Home Blog Page 258

Nasib orang yang bunuh diri dan hubungannya dengan baptisan

30

Pertanyaan:

Shalom Team katolisitas
Pak Stef & Bu Ingrid

Saya mau menanyakan tentang seorang kawan baik saya (perempuan agama Katolik), ketika suaminya meninggal karena kasus bunuh diri (di publikasikan meninggal karena sakit), mereka mempunyai status nikah secara Gereja Katolik (dispensasi beda agama), pernah ditolak permohonan Baptisan Katoliknya secara lisan oleh Pastor Paroki, disebabkan sang suami buta huruf sehingga tidak bisa mengikuti pelajaran katekumen untuk Baptisannya sampai hari2 terakhir menjelang sakit keras dan meninggal secara bunuh diri,.

saya perjelas bahwa penolakan baptisan oleh Romo harus mengikuti Katekumen terlebih dahulu, sedangkan pihak yang menginginkan baptisan bependapat bahwa bagaimana bisa mengikuti Katekumen dalam kondisi buta huruf…

Pertanyaan saya adalah:
1. Bunuh diri itu kita ketahui melawan hukum Allah, karena melawan hukum dengan menghilangkan nyawa, bagaimana nasib kawan saya itu setelah meninggal? rohnya menuju kemana?
2. Penolakan Baptisan Gereja karena buta huruf itu apakah beralasan atau sebenarnya masih ada jalan lain menurut ajaran Gereja?
3. Saat-saat jenazahnya di semayamkan di Rumah Sakit juga menjalani doa-doa manurut Gereja Katolik, apakah membantu dalam hal kasus kematiannya yang secara bunuh diri itu dan belom di Baptis Katolik?
4. Apakah kawan saya yang meninggal ada kemungkinan menerima Kemuliaan Allah di Sorga?
5. Seharusnya harus bagaimana aga supaya mempunyai kepastian di terima oleh Tuhan (masuk Sorga)?

Terima kasih dan mohon pencerahannya.

Salam sejahtera,
Felix Sugiharto.

Jawaban

Shalom Felix Sugiharto,

Terima kasih atas pertanyaannya tentang bagaimana nasib orang yang meninggal karena bunuh diri. Secara prinsip, bunuh diri merupakan pelanggaran berat terhadap keadilan, harapan dan cinta kasih (lih. KGK, 2325). Melanggar keadilan, karena manusia tidak mempunyai hak untuk menghilangkan nyawanya, yang tidak dia ciptakan sendiri, namun mendapatkannya dari Tuhan. Melanggar harapan, karena seseorang yang bunuh diri tidak mempercayai kasih dan belas kasih Tuhan. Dan pelanggaran terhadap cinta kasih, terjadi karena merusak ikatan solidaritas dengan keluarga, bangsa dan umat manusia (lih. KGK, 2281). Dengan demikian, bunuh diri, kalau dilakukan dengan sesadar-sadarnya, memang merupakan dosa berat. Dengan pemikiran ini, mari kita menganalisa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan:

1 & 4) Bagaimana nasib orang bunuh diri? Kita dapat mengatakan bahwa kita tidak tahu nasibnya, dan kita serahkan pada belas kasih Tuhan. Hal ini disebabkan karena kita tidak tahu apa yang terjadi pada saat detik-detik terakhir hidupnya. Mungkin saja, dia benar-benar mengalami sesal sempurna serta mendapatkan rahmat Allah. Namun, orang yang bunuh diri, memang benar-benar mempertaruhkan keselamatan kekalnya. Tentu saja, keadaan-keadaan seperti: gangguan psikis yang berat, ketakutan besar, kekuatiran yang berat akan suatu musibah, penganiayaan, dll dapat mengurangi tanggung jawab pelaku (lih. KGK, 2282). Jadi, hanya Tuhan saja yang tahu nasib orang yang bunuh diri, dan oleh sebab itu, kita tidak perlu berspekulasi tentang nasib orang itu.

2) Penolakan Baptisan karena buta huruf: Sebenarnya penolakan baptisan karena alasan buta huruf tidaklah benar. Kita dapat melihat beberapa dasar peraturan Gereja:

Kan. 864 – Yang dapat dibaptis ialah setiap dan hanya manusia yang belum dibaptis.

Kan. 865 – § 1. Agar seorang dewasa dapat dibaptis, ia harus telah menyatakan kehendaknya untuk menerima baptis, mendapat pengajaran yang cukup mengenai kebenaran-kebenaran iman dan kewajiban-kewajiban kristiani dan telah teruji dalam hidup kristiani melalui katekumenat; hendaknya diperingatkan juga untuk menyesali dosa-dosanya.

§ 2. Orang dewasa yang berada dalam bahaya maut dapat dibaptis jika memiliki sekadar pengetahuan mengenai kebenaran-kebenaran iman yang pokok, dengan salah satu cara pernah menyatakan maksudnya untuk menerima baptis dan berjanji bahwa akan mematuhi perintah-perintah agama kristiani.

a) Dari peraturan di atas, maka kita melihat bahwa tidak ada syarat bahwa seseorang harus dapat baca tulis untuk dapat dibaptis. Kalau kita perhatikan, data di dunia tahun 2005, tingkat buta huruf seluruh dunia adalah sekitar 16% (lihat sumber ini – silakan klik). Pada tahun 1841, tingkat buta huruf di Inggris sekitar 33% untuk pria dan 44% untuk wanita. Pada abad-abad awal, Gereja Katolik tetap membaptis orang dewasa, walaupun tidak dapat membaca dan menulis. Sampai abad pertengahan, di negara Eropa begitu banyak umat Katolik yang tidak dapat membaca dan menulis. Dan kalau kita melihat, Gereja Katolik juga tidak melarang baptisan bayi, walaupun bayi tersebut tidak dapat membaca dan menulis.

b) Tentu saja, bagi calon baptis dewasa yang tidak dapat membaca dan menulis harus diberikan penerangan dan pelajaran yang secukupnya, sehingga dia dapat mengerti tentang iman Katolik, seperti yang tercantum dalam kan. 865 di atas. Untuk itu, diperlukan kerja keras dari pengajar, sehingga dapat memberikan pelajaran tersendiri bagi umat yang tidak dapat membaca dan menulis.

3) Menjalani doa-doa Katolik setelah meninggal: Justru ini adalah tindakan yang baik. Orang yang telah menginginkan baptisan dan benar-benar ingin hidup mengikuti Kristus, dan mengikuti pelajaran agama, sebenarnya dapat digolongkan telah menerima baptisan rindu. Katekismus Gereja Katolik (KGK, 1259) mengatakan “Bagi para katekumen yang mati sebelum Pembaptisan, kerinduan yang jelas untuk menerima Pembaptisan, penyesalan atas dosa-dosanya, dan cinta kasih sudah menjamin keselamatan yang tidak dapat mereka terima melalui Sakramen itu.” Partisipasi orang tersebut di dalam proses katekumen merupakan manifestasi dari kerinduannya untuk dibaptis dan dapat terlihat. Yang tidak dapat kita lihat secara kasat mata adalah penyesalan akan dosa-dosanya dan cinta kasih. Jadi, kembali kita serahkan kepada belas kasihan Tuhan.

5) Kepastian untuk masuk Sorga? Menerima baptisan, sehingga dapat menerima rahmat pengudusan, karunia Roh Kudus, menjadi anak Allah, pengampunan dosa – baik dosa asal maupun dosa-dosa pribadi yang dilakukan sampai pada saat baptisan. Setelah menerima rahmat Allah, teruslah berjuang dalam kekudusan – yaitu mengasihi Allah dan mengasihi sesama atas dasar kasih kepada Allah – sampai akhir hayat. Dan ini hanya mungkin dengan terus bertekun dalam doa, Firman Tuhan, berakar pada sakramen-sakramen, terutama Sakramen Tobat dan Sakramen Ekaristi. Dengan demikian, semoga kita dapat terus bekerja sama dengan rahmat Allah dan terhindar dari dosa berat pada waktu kita dipanggil oleh Tuhan.

Demikian jawaban yang dapat saya berikan. Semoga dapat membantu.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – www.katolisitas.org

Iman dan pengabulan doa

22

Pertanyaan:

Pak Stef dan Bu Inggrid yth,
Setiap kali Yesus berkata: Imanmu telah menyelamatkanmu.
Pertanyaan saya:
– apa sih artinya “iman” itu?
– Bagaimanakah caranya agar kita bisa beriman dengan benar?
– Adakah hubungan antara Iman dengan: Mintalah maka kamu akan diberikan, ketoklah maka kamu akan dibukakan
– mengapa ada banyak orang yang meminta dengan sungguh-sungguh tetapi kok tidak diberikan juga, padahal sudah lama banget mintanya? misalnya minta jodoh! adakah hubungannya dengan iman disini?

Jawaban:

Shalom Pius Nugraha,

Terima kasih atas pertanyaan anda tentang iman, yang memang merupakan sesuatu yang sangat penting bagi kehidupan kita sebagai murid- murid Kristus. Untuk memperoleh pengertian yang lebih mendalam tentang iman, maka saya akan membahasnya dari definisi terlebih dahulu, baru kemudian kita dapat melihat kepada penerapannya dalam hidup kita. Semoga setelah itu kita semua dapat memeriksa, sejauh mana kita telah sungguh- sungguh beriman, dan apakah doa- doa kita sudah kita panjatkan dengan iman yang benar, dan ya, termasuk doa memohon jodoh, bagi mereka yang sedang bergumul dalam hal ini.

1. Definisi iman dari Kitab Suci:

“Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.” (Ibr 11:1)

Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah… (Ef 2:8)

Dengan demikian kita mengetahui bahwa iman berkaitan dengan pengharapan akan keselamatan kekal yang diberikan karena kasih karunia Allah. Rasul Yakobus mengajarkan, bahwa agar iman itu menyelamatkan, maka iman itu harus disertai perbuatan-perbuatan kasih, sebab tanpa perbuatan, iman itu kosong dan mati.

“…iman bekerjasama dengan perbuatan-perbuatan dan oleh perbuatan-perbuatan itu iman menjadi sempurna…. Jadi kamu lihat, bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman…. Sebab seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian jugalah iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati. (Yak 2:22,24,26)

Dengan demikian sangat eratlah kaitan antara iman dan kasih, sebab keduanya adalah karunia Roh Kudus. Iman, pengharapan dan kasih adalah kebajikan ilahi yang menghantar kita kepada keselamatan kekal oleh Kristus, dan yang terbesar di antara ketiganya itu adalah kasih.

Oleh Dia (Yesus Kristus) kita juga beroleh jalan masuk oleh iman kepada kasih karunia ini. Di dalam kasih karunia ini kita berdiri dan kita bermegah dalam pengharapan akan menerima kemuliaan Allah.” (Rom 5:2)

Malah kasih karunia Tuhan kita itu telah dikaruniakan dengan limpahnya kepadaku dengan iman dan kasih dalam Kristus Yesus. (1 Tim1:14)

Sekalipun aku mempunyai karunia untuk bernubuat dan aku mengetahui segala rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan; dan sekalipun aku memiliki iman yang sempurna untuk memindahkan gunung, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna. (1 Kor 13:2)

Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih. (1 Kor 13:13)

2. Pengertian iman menurut Magisterium Gereja Katolik

Iman, berasal dari kata pistis (Yunani), fides (Latin) secara umum artinya adalah persetujuan pikiran kepada kebenaran akan sesuatu hal berdasarkan perkataan orang lain, entah dari Tuhan atau dari manusia. Persetujuan ini berbeda dengan persetujuan dalam hal ilmu pengetahuan, sebab dalam hal pengetahuan, maka persetujuan diberikan atas dasar bukti nyata, bahkan dapat diukur dan diraba, namun perihal iman, maka persetujuan diberikan atas dasar perkataan orang lain. Maka iman yang ilahi (Divine Faith), adalah berpegang pada suatu kebenaran sebagai sesuatu yang pasti, sebab Allah, yang tidak mungkin berbohong dan tidak bisa dibohongi, telah mengatakannya. Dan jika seseorang telah menerima/ setuju akan kebenaran yang dinyatakan Allah ini, maka selayaknya ia menaatinya.

Maka tepatlah jika Magisterium Gereja Katolik menghubungkan iman dengan ketaatan dan mendefinisikannya sebagai berikut:

“Kepada Allah yang menyampaikan wahyu manusia wajib menyatakan “ketaatan iman” (Rom16:26; lih. Rom1:5 ; 2Kor10:5-6). Demikianlah manusia dengan bebas menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah, dengan mempersembahkan “kepatuhan akalbudi serta kehendak yang sepenuhnya kepada Allah yang mewahyukan[4], dan dengan secara sukarela menerima sebagai kebenaran wahyu yang dikurniakan oleh-Nya. Supaya orang dapat beriman seperti itu, diperlukan rahmat Allah yang mendahului serta menolong, pun juga bantuan batin Roh Kudus, yang menggerakkan hati dan membalikkannya kepada Allah, membuka mata budi, dan menimbulkan “pada semua orang rasa manis dalam menyetujui dan mempercayai kebenaran”[5]. Supaya semakin mendalamlah pengertian akan wahyu, Roh Kudus itu juga senantiasa menyempurnakan iman melalui kurnia-kurnia-Nya.” (Konsili Vatikan II tentang Wahyu Ilahi, Dei Verbum 5)

Maka dalam hal ini iman tidak berupa perasaan atau pendapat, tetapi merupakan sesuatu yang tegas, perlekatan akalbudi dan pikiran yang tak tergoyahkan kepada kebenaran yang dinyatakan oleh Tuhan. Maka motif sebuah iman yang ilahi adalah otoritas Tuhan, yaitu berdasarkan atas Pengetahuan-Nya dan Kebenaran-Nya. Jadi, kita percaya akan kebenaran- kebenaran itu bukan karena pikiran kita mampu sepenuhnya memahaminya atau kita dapat melihatnya, namun karena Allah yang Maha Bijaksana dan Maha Benar menyatakannya. Kebenaran yang dinyatakan oleh Allah ini diberikan melalui Sabda-Nya, yaitu yang disampaikan kepada kita umat beriman melalui Kitab Suci dan Tradisi Suci, sesuai dengan yang diajarkan oleh Magisterium Gereja Katolik, yang kepadanya Kristus telah memberikan kuasa untuk mengajar dalam nama-Nya. Nah, untuk menerima kebenaran yang dinyatakan Allah ini, diperlukan kasih karunia dari Allah sendiri, dan untuk menanggapinya dengan ketaatan, diperlukan kerjasama dari pihak kita manusia.

Selanjutnya, Katekismus Gereja Katolik mengajarkan,

KGK 1814    Iman adalah kebajikan ilahi, olehnya kita percaya akan Allah dan segala sesuatu yang telah Ia sampaikan dan wahyukan kepada kita dan apa yang Gereja kudus ajukan supaya dipercayai. Karena Allah adalah kebenaran itu sendiri. Dalam iman “manusia secara bebas menyerahkan seluruh dirinya kepada Allah” (Dei Verbum 5).Karena itu, manusia beriman berikhtiar untuk mengenal dan melaksanakan kehendak Allah. “Orang benar akan hidup oleh iman” (Rom 1:17) Iman yang hidup “bekerja oleh kasih” (Gal 5:6).

3. Iman mempunyai dimensi obyektif dan subyektif

Melihat penjelasan di atas, maka kita mengetahui bahwa iman mempunyai dimensi obyektif dan subyektif. Obyektif, karena dasar kepatuhan akalbudi dan kehendak kita adalah kebenaran dari Tuhan (dari Kitab Suci dan Tradisi Suci), yang tidak mungkin salah; namun juga subyektif karena berhubungan dengan kebajikan yang dimiliki oleh tiap- tiap orang, yang melaluinya ia dapat menjadi taat beriman.

4. Bagaimana beriman yang benar?

a. Dari uraian di atas, kita mengetahui bahwa iman adalah karunia Allah sehingga manusia dapat menerima apa yang diwahyukan Allah. Jadi untuk beriman yang benar, pertama- tama, kita harusmengetahui Kebenaran yang diwahyukan Allah itu. Kitab Suci mengajarkan:

“Jadi, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus.” (Rom 10:17)

Selanjutnya, Kitab Suci juga mengajarkan bahwa firman Kristus itu disampaikan secara lisan dan tertulis. Dengan demikian Gereja Katolik mengajarkan agar kita berpegang kepada Kitab Suci (ajaran firman Tuhan yang tertulis) dan Tradisi Suci (ajaran firman Tuhan yang disampaikan lisan oleh Kristus dan para rasul). Keduanya ini adalah sumber iman kita sebagai murid- murid Kristus. Rasul Paulus mengajarkan:

“Sebab itu, berdirilah teguh dan berpeganglah pada ajaran-ajaran yang kamu terima dari kami, baik secara lisan, maupun secara tertulis.” (2 Tes 2:15)

Jadi langkah awal untuk beriman dengan baik, adalah kenalilah dan pelajarilah kebenaran firman Tuhan, baik melalui Kitab Suci maupun Tradisi Suci, dan keduanya ini disampaikan dengan setia oleh Magisterium Gereja Katolik.

b. Karena kita mengetahui bahwa iman kita peroleh dari kasih karunia Allah, maka untuk bertumbuh di dalam iman, kita juga harus mengandalkan kasih karunia Allah ini. Kita harus hidup di dalam Kristus dan menerima rahmat-Nya, dan kita umat Katolik menerima rahmat ini melalui sakramen- sakramen, terutama sakramen Ekaristi, di mana kita menyambut Tubuh Kristus sendiri.

“Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia. Sama seperti Bapa yang hidup mengutus Aku dan Aku hidup oleh Bapa, demikian juga barangsiapa yang memakan Aku, akan hidup oleh Aku.” (Yoh 6:56-57)

c. Selanjutnya, untuk menjadikan iman itu benar- benar hidup dan bertumbuh, iman itu harus dibarengi dengan perbuatan kasih:

“Sebab seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian jugalah iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati.” (Yak 2:26)

5. Apakah ada hubungan antara iman dengan pengabulan doa permohonan?

Adalah suatu yang menarik bahwa anda bertanya apakah ada hubungan antara iman dengan firman Tuhan yang mengatakan, “Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu.” (Luk 11:9-10; Mat 7:7). Jawabnya: Tentu ada. Jika permohonan kita belum dikabulkan, kita selayaknya memeriksa batin; apakah kita sudah meminta dengan benar kepada Tuhan? Sebab yang menjadi fokus utama pada saat kita “meminta” kepada Tuhan, seharusnya adalah segala sesuatu yang dapat menghantar kita kepada keselamatan kekal, yang menjadi tujuan iman kita. Jika itu yang kita minta dengan iman, pasti itu akan dikabulkan oleh Tuhan. Sebab, jangan lupa, selanjutnya Tuhan Yesus berkata:

“Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepada-Nya.” (Luk 11:13)

“Jikalau kamu tinggal di dalam Aku dan firman-Ku tinggal di dalam kamu, mintalah apa saja yang kamu kehendaki, dan kamu akan menerimanya.” (Yoh 15:7)

“Sampai sekarang kamu belum meminta sesuatupun dalam nama-Ku. Mintalah maka kamu akan menerima, supaya penuhlah sukacitamu.” (Yoh 16:24)

Jadi yang harus menjadi pertanyaan berikutnya adalah, apakah kita pernah meminta Roh Kudus, atau untuk hidup dalam pimpinan Roh Kudus? Apakah kita sudah tinggal di dalam Kristus dan di dalam firman-Nya, dan melaksanakan perintah- perintah-Nya? Apakah kita sudah memohon dalam nama Tuhan Yesus? Sebab hal- hal di atas belum dilakukan, maka sudah saatnya kita memperbaiki sikap batin kita, dan mulai melakukannya. Sedangkan jika sudah melakukannya, mari kita tingkatkan, supaya kita bertumbuh di dalam iman dan kebenaran, sebab Kitab Suci mengatakan:

“Doa orang yang benar, bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya.” (Yak 5:16)

Selanjutnya bagi kita umat Katolik, ini adalah kesempatan bagi kita untuk merendahkan hati dan memohon dukungan doa dari para orang kudus, terutama Bunda Maria. Kita belajar daripadanya, untuk mempunyai iman dan penyerahan diri yang total kepada Tuhan.

6. Mengapa sudah minta dengan sungguh- sungguh tetapi belum diberikan juga? Seperti minta jodoh.

Hal pengabulan doa memang merupakan hak Tuhan.  Kita percaya bahwa Allah adalah Bapa yang baik dan Ia akan turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia (lih. Rom 8:28). Dengan mengimani hal ini, maka jika kita harus menunggu pengabulan doa kita, kita percaya bahwa Allah sedang membentuk kita sesuai dengan rencana-Nya. Dalam masa penantian ini, Tuhan menginginkan agar kita bertumbuh dalam iman dan ketekunan. Percaya sepenuhnya bahwa Allah Bapa kita akan memberikan yang terbaik; entah jawab-Nya : “Ya”, “tidak”, atau “tunggu”.

Dalam hal jodoh, memang ada bagian yang harus dilakukan dari pihak yang memohon kepada Tuhan. Orang ini harus juga membuka diri dalam pergaulan, melibatkan diri dalam suatu komunitas Katolik, jika ingin mendapatkan jodoh seiman, dan harus mempunyai sikap ramah dan bersahabat kepada semua orang. (Ikutilah persekutuan doa, kegiatan lingkungan/ mudika paroki, kursus evangelisasi, atau koor gereja, atau Legio Mariae, atau kursus Kitab Suci, atau kegiatan lain yang memungkinkan anda memperdalam iman anda dan berinteraksi dengan sesama umat beriman). Seseorang yang meminta jodoh, tidak bisa hanya tinggal di kamar atau di rumah sendiri, lalu berharap ada yang datang mengetuk pintu dan memperkenalkan diri sebagai “sang jodoh”. Orang yang sungguh ingin menikah dan membina kehidupan keluarga harus berani menyatakan imannya dengan kasih dan pengorbanan kepada orang- orang yang ia jumpai. Karena sesuatu yang harus dipunyai oleh seorang suami atau istri dalam keluarga yang benar di mata Tuhan adalah kasih yang total dan rela berkorban. Pendeknya, orang ini harus berani berteman, mengasihi dan memperhatikan orang lain. Jadi pertemanan tidak terbatas hanya bermotif “untuk dipacari”, tetapi membina persahabatan yang baik dengan semua orang. Sebab mungkin saja rencana Tuhan bekerja melalui orang- orang lain, yaitu mereka yang diperhatikan/ menerima kasih itulah yang akhirnya dapat memperkenalkan kepadanya seseorang yang nantinya akan menjadi “sang jodoh” baginya.

Jika anda sedang bergumul dengan hal ini, silakan meningkatkan ketekunan anda dalam doa, membaca sabda Tuhan, dan menerima sakramen- sakramen, terutama Ekaristi. Dalam doa- doa anda fokuskan doa anda untuk bertumbuh di dalam iman, pengharapan dan kasih kepada Tuhan, maka jika anda meminta jodoh, mintalah agar Tuhan mempertemukan anda dengan seseorang yang dapat membawa anda lebih dekat kepada Tuhan. Jadi, fokus utamanya tetap Tuhan dan keselamatan kekal terlebih dahulu, baru kemudian permohonan anda. Hal ini berlaku untuk permohonan apapun, baik itu untuk jodoh, kesehatan ataupun pekerjaan. Jangan lupa, Tuhan bersabda:

“Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.” (Mat 6:33)

Mungkin maksud Tuhan menunda pengabulan doa anda dalam hal jodoh adalah, supaya anda bertumbuh di dalam iman anda terlebih dahulu, supaya anda menemukan juga jodoh anda yang dapat sehati sepikir dengan anda; agar kalian bersama- sama nanti dapat bersatu dalam kasih dan melayani Tuhan, saling menguduskan sampai kalian memasuki kehidupan yang kekal.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- www.katolisitas.org

Mengapa salib ditutup kain ungu?

21

Berikut ini adalah terjemahan dari “Saint Joseph Catholic Manual” (copyright 1956)

Masa Sengsara Yesus:

Masa Sengsara Yesus dimulai pada Minggu ke- 5 Masa Prapaska, yang dikenal sebagai Minggu Sengsara, dan dari hari itu sampai Paska, Gereja masuk lebih dalam lagi ke dalam Kisah Sengsara Tuhan Yesus dan membawa sengsara-Nya lebih dan lebih dalam lagi ke hadapan umat-Nya. Liturgi mengesampingkan semua lambang suka cita dan menampilkan dalam kata dan perbuatan, kesedihan dan penitensi yang harus mengisi setiap jiwa orang Kristen pada saat merenungkan peristiwa- peristiwa akhir dalam kehidupan Penyelamat kita di dunia ini.

Sebelum Vespers pada hari Sabtu sebelum Minggu Sengsara, crucifix (salib Yesus), patung-patung dan gambar-gambar di altar dan di sekitar gereja ditutup dengan kain ungu polos, kecuali gambar-gambar Jalan Salib. Salib Tuhan Yesus ditutupi kain ungu sampai hari Jumat Agung, sedangkan patung- patung dan gambar- gambar lainnya tetap ditutup sampai pada saat Gloria pada Sabtu Suci. Patung-patung dan gambar- gambar para malaikat dan santa-santo ditutup, untuk menunjukkan bahwa Gereja membungkus dirinya sendiri dan berkabung saat Tuhannya sedang mempersiapkan Diri untuk mengalami kesengsaraan dan kematian untuk menebus dunia. Dengan semua tanda-tanda lahiriah dan upacara Masa Sengsara, umat beriman diingatkan bagaimana Tuhan dalam keilahian-Nya di sepanjang masa sengsara-Nya, dan dengan penglihatan dan pendengaran, para pendosa diingatkan agar bertobat dan menarik diri semakin jauh dari kesenangan- kesenangan duniawi, dengan mendevosikan diri semakin dalam kepada doa- doa Masa Prapaska dan merenungkan kisah sengsara Kristus yang telah wafat demi kasih-Nya kepada mereka.

Talenta dan karunia dapat menyesatkan?

9

Pertanyaan:

selamat pagi Ibu Ingrid dan Pak Stef..
Berkah Dalem..

Saya ingin bertanya…

adakah dasar biblis yang menyatakan bahwa karunia dan talenta (yang merupakan pemberian Tuhan), bisa juga menjadi sarana bagi iblis untuk menyesatkan umat-Nya..???
Saya juga minta tolong pembahasannya…

Terima kasih…. JBU,
Zepe

Jawaban:

Shalom Zepe,

Terima kasih atas pertanyaan anda tentang talenta dan karunia: apakah dapat dipakai oleh Iblis untuk menyesatkan? Memang tidak mudah untuk menjawab pertanyaan ini, karena memang tidak secara eksplisit tertulis demikian. Namun Kitab Suci jelas mengajarkan kepada kita bahwa talenta ataupun karunia yang diberikan Allah kepada kita harus kita gunakan dan kembangkan dengan bertanggungjawab; sebab pada akhirnya Tuhan akan menghakimi kita sesuai dengan apa yang telah kita perbuat dengan talenta dan karunia tersebut (lih. Luk 12:48). Nah, saat kita mempergunakan karunia tersebut, memang kehendak bebas kita juga turut terlibat, dan di sinilah terdapat pergumulannya, yaitu apakah penggunaan talenta itu berfokus untuk kemuliaan Allah, atau untuk kemuliaan diri sendiri. Jika fokus penggunaan talenta/ karunia adalah untuk kemuliaan Allah, maka karunia ini dapat berguna untuk membangun keseluruhan Gereja sebagai Tubuh Mistik Kristus. Sedangkan jika fokusnya untuk kemuliaan diri sendiri, maka buahnya adalah perpecahan, dan inilah yang menyesatkan banyak orang.

Kristus sendiri mengajarkan dalam perumpamaan talenta, agar talenta yang diberikan Allah kepada kita itu dikembangkan untuk kemuliaan Allah (lih. Mat 25:14-30, Luk 19: 12-27). Maka memang kita tidak seharusnya menyimpan/ ‘mengubur’ talenta untuk diri sendiri saja. Artinya, kita harus mau berbagi dan menggunakan talenta dan karunia yang Tuhan sudah berikan untuk membangun orang lain juga. Kita harus mengingat pengajaran Rasul Paulus yaitu, “Bertolong-tolonganlah dalam menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus” (Gal 6:2). Hukum Kristus ini tentunya adalah hukum kasih, yang adalah hukum yang terutama: mengasihi Allah dan mengasihi sesama, demi kasih kita kepada Allah (lih. Mat 22:37-39; Mrk 12:30-31; Luk 10:27).

Maka kasih tidak pernah terlepas dari karunia Allah, dan kasih merupakan prinsip yang utama dalam menyikapi talenta dan karunia yang Tuhan berikan kepada kita. Itulah sebabnya, bukan suatu kebetulan bahwa Rasul Paulus menuliskan perikop tentang kasih (1 Kor 13) di antara perikop tentang rupa- rupa karunia (1 Kor 12) dan karunia Roh Kudus (1 Kor 14).

Maksudnya adalah:

1. Tiap- tiap kita mempunyai karunia yang berlain- lainan menurut kasih karunia yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada kita (Rom 12:6). Namun demikian, meskipun ada rupa- rupa karunia, tetapi kita satu Roh (1 Kor 12:4)

2. Karunia yang kita terima harus dikembangkan dengan kasih. Prinsip dasar kasih adalah ‘membagi’/ memberi dengan murah hati, karena kasih tidak mencari keuntungan diri sendiri (1 Kor 13:4-5). Dengan membagi maka kita juga akan menerima, dan dengan demikian semakin mengembangkan talenta/ karunia yang Tuhan percayakan kepada kita. Prinsip inilah yang kembali ditekankan oleh Rasul Paulus pada saat mengajarkan konsep kesatuan umat beriman sebagai anggota-anggota Tubuh Kristus (lih. 1 Kor 12).

3. Karunia- karunia dari Allah harus digunakan untuk membangun jemaat/ Gereja (lih. 1 Kor 14:12). Karunia yang dimaksud oleh Rasul Paulus di sini antara lain adalah: karunia sebagai rasul, nabi, pengajar, mengadakan mukjizat, menyembuhkan, melayani, memimpin, berkata- kata dalam bahasa Roh dan menafsirkannya (1 Kor 12:28-30) ataupun bernubuat (1 Kor 14:1).

4. Karunia- karunia dari Allah itu harus digunakan dan dikembangkan di dalam kerendahan hati, sebab kasih itu tidak memegahkan diri dan sombong (1 Kor 13:4), tidak mencari keuntungan diri sendiri…. sabar menanggung segala sesuatu (1 Kor 13:4-7).

5. Karunia- karunia Allah harus dimanifestasikan dalam kesopanan dan keteraturan (1 Kor 14:40), sebab Allah menghendaki damai sejahtera (1 kor 14:38).

Dengan demikian, untuk menilai apakah suatu karunia itu dapat digunakan oleh Iblis untuk menyesatkan umat, kita melihat sejauh mana terjadi penyimpangan dari prinsip kasih, seperti telah disebutkan di atas. Pemeriksaan secara sederhana, dapat dilihat misalnya demikian:

1. Apakah buah yang dihasilkan adalah kesatuan (satu Roh) ataukah perpecahan?

2. Jika karunia itu dalam rupa penglihatan atau pengetahuan, apakah yang disampaikan sesuai dengan ajaran Gereja Katolik?

3. Apakah ada prinsip kasih dan kemurahan hati, atau sebaliknya, mencari keuntungan diri sendiri?

4. Apakah karunia tersebut digunakan untuk membangun jemaat secara keseluruhan, atau untuk menonjolkan diri sendiri?

5. Apakah karunia tersebut digunakan untuk memuliakan Tuhan atau memuliakan nama sendiri? Apakah orang yang bersangkutan cukup sabar dan rendah hati?

6. Apakah manifestasi karunia tersebut dapat dikendalikan dalam kesopanan dan keteraturan, dan memberi damai sejahtera? Apakah yang menerima karunia mau tunduk di bawah arahan pemimpin Gereja?

Point-point di atas hanyalah sesuatu yang dapat kita pegang dalam proses discerment, untuk menilai apakah karunia yang kita terima sungguh berasal dari Tuhan, dan kemudian bagaimana kita menyikapi talenta/ karunia yang Tuhan berikan kepada kita. Memang prinsip dasarnya adalah seperti yang Tuhan Yesus ajarkan kepada kita, “Sebab dari buahnya pohon itu dikenal.” (Mat 12:33, Luk 6:44). Maka jika karunia tersebut dari Tuhan maka akan menghasilkan buah- buah yang baik, yang kita kenal sebagai buah Roh Kudus, yaitu, “kasih, suka cita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan pengendalian diri” (Gal 6:22).

Maka jika yang dihasilkan bukan buah Roh Kudus, melainkan ‘perbuatan daging’ (lih. Gal 6:19-21), maka kita mengetahui bahwa ada peran diri sendiri ataupun pengaruh Iblis di sini untuk mengacaukan dan memecah belah. Perpecahan sendiri merupakan tanda yang tidak baik, sebab Rasul Paulus mengatakan bahwa Allah telah menyusun kita sebagai anggota Tubuh Kristus sedemikian, “supaya jangan terjadi perpecahan dalam tubuh, tetapi supaya anggota-anggota yang berbeda itu saling memperhatikan. Karena itu jika satu anggota menderita, semua anggota turut menderita; jika satu anggota dihormati, semua anggota turut bersukacita.” (1 Kor 12:25-26). Yesus juga berdoa bagi kesatuan kita yang percaya kepada-Nya (lih Yoh 17:21); sehingga karunia- karunia yang Tuhan berikan kepada kita maksudnya adalah untuk mempersatukan kita dalam kesatuan Tubuh-Nya- dan bukannya mencerai- beraikan.

Dalam hal ini Tuhan Yesus berkata, “Siapa tidak bersama Aku, ia melawan Aku dan siapa tidak mengumpulkan bersama Aku, ia mencerai-beraikan.” (Mat 12:30, Luk 11:23).

Mari kita menggunakan talenta/ karunia yang Tuhan berikan kepada kita untuk membangun Gereja-Nya di dalam kasih, dan dengan demikian kita mengumpulkan bersama Yesus.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- www.katolisitas.org

Perkawinan Campur Beda Gereja

170

Pertanyaan:

Shalom Pak dan Bu….

Saya ada beberapa pertanyaan berkaitan “perkahwinan antara kristen katolik dan protestan”. Sudah lama saya fikirkan, mohon penjelasan ya.

a. Apakah boleh perkahwinan antara katolik dan protestan? Bagaimanakah cara perkahwinan tersebut?apakah boleh dilangsungkan di gereja katolik atau tidak?

b. Apakah syaratnya untuk melangsungkan perkahwinan di Gereja Katolik?

salam, Monica

Jawaban:

Shalom Monica,

Mengenai Perkawinan Campur ini, kita mengacu kepada Kitab Hukum Kanonik 1983, yaitu demikian:

KHK 1124    Perkawinan antara dua orang dibaptis, yang diantaranya satu dibaptis dalam Gereja Katolik atau diterima didalamnya setelah baptis dan tidak meninggalkannya dengan tindakan formal, sedangkan pihak yang lain menjadi anggota Gereja atau persekutuan gerejawi yang tidak mempunyai kesatuan penuh dengan Gereja katolik, tanpa izin jelas dari otoritas yang berwenang, dilarang.

KHK 1125    Izin semacam itu dapat diberikan oleh Ordinaris wilayah, jika terdapat alasan yang wajar dan masuk akal; izin itu jangan diberikan jika belum terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

 

  • pihak katolik menyatakan bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan iman serta memberikan janji yang jujur bahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga, agar semua anaknya dibaptis dan dididik dalam Gereja katolik;
  • mengenai janji-janji yang harus dibuat oleh pihak katolik itu pihak yang lain hendaknya diberitahu pada waktunya, sedemikian sehingga jelas bahwa ia sungguh sadar akan janji dan kewajiban pihak katolik;
  • kedua pihak hendaknya diajar mengenai tujuan-tujuan dan ciri-ciri hakiki perkawinan, yang tidak boleh dikecualikan oleh seorang pun dari keduanya.

 

 

KHK 1127

§ 1 Mengenai tata peneguhan yang harus digunakan dalam perkawinan campur hendaknya ditepati ketentuan-ketentuan  Kanon 1108; …..[di hadapan Ordinaris wilayah atau pastor paroki atau imam atau diakon, yang diberi delegasi oleh salah satu dari mereka itu, yang meneguhkannya, serta di hadapan dua orang saksi]

§ 2 Jika terdapat kesulitan-kesulitan besar untuk menaati tata peneguhan kanonik, Ordinaris wilayah dari pihak katolik berhak untuk memberikan dispensasi dari tata peneguhan kanonik itu dalam tiap-tiap kasus, tetapi setelah minta pendapat Ordinaris wilayah tempat perkawinan dirayakan, dan demi sahnya harus ada suatu bentuk publik perayaan; Konferensi para Uskup berhak menetapkan norma-norma, agar dispensasi tersebut diberikan dengan alasan yang disepakati bersama.

§ 3 Dilarang, baik sebelum maupun sesudah perayaan kanonik menurut norma § 1, mengadakan perayaan keagamaan lain bagi perkawinan itu dengan maksud untuk menyatakan atau memperbarui kesepakatan nikah; demikian pula jangan mengadakan perayaan keagamaan, dimana peneguh katolik dan pelayan tidak katolik menanyakan kesepakatan mempelai secara bersama-sama, dengan melakukan ritusnya sendiri-sendiri.

Maka dengan demikian, kita mengetahui bahwa walaupun sebenarnya perkawinan campur itu tidak diperbolehkan jika dilakukan tanpa ijin dari pihak otoritas Gereja, ijin dapat diberikan oleh Ordinaris wilayah kepada pasangan (Katolik dan Kristen non- Katolik) yang akan menikah asalkan pihak Katolik berjanji berjuang untuk tetap Katolik dan membaptis dan mendidik anak- anak secara Katolik; dan pihak yang non- Katolik mengetahui akan janji ini.

Maka untuk menjawab pertanyaan anda, jika perkawinan beda gereja ini tidak dapat dihindari, maka silakan anda menemui pastor paroki, dan ajukanlah permohonan ijin ke pihak Ordinaris. Jika ijin sudah diberikan, maka pasangan tersebut dapat menikah secara sah. Silakan anda mendiskusikannya dengan pastor paroki, untuk mengaturnya, agar sakramen perkawinan dapat diberikan di gereja Katolik.

Demikian semoga menjadi lebih jelas bagi anda.

Salam kasih dalam Kristus,
Ingrid Listiati- www.katolisitas.org


Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab