Home Blog Page 23

Meminta apa yang berkenan kepada Allah

0
Sumber gambar: https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Importunate_neighbour.jpg

[Hari Minggu Biasa XVII: Kej 18:20-33; Mzm 138:1-8; Kol 2:12-14; Luk 11:1-13]

Mungkin banyak orang berpikir bahwa doa yang didengarkan Tuhan adalah doa yang dikabulkan, menurut keinginan orang yang berdoa. Oleh karena itu, ketika keinginannya tidak terkabul, lalu orang menjadi malas berdoa. Padahal, sebagaimana telah diajarkan Minggu lalu,  doa sangatlah penting. Namun doa yang dimaksud bukanlah semata-mata permohonan, tetapi juga mendengarkan kehendak Tuhan. Dengan demikian, doa memang perlu dibarengi dengan usaha maupun karya, tetapi dalam doa-lah diperoleh sumber kekuatan–yang dari Tuhan–untuk melakukan semuanya itu. Setelah  mengunjungi Maria dan Martha dan menekankan pentingnya doa, Tuhan Yesus sendiri memberikan teladan bagaimana Ia pun berdoa dan mengajar. Di sini kita menjadi paham, mengapa Yesus berdoa. Sebab dalam kepenuhan-Nya sebagai Allah, Yesus sesungguhnya tidak perlu berdoa. Namun dalam kemanusiaan-Nya, Yesus hendak memberikan contohnya kepada kita. Supaya kita mengetahui betapa kita sebagai manusia perlu berdoa kepada Allah yang begitu peduli akan kehidupan kita, seperti seorang bapa kepada anaknya.  

Maka ketika murid-Nya meminta-Nya untuk mengajar mereka berdoa, Yesus mengajarkan doa Bapa Kami. Yesus pun segera mengajarkan perumpamaan tentang seseorang yang dengan tidak malu-malu meminta bantuan kepada sahabatnya untuk meminjamkan roti untuk menjamu tamunya. Mengapa Yesus mengajarkan perumpamaan ini? St. Sirilus berkata, “Dapat terjadi, mereka yang telah menerima ajaran yang baik ini [tentang doa Bapa Kami], mencurahkan doa-doa mereka dengan rumusan seperti yang diajarkan itu, tetapi secara sembrono dan tak bersemangat, dan ketika doa pertama atau kedua kali mereka merasa  tidak didengarkan, mereka berhenti berdoa. Supaya ini tidak terjadi pada kita, Ia menunjukkan dengan perumpamaan bahwa sikap pengecut dalam doa itu merugikan diri sendiri, tetapi adalah bermanfaat, jika kita memiliki kesabaran dalam doa….” (St. Cyril, Catena Aurea, Luk 11:1-4). Sabar dalam doa maksudnya adalah tetap berdoa meski nampaknya permohonan belum terjawab. Maka Yesus menghendaki kita tidak menjadi suam-suam kuku dan malas berdoa, tetapi sebaliknya, tekun dan bersungguh-sungguh dalam doa-doa kita. Bahkan, tak perlu malu-malu untuk menyatakan permohonan kita kepada Tuhan, seperti juga telah dilakukan oleh Abraham di Bacaan Pertama. Tuhan Yesus berkata, “Mintalah, maka kamu akan mendapat…”

Lalu bagaimana sebaiknya permintaan kita agar dikabulkan? Tuhan Yesus memberikan perumpamaan berikutnya, dengan perumpamaan seorang bapa yang tidak memberi batu kalau anaknya minta roti.  St. Sirilus melanjutkan, “Penyelamat kita memberi pengajaran yang penting. Sebab sering kita gegabah, karena dorongan kesenangan, menyerah kepada keinginan-keinginan yang merugikan. Ketika kita meminta hal-hal seperti ini dari Allah, kita tidak akan memperolehnya. Untuk menunjukkan ini, Yesus memberi sebuah contoh dari hal-hal yang terjadi di sekitar kita, dalam kehidupan sehari-hari. Sebab ketika anakmu meminta roti kepadamu, kamu akan memberikannya dengan senang hati, sebab ia meminta makanan yang berguna. Tetapi jika karena ketidaktahuan ia minta batu untuk dimakan, kamu tidak akan memberikannya, namun akan menghalanginya untuk memenuhi keinginannya yang merugikan…. Demikian juga dengan argumen ikan dan ular, telur dan kalajengking…. Dari contoh yang diberikan, Ia menyimpulkan, Jika kamu yang jahat—yaitu mempunyai pikiran yang dapat mendorong berbuat jahat—tahu bagaimana memberikan pemberian yang baik, betapa Bapamu di Surga jauh melampauimu [dalam memberi yang baik]?” (St. Cyril, Catena Aurea, Luk 11: 5-13). Ya, Bapa di Surga  akan memberikan yang terbaik bagi kita. “Ia akan memberikan Roh Kudus kepada siapa pun yang meminta kepada-Nya” (Luk 11:13).

Mari dalam keheningan hati, kita memeriksa batin kita. Bagaimanakah doa-doa kita selama ini? Apakah kita berdoa dengan tekun dan bersungguh-sungguh? Sudahkah kita yakin bahwa Allah adalah Bapa yang akan memberikan apa yang terbaik bagi keselamatan kita?  Sudahkah kita meminta Roh Kudus kepada-Nya?

Allah Bapa yang kudus, aku bersyukur untuk segala berkat dan kasih-Mu. Aku mau menyerahkan hidupku ke dalam tangan-Mu, sebab aku tidak mengetahui apa yang terbaik bagiku, namun Engkau mengetahuinya. Buatlah agar aku menghendaki apa yang Engkau kehendaki. Ajarlah aku untuk meminta apa yang baik bagi keselamatanku, untuk mencari apa yang berguna bagi kehidupan kekal dan mengetuk pintu yang membawaku kepada-Mu. Semoga dengan demikian, permohonanku berkenan kepada-Mu dan Engkau berkenan menjawab doa-doaku. Amin.”

Kasih kepada Allah, penggerak kasih kepada sesama

0
Sumber gambar: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/4/4f/Johannes_%28Jan%29_Vermeer_-_Christ_in_the_House_of_Martha_and_Mary_-_Google_Art_Project.jpg

[Hari Minggu Biasa XVI: Kej 18:1-10; Mzm 15:2-5; Kol 1:24-28; Luk 10:38-42]

Mengasihi keduanya—baik Allah maupun sesama—tidak selalu mudah untuk dilaksanakan. Mengasihi sesama yang lebih nyata dan mudah terlihat, lebih mudah dilakukan, namun mengasihi Allah yang tidak terlihat, sering luput dari perhatian kita. Bacaan Injil Minggu ini menunjukkan hal tersebut. Tuhan Yesus mengunjungi Martha dan Maria, dan dari sikap mereka menerima Yesus, kita mengetahui bahwa memberi pelayanan maupun perhatian adalah sesuatu yang baik, namun Tuhan Yesus menunjukkan mana yang lebih utama. Sekilas dari kisah Injil ini, sejumlah orang berpandangan, bahwa Martha telah melakukan kesalahan dengan kesibukannya melayani—mungkin termasuk menyiapkan makanan—untuk Yesus, Sang Tamu Agung. Tetapi sebenarnya, Tuhan Yesus tidak mengecam sikap Martha, atau mengatakan bahwa yang dilakukannya tidak berarti. Namun Tuhan Yesus menunjukkan bahwa kesediaan untuk mendengarkan-Nya lebih baik daripada menyusahkan diri untuk melayani Dia.

Di Bacaan Pertama kita mendengar kisah Bapa Abraham, yang menerima kunjungan tiga malaikat Tuhan yang memberitahukan kepadanya bahwa  Sara  istrinya akan mempunyai seorang anak laki-laki (lih. Kej 18:10).  Betapa lebih istimewanya apa yang dialami oleh Martha dan Maria!  Sebab yang datang kepada mereka bukan malaikat, tetapi Tuhan sendiri. Maka layaklah jika sikap yang ditujukan kepada-Nya lebih istimewa. Jika pada kisah Abraham, ia menyuruh pembantunya untuk mempersiapkan makanan bagi sang tamu; pada kisah Injil, Martha sendirilah yang melayani Sang Tamu Agung. Maka sesungguhnya yang dilakukan Martha adalah sesuatu yang baik. St. Agustinus mengatakan, “Haruskah kita berpikir bahwa celaan ditujukan kepada pelayanan Martha, yang sibuk melayani Tamunya dan yang bersukacita karena kedatangan sang Tamu Agung? Jika ini benar, biarlah orang berhenti melayani orang miskin. Atau dengan kata lain, biarlah mereka bersantai, hanya mengarahkan perhatian untuk memperoleh pengetahuan yang bermanfaat, tak usah memperhatikan jika ada orang asing yang membutuhkan makanan; biarlah karya belas kasih tidak dihiraukan, hanya pengetahuan saja yang ditumbuhkan… Tuhan kita tidak menyalahkan tindakan-tindakan [Martha] tersebut, tetapi membedakan antara tugas-tugas kewajiban itu. Sebab dikatakan, Maria telah memilih bagian yang terbaik. Tidak berarti bahwa yang dilakukan Martha adalah buruk, tetapi yang dilakukan Maria lebih baik. Mengapa lebih baik? Sebab hal itu tidak akan diambil daripadanya. Beban urusan yang penting akan suatu saat diambil daripadamu. Sebab ketika kamu datang suatu negeri, kamu tidak akan menemukan seorang pun untuk diterima dengan keramahtamahan. Namun demi kebaikanmu, hal itu akan diambil darimu, supaya apa yang lebih baik dapat diberikan kepadamu. Kesulitan akan diambil darimu, dan istirahat akan diberikan kepadamu. Kamu masih ada di lautan, tetapi ia [Maria] sudah ada di pelabuhan. Sebab rasa manis kebenaran bersifat kekal. Di hidup [di dunia] ini rasa tersebut bertambah, dan di kehidupan berikutnya, rasa manis tersebut akan menjadi sempurna, dan tak akan diambil daripadamu” (St. Augustine, in Catena Aurea, Luk 10:38-42).

Dari pengajaran St. Agustinus ini, kita mengetahui bahwa tindakan melayani sesama itu baik, melayani tugas-tugas di gereja juga baik, namun itu belum cukup, jika kita belum menyediakan waktu untuk mendengarkan Tuhan Yesus. Di mana kita mendengarkan Dia? Melalui permenungan Sabda-Nya, saat kita berdoa dan membaca Kitab Suci; namun juga secara khusus, saat menerima Dia dalam Ekaristi Kudus. Saat itulah kitapun dapat menjadi seperti Maria, yang “duduk dekat kaki Tuhan” (Luk 10:339) dan mendengarkan apa yang dikehendakiNya dalam hidup kita. Dalam Ekaristi, Allah menyatakan rahasia mulia yang dinyatakanNya kepada segala bangsa, yaitu ”Kristus ada di antara kamu” (Kol 1:27), sebagaimana dikatakan oleh Rasul Paulus. Ya, Kristus ada di tengah kita dan Ia pun ada “di dalam aku”. Jika kita menyadari hal ini, tentu kita akan lebih berusaha mendengarkan Dia, dan lebih berhati-hati dalam berkata-kata dan bertindak. O, seandainya saja kesadaran ini selalu ada dalam diri kita!  Sebab dengan kesadaran akan kedekatan kita dengan Yesus, kita dapat menjadi semakin peka akan suara Tuhan dalam hati kita. Namun kepekaan ini tidak otomatis ada, jika kita tidak lebih dulu dengan setia, menyediakan waktu untuk berdoa, merenungkan Kitab Suci dan menerima-Nya dalam Komuni kudus. Kita tidak akan mungkin dapat berdoa tanpa henti, jika kita tidak memulainya dengan kesetiaan berdoa di waktu-waktu tertentu dalam setiap hari. Doa pagi dan malam, doa sebelum dan sesudah makan, doa Angelus setiap jam 6 dan 12 siang, doa syukur setiap jam 3 siang mengenang sengsara dan wafat Tuhan Yesus….

Mungkin ada baiknya kita belajar dari St. Paus Yohanes Paulus II. Yang sangat mengagumkan darinya, bukanlah hanya doa-doa hariannya, tetapi kebiasaannya untuk berdoa terus menerus tanpa henti. Orang-orang terdekatnya kerap melihatnya begitu tenggelam dalam doa yang khusyuk bahkan di tengah aktivitas sehari-hari, seperti ketika sedang berjalan menuju acara tertentu, dan itu terjadi berkali-kali sepanjang hari. Saat-saat tersebut, nampak sekali kedekatan Paus dengan Tuhan. Kardinal Christoph Schonborn berkata demikian tentang Paus, “Bapa Suci nampak seolah-olah tak pernah berhenti berdoa. Aku tak pernah melihat seorang pun yang terus menerus diresapi dalam kesatuan dengan Kristus dan Allah Bapa seperti itu sebagai keadaan permanen yang memimpinnya untuk menyerahkan segala perbuatannya ke dalam tangan Tuhan. Perhatiannya untuk sesama, sikapnya, perkataannya… semua yang dilakukannya dimandikan dalam doa…” Ia tidak mengadakan waktu untuk masuk dalam doa. Melainkan, ia, demi orang lain, mengadakan waktu untuk keluar dari doa. Kata Paus, “Begitu saya berjumpa dengan orang, saya mendoakannya.” Mereka yang beruntung dapat bertemu dengannya, tidak akan heran dengan perkataannya ini sebab Paus memberi perhatian penuh kepada setiap orang yang dijumpainya. Salah seorang sekretarisnya berkata, “Paus berdoa bagi setiap orang yang ditemuinya, baik sebelum maupun sesudah pertemuan itu…”

Sudahkah kita bersikap demikian? Jika belum, mari kita coba untuk melaksanakannya, mulai saat ini. Dan semoga Injil hari ini, dan teladan St. Maria, St. Martha, dan St. Paus Yohanes Paulus II menuntun kita untuk hidup lebih baik daripada hari kemarin. “Tuhan Yesus, buatlah aku lebih peka mendengar suara-Mu  dalam hatiku, agar apapun yang kukatakan dan kulakukan boleh berkenan kepadaMu. Amin.”

Sudah tahu, kini tinggal melaksanakan

0
Sumber gambar: https://www.lds.org/scriptures/nt/luke/10.25-37?lang=eng

[Hari Minggu Biasa XV: Ul 30:10-14; Mzm 69:14-37; Kol 1:15-20; Luk 10:25-37]

“Wah, sepertinya di Surga tak ada ahli hukum (lawyer)…. Sebab sudah sepanjang segala abad, batas antara Surga dan neraka tak bisa dinegosiasi…. Selain itu, kami-kami ini bawaannya memang mencari celah hukum… ” Demikian joke yang pernah dilontarkan oleh salah seorang teman yang mantan lawyer. Entah mengapa, lekat di pikiran kita, para ahli hukum umumnya pandai memaknai kata-kata dalam suatu peraturan,  demi mendukung suatu argumen, atau demi negosiasi untuk memenangkan kepentingan pihak yang sedang dibelanya. Tapi nampaknya, sikap macam ini juga terdapat dalam diri kita, walau kita bukan ahli hukum. Kita cenderung mencari pembenaran diri, terutama jika kita gagal melakukan perintah Allah dengan sepenuhnya.  Bacaan Injil hari ini menegur dan mengingatkan, agar kita waspada terhadap sikap “mau terlihat sudah benar” sendiri, padahal sesungguhnya kita masih jauh dari itu.

St. Sirilus menjelaskan, “Sebab terdapat sejumlah orang yang berkeliling ke seluruh negeri Yahudi, yang mendakwa Kristus dengan mengatakan bahwa Ia menganggap perintah-perintah nabi Musa tidak berguna dan bahwa Ia memperkenalkan ajaran-ajaran yang aneh. Seorang ahli hukum (ahli Taurat) bermaksud menjerat Kristus dengan tuduhan bahwa Ia melawan Musa. Ahli hukum itu datang dan mencobai Kristus. Ia memanggil Kristus sebagai ‘Guru’ walaupun ia bukan murid-Nya. Dan karena Tuhan kita biasa berbicara kepada mereka yang datang kepada-Nya mengenai kehidupan kekal, maka sang ahli hukum ini turut mengambil gaya bahasa tersebut. Dan karena ia mencobai Kristus dengan halus, maka ia tidak menerima jawaban yang lain daripada perintah yang telah diberikan oleh Nabi Musa. Sebab dikatakan, Yesus berkata kepadanya, Apa yang tertulis dalam hukum Taurat (hukum Musa)? Apa yang kau baca di sana? Ketika sang ahli hukum menjawab hal-hal yang terkandung dalam hukum itu, Kristus yang mengetahui segala sesuatu, memotong jaring-jaringnya yang penuh tipu daya. Sebab dikatakan, dan Yesus berkata kepadanya, Jawabmu itu benar! Perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup.

Sang ahli taurat, ketika dipuji oleh Penyelamat kita karena telah menjawab dengan benar, menjadi sombong, dengan berpikir bahwa ia tidak memiliki ‘sesama’, seolah tak ada seorang pun yang bisa dibandingkan dengannya dalam hal kebajikan. Maka dikatakan, tapi untuk membenarkan dirinya sendiri, ia berkata lagi kepada Yesus, ‘Dan siapakah sesamaku?’… Dari kelicikan yang dengannya ia mau mencobai Kristus, ia beralih kepada kesombongan. Tapi di sini dengan bertanya, siapa sesamaku, ia membuktikan kepada dirinya sendiri, bahwa ia tak punya kasih kepada sesamanya, sebab ia tidak menganggap seorang pun sebagai sesamanya. Demikian pula ia tak punya kasih kepada Allah, sebab ia yang tidak mengasihi sesama yang dapat dilihatnya, tak dapat mengasihi Allah yang tidak dapat dilihat-Nya.

…maka tepatlah  Tuhan kita bertanya kepada ahli hukum itu; siapakah di antara ketiga orang ini yang menjadi sesama manusia bagi orang yang telah jatuh ke tangan penyamun itu? Kata sang ahli hukum, orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya. Sebab bukan imam maupun suku Lewi yang menjadi sesama bagi orang yang menderita itu, tetapi hanya orang Samaria itu yang berbelas kasihan kepadanya. Sebab percumalah martabat imamat dan pengetahuan sebagai ahli hukum Taurat, jika mereka tidak meneguhkannya dengan perbuatan-perbuatan baik. Oleh karena itu, Yesus berkata kepada ahli hukum Taurat itu, Pergilah dan perbuatlah demikian!” (St. Cyril, Catena Aurea (Luk 10:25-37).

Memang tak berlebihan, jika dikatakan bahwa bacaan Sabda Tuhan hari ini sudah kita ketahui, dan bahkan sudah akrab di pendengaran kita. Mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama, itu intinya. Bukankah perintah ini memang sudah sering diulang dalam banyak khotbah dan renungan kita? Namun seberapa jauh kita peka untuk melaksanakannya, itulah masalahnya. Sebab dorongan untuk mencintai Tuhan dan sesama, sebenarnya sudah ditanamkan Allah dalam hati setiap orang. Maka Nabi Musa pun sudah berkata, “Firman itu sangat dekat padamu, yakni di dalam mulutmu dan di dalam hatimu; hendaklah engkau melaksanakannya” (Ul 30:14).

Jadi bacaan hari ini mengingatkan kita untuk berbuat kasih.  Menurut St. Faustina, mengasihi sesama itu bisa diwujudkan dengan tiga cara. Pertama, dengan perbuatan kasih, kedua, dengan perkataan dan ketiga, dengan mendoakan. Tentu perbuatan kasih adalah sesuatu yang secara langsung dapat membantu sesama yang sedang kesusahan. Namun jika hal itu tidak dapat dilakukan karena sesuatu hal, kita dapat menghibur mereka dengan perkataan. Jika hal tersebut juga tidak mungkin, kita tetap dapat mendoakan orang tersebut. Semoga Tuhan  memampukan kita untuk terus mengasihi sesama—entah dengan perbuatan, perkataan maupun doa—demi kasih kita kepada-Nya.

Ya Tuhanku, aku mengasihiMu di atas segala sesuatu, dengan seluruh hati dan jiwaku, sebab Engkau sepenuhnya baik dan layak menerima segenap kasihku. Aku mengasihi sesamaku seperti mengasihi diriku sendiri, demi kasihku kepada-Mu. Aku mengampuni semua orang telah menyakiti hatiku dan aku mohon ampun atas segala dosaku yang pernah kulakukan terhadap sesamaku. Amin.”

“Lord, please give us ‘Vocation Boom’!”

0
Sumber gambar: http://hdimagelib.com/catholic+priest+praying

[Hari Minggu Biasa XIV: Yes 66:10-14; Mzm 66:1-20; Gal 6:14-18; Luk 10:1-20]

Menurut Annuarium Pontificum (Buku Tahun Kepausan) 2015 dan  Annuarium Statisticum Ecclesiae (Buku Tahunan Statistik Gereja) 2013 yang dikeluarkan di Vatikan tanggal 16 April 2015 pagi, dikatakan bahwa jumlah umat Katolik di seluruh dunia sampai bulan Februari 2015 adalah 1.254.000.000 (sekitar 1.25 milyar) meningkat 139 juta umat dari tahun 2005. Dengan jumlah imam sekitar 400 ribu-an, membuat rasio perbandingan imam dan umat adalah satu orang imam melayani sekitar 3000 umat. Suatu perbandingan yang sepertinya sangat kurang. Maka sangat relevan sepertinya, pesan dalam Injil Minggu ini, “Tuaian memang banyak, tetapi pekerjanya sedikit! Sebab itu, mintalah kepada tuan yang empunya tuaian, agar ia mengirimkan pekerja-pekerja ke tuaian itu…” (Luk 10:2) Pesan Tuhan Yesus jelas, tetapi apakah kita sudah melakukannya atau mengambil bagian di dalamnya, itulah yang menjadi persoalannya. Apakah kita sudah turut mendoakan dan mendorong bertumbuhnya panggilan untuk menjadi imam, biarawan atau biarawati? Bagaimana sikap kita jika Tuhan memanggil salah seorang dari anak-anak kita sendiri untuk menjadi imam atau bruder atau suster? Sebab sudah menjadi kehendak Allah bahwa panggilan religius tidak terpisahkan dari rencana Allah untuk mengalirkan rahmat keselamatan kepada umat-Nya, dan menyediakan bagi kita suatu tanda yang hidup tentang bagaimana menanggapi rahmat Allah itu dengan mengambil cara hidup yang sama dengan cara hidup Tuhan Yesus sendiri ketika Ia hidup sebagai manusia di dunia ini (lih. 1Yoh 2:6).

Bacaan Pertama hari ini mengisahkan betapa Allah akan “mengalirkan keselamatan seperti sungai” kepada umat-Nya di Yerusalem, yang menjadi gambaran akan Gereja-Nya. Tuhan sendiri akan menghibur umat-Nya; dan bagi semua orang yang menjadi milik-Nya, Tuhan akan menurunkan damai sejahtera dan rahmat (Gal 6:14-18). Bacaan Injil kemudian menjelaskan, bagaimana Yesus mengutus tujuh puluh murid-Nya secara berdua-dua untuk mendahului-Nya ke setiap kota yang hendak dikunjungi-Nya, untuk pertama-tama mengalirkan “damai sejahtera” kepada rumah yang mereka kunjungi. St. Agustinus mengatakan, “… Seperti tak ada yang meragukan bahwa keduabelas rasul menggambarkan golongan para Uskup, demikianlah juga kita mesti mengetahui bahwa ketujuhpuluh murid ini melambangkan golongan penatua, yaitu golongan kedua, yang adalah para imam” (St. Augustine, Catena Aurea, Luk 10:1-2).

Menanggapi Injil hari ini, marilah kita bertanya kepada diri sendiri, apakah yang dapat kita lakukan untuk mengambil bagian dalam pewartaan karya agung keselamatan Tuhan, sebagaimana yang telah kita nyanyikan dalam Mazmur hari ini. Walaupun memang kita—dengan cara yang berbeda-beda—dipanggil untuk membawa damai kepada sesama kita, kita tak boleh mengabaikan maksud yang lebih implisit yang dikehendaki oleh Tuhan Yesus dalam Injil ini. Yaitu, agar kita mengambil bagian dalam mendorong timbulnya atau bertumbuhnya panggilan imamat dalam Gereja. Kita bisa melakukannya dengan cara mendoakannya, memberikan kontribusi dana dan tenaga untuk mempromosikan panggilan dan pendidikan calon imam, atau memupuknya dalam keluarga kita sendiri, agar Tuhan berkenan memanggil dari antara anak-anak kita, untuk menjadi imam. Mungkin kita perlu belajar, misalnya dari paroki St. Agnes di St. Paul Minnesota USA, yang setiap Minggunya berdoa bersama dalam perayaan Ekaristi, agar memanggil dari antara kaum muda di parokinya untuk menjadi imam, maupun kaum religius. “…Lord, we need more priests… Give us holy priests. May You deign to call among the youth of our parish to be Your priests….,” demikian penggalan doa yang kuingat diucapkan oleh seluruh umat dalam setiap Misa hari Minggu. Tradisi paroki yang telah dimulai sejak 30 tahun silam telah membuahkan hasil. Rata-rata setiap tahunnya, dari paroki tersebut terpanggillah seorang dari kaum mudanya untuk menjadi imam, dan sejumlah lainnya menjadi bruder dan suster. Sejak tahun 2000 sampai 2007, ada 11 imam ditahbiskan dari paroki tersebut, yang merupakan ⅙ dari jumlah 61 imam yang ditahbiskan di keuskupan tersebut—yang mencakup 200 paroki. Namun memang panggilan ini, bukan hanya buah dari doa, tetapi juga dari kerja keras para imam dan biarawati yang mendidik anak-anak di sekolah Katolik yang menjadi kesatuan dengan paroki tersebut. Suatu permenungan mungkin, bagi para pemimpin Gereja Katolik di Indonesia, para pendidik dan umat Katolik sendiri, yang terpanggil untuk mengusahakan sekolah Katolik yang tidak hanya baik dari segi akademis, tetapi  juga  dalam menanamkan nilai-nilai iman Katolik yang meresap dalam keseluruhan sistem pendidikannya. Agar majunya pendidikan Katolik juga dibarengi dengan majunya panggilan imamat dan religius, sebab dunia tidak hanya membutuhkan kecerdasan, tetapi juga kekudusan.

Di akhir permenungan kita hari ini mari kita bersyukur kepada Tuhan atas karunia para imam bagi Gereja. “Ya, Tuhan, kami bersyukur atas karunia panggilan imamat yang Engkau berikan kepada para gembala kami. Sebab melalui mereka, kami menerima rahmat keselamatan dan dapat selalu dikuatkan dengan santapan rohani. Kami mohon, sertailah para imam dan para calon imam, agar mereka dapat hidup setia seturut panggilan-Mu, dan dapat menjadi teladan bagi kami. Tuaian memang banyak, namun pekerjanya sedikit. Ya Allah, kami mohon kirimkanlah kepada kami pekerja-pekerja kepada tuaian itu. Our heavenly Father, in Your mercy, hear our prayer, for more than ever, now we need, ‘Vocation Boom’. This we ask through Christ our Lord. Amen.”

Mengikut Yesus tanpa melihat ke belakang

0
Sumber gambar: http://frmurchadh.blogspot.co.id/2013/06/13th-sunday-of-year-c-gospel-luke-951.html

[Hari Minggu Biasa XIII: 1Raj 19:16-21; Mzm 16:1-11; Gal 5:1, 13-18; Luk 9:51-62]

Bacaan Injil hari ini mungkin membuat kita mengernyitkan kening. Sebagai seorang Yahudi, Tuhan Yesus kan sudah tahu bahwa orang-orang Samaria tidak bergaul dengan orang-orang Yahudi, lalu mengapa Ia mau mampir ke desa orang Samaria dan mengirimkan utusan ke sana untuk mendahului Dia? Mengapa sudah tahu akan ditolak, tetapi Ia malah mau sengaja ke sana? St. Sirilus menjelaskannya demikian, “Tetapi Tuhan kita, yang mengetahui segala sesuatu sebelum semuanya terjadi, telah mengetahui bahwa para utusan-Nya tidak akan diterima oleh orang-orang Samaria. Namun demikian Ia tetap memerintahkan mereka untuk mendahului-Nya, sebab adalah kebiasaan-Nya untuk membuat segalanya menghasilkan kebaikan bagi para murid-Nya. Saat itu Ia pergi ke Yerusalem sebab saat penderitaan-Nya telah mendekat. Agar mereka tidak terhina ketika melihat diri-Nya menderita, dengan membawa dalam pikiran bahwa mereka juga harus menanggung dengan sabar ketika orang-orang menganiaya mereka, maka Ia menentukan sebelumnya, sebagai negeri pembuka, penolakan ini dari orang-orang Samaria. Juga hal itu baik bagi para murid dalam hal lainnya. Sebab mereka kelak akan menjadi para pengajar di dunia, yang menjelajahi kota-kota dan desa-desa, untuk mewartakan ajaran Injil, adakalanya akan bertemu dengan orang-orang yang tidak mau menerima ajaran suci, yang tidak mau Yesus tinggal di dunia bersama mereka. Oleh karena itu, Yesus mengajar mereka, bahwa dalam mengajarkan ajaran ilahi, mereka harus dipenuhi kesabaran dan kelemahlembutan, tanpa kepahitan dan kemarahan dan tanpa permusuhan sengit melawan mereka yang telah bersalah kepada mereka. Tetapi mereka tidak demikian. Tidak, dengan dibangkitkan oleh semangat bernyala, mereka malah mau mendatangkan api dari langit atas orang-orang Samaria itu. Maka dikatakan, ‘Ketika Yakobus dan Yohanes melihat ini, mereka berkata, Tuhan, apakah Engkau mau, supaya kami menyuruh api turun dari langit untuk membinasakan mereka?….’ ” (St. Cyril, Catena Aurea, Luk 9:51-56)

Kisah Injil hari ini mengajak kita merenung. Biasanya, apa reaksi kita jika kita tahu bahwa kita akan ditolak: kita tetap mencoba, atau kita menghindar? Kecenderungan manusia adalah, menghindar saja, mundur teratur. Lebih aman, dan tidak perlu mengalami sakit hati. Tetapi kalau semua orang berpikir demikian dan memutuskan demikian, barangkali, sampai sekarang kita pun belum mengimani Yesus. Kita dapat mengenal Yesus karena pengorbanan dari sejumlah orang yang berabad lalu mau bersusah-payah mewartakan Injil ke negara kita. Mereka rela mencoba walaupun tahu bahwa mungkin pewartaannya tidak serta merta diterima dengan mudah. Maka kalau kita sekarang dipanggil untuk mewartakan Injil, sesungguhnya tantangannya tetap sama. Jika keadaannya sulit, maukah aku tetap mewartakan Injil? Maukah aku tetap mengikuti Yesus? Sebab sekalipun kita mengalami penolakan, selalu ada jalan yang dibukakan oleh Tuhan, agar kita tetap dapat melaksanakan panggilan hidup kita.

Panggilan hidup kita secara umum adalah untuk hidup kudus. Namun secara khusus, tiap-tiap orang mempunyai panggilan hidupnya sendiri-sendiri, entah berkeluarga, atau single, atau selibat untuk Kerajaan Allah. Tapi apapun panggilan hidup kita itu, kita dipanggil untuk mengikuti Yesus sepenuhnya, dan menempatkan hal-hal ilahi sebagai yang utama dalam hidup kita. St. Ambrosius mengajarkan, “Tetapi Allah memanggil orang-orang yang kepada mereka Ia berbelas kasih. Maka Yesus berkata, biarlah orang mati menguburkan orang mati. Karena kita telah menerima sebagai kewajiban keagamaan untuk menguburkan orang mati, lalu bagaimana bahkan  menguburkan ayah dilarang, kecuali kamu harus memahaminya bahwa hal-hal manusiawi harus ditangguhkan, jika dibandingkan dengan hal-hal ilahi? Sebab hal itu adalah pekerjaan baik, tetapi lebih banyak merintangi, sebab seseorang yang terbagi cita-citanya, menurunkan perhatian terhadap pengejarannya,  orang yang terbagi perhatiannya, memperlambat pencapaiannya. Pertama-tama kita harus menanggalkan hal-hal yang paling berpengaruh. Sebab para rasul juga, agar mereka tidak disibukkan oleh tugas pembagian derma, menugaskan para pelayan diakon untuk melakukan hal ini bagi kaum miskin.” (St. Ambrose, Catena Aurea, Luk 9: 57-62).

Yesus mengajak kita masing-masing bertanya kepada diri sendiri: “Apakah yang paling merintangi hubungan kasihku dengan Tuhan?” Sebab dapat terjadi sesuatu perbuatan yang sepertinya netral dan bahkan baik, dapat merintangi hubungan kasih kita dengan Tuhan. Contohnya, kesukaan berlebihan terhadap hobby tertentu, kesenangan menonton film/ TV atau memburu info tentang gonjang ganjing politik negeri ini. Atau kesenangan kita main game atau selalu “online” di hp, sampai kurang mempunyai perhatian terhadap orang-orang di sekitar kita, dan bahkan terhadap Tuhan. Atau pikiran kita tersita untuk berbagai pekerjaan dan perhatian untuk hal-hal duniawi. Dalam hal yang paling sederhana—misalnya saat berdoa—pikiran kita pun rentan melayang kepada hal-hal tertentu, yang akhirnya mengganggu keeratan kita dengan Tuhan.  Atau kita begitu sibuk terlibat dalam kegiatan gerejawi, namun kurang bersungguh-sungguh menyediakan waktu untuk berdoa dan membina hubungan yang erat dengan Tuhan Yesus. Semoga sabda Tuhan hari ini mendorong kita untuk menanggalkan keterikatan dengan hal-hal yang merintangi hubungan kita dengan Tuhan dan lebih mengarahkan hati kepada hal-hal ilahi. Sebab dengan demikian, kita dapat lebih penuh mengikuti Tuhan Yesus, tanpa menoleh ke belakang karena memikirkan apa-apa yang masih menjadi perhatian kita, yang membuat kita mendua hati. Sebab Tuhanlah Penolong kita, yang di dalam-Nya kita menemukan perlindungan dan ketentraman yang sejati.

Semoga kita dapat melambungkan Mazmur hari ini, dengan sepenuh hati, “Bahagia, kuterikat pada Yahwe, harapanku pada Allah Tuhanku. Jagalah aku, ya Allah, sebab pada-Mu aku berlindung….”

Memandang Ia yang telah mereka tikam

0
Sumber gambar: http://www.backtoclassics.com/gallery/tintoretto/crucifixion-detail/

[Hari Minggu Biasa XII: Za 12: 10-11; 13:1; Mzm 63:2-9; Gal 3:26-29; Luk 9:18-24]

“Ini ada sedikit oleh-oleh dari Spanyol…,” ujar seorang teman. Aku membuka kotak kecil yang nampak dari luar seperti kotak obat pil. Begitu kubuka, kulihat selembar kertas berisi tulisan dalam bahasa Spanyol, yang seperti menuliskan indikasi dosis obat. Tetapi yang di dalam kotak itu bukan obat. Tetapi adalah sebuah Crucifix (Yesus yang tersalib) yang terbuat dari logam perak, sebesar sekitar 7 cm. Walau aku tidak paham bahasa Spanyol, tapi kupikir mungkin secarik kertas instruksi itu menuliskan semacam anjuran untuk sejenak berdoa memandang atau memegang Crucifix itu di beberapa kesempatan dalam sehari. Aku terhenyak. Berapa kali sehari aku memandang Salib Tuhan Yesus? Berapa kali sehari aku mengucapkan terima kasih kepada-Nya yang telah ditikam karena dosa-dosaku dan dosa seluruh dunia?

Kitab Nabi Zakaria yang kita baca hari ini mengingatkan kita bahwa ratusan tahun sebelum Yesus lahir, kematian-Nya ditikam demi “membasuh dosa dan kecemaran” (Za 12:10; 13:1) telah dinubuatkan. Yesus menggenapi nubuat itu, sebagai seorang dari keturunan Daud yang dibunuh di Yerusalem dengan cara disalib dan ditikam. Jika kubaca Kitab Raja-raja yang mencatat banyak nama raja keturunan Daud, tak ada satupun yang memenuhi nubuat ini. Adakah orang yang pernah meninggal secara demikian tragis seperti yang dialami Tuhan Yesus? Ditikam karena dosa-dosa orang lain? Yang karena kesuciannya dapat membasuh kecemaran? Sungguh, hanya Tuhan Yesus yang menggenapi nubuat ini. Ia adalah Sang Kurban yang tahir, yang mencurahkan darah-Nya agar kita semua yang percaya kepada-Nya memperoleh hidup di dalam Dia. Demikianlah pengajaran Perjanjian Lama yang menghubungkan darah dengan nyawa/ kehidupan dan bahwa pendamaian terhadap dosa selalu dihubungkan dengan korban nyawa (lih. Im 17:11,14), mempersiapkan kita untuk semakin menghargai pengorbanan Kristus. Larangan makan darah makhluk apapun yang ditetapkan di sana, adalah untuk mempersiapkan kita agar kita menerima Darah Sang Putra Allah, yang mendamaikan kita dengan Allah dan dengan sesama kita. Ia yang adalah Sang Mesias, Putra Allah yang hidup, rela mencurahkan darah-Nya bagi kita, agar kita memperoleh “nyawa-Nya”, yaitu hidup ilahi-Nya. Oleh pengorbanan Kristus, kita yang telah dibaptis dalam kematian-Nya dapat disatukan dalam darah-Nya, dan dengan demikian, “mengenakan” Kristus (Gal 3:27). Dengan disatukan dengan Kristus, kita pun disatukan dengan semua orang yang sama-sama telah menerima darah-Nya itu. Kehidupan ilahi yang tercurah melalui darah-Nya menyatukan perbedaan suku, bangsa, status dan berbagai perbedaan lainnya. Mengapa? Karena kita menyadari bahwa Tuhan kita telah menyerahkan nyawa-Nya demi semua orang, untuk mendamaikan semua orang.

Semoga setiap kali kita memandang salib Kristus, kita dipenuhi rasa syukur kepada-Nya. Semoga kita dapat berkata seperti yang dikatakan Rasul Petrus, “Yesus, Engkaulah Mesias, Putra Allah yang hidup” (Luk 9:20; bdk. Mat 16:16). Terima kasih tak terhingga atas pengorbanan-Mu untuk menyelamatkan aku dan seluruh dunia.” Namun ungkapan pengakuan iman itu, juga membawa konsekuensi. Sebab dengan mengakui Kristus sebagai Penyelamat kita, kita pun diajak-Nya untuk mengikuti jejak-Nya. Yaitu, tidak ragu berkorban bagi orang lain, ataupun dengan rela memikul salib yang Tuhan percayakan dalam kehidupan kita, supaya kita dapat memperoleh penggenapan janji keselamatan-Nya itu. Sebab Yesus Sang Mesias berkata, “Setiap orang yang mau mengikuti Aku harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikuti Aku” (Luk 9:23).

Kini aku semakin menyadari dan menghargai tradisi Gereja Katolik yang selalu memasang Crucifix dalam gedung-gedung gereja dan menggunakannya dalam berbagai doa dan ibadat. Sebab memang Kristus telah bangkit mulia, namun sebelum itu Ia terlebih dahulu melalui salib dan kematian-Nya. Salib dan kematian-Nya itu menjadi tanda yang paling jelas akan penggenapan nubuat para nabi, bahwa Ia adalah sungguh Sang Mesias dari Allah. Salib yang dipandang dunia sebagai penghinaan dan penghukuman, dijadikan Allah sebagai sumber kemuliaan dan rahmat.  Sebab Allah Sang pemberi hidup pernah tergantung dan ditikam di sana, serta mencurahkan darah-Nya yang maha mulia, demi kasih-Nya kepada kita. Untuk menebus dosa-dosaku dan dosa-dosamu.

Kupandang Crucifix itu, dan berdoa, “Tuhan Yesus, Engkaulah Mesias dan Penyelamatku. Betapa hatiku bersyukur untuk pengorbanan-Mu. Semoga Engkau memampukan aku untuk mengikuti jejak-Mu. Agar aku tidak cepat urung dan mengeluh dalam menjalani kehidupan yang kerap menuntut pengorbanan dan kerja keras; ataupun penderitaan yang menyertainya. Semoga kuingat pesan-Mu hari ini, bahwa jika aku setia memikul salibku setiap hari bersama Engkau, maka Engkau akan berkenan menyelamatkan aku. Mengingat besarnya kasih-Mu, bantulah aku juga untuk dapat merindukan agar semakin banyak orang juga memperoleh keselamatan yang daripada-Mu. O, Tuhan Yesus, terimalah ucapan syukur dan kasih-ku. Amin.”

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab