berada di Mesopotamia…. namun pada masa pemerintahan Claudius, komunitas Yahudi sudah meninggalkan Babilon untuk menuju ke Seleucia (Josephus, Antiquities of the Jews. 18.9.8-9), dan itu adalah kurang lebih waktu yang sama saat Petrus meninggalkan Yerusalem setelah penganiayaan yang diadakan atas perintah Kaisar Herodes Agrippa I. Selanjutnya, Babilon mulai punah/ menurun secara umum pada abad pertama sehingga pada tahun 115 bangsa Trajan menemuinya sebagai kota hantu (Dio Cassius, Roman History 68.30). Akhirnya, tidak ada tradisi Siria yang mengatakan bahwa Rasul Petrus pernah melakukan perjalanan/ tinggal di deareh Mesopotamia. Maka kemungkinan besar Rasul Petrus tidak ada di Babilon pada saat yang sama dengan Silwanus (yang kita ketahui melakukan perjalanan ke Asia kecil dan Yunani bersama dengan Paulus). Ini menyebabkan Roma sebagai satu-satunya kemungkinan. Bahwa Roma disebut sebagai Babilon telah dikenal oleh sumber- sumber kalangan Yahudi dan Kristen.” ((Peter Davids, The Epistle of Peter, The New International Commentary on the New Testament (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1990), p 202.

3. Lorraine Boettner (1901-1990)

Karl Keating, seorang Apologist Katolik menulis, “Roman Catholicism disebut sebagai “kitab suci” dari gerakan anti Katolik di antara kaum Fundamentalis. Di buku ini posisi anti Katolik diekspresikan dengan panjang lebar. Roman Catholicism ini layak dicermati, sebab kredibilitas gerakan anti- Katolik ini telah tergantung dari kredibilitas satu buku ini.” ((Karl Keating, Catholicism and Fundamentalism (San Francisco: Ignatius Press, 1988), p. 28.))

Boettner mengatakan, “Menurut Tradisi Katolik Roma Petrus adalah Uskup pertama di Roma, dan masa pontifikatnya berlangsung selama 25 tahun dari tahun 42-67, dan ia dibunuh sebagai martir pada tahun 67…. ((Gereja Katolik tidak pernah mengeluarkan pernyataan secara definitif dan infallible tentang masa kronologis kepemimpinan Rasul Petrus.  Boettner mengutip sumber dari Confraternity Bible, tentang 1 Peter, namun data ini hanya dimaksudkan sebagai garis besar dan merupakan interpretasi berdasarkan penyelidikan sejarah, dan bukan pernyataan resmi Gereja Katolik. Yang diajarkan oleh Gereja Katolik adalah bahwa Yesus mempercayakankan kepemimpinan kepada Rasul Petrus, sebagai “Batu Karang” Gereja (lih. KGK 881), dan Paus, yaitu uskup Roma sebagai penerus Rasul Petrus merupakan sumber dan pondasi yang berkelanjutan dan kelihatan bagi kesatuan antara semua uskup dan semua umat beriman (KGK 882) )) Namun demikian, herannya, kitab Perjanjian Baru tidak mengatakan apa- apa tentang kepemimpinan Petrus sebagai uskup. Perkataan Roma disebutkan selama sembilan kali di Kitab Suci dan tidak pernah disebutkan Petrus berkaitan dengannya…. Tidak ada bukti di kitab Perjanjian Baru atau bukti sejarah apapun yang mengatakan bahwa Petrus berada di Roma. Semuanya hanya legenda… Tetapi tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa ‘Babilon’ berarti ‘Roma’.” ((Lorraine Boettner, Roman Catholicism, Philadelphia: Presbyterian and Reformed Pub,, 1962) p. 117, 120))

Tanggapan kita umat Katolik:
Selayaknya kita bertanya bukti seperti apa lagi yang dikehendaki oleh Boettner, karena sesungguhnya bukti-bukti itu sudah sangatlah jelas, silakan klik di artikel Keutamaan Paus bagian- 2, untuk melihat contohnya. Apakah Boettner menganggap bahwa semua pengajaran Bapa Gereja pada abad- abad awal sebagai legenda? Jika ya, mengapa ia mempercayai doktrin mengenai Trinitas, ke-Allahan Yesus dan kanon Kitab Suci yang ditetapkan oleh para Bapa Gereja di abad- abad awal?

Walaupun Kisah Para Rasul menceritakan hal-hal yang terjadi dalam tiga dekade pertama setelah kenaikan Yesus ke surga, harus tetap diakui, ada banyak hal-hal yang tidak sempat tertulis di sana. Tahun- tahun Rasul Petrus tidak tertulis di sana, sama seperti detail pelayanan para rasul yang lainnya. Namun para jemaat pertama tersebut mengetahui bahwa sumber kebenaran iman tak melulu tergantung dari “kitab suci” semata, karena pada saat itu Kitab Suci juga belum secara mudah mereka dapatkan. Mereka bertumbuh di dalam iman melalui pengajaran lisan para rasul dan para Bapa Gereja. Maka sesungguhnya di sini, bukan tugas umat Katolik untuk membuktikan keberadaan Rasul Petrus di Roma, karena bukti dan tulisan-tulisan para Bapa Gereja telah sedemikian jelasnya membuktikan hal tersebut. Seharusnya mereka yang menentang kebenaran ini yang harus memberikan bukti/ sumber yang menentangnya, dan inilah yang tidak pernah ada.

Jadi, menarik untuk diamati bahwa seperti halnya Calvin, Boettner juga tidak menyertakan sumber ataupun tradisi mana yang mendukung keyakinannya, yang menentang keberadaan Petrus di Roma. Ia hanya menyatakannya pandangannya untuk mendukung paham Fundamentalis, dan menutup mata terhadap segala bukti yang menunjukkan sebaliknya.

4. Harry A. Ironside (wafat 1951) dan Jimmy Swaggart (1935-)

Ironside adalah pastor dari Moody Memorial Church dan Swaggart adalah seorang pengarang dan tele-evangelist. Keduanya adalah penulis dan pengkhotbah yang menentang keberadaan Petrus di Roma. Swaggart mengatakan, “Petrus mungkin pernah mampir atau mengunjungi Roma, tetapi tidak ada tanda bukti Alkitabiah untuk mengkonfirmasi hal ini…. [Mengacu kepada surat Rasul Paulus kepada umat di Roma] Karena Petrus tidak disebutkan di sini oleh Paulus, maka dapat disimpulkan dengan kepastian bahwa ia tidak berada di sana pada saat itu! Ini tentu merendahkan pondasi dari jalur apostolik dari uskup Roma. Jika Petrus berada di Roma sebagai uskup (seperti diklaim oleh Gereja Roma) ia akan disapa pertama kali oleh Paulus! Oleh karena itu adalah buang-buang waktu untuk memperhitungkan teori yang tak berdasar ini….!” ((Jimmy Swaggart, Catholicism & Christianity (Baton Rouge, La. :Jimmy Swaggart Ministries, 1986) 23-24))

Tanggapan kita umat Katolik:
Baik Ironside maupun Swaggart hanya mendasarkan pandangannya dari apa yang tertulis di Kitab Suci saja, tanpa memperhatikan bukti- bukti sejarah lainnya yang menunjukkan dengan sangat kuat tentang keberadaan Petrus di Roma. Mereka, seperti tokoh Protestan lainnya, hanya berpegang pada paham “silence in Scripture” tanpa memberikan bukti sumber lainnya yang mendukung pandangan mereka. Dengan demikian, mereka hanya mengatakannya atas dasar pandangan pribadi, dan mengabaikan fakta sejarah umat Kristen.

Mengapa Petrus tidak disebutkan dalam Surat kepada jemaat di Roma

Kenyataan bahwa Petrus tidak disebut di dalam surat rasul Paulus kepada jemaat di Roma, itu tidak menjadi bukti yang kuat bahwa Petrus tidak ada/ tidak pernah ke Roma. Terdapat beberapa kemungkinan mengapa nama Petrus tidak disebutkan di sini: ((Michael Grant, Saint Peter (New York: Scribner’s, 1995)p. 147-151))

1. Rasul Petrus melakukan perjalanan dengan sangat ekstensif pada saat itu.
Maka dapat diperkirakan bahwa ia mengadakan perjalanan ke daerah-daerah yang lain sementara menggunakan Roma sebagai “home base“, atau ia membantu Gereja dari daerah lain. Karena ia diberi tugas untuk mengabarkan Injil kepada umat Yahudi, maka ia akan merasa wajib untuk mengunjungi daerah-daerah di mana ada kaum diaspora Yahudi. Dalam hal ini Roma merupakan kemungkinan besar, karena sejumlah besar kaum Yahudi di sana. Roma yang juga adalah pusat kerajaan Romawi, juga menjadi pusat Gereja. Kita ketahui dari surat Rasul Paulus bahwa Rasul Petrus melakukan perjalanan untuk pewartaan Injil, disertai oleh istrinya (1 Kor 9:5).

2. Juga, kemungkinan pada tahun 49, Rasul Petrus, bersama dengan orang- orang Yahudi lainnya diusir keluar Roma oleh Kaisar Claudius, dan hanya menyisakan sejumlah jemaat Kristen non- Yahudi. Kita mengetahui dari bukti sejarah bahwa pada tahun itu terjadi kesalahpahaman dari pihak Kaisar Roma (Claudius) bahwa terjadi keributan yang disebabkan oleh seorang “Chrestus”, yang kemungkinan mengacu pada Kristus, di mana Petrus adalah pemimpinnya, yang dianggap sebagai sekte Kristus Yahudi oleh pemimpin kerajaan Roma. Keadaan ini ditulis juga di Kis 18:12. ((Lihat. Suetonius, Life of Claudius, “The Twelve Caesars”, chap. 25, sect 4)

3. Penganiayaan umat Kristen adalah suatu realitas yang mengenaskan pada abad pertama; dan bahwa pasti ada hukuman mati bagi seseorang yang menjadi uskup di Roma. ((Selama 250 tahun Kaisar Romawi berusaha menghancurkan agama Kristen melalui penganiayaan. Ketakutan Kaisar Roma seperti yang dikatakan oleh Kaisar Decius adalah, “Lebih baik bagiku untuk menerima kabar saingan terhadap tahtaku daripada sebuah kabar adanya uskup Roma yang baru.” (seperti dalam Christian History, issue 27, “Persecution in the Early Church” (1990, vol. IX., no. 3) p.22. Tak heran bahwa selama 200 tahun semua Paus, kecuali satu, wafat sebagai martir (lihat Fr. Frank Cachon dan Jim Burnham, Beginning Apologetics 1, Farmington, NM: San Juan Catholic Seminars 1993-1998), p. 17))  Tak ada seorang Kristen-pun yang ingin mengekspos Petrus atau pemimpin yang lain terhadap ancaman hukuman ini, membuat mereka menjadi sasaran bagi kerajaan Roma. Dengan demikian, adalah bijaksana bagi rasul Paulus untuk tidak menyebutkan Rasul Petrus dalam suratnya yang dapat jatuh ke tangan penguasa Roma, sebab jika tidak, pendirian Gereja di Roma akan menjadi berantakan jika dokumen itu jatuh ke tangan orang Roma yang membenci Gereja. “Orang- orang Kristen saat itu sangat berhati-hati untuk tidak membiarkan gerakan-gerakan dan tindakan- tindakan para Uskup mereka diketahui oleh pihak penguasa negara pagan tersebut. Pernyataan Rasul Paulus bahwa ia tidak akan membangun pada ‘pondasi yang sudah diletakkan oleh orang lain’ adalah referensi yang cukup memadai bagi mereka yang kepadanya surat itu dituliskan. ((Leslie Rumble, Radio Replies, ed. with Charles M/ Carty (1938: reprint, Rockford, III: TAN Books, 1979), 2:92)).

4. Ada kemungkinan, Rasul Paulus menuliskan suratnya kepada sebuah kelompok khusus dalam komunitas Kristen di Roma. Sebab di sini ia tidak menyebut komunitas tersebut sebagai ‘Gereja’ seperti yang disebutkan pada surat- suratnya yang lain, namun hanya secara umum ‘semua yang di Roma’.

5. Seperti telah disebutkan di point 3, ada kemungkinan juga Rasul Paulus sudah menyebutkan Rasul Petrus walau secara terselubung, “….aku telah memberitakan sepenuhnya Injil Kristus. Dan dalam pemberitaan itu aku menganggap sebagai kehormatanku, bahwa aku tidak melakukannya di tempat-tempat, di mana nama Kristus telah dikenal orang, supaya aku jangan membangun di atas dasar, yang telah diletakkan orang lain, …Itulah sebabnya aku selalu terhalang untuk mengunjungi kamu. Tetapi sekarang, karena aku tidak lagi mempunyai tempat kerja di daerah ini dan karena aku telah beberapa tahun lamanya ingin mengunjungi kamu, aku harap dalam perjalananku ke Spanyol aku dapat singgah di tempatmu dan bertemu dengan kamu, sehingga kamu dapat mengantarkan aku ke sana, setelah aku seketika menikmati pertemuan dengan kamu.” (Rom 15: 19-20, 22-24) Ayat ini menunjukkan bahwa seseorang rasul yang lain telah membangun Gereja (lih. Ef 2:20) di Roma. Karenanya Rasul Paulus percaya bahwa Gereja di Roma telah dibangun dengan baik, dan hanya bermaksud singgah saja dalam perjalanannya ke Spanyol (Rom 15:24, 28).

Menarik di sini untuk melihat bahwa Calvin telah menolak bahwa Rasul Petrus pernah ke Roma, dan menyebutkan bahwa yang tidak setuju dengannya sebagai ‘tersesat’. Namun dalam komentarnya terhadap ayat 1 Kor 15 tersebut, Calvin mengatakan, “… kita dapat menganggap bahwa para rasul adalah para pendiri Gereja, sementara para pastor yang meneruskan mereka mempunyai tugas untuk menjaga dan meningkatkan struktur yang telah didirikan oleh mereka (para rasul). Rasul Paulus mengacu kepada pondasi yang telah didrikan oleh seorang  rasul lainnya sebagai ‘pondasi yang diletakkan oleh orang lain’. ((Calvin’s New Testament Commentaries, trans. T.H. L. Parker (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1965)). Maka memang pertanyaannya adalah siapakah rasul lain yang sudah mendirikan Gereja di Roma sebelum Rasul Paulus mengunjungi Roma? Tentunya ini mudah dijawab dan diketahui seandainya seseorang mau mempelajari Kitab Suci dan kaitannya dengan fakta sejarah dan tulisan para Bapa Gereja, bahwa ‘seorang rasul lain’ yang telah mendirikan Gereja di Roma, adalah Rasul Petrus.

Di atas adalah beberapa kemungkinan yang dapat terjadi, sehingga Rasul Petrus tidak dituliskan di dalam surat Rasul Paulus kepada umat di Roma. Kita harus mengakui bahwa Kitab suci memang secara relatif tidak menuliskan banyak tentang akhir hidup para rasul, termasuk di antaranya tahun- tahun terakhir Rasul Petrus dan Paulus. Di sinilah peran sejarah dan tradisi Gereja awal untuk menjelaskannya. Tradisi ini tidak dipermasalahkan selama 16 abad, dan baru setelah ada Reformasi, keberadaan rasul Petrus di Roma dan keutamaannya sebagai pemimpin para rasul dipertanyakan.

Kesimpulan

Sebagai kesimpulan, mari melihat kepada kutipan berikut ini

1. Encyclopedia Britannica memberi komentar terhadap ekskavasi/ penggalian di Roma, yang mengkonfirmasi keyakinan jemaat Kristen awal bahwa Rasul Petrus dibunuh sebagai martir di Roma dan dikuburkan di Roma di bawah basilika St. Petrus, yang dulunya adalah bukit Vatikan dekat dengan Nero’s Circus. John Evangelist Walsh, dalam bukunya The Bones of St. Peter, memberikan penjabaran lengkap tentang penggalian selama 30 tahun di bawah Vatikan dan penemuan serta otentifikasi dari tulang-tulang Rasul Petrus. ((John Evangelist Walsh, The Bones of St. Peter, (Garden City, N.Y: Image Books, 1985)). Oscar Cullman, seorang Teolog Lutheran mengatakan, “Penggalian-penggalian tersebut menyatakan bukti yang mendukung laporan bahwa tempat pelaksanaan hukuman mati Rasul Petrus adalah di daerah Vatikan.” ((Oscar Cullman, Peter: Disciple, Apostle, Martyr, trans. by Floyd V. Filson (Philadelphia: Westminster Press, 1953), 152))

2. Oscar Cullman mengatakan, “Dalam periode mendatang, penolakan terhadap tradisi Roma tentang Petrus secara umum sudah hampir tidak ada lagi. Orang- orang seperti Ernest Renan menganggap sebagai suatu fakta bahwa Petrus pernah berada di Roma. Tahun 1897, Teolog Protestan dan sejarahwan A. Harnack menuliskan pernyataan yang jelas bahwa penolakan terhadap keberadaan Petrus di Roma sebagai ‘sebuah kesalahan yang begitu jelas sekarang bagi setiap scholar yang tidak buta’….” Akhirnya Cullman menyimpulkan bahwa bahkan di antara umat Protestan, “kecenderungan umum adalah untuk menerima bahwa Petrus [pernah] tinggal di Roma.” ((Oscar Cullman, Peter, 74-77). Jadi kesimpulannya, menurut Cullman, “…sepanjang hidupnya, Petrus memegang posisi yang penting di antara para rasul; bahwa setelah kematian Kristus, ia memimpin gereja di Yerusalem di tahun-tahun pertama; bahwa ia lalu menjadi pemimpin misi bagi kaum Kristen Yahudi; bahwa dalam kapasitas ini, pada waktu yang tidak dapat secara persis ditentukan, tetapi kemungkinan terjadi menjelang kematiannya, ia datang ke Roma dan di sana, setelah bekerja dalam waktu yang singkat, wafat sebagai martir di bawah kekuasaan Nero.” ((Ibid., 152))

3. Akhirnya, seorang ahli Kitab Suci Protestan yang bernama F.F. Bruce menyimpulkan dengan mengutip perkataan Hans Lietzmann, demikian, “…. Semua sumber awal sekitar tahun 100 menjadi jelas dan mudah dimengerti, dan sesuai dengan konteks sejarah dan satu dengan lainnya, jika kita menerima apa yang mereka sampaikan dengan sederhana kepada kita, -yaitu bahwa Petrus datang ke Roma dan wafat sebagai martir di sana. Dugaan apapun yang lain tentang kematian Petrus [selain dari yang disebutkan di atas] menumpukkan banyak kesulitan di atas kesulitan dan tidak dapat didukung oleh satu dokumenpun.” ((Hanz Lietzmann, Petrus und Paulus in Rome (Berlin, 1927), 238, seperti dikutip oleh Bruce, dalam Peter, Stephen, James and John (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1979), 49))

[bersambung ke artikel Keutamaan Paus (4): menurut Dokumen ter-awal Gereja ]

Keutamaan Petrus (2): Bukti sejarah tentang keberadaan Rasul Petrus di Roma

17

Pendahuluan

Salah satu pandangan yang menolak keutamaan Paus mengatakan bahwa Petrus tidak pernah ke Roma dan karenanya tidak mungkin mendirikan Gereja di Roma. Alasannya, karena di Kitab Suci tidak tertulis eksplisit demikian. Artikel ini memaparkan kenyataan yang sebaliknya. Bahwa meskipun tidak secara tertulis dengan detail di Kitab Suci, fakta sejarah dan bukti tulisan para Bapa Gereja menyatakan bahwa Petrus pernah beberapa kali ke Roma, dan akhirnya wafat di sana sebagai martir.

Pertama- tama kita harus menyadari bahwa Kitab Suci bukanlah merupakan buku sejarah di mana segala fakta harus lengkap tersusun secara kronologis. Namun apa yang tidak tercatat di Kitab Suci bukannya berarti tidak terjadi. Untuk mengetahui hal ini, maka di samping membaca Kitab Suci, kita perlu melihat bukti-bukti yang lain yaitu bukti sejarah dan tulisan para Bapa Gereja. Berikut ini saya sertakan tulisan yang mengambil sumber utama dari Stephen K. Ray, Upon This Rock, (San Francisco: Ignatius, 1999).

Pelayanan Rasul Petrus setelah Pentakosta

Rasul Petrus memulai karya Apostoliknya di Yerusalem, untuk memberitakan Injil kepada umat Yahudi. Iapun mengadakan perjalanan ke Samaria, untuk memperkenalkan Keselamatan kepada orang-orang Samaria (Kis 8:4-25), Yoppa (Kis 32-43), dan Kaisarea. Ia lalu membaptis Kornelius, seorang pemimpin prajurit Roma. Kemudian ia kembali ke Yerusalem untuk memberitakan bahwa bangsa- bangsa lain (non- Yahudi) telah menerima Injil dan menerima Roh Kudus seperti mereka para murid yang adalah bangsa Yahudi (Kis 10:40; 11:18).

Kemudian kita ketahui terjadi penganiayaan di Yerusalem, dan Rasul Yakobus dipenggal oleh Kaisar Herodes Agrippa (42-44AD) (Kis 12:2). Petrus lalu dipenjara dan secara ajaib dibebaskan oleh seorang malaikat (Kis 12:7), Petrus kemudian ke Yerusalem (sekitar 44), dan kemudian berangkat ke tempat lain (Kis 12:7), maka kita mengetahui bahwa Petrus memang terus menerus mengadakan perjalanan untuk menyebarkan Injil di daerah Timur, dan tinggal cukup lama di Antiokhia (Gal 2:11-21). Selama masa ini juga Petrus mengadakan perjalanan ke Roma, seperti yang nanti akan dijabarkan lebih lanjut. Ia juga menjelajahi daerah Asia Kecil: Pontus, Galatia, Kapadosia, Asia dan Bitinia (1 Pet 1:1), juga Korintus.

Sejarah juga mencatat Petrus sebagai pemimpin Gereja di Antiokhia. ((Eusebius, Church History 3, 36, NPNF2, 1:166 dan Origen, In Lucam, Homily 6, 938A: Petrus menunjuk Evodius untuk menggantikannya sebagai Uskup di Antiokhia, Evodius digantikan oleh Ignatius yang kemudian menjadi martir di Roma tahun 106)) Selanjutnya, Rasul Petrus kembali ke Yerusalem untuk menghadiri Konsili Yerusalem pertama (49-51). Konsili ini diadakan sekitar 8 tahun setelah wafatnya Yakobus Rasul saudara Rasul Yohanes (St. James the Greater) yang wafat sebagai martir sekitar tahun 44, di masa pemerintahan raja Herodes Agrippa I. Rasul Yakobus yang berbicara dalam Konsili Yerusalem adalah kerabat Yesus, anak Alfeus, yang menjadi uskup Yerusalem (St. James the Less), yang menutup sidang Yerusalem berdasarkan arahan Rasul Petrus (lih. Kis 15: 6-20).

Setelah Konsili Yerusalem, memang tak banyak ayat Kitab Suci yang menuliskan keterangan tentang Rasul Petrus dan perjalanannya, kecuali suratnya sendiri yang dikatakannya ditulis dari Babilonia, yang menjadi sebutan kota Roma pada saat itu (1 Pet 5:13). Meskipun tahun-tahun akhir hidupnya tidak ditulis di kitab PB, namun tulisan-tulisan para Bapa Gereja dan bukti sejarah sangat jelas mengacu kepada fakta bahwa Rasul Petrus memang pernah tinggal di Roma, mendirikan Gereja di Roma, dan akhirnya wafat di sana sebagai martir.

Berikut ini adalah daftar perjalanan Rasul Petrus, menurut para ahli sejarah, dan juga berdasarkan Alkitab: ((sumber: Warren Carroll, The Founding of Christendom, A History of Christendom, vol.1., Front Royal, Va: Christendom College Press, 1985, p. 422))

Pelayanan Apostolik St. Petrus (30-67)

Tahun 30 Kematian, kebangkitan dan kenaikan Kristus, Pentakosta
30-37 Petrus memimpin Gereja di Yerusalem.
38-39 Perjalanan Petrus di Samaria dan di pantai Palestina.
40-41 Petrus di Antiokhia
42 Dipenjara di Yerusalem, dibebaskan, dan keberangkatan ke tempat lain
42-49 Persinggahan yang pertama di Roma
49 Diusir dari Roma oleh edict Claudius yang menentang kaum Yahudi
49-50 Di Yerusalem, dalam Konsili Apostolik [seperti tertulis dalam Kis 15].
50-54 Di Antiokhia, Bitinia, Pontus, Asia dan Kapadokia
54-57 Persinggahan yang kedua di Roma: Injil Markus ditulis di bawah pengarahan Petrus
57-62 Di Bitinia, Pontus dan Kapadokia, Markus di Alexandria, Mesir
62-67 Persinggahan yang ketiga di Roma, menuliskan surat 1 Pet dan 2 Pet Markus ada bersama Petrus di Roma.
67 Dibunuh sebagai martir di Roma, dikuburkan dekat Nekropolis di Vatikan.

Bagaimana Kitab Suci menuliskan keberadaan Petrus di Roma dan kematiannya di sana

1. Surat Petrus yang pertama mengatakan,

“Dari Petrus, rasul Yesus Kristus, kepada orang-orang pendatang…. Dengan perantaraan Silwanus, yang kuanggap sebagai seorang saudara yang dapat dipercayai, aku menulis dengan singkat kepada kamu untuk menasihati dan meyakinkan kamu,… Salam kepada kamu sekalian dari kawanmu yang terpilih yang di Babilon, dan juga dari Markus, anakku. (1 Pet 1:1, 5:12-13)

Babilon di sini merupakan istilah/ sebutan bagi kota Roma. Sebab Roma telah menganiaya Gereja, sebagaimana Babilon telah menganiaya umat Allah di jaman PL (2 Raj 24). Umat Yahudi saat itu menyebut kota Roma sebagai Babilon ((lihat Orac, Sybil.5, 159-; 4 Esdras 3:1; Apoc. Baruch, vis. 2,1; Why 14:8; 16:19; 17:5; 18:2,10,21)), karena melihat kesamaan ciri- ciri antara Babilon [kota dunia yang tak bermoral, sombong, tak ber-Tuhan] yang disebut oleh para nabi (Yes 13; 43:14; Yer 50:29; 51:1-58) dengan kota Roma pada saat itu.

Menjelang kematiannya, Rasul Petrus menulis demikian, “Sebab aku tahu, bahwa aku akan segera menanggalkan kemah tubuhku ini, sebagaimana yang telah diberitahukan kepadaku oleh Yesus Kristus, Tuhan kita.” (2 Pet 1: 14)

2. Injil Yohanes menuliskan bahwa Tuhan Yesus sudah menubuatkan kematian Petrus, demikian:

“Sesungguhnya ketika engkau masih muda engkau mengikat pinggangmu sendiri dan engkau berjalan ke mana saja kaukehendaki, tetapi jika engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak kaukehendaki. Dan hal ini dikatakan-Nya untuk menyatakan bagaimana Petrus akan mati dan memuliakan Allah. Sesudah mengatakan demikian Ia berkata kepada Petrus: “Ikutlah Aku.” (Yoh 21:18-19).

Injil Yohanes ditulis tahun 90-100, sekitar 30 tahun setelah Petrus wafat sebagai martir. Pada saat Yesus mengucapkan nubuat itu, tentu Rasul Yohanes belum sepenuhnya memahami, tetapi ketika sudah digenapi, ia menyadari bahwa perkataan itu mengisahkan bagaimana Petrus akan mati. Tradisi mengatakan Petrus mati disalib terbalik, pada jaman Kaisar Nero (64-67). Jadi perkataan Yesus, “Ikutlah Aku” tidak saja berupa ajakan untuk mengikuti-Nya dalam kehidupan, tetapi juga dalam kematian-Nya, yaitu dengan cara disalibkan. Di sini, Petrus sesungguhnya memenuhi janjinya kepada Yesus untuk memberikan nyawanya bagi-Nya (Yoh 13:37).

Bukti- bukti bahwa Rasul Petrus mendirikan gereja Roma dan akhirnya mati di sana

1. St. Klemens dari Roma, dalam suratnya yang pertama kepada jemaat di Korintus (96): ((1 Klemens 5: 1-6. Klemens adalah murid rasul Petrus dan ditahbiskan oleh Petrus, mengisahkan peran Petrus dan kematiannya))

“…. Perhatikanlah teladan yang luhur dari generasi kita sendiri… Pilar yang terbaik [yaitu Gereja Roma] telah dianiaya…. Mari memusatkan mata hati kita kepada Rasul-rasul yang baik itu: Petrus, yang menderita… tidak hanya mengalami satu atau dua kali tetapi banyak kesulitan, dan karenanya pergi ke tempat kemuliaan yang sesuai…. Paulus menunjukkan jalan kepada penghargaan atas ketahanan [iman]… telah beralih dari dunia ini ke tempat yang suci… Terhadap kedua orang ini yang telah hidup dalam kekudusan harus ditambahkan banyak sekali orang yang menderita penganiayaan… yang menjadi contoh yang bersinar di tengah-tengah kita.”

Kesaksian St. Klemens ini penting, karena St. Klemens adalah Paus yang ketiga setelah Rasul Petrus. Urutan Paus: Petrus (sampai 67), Linus (67-79, lih. 2 Tim 4:21),  Anacletus (79-85) dan Klemens (85-96). ((Urutan ini diketahui dari tulisan St. Irenaeus, dalam Against Heresies, 3,3,3, ANF, 1:416))

2. St. Ignatius dari Antiokhia (35-107), Uskup Antiokhia, yang adalah murid Rasul Yohanes, dan kemungkinan juga adalah murid rasul Petrus, karena Petruspun pernah tinggal di Antiokhia. Sebelum wafatnya sebagai martir di Roma, ia menulis 7 surat yaitu kepada gereja- gereja di Ephesus, Magnesia, Tralles, Philadelphia, Smyrna, kepada Polycarpus, dan  juga gereja Roma. Topik suratnya antara lain mengenai kelahiran Yesus, hirarki, Ekaristi, Kehadiran Yesus yang nyata dalam Ekaristi. St Ignatius adalah Bapa Gereja pertama yang menggunakan istilah “katolik” untuk menjelaskan Gereja universal untuk membedakannya dari gereja heretik yang bersifat lokal. Kepada semua gereja itu, ia memerintahkan kesatuan dan harmoni, kecuali kepada gereja di Roma, karena ia mengetahui bahwa gereja Roma telah mempunyai otoritas dari para Rasul:

“Ignatius, yang juga disebut Theoforus, kepada Gereja yang telah menerima belas kasihan di dalam Kemuliaan yang transenden… yang juga memimpin di tempat utama di daerah kekuasaan Roma… Tidak seperti Petrus dan Paulus, saya tidak mengeluarkan perintah kepadamu….”

3. St. Papias (60-130) murid Rasul Yohanes yang menjadi Uskup Hieropolis, dan St. Klemens dalam bukunya Hypotyposes, seperti dikutip oleh Eusebius (325), menyetujui bahwa Markus disebut dalam surat Rasul Petrus yang pertama, yang ditulis di Roma, yang disebut sebagai Babilon. ((Church History 2, 15, NPNF 2, 1:116))

4. Phlegon (117-138 masa Kaisar Hadrian) seperti dikutip oleh Origen.

“Phlegon, (Kaisar Hadrian diperkirakan menulis dengan nama budak yang dikasihinya ini) dikatakan oleh Origen sebagai “salah sangka/ mencampur adukkan” antara Yesus dengan Petrus di dalam tulisannya. Ini adalah sangat penting karena itu membuktikan bahwa Petrus pada saat itu telah dikenal luas di Roma, sampai kaisarpun menyangka bahwa Petrus adalah yang mendirikan iman Kristiani. ((lih. Origen, Against Celsus 2, 14, ANF 4:437, lih. NPNF 2, 1:129, n.7)).

5. St. Dionisius (166-174) Uskup Korintus, menulis kepada Paus Soter di Roma, seperti yang dikutip oleh Eusebius:

“Bahwa keduanya baik Petrus dan Paulus sama-sama wafat sebagai martir … ditegaskan kembali oleh Uskup Dionisius, kepada suratnya kepada gereja Roma, “Kamu juga telah, dengan teguranmu, menghasilkan tanaman yang telah ditaburkan oleh Petrus dan Paulus di Roma dan Korintus, sebab mereka berdua telah menanam di Korintus dan mengajar kami, dan keduanya juga mengajar di Italia, dan wafat sebagai martir pada saat yang sama.” ((The Letter of Dionysius of Corinth to Soter of Rome, yang dikutip oleh Eusebius, History of the Church, 2, 25, 8 in Jurgens, Faith of the Early Fathers, 1:45))

6. Gaius (Caius, 198-217) seorang Imam Roma:

“…Ia (Nero) membantai para rasul. Oleh karena itu, tertulis bahwa Paulus dipenggal kepalanya di Roma dan demikian juga Petrus disalibkan di bawah kepemimpinan Nero. Tentang Petrus dan Paulus ini sesuai dengan fakta bahwa nama mereka tetap ada di kuburan sampai saat ini. Ini juga dikonfirmasikan oleh Caius, anggota gereja Roma, di bawah kepemimpinan Zephyrinus, Uskup Roma (198-217)…..Saya dapat menunjukkan kubur para rasul itu, sebab jika kamu ke Vatikan atau ke jalan Ostian, kamu akan menemukan kubur mereka yang meletakkan dasar Gereja ini.” ((Bagian dari tulisan Disputation with Proclus, yang dikutip Eusebius, Church History 2, 25,5, NPNF2, 1:129-30))

Dari tulisan ini kita ketahui bahwa lokasi kuburan dua rasul tersebut telah dihormati dan dikenal cukup luas di Roma. Ia tidak mungkin mengatakan hal ini dengan begitu yakin jika fakta yang sesungguhnya tidak demikian.

7. St. Irenaeus (130-200), murid Polikarpus yang adalah murid Rasul Yohanes, Uskup Gaul:

“….Tradisi diperoleh dari para rasul, dari Gereja yang sangat besar, sangat ancient, sangat luas dikenal, yang didirikan dan diatur di Roma oleh kedua rasul yang sangat mulia, Petrus dan Paulus …. Para rasul yang terberkati ini, setelah mendirikan dan membangun Gereja, mempercayakannya ke tangan Linus jabatan episkopat….” ((St. Irenaeus, Against Heresies, 3,3,2-3, dalam ANF 1:415-16))

8. Tertullian (160-225). ((Sebelum Tertullian bergabung dengan bidaah Montanist, ia adalah seorang apologis Kristen yang handal. Maka Gereja Katolik memperhitungkan juga tulisan-tulisannya sebelum ia memisahkan diri dari kesatuan dengan Gereja Katolik)).

“Bergabunglah dengan Gereja- gereja para rasul, di mana kursi (cathedrae) Rasul masih ada; di mana tulisan-tulisan mereka yang otentik dibacakan…. Jika kamu ada di dekat Italia, kamu mempunyai Roma, yang dari mana otoritas kami berasal. Betapa bahagianya Gereja itu, yang kepadanya para Rasul menumpahkan darah mereka, Petrus menjalani kisah sengsara seperti Tuhan kita [disalibkan] dan Paulus dimahkotai dengan mati dipenggal seperti Yohanes Pembaptis.” ((Tertullian, The Demurrer against the Heretics 32, 1, in Jurgens, Faith of the Early Fathers 1: 122)).

“Di Roma Nero adalah yang pertama untuk menodai iman yang berkembang dengan darah. Petrus diikat oleh orang lain (Yoh 21:18), ketika ia dipaku di kayu salib. Paulus memperoleh kelahiran yang sesuai dengan kewarganegaraan Roma, ketika di kota itu ia dilahirkan kembali dengan kemartiran yang luhur.” ((Tertullian, Antidote against the Scorpion 15, 3, in Jurgens, Faith of the Early Fathers, 1:152.))

9. Origen dari Alexandria (185-254)

“Sementara itu para rasul yang kudus dan para murid Penyelamat kita tersebar ke seluruh dunia…. Parthia… ditentukan untuk Thomas, …Scythia untuk Andreas, Asia untuk Yohanes… Petrus…telah berkthotbah di Pontus, Galatia, Bitinia, Kapadosia, dan Asia kepada umat Yahudi yang tercerai berai. Dan akhirnya, setelah datang ke Roma, ia [Petrus] disalibkan terbalik, sebab ia memohon untuk disalibkan dengan cara demikian…. Paulus,[juga] menjadi martir di Roma, di bawah kekuasaan Nero. Fakta- fakta ini dikumpulkan oleh Origen…” ((Origen, Commentary on Genesis, seperti dijabarkan oleh Eusebius, Church History 3, 1, NPNF 2, 1:132-33)).

10. Eusebius, (260- 340) Uskup Caesarea dan Bapa Sejarah Gereja.

“Tahun kedua dari duaratus lima olympiad: Rasul Petrus, setelah mendirikan Gereja di Antiokhia, dikirim ke Roma, di mana ia tinggal sebagai uskup di kota tersebut, berkhotbah selama dua puluh lima tahun… Tahun ketiga dari duaratus lima olympiad: Markus Penginjil, interpreter Rasul Petrus mengabarkan Kristus ke Mesir dan Alexandria…. Tahun keempat dari duaratus sebelas olympiad: Nero adalah yang pertama… mengadakan penganiayaan umat Kristen, yang karenanya Petrus dan Paulus wafat dengan mulia di Roma.” ((Eusebius, The Chronicle 42, 43, 68, Jurgens, Faith of the Early Fathers, 1: 291))

“Di  jaman Claudius [Kaisar Roma, 41-54 AD], penyelenggaraan alam semesta…. membawa kepada Roma seorang rasul yang terkuat dan terbesar, yang dipilih untuk menjadi juru bicara dari rasul-rasul yang lain, yaitu Rasul Petrus… ” ((Eusebius, History of the Church, 2, 14, 6, Williamson trans, 49))

“Para pendengar Petrus di Roma yang yakin akan terang agama yang sejati, tidak puas dengan mendengarkan ajaran lisan tentang pesan ilahi, mereka memohon dengan secala cara untuk mempengaruhi Markus (yang Injilnya kita punyai sekarang), kerena ia adalah murid Petrus, untuk meninggalkan kepada mereka ringkasan tertulis tentang perintah-perintah yang telah mereka terima secara lisan,……dan oleh karena itu [ia] bertanggungjawab menuliskan apa yang kita kenal sebagai Injil Markus….. Klemens mengutip kisah ini dalam Outline buku VI, dan dikonfirmasi oleh Uskup Papias dari Hierapolis…, bahwa Markus disebut oleh Petrus di suratnya yang pertama, yang dikatakannya ditulis di Roma itu sendiri, seperti yang diindikasikan olehnya ketika ia menyebutkan kota itu secara figuratif sebagai Babilon.” ((Eusebius, History of the Church, 2, 15, Williamson trans, 49))

11. Petrus dari Alexandria (d. 311)

Petrus, Rasul yang dipilih pertama dari antara para rasul, setelah sering ditangkap dan dibuang di penjara, dan diperlakukan denga kejam, akhirnya disalibkan di Roma. Dan Paulus…, yang tahan dalam menghadapi berbagai kejahatan,…diserahkan kepada pedang dan dipenggal di kota yang sama.” ((Peter of Alexandria, Penance, canon.9, dalam Jurgen, Faith of the Early Fathers, 1:259))

12. Lactantius dari Afrika (240-320)

“Ketika Nero memerintah, Petrus datang ke Roma, melakukan banyak mukjizat yang dikerjakan oleh kuasa Tuhan yang diberikan kepadanya, mempertobatkan banyak orang kepada kebenaran dan mendirikan bait Allah yang kokoh dan teguh. Ketika hal ini dilaporkan kepada Nero, ia melihat bahwa tak hanya di Roma, tetapi dimana-mana sejumlah besar orang telah mencampakkan penyembahan berhala, dan… memeluk agama yang baru tersebut…. Ia [Nero] menugaskan untuk menghancurkan bait Allah dan kebenarannya. Ialah yang pertama-tama menganiaya para pelayan Tuhan. Petrus disalibkannya, dan Paulus dipancungnya.” ((Lactantius, The Deaths of the Persecutors 2, 5, ditulis 316 dan 320, dalam Jurgen, Faith of the Early Fathers, 1: 272)).

13. St. Cyril dari Yerusalem (315- 386)

“[Simon Magus], setelah diusir oleh para rasul, datang ke Roma …. Ia menipu kota Roma sehingga Claudius mendirikan patungnya yang bertuliskan, “Simoni Deo Sancto” (kepada Simon Tuhan yang kudus). Ketika penipuan meluas, Petrus dan Paulus, pasangan yang luhur, pemimpin Gereja, tiba [di Roma] dan meluruskan kesalahan …. Sebab Petrus ada di sana, yang membawa kunci-kunci Kerajaan Surga.” ((Catechetical Lectures 6, 14-15, NPNF 2, 7:37-38))

14. Paus St. Damasus I ( 304- 384)

“Rasul Paulus yang terberkati… dimahkotai dengan kematian yang agung bersama dengan Petrus di kota Roma pada jaman Kaisar Nero… keduanya sama-sama mengkonsekrasikan Gereja Roma kepada Kristus Tuhan; dan dengan kehadiran mereka  dan dengan kemenangan yang mereka capai di barisan terdepan mengatasi semua yang lain di semua kota di dunia. Oleh karena itu, keuskupan/ tahta suci yang utama adalah yang dipimpin Rasul Petrus di Gereja Roma, yang tidak mempunyai noda, atau cacat atau apapun yang sejenisnya.” ((St. Damasus I, Decree of Damasus, 3, 382, dalam Jurgens, Faith of the Early Fathers 1:406))

15. Doktrin Addai (Dokumen gereja Siria 400).

“[…. Aggai yang mentahbiskan imam-imam di Siria, dibunuh sebagai martir pada saat mengajar di gereja oleh anak Abgar. Penerusnya, Palut, diharuskan ke Antiokhia untuk menerima konsekrasi episkopal, yang diterimanya dari Uskup Serapion, Uskup Antiokhia] yang juga menerima penumpangan tangan dari Zephyrinus, Uskup dari kota Roma dari penerusan penumpangan tangan dari imamat  Simon Petrus (Kepha), yang diterimanya dari Tuhan kita, ia [Petrus] yang menjadi Uskup di Roma selama 25 tahun pada masa Kaisar Nero yang bertahta di sana selama 13 tahun lamanya.” ((Doctrine of Addai di Actholic Encyclopedia (New York: Robert Appleton Co., 1909), 5:88.))

Di sini terlihat bahwa sejak awal Gereja Siria mempunyai garis apostolik, dan pemimpinnya tidak saja menerima penumpangan tangan dari keuskupan Antiokhia, tetapi juga Roma.

16. Liber Pontificalis (abad 4, disusun sekitar abad 6,7) memuat kisah Kepausan

“Pada saat yang sama Kaisar Konstantin Agustus membangun, atas permohonan Uskup Silvester, sebuah basilika bagi Rasul Petrus yang terberkati…dibaringkan di sana jenazah Petrus… Peti mati ditutup di semua sisinya dengan tembaga…. Dan di atasnya ia membangun tiang-tiang porphyry… Ia membuat atap kubah di basilika, yang dilapis emas, dan di atas jenazah Petrus yang terberkati, di atas tembaga yang menutupinya, ia memasang sebuah salib dari emas murni, dengan berat 50 lbs…”

Adalah sangat tidak mungkin untuk meragukan bahwa pada abad ke- 4 Kaisar Konstantin memang telah membangun basilika bagi Rasul Petrus. Sebab pada saat abad 15-16, ketika basilika ini dirubuhkan untuk dibangun kembali menjadi basilika yang kita kenal sekarang, terlihat bahwa batu- batu bata yang digunakan memiliki cap Kaisar Konstantin abad ke-4. Pada tahun 1594, saat sedang menggali untuk pondasi untuk altar, para penggali menemukan lubang yang dalam, dan ketika disinari, terlihatlah sebuah salib emas [seperti deskripsi di atas] yang terletak di dasar lantai yang gelap. Paus Klemens VIII, yang dipanggil untuk menyaksikannya, memerintahkan agar lubang ditutup kembali …. Penemuan itu menunjukkan bahwa basilika tersebut memang telah dibangun di abad ke-4, untuk menghormati tempat Petrus dibunuh sebagai martir. ((lihat James Shotwell and Louise Ropes Loomis, The See of Peter, (1927, reprint, New York: Columbia Univ. Press, 1991), 102-3)).

17. Catalogus Liberianus (ditulis 354)

“….setelah kenaikan-Nya Petrus yang terberkati mendirikan episkopat…. Petrus, 25 tahun, 1 bulan, 9 hari, adalah Uskup dalam pemerintahan Kaisar Tiberius, dan Gaius, dan Tiberius Claudius dan Nero…. Ia [ Petrus] menderita bersama Paulus, 29 Juni, dalam pemerintahan Nero.” ((Catalogus Liberianus, dalam Shotwell and Loomis, The See of Peter, 107, ini cukup sesuai dengan kerangka tahun yang dibuat oleh Warren Carroll dalam bukunya, Founding of Christendom. Selanjutnya Catalogus Liberianus juga menyebutkan tanggal dan tempat kemartiran Petrus dan Paulus, yaitu 29 Juni, Petrus di Katakombe dan Paulus di Jalan Ostian, menurut Feriale Ecclesiae Romanae))

18. Optatus dari Milevis (370)

“Kita harus mengetahui siapa yang mendirikan tahta suci dan di mana. Kalau kamu tidak tahu, akuilah… Tetapi kamu tidak dapat memungkiri bahwa tahta suci keuskupan didirikan pertama kali di kota Roma oleh Petrus dan bahwa di sana duduklah Petrus, pemimpin dari semua rasul, yang mana ia disebut sebagai Kepha.” ((Optatus Milevis ditulis oleh Uskup Milevis dari Afrika, yang menuliskan Against Parmenian the Donatist, yang merupakan karya tulis yang menentang bidaah Donatism dan menjadi titik permulaan bagi karya St. Agustinus melawan bidaah yang sama)).

19. St. Agustinus dari Hippo (400)

“Jika urutan episkopal secara turun temurun adalah sesuatu yang harus dipertimbangkan, adalah lebih lagi dalam hal kepastian, kebenaran dan keamanan, kita mengurutkannya dari Petrus sendiri, yang kepadanya, sebagai seorang yang mewakili seluruh Gereja, Tuhan Yesus berkata, “Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya.” Petrus digantikan oleh Linus, Linus oleh Klemens, Klemens oleh Anacletus, Anacletus oleh Evaristus, Evaristus oleh Sixtus, Sixtus oleh Telesforus, Telesforus oleh Hyginus, Hyginus oleh Anicetus, Anicetus oleh Pius, Pius oleh Soter. Soter oleh, Alexander, Alexander oleh Victor, Victor oleh Zephyrinus oleh Callistus, Callistus oleh Urban, Urban oleh Pontianus, Pontianus oleh Anterus, Anterus oleh Fabian, Fabian oleh Cornelius, Cornelius oleh Lucius, Lucius oleh Stephen, Stephen oleh Sixtus, Sixtus oleh Dionisius, Dionisius oleh Felix, Felix oleh Eutychian, Eutychian oleh Caius, Caius oleh Marcellus, Marcellus oleh Eusebius, Eusebius oleh Melchiades, Melchiades oleh Sylvester oleh Markus, Markus oleh Julius, Julius oleh Liberius, Liberius oleh Damasus, Damasus oleh Siricius, Siricius oleh Anastasius. Dalam urutan ini tidak ada satupun uskup Donatist ditemukan.” ((St. Augustinus, To Generosus, Letter 53, 2 Jurgens, Faith of the Early Fathers, 3:2))

Fakta bahwa Rasul Petrus pernah ke Roma tidak pernah dipertanyakan oleh St. Agustinus. Ia malah menggunakan fakta ini untuk mendukung argumennya melawan bidaah Donatism. Suatu pertanyaan mengapa Luther dan Calvin yang sama- sama merupakan ‘murid’ St. Agustinus dan mempelajari tulisan-tulisannya, dapat mempunyai pandangan berbeda dengan St. Agustinus ini.

20. St. Hieronimus /Jerome (342- 420) yang disebut sebagai Doctor of the Church, dan ahli Kitab Suci yang terbaik di masa Gereja awal.

Simon Petrus,… saudara Andreas Rasul, dan ia sendiri adalah pemimpin para rasul, setelah menjadi uskup di Antiokhia dan pemberitaan kepada kaum Yahudi yang tersebar… di Pontus, Galatia, Kapadosia, Asia dan Bitinia, di tahun kedua pemerintahan Kaisar Claudius, pergi ke Roma untuk mengusir Simon Magus, dan mendirikan di sana tahta suci selama dua puluh lima tahun sampai tahun terakhir Nero, yaitu ke-empat belas. Oleh Nero ia dipaku di kayu salib dan dimahkotai dengan kemartiran, kepalanya di bawah terarah pada tanah, sedangkan kakinya terangkat tinggi, sebab ia berkeras bahwa ia tidak layak untuk disalibkan dengan cara yang sama dengan Tuhan-nya….Ia dikuburkan di Roma di Vatikan, dekat  Via Triumphalis, dan dirayakan dengan penghormatan seluruh dunia.” ((St. Jerome, De Viris Illustribus 1 dan 5, dalam Shotwell and Loomis, See of Peter, 115- 116))

Tidak ada seorangpun saat itu yang menantang/ menolak pernyataan historis St. Jerome. St. Jerome adalah seorang terpelajar yang sempurna (par excellence) yang belajar di Roma dan menjelajahi dunia Kristen. Ia mempunyai akses kepada dokumen-dokumen sejarah dan keterangan yang sekarang sudah punah. Maka masa 25 tahun masa kepemimpinan Petrus di Roma tidaklah dipermasalahkan oleh para ahli sejarah, yang dipersoalkan hanya kapan tepatnya masa tersebut dimulai, dan berkaitan dengan kejadian apa. ((lihat. Philip Hughes, History of the Church, 1, New York: Sheed & Ward, 1947) 64)) Nampaknya Rasul Petrus berada di Roma secara sporadis antara tahun 42 sampai 62; ia memimpin Gereja bahkan saat ia aktif melakukan perjalanan untuk menyebarkan Injil, dan melakukan tugasnya sebagai pengurus rumah tangga dari Kerajaan Allah.

Mengapa menentang fakta keberadaan Rasul Petrus di Roma?

Jelaslah dari bukti-bukti di atas ini, bahwa kenyataan bahwa Petrus memimpin Gereja Roma hanya diragukan pada jaman modern saja, yang disebabkan oleh ide “Sola Scriptura“. (Sola Scriptura sendiri sesungguhnya malah tidak Alkitabiah, karena Kitab Suci tak pernah mengajarkan tentang sola/ hanya Kitab Suci satu-satunya sebagai sumber kebenaran, selanjutnya tentang Sola Scriptura, klik di sini). “Sola Scriptura” adalah doktrin yang baru lahir di jaman Reformasi Protestan, di abad ke 16, walaupun dikatakan bahwa cikal bakalnya sudah ada di jaman John Wycliffe (1329- 1384) dan Jan Hus (1373- 1415), yang mengatakan bahwa ajaran yang tidak tertulis secara eksplisit di Kitab Suci tidak dapat dikatakan sebagai “mengikat” bagi semua umat beriman. Jadi mereka berpendapat bahwa karena Petrus tidak pernah mengatakan secara eksplisit bahwa ia ada di Roma (bagi mereka Babilon bukan Roma) maka Petrus tidak pernah ke Roma, atau umat tidak dapat yakin akan fakta tersebut. Mereka mengabaikan semua bukti-bukti di luar kitab Perjanjian Baru, walaupun bukti- bukti itu begitu kuat.

Mereka mengatakan hal Petrus memimpin Gereja Roma dan wafat sebagai martir sebagai cerita dongeng/ legenda, seperti yang dikatakan oleh Loraine Boettner dalam bukunya Roman Catholicism. ((Lihat Loraine Boettner, Roman Catholicism (Philadelphia: Presbyterian and Reformed Pub. Co., 1962), 117)). Padahal, jika benar Rasul Petrus tidak pernah ke Roma, tentulah banyak tulisan pada jaman itu yang menyangkalnya, mengingat tulisan yang menuliskan fakta ini begitu banyaknya. Tetapi mengapa tak ada satupun tulisan pada jaman itu yang menyanggahnya? Mengapa tak ada yang menyanggah tulisan Klemens, Ignatius, Dionisius, Gaius, St. Agustinus dan St. Jerome? Jika Petrus wafat di tempat lain, mengapa tidak ada tempat/ kota lain yang mengklaim tulang- tulangnya atau dikenal sebagai tempat wafatnya Rasul Petrus? Bahkan tulisan para heretik dari Gnostics dan Ebionites di abad awal tidak pernah menempatkan lokasi lain bagi kemartiran Petrus maupun tahta suci, selain di Roma. Perlu kita mengingat bahwa meskipun penganiayaan umat Kristen di bawah pemerintahan Nero juga tidak secara eksplisit tertulis di PB, tetapi kita juga tidak dapat mengabaikan bukti/ data sejarah yang menyatakan bahwa penganiayaan yang mengerikan itu memang pernah terjadi.

Maka jika keberadaan Petrus di Roma ditolak oleh sebagian orang, umumnya karena pandangan mereka yang menentang ajaran dan otoritas Gereja Katolik. Dengan menganggap Petrus tidak pernah ke Roma, maka mereka seolah dapat beranggapan bahwa tidak pernah ada keutamaan Petrus dan tahta suci/ keuskupan Roma. Anggapan ini memaksa banyak orang untuk menentang begitu banyaknya fakta sejarah, demi mendukung tradisi baru “Sola Scriptura” itu.

Selanjutnya tentang oposisi dari pihak Protestan akan disampaikan dalam artikel selanjutnya. Namun sebagai penutup artikel bagian ke- 2 ini, mari kita membaca tulisan Oscar Cullman, seorang Protestant scholar, tentang hal ini,

“Kita tidak mempunyai bahkan sedikitpun jejak yang menunjukkan ke tempat yang lain yang dapat dianggap sebagai tempat kematian-nya [Petrus]…. Adalah hal lain yang penting di sini, bahwa di abad-abad kedua dan ketiga, ketika beberapa gereja berada dalam persaingan dengan Gereja Roma, tidak pernah terjadi satupun dari antara mereka yang menentang klaim bahwa Roma adalah tempat wafatnya Petrus sebagai martir.” ((Oscar Cullmann, Peter: Disciple, Apostle, Martyr, trans. Floyd V. Filson (Philadelphia: Westminter Press, 1953), p. 114-15))

[bersambung ke artikel Keutamaan Paus (3): Tanggapan terhadap mereka yang menentang keberadaan Petrus di Roma]

Keutamaan Petrus (1): Menurut Kitab Suci

40

Sebagai pemimpin, sebagai wasit

Hari Minggu  7 Feb 2010 yang lalu adalah hari yang penting bagi para penggemar football di Amerika. Beribu-ribu orang, kalau tidak berjuta-juta orang, menonton pertandingan Super bowl ini melalui televisi. Di tengah hiruk pikuknya pertandingan ini, sebenarnya kita sebagai umat beriman dapat belajar sesuatu. Yaitu, bahwa meskipun ada peraturan yang jelas dalam permainan football ini, tetapi toh ternyata dalam pelaksanaannya dibutuhkan wasit yang mengawasi jalannya pertandingan, agar peraturan permainan dapat dilaksanakan dengan baik. Demikianlah analogi sederhana ini pernah digunakan oleh Cardinal Henry Newmann untuk menggambarkan tugas Magisterium (Wewenang Mengajar) dalam kehidupan Gereja. Walau sudah ada aturannya yang tertulis dalam Kitab Suci, namun tetap diperlukan otoritas untuk menerapkannya, dan tugas ini dilakukan oleh Magisterium dengan melibatkan Tradisi Suci, yang berawal dari kuasa yang diberikan oleh Yesus kepada Rasul Petrus, yang atasnya Kristus mendirikan Gereja-Nya (Mat 16:18).

Di luar perkiraan banyak orang, sesungguhnya doktrin tentang keutamaan Paus ini, mempunyai dasar yang cukup jelas dan paling mudah dibuktikan. Demikianlah yang akan kami jabarkan dalam artikel seri mengenai keutamaan Petrus (the Primacy of Peter), yang dituliskan dengan mengambil sumber utama dari buku karangan Stephen K. Ray, Upon this Rock, San Francisco: Ignatius, 1999. Ray, yang adalah seorang convert dari evangelis Protestan, menyadari bahwa masalah utama yang memisahkan umat Katolik dan Protestan adalah hal otoritas. Protestan percaya hanya kepada otoritas Kitab Suci, sedangkan, Gereja Katolik pada kesatuan antara Kitab Suci, Tradisi suci dan Magisterium. Artikel seri berikut ini dituliskan untuk menunjukkan dasar pengajaran Gereja Katolik tentang keutamaan Rasul Petrus, yang bersumber dari Kitab Suci, pengajaran para Bapa Gereja dan fakta sejarah:

1. Keutamaan Petrus (the Primacy of Peter) menurut Kitab Suci ( bagian 1)
2. Bukti sejarah tentang keberadaan Rasul Petrus di Roma (bagian 2)
3. Tanggapan terhadap mereka yang menentang keberadaan Petrus di Roma (bagian 3)
4. Keutamaan Petrus (the Primacy of Peter) menurut Dokumen awal Gereja (bagian 4)
5. Keutamaan Petrus (the Primacy of Peter) menurut selama 500 tahun Gereja awal (bagian 5)
6. Keutamaan Petrus (the Primacy of Peter) menurut ajaran Gereja Katolik, dalam Konsili Vatikan I dan Konsili Vatikan II. (bagian 6- selesai)

Mari kita sekarang memulai bagian pertama yaitu Keutamaan Petrus (the Primacy of Peter) menurut Kitab Suci.

Keutamaan Petrus dalam kitab Perjanjian Baru

1. Yesus memilih kedua belas rasul, yang dimulai dengan Simon Petrus. Banyak ayat dalam Kitab Suci yang selalu menyebutkan Petrus sebagai yang pertama dari semua rasul yang lain, dan Yudas di urutan terakhir (lih. Mat 10:1-4; Mrk 3:16-19; Luk 6:14-16; Kis 1:13). Kadang-kadang para rasul disebut sebagai Petrus dan teman-temannya (Luk 9:32). Petrus sering berbicara atas nama semua rasul (Mat 18:21; Mrk 8:29; Luk 12:41; Yoh 6:69). Nama Petrus ditulis di dalam Alkitab sebanyak 191 kali (162 kali sebagai Petrus atau Simon Petrus, 23 kali sebagai Simon, and 6 kali sebagai Kephas). Sebagai perbandingan, Yohanes hanya disebut sebanyak 48 kali. Archbishop Fulton Sheen pernah menghitung bahwa semua nama rasul digabungkan hanya disebut 130 kali. Semua hal ini menunjukkan keutamaan Rasul Petrus jika dibandingkan dengan rasul-rasul yang lain. ((Stephen K. Ray, Upon this Rock, (San Francisco: Ignatius, 1999), p. 23))

2. Rasul Petrus memegang peran sebagai yang “pertama” di banyak kesempatan. Di awal pemberitaan-Nya, Yesus memilih untuk mengajar orang banyak dari perahu Simon (Luk 5:3). Rasul Petruslah yang berinisiatif untuk berjalan di atas air (Mat 14: 28-31). Rasul Petruslah yang dipilih oleh Tuhan Yesus untuk mengambil koin dari mulut ikan untuk membayar pajak bagiNya dan bagi Petrus sendiri (Mat 17: 24-27). Petruslah yang menerima wahyu dari Allah Bapa sehingga dapat mengenali identitas Yesus sebagai Putera Allah (Mat 16:16).

Yesus mengubah nama Petrus, yang semula bernama Simon, menjadi Kepha/ Petrus yang artinya, “Batu Karang” untuk menunjukkan penugasan yang baru yang diberikan oleh Kristus kepadanya (Mat 16:13- 20)

Walaupun demikian, Petrus juga ditegur oleh Yesus atas pengertiannya yang keliru tentang Mesias (Mat 16:23). Maka kita mengenal sifat dasar Petrus yang pemberani namun sering terlalu cepat bertindak, tanpa berpikir terlalu jauh, seperti terlalu cepat menjanjikan kesetiaan sebagai seorang martir namun kemudian malah menyangkal Yesus tiga kali; walaupun ia akhirnya bertobat (Mat 26:35; Luk 22:57-62). Di lain kesempatan ia terlalu cepat menggunakan pedang untuk memotong telinga Malkus (Yoh 18:10). Namun demikian, sesungguhnya Petrus mempunyai hati yang lembut, dan peka terhadap dosa dan kelemahannya (Luk 5:8; 22:61-62).

Kelemahan Petrus ini tidak mengubah kenyataan bahwa ia tetaplah terhitung sebagai “yang pertama” di antara para rasul. Petrus selalu disebut pertama kali di antara para rasul yang dipilih Yesus, untuk melihat-Nya dimuliakan di atas gunung Tabor (Mrk 9:2-9, 2 Pet 1:18); untuk mempersiapkan Perjamuan Terakhir (Luk 22:8); dan untuk melihat Yesus setelah kebangkitan-Nya (Luk 24:34; 1 Kor 15:5). Petruslah yang secara khusus didoakan oleh Yesus dan diberi tugas untuk menguatkan saudara-saudaranya yang lain (lih. Luk 22:32; Yoh 21:15-17). Segera setelah Yesus naik ke surga, Petrus mengambil alih kepemimpinan para rasul dengan mengambil inisiatif untuk memilih pengganti Yudas yang mengkhianati Yesus (Kis 1:15-26). Setelah Pentakosta, Petrus tampil mewakili para rasul mengkhotbahkan pesan Injil (Kis 1:14-40) yang mengkibatkan 3000 orang untuk dibaptis pada hari itu.

3. Setelah Pentakosta, peran kepemimpinan Petrus-pun jelas terlihat: Petrus mengubah kebiasaan Gereja yang hanya membaptis umat Yahudi, dengan membaptis Kornelius, umat non- Yahudi, beserta seisi rumahnya (Kis 10 dan 11). Paulus pun menemui Petrus (Kepha) dan tinggal bersamanya selama 15 hari (Gal 1:18), selanjutnya Paulus mendatangi Petrus lagi di Yerusalem dengan menjabarkan Injil yang diberitakannya (Gal 2:2) agar usahanya tidak percuma. Rasul Petrus juga membuat keputusan otoritatif di Konsili Yerusalem mengenai sunat (Kis 15). Sesudah Konsili Yerusalem, Rasul Petrus mengadakan perjalanan ke banyak daerah untuk mendirikan gereja-gereja pada daerah kekuasaan Kaisar Roma, untuk menyebarkan Injil ke ujung bumi, sesuai dengan pesan Kristus (lih. Kis 1:8). Akhirnya, ia menuju Roma (yang disebut Babilon 1 Pet 5:12-13) yang dianggap sebagai pusat dunia pada saat itu, untuk juga mendirikan gereja di sana, dan akhirnya wafat sebagai martir, bersama dengan Rasul Paulus.

Dari siapa saja kita mengetahui keutamaan Petrus?

1. Rasul Yohanes.
Andreas mula-mula bertemu dengan Simon, saudaranya, dan ia berkata kepadanya: “Kami telah menemukan Mesias (artinya: Kristus).” Ia membawanya kepada Yesus. Yesus memandang dia dan berkata: “Engkau Simon, anak Yohanes, engkau akan dinamakan Kefas (artinya: Petrus) (Yoh 1: 40-42).

Di Injilnya yang ditulis sekitar tahun 90-100 (60 tahun setelah kejadian), Rasul Yohanes masih mengingat kejadian tersebut, di mana Yesus memberi nama “Batu Karang” kepada Petrus. Perjanjian Lama mengajarkan kepada kita bahwa perubahan nama sejalan dengan panggilan/ penugasan yang baru dari Allah (lih. Kej 17:5; 32:28; 41:45), dengan demikian Rasul Yohanes mengakui misi Simon yang baru sebagai “Batu Karang.”

2. Rasul Matius
Matius selalu menuliskan Petrus dalam urutan pertama dari keduabelas rasul. Secara khusus, ia menuliskan Pengakuan Petrus (Mat 16: 13-20) yang menunjukkan keutamaan Rasul Petrus.

3. Lukas
Demikian pula dengan Lukas, yang menuliskan Petrus di urutan pertama, misalnya saat menuliskan kisah Yesus dimuliakan di atas gunung (Luk 8: 45: 9: 28, 32), dan para murid mengakui bahwa Kristus telah menampakkan diri kepada Simon (Petrus) (Luk 24:33-34) sesaat setelah kebangkitan-Nya.

4. Markus
Demikian pula Markus, dengan menuliskan bahwa malaikatpun saat memberitakan kebangkitan Yesus menyebutkan nama Petrus secara terpisah, sedangkan para rasul yang lain tergabung dalam “murid- murid-Nya” (Mrk 16:6-7).

5. Rasul Paulus
Dengan mengakui bahwa kepada Petruslah pertama Kristus menampakkan diri setelah kebangkitan-Nya (1 Kor 15:3-6). Kepada umat di Galatia, Paulus mengatakan bahwa ketika akhirnya ia “berhubungan dengan Gereja” setelah tiga tahun mewartakan Injil, ia menghubungi Rasul Petrus yang disebutnya sebagai ‘Kepha’ (Gal 1:17-18), dan dengan demikian ia mengakui keutamaan Petrus yang adalah “Batu Karang” yang ditunjuk oleh Kristus.

6. Konsili Yerusalem (49-50)
Kis 15 menjabarkan Konsili Yerusalem dimana Rasul Petrus berbicara untuk menyelesaikan konflik yang dihadapi oleh jemaat pada saat itu, yaitu mengenai masalah sunat. Setelah Petrus membuat keputusan yang mengikat semua umat beriman, maka semua umat terdiam, dan menerima keputusan ini. Paulus dan Barnabas kemudian mengisahkan pengalaman mereka, dan Yakobus menjabarkan pelaksanaan praktis yang harus dilakukan sesuai dengan keputusan Petrus. [Maka jika Yakobus membuat khotbah penutup di Konsili Yerusalem, itu disebabkan karena Yakobus adalah uskup Yerusalem, dan bukan karena ia mempunyai keutamaan di atas Petrus. Sebab yang disampaikannya juga hanya mendukung keputusan Petrus, dan bukan ia yang pertama kali membuat keputusan untuk menyelesaikan konflik yang ada].

Kita mengetahui bahwa Konsili Yerusalem mempunyai ciri-ciri seperti Konsili-konsili lainnya dalam sejarah Gereja: a) pertemuan para pemimpin seluruh Gereja; b) penetapan aturan yang mengikat semua umat Kristen, c) bersangkutan dengan hal iman dan moral, d) keputusannya ditulis sebagai pernyataan Gereja, e) Petrus memimpin seluruh kongregasi. ((The Acts of the Apostles, Navarre Bible (Dublin: Four Court Press 1992), 160-161))

7. Rasul Petrus sendiri
Umat Protestan ada yang berpendapat bahwa Petrus bukan pemimpin Gereja, dengan mengutip surat 1 Pet 5:1, di mana Rasul Petrus menyebut dirinya sebagai “teman penatua” (a fellow elder). Namun jika kita membaca ayat- ayat berikutnya, kita melihat bahwa Rasul Petrus mengajar para penatua tersebut dengan otoritas seorang pemimpin. Maka jika Petrus mengatakan sebagai “teman penatua”, ia seperti layaknya presiden sewaktu menyebut rakyatnya sebagai ‘saudara sebangsa dan setanah air’, tentu tidak berarti bahwa sang presiden tidak memiliki otoritas atas rakyatnya. Di sini Petrus menyatakan bahwa ia adalah ‘teman penatua’ untuk mengakui keberadaan mereka sebagai para pemimpin Gereja seperti dirinya, namun tentu Rasul Petrus menyadari atas kepemimpinannya atas mereka, oleh sebab itu ia  mengarahkan/ menasihati mereka.

8. Tuhan Yesus Kristus
Dengan memberikan nama “Batu Karang” kepada Petrus dan mengatakan bahwa Ia akan mendirikan jemaat/ Gereja-Nya atasnya (Mat 16: 15-19). Ayatnya sebagai berikut:

Lalu Yesus bertanya kepada mereka: “Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?” Maka jawab Simon Petrus: “Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!” Kata Yesus kepadanya: “Berbahagialah engkau Simon bin Yunus sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang di sorga. Dan Akupun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya. Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga.”

Jemaat/ Gereja ini akan disertai oleh Kristus sampai akhir jaman,

Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus,dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.”

Dengan demikian, Yesus menyatakan bahwa Ia telah memilih Petrus dari antara para rasul-Nya yang lain untuk memimpin Gereja, yaitu dengan memberikan kunci Kerajaan-Nya dan kuasa untuk ‘mengikat dan melepaskan’ (ay. 19). Maka dari ayat ini, setidaknya terdapat empat hal penting, yaitu: a) Petrus sebagai “Batu Karang”; b) Petrus yang kepadanya diberikan kunci Kerajaan Sorga dan diberi kuasa untuk ‘mengikat dan melepaskan’; c) Karena Yesus menjanjikan bahwa Gereja-Nya tak akan dikuasai oleh maut sampai akhir jaman, maka kuasa ‘mengikat dan melepaskan’ tersebut tidak dapat salah, dan berlaku juga pada para penerus Rasul Petrus. d) Yesus hanya mendirikan satu Gereja (bukan gereja-gereja) dalam pimpinan Petrus. Mari kita melihat satu- persatu point ini.

Petrus sebagai “Batu Karang”

“Dan Akupun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya.” (Mat 16:18)

RSV: And I tell you, you are Peter, and on this rock I will build my church, and the powers of death shall not prevail against it.

Gereja Katolik mengartikan “Batu Karang” ini sebagai Petrus, yang menerima nama barunya ini karena pengakuan imannya bahwa Kristus adalah Mesias, Anak Allah yang hidup. Namun demikian, banyak umat Protestan yang tidak mengartikannya demikian.

  • Kalangan Protestan banyak yang mengartikan bahwa dalam bahasa Yunani, dikatakan bahwa Petrus adalah “Petros”  dan batu karang adalah “petra“. Dan ini berarti bahwa Petros dan petra tidak sama, karena petros artinya batu kecil dan petra artinya batu besar/ batu karang; sehingga tidak mungkin Yesus mendirikan Gereja-Nya di atas Petrus (petros), melainkan di atas pengakuan Petrus (petra).
  • Dari tata bahasa Yunani: Penggunaan Petros dan petra adalah karena tata bahasa Yunani, yang mengenal masculin dan feminin, yang diterapkan bukan hanya terhadap manusia, namun juga terhadap benda-benda. Jadi, dalam hal ini diterjemahkan “Dan Akupun berkata kepadamu: Engkau adalah Petros dan di atas petra ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya.”Padahal sebenarnya, perbedaan ini disebabkan karena kata Petra tidak dapat digunakan untuk menggantikan nama Petrus, karena kalau demikian sama saja dengan memakai nama Michelle untuk Michael atau Fransiska untuk Fransiskus.
  • Namun pada jaman Yesus, bahasa yang dipakai adalah bahasa Aram, sehingga sebenarnyanya Yesus mengatakan, “Dan Akupun berkata kepadamu: Engkau adalah Kefas dan di atas Kefas ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya.” Yesus memberikan nama Kefas (Petrus) kepada Simon jauh sebelum pengakuan ini, yaitu pada waktu Yesus bertemu dengan Petrus, dimana Yesus berkata “Engkau Simon, anak Yohanes, engkau akan dinamakan Kefas (artinya: Petrus).” (Yoh 1:42).
  • Selanjutnya, mari kita tinjau dari kelogisan kalimat: Kalau kita menafsirkan bahwa Petros adalah Petrus dan kemudian Petra adalah pengakuan Petrus, maka akan terlihat tidak logis, sebab bunyinya kira-kira menjadi seperti berikut ini:Yesus berkata kepada Petrus: “Engkau adalah Petrus dan di atas pengakuanmu Aku akan mendirikan Gereja-Ku…”Dua kalimat tersebut tidak berhubungan. Dan kalau kita melihat dari bahasa Greek, dikatakan “Aku pun (memakai “kai“) berkata kepadamu, “Engkau adalah Petrus, dan  (memakai kata “taute” (this very)) di batu karang ini, Aku akan mendirikan Gereja-Ku”. Kai (dan) mengindikasikan bahwa kata benda yang dipakai harus merujuk kepada kata benda sebelumnya. Perhatikan, bahwa yang digunakan adalah kata dan, bukannya tapi. Jadi hal yang sedang dibicarakan adalah hal yang sama, yaitu Batu Karang (Kepha/ Petrus), yang sejak saat itu menjadi nama baru bagi Simon, sehingga ia tidak lagi dipanggil Simon, tetapi Petrus.

W.F. Albright, seorang ahli Kitab Suci Protestan yang dikenal secara internasional sebagai “the dean of biblical studies” menulis demikian, “… Tidak ada bukti bahwa Petrus atau Kepha adalah sebuah nama sebelum jaman Kristen…. Petrus sebagai Batu Karang akan menjadi pondasi dari komunitas di kemudian hari. Yesus… di sini memakai bahasa Aram, bukan Ibrani… Seseorang harus membuang interpretasi yang menyatakan bahwa ‘batu karang’ ini merupakan pengakuan iman Petrus atau pengakuannya akan kemesias-an Yesus. Untuk mengabaikan keutamaan Petrus di antara para murid pada jemaat perdana adalah sebuah pengingkaran suatu bukti…..” ((W.F. Albright  dan C. S. Mann. The Anchor Bible: Matthew (Garden City, NY: Doubleday & Co., 1971), p. 195))

Albright tidak sendirian dalam mengungkapkan interpretasi ini, sebab banyak ahli kitab suci Protestan lainnya, yang juga mengakui bahwa Petruslah Batu Karang yang dimaksud dalam pernyataan Yesus ini. Silakan klik di sini untuk membaca pengajaran mereka, antara lain Oscar Cullmann (Lutheran), Eduard Schweizer, Francis W. Beare dan Thomas G. Long (Reformed), D.A Carson, Herman Ridderbos, Caig Blomberg, Craig Keener (Evangelis Protestan), R. T France (Anglikan).

Senada dengan Albright, Cullmann menuliskan, “Tapi apa yang dimaksudkan oleh Yesus ketika mengatakan: “Di atas Batu Karang ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku?” Ide para Reformer bahwa Ia [Yesus] mengacu kepada iman Petrus adalah sangat tidak terbayangkan (inconceivable)…. Sebab tidak ada referensi yang mengacu kepada iman Petrus. Yang ada, paralel/ perbandingan antara “Kamu adalah Batu Karang” dan “di atas Batu Karang ini Aku akan membangun” menunjukkan bahwa Batu Karang yang kedua adalah sama dengan Batu Karang yang pertama. Oleh karena itu, jelaslah bahwa Yesus mengacu kepada Petrus, yang kepadanya Ia telah memberi nama Batu Karang. Ia telah menunjuk Petrus… Dalam hal ini exegesis Gereja Katolik benar, dan semua usaha gereja Protestan untuk menghapuskan interpretasi ini harus ditolak.” ((Oscar Cullmann, dalam artikel “Rock” (petros, petra) trans. and ed. by Geoffrey W. Bromiley, Theological Dictionary of the New Testament (Eerdmans Publishing, 1968), volume 6, p. 108))

Maka di sini kita melihat, bahwa dengan memberi nama “Batu Karang” kepada Simon, maka Ia memberikan kepada Petrus identifikasi yang sangat penting, yang bahkan mengacu kepada diri-Nya sendiri (lih. 1 Kor 10:4). Namun ini tidaklah aneh, sebab memang Yesus mengidentifikasikan Gereja-Nya sebagai Tubuh-Nya sendiri dan Ia adalah Kepalanya (lih. Ef 5:22-33).

Petrus sebagai pemegang Kunci Kerajaan Allah dan diberi kuasa “mengikat dan melepaskan”

1. “Kunci” yang diberikan di sini maksudnya adalah kuasa untuk memimpin dan mengatur Kerajaan Sorga. Dan karena Kerajaan Sorga yang ada di dunia ini adalah Gereja, maka Rasul Petrus (dan para penggantinya) diberi kuasa untuk memimpin Gereja. Karena Gereja direncanakan oleh Yesus untuk terus eksis sampai akhir jaman (Mat 16:18; 28:19-20), maka kuasa memimpin ini diberikan juga kepada para penerus Rasul Petrus.

Di Perjanjian Lama, tugas “pemegang kunci” ini telah digambarkan oleh Elyakim (Yes 22) yang diberi tanggungjawab untuk memegang kunci Rumah Raja Daud, sebagai pengatur rumah tangga, yang menjadi simbol kekuasaan Kerajaan Yehuda, “Maka pada waktu itu Aku akan memanggil hamba-Ku, Elyakim bin Hilkia: Aku akan mengenakan jubahmu kepadanya dan ikat pinggangmu akan Kuikatkan kepadanya, dan kekuasaanmu akan Kuberikan ke tangannya; maka ia akan menjadi bapa bagi penduduk Yerusalem dan bagi kaum Yehuda. Aku akan menaruh kunci rumah Daud ke atas bahunya: apabila ia membuka, tidak ada yang dapat menutup; apabila ia menutup, tidak ada yang dapat membuka.” (Yes 22:20-22)

Dengan diberikannya kuasa ini kepada Elyakim, tentu bukan berarti Elyakim menjadi “lebih tinggi daripada” Raja Daud. Pemberian kunci ini hanya dimaksudkan agar Elyakim menjadi pengurus, pengajar bagi kerajaan raja Daud tanpa ia menjadi lebih tinggi dari Raja Daud. Di PB, oleh Yesus, Sang Raja keturunan Daud, kerajaan Yehuda disempurnakan menjadi Gereja-Nya yang dibangun di atas Rasul Petrus (Mat 16:18-19). Dengan analogi yang sama, kuasa yang diberikan oleh Yesus kepada Rasul Petrus juga tidak membuat Petrus lebih tinggi daripada Yesus. Sebab biar bagaimanapun, Yesus tetaplah Sang Pemilik kunci yang menguasai kunci itu. Pada PL tugas mengatur rumah tangga kerajaan Daud diberikan kepada Elyakim, sedangkan pada PB, tugas mengatur Kerajaan Allah (yaitu Gereja) diberikan kepada Rasul Petrus dan para penerusnya.

Maka istilah ‘kunci’ ini adalah untuk menggambarkan pemberian kuasa yang penuh dan otoritas/ kuasa yang penuh, absolut dan tertinggi yang diberikan kepada Petrus -tentu setelah Kristus sendiri. Jadi “kunci” ini bukanlah hanya berarti kunci pintu masuk saja (pembuka pintu bagi orang-orang yang belum mengenal Kristus untuk mengimani-Nya), tetapi seluruh kunci bagi semua pintu rumah/ Kerajaan Allah tersebut, yang menyangkut seluruh kepemimpinan umat beriman. Tugas ini kemudian dijalankan oleh Magisterium (Paus dan para uskup dalam persekutuan dengan Paus), yaitu tugas/ wewenang untuk mengikat atau melepaskan dalam hal pengajaran iman dan moral (Mat 16:19; 18:18).

2. Menurut ajaran para Bapa Gereja yang akan dibahas di artikel berikutnya, kuasa “mengikat dan melepaskan” adalah kuasa mengajar dan kuasa untuk mengampuni dosa (Mat 16:19). Menurut Suarez, seorang Teolog Scholastik yang menggabungkan ajaran St. Gregorius dan St. Maximus, kuasa memegang kunci ini meliputi tiga hal, yaitu kuasa memberikan sakramen- sakramen, kuasa memimpin/ mengatur dan kuasa untuk mendefinisikan ajaran iman dan moral. ((lihat Suarez, De Poenit., disp xvi.)) Jadi di sini “kunci” bukan sesuatu yang dibagi-bagikan sama rata kepada semua pengikut Kristus. Interpretasi “kunci” di PB harus dilihat dalam konteksnya seperti di PL, sebab di PL pemberian kunci kerajaan Yehuda hanya diberikan kepada Elyakim, maka di PB, juga hanya kepada Rasul Petrus. Sedangkan karena Yesus menginginkan agar Kerajaan-Nya/ Gereja-Nya terus bertahan sampai akhir jaman (Mat 28:19-20), maka pemberian “kunci”/ wewenang ini berlangsung terus sampai kepada para penerus Petrus. Dan karena secara prinsip: yang diberi wewenang selalu tidak pernah mengatasi Yang Memberi wewenang, maka Petrus (dan penerusnya) yang diberi wewenang tidak akan pernah menjadi lebih tinggi daripada Kristus Sang Pemberi wewenang. Sebab apapun yang ditetapkan oleh Petrus adalah yang menjadi ketetapan Kristus. Petrus hanya menjalankan tugas, sesuai dengan wewenang yang diberikan kepadanya.

Flavius Josephus, seorang ahli sejarah di abad ke -1 menuliskan bahwa umat Yahudi pada saat itu memahami istilah “mengikat dan melepaskan” sebagai otoritas untuk mengatur, yang mengikat atau melepaskan masyarakat dari suatu kewajiban, untuk menghukum atau untuk mengampuni, dan untuk menentukan sesuatu sebagai sesuatu yang sah atau tidak sah. Kuasa ‘mengikat dan melepaskan’ ini diberikan oleh Ratu Alexandra (76-67 BC) kepada kaum Farisi. Kuasa inilah yang sering menjadi pertentangan antara para Rabi golongan Shamma dan Hillel, pada jaman Yesus, karena yang diikat oleh golongan yang satu dilepaskan oleh yang lain, demikian sebaliknya. Di sini Josephus tidak meragukan bahwa maksud ungkapan ‘mengikat dan melepaskan’ itu berkaitan dengan otoritas. ((Stanley L. Jaki, The Keys of the Kingdom (Chicago: Franciscan Herald Press, 1986), p.43))  Maka Yesus mengakhiri kesimpangsiuran ini dengan memberikan otoritas yang benar kepada Petrus, yang dipercayakan untuk memimpin Gereja-Nya.

3. Sebenarnya pemberian “kunci” dan wewenang selama pemimpin pergi sejenak, merupakan sesuatu yang wajar. Kita di duniapun menerapkannya, jika seorang pemimpin perusahaan bepergian selama beberapa waktu, maka ia akan memberikan kuasa kepada wakilnya yang akan berkuasa mengatur selama ia pergi. Hal yang sama terjadi pada Mat 16:13-19. Yesus memberikan kuasa kepada Petrus (dan para penerusnya), karena Ia menyadari tak bisa selamanya berada di dunia secara fisik untuk memimpin umat-Nya.

Kuasa ‘mengikat dan melepaskan’ yang bersifat tidak mungkin salah (infallible)

Kuasa infalibilitas yang diberikan Kristus kepada Petrus dan para penerusnya adalah berdasarkan perkataan Yesus,  “Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya. Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga.” (Mat 16:19) Karisma infalibilitas ini diberikan oleh Tuhan Yesus untuk melindungi Gereja dari kesalahan dan perpecahan, yang menghantar Gereja kepada “alam maut” (ay. 18). Tanpa kuasa wewenang mengajar yang dijamin tidak salah ini, maka Gereja tidak mempunyain patokan yang pasti  dalam hal ajaran iman dan moral. Jika demikian halnya, maka kebenaran menjadi sesuatu yang relatif dan tiap pribadi dapat mengklaim pemahamannya yang paling benar, lalu memisahkan diri dari kesatuan Gereja, dan ini tidaklah dikehendaki oleh Kristus, sebab Ia menghendaki agar Gereja-Nya selalu bersatu (lih Yoh 17:20-23).

Maka yang dibicarakan dalam hal infalibilitas ini bukanlah mencakup segala sesuatu tentang diri Petrus dan para penerusnya; dan bahwa mereka tidak mungkin salah sebagai manusia. Ini adalah pandangan yang sangat keliru! Contoh yang sering diajukan untuk menyanggah infalibilitas Petrus adalah kisah Paulus yang pernah menentang Rasul Petrus karena kesalahannya (Gal 2: 11-14). Namun yang salah di sini bukanlah ajaran Petrus, tetapi sikapnya yang tidak konsisten dalam menerapkan keputusan Konsili Yerusalem perihal menyikapi kesamaan kedudukan umat yang bersunat dan tidak bersunat.  Maka hal ini bukan bukti yang menentang infalibilitas. Sebab sebagai manusia Petrus (dan para penerusnya) bisa salah, namun yang tidak bisa salah di sini hanya ketika ia sedang menjalankan perannya sebagai Petrus, pemimpin Gereja, pada saat ia mengumumkan ajaran iman dan moral secara definitif yang berlaku untuk seluruh Gereja.

Karisma infalibilitas ini tidak berlaku dalam segala hal, namun hanya dalam hal iman dan moral, yaitu pada saat mereka mengajarkan dengan tindakan definitif, seperti yang tercantum dalam Dogma dan doktrin resmi Gereja Katolik. Maksud infalibilitas di sini adalah Yesus memberikan kuasa kepada Petrus dan para penerusnya untuk memberikan pengajaran yang tidak mungkin salah dalam hal iman dan moral, yang merupakan ketentuan yang ‘mengikat’ manusia di dunia dan kelak diperhitungkan di sorga.

Kepemimpinan dan Karisma infalibilitas ini diberikan juga kepada para penerus rasul Petrus

Mungkin ada umat Protestan yang beranggapan bahwa kuasa memimpin Gereja dan karisma infalibilitas ini hanya diberikan kepada Petrus saja, tetapi tidak kepada para penerusnya. Namun ini sungguh tidak masuk akal, karena Kristus berjanji akan menyertai Gereja-Nya sampai akhir jaman. Jika para rasul dan Gereja awal saja memerlukan pemimpin, apalagi Gereja-Nya di kemudian hari! Sebab, banyak dari jemaat awal mendengar pengajaran langsung dari Kristus sendiri dan para rasul-Nya namun, setelah para rasul wafat, maka Gereja bahkan semakin membutuhkan adanya otoritas kepemimpinan yang dapat menjaga kemurnian ajaran-ajaran mereka agar dapat diturunkan dengan baik tanpa ‘dikorupsi’.

Maka jika Yesus memberikan kuasa untuk “mengikat dan melepaskan” tersebut kepada para rasul (Mat 18:18), namun Rasul Petrus menerima karisma ini secara pribadi pada saat Tuhan Yesus memberikan kepadanya “kunci” kerajaan surga. Tuhan Yesus mengetahui pentingnya otoritas ini, dan karena itu, tidak mungkin Yesus memberikan kuasa ini kepada Petrus dan para penerusnya, tanpa jaminan bahwa Ia akan menghindarkan mereka dari mengajarkan ajaran yang sesat pada saat mereka menjalankan tugas mereka sebagai gembala Gereja.

Yesus hanya mendirikan satu Gereja, dan Gereja-Nya ini adalah yang dipimpin Petrus

Pada Mat 16:18, Yesus mengatakan akan mendirikan Gereja-Nya (bukan gereja- gereja), dan ini sejalan dengan pengajaran-Nya di ayat-ayat yang lain misalnya:

“Ada lagi pada-Ku domba-domba lain, yang bukan dari kandang ini; domba-domba itu harus Kutuntun juga dan mereka akan mendengarkan suara-Ku dan mereka akan menjadi satu kawanan dengan satu gembala.” (Yoh 10: 16)

“Simon, Simon, lihat, Iblis telah menuntut untuk menampi kamu seperti gandum, tetapi Aku telah berdoa untuk engkau, supaya imanmu jangan gugur. Dan engkau, jikalau engkau sudah insaf, kuatkanlah saudara-saudaramu.” (Luk 22: 31-32)

“Dan bukan untuk mereka ini saja Aku berdoa, tetapi juga untuk orang-orang, yang percaya kepada-Ku oleh pemberitaan mereka; supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku. Dan Aku telah memberikan kepada mereka kemuliaan, yang Engkau berikan kepada-Ku, supaya mereka menjadi satu, sama seperti Kita adalah satu: Aku di dalam mereka dan Engkau di dalam Aku supaya mereka sempurna menjadi satu, agar dunia tahu, bahwa Engkau yang telah mengutus Aku dan bahwa Engkau mengasihi mereka, sama seperti Engkau mengasihi Aku.”

Sesudah sarapan Yesus berkata kepada Simon Petrus: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih dari pada mereka ini?” Jawab Petrus kepada-Nya: “Benar Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” Kata Yesus kepadanya: “Gembalakanlah domba-domba-Ku.” Kata Yesus pula kepadanya untuk kedua kalinya: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?” Jawab Petrus kepada-Nya: “Benar Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” Kata Yesus kepadanya: “Gembalakanlah domba-domba-Ku.” Kata Yesus kepadanya untuk ketiga kalinya: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?” Maka sedih hati Petrus karena Yesus berkata untuk ketiga kalinya: /”Apakah engkau mengasihi Aku?” Dan ia berkata kepada-Nya: “Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” Kata Yesus kepadanya: “Gembalakanlah domba-domba-Ku.”

Sejak awal Yesus bermaksud mendirikan hanya satu Gereja, dan Ia telah memilih Petrus sebagai pemimpinnya. Ia sudah menyadari bahwa Petrus akan jatuh menyangkal Dia, namun Ia juga mengetahui bahwa sesudah itu, Petrus akan insaf. Yesus secara khusus mendoakan Petrus supaya ia dapat bangkit untuk menguatkan para murid yang lain. Di sini Yesus menugasi Petrus untuk menjadi pemimpin, yang menggembalakan kawanan murid-Nya yang lain. Maka Yesus tidak pernah bermaksud untuk mendirikan Gereja yang dikoyakkan oleh banyak perpecahan dan persaingan antar denominasi. Ia juga tidak mungkin menginginkan adanya “kesatuan yang tidak kelihatan”, sebab hanya kesatuan yang kelihatan-lah yang dapat dilihat oleh dunia. Jika di suatu komunitas Kristen yang terkecil sekalipun membutuhkan seorang pengajar, pemimpin dan pemersatu, seperti halnya peran ayah dalam keluarga, maka menjadi sangat nyata bahwa Gereja di seluruh dunia memerlukan seorang pemimpin. Kristus sepenuhnya mengetahui akan hal ini, sehingga Ia menunjuk Petrus sebagai pemimpin Gereja-Nya di dunia untuk menggembalakan kawanan umat pilihan-Nya (lih. Yoh 21:15-17).

Jika otoritas kepemimpinan di Gereja ini diabaikan, maka yang terjadi adalah perpecahan gereja, dan ini sudah terbukti sendiri dengan adanya banyak sekali denominasi Protestan (sekitar 28.000). Perpecahan ini umumnya dimulai dengan ketidaksesuaian pemahaman dalam hal doktrin baik iman maupun moral antara para pemimpin gereja Protestan, dan karena tidak ada otoritas yang mengaturnya, masing-masing bebas memisahkan diri dan mendirikan denominasi yang baru.

Gereja sebagai pilar kebenaran

Gereja yang dipimpin oleh Petrus dan para penerusnya yang mengajarkan ajaran yang tidak mungkin salah itulah yang dimaksudkan oleh Rasul Paulus ketika mengatakan demikian, “Jadi jika aku terlambat, sudahlah engkau tahu bagaimana orang harus hidup sebagai keluarga Allah, yakni jemaat [Gereja] dari Allah yang hidup, tiang penopang dan dasar kebenaran.” (1 Tim 3:15). Demikianlah, kita ketahui bahwa memang Gerejalah yang melanjutkan secara turun temurun ajaran Kristus dan para rasul, baik yang lisan (dalam Tradisi Suci) dan yang tertulis (dalam Kitab Suci). Kita tidak dapat menyangkal fakta bahwa Magisterium Gereja Katolik-lah yang menentukan kanon Kitab Suci di abad ke 4 melalui Tradisi Suci, sehingga umat Kristiani sekarang mempunyai Kitab Suci.

Sebagai umat Katolik, kita sudah selayaknya bersyukur kepada Tuhan, atas janji Tuhan yang telah dibuktikannya selama lebih dari 2000 tahun ini, bahwa Gereja-Nya yang dipimpin oleh Petrus dan para penerusnya, selalu mengajarkan Kebenaran, sehingga dapat terus bertahan dalam kesatuan, dengan Kristus sebagai Kepalanya.

Syukur bagi-Mu ya Tuhan, atas karunia kepemimpinan Petrus dan para penerusnya dalam Gereja Katolik. Bantulah kami agar dapat selalu hormat dan taat kepada pengajaran mereka, sebagai tanda hormat dan ketaatan kami kepada-Mu yang telah memilih mereka. Amin.”

[Bersambung ke artikel Keutamaan Petrus (2): Bukti sejarah tentang keberadaan Rasul Petrus di Roma]

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab