Home Blog Page 252

Apakah berdoa berulang, seperti doa Rosario adalah salah?

13

Pertanyaan:

Shalom,
Ada tiga pertanyaan yang ingin saya ajukan:
(1) Saya sering berdoa Yesus dalam sikap berbaring telentang dengan merentangkan kedua belah tangan atau menaruh tangan di dada. Dalam sikap ini saya merasakan kepasrahan dan kedamaian seperti halnya bayi yang berbaring nyaman di pelukan ibunya. Apakah sikap berdoa seperti ini diperbolehkan?
(2) Teman Kristen non-Katolik sering mengatakan bahwa doa berulang seperti mantera yang dilakukan pada meditasi prana sehingga tidak diperbolehkan dalam ajaran Kristiani. Apakah ada rujukan biblis yang dapat melandasi alasan kita untuk melakukan doa berulang seperti doa Yesus atau doa Rosario?
(3) Bagaimana sejarah Rosario? Kapan Rosario digunakan pertama kalinya oleh umat Katolik?

Terima kasih atas jawabannya. Tuhan selalu memberkati Bapak
Andryhart

Jawaban:

Shalom Andryhart,
Terimakasih atas pertanyaannya. Mari kita bahas satu persatu.
Sikap doa:

Pada dasarnya doa adalah “Ayunan hati, suatu pandangan sederhana ke surga, satu seruan syukur dan cinta kasih di tengah percobaan dan di tengah kegembiraan.” (KGK, 2558-2559, mengutip St. Teresia kanak-kanak Yesus). Dari definisi ini, maka disposisi hati menjadi suatu yang penting. Namun sikap badan merupakan cerminan dari apa yang ada di dalam hati. Dari hal ini, maka sikap tubuh yang dilakukan Andryhart tidak apa-apa sejauh sikap hati Andryhart dapat terfokus pada Tuhan. Yang menjadi masalah, karena sikap ini terlalu rilex, dapat menyebabkan orang mengantuk. Jadi saya ingin menganjurkan, untuk berdoa dengan sikap berlutut di tempat doa yang khusus. Kemudian setelah doa selesai, Andryhart dapat melakukan doa dengan sikap terlentang dan tetap befokus pada Yesus.
Saya telah menjawab pertanyaan sikap doa di jawaban ini (silakan klik).

Apakah doa berulang salah?

1) Banyak orang Kristen, Non-Katolik salah mengerti akan doa-doa yang dilakukan oleh umat Katolik. Mereka mengatakan bahwa Yesus telah mengajarkan bahwa kita tidak boleh berdoa bertele-tele seperti kebiasaan orang yang tidak mengenal Allah (Mat 6:7).” Dalam hal ini, kita perlu menjelaskan tentang doa yang bertele-tele atau “vain repetitions (perulangan yang tidak sia-sia)”. Apakah yang dimaksud dengan doa yang bertele-tele ataupun doa pengulangan. Coba simak, apakah doa ini adalah doa yang bersifat pengulangan: “Terima kasih Tuhan atas segala berkat-Mu yang tercurah, ya Tuhan. Benar Tuhan, Engkau adalah Allah yang setia. Ya, benar Tuhan, Engkau adalah Allah yang senantiasa berbelas kasih kepada umat-Mu. Pada waktu aku jatuh, Engkau mengangkatku kembali dari jurang dosa. Ya, benar Tuhan, Engkau Allah yang maha pengampun.” Dalam doa pendek tersebut, saya telah mengulang beberapa kata “benar Tuhan” sebanyak tiga kali. Apakah ini juga termasuk doa pengulangan? Apakah pengulangan maksudnya sesuatu yang sama didoakan beberapa kali dalam satu hari, satu hari 1x, seminggu sekali, sebulan sekali, setahun sekali?

2) Di dalam Mat 6:7, Yesus mengajarkan kepada kita, bahwa kita tidak boleh berdoa yang bersifat pengulangan yang sia-sia (vain repetitions), atau dalam terjemahan Alkitab Bahasa Indonesia adalah “bertele-tele”, seperti orang yang tidak mengenal Allah. Masalahnya bukan pada pengulangan (repetitions), namun pada yang sia-sia (vain), seperti yang dilakukan oleh orang yang tidak mengenal Allah. Sebagai gambaran tentang hal ini adalah yang dilakukan oleh nabi-nabi baal (1 Raja 18:26) dan juga orang yang menyembah dewi Artemis di Efesus (Kis 19:34).

3) Namun, sebagai umat Katolik, kita telah mengenal Allah, bahkan kepenuhan kebenaran ada di Gereja Katolik. Kalau kita berdoa misalkan rosario, doa Bapa Kami, kita memang melakukan pengulangan, namun pengulangan tersebut adalah pengulangan yang tidak sia-sia. Adakah doa yang lebih sempurna dari doa Bapa Kami yang diajarkan sendiri oleh Yesus? Tidak ada. Apakah salah kalau kita senantiasa mengulang doa yang sama? Tentu saja tidak, karena ini adalah ungkapan kasih kita kepada Tuhan. Adakah seorang pacar mengatakan kepada pacarnya “Kamu jangan ngomong “I love you” setiap hari, karena itu adalah bertele-tele.“. Tentu saja seorang pacar tidak akan pernah bosan mendengar pacarnya berkata “I love you”, walaupun mungkin beberapa kali dalam satu hari. Demikian juga dengan Tuhan, Dia tidak akan pernah bosan dengan ungkapan kasih kita kepada-Nya, walaupun dengan diucapkan dengan doa yang sama terus-menerus, yang penting diucapkan dengan sungguh-sungguh.

4) Lagipula jika diperhatikan, pengulangan doa Salam Maria dalam doa Rosario bukanlah merupakan suatu pengulangan yang persis sama. Karena pada saat kita mendoakan Rosario, kita merenungkan peristiwa-peristiwa hidup Yesus, yang terbagi menjadi peristiwa-peristiwa, Gembira, Sedih, Terang dan Mulia. Dalam satu putaran Rosario-pun terdapat 5 peristiwa. Maka misalnya, pada saat kita merenungkan peristiwa Gembira, peristiwa pertama, Bunda Maria menerima kabar gembira dari malaikat Gabriel, maka kita dapat mulai membayangkan peristiwa itu, dalam permenungan kita di setiap butir rosario. Kita dapat membayangkan perasaan Maria sewaktu menerima kabar gembira itu, atau merenungkan bagaimana seluruh malaikat di surga melihat kepada Maria menantikan jawaban “YA”, atau di butir yang lain kita dapat pula membayangkan bagaimana seluruh surga bersuka sewaktu mendengar ketaatan Bunda Maria saat mengatakan, “YA”, dan misteri kasih Allah yang terbesar terjadi, Yesus Sang Putera menjelma menjadi manusia di dalam rahimnya. Jika doa diartikan sebagai pengangkatan hati ke surga, maka walaupun di mulut kita mengucapkan kata-kata yang sama, namun hati kita yang terangkat tidak menjadikannya sama persis, karena kita merenungkan suatu peristiwa kehidupan Yesus yang berbeda- beda dalam doa Rosario itu.

5) Mari kita melihat dasar Alkitabiah. Pada waktu Yesus berdoa di taman Getsemani (Mat 26:44), Yesus melakukan doa yang sama, yaitu “Ya Bapa-Ku jikalau cawan ini tidak mungkin lalu, kecuali apabila Aku meminumnya, jadilah kehendak-Mu!”. Apakah ini doa pengulangan? Tentu saja. Namun Yesus mengajarkan suatu kesempurnaan sikap doa, yang mendahulukan kehendak Bapa dibandingkan kehendak kita sendiri. Bagaimana dengan pemungut pajak yang berdoa “Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa” (Luk 18:13). Dan dikatakan bahwa Tuhan berkenan dengan doa pemungut pajak ini karena dilakukan dengan sikap hati yang benar dan penuh dengan pertobatan. Dan doa pengulangan juga dilakukan oleh Kornelius, dan diajarkan oleh Rasul Paulus (Kis 10:2,4; Rom 1:9; Rom 12:12; 1 Tes 5:7). Bahkan para malaikat di surga juga berdoa pengulangan “Kudus, kudus, kuduslah Tuhan Allah, Yang Maha kuasa, yang sudah ada dan yang akan datang (Wah 4:8).” Kalau kita berdoa Mazmur, maka begitu banyak doa pengulangan di sana, seperti Maz 136.

6) Dari dasar-dasar di atas, maka doa Yesus, doa rosario, doa Bapa Kami, tidaklah salah, malah sebaliknya, semua doa tersebut berdasarkan alkitab.

Asal-usul doa rosario:

1) Asal usul doa rosario tidak dapat ditentukan secara jelas secara histories, karena terbentuknya setahap semi setahap. Digunakannya ‘butir-butir’ sebagai alat bantu doa juga merupakan tradisi sejak jaman Gereja awal, atau bahkan sebelumnya. Pada abad pertengahan, butir-butir ini dipakai untuk menghitung doa Bapa Kami dan Salam Maria di biara-biara.

2) Struktur doa rosario berkembang antara abad 12 dan 15. Pada waktu itu, 50 doa Salam Maria dihubungkan dengan ayat-ayat Mazmur, untuk memperingati kehidupan Tuhan Yesus dan Bunda Maria. Pada saat inilah doa ini dikenal sebagai “rosarium”/ rose garden. Pada abad ke 16, terbentuklah doa rosario yang terbagi menjadi 5 dekade dalam 3 misteri gembira, sedih dan mulia.

3) Tradisi mengatakan bahwa St. Dominic (1221) adalah santo yang menyebarkan doa rosario, seperti yang kita kenal sekarang. Ia berkhotbah tentang rosario ini pada pelayanannya di antara para Albigensian yang tidak mempercayai misteri kehidupan Kristus sebagai Allah yang menjelma menjadi manusia. Jadi, walaupun bukan St. Dominic yang pertama kali ‘menciptakan’ doa rosario, namun peran St. Dominic cukup besar dalam menyebarkannya, dan ia sendiri sebagai saksi hidup yang mendoakan doa rosario tersebut. Doa rosario sendiri mulai popular di tahun 1500.

4) “Sebagai doa damai, rosario selalu dan akan selalu menjadi doa keluarga dan doa untuk keluarga. Ada saatnya dulu, bahwa doa ini menjadi doa kesayangan keluarga, dan doa ini yang membawa setiap anggota keluarga menjadi dekat satu sama lain…. Kita perlu kembali kepada kebiasaan doa keluarga bersama berdoa untuk keluarga-keluarga…. Keluarga yang berdoa bersama, akan tetap tinggal bersama. … Para anggota keluarga, dengan mengarahkan pandangan pada Yesus juga akan mempu memandang satu sama lain dengan mata kasih, siap untuk berbagi, untuk saling mendukung, saling mengampuni dan melihat perjanjian kasih mereka diperbaharui oleh Roh Allah sendiri.”
(Rosarium Virginis Mariae, 41, Paus Yohanes Paulus II)

Itulah jawaban dari kami, semoga dapat menjawab pertanyaan Andryhart. Mari kita bersama-sama berjuang untuk setia dalam kehidupan doa kita, sehingga kita dapat semakin mengasihi Tuhan.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef & ingrid – katolisitas.org

Mengapa Allah dipanggil Bapa?

2

Pertanyaan:

saya mau bertanya, saya amat bingung!
1. mengapa Allah dipanggil bapa? apakah mungkin Allah telah menikah dengan maria sehingga terbentuk yesus/isa almasih padahal Allah menciptakan yesus/isa almasih dengan hanya satu ucap/firman. dan apakah yesus/isa almasih merupakan anak Allah bila Allah menciptakan nya hanya dengan sekali ucap/firman?

terima kasih, saya tunggu secepatnya! karena teman saya bertanya soal itu

semoga dilindungi Allah, Reza

Jawaban:

Shalom Reza,

1. Kita memanggil Allah sebagai Bapa, pertama- tama karena Tuhan Yesus sendiri yang mengajarkannya.

Ketika para rasul-Nya bertanya bagaimana caranya berdoa, maka Kristus mengajarkan doa Bapa Kami (lih. Mat 6:9-13; Luk 11:2-4), dan dengan demikian memanggil Allah sebagai “Bapa”. Sebelumnya, dalam khotbah di bukit, Yesus mengajarkan agar kita berusaha untuk hidup sempurna, sama seperti Allah Bapa yang di sorga adalah sempurna (lih. Mat 5:48).

Selanjutnya layak kita sadari bahwa kita dapat memanggil Allah sebagai Bapa sebab kita telah diangkat oleh Kristus menjadi saudara dan saudari-Nya melalui Pembaptisan. Oleh sebab itu kita dapat memanggil Bapa sebagai “Abba, Bapa” (Rom 8:15; Gal 4:6).

Katekismus Gereja Katolik mengajarkan:

KGK 239 Kalau bahasa iman menamakan Allah itu “Bapa”, maka ia menunjukkan terutama kepada dua aspek: bahwa Allah adalah awal mula segala sesuatu dan otoritas yang mulia dan sekaligus kebaikan dan kepedulian yang penuh kasih akan semua anak-Nya. Kebaikan Allah sebagai orang-tua ini dapat dinyatakan juga dalam gambar keibuan (Bdk. Yes 66:13; Mzm 131:2), yang lebih menekankan imanensi Allah, hubungan mesra antara Allah dan ciptaan-Nya. Dengan demikian bahasa iman menimba dari pengalaman manusia dengan orang-tuanya, yang baginya boleh dikatakan wakil-wakil Allah yang pertama. Tetapi sebagaimana pengalaman menunjukkan, orang-tua manusiawi itu dapat juga membuat kesalahan dan dengan demikian menodai citra kebapaan dan keibuan. Karena itu perlu diperingatkan bahwa Allah melampaui perbedaan jenis kelamin pada manusia. Ia bukan pria, bukan juga wanita; Ia adalah Allah. Ia juga melebihi kebapaan dan keibuan manusiawi (Bdk. Mzm 27:10), walaupun Ia adalah awal dan ukurannya (Bdk. Ef 3:14; Yes 49:15). Tidak ada seorang bapa seperti Allah.

3. Maka Allah disebut Bapa berkaitan dengan hakekat Allah yang menciptakan, mengasihi, memelihara dan mendidik umat-Nya yaitu kita semua; demi keselamatan kita.

Kisah penciptaan Allah dapat kita baca dalam kitab Kejadian 1-2. Kasih ke- Bapaan Allah kita lihat kisah Anak yang hilang (Luk 15: 11-32). Sedangkan Allah memelihara kita (lih. Luk 12:22-24) dan mendidik kita seperti seorang ayah mendidik anaknya (lih. Ibr 12:6). Jadi ke Bapa-an Allah bukanlah untuk diartikan dengan Allah telah menikah dengan Bunda Maria. Ini adalah tanggapan yang sangat- sangat keliru! Allah adalah Sang Pencipta, dan Allah itu Roh (Yoh 4:24), dan karenanya tidak kawin dan dikawinkan, sepertihalnya manusia ciptaan-Nya (lih. Luk 20:34-35). Bahwa karena besar kasih-Ny,a Allah memutuskan untuk mengutus Putera-Nya untuk menjadi manusia (lih. Yoh 3:16), tidak menjadikan-Nya menikah dengan manusia. Yang terjadi adalah Roh Allah itu turun atas Bunda Maria, sehingga Bunda Maria dapat mengandung Kristus, meskipun tanpa melibatkan benih seorang laki- laki. Hal ini dituliskan dalam kabar gembira malaikat Gabriel seperti tertulis dalam Kitab Suci, “Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah.” (Luk 1:35)

4. Namun bagi Yesus, istilah ‘Bapa’ memiliki arti yang sangat khusus, dan tidak mungkin disamakan dengan hubungan antara kita (umat ciptaan-Nya) dengan Allah (Sang Pencipta). Katekismus mengajarkan:

KGK 240 Yesus mewahyukan bahwa Allah merupakan “Bapa” dalam arti tak terduga: tidak hanya sebagai Pencipta, tetapi sebagai Bapa yang kekal dalam hubungannya dengan Putera-Nya yang tunggal, yang adalah Putera hanya dalam hubungan-Nya dengan Bapa-Nya: “Tidak seorangpun mengenal Bapa selain Anak dan orang-orang yang kepadanya Anak itu berkenan menyatakannya.” (Mat 11:27)

KGK 242 Pengakuan para Rasul itu dipelihara oleh tradisi apostolik, dan sebagai akibatnya Gereja dalam tahun 325 pada konsili ekumene pertama di Nisea mengakui bahwa Putera adalah “sehakikat [homoousios, consubstantialis] dengan Bapa”, artinya satu Allah yang Esa bersama dengan-Nya. Konsili ekumene kedua, yang berkumpul di Konstantinopel tahun 381, mempertahankan ungkapan ini dalam rumusannya mengenai iman Nisea dan mengakui “Putera Allah yang tunggal” sebagai yang “dilahirkan dari Bapa sebelum segala abad: Allah dari Allah, terang dari terang, Allah benar dari Allah benar, dilahirkan, bukan dijadikan, sehakikat dengan Bapa” (DS 150).

4. Maka penyataan anda “padahal Allah menciptakan yesus/isa almasih dengan hanya satu ucap/firman. dan apakah yesus/isa almasih merupakan anak Allah bila Allah menciptakan nya hanya dengan sekali ucap/firman?“, ini keliru.

Allah tidak menciptakan Yesus dengan firman-Nya, dan Yesus bukanlah ciptaan Allah. Sebab Yesus sendiri adalah Allah. Ia adalah Allah Putera yang hakekatnya sama dengan Allah Bapa. Yesus (Allah Putera) dikenal sebagai Sang Firman yang sudah ada sejak awal mula, dan “Ia bersama- sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah.” (Yoh 1:1). Yesus sebagai Sang Firman ini tidak terpisah dari Allah Bapa, bagaikan terang tak terpisahkan dari sumbernya, sehingga dikatakan dalam Credo/ Syahadat Aku Percaya, “Ia lahir dari Bapa sebelum segala abad”. Artinya, Yesus sebagai Allah Putera, sudah ada sejak awal mula, dan di dalam Dia segala sesuatu dijadikan (Yoh 1:3).

Maka pengertian “Putera/ Anak” ini tidak untuk diartikan bahwa Ia lahir dari hubungan suami istri. Istilah ini digunakan untuk menjelaskan bahwa Yesus dan Allah mempunyai hakekat yang sama, sepertihalnya bapa mempunyai hakekat yang sama dengan anaknya. Silakan agar anda ingin mengetahui lebih lanjut, untuk membaca artikel Trinitas: Satu Allah dalam Tiga Pribadi, silakan klik di sini. Sedangkan untuk lebih mengenal pribadi Yesus yang dalam penjelmaan-Nya di dunia adalah sungguh Allah dan sungguh manusia, silakan klik di sini.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org

Penciptaan Dunia: ‘tohu’ dan ‘bohu’?

18

[Berikut ini adalah pertanyaan/ pernyataan yang mewakili perkiraan sejumlah umat Protestan tentang peristiwa pemberontakan Lucifer dalam kaitannya dengan penciptaan bumi. Pandangan ini tidak sesuai dengan ajaran Gereja Katolik, dan tim Katolisitas akan menyampaikannya mengapa demikian].

Pertanyaan:

Jumat, 26 Maret 2010
Salam dalam kasih Yesus Kristus
Hormat saya, Fajar Yehuda
27 Maret 2010

Alkitab dan juga para hamba Tuhan menyatakan bahwa pemberontakan terhadap Allah pertama kali dilakukan oleh seorang penghulu malaikat bernama Lucifer oleh karena motivasinya ingin menjadi Allah, kemudian Allah melempar ia dan para pengikutnya ke bumi (baca; Yehezkiel 28: 11-19). Lucifer inilah yang akhirnya dijuluki Iblis. Pada suatu saat, saya berpikir bahwa Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa pemberontakan oleh karena tipu muslihat Iblis, dan peristiwa ini dicatat dalam Kejadian pasal 3. Lalu yang menjadi pertanyaan saya adalah Iblis telah muncul di Taman Eden (di bumi) pada Kejadian pasal 3, hal ini berarti bahwa peristiwa dilemparnya Iblis ke bumi pasti terjadi sebelum penciptaan Adam dan Hawa. Dimanakah ayat Alkitab yang menyatakan penghakiman atas dosa Lucifer dan para pengikutnya? Dan kemungkinan besar ayat itu ada diantara Kejadian pasal 1 dan 2.
Pemaparan Alkitabiah yang akan saya tulis dibawah ini disadur dari buku WAR IN HEAVEN, hal. 22-36 karya Derek Prince.

DUNIA SEBELUM ADAM

Sesudah melakukan perenungan selama beberapa dasawarsa mengenai beberapa ayat pertama pada Kitab Kejadian, saya (Derek Prince, red) tiba pada kesimpulan bahwa penghakiman Allah atas pemberontakan mungkin saja sudah terjadi sebelum enam hari penciptaan sebagaimana digambarkan dalam Kitab Kejadian.

Dalam Kejadian 1: 2, kita diberitahu bahwa bumi “belum berbentuk dan kosong” (dalam bahasa Ibrani; tohu va bohu). Pemeriksaan pada pasal-pasal lain dimana frasa ini [tohu va bohu] digunakan menegaskan bahwa ini selalu menmggambarkan efek dari tindakan penghakiman oleh Allah. Ini menunjukan bahwa penghakiman Allah yang pertama terjadi antara Kejadian 1: 1 dan Kejadian 1: 2. Barangkali ini adalah penghakiman atas pemberontakan Lucifer (Iblis).

Adalah di luar cakupan buku ini untuk menganalisis semua ini secara rinci. Namun saya percaya bahwa ini adalah bidang yang dapat memberi wawasan ketika kita mengadakan doa syafaat dan peperangan rohani. Suatu hal yang berlawanan dengan apa yang dipikirkan oleh orang banyak , pemberontakan tidak dimulai dibumi, melainkan dimulai di surga. Pemberontakan tidak dimulai dengan seorang manusia, tetapi dengan salah satu penghulu malaikat yang dikenal sebagai Iblis, walaupun nama aslinya Lucifer. Terlebih dahulu Iblis merebut sekumpulan malaikat untuk tunduk dibawah kepemimpinannya sebelum ia mengalihkan perhatiannya pada ras manusia.

Dalam bahasa manapun, Lucifer digambarkan sebagai makhluk yang terang, bercahaya dan mulia. Ia disebut sebagai penghulu malaikat. Kata “penghulu” dalam akar bahasa Yunaninya, berarti “memerintah”. Kata yang sama muncul dalam kata archbishop “uskup kepala”, uskup yang mengepalai uskup-uskup lainnya. Jadi, penghulu malaikat adalah malaikat yang memerintah atas malaikat-malaikat lainnya. Jadi, Lucifer adalah salah satu dari penghulu malaikat utama, bersama-sama dengan Mikhael dan Gabriel. Akan tetapi, sampai pada taraf tertentu, Lucifer membuat kesalahan yang berat. Ia menjadi begitu terpaku dengan kemuliaannya sendiri sehingga ia mencoba membuat dirinya menyamai Allah dan berbalik menjadi pemberontakan menentang Pencipta-nya. (Lucifer exposed, hal.4-5).

ALLAH TIDAK MENCIPTAKAN KEKACAUAN

Kembali ke ayat-ayat awal dalam Kitab Kejadian, saya terpaksa menyimpulkan bahwa ada kontras antara kondisi bumi sebagaimana semula diciptakan oleh Allah dalam ayat 1 dan kondisinya seperti yang diuraikan dalam ayat 2:

Ayat 1: Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi.
Ayat 2: Bumi belum berbentuk dan kosong; gelap gulita menutupi samudera raya.

Bumi seperti yang digambarkan dalam ayat 2 telah menjadi tempat tandus yang gelap, belum berbentuk dan berair. Semua yang saya baca di dalam Alkitab dari ayat itu dan seterusnya meyakinkan saya bahwa ini bukanlah gambaran tentang bumi sebagaimana semula diciptakan oleh Allah. Ia bukanlah “pelaku eksperimen”, Ia adalah Pencipta. Semua tindakan kreatif Allah yang digambarkan di dalam bagian Kitab Suci ini menghasilkan sesuatu yang sempurna. Ciptaan-Nya tidak perlu ditingkatkan atau diperbaiki.

Jadi, jelaslah bahwa penggambaran tentang bumi yang diberikan dalam ayat 2 tidak menggambarkan bumi dalam keadaan semula seperti yang diciptakan Allah dalam ayat 1. Sebaliknya, ini adalah gambaran bumi dalam keadaan jatuh sebagai akibat perkara-perkara yang terjadi antara ayat1 dan 2. Hal tersebut dapat mengindikasikan bahwa suatu malapetaka yang dasyat telah terjadi, sesuatu yang mengubah tatanan dan keindahan bumi yang Allah ciptakan pada mulanya dan sebagai akibatnya bumi menjadi tidak berbentuk dan kosong. Kata yang diterjemahkan dalam ayat ini “belum berbentuk” dapat diterjemahkan sama baiknya dengan “menjadi tidak berbentuk.”

Bahasa yang digunakan dalam bahasa Ibrani lebih menarik lagi. “Belum berbentuk dan kosong” adalah terjemahan dari frasa bahasa Ibrani tohu va-bohu. Dua kata yang bersajak ini dirancang untuk digunakan bersama: tohu dan bohu. Berbagai bahasa lain mengandung kata-kata yang berpasangan seperti ini. Dalam bahasa Inggris, misalnya ada frasa yang seperti itu yaitu harem-scarem dan dalam bahasa Indonesia ada frasa serupa yaitu kacau-balau atau porak-poranda.

Frasa bersajak di dalam contoh bahasa Inggris dan Indonesia tersebut serupa dengan frasa Ibrani tohu va-bohu. Ini menggambarkan keadaan yang kacau. Sebenarnya, kata-kata itu sendiri mengandung pengertian atau perasaan dari situasi yang mereka gambarkan. Sekarang marilah kita periksa tempat-tempat lain di dalam Perjanjian Lama dimana kata-kata Ibrani yang sama ini digunakan- tohu dan bohu.

Hanya ada dua perikop lain dimana kedua kata tersebut digunakan bersama-sama. Yang pertama ada di dalam Yesaya 34. Pasal ini menggambarkan penghakiman Allah yang akan datang atas wilayan Edom, yang merupakan nama yang diberikan kepada saudara kembar Yakub, yaitu Esau dan keturunannya. Edom adalah negara di sebelah timur Laut Mati. Kitab Suci mengindikasikan bahwa menjelang penutupan zaman ini akan ada penghakiman Allah yang mengerikan, menyedihkan dan permanen atas wilayah tersebut. Edom akan dihakimi sedemikian rupa sebagai monumen abadi penghakiman Allah untuk semua generasi sesudahnya. Penggambaran sangat jelas;

Sebab TUHAN mendatangkan hari pembalasan dan tahun pengganjaran karena perkara Sion. Sungai-sungai Edom akan berubah menjadi ter, dan tanahnya menjadi belerang; negerinya akan menjadi ter yang menyala-nyala. Siang dan malam negeri itu tidak akan padam-padam, asapnya naik untuk selama-lamanya. Negeri itu akan menjadi reruntukhan turun-temurun, tidak ada orang yang melintasinya untuk seterusnya. (Yesaya 34: 8-10).

Ayat berikut inilah yang mengandung frasa tohu va-bohu :

Burung undan dan landak akan mendudukinya, burung hantu dan burung gagak akan tinggal di dalamnya. TUHAN menjadikannya campur baur [tohu] dan kosong [bohu] tepat menurut rencana-Nya. (ayat 11)

Ini adalah kiasan dari tali pengukur dan bandul pengukur tegak lurus. Dengan tali pengukur ia mengukur secara horizontal, dan dengan bandul ia mengukur secara vertical. Penghakiman Allah diringkas di dalam frasa yang deskriptif ini. Ini akan menjadi tali pengukur “kekacauan” (tohu) dan bandul pengukur tegak lurus “kekosongan” (bohu). Dengan kata lain, akan seperti apakah jadinya? Kehancuran total !!!. Edom akan diserahkan sepenuhnya pada kehancuran yang akan menjadi monumen penghakiman Allah selamanya. Keseluruhan gambarnya adalah gambar kemarahan dan kemurkaan Allah yang dilepaskan dalam penghakiman yang menghancurkan.

Tempat lain dimana kedua kata ini-tohu dan bohu- ditemukan bersama-sama adalah Yeremia 4: 22-23. Di sini kembali kedua kata ini dikaitkan dengan penghakiman. Penghakiman disini digambarkan berhubungan dengan Israel. Dalam Yeremia 4:22. Allah mengungkapkan alasan untuk penghakiman-Nya: “Sungguh, bodohlah umat-Ku itu, mereka tidak mengenal Aku! Mereka adalah anak-anak tolol dan tidak mempunyai pengertian! Mereka pintar untuk berbuat jahat tetapi untuk berbuat baik mereka tidak tahu.”

Ini adalah gambaran pemberontakan dan kejahatan yang menyebar. Kemudian Yeremia diberi sebuah penglihatan mengenai penghakiman yang akan datang: “Aku melihat kepada bumi, ternyata campu baur [tohu] dan kosong [bohu], dan melihat kepada langit, tidak ada terangnya.” (ayat 23). Di sini kita melihat lagi, “campur baur dan kosong”- tohu dan bohu. Ini adalah gambaran ketandusan yang diakibatkan oleh penghakiman Allah atas kejahatan.

Di dalam Alkitab hanya ada tiga tempat dimana dua kata tohu dan bohu muncul bersama-sama: Kejadian 1: 2, Yesaya 34: 11, Yeremia 4: 23. Kedua nas yang belakangan menggambarkan adegan menakutkan dari kehancuran yang ditimbulkan oleh penghakiman Allah atas kejahatan yang mengerikan. Kita membawa Kejadian 1: 2 secara persis sejalan dengan dua perikop lain ini apabila kita menafsirkannya pula untuk menjadi gambaran penghakiman Allah atas tindakan kejahatan yang di dalam ayat ini tidak diuraikan secara rinci.

Sekarang mari kita periksa beberapa dari perikop di mana tohu digunakan tanpa bohu. Ulangan 32: 10, mengatakan TUHAN menemukan Yakub “di suatu negeri, di padang gurun, di tengah-tengah ketandusan dan auman padang belantara.” Kata “tandus” adalah tohu. Keseluruhan gambaran adalah gambaran kehancuran.

Dalam Ayub 6: 18 kita membaca tentang sungai di padang gurun yang mengering dan masuk ke pasir tanpa memberikan apapun kepada siapapun: “Berkeluk-keluk jalan arusnya, mengalir ke padang tandus, lalu lenyap.” Kata “lenyap” adalah tohu. Yang tersisa hanya pasir.

Dalam Ayub 12: 24 dan Mazmur 107: 4 kata tohu diterjemahkan ‘padang belantara’: Ayub 12: 24,“Dia menyebabkan para pemimpin dunia kehilangan akal, dan membuat mereka tersesat di padang belantara [tohu] yang tidak ada jalannya.”
Mazmur 107: 4, “Ada orang-orang yang mengembara di padang belantara [tohu], jalan ke kota tempat kediaman orang tidak mereka temukan.” Dalam masing-masing kasus ini, penghakiman Allah menghasilkan suatu kondisi yang digambarkan sebagai padang belantara (tohu).

Apabila kita menggabungkan semua perikop yang dikutip di atas ini, kita tiba pada suatu kesimpulan yang berlaku pada semuanya: Perikop-perikop ini menggambarkan hasil dari penghakiman Allah. Ini dapat diterapkan pada Kejadian 1: 2 seperti halnya pada perikop-perikop lain. Kita juga dapat melihat sejumlah kejadian di dalam Kitab Yesaya yang menggambarkan penghakiman Allah atas seluruh bumi: Yesaya 24:1, “Sesungguhnya, TUHAN akan menanduskan bumi dan akan menghancurkannya, akan membalikkan permukaannya dan akan menyerahkan penduduknya.”. Sebagai bagian dari penghakiman total ini, Yesaya melanjutkan dengan mengatakan: “Kota yang kacau riuh [tohu] sudah hancur” (ayat 10). Ini menggambarkan sebuah kota dalam keadaan hancur sebagai akibat dari penghakiman Allah.

Kembali, Yesaya 40: 23 menggambarkan penghakiman Allah atas para penguasa bumi: “Dia yang membuat pembesar-pembesar menjadi tidak ada dan yang menjadikan hakim-hakim dunia sia-sia saja [tohu]!” Dalam Yesaya 41: 29 Allah menggambarkan para penyembah berhala: “Sesungguhnya, sekaliannya mereka seperti tidak ada, perbuatan-perbuatan mereka hampa, patung-patung tuangan mereka angin dan kesia-siaan [tohu].” Dalam setiap kasus, kekacauan adalah hasil dari murka dan penghakiman Allah.

Pernyataan paling tegas dari semua adalah Yesaya 45: 18

“Sebab beginilah firman TUHAN, yang menciptakan langit, — Dialah Allah — yang membentuk bumi dan menjadikannya dan yang menegakkannya, — dan Ia menciptakannya bukan supaya kosong [tohu], tetapi Ia membentuknya untuk didiami —: “Akulah TUHAN dan tidak ada yang lain.”

Hasil dari penciptaan Allah bukanlah tohu, yaitu dalam keadaan kacau berantakan. Marilah kita sekarang meletakkan perikop Kitab Suci ini berdampingan dengan perikop yang menggambarkan penciptaan Allah.

Kejadian 1: 2 mengatakan bahwa bumi ini tohu. Yesaya 45: 18 mengatakan bahwa Allah tidak menciptakannya supaya tohu. Implikasinya jelas: Bumi sebagaimana digambarkan dalam Kejadian 1: 2 bukanlah keadaan dimana bumi ini semula diciptakan. Allah tidak menciptakan bumi yang tohu dan bohu, tetapi Ia menciptakannya untuk didiami. Tujuan-Nya adalah untuk membuat sebuah tempat yang diberkati, menyenangkan, dan sangat bagus bagi ciptaan-Nya untuk berdiam di sana.

Kenyataannya bahwa bumi menjadi tohu dan bohu menunjukkan bahwa penghakiman Allah sudah terjadi di antara penciptaan-Nya seperti tercatat dalam Kejadian 1: 1 dan adegan yang digambarkan dalam Kejadian 1: 2. Dalam bab berikutnya, kita akan menganalisis catatan alkitabiah mengenai pemberontakan para malaikat yang menimbulkan penghakiman Allah. Ini mungkin saja terjadi dalam periode antara Kejadian 1: 1 dan Kejadian 1: 2.

Dihadapkan dengan gambaran mengenai tohu dan bohu ini, kita mungkin bertanya: Mungkinkah ini entah bagaimana terkait dengan apa yang oleh para ilmuwan ditafsirkan sebagai “Big Bang” atau “Ledakan Besar”? Ini akan dipandang terutama bukan sebagai tindakan penciptaan, melainkan sebagai tindakan penghakiman. Saya tentu saja tidak mengklaim sudah menjawab semua pertanyaan yang muncul mengenai penciptaan. Sebenarnya, tidak ada batasan untuk pertanyaan-pertanyaan seperti ini. Akan tetapi kita tidak akan pernah boleh mengizinkan hal-hal yang tidak kita mengerti mengaburkan kita terhadap bidang-bidang kebenaran dimana Allah sudah memberikan pengertian yang jelas.

Dalam penutup bab ini, izinkan saya membagikan kepada anda sesuatu yang sudah saya buktikan selama bertahun-tahun. Allah tidak harus berkomitmen untuk menggaruk semua cendikiawan yang gatal, tetapi Ia akan selalu berespon terhadap hati yang tulus dan lapar.

Sumber tulisan: buku WAR IN HEAVEN karya Derek Prince (1915-2003).

Jawaban:

Shalom Fajar Yehuda,

Pertama- tama, harus diakui terlebih dahulu bahwa tulisan di atas masih merupakan dugaan ataupun interpretasi pribadi seseorang yang bernama Derek Prince, yang tidak mewakili pengajaran semua gereja Protestan. Dikatakan sebagai dugaan/ hipotesa, karena ayat acuannya yaitu Kej 1:1-2 tidak secara eksplisit mengatakan hal yang diajarkannya. Prince memang menghubungkan dengan ayat- ayat Kitab Suci yang lain, terutama Yes 45:18; namun ayat- ayat yang dipilihnya itu tidak kontekstual untuk digunakan sebagai acuan argumentasinya.

Para malaikat adalah mahluk rohani yang tidak bertubuh, sehingga penciptaan dan pengadilan mereka tidak dapat dikaitkan dengan dunia material. Tuhan memang menciptakan para malaikat dan manusia, dengan memberikan kehendak bebas kepada masing- masing ciptaan-Nya untuk mengasihi Dia atau untuk menolak-Nya. Mereka yang memilih untuk mengasihi Dia akan bersatu dengan-Nya di surga, sedangkan yang menolak-Nya akan masuk dalam neraka yaitu keterpisahan abadi dengan Allah. Nah, manusia yang terbatas oleh ruang dan waktu (karena memiliki tubuh) diciptakan Allah dan ditempatkan di Taman Eden. Hal ini sudah pernah dibahas di sini, silakan klik. Kemudian karena kejatuhan manusia pertama Adam dan Hawa, mereka diusir ke luar dari Taman Eden dan berkembangbiak dan menguasai dunia. Selanjutnya, setiap manusia diadili oleh Tuhan secara pribadi sesaat setelah ia wafat; inilah yang disebut sebagai Pengadilan Khusus. Namun pada akhir jaman setiap orang akan diadili kembali oleh Tuhan di hadapan segala mahluk, dan ini disebut Pengadilan Umum/ Terakhir. Tentang dasar Alkitab mengenai Pengadilan Khusus dan Pengadilan Umum, sudah pernah dituliskan di sini, silakan klik.

Namun para malaikat tidak terbatas oleh ruang dan waktu karena tidak mempunyai tubuh; mereka tidak berkembang biak dan tidak mati, karena sebagai mahluk spiritual keberadaan mereka adalah kekal. Para malaikat diadili sesaat setelah mereka diciptakan, yaitu apakah mereka mau memilih untuk taat kepada Allah atau untuk menolak Allah. Dan kita ketahui ada sebagian dari para malaikat ini memilih untuk menolak Allah. Mereka yang menolak Allah ini dipimpin oleh Lucifer (lih. Yes 14 dan Yeh 28); dan mereka inilah yang kita sebut sebagai iblis/ fallen angels.

Gereja Katolik, mengambil prinsip pengajaran dari St. Thomas Aquinas mengajarkan demikian, seperti yang disampaikan oleh pembimbing Theologi situs Katolisitas, Dr. Lawrence Feingold:

Angels are said to be created in heaven, in opposition to earth. Since the angels are purely spiritual beings, they belong to the spiritual and not the material realm. In this sense they were created in heaven. However, if heaven is understood as the state of seeing God (beatific vision- 1 John 3:2), then the angels were not created in heaven, for they could not see God in the moment of their creation, for they first had to pass through a trial. Now a trial for angels lasts only an instant, because they do not need time to deliberate in which they reason laboriously, as we do. The fallen angels fell in this trial, whereas the good angels were confirmed in good and were given the beatific vision as the result of their trial.

There could be no imperfection in heaven, taken as the state of seeing God, for only the good angels could attain to it. Taking heaven in the broader sense as the good spiritual condition in which the angels were created, there would still be no imperfection in heaven, for the imperfection only came about with the free sin of the angels by which they fell from their natural goodness in which they were created.

The creation of the angels is not directly related in Genesis 1-2, which is concerned with our visible universe. Some of the Fathers see the creation of the angels mysteriously signified in the first words of Genesis: “In the beginning God created heaven and earth.” The creation of the angels is connected with the creation of heaven. The meaning would be that God created both a spiritual and a material order of creation (heaven and earth).
The fall of the fallen angels is not related in Genesis. It is hinted at in a few texts of the prophets, such as in Yeh 28 and Is 14.

Terjemahan dan penjelasannya:

Dikatakan bahwa para malaikat diciptakan di surga, dalam artian bahwa mereka tidak mungkin diciptakan di dunia. Karena para malaikat adalah mahluk spiritual yang murni, mereka ada di dunia spiritual dan bukan berada di dunia material. Maka dari segi pemikiran ini, mereka diciptakan di surga. Namun demikian, jika surga dimengerti sebagai suatu keadaan memandang Allah (beatific vision, 1 Yoh 3:2); maka para malaikat itu tidak diciptakan di surga. Sebab pada saat diciptakan, walaupun semua malaikat diciptakan dengan keadaan baik adanya (Kej 1: 31), mereka tidak mempunyai beatific vision. Mereka harus lebih dahulu diadili/ mengalami penghakiman: apakah mereka mau taat kepada Allah sehingga kemudian dapat melihat Allah dan bersatu dengan-Nya di surga, atau tidak. Pengadilan para malaikat ini hanya terjadi sesaat sekali (instant) sebab mereka tidak membutuhkan waktu untuk berpikir seperti manusia, yang terbatas oleh ruang dan waktu. Para malaikat yang jahat /fallen angels gagal dalam pengadilan ini (lihat St. Thomas Aquinas dalam Summa Theology, part I, q.63, a.5-6) sedangkan para malaikat yang baik dikukuhkan kebaikannya, dan diberikan karunia beatific vision, sebagai hasil dari pengadilan mereka. Beatific vision di sini maksudnya adalah persatuan dengan Allah di Surga, yaitu dengan memandang Allah dalam keadaan yang sebenarnya (1 Yoh 3:2).

Dengan pengertian demikian, tidak mungkin ada ketidaksempurnaan/ kekacauan di Surga. Jika surga diartikan sebagai keadaan melihat atau memandang Allah (beatific vision); tidak mungkin ada ketidaksempurnaan di sini, sebab hanya para malaikat yang baik saja yang dapat mencapai keadaan ini. Jika surga diartikan secara lebih luas sebagai suatu kondisi spiritual di mana para malaikat diciptakan, juga tidak dapat dikatakan bahwa terdapat suatu ketidaksempurnaan/ kekacauan di surga, sebab ketidaksempurnaan hanya terjadi ketika ada dosa ketidaktaatan dari para malaikat yang jatuh dari kondisi kebaikan yang di dalamnya mereka telah diciptakan.

Maka penciptaan para malaikat tidak secara langsung berkaitan dengan kitab Kejadian 1-2. Beberapa Bapa Gereja melihat bahwa penciptaan para malaikat secara misterius telah diungkapkan pada kalimat pertama dalam kitab Kejadian: “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi (heaven and earth)” (Kej 1:1). Penciptaan para malaikat berkaitan dengan penciptaan surga (diterjemahkan sebagai langit). Artinya adalah bahwa Tuhan menciptakan baik dunia spiritual maupun material, heaven and earth. Kejatuhan para malaikat yang jahat/ fallen angels tidak berhubungan dengan kitab Kejadian yang mengisahkan perihal penciptaan dunia material. Kejatuhan para malaikat/ fallen angels tersebut dikisahkan dalam kitab para nabi, seperti yang dijabarkan di dalam kitab Yeh 28, dan Yes 14 yang mengisahkan kejatuhan Bintang Timur/ putera Fajar (Lucifer) yang ingin menyamai Tuhan Yang Maha Tinggi, sehingga akibatnya diturunkan oleh Allah ke dunia orang mati. Lucifer ini membawa bersamanya sepertiga dari para malaikat lainnya (lih. Why 12:4).

Dengan pengertian di atas, maka bumi yang “tohu” dan “bohu” (belum berbentuk dan kosong) pada di kitab Kej 1:1-2 tidak untuk diartikan bahwa itu merupakan keadaan akibat pengadilan para malaikat. Karena kejadian pengadilan para malaikat itu tidak berkaitan dengan dunia material dalam hal ini penciptaan bumi yang disampaikan dalam Kej 1:2. Interpretasi seperti yang dituliskan oleh Derek Prince tersebut, dapat mengarah kepada kesimpulan yang keliru bahwa bumi seolah- olah diciptakan dua kali: penciptaan pertama “dirusakkan” oleh Iblis (atau penghakiman para malaikat) dan baru yang kedua adalah bumi yang sekarang ada. Diskusi tentang hal ini, sudah pernah ditulis di sini, silakan klik. Interpretasi ini tidak sesuai dengan ajaran Gereja Katolik dan juga ayat- ayat Kitab Suci lainnya, yang mengajarkan secara eksplisit bahwa penciptaan bumi dan segala isinya hanya terjadi satu kali. Tidak mungkin Allah yang Maha Kuasa dan Maha Sempurna menciptakan segala sesuatu hanya untuk dibiarkan untuk ‘dirusakkan’ oleh Iblis, dan kemudian membuat ulang. Kejadian seperti itu mengandaikan Tuhan yang tidak peduli akan ciptaan-Nya, yang seolah ‘salah desain’, dan ini tentu bertentangan dengan karakter Tuhan yang Maha Kuasa yang merencanakan segala sesuatunya dengan baik dan sempurna (lih. Kej 1:31).

Jadi istilah tohu dan bohu (belum berbentuk dan kosong) itu hanya mau menunjukkan bahwa Allah menciptakan bumi dan segala isinya secara bertahap.  Dari keadaan kosong dan tiada berbentuk,  Allah yang dalam kesatuan dengan Roh-Nya dan Firman-Nya, menciptakan langit dan bumi dan segala isinya.

Demikian yang dapat saya tuliskan mengomentari pandangan yang anda sampaikan di atas, yang mengutip tulisan Derek Prince. Jika terdapat hal yang tidak sepenuhnya jelas dijabarkan dalam Kitab Suci, umat Katolik berpegang kepada Tradisi Suci, yaitu pengajaran para Bapa Gereja, dan tidak menggantungkannya kepada interpretasi pribadi. Bagi saya pribadi, pengajaran para Bapa Gereja ini sungguh lebih masuk akal, konsisten dan sesuai dengan ayat- ayat Kitab Suci lainnya dan tidak menimbulkan kontradiksi.

Saya mengajak umat Katolik yang membaca situs ini, untuk merenungkan pengajaran Gereja Katolik tentang hal penciptaan ini, agar tidak mudah terpengaruh oleh pandangan /hipotesa pribadi, apalagi yang kemudian tidak sesuai dengan ayat- ayat Kitab Suci yang lain.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- www.katolisitas.org

Misi khusus orang tua: membesarkan anak secara Kristiani

22

Anak-anak adalah titipan Tuhan

Sebagai orangtua, kita dititipi anak-anak oleh Tuhan. Ini adalah tanggung jawab besar yang Tuhan percayakan pada kita. Semuanya terserah kepada kita, bagaimana kita menggunakan otoritas yang diberikan oleh Tuhan ini. Apakah kita akan menggunakannya dengan baik, atau kita akan membuang kesempatan emas yang mulia ini?

Kalau kita melihat dan mempelajari, orangtua sangat berperan besar sekali dalam kehidupan seorang anak. Bagaimana anak-anak ini akan tumbuh? Akan menjadi orang seperti apa mereka kalau sudah besar? Apakah mereka akan menjadi orang baik, pandai dan bermoral? Ataukah mereka akan menjadi nakal, bermasalah, dan tidak bertanggung jawab? Dengan kata lain, menjadi orang seperti apa mereka nantinya, sangat tergantung kepada bagaimana cara kita membesarkan mereka.

Anak-anak datang tidak dengan “petunjuk pemakaian”

Seperti yang kita ketahui, setiap anak berbeda satu sama lain. Dari segi karakter, tabiat, watak, bawaan, dan lain- lain; mereka semua unik dan berlainan. Kadangkala saya berharap Tuhan memberikan setiap orangtua buku petunjuk yang jelas dan lengkap mengenai cara membesarkan anak- anak kita masing-masing. Di buku ini saya harapkan Dia membahas secara detail mengenai: tipe karakter setiap anak, apa yang mereka suka/tidak suka, apa kelebihan/kekurangannya, bagaimana cara membesarkannya supaya mereka bisa menjadi orang benar, apa yang harus dilakukan kalau mereka bersalah, berbuat nakal, tidak mau menurut, dan seterusnya Bukankan Bapa kita di surga adalah Pencipta kita semua? Pastilah Dia tahu apa yang terbaik bagi setiap kita.

Sayangnya setiap anak yang dilahirkan tidak datang dengan ‘Buku Petunjuk Pemakaian’. Mereka dilahirkan dengan keadaan yang sangat sederhana, tanpa pakaian atau perlengkapan apapun juga. Saya pikir, mungkin Tuhan menghendaki agar setiap orang tua untuk terus bertumbuh, mempelajari dan mendalami keadaan anaknya setiap saat. Mungkin Tuhan ingin agar setiap orang tua selalu bergantung kepadaNya Sang Pencipta, agar Ia dapat memberikan kita anugerah, arahan, pandangan dan harapan, dalam membesarkan putra dan putri-Nya di dunia ini. Suatu tanggung jawab yang besar sekali, di mana hanya dengan melalui cara Tuhan Sang Pencipta sajalah kita baru dapat melaksanakannya dengan semaksimal mungkin dan sebaik mungkin.

Santa-santo membantu orang tua untuk mendidik anak-anak

Kalau kita melihat kisah para santo dan santa, kita mengetahui bahwa banyak dari mereka dilahirkan di dalam keluarga yang sangat sederhana. Walaupun demikian, orang tua mereka berhasil mendidik anak-anaknya sehingga mereka dapat menjadi santo/santa. Mari kita lihat keluarga Santa Bernadet. Dia dilahirkan di keluarga yang miskin dan sederhana. Bernadet sendiri sakit-sakitan dan kurang berpendidikan. Walaupun demikian, mereka sangat beriman kepada Tuhan. Sejak kecil, Bernadet mengenal imannya dengan benar dan mengerti cara mengaplikasikan imannya di dalam kehidupannya sehari-hari. Karena kedalaman imannya, kerendahan hatinya, dan kesederhanaannya itulah dia dipilih Tuhan untuk melakukan karya khususNya di dunia. Bunda Maria menampakkan diri padanya, dan melaluinya, banyak orang yang bertobat dan disembukan melalui mukjijat di Gua Lordes. Seperti halnya dengan Santa Bernadet, santo dan santa yang lain (walaupun mempunyai karakter yang sangat berbeda, dan latar belakang keluarga yang sangat berlainan), memiliki satu hal yang sama. Hal ini adalah: iman dan kasih mereka pada Tuhan, GerejaNya, dan sesama. Hal ini membuat mereka menjadi rendah hati dan teguh beriman. Hal ini membuat mereka dipakai Tuhan dengan caranya yang khusus. Setiap santo/santa mempunyai panggilan yang spesifik, sesuai dengan karakter dan kehidupan pribadi mereka. Ada kalanya dengan cara yang sederhana, namun juga ada kalanya dengan cara yang besar mulia. Apapun karya mereka, besar atau kecil, semasa hidupnya mereka semakin lama semakin bertumbuh menjadi lebih rendah hati, dalam melayani dan mencintai Tuhan.
Sama halnya dengan kita, santo dan santa ini hidup di dunia yang nyata. Mereka dihadapkan dengan masalah yang serupa seperti kita. Dunia yang penuh dengan cobaan, ketidaksempurnaan, dosa, dan musibah. Orang tua merekapun dihadapkan dengan keadaan yang serupa dengan yang kita alami. Mereka harus juga melengkapi kehidupan jasmani anak-anaknya; dari mulai makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Merekapun dengan caranya sendiri juga melengkapi kehidupan rohani anak-anaknya, sehingga anak-anaknya tumbuh menjadi orang yang mengenal, memuji dan mencintai Tuhan. Jaman dahulu, mereka dapat membesarkan anaknya dengan baik, tanpa bantuan teknologi yang canggih, psikolog yang ternama, ataupun uang yang berlimpah.
Pada akhirnya, pertanyaannya adalah : “Apakah yang kita inginkan bagi anak-anak yang Tuhan percayakan pada kita?” Setiap orangtua pada umumnya menginginkan anak-anaknya untuk hidup bahagia. Pertanyaannya adalah, “Kehidupan bahagia yang seperti apa?” Kehidupan bahagia yang seharusnya kita inginkan, adalah kebahagiaan yang abadi untuk selama-lamanya. Ini adalah kebahagiaan yang hanya bisa diperoleh apabila kita pada akhirnya hidup bersama Bapa kita di Surga. Kehidupan bahagia yang abadi di Surga inilah yang seharusnya kita cari dan usahakan bagi anak-anak kita; bukan semata-mata hanya kehidupan di dunia yang sifatnya semu dan singkat. Apa artinya kalau kita hidup di dunia dan memperoleh uang, kekuasaan, kepopuleran, atau kemuliaan, tetapi perbuatan kita tidak membawa kita ke rumah Bapa di Surga. Sabda Tuhan mengatakan, bahwa pada akhirnya yang membawa seseorang ke Surga adalah iman, pengharapan dan cinta kasih kita pada Tuhan dan sesama. Ketiga hal inilah yang pada akhirnya akan dilihat oleh Tuhan. Ketiga hal inilah yang akan menyelamatkan seseorang untuk kembali ke rumah Bapa.

Petunjuk pemakaian secara umum adalah hukum kasih

Seperti yang Kristus katakan, hukum yang paling utama di antara semua hukum di Alkitab adalah: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini.” (Markus 12:30-31)
Apabila kita benar-benar melaksanakan kedua hukum cinta kasih ini, dengan sendirinya hukum-hukum yang lain pasti akan kita penuhi. Seseorang yang mencintai Tuhan dan sesama dengan segenap hati, jiwa dan raga; pasti dengan sendirinya adalah seseorang yang mencintai keluarganya, Gerejanya dan negaranya. Dia pasti adalah seorang warga negara yang benar, teman yang sejati, anak yang bertanggung jawab, dan pekerja yang teguh. Mengapa? Karena dengan sendirinya orang tersebut akan melakukan ajaran Tuhan yang tertera di Kitab Suci, dan hukum Gereja; yang membawa orang tersebut kepada keselamatan di Surga.

Memang Tuhan tidak menuliskan secara spesifik ‘Buku Petunjuk Pemakaian’ untuk setiap anak. Tetapi Tuhan sudah menuliskan ajaran kasihNya melalui sabdaNya di dalam Alkitab. Bersyukurlah Tuhan juga sudah memberikan kuasa otoritas khusus kepada Gereja Katolik untuk menginterpretasikan firmanNya ke dalam hidup kita sehari-hari. Bersyukurlah Gereja Katolik sudah menuliskan ‘Katekismus Gereja Katolik’, dan dokumen Gereja yang lainnya sebagai buku panduan kita untuk menjalani hidup kita dengan baik dan kudus. Kita juga harus bersyukur akan banyaknya psikolog dan penulis Katolik yang ternama, yang membantu kita untuk lebih mengaplikasikan ajaran Tuhan ini dengan lebih nyata lagi dalam kehidupan keluarga.
Bapa kita di Surga telah menyampaikan banyak hal yang penting untuk kita pelajari dan mengerti, sebagai bekal dalam upaya kita menjadi orangtua yang lebih baik. Melalui firmanNya di Kitab Suci, dan ajaran Gereja Katolik inilah, Tuhan sudah memberikan kita informasi yang secukupnya untuk membantu kita para orangtua memulai melakukan misi kita yang mulia ini: “Membantu menunjukkan jalan bagi anak-anak Tuhan yang dipercayakan pada kita untuk pada akhirnya kembali ke rumah Bapa di Surga”.

Misi kudus kita sebagai orangtua adalah: mengarahkan jiwa anak-anak kita untuk memperoleh kebahagiaan di dunia dan di surga

Dengan mengupas kedua sumber utama ini secara seksama, marilah bersama-sama kita renungkan dan pelajari: “Bagaima kita menjadi orangtua yang kudus, yang sesuai dengan apa yang direncanakan Tuhan bagi kita secara pribadi?

Kehidupan Setiap Manusia Ada dalam Rencana Allah

Tuhan menghendaki agar setiap orang bersatu denganNya di Surga. Karena besarnya kasih Allah pada manusia, Dia mengirimkan PuteraNya sendiri untuk menebus dosa manusia, sehingga kita dapat kembali bersamaNya di Surga (lih. Yoh 3:16).
Karena begitu indahnya rencana Allah bagi setiap manusia, sudah sepantasnyalah bagi kita anak- anak-Nya untuk mengikuti jalan yang sudah Dia bukakan bagi kita. Jalan ini adalah jalan yang memberikan keselamatan bagi orang yang percaya kepadaNya. Jalan yang dibekali oleh terang Roh Kudus, anugerah yang kita terima melalui sakramen-sakramen yang diberikan oleh Gereja Katolik, firmanNya yang meneguhkan dan menghibur.

Segala yang terjadi dalam hidup kita ada dalam rencana Tuhan. Segala langkah dan keputusan yang kita ambil (baik atau buruk), semuanya telah diketahui oleh Tuhan. Allah yang MahaTahu dan MahaKasih tidak lelah memanggil dan mengingatkan kita untuk mengambil keputusan yang benar, yaitu yang didasari oleh penerangan Roh Kudus, firmanNya dan GerejaNya. Dia mengajak kita untuk mengambil jalan yang benar dan memberi keputusan yang didasari iman, pengharapan dan kasih.

Karena kita adalah bagian dari rencana Allah, Tuhan pun memakai kita, sebagai orangtua, tidak hanya untuk membawa diri kita sendiri ke dalam Surga, tetapi juga membawa anak-anak (dan orang-orang lain) yang dipercayakan pada kita ke Surga. Ini adalah tanggung jawab terbesar bagi orangtua untuk anak-anaknya: menghantar, menuntun dan menunjukkan jalan menuju Surga. Karena misi yang kudus inilah, orang tua harus berupaya untuk:

1) Menanamkan di dalam hati anak-anak kita kebenaran yang sesungguhnya.
2) Menyatukan dan menguatkan kehendak dan pemikiran mereka terhadap kehendak Tuhan.
3) Menanamkan rasa kasih pada Tuhan dan sesama, dan keinginan untuk menjalani kehidupan dengan kekudusan dan pelayanan.
4) Mengorbankan kepentingan pribadi kita dengan suka cita, demi keselamatan dan kepentingan anak.
5) Dengan bantuan rahmat Tuhan, menuntun anak-anak kita untuk menjadi santo dan santa di dunia modern ini.

Tuhan mengetahui dan mengenal kita semua satu persatu, mulai dari kepribadian kita masing-masing, sampai ke jumlah rambut kita. Karenanya Tuhan pula yang mengetahui secara pasti dan benar keberadaan seorang anak di dalam keluarganya masing-masing. Dia yang menciptakan anak tertentu untuk lahir melalui campur tangan orangtua yang tertentu, di dalam keluarga yang tertentu. Sama seperti misteri bagaimana dua orang yang berlainan dapat bertemu, jatuh cinta dan menikah; begitulah adanya misteri bagaimana anak yang tertentu dapat lahir di keluarga tertentu. Ini adalah suatu misteri Allah yang sangat ajaib dan indah. Sepertinya Tuhan mengetahui orang tua mana yang terbaik untuk anak tertentu. Sepertinya Tuhan mempercayakan keberadaan anak ini di dalam tangan kita.
Begitu besarnya rasa percaya Bapa kita di Surga kepada kita dalam membesarkan anak-anak ini, sehingga melalui kitalah mereka bisa dituntun, dibesarkan dan dikembalikan akhirnya ke rumah Bapa. Kita harus yakin bahwa Tuhan mempunyai rencana yang indah bagi kita dan keluarga kita, apabila kita mau mengikuti kehendakNya dan jalan yang sudah Dia berikan bagi kita.
Selama kita menjalani rencana Allah bagi keluarga kita ini, Tuhan menjanjikan kita harapan dan kekuatan melalui rahmatNya dan Roh Kudus. Sama seperti Tuhan yang menyertai bangsa Israel untuk selamat sampai di Tanah Perjanjian, Tuhan pulalah akan menyertai kita dan melimpahkan berkatnya bagi kita, supaya kita bisa terus dengan setia mengarahkan keluarga kita untuk sampai ke Rumah Bapa di Surga. Karenanya, seperti Musa yang terus bertanya dan berusaha menjalankan kehendak Tuhan, kitapun harus selalu bertanya pada Bapa dan meminta petunjukNya untuk menerangkan dan menuntun kita di jalan yang benar.

“Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan. Dan apabila kamu berseru dan datang untuk berdoa kepada-Ku, maka Aku akan mendengarkan kamu; apabila kamu mencari Aku, kamu akan menemukan Aku; apabila kamu menanyakan Aku dengan segenap hati. Aku akan memberi kamu menemukan Aku, demikianlah firman TUHAN, dan Aku akan memulihkan keadaanmu dan akan mengumpulkan kamu dari antara segala bangsa dan dari segala tempat ke mana kamu telah Kuceraiberaikan, demikianlah firman TUHAN, dan Aku akan mengembalikan kamu ke tempat yang dari mana Aku telah membuang kamu.” (Yeremia 29:11-14)

Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu. (Yesaya 55:8-9)

Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah. (Roma 8:28)

Post Format: Status

0

WordPress, how do I love thee? Let me count the ways (in 140 characters or less).

1 Kor 14:22, Karunia bahasa roh untuk orang yang tidak beriman?

23

Pertanyaan:

I Korintus 14
14:22 Karena itu karunia bahasa roh adalah tanda, bukan untuk orang yang beriman, tetapi untuk orang yang tidak beriman; sedangkan karunia untuk bernubuat adalah tanda, bukan untuk orang yang tidak beriman, tetapi untuk orang yang beriman

artinya pak Stev,

Breakdance

Jawaban:

Shalom Breakdance,

Berikut ini adalah penjelasan dengan sumber utama dari penjelasan Rev. George Leo Haydock, Douay Rheims Holy Bible with a Comprehensive Catholic Commentary, (Duarte, California: Catholic Treasures, 1859, reprint 2006), p.1516-1517:

1 Kor 14:22 ini berkaitan dengan ayat sebelumnya, yaitu ayat 21, yang mengatakan demikian:

Dalam hukum Taurat ada tertulis: “Oleh orang-orang yang mempunyai bahasa lain dan oleh mulut orang-orang asing Aku akan berbicara kepada bangsa ini, namun demikian mereka tidak akan mendengarkan Aku, firman Tuhan.”

Ini mengacu kepada yang dikatakan dalam Kitab Yesaya, yaitu Yes 28:11-12. Di sini Rasul Paulus ingin menerangkan kepada jemaat akan apa yang terjadi pada saat Pentakosta, ketika karunia bahasa roh diberikan secara ajaib untuk membuat orang yang tidak percaya agar menjadi percaya, agar mereka dapat sampai kepada iman yang benar.

[Kita mengetahui bahwa pada saat Pentakosta, karunia bahasa roh diberikan kepada para rasul, sehingga mereka dapat berkata- kata dalam bahasa- bahasa lain, dan ini sungguh mencengangkan orang- orang yang pada saat itu belum mengimani Kristus (Kis 2:11-12). Mukjizat inilah yang membawa mereka menyadari akan adanya kuasa Roh Kudus yang turun atas para rasul, sehingga orang- orang yang mendengarkan mereka akhirnya mengimani Kristus, dan memberikan diri untuk dibaptis (lih. Kis 2: 41).]

Ketika Rasul Paulus menambahkan, “sedangkan karunia untuk bernubuat adalah tanda, bukan untuk orang yang tidak beriman, tetapi untuk orang yang beriman,” ia tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa karunia bahasa roh, jika digunakan dengan bijaksana, tidak berguna untuk orang beriman, ataupun karunia nubuat itu tidak berguna untuk orang- orang yang tidak beriman. Sebab, pengertian yang demikian malah bertentangan dengan apa yang disampaikan oleh rasul Paulus sendiri pada ayat 24, “Tetapi kalau semua bernubuat, lalu masuk orang yang tidak beriman atau orang baru, ia akan diyakinkan oleh semua dan diselidiki oleh semua…” Jadi di sini kita mengetahui bahwa nubuat dapat berguna untuk semua orang.

Maka maksud Rasul Paulus menyampaikan perikop ini adalah untuk mendidik, baik kepada mereka yang sudah percaya ataupun mereka yang belum percaya untuk melakukan segala sesuatunya sesuai dengan prinsip keteraturan. Rasul Paulus mengatakan walaupun ia sendiri dapat berbahasa roh, melebihi para jemaat (lih. 1 Kor 14:18) namun ia lebih suka mengucapkan lima kata yang berarti dan dapat dimengerti oleh semua jemaat daripada beribu- ribu kata dalam bahasa roh (1 Kor 14: 19). Di sini Rasul Paulus ingin menekankan adanya keteraturan dalam pertemuan jemaat, sehingga dapat membangun semua umat yang hadir (lih. 1 Kor 14:26). Pertemuan ibadah dapat diisi dengan pembacaan Mazmur, pengajaran, karunia bahasa roh, dan tafsiran bahasa roh, dengan maksud agar dapat dimengerti oleh semua umat.

Akhirnya dia memberi kesimpulannya di ayat 39, yaitu:

“Karena itu, saudara-saudaraku, usahakanlah dirimu untuk memperoleh karunia untuk bernubuat dan janganlah melarang orang yang berkata-kata dengan bahasa roh.”

Maka di sini Rasul Paulus berpesan agar kita tidak melarang bahasa roh, namun mementingkan nubuat/ interpretasinya; agar dalam ibadah terdapat keteraturan yang tidak menimbulkan kesan kekacauan, tetapi damai sejahtera (lih. 1 Kor 14:33).

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab