Home Blog Page 24

Diselamatkan melalui pertobatan, iman dan kasih

0
Sumber gambar: https://en.wikipedia.org/wiki/Anointing_of_Jesus#/media/File:Bouts_anoiting.jpg

[Hari Minggu Biasa XI: 2Sam 12:7-10.13; Mzm 32:1-11; Gal 2:16-21; Luk 7:36-8:3]

Bacaan-bacaan Kitab Suci hari ini jelas berbicara tentang pentingnya pertobatan, iman dan perbuatan kasih, agar kita dapat diselamatkan. Bacaan pertama, mengisahkan pertobatan Raja Daud, yang ditegur Tuhan melalui Nabi Natan, karena Daud telah mengambil Batsyeba istri Uria untuk dijadikan istrinya, setelah ia membunuh Uria melalui pedang orang Amon. Allah tidak berkenan dengan perbuatan Daud ini. Sebagai konsekuensi dari dosanya ini, anak Daud dari Batsyeba ini meninggal dunia, dan pedang tak pernah menyingkir dari keturunan Daud. Namun Daud bertobat. Allah menerima pertobatannya itu, dan tidak membinasakan dia (lih. 2Sam 12:9-13). Dari perikop ini, kita mengetahui pentingnya pertobatan. Demikian pula, Mazmur hari ini mengajak kita untuk mengakui kesalahan-kesalahan kita di hadapan Tuhan, agar kita memperoleh pengampunan dari-Nya. Sedangkan di Bacaan Kedua, Rasul Paulus menekankan pentingnya iman dalam Kristus (lih. Gal 2:18).

Bacaan Injil pun menekankan pesan yang serupa, namun lebih lengkap. Injil Lukas menjabarkan pertobatan wanita yang berdosa, yang dengan perbuatannya menunjukkan kasihnya yang besar kepada Tuhan Yesus (Luk 7:36-50, 8:1-3). Tradisi Latin—mengikuti ajaran St. Gregorius Agung—mengajarkan bahwa kejadian serupa yang dicatat oleh keempat Injil mengacu kepada wanita yang sama. Tetapi tradisi Gereja Timur Yunani umumnya menganggap kejadian di Injil Lukas ini berbeda dengan yang dikisahkan di ketiga Injil lainnya, dan banyak komentator modern mengadopsi pandangan ini. Menurut tradisi Latin,  St. Lukas tidak menyebutkan nama wanita ini, karena memang sesuai dengan gaya penulisannya yang halus dan hati-hati. Namun dari begitu besarnya kasih yang dinyatakan wanita itu kepada Yesus, bahkan ia tak malu menyatakan pertobatannya di hadapan umum, itu menunjukkan betapa besar dosa yang pernah dibuatnya. Ini mengacu kepada wanita yang dikenal dengan nama Maria Magdalena.  St. Gregorius Agung menjelaskan tentang pertobatan wanita itu demikian, “Sebab matanya yang dulu mengidamkan hal-hal dunia, kini ia jadikan aus oleh tangis penyesalan. Ia yang dulu menampilkan rambutnya untuk mempercantik wajahnya, kini ia menyeka air matanya dengan rambutnya…. Ia yang dulu menyombongkan diri dengan mulutnya, kini mencium kaki Tuhan, dan menekankan bibirnya di kaki Penebusnya. Dia yang dulu menggunakan minyak urapan  untuk mengharumkan tubuhnya; apa yang tak layak digunakan untuk dirinya sendiri, kini secara terpuji dipersembahkannya kepada Tuhan… Sebagaimana banyak kenikmatan yang dulu dimilikinya untuk dirinya sendiri, demikianlah banyak persembahan yang diberikan dengan rincinya dari dirinya sendiri. Ia mengubah begitu banyak kesalahannya menjadi banyak kebajikan yang setimpal, sehingga sebanyak itu dari dirinya dapat sepenuhnya melayani Allah dengan pertobatannya, seperti dahulu ia telah menghina Allah dengan dosa-dosanya….” Dengan ungkapan pertobatannya yang sedemikian, Tuhan Yesus berkenan mengampuni wanita itu. Tuhan Yesus memandang ungkapan tobat wanita itu sebagai tanda iman dan kasihnya kepada Allah. Saudara-saudara kita yang menganut paham “hanya iman saja (sola fide)” yang menyelamatkan, sering mengutip Luk 9:50 sebagai dasarnya, yaitu perkataan Yesus, “Imanmu telah menyelamatkan engkau, pergilah dengan selamat!” Namun kita tidak boleh mengabaikan perkataan Yesus juga yang dicatat di beberapa ayat sebelumnya. Yaitu, “Dosanya yang banyak itu telah diampuni, sebab ia telah banyak berbuat kasih” (Luk 9:47). Demikianlah, nampak bahwa iman itu agar menyelamatkan harus dinyatakan dengan perbuatan kasih, dan iman tak terpisah dari perbuatan kasih. Dengan membaca Injil hari ini, mari kita sadari bersama, bahwa untuk memperoleh pemahaman yang lengkap akan kehendak Tuhan, kita tidak bisa hanya mengambil satu ayat saja, dan mengabaikan ayat-ayat yang lain.

Selanjutnya Injil hari ini juga mengingatkan kita untuk waspada, agar jangan memiliki sikap menyerupai orang Farisi, yang memandang rendah orang berdosa, dan bahkan mengkritik Tuhan yang mau mengampuni orang berdosa. Tentang orang Farisi itu, St. Gregorius berkata, “Tetapi orang Farisi itu, dengan melihat tindakan dan persembahan  wanita itu malah merendahkannya, dan mencari-cari kesalahan, tak hanya kesalahan wanita itu yang sebelumnya adalah pendosa, tapi juga Tuhan Yesus yang menerimanya. Karena dikatakan, orang Farisi yang menyambutNya itu, berbicara dalam hatinya, ‘Kalau orang ini adalah nabi, ia akan mengetahui siapa dan orang seperti apa wanita ini yang telah menyentuh dia.’ Kita melihat bahwa orang Farisi ini sungguh menyombongkan diri sendiri, dan budinya munafik, dengan ia menyalahkan wanita yang sakit ini karena penyakitnya, dan sang Tabib ini karena bantuannya….”

Lalu bagaimana sebaiknya sikap kita? St. Gregorius melanjutkan, “Ketika memandang orang-orang berdosa, kita harus pertama-tama meratapi diri kita sendiri karena malapetaka yang mereka alami, sebab mungkin kita telah mengalami kejatuhan yang serupa, dan pasti cenderung pada kejatuhan yang serupa tersebut. Tapi penting bahwa kita dengan seksama membedakan, karena kita wajib untuk membuat pembedaan (menjauhkan diri) dengan sifat-sifat buruk, tetapi untuk memiliki belas kasih dalam sifat-sifat mendasar….” (St. Gregory, Catena Aurea, Luk 36:50). Demikianlah, sabda Tuhan hari ini mengingatkan kita untuk waspada akan kelemahan kita sendiri, supaya kita tidak memandang rendah kepada orang lain yang melakukan kesalahan. Sebab bisa jadi, jika kita ditempatkan pada situasi yang sama dengan orang itu, kita pun dapat jatuh kepada dosa yang sama, atau bahkan dalam cara yang berbeda, kitapun pernah jatuh dalam kesalahan yang serupa. Semoga kesadaran ini membuat kita lebih bijaksana: tidak lekas menghakimi orang lain, namun juga berjuang keras menjauhkan diri dari dosa-dosa.  

Tuhan, terima kasih atas sabda-Mu hari ini. Bantulah aku agar tidak jatuh dalam dosa, dan agar sekalipun aku jatuh, aku dapat bergegas untuk bertobat. Buatlah aku sepenuhnya memahami, bahwa rahmat keselamatan yang kuterima saat Baptisan harus selalu kujaga, dengan pertobatan yang terus menerus, keteguhan iman dan perbuatan kasih kepada-Mu dan kepada sesamaku. Amin.

Iman dan Praktek Iman Gereja Mengatasi Kuasa Kegelapan

0
Sumber gambar: https://twcdaily.files.wordpress.com/2015/10/jesus-casting-out-demons.jpg?w=663&h=410

1. Kuasa Kegelapan

Setan atau Iblis sang kegelapan yang jahat, si jahat, awalnya ialah malaikat ciptaan Allah. Mereka ialah makhluk rohani yang punya kebebasan dan kemauan. Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru memberikan banyak pernyataan mengenai setan dan bagaimana perlawanannya terhadap Kristus dan pemerintahan Kristus. Kitab Yesaya melukiskan kejatuhan malaikat dalam kegelapan (Yes 14:12-15). Bintang Timur, putra Fajar dalam Alkitab berbahasa Indonesia itu diterjemahkan dari bahasa latin “Lucifer”. Alasan kejatuhan itu ialah pemberontakan dan kesombongannya. Dengan itu munculah kuasa kegelapan

Iblis (eks malaikat) menjadi yang terjahat. Para setan tetap berada dalam hirarki yang sama seperti dulu yang diberikan ketika masih malaikat: Pemerintah (Principalities), Singgasana (Thrones), Kerajaan (Dominion), dan seterusnya. Ia disebut pula pangeran dunia, penguasa kegelapan, pendusta, pendengki, si jahat dan semacamnya. Karena mereka pendusta, maka bisa saja ia berdusta, berbohong mengancam, memutarbalikkan fakta dan semacamnya. Tujuannya hanya satu, ialah menghalangi atau menjauhkan manusia dari Kristus. Mereka iri mengapa Sabda Allah menjadi manusia, memberontak, dilemparkan ke bumi (Lihat kitab Wahyu 12). Dalam Perjanjian Baru, Iblis digambarkan sebagai penganggu dan penyesat manusia, batu sandungan bagi rencana Allah. Ia terang-terangan menantang Yesus (Mat 4:1-11//Mrk 1:12-13// Luk 4:1-13). Iblis menyusup masuk dalam lingkaran terdalam murid Kristus (Luk 22:3). Namun mereka dikalahkan oleh Allah.

Penginjil Yohanes mengisahkan hidup Yesus dalam konteks pertempuran antara terang dan gelap, kuasa baik dan kuasa jahat. Yesus ialah yang dari allah, Sang Terang yang mengusir kegelapan, mengusir penguasa dunia (Yoh 12:31; 14:30; 16:11). Iblis menyamar dalam diri orang yg memusuhi Yesus. Maka Yudas Iskariot disebut Iblis (Yoh 6:70-71; 13:2,27). Kaki tangan kekuasaan Yahudi bekerja sama dengan Yudas dan dianggap bekerja sama dengan iblis (Yoh 6:17). Yohanes melukiskan iblis tidak bekerja sendirian tetapi memakai manusia sebagai alatnya.  Dalam Surat-Surat Paulus, Iblis digambarkan menyamar sebagai malaikat terang (2Kor 11:13-15), musuh yg halus, licin, berbahaya dan mematikan (2 Kor 12:7). Pinbtu masuk iblis ialah buah roh yang jahat (Gal 5: 19-21). Kesombongan menjadi batu yang menyandung orang jatuh dalam jerat iblis (1 Tim 3:6-7). Iblis menggoda utk perzinahan (1 Kor 7: 5). Senjata melawannya ialah perlengkapan senjata Allah (Ef 6:11-20).  Dalam Surat-Surat katolik,  iblis selalu menentang Allah namun selalu kalah. Yang bersama allah tak kan berhasil dijatuhkan iblis. Anak-anak iblis ialah yang membenci saudara (1 Yoh 3:10). Iblis membawa dosa masuk ke dunia (1 Yoh 3:8). Kuasa iblis itu kuat (1Yoh 5:19), ia berkuasa atas maut (Ibr 2:14). Namun yang berssama dengan Allah tak kan dikuasai iblis (1Yoh 5:18). Kita harus berjaga-jaga dan melawannya dengan iman (1 Ptr 5:8-9), melawan dengan berani dan taat pada Allah (Yak 4:7).

Setan bagaimanapun ciptaan Allah dan atas sepengetahuan/seizin Allah mereka bergerak dengan kehendak bebas. Seperti juga bahwa kejahatan meruyak di dunia oleh kehendak bebas manusia, setan pun bergerak menyebarkan kejahatan dengan kehendak bebasnya. Mengenai bagaimana lepasnya lagi Iblis dari neraka, juga merupakan misteri Ilahi. Dalam Kitab Wahyu 12, iblis dikalahkan oleh St Mikael dan dibuang ke bumi (Why 12:7). Pertempuran berlanjut di dunia. Yang jelas, Kristus memerintahkan dengan penuh cinta kasih, para malaikat dan para kudus serta Bunda Maria sendiri untuk membantu kita dengan perlindungan dan doa-doa mereka untuk melawan si jahat. Akhirnya Iblis akan dikalahkan (Why 20:10).

2. Pergulatan Gereja VS Kuasa Kegelapan

Konsili Vatikan II (1962-1965) menyebut dengan jelas perlawanan setan dan perjuangan Gereja melawannya: “Sebab seluruh sejarah manusia sarat dengan perjuangan sengit melawan kekuatan kegelapan. Pergulatan itu mulai sejak awal mula (Gaudium et Spes artikel 37). “Akan tetapi manusia yang diciptakan Allah dalam kebenaran, sejak awal mula sejarah, atas bujukan si jahat, telah menyalahgunakan kebebasannya. Manusia memberontak melawan Allah dan ingin mencapai tujuannya di luar Allah. Meskipun orang-orang mengenal Allah, namun mereka tidak mau memuliakanNya sebagai Allah melainkan hati mereka yang bodoh diliputi kegelapan, dan mereka memilih mengabdi makhluk daripada Sang Pencipta” (GS artikel 13). “Allah telah mengutus PutraNya dalam daging kita. Allah bermaksud merebut manusia dari kuasa kegelapan iblis (Ad Gentes artikel 3).

“Maka, mereka yang menyangkal keberadaan dan kegiatan iblis, tak mampu memahami pencapaian yang dilakukan oleh Kristus”. Orang Katolik berdasar credo (syahadat, khususnya syahadat yang panjang) percaya bahwa ada makhluk yang tidak tampak pun diciptakan oleh Allah Bapa. Iblis yang dikalahkan Kristus berperang melawan pengikut-pengikut Kristus. Pertempuran melawan roh-roh jahat “dimulai sejak awal dunia dan menurut amanat Tuhan akan tetap berlangsung hingga kiamat” (GS artikel 37). Maka tugas kita ialah berusaha agar dalam segalanya berkenan pada Tuhan (bdk. 2Kor 5:9). Kita pun harus “mengenakan perlengkapan senjata Allah supaya kita mampu bertahan menentang tipu muslihat setan serta mengadakan perlawanan pada hari yang jahat… Sebab sebelum memerintah bersama Kristus dalam kemuliaanNya, kita akan menghadap tahta pengadilan Kristus supaya masing-masing menerima ganjaran bagi apa yang dijalankannya dalam hidupnya ini, entah itu baik atau jahat” (bdk. 2Kor 5:10, LG 48).

3. Bagaimana Gereja Menghadapi-nya?

Meskipun peperangan melawan iblis berlangsung dengan melibatkan semua manusia sepanjang zaman, namun kekuasaan iblis menghebat jika kedosaan dan kemerosotan moral masyarakat meningkat. Hendaknya kita mengingat perkataan Santa Theresia Avilla  yang meminta kita menghapuskan ketakutan yang tak beralasan mengenai setan ini. Santa Teresia Avilla mengatakan: “…saya tidak pernah takut pada mereka melainkan tampaknya merekalah yang takut pada saya. Saya tidak pernah memberikan perharian kepada mereka lebih dari kepada lalat-lalat. Saya rasa mereka ialah pengecut. Musuh-musuh ini tidak tahu bagaimana menyerang, kecuali menyerang mereka yang takluk kepada mereka, atau ketika Allah mengizinkan mereka melakukan itu demi kebaikan yang lebih besar bagi pelayan-pelayan-Nya… Kita memahami bahwa kerusakan yang lebih besar dapat menimpa kita akibat satu dosa ringan dibandingkan dari seluruh neraka bersatu karena hal ini demikianlah adanya. Betapa para setan ini membuat kita takut karena kita ingin dibuat takut melalui keterikatan-keterikatan lain: terhadap penghormatan, kepemilikan dan kesenangan-kesenangan! … Namun jika kita membenci itu semua untuk Allah dan kita memeluk salib serta melayani Allah, maka setan akan kabur. Setan ialah sahabat dusta dan kebohongan dan setan ialah dusta dan kebohongan itu sendiri. Setan tidak akan membuat perjanjian dengan siapapun yang berjalan dalam kebenaran”.

Setan bisa merasuki manusia. Siapa yang bisa melepaskan orang dari kerasukan setan? Siapapun pengikut Kristus dan setiap orang serta komunitas yang berseru dalam nama Yesus Kristus mampu melakukannya dengan baik dan mereka harus dalam kondisi batin yang benar (bebas pendoa, biasa puasa dan pantang, rajin menerima ekaristi dan sakramen tobat). Namun hal ini harus dalam rangka pelayanan, bukan mencari keuntungan pribadi. Dalam Gereja Katolik, walaupun tiap orang baik awam maupun imam diberi kuasa (dan untuk imam kuasanya khusus karena imamatnya), namun secara resmi, praktek  mengenai hal ini hanya diberikan oleh Uskup dan hanya untuk imam-imam tertentu saja. Maksudnya agar ketertiban dan fokus pastoral keuskupan tetap terjaga. Maka yang penting bagi umat dan imam pada umumnya ialah melakukan tugas sebaik-baiknya di bidang masing-masing dan saling berkomunikasi dengan baik. Buah-buah dari karya pelayanan ini pastilah baik jika dilakukan menurut ketaatan pada otoritas Gerejawi setempat. Kegiatan di luar itu disebut pelepasan atau pembebasan dari setan, bukan eksorsisme, karena eksorsisme sebenarnya ialah ritual atau upacara sakramentali yang ada buku pedomannya, seperti halnya tata ibadat lainnya dalam Gereja Katolik.

Menghadapi kuasa kegelapan, Katekismus Gereja Katolik (KGK) menyatakan dengan tegas melarang umat melakukan kerjasama dengan kuasa kegelapan (okultisme dll).

KGK 2116 Segala macam ramalan harus ditolak: mempergunakan setan dan roh jahat, pemanggilan arwah atau tindakan-tindakan lain, yang tentangnya orang berpendapat tanpa alasan, seakan-akan mereka dapat “membuka tabir” masa depan Bdk. Ul 18:10; Yer 29:8.. Di balik horoskop, astrologi, membaca tangan, penafsiran pratanda dan orakel (petunjuk gaib), paranormal dan menanyai medium, terselubung kehendak supaya berkuasa atas waktu, sejarah dan akhirnya atas manusia; demikian pula keinginan menarik perhatian kekuatan-kekuatan gaib. Ini bertentangan dengan penghormatan dalam rasa takwa yang penuh kasih, yang hanya kita berikan kepada Allah.

Itulah sebabnya, orang yang sudah dibaptis dan menerima Kristus pun bisa kerasukan karena di samping setan itu makhluk rohani yang punya kebebasan untuk menyerang ataupun pasif, manusia pun ialah makhluk yg punya kebebasan untuk melakukan apapun termasuk melakukan hal-hal yg melemahkan dirinya sendiri, seperti melakukan dosa, ataupun menyerahkan orang lain pada pihak si jahat. Yudas ialah contoh paling tepat untuk hal ini. Setelah ia menyantap roti bersama Kristus, ia malah kerasukan iblis.

KGK 2117 Semua praktik magi dan sihir, yang dengannya orang ingin menaklukkan kekuatan gaib, supaya kekuatan itu melayaninya dan supaya mendapatkan suatu kekuatan adikodrati atas orang lain – biarpun hanya untuk memberi kesehatan kepada mereka – sangat melanggar keutamaan penyembahan kepada Allah. Tindakan semacam itu harus dikecam dengan lebih sungguh lagi, kalau dibarengi dengan maksud untuk mencelakakan orang lain, atau kalau mereka coba untuk meminta bantuan roh jahat. Juga penggunaan jimat harus ditolak. Spiritisme sering dihubungkan dengan ramalan atau magi. Karena itu Gereja memperingatkan umat beriman untuk tidak ikut kebiasaan itu. Penerapan apa yang dinamakan daya penyembuhan alami tidak membenarkan seruan kepada kekuatan-kekuatan jahat maupun penghisapan orang-orang lain yang gampang percaya.

Perlawanan Gereja terhadap kegelapan  jelas dari buku “Upacara Sakramentalia untuk Eksorsisme”,  buku resmi tahun 1985. Pada tahun 1999 telah diterbit buku yang baru. Buku-buku eksorsisme ini, baik yang lama (1985) maupun yang baru (1999)  belum diterjemahkan secara resmi ke dalam bahasa Indonesia oleh Komisi Liturgi KWI. Dalam buku ini disebut sarana-sarana sakramentalia yaitu air suci, air suci, minyak suci, garam yang diberkati, salib, dan benda-benda kudus lain, serta stola imam. Memang, karena buku sakramentalia eksorsisme merupakan pegangan imam, seperti halnya buku “Tata Perayaan Ekaristi” dan buku-buku sakramen lainnya, maka hanya imamlah yang boleh melakukan upacara eksorsisme menurut dengan langkah-langkah dalam buku itu. Sedangkan di luar itu tidak boleh disebut sebagai eksorsisme melainkan pelepasan yang bisa dilakukan siapapun dalam nama Yesus Kristus. Ada pula buku pegangan untuk awam untuk pelepasan ini dengan persyaratan tertentu.

 

Dalam pergulatan ini, Gereja dianugerahi upacara sakramentalia eksorsisme. Upacara ini untuk kasus kerasukan setan yang berat. Untuk kasus ringan biasa, setiap orang katolik yang berdisposisi baik (penuh rahmat, tidak berdosa berat) bisa melakukannya dengan doa-doa standard (Rosario, doa kepada malaikat agung St Mikael, dengan air berkat, garam berkat). Eksorsisme berasal dari bahasa Yunani ”exousia” yang berarti ”kewenangan, kekuasaan”. Doa eksorsisme berarti melalui imam Gereja memohon kepada Allah Yang Mahakuasa untuk menggunakan kewenangan-Nya mendesak roh jahat yang sedang melawan kehendak Allah.Jadi, eksorsisme ialah doa permohonan yang rendah hati dilambungkan bagi Allah yang Mahakuasa dan Yesus Kristus putra-Nya.

Dalam tradisi agama-agama, roh-roh jahat diusir dengan suara gaduh dengan memukul lonceng, gong dsb, atau dengan memukuli si korban dengan maksud agar roh-roh jahat itu keluar dari tubuhnya. Dalam tradisi agama Yahudi, roh-roh jahat sering diusir dengan menyuruh mereka masuk ke benda atau hewan, misalnya ke biji mata anjing atau ke babi-babi (mirip dengan yang dilakukan Yesus pada Luk 8:30). Cara Yesus mengusir setan tidak berbelit. Ia menggunakan sabda-Nya ssaja. Para murid Yesus terkadang tak sanggup mengusir roh jahat (Luk 9: 38-43). Karena itu, Yesus menekankan pentingnya doa dan puasa untuk mengusir roh jahat tertentu (Mat 7:21). Iman ialah kunci bagi keberhasilan eksorsisme (Mrk 9:18,19). Sekalipun sudah diusir, roh jahat bisa kembali dengan kekuatan lebih besar (Mat 12:43-45).

Setelah kebangkitan Kristus, para murid mempraktekkan eksorsisme atas nama-Nya. Ada eksorsis Yahudi yg gagal mengusir setan sekalipun menyebut nama Yesus dan paulus, malahan dipukuli setan, sedangkan para murid Kristus berhasil mengusirnya (Kis 19:13-16). Kain yang pernah dipakai paulus dipakai untuk mengusir roh jahat (Kis 19:11-12). Setelah generasi para rasul meninggal, generasi berikutnya melanjutkan mempraktekkan eksorsisme. Waktu itu itu tidak ada penunjukan atau kursus, langsung praktek saja asalkan bersih dari dosa berat dan beriman kuat. Sejak abad ke-3, mengingat bahaya penyalahgunaan, Gereja mulai memilih imam tertentu untuk eksorsisme dan penyembuhan. Pada abad pertengahan, upacara eksorsisme mulai dibukukan. Eksorsisme kemudian memakai buku, dengan rumusan baku yang ditentukan oleh Gereja, bukan lagi berupa doa spontan. Eksorsisme meriah menjadi upacara liturgi resmi Gereja dan hanya boleh dilakukan oleh imam yang mendapat tugas dari uskup. Akhir abad 19, Paus Leo XIII mendapat penglihatan bahwa roh-roh jahat berusaha menyerang Roma. Maka beliau kemudian merumuskan doa eksorsisme yang kemudian dimuat dalam ”Rituale Romanum”, yaitu seruan kepada malaikat agung St Mikael.

Eksorsisme hanya bisa dilakukan setelah mengetahui bahwa korban sungguh di bawah pengaruh roh jahat, bukan karena pengaruh psikologis dan medik. Karena itu imam eksorsis didampingi tim medik dan psikologis. Biasanya roh jahat menolak pergi dan melawan balik imam eksorsis. Perlawanan ini bisa berlangsung berbulan-bulan bahkan ada yang bertahun-tahun. Maka harus dilakukan banyak sekali (berkali-kali) eksorsisme karena terkadang bukan hanya satu jenis roh jahat yang merasuki melainkan banyak jenis. Roh-roh kegelapan itu pergi sendiri ketika mereka memutuskan untuk pergi atau dengan rela, atau karena desakan kekuatan doa eksorsisme. Sekali diusir, roh jahat tak kan kembali lagi kecuali si korban mengundangnya kembali sekalipun tidak sadar bahwa mengundang kembali. Sekuat apapun roh jahat, mereka menyerah pada kekuatan Allah.

 

4. Kekuatan Surgawi Sakramen Ekaristi

Pada banyak kasus kerasukan, setan membebaskan orang itu dari cengkeramannya hanya dengan meletakkan korban di hadapan Sakramen Mahakudus. Mengapa?

Selama kira-kira 2000 tahun, Gereja Katolik mewartakan bahwa Yesus Kristus sungguh hadir, real dan substansial, di dalam Ekaristi, yaitu Tubuh, Darah, Jiwa dan ke-Allahan-Nya di dalam rupa roti dan anggur (KGK 1374). Pada saat imam selesai mengucapkan doa konsekrasi – “Inilah Tubuh-Ku” dan “Inilah darah-Ku”, Tuhan sesuai janji-Nya mengubah roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah-Nya. Kejadian ini disebut sebagai “transubstansiasi“, yang mengakibatkan substansi dari roti dan anggur berubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus (lih. KGK 1376). Jadi yang tinggal hanyalah rupa roti dan anggur, tetapi substansi roti dan anggur sudah lenyap, digantikan dengan kehadiran Yesus.

Yesus hadir seutuhnya di dalam roti itu, bahkan sampai di partikel yang terkecil dan di dalam setiap tetes anggur. Pemecahan roti bukan berarti pemecahan Kristus, sebab kehadiran Kristus utuh, tak berubah dan tak berkurang di dalam setiap partikel. Dengan demikian kita dapat menerima Kristus di dalam rupa roti saja, atau anggur saja, atau kedua bersama-sama (lih. KGK 1390). Dalam setiap hal ini, kita menerima Yesus yang utuh di dalam sakramen.

Karena Yesus sungguh-sungguh hadir di dalam Ekaristi, maka kita memberi hormat di depan tabernakel, kita berlutut dan menundukkan diri sebagai tanda penyembahan kepada Tuhan. Itulah sebabnya Gereja memperlakukan Hosti Kudus dengan hormat, dan melakukan prosesi untuk menghormati Hosti suci yang disebut Sakramen Maha Kudus, dan mengadakan adorasi di hadapan-Nya dengan meriah (lih. KGK 1378).

Kehadiran Kristus di dalam Ekaristi bermula pada waktu konsekrasi dan berlangsung selama rupa roti dan anggur masih ada (KGK 1377), maksudnya pada saat roti dan anggur itu dicerna di dalam tubuh kita dan sudah tidak lagi berbentuk roti, maka itu sudah bukan Yesus. Jadi kira-kira Yesus bertahan dalam diri kita [dalam rupa hosti] selama 15 menit. Sudah selayaknya kita menggunakan waktu itu untuk berdoa menyembah-Nya, karena untuk sesaat itu kita sungguh-sungguh menjadi tabernakel Allah yang hidup!

Kristus sendiri yang mengundang kita untuk menyambut Dia dalam Ekaristi (KGK 1384), dan karena itu kita harus mempersiapkan diri untuk saat yang agung dan kudus ini, dengan melakukan pemeriksaan batin. Karena Ekaristi itu sungguh-sungguh Allah, maka kita tidak boleh menyambutNya dalam keadaan berdosa berat. Untuk menyambut-Nya dengan layak kita harus berada dalam keadaan berdamai dengan Allah. Jika kita sedang dalam keadaan berdosa berat, kita harus menerima pengampunan melalui Sakramen Tobat sebelum kita dapat menyambut Komuni Kudus (KGK 1385).

Kelebihan hosti yang dikonsakrir sebagai Tubuh Kristus, disimmpan dalam taberbakel. Pada beberapa Paroki, sudah dibangun “Kapel Adorasi Abadi 24 jam” yang di dalamnya ditahtakan Sakramen mahakudus dan dijaga bergiliran oleh umat yang berkanjang dalam doa. Devosi Adorasi Sakramen Mahakudus ini membuat Gereja makin berpendar dalam kasih ilahi.

5. Ekaristi ialah Kristus

Ekaristi disebut sebagai sumber dan puncak kehidupan Kristiani (LG 11) karena di dalamnya terkandung seluruh kekayaan rohani Gereja, yaitu Kristus sendiri (KGK 1324). Pada perjamuan terakhir, pada malam sebelum sengsara-Nya, Kristus menetapkan Ekaristi sebagai tanda kenangan yang dipercayakan oleh Kristus kepada mempelai-Nya yaitu Gereja (KGK 1324). Kenangan ini berupa kenangan akan wafat dan kebangkitan Kristus yang disebut sebagai Misteri Paska, yang menjadi puncak kasih Allah yang membawa kita kepada keselamatan (KGK 1067). Keutamaan Misteri Paska dalam rencana Keselamatan Allah mengakibatkan keutamaan Ekaristi, yang menghadirkan Misteri Paska tersebut, di dalam kehidupan Gereja (KGK 1085).

Gereja Katolik mengajarkan bahwa kurban salib Kristus terjadi hanya sekali untuk selama-lamanya (Ibr 9:28). Kristus tidak disalibkan kembali di dalam setiap Misa Kudus, tetapi kurban yang satu dan sama itu dihadirkan kembali oleh kuasa Roh Kudus (KGK 1366). Hal itu dimungkinkan karena Yesus yang mengurbankan Diri adalah Tuhan yang tidak terbatas oleh waktu dan kematian. Kristus telah mengalahkan maut, karenanya Misteri Paska-Nya tidak hanya terbenam sebagai masa lampau, tetapi dapat dihadirkan di masa sekarang (KGK 1085). Karena bagi Tuhan, segala waktu adalah ‘saat ini’, sehingga masa lampau maupun yang akan datang terjadi sebagai ‘saat ini’. Dan kejadian Misteri Paska sebagai ‘saat ini’ itulah yang dihadirkan kembali di dalam Ekaristi, dengan cara yang berbeda, yaitu secara sakramental. Dengan demikian, Ekaristi menjadi kenangan hidup akan Misteri Paska dan akan segala karya agung yang telah dilakukan oleh Tuhan kepada umat-Nya, dan sekaligus harapan nyata untuk Perjamuan surgawi di kehidupan kekal (lih. KGK 1362,1364,1340,1402,1405).

6. Buah-buah Ekaristi/ Komuni kudus

  • Komuni memperdalam persatuan kita dengan Yesus, hal ini berdasarkan atas perkataan Yesus, “Barangsiapa makan daging-Ku dan minum Darah-Ku, ia tinggal dalam Aku dan Aku di dalam Dia” (KGK 1391).
  • Komuni memisahkan kita dari dosa, karena dengan mempersatukan kita dengan Kristus kita sekaligus dibersihkan dari dosa yang telah kita lakukan dan melindungi kita dari dosa-dosa yang baru (KGK 1393).
  • Ekaristi membangun Gereja di dalam kesatuan. Oleh Ekaristi Kristus mempersatukan kita dengan semua umat beriman menjadi satu Tubuh, yaitu Gereja. Ekaristi memperkuat kesatuan dengan Gereja yang telah dimulai pada saat pembaptisan (KGK 1396). Kesatuan dengan Gereja ini mencakup Gereja yang masih berziarah di dunia, Gereja yang sudah jaya di Surga, dan Gereja yang masih dimurnikan di dalam Penyucian (lih. KGK 954)
  • Ekaristi mewajibkan kita menolong kaum miskin, sebab dengan bersatu dengan Kristus dalam Ekaristi, kita juga mengakui Kristus yang hadir di dalam orang-orang termiskin yang juga menjadi saudara-saudara-Nya (KGK 1397), yang di dalam Dia, menjadi saudara-saudara kita
  • Ekaristi mendorong kita ke persatuan umat beriman, sebab Ekaristi, menurut perkataan Santo Agustinus adalah ‘sakramen kasih sayang, tanda kesatuan dan ikatan cinta (KGK 1398) yang seharusnya secara penuh dialami bersama oleh semua orang yang beriman di dalam Kristus.
  • Ekaristi yang disanbut dengan kerinduan yang berkobar menghalangi kejahatan merasuki dunia.

7. Sakramen-Sakramen Lain

Sakramen-sakramen lain khususnya Baptis, Krisma Tobat, Pengurapan Orang Sakit, menolong kita lebih bersatu dengan Kristus dan menjauhkan kita dari serangan setan. Hanya yang dengan rendah hati mengakui kedosaan dan diampuni dalam sakramen tobat, serta menjalankan penitensi akan menjauhkan dirinya dari kejahatan dan si jahat itu sendiri. Sakramen pengurapan orang sakit membantu si sakit berjumpa dengan Kristus dan diselamatkan dari godaan dalam penderitaan sakitnya.

8. KESIMPULAN

Kuasa kegelapan ada sejak malaikat memberontak pada Allah. Mereka memengaruhi manusia agar jauh dari Allah dan rencana penebusan-Nya. Manusia berjuang menghadapi kegelapan yang ada dari luar yang mau mempengaruhi ke dalam diri.  Selain itu, manusia pun masih harus menghadapi kebebasan dalam dirinya sendiri yang bisa disalahgunakan sehingga berdosa yang membuat dia jauh dari Allah. Allah menganugerahkan Kristus yang dijanjikan sejak Perjanjian Lama hingga dipenuhi dalam sengsara wafat dan kebangkitan Kristus, yang dengan itu menganugerahkan ekaristi sebagai kekuatan utama, dan sakramen-sakramen Gereja serta sakramentalia eksorsisme.  Manusia yang beriman pada misteri rencana Allah ini dan menerima Kristus dan Gereja-Nya, mengalami keselamatan dan perlindungan. Secara khusus, ekaristi membuat manusia hidup dalam kekuatan Ilahi di dunia untuk menguatkan hidup dan menyalurkan rahmat pada keluarga, sesama dan masyarakat, membebaskan manusia dari kegelapan oleh Sang Terang yaitu Tuhan Yesus Kristus.

 

9. Doa Melawan Iblis (Gubahan Bapa Suci Paus Leo XIII)

”Santo Mikael Malaikat agung, jagalah kami dalam pertempuran, jadilah pelindung kami melawan kejahatan dan tipu daya si jahat. Dengan rendah hati, kami memohon kepadamu, semoga Allah menghardik setan, dan engkau, Pangeran bala tentara surga, dengan kekuatan Allah, lemparkanlah ke dalam neraka, setan dan roh-roh jahat yang mengembara di dunia untuk mengancurkan jiwa-jiwa.” Amin.

 

*******

Romo Yohanes Dwi Harsanto (Romo Santo), kini Pastor Kepala Paroki Hati Santa Perawan Maria Tak Bercela Kumetiran Yogyakarta

*******

Sumber: www.katolisitas.org  khususnya: https://katolisitas.org/169/sudahkah-kita-pahami-pengertian-ekaristi  dan https://katolisitas.org/5698/eksorsisme-pengalaman-yang-tak-terlupakan

Sr. Eligia CB, “Pengusiran Setan oleh Awam (Deliverence)”, seri 5 Pembaruan Karismatik Katolik, Pustaka Yogyakarta: Nusatama, 2005.

Gabriel Amorth, “Seorang Eksorsis Menceritakan Kisahnya”, Jakarta:  MCI, 2011

Fr. Jose Francisco C. Syquia, “Exorcist” volume One, Makati City: St. Pauls Phippines , 2012

Ibid, volume Two

Albertus Purnomo, OFM, ”Iblis dalam Alkitab”, Yogyakarta, Kanisius, 2012

Allah peduli

0

[Hari Minggu Biasa X: 1Raj 17:17-24; Mzm 30:2-13; Gal 1:11-19; Luk 7:11-17]

Setelah sekian minggu kita merayakan perayaan khusus, kini liturgi menyebut hari Minggu ini sebagai “Minggu Biasa.” Meskipun demikian, hari Minggu bagi kita tidaklah menjadi hari yang biasa-biasa saja, meskipun disebut Minggu biasa. Pasalnya adalah, karena Tuhan kita adalah Allah yang luar biasa. Ia luar biasa dalam banyak hal, namun terutama dalam berbelas kasih. Ia melindungi, menyembuhkan dan bahkan membangkitkan orang-orang yang dikasihi-Nya. Bacaan Pertama dan Injil mengisahkan bagaimana Allah membangkitkan orang yang sudah mati tubuhnya. Namun demikian, secara lebih luas Allah juga membangkitkan orang yang mati rohaninya, yaitu dari kehidupan lamanya untuk masuk dalam kehidupan yang baru di dalam Kristus Yesus Putra-Nya. Ini terjadi pada Rasul Paulus, yang kita dengar di Bacaan Kedua. Bacaan-bacaan ini mengajak kita melihat ke dalam kehidupan kita masing-masing, untuk melihat betapa Allah telah selalu menyertai dan selalu peduli dengan segala pergumulan hidup kita. Ia “menarik kita ke atas” (lih. Mzm 30:2) untuk meluputkan kita dari para “musuh” kita, entah itu ketakutan, kejahatan, kesedihan, keputusasaan, dan sejenisnya. Ia peduli dan murah hati kepada kita yang menaruh harap kepada-Nya.

Dalam Bacaan Injil, tertulis kisah bagaimana Tuhan Yesus membangkitkan seorang pemuda yang telah meninggal di Nain. Dikisahkan bahwa ketika Yesus masuk ke kota, ada iring-iringan orang banyak yang menyertai usungan jenazah pemuda itu. Ia adalah anak tunggal dari seorang janda. Melihat itu, hati Yesus tergerak oleh belas kasihan. Yesus peduli pada kesusahan janda itu yang telah kehilangan anak satu-satunya yang menjadi tumpuan hidupnya. Yesus tidak menunggu rombongan itu untuk lewat di hadapan-Nya tetapi Ia yang menghampirinya. Di Injil tertulis, “Dihampiri-Nya usungan jenazah itu dan disentuh-Nya,” dan kemudian Yesus membangkitkan pemuda itu dengan berkata, “Bangkitlah” (Luk 7: 14). Cara ini tentu sangat berbeda dengan yang dilakukan oleh Nabi Elia ketika membangkitkan anak janda di Sarfat. Nabi Elia “membujurkan badannya di atas anak itu tiga kali” dan berseru kepada Tuhan agar membangkitkan anak itu (lih. 1Raj 17:17-24). Namun Yesus hanya “menyentuh” usungan jenazah itu. Dan dengan otoritas-Nya sendiri, Yesus berkata “bangkitlah” kepada jenazah itu, dan jenazah itu hidup kembali. Ini adalah salah satu mukjizat besar yang membuka mata kita akan ke-Allah-an Yesus. Sebab tak pernah ada seorang pun yang dapat melakukan hal seperti ini, jika ia bukan sekaligus juga adalah Tuhan. Para nabi ataupun orang kudus yang melakukan mukjizat membangkitkan orang mati, melakukannya atas kuasa Allah, namun Kristus, atas kuasa-Nya sendiri. Melihat perbuatanNya yang ajaib ini,  “Semua orang itu ketakutan, dan mereka memuliakan Allah sambil berkata… Allah telah mengunjungi umat-Nya!” (Luk 7:16) Sesungguhnya, jika seseorang membaca Kitab Suci dengan hati yang jujur, tentunya ia akan melihat betapa melalui kejadian ini Tuhan Yesus telah menyatakan ke-Allahan-Nya, tanpa perlu berkata, “Aku ini Allah”. Permenungan  Injil hari ini  membuka mata hati kita  akan kemahakuasa-an Tuhan Yesus, namun juga kerahiman-Nya yang tak terbatas. Tuhan kita adalah Allah mahabesar yang mengatasi segalanya—namun juga  maha-menyertai—yang ada di tengah-tengah kita dan peduli akan kesusahan umat-Nya.  

Dalam kepedulian-Nya, sampai sekarang Yesus masih terus “menyentuh” kita untuk membangkitkan dan memulihkan kita, entah dari kematian rohani, yaitu dari dosa-dosa kita, ataupun dari segala penyakit dan luka-luka di batin kita. St. Sirilus mengatakan, “Ia [Yesus] melakukan mukjizat tersebut tidak hanya dengan perkataan, tetapi juga dengan menyentuh usungan jenazah itu, untuk tujuan agar kamu dapat tahu bahwa Tubuh Kristus yang kudus itu berkuasa untuk menyelamatkan pemuda itu. Sebab Tubuh itu adalah Tubuh Kehidupan dan  Sabda  mahakuasa yang menjadi daging, yang menjadi Empunya kuasa tersebut. Sebab seperti besi yang dikenakan ke api menjadi panas seperti api, demikian juga daging, ketika disatukan dengan Sabda yang menghidupkan segalanya, ia [Tubuh itu] sendiri juga menghidupkan dan menghalau kematian” (St. Cyril,  in Catena Aurea, Luk 7:11-17). Mari kita mengingat akan perlindungan dan pertolongan Tuhan yang telah terus menerus kita terima di sepanjang hidup kita. Mari kita bersyukur dan memuji Tuhan untuk segala kebaikan dan kepedulian-Nya kepada kita. Tuhan Yesus adalah Tuhan yang sama yang bersabda, “Jangan menangis!” (Luk 7:13), sebab Ia akan memberikan yang terbaik kepada kita. Di saat kita menerima Tubuh Kristus dalam perayaan Ekaristi hari ini, marilah kita rasakan dan alami, sentuhan tangan Sang Putra Allah itu, yang berkata, “Bangkitlah!” agar kitapun dapat bangkit mengikuti Dia, dan menjadi seorang yang juga peduli kepada kesusahan sesama kita.

Tuhanlah kekuatanku, pelindung dan pembebasku, Allah dan penolongku…. Engkau yang selalu peduli akan kesusahan umat-Mu, aku bersyukur dan memuliakan Engkau!

Kasih Allah yang terbesar nyata dalam kurban Tubuh dan Darah Kristus

0
Sumber gambar: http://www.stwalburge.org/2015/06/11/corpus-christi-procession-deanery-preston/

[Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus: Kej 14:18-20; Mzm 110:1-4; 1Kor 11:23-26; Luk 9:11-17]

Perayaan Hari Tubuh dan Darah Kristus atau yang umum disebut Hari Raya Corpus Christi tak terlepas dari kisah sejarah yang melatarbelakanginya. Kisahnya secara singkat demikian:

Sejak abad awal, Gereja tidak pernah meragukan kehadiran Tuhan Yesus dalam rupa roti dan anggur. Kita mengetahuinya tidak saja dari perkataan Yesus sendiri   yang dicatat dalam Injil, namun juga dari tulisan Rasul Paulus (lih. 1Kor 11:23-26) yang kita baca hari ini. Kebiasaan untuk menyimpan hosti yang sudah dikonsekrasi dalam tabernakel juga sudah dicatat dalam riwayat St. Basilius di abad ke-4. Ekaristi itu disimpan di gereja-gereja atau biara bagi keperluan orang-orang sakit dan yang menghadapi ajal. Namun menjelang akhir abad ke-11, Gereja mengalami “hantaman” dari Berengarius (999-1088) seorang pemimpin diakon di Angers, Prancis, yang secara terbuka menolak percaya bahwa Kristus secara nyata hadir dalam rupa roti dan anggur. Maka ada sejumlah orang yang percaya kepada ajarannya ini dan mulai menuliskan bahwa Kristus dalam Ekaristi tidaklah sama dengan Kristus dalam Injil, dan karena itu, Ia sebenarnya tidak sungguh-sungguh hadir di dalam Ekaristi.

Begitu seriusnya kasus ini, sehingga Paus Gregorius VII memerintahkan Berengarius untuk menarik kembali ajarannya. Ia diminta untuk mengucapkan pengakuan iman tentang kehadiran Yesus secara nyata dalam Ekaristi. Ini adalah pernyataan definitif pertama Gereja tentang apa yang selalu dipercaya oleh Gereja dan tak pernah ditentang. Dengan pengakuan iman ini, maka gereja-gereja di Eropa mengalami semacam “kebangkitan” dalam penghayatan akan Ekaristi. Saat itulah ditetapkan adanya prosesi-prosesi Sakramen Mahakudus, rumusan doa-doa adorasi, umat didorong untuk mengunjungi Sakramen Mahakudus, dan seterusnya. Sejak abad ke-11 ini, devosi kepada Sakramen Mahakudus dalam Tabernakel menjadi semakin dikenal.

Maka tak ada yang mengejutkan ketika Paus Urbanus IV di tahun 1264 kemudian menetapkan Hari Raya Tubuh Kristus—Corpus Christi. Saat menentukan perayaan itu, Paus menekankan akan kasih Kristus, yang ingin menyertai umat-Nya secara fisik sampai akhir zaman. Paus mengatakan, “Dalam Ekaristi, Kristus di dalam hakekat-Nya sendiri ada bersama kita.” Sebab “ketika mengatakan kepada para rasul-Nya bahwa Ia akan naik ke Surga, Ia berkata, “Lihatlah, Aku akan menyertaimu selamanya, bahkan sampai akhir zaman” dan dengan demikian menghibur mereka dengan janji yang besar bahwa Ia akan tetap ada dan bersama-sama dengan mereka bahkan dengan kehadiran secara jasmani” (Paus Urbanus IV, Transiturus de hoc mundo, 11 Agustus, 1264).

Demikianlah, Tuhan Yesus menggenapi janji-Nya untuk menyertai Gereja-Nya sampai akhir zaman. Namun bukan hanya itu. Kehadiran kurban Kristus dalam rupa roti dan anggur juga menggenapi nubuat para nabi, yang  kita baca juga dalam Bacaan Pertama dan Mazmur hari ini. Yaitu bahwa Yesus adalah “Imam untuk selama-lamanya, menurut aturan Melkisedek” (Mzm  110:4). Dalam Kitab Kejadian, disebutkan bahwa Melkisedek, raja Salem adalah seorang imam Allah yang “membawa roti dan anggur” (Kej 14:18). Demikianlah kurban Tubuh dan Darah Yesus yang terjadi di Yerusalem dihadirkan kembali oleh kuasa Roh Kudus yang telah membangkitkan-Nya dari orang mati (lih. Rm 8:11) dalam rupa roti dan anggur. Dengan demikian, Kristus merupakan penggenapan nubuat Perjanjian Lama, dengan menjadi Imam dan sekaligus juga Kurban Perjanjian Baru dan kekal dalam Ekaristi.

Ajaran tentang Kehadiran Kristus dalam Ekaristi ini didukung juga oleh berbagai mukjizat Ekaristi di sepanjang sejarah Gereja—dan yang terakhir  diakui oleh CDF bulan April 2016 adalah mukjizat Ekaristi yang terjadi di Hari Raya Natal 2013 di Legnica, Polandia. Meskipun demikian, masih ada begitu banyak orang—bahkan orang-orang yang juga mengimani Kristus—yang tidak percaya akan kehadiran-Nya dalam Ekaristi. Maka di Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus ini, nampaknya kita perlu bertanya kepada diri kita sendiri, tentang apakah yang dapat kita perbuat untuk semakin menghayati kebenaran ajaran iman ini? Bagaimana kita dapat turut menyebarkannya? “Kamu harus memberi mereka makan!”  kata Yesus kepada para murid-Nya (Luk 9:13). Kelaparan orang zaman sekarang, tidak saja terbatas pada makanan jasmani, tetapi juga makanan rohani. “Makanan rohani”-nya memang hanya Tuhan Yesus yang bisa memberi, yaitu Tubuh dan Darah-Nya. Namun sebagai murid-murid-Nya yang percaya penuh akan sabda-Nya, kita dipanggil oleh Kristus untuk berani menyatakan kepada dunia sekitar kita bahwa Tubuh dan Darah Kristus itulah yang kita sambut setiap kali kita merayakan Ekaristi.  Kristus itulah yang kita sembah dalam Adorasi Sakramen Mahakudus.  Kesungguhan kita dalam mempersiapkan diri menyambut Ekaristi dan menyambutnya dengan sikap batin dan penghormatan yang layak, dan juga kesediaan kita untuk semakin mau berkurban seperti Kristus, itulah yang menjadi kesaksian tanpa kata, bahwa kita semakin menghayati makna perayaan hari ini, Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus.

Di hari istimewa ini, marilah kita mengulangi perkataan doa dalam Adoro te devote, Dengan khidmat aku menyembah Engkau—doa yang disusun oleh St. Thomas Aquinas. Di hadapan Kristus yang hadir dalam Sakramen Mahakudus. “Tuhanku, buatlah aku menjadi lebih percaya lagi di dalam Engkau. Bawalah aku lebih dalam kepada iman, ke dalam harap-Mu, ke dalam kasih-Mu… Amin.”

Tuhan Punya Cara

0

Bahagia atas cara Tuhan
Sharing pelayanan oleh Pst Felix Supranto, SS.CC

Seorang ibu mensharingkan pengalamannya kepadaku bagaimana ia berusaha menyembuhkan anaknya yang menderita bipolar. Gangguan bipolar adalah salah satu masalah kejiwaan yang membuat penderitanya mengalami perubahan suasana hati secara fluktuatif dan drastis. Misalnya dari yang murung, tiba-tiba bisa berubah menjadi sangat bahagia atau sebaliknya. Ia menahan perih hatinya melihat anaknya menutup diri, tidak mau bicara, tidak mau mandi, dan tidak mau makan. Ia rela dimarahi anaknya itu ketika ia sedang down. Ia rela menjual apa yang ia miliki dan menanggung banyak hutang demi pemulihan dan studi anaknya yang selalu bergonta-ganti sekolah. Berbagai pengobatan sudah ia usahakan bagi pemulihan anaknya. Akan tetapi, anaknya itu kini kambuh kembali setelah sehat untuk beberapa saat.

Ia sekarang ini harus menahan luka hatinya karena anaknya itu selalu menyalahkannya. Anaknya itu merasa bukan anak kandungnya karena ia ikut mertuanya selama sebelas tahun dari usia dua tahun sampai usia tiga belas tahun. Anaknya itu menuntutnya harus bertanggungjawab atas kegagalan hidupnya. Penyebabnya adalah ia belum bisa memenuhi keinginan anaknya itu untuk bekerja ke luar negeri. Ia ingin mewujudkan impian anaknya itu, tetapi kondisi keuangan belum memungkinkannya.

Keadaan anaknya itu tidak membuatnya lelah untuk berusaha memulihkannya. Ia mengatakan kepadaku: “Romo, aku tumpahkan keletihanku kepada Tuhan karena Ia mengerti kelelahanku. Tuhanku yang membuat aku masih mempunyai cahaya di tengah “kegelapan dan masih banyak cerita di tengah kebisuan”. Ia tidak putus asa atas anaknya yang sekarang keadaannya kembali seperti semula karena Ia percaya akan keajaiban Tuhan: “Tuhan lebih tahu cara memulihkan jiwa anakku dan keluargaku. Aku tetap menanti mukjizat-Nya dan saya yakin sebentar lagi anak kami akan sembuh, bisa bekerja, dan berumah tangga”.

Rupanya lagu “Tuhan Selalu Punya Cara” berikut ini telah menjadi kekuatan baginya untuk senantiasa berharap akan pertolongan Tuhan:

Kau selalu punya cara untuk menolongku

Kau selalu punya jalan keajaiban-Mu

Kau dahsyat dalam segala perbuatan-Mu

Dan ku tenang di dalam cara-Mu

Tak kan ku ragu Tuhan

Janji-Mu yang menghidupkanku

Hanya padaMu Tuhan ku berseru

Dan mataku tertuju padaMu

Ia meyakini bahwa Tuhan tidak akan meninggalkan orang yang menaruh kepercayaan kepadanya: “Orang yang mengenal nama-Mu percaya kepadaMu, sebab tidak Kautinggalkan orang yang mencari Engkau, ya TUHAN” (Mazmur 9:11). Ia tidak pernah berhenti berharap karena janji Tuhan pasti digenapi pada waktunya: “Janji TUHAN adalah janji yang murni, bagaikan perak yang teruji, tujuh kali dimurnikan dalam dapur peleburan di tanah” ( Mazmur 12:7). Yang ia lakukan sekarang adalah kesabaran dan kesetiaan dalam menanti janji Tuhan itu karena percaya kepadaNya tidak akan pernah sia-sia: “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat” (Ibrani 11:1). Ia yakin Tuhan akan memperhitungkan kepercayaannya kepadaNya.

Kesimpulan sebagai pesan bagi kehidupan kita dari pengalaman ibu tersebut: Janganlah kecewa terhadap kejadian yang tidak sesuai dengan kehendak kita. Tuhan menggunakan keadaan itu untuk menunjukkan bahwa Ia mempunyai sesuatu yang jauh lebih baik bagi kita.

Tuhan Memberkati

Kenanganku akan Mgr. Hilarius Moa Nurak, SVD

0

Engkaulah Lautan

Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC

Mgr. Hilarius Moa Nurak, SVD,

Kepergianmu kepada Bapa pada tanggal 29 April 2016,
membuka kenangan indah perjalananmu
sebagai Uskup Keuskupan Pangkalpinang.

Kala ditahbiskan uskup pada tahun 1987,
engkau adalah imam muda.
Setelah pentahbisanmu sebagai uskup,
engkau menjelajahi wilayahmu nan luas, seluas Eropa.

Engkau seberangi ganasnya lautan demi mengunjungi umat sederhana,
yang tak terdeteksi oleh peta.
Teriknya matahari engkau tahan dengan jaket tua.

Engkau rela tidur di atas papan,
makan seadanya,
mandi di bawah pohon yang menampung air tawar.

Sakitnya pinggang karena terjangan ombak tidak engkau rasakan.
Engkau melakukan semuanya itu sebagai matiraga.
Karena kasihmu kepada Allah dan umat-Nya,
engkau sanggup menjalaninya dengan cinta.

Beratnya medan pelayananmu
telah membentukmu menjadi pribadi yang sangat sabar.
Kesabaranmu seluas lautan,
yang menampung curahan nestapa.

Kini engkau terbaring dalam lautan kasih Bapa,
seperti pemazmur katakan:
“Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau,
Ia membimbing aku ke air yang tenang” (Mazmur 23:2).

Bapak Uskup Hilarius, selamat jalan dan doakan kami,
yang masih berziarah di dunia ini.
Amin

(Penulis pernah melayani di Keuskupan Pangkalpinang selama delapan tahun dan pernah menemani Bapak Uskup Hilarius mengarungi ganasnya Laut China Selatan pada tahun 1990)

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab