Home Blog Page 22

Kanker Bukanlah Angker

0

Sharing pelayanan oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC

Setelah selesai merayakan Misa peringatan arwah di sebuah lingkungan pada tanggal 23 Mei 2016, aku duduk bersama umat untuk mendengarkan cerita kehidupan. Seorang ibu tiba-tiba mendatangiku dan berkata: “Romo, aku sudah lama ingin bertemu dengan Romo. Tak terduga Tuhan mempertemukan kita di sini”. Ibu itu bernama Ibu Nani. Usianya limapuluh delapan tahun. Ia memiliki tiga anak. Wajahnya masih segar. Ibu Nani nampak jauh lebih muda dari usianya yang sebenarnya, hanya tubuhnya agak kurus.

Ia kemudian mensharingkan kejadian dalam hidupnya belum lama ini. Pada tanggal 17 September 2016 ia dinyatakan menderita kanker paru-paru stadium empat. Mendengar vonis itu, ia bagaikan tersambar petir di siang bolong. Ia tidak dapat melukiskan perasaannya atas berita yang tak pernah ia duga ini. Ia tak habis mengerti mengapa ia bisa menderita kanker. Kanker itu sekarang telah menjalar sampai tulang-tulang. “Sakitnya luar biasa kalau dirasakan”, katanya.

Aku kemudian bertanya kepadanya: “Bagaimana ibu bisa menahan sakitnya”. Ia menjawab: “Aku mengandalkan Tuhan. Aku bersama keluargaku terus berdoa dan memohon agar Tuhan memberi ketabahan dan kekuatan kepadaku untuk menghadapi ujian kehidupan ini dengan ikhlas. Dalam situasi yang sulit ini, harapanku hanya satu, yaitu bersandar kepada Tuhan. Jika aku tidak mempunyai Tuhan, aku tidak akan demikian tabah menghadapi penyakit kanker ini. Tanpa Tuhan, aku akan sama seperti orang yang tidak beriman; akan gelisah, terus mengeluh, dan menyesali nasib diri yang malang. Aku kini menghabiskan waktuku membaca Firman Tuhan dan kegiatan gerejani. Ternyata kanker bukanlah angker jika dihadapi dengan iman”.

Aku tertegun mendengarkan kesaksiannya. Penderitaannya sungguh memurnikan imannya kepada Tuhan, seperti proses pemurnian emas: “Maksud semuanya itu ialah untuk membuktikan kemurnian imanmu–yang jauh lebih tinggi nilainya daripada emas yang fana, yang diuji kemurniannya dengan api–sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya” (1Petrus 1:7). Seperti proses menjadikan emas murni dengan api yang sangat panas, tolok ukur iman murid Tuhan terpancar dalam reaksinya pada penderitaan hidup. Semakin tabah dalam menghadapi pergumulan kehidupan, ia semakin menunjukkan kelas imannya yang tinggi.

Kata-katanya “kanker bukanlah angker jika diterima dengan iman” sungguh melekat di hatiku. Imannya memberi kekuatan baru kepadanya untuk dapat menanggung kankernya dengan rela seperti yang telah dikatakan Yesaya: “tetapi orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN mendapat kekuatan baru: mereka seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya; mereka berlari dan tidak menjadi lesu, mereka berjalan dan tidak menjadi lelah” (Yesaya 40:31). Iman sungguh bisa mengubah ketakutan menjadi keberanian dan ganas menjadi jinak. Dengan iman, penderitaannya dapat ia jalani dengan sabar

Aku kemudian merenungkan keadaan manusia di era digital ini. Katanya manusia semakin canggih, tetapi banyak manusia yang mengaku beriman justru mudah bersungut-sungut dan bahkan menyerah ketika menghadapi masalah kecil saja. Kini banyak wajah-wajah frustasi di balik kehebatan jaman digital.

Pesan yang dapat kita renungkan dari pengalaman ibu Nani itu: Kesabaran itu senantiasa berbuah indah walaupun pada awalnya terasa pahit. Karena itu, jangan biarkan jiwa resah dan gelisah ketika harus menapaki jalan yang menyakitkan karena penghujung jalan biasanya manis: “Karena itu, saudara-saudara, bersabarlah sampai kepada kedatangan Tuhan! Sesungguhnya petani menantikan hasil yang berharga dari tanahnya dan ia sabar sampai telah turun hujan musim gugur dan hujan musim semi” (Yakobus 5:7).

Tuhan memberkati

Obesitas Rohani

0

Sharing pelayanan oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC

Setelah memimpin Novena Roh Kudus di Shekinah tanggal 8 Mei 2016, aku mengunjungi seorang opa yang sedang sakit di sebuah rumah sakit di Jakarta. Di rumah sakit tersebut aku mendapatkan arti “Pentakosta” yang terus kita hayati dalam Novena Roh Kudus. Pengungkapan arti Pentakosta itu aku temukan dalam sebuah perjumpaan. Anugerah Roh Kudus yang sesungguhnya adalah hidup yang dipenuhi dengan kasih.

Ketika aku tiba di tempat, kira-kira pukul 22.00, banyak orang berdiri di sekitar tempat tidur seorang opa yang terbaring lemah. Kondisi opa itu memang sedang memburuk. Nafasnya tersengal-sengal. Ia membutuhkan pertolongan segera.

Ketika kami dalam keadaan hening untuk persiapan doa, seorang dokter tua tiba-tiba menyelinap tanpa sepatah kata yang terucap. Ia memeriksa opa dan melakukan tindakan untuk menyelamatkannya. Tidak lama kemudian, nafas opa itu kembali normal. Dokter itu pun pergi begitu saja, tanpa pesan, dan dengan wajah yang tak enak dipandang.

Karena merasa tidak enak dengan sikap dokter itu, aku berbisik kepada seorang ibu yang berada di sampingku: “Bu, dokter itu jutek dan cuek amat”. Jawabannya kepadaku: “Romo, dokter itu sedang berdukacita karena istrinya baru saja meninggal dunia dan masih disemayamkan di rumah duka. Dokter itu rela meninggalkan rumah duka sesaat untuk memenuhi panggilan kami demi menyelamatkan nyawa Opa tercinta. Kami kagum atas pengabdian dan pengorbanan dokter yang luar biasa itu”. Mendengar jawaban itu, aku merasa tersambar petir penyesalan.

Karena merasa bersalah, esok harinya aku menelepon dokter tersebut untuk mengucapkan belasungkawa dan berterimakasih karena telah menolong umat. Aku tentu juga mohon maaf karena telah berprasangka buruk kepadanya. Jawabannya sangat menyejukkan dada: “Tidak apa-apa Romo. Pastor kan manusia. Semua manusia pasti pernah berbuat salah. Aku justru terharu bahwa Pastor mau menelepon saya. Sebuah telepon yang tak pernah aku sangka”. Aku pun berkata kepadanya: “Pak, sayalah yang sangat terharu dengan kebaikan Bapak. Di tengah duka, Bapak mempunyai waktu untuk sesama”. Jawabannya kepadaku: “Romo, Tuhan yang super sibuk senantiasa mempunyai waktu untuk umat-Nya. Di atas salib, Tuhan masih menghibur seorang penjahat yang bertobat dan mengampuni orang-orang yang menyalibkanNya. Tuhan juga telah mengirimkan banyak orang untuk menemani istriku pada saat ia sakit sehingga ia tidak merasakan kesepian di saat-saat kepulangannya ke Surga. Yang aku minta kepada Tuhan kemarin malam adalah agar aku dapat melupakan dukacitaku sejenak agar dapat menolong satu nyawa. Saya yakin perbuatanku itu melancarkan jalan istriku ke Rumah Bapa”. Aku sungguh bersyukur diberi kehormatan untuk memimpin Misa kremasi untuk istrinya.

Kebaikan dokter tersebut membuat aku merefleksikan keadaan sekarang ini mengapa begitu banyak terjadi persoalan dalam kehidupan. Sebagai contoh, banyak persoalan sering terjadi di dalam rumah tangga karena istri tidak mempunyai waktu bagi suami, suami bagi istrinya, orang tua bagi anak-anaknya, dan anak-anak bagi orang tuanya. Theodore Roosevelt, mantan Presiden Amerika Serikat, dapat menjadi teladan bagaimana memiliki waktu bagi keluarga: “Aku lebih suka melewatkan waktu bersama dengan keluargaku daripada dengan petinggi-petinggi dunia mana pun”. Jangan korbankan keluarga kita dengan kesibukan yang kelewatan karena semua yang kita lakukan sebenarnya untuk keluarga kita. Jadi, cara meraih hidup bahagia adalah selalu punya waktu untuk Tuhan dan sesama karena Tuhan senantiasa senantiasa memiliki waktu bagi kita.

Pesan apa yang dapat kita timba dari kisah pak dokter yang sangat baik itu: Jangan biarkan hidup kita menjadi obesitas rohani. Obesitas rohani adalah menikmati berkat-berkat Tuhan hanya bagi diri sendiri. Ingat waktu akan berlalu begitu cepat ketika kita sedang enak dalam kehidupan. Jadikan waktu kita bermakna dengan menghabiskan setiap detiknya bagi kebaikan sesama. Tuhan Yesus telah menghabiskan waktunya untuk melayani sesama.

Tuhan Memberkati

Berjuanglah melalui pintu yang sempit

0
Sumber gambar: http://markryman.com/BLOG/2013/08/19/fourteenth-sunday-after-pentecost-year-c-august-25-2013/

[Hari Minggu biasa ke XXI;  Yes 66:18-21; Mzm 117:1,2; Ibr 12:5-7,11-13; Luk 13:22-30]

“Sedikit sajakah orang yang diselamatkan?” demikian orang bertanya kepada Yesus. Namun Tuhan Yesus memilih untuk tidak menjawab secara langsung pertanyaan itu. Sebaliknya, Ia mengajarkan hal yang lebih penting, yaitu bagaimana agar kita dapat diselamatkan. Sebenarnya, pertanyaan serupa juga ditanyakan oleh orang di zaman ini, seperti: “Apakah Anda yakin Anda selamat?” Atau “Siapa sajakah orang-orang yang diselamatkan?” Nah, jika kita mempunyai pertanyaan-pertanyaan semacam itu, Injil hari ini mengingatkan kita, bahwa hal yang lebih penting menurut Tuhan Yesus adalah: “Berjuanglah untuk masuk melalui pintu yang sempit itu!” (Luk 13:24). Yaitu, berjuang agar kita dapat masuk dalam bilangan orang-orang yang diselamatkan. Daripada mempertanyakan sedikit atau banyakkah orang yang diselamatkan dan siapa-siapa sajakah mereka, lebih baik kita masing-masing berjuang agar pada akhirnya kita dapat diselamatkan. Sebab rahmat keselamatan  yang dari Tuhan mensyaratkan kerjasama dan perjuangan dari pihak kita yang menerima rahmat itu. Perkataan Tuhan Yesus dalam Injil hari ini menjadi dasarnya. Yaitu keselamatan yang kita terima oleh iman, tetap harus dibuktikan dengan perjuangan, dengan perbuatan nyata yang menunjukkan iman kita. Rahmat keselamatan itu bukanlah sesuatu yang diberikan otomatis, karena asal mengucap “aku percaya” tapi tanpa perjuangan untuk mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari.

St. Sirilus mengajarkan kepada kita, “Pintu yang sempit itu menggambarkan kerja keras dan penderitaan para orang kudus. Sebab seperti sebuah kemenangan menjadi saksi bagi kekuatan para prajurit, demikian juga daya tahan penuh keberanian terhadap usaha dan terhadap cobaan, akan membuat orang menjadi kuat” (St. Cyril, Catena Aurea, Luk 13:22-30). Di sini Tuhan Yesus mengajarkan bahwa iman harus dibarengi dengan kerja keras, yang membuat orang dapat bertahan menghadapi berbagai cobaan dan godaan. Dengan kata lain, sebagai murid Kristus kita harus tahan menghadapi berbagai kesulitan hidup dan penderitaan. Pencobaan, yang diizinkan Tuhan untuk terjadi dalam kehidupan kita, mesti kita anggap sebagai “didikan Tuhan” yang tak boleh membuat kita putus asa, tetapi untuk menjadikan kita semakin kuat di dalam iman, agar “menghasilkan buah kebenaran yang memberi damai kepada mereka yang dilatih oleh-Nya.” (lih. Ibr 12:5,11) Sebab jika kita telah berhasil melalui pencobaan dengan bantuan rahmat Tuhan, maka kesaksian hidup kita dapat pula membangun iman orang-orang yang mendengarkan pemberitaan kita. Demikianlah, Tuhan menghendaki agar kita—seperti dikatakan Mazmur hari ini—“Pergi ke seluruh dunia dan mewartakan Injil. Sebab kasih setia Tuhan hebat atas kita, dan kesetiaan-Nya sampai selama-lamanya!” (Mzm 117:2)

Marilah kita meresapkan sabda Tuhan hari ini, dan melihat bagaimana Tuhan telah hadir dan menopang kita sampai saat ini. Ia memberkati dan meneguhkan kita, namun kadang juga menegur kita, jika kita berbuat kesalahan. Ia membuka jalan bagi kita, walaupun sering kali, itu mensyaratkan kerja keras kita juga. Semoga  sabda Tuhan hari ini membuka mata hati kita, supaya kita dapat menjadi orang-orang yang tak pernah gagal mengenali kebaikan Tuhan dan bersyukur kepada-Nya, baik di waktu senang tetapi terlebih-lebih di waktu susah. Agar kita tetap teguh beriman, walau sedang mengalami kesulitan dan penderitaan. Sebab dengan demikian, kita melakukan perintah Tuhan, yaitu berjuang untuk dapat masuk dalam “pintu yang sesak itu” yang membawa kita kepada keselamatan kekal. Dengan kesaksian dan pengharapan ini, kita semua dipanggil untuk menjalani kehidupan kita. Yaitu untuk tetap setia beriman kepada Tuhan, apapun keadaan kita, sebab kita percaya Tuhan kita adalah Allah yang terlebih dahulu setia pada kita, dan kesetiaan-Nya sampai selama-lamanya (Mzm 117:2). Ia tak pernah meninggalkan kita, dan Ia akan membawa kita ke tempat di mana Ia berada (lih. Yoh 14:3). Di dunia sekarang ini, di mana nilai kesetiaan telah mulai kabur, kabar tentang kasih setia Tuhan sangatlah dibutuhkan! Kasih setia Tuhan yang menantikan tanggapan kesetiaan kita kepada-Nya, walau di tengah kesulitan dan cobaan, itulah pesan sabda Tuhan hari ini.

Paus Paulus VI berkata, “Dunia zaman sekarang lebih mau mendengarkan para saksi iman daripada pengajar, dan kalau ia mendengarkan para pengajar, itu disebabkan karena mereka adalah para saksi iman…. Adalah pertama-tama dengan perbuatannya dan hidupnya, Gereja meng-evangelisasi dunia. Dengan kata lain, dengan kesaksian yang hidup tentang kesetiaan kepada Tuhan Yesus…. kesaksian akan kekudusan.” (Pope Paul VI, Evangelii Nuntiandi, 41). Anda dan saya dipanggil untuk mengambil bagian dalam pewartaan Injil ini kepada dunia sekitar kita. Semoga rahmat Tuhan memampukan kita. Amin.

Pengangkatan Maria memberi pengharapan

0
Sumber gambar: http://straymonds.org/this-saturday-is-the-assumption-of-the-most-holy-blessed-virgin-mary/

[Hari Raya Santa Perawan Maria diangkat ke Surga;  Why 11:19-12:1-10; Mzm45:10-16; 1Kor15:20-26; Luk 1:39-56]

Salam Maria, penuh rahmat, Tuhan sertamu! Terpujilah engkau di antara wanita dan terpujilah buah tubuhmu, Yesus. Santa Maria, Bunda Allah, doakanlah kami yang berdosa ini, sekarang dan waktu kami mati. Amin….”

Entah telah berapa kali kuucapkan doa ini sampai saat ini. Namun hari ini, sabda Tuhan kembali menyingkapkan kepadaku makna yang mendalam dari doa sederhana di atas. Hari ini kita merayakan Pengangkatan Bunda Maria, tubuh dan jiwanya, ke Surga. Walaupun baru dimaklumkan secara resmi oleh Paus Pius XII tanggal 1 November 1950, melalui Konstitusi Apostolik Munificentissimus Deus, ajaran ini bukan ajaran “baru” yang dibuat-buat oleh Gereja Katolik di tahun 1950. Sebab para Bapa Gereja  telah sejak abad-abad awal mengajarkan hal tersebut. Salah satu khotbah kuno tentangnya diajarkan oleh Uskup Teoteknos di abad ke-6 (550-650), “Sebab Kristus mengambil tubuh-Nya yang tak bernoda dari tubuh Maria yang tak bernoda; jika Henokh telah dipindahkan dan Elia telah pergi ke surga, bukankah terlebih lagi Maria, yang seperti bulan di tengah bintang-bintang, bersinar terang dan mengungguli para nabi dan Rasul? Sebab meskipun tubuhnya—yang melahirkan Tuhan—itu mengalami kematian, tubuh itu tidak mengalami kerusakan, namun dijaga tidak rusak dan tetap murni dan diangkat ke Surga dengan jiwanya yang murni dan tanpa noda”  (St. Theoteknos of Livias, Homily on the Assumption). Gereja telah merayakan pesta Pengangkatan Maria ke Surga sejak akhir abad ke-6.

Demikianlah,  para pengkhotbah mengikuti jejak para Bapa Gereja, menghubungkan ayat Mazmur ini dengan pengangkatan Bunda Maria ke Surga: “Bangkitlah Tuhan, ke tempat peristirahatan-Mu, Engkau dan tabut-Mu yang telah Engkau kuduskan” (Mzm 131:8). Bunda Maria sang tabut Perjanjian Baru, yang membawa Kristus Sang Sabda di dalam rahimnya, diangkat oleh Allah ke tempat peristirahatan-Nya di Surga. Dan di sana, tergenapilah juga Mazmur yang kita baca hari ini, bahwa dengan diangkat ke Surga, Bunda Maria menjadi “permaisuri berpakaian emas dari Ofir, yang berdiri di sebelah kanan Tuhan Sang Raja” (lih. Mzm 45:10). Dengan diangkat ke Surga, Bunda Maria menempati urutan pertama di persekutuan anggota Kristus (lih.1Kor 15:22-23), yang menerima penggenapan janji keselamatan kekal.

Sebagai orang pertama yang menerima kepenuhan janji keselamatan kekal, Bunda Maria sungguh menjadi seorang yang terberkati di antara segala keturunan (lih. Luk 1:48). Bunda Maria terberkati di antara segala wanita yang pernah hidup di dunia, sebab ia dipilih Allah untuk mengandung dan melahirkan Putra-Nya, Yesus Kristus. Terpujilah engkau, ya Bunda Maria, di antara wanita! Demikianlah Allah melakukan perbuatan-perbuatan besar kepadanya (lih. Luk 1:49): dengan menguduskannya sejak dalam kandungan, menjadikannya ibu bagi Putra-Nya, dan mengangkat tubuh dan jiwanya ke Surga, setelah purna tugasnya di dunia. Di Surga, ia tetap menjadi ibu bagi kita semua yang telah diberikan Kristus menjadi anak-anaknya (lih. Yoh 19:26-27). Dengan demikian, ia dapat mendoakan kita kepada Yesus, dan menjadi penolong kita di saat-saat sulit dalam kehidupan kita, terutama di saat ajal. Demikianlah kita berdoa kepadanya, “…. Santa Maria, doakanlah kami, sekarang dan waktu kami mati...”

Kita memiliki seorang ibu di Surga—yang juga adalah ibu Yesus Tuhan kita—yang selalu mendoakan kita, agar kita pun dapat sampai ke sana! Bunda Maria telah  diangkat Allah ke Surga, untuk memberi pengharapan kepada kita, bahwa jika kita setia beriman seperti dia, kelak di akhir zaman, kita pun akan diangkat dan dimuliakan di Surga. Ini memberi pengharapan kepada kita, agar kita tidak takut menghadapi kematian, dan agar kita mengikuti teladan Bunda Maria, senantiasa menghargai dan menjaga kekudusan tubuh dan jiwa kita.

Allah Bapa, menurut kebijaksanaan-Mu, Bunda Maria yang melahirkan Kristus dari rahimnya telah diangkat tubuh dan jiwanya untuk ada bersama-sama dengan Kristus di Surga. Semoga kami mengikuti teladannya dalam mencerminkan kekudusan-Mu dan kelak bergabung dengannya dalam kidung pujian dan kasih kepadaMu yang tanpa akhir. Kami mohon ini demi Kristus Tuhan kami. Amin.”

Pinggang berikat dan pelita bernyala

0
Sumber gambar: http://realrevival.blogspot.co.id/2014_11_16_archive.html

[Hari Minggu Biasa XIX: Keb 18:6-9; Mzm 33:1-22; Ibr 11:1-2, 8-12; Luk 12:32-48]

Kami pernah diundang (tepatnya dipaksa) teman untuk mengikuti sesi perkenalan dari suatu seminar kepribadian dan kepemimpinan. Ada ratusan kaum profesional muda yang memenuhi gedung itu. Salah satu acara pembuka adalah hadirin ditanya suatu pertanyaan sederhana: “Apakah yang Anda inginkan agar  bahagia?” Ada banyak jawaban yang muncul, dan sejumlah di antaranya dicatat di papan tulis. Beberapa yang kuingat adalah: ingin bisa keliling dunia, ingin punya Lamborghini, ingin dapat gaji tinggi, ingin menikah dengan pasangan yang cakep, dst. Dari sekian banyak jawaban yang ditulis di papan, tak ada satu pun yang “berbau” rohani. Sebaliknya, kalau pertanyaan yang sama ditanyakan di gereja, mungkin (atau, mudah-mudahan) umat menjawab: ingin masuk Surga. Nah, di sinilah “gap” nya. Di gereja, orang bilang mau masuk Surga, tetapi di luar gereja, jawabannya lain. Malah tidak atau kurang jelas mengarah ke sana. Karena itu, pesan Injil hari ini sangatlah relevan untuk kita renungkan, “Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada” (Luk 12:34). Semoga pernyataan Yesus ini menembus ke dalam hati kita, agar kita dapat dengan jujur melihat, apakah kita sudah menambatkan hati kepada harta surgawi? Sebab jika sepanjang hidup kita tak pernah atau jarang memikirkan Surga dan menginginkannya, bagaimana mungkin kita akan masuk ke sana? Sebab Tuhan Yesus menghendaki agar kita mulai menabung harta surgawi, yaitu “membuat pundi-pundi yang tak akan habis” (Luk 12:33) dengan isi yang tak dapat rusak, yaitu dengan iman yang hidup, yang dinyatakan dalam perbuatan-perbuatan yang baik, seperti memberi sedekah kepada sesama yang berkekurangan.

Karena yang dikumpulkan dalam pundi-pundi ini bukanlah kekayaan duniawi namun perbuatan ataupun kebajikan, maka hal ini berkaitan dengan perkataan Yesus selanjutnya, yaitu, “Hendaklah pinggangmu tetap berikat dan pelitamu tetap bernyala” (Luk 12:35). Pinggang berikat, atau istilah Inggrisnya gird up your loins, adalah suatu kata kiasan, demikian juga dengan pelita bernyala. Di internet, jika kita mengetik kata kunci gird up your loins, langsung muncul ilustrasi yang menjelaskannya. Namun tanpa melihat gambar itu, para Bapa Gereja telah menjabarkan artinya. St. Teofilaktus menjelaskannya demikian, “Bersiaplah selalu untuk melakukan pekerjaan Tuhanmu, dan pelitamu bernyala, artinya, jangan hidup dalam kegelapan, tetapi milikilah terang akal budi, yang menunjukkan kepadamu apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari…. Yang pertama berkaitan dengan tindakan; dan yang kedua adalah permenungan, yaitu pencerahan pikiran. Maka marilah berjuang keras untuk melakukan kebajikan- kebajikan, sehingga kita dapat memiliki pelita bernyala, yaitu pembentukan pikiran yang senantiasa bersinar dalam jiwa. Supaya kita sendiri diterangi dan dengan terus belajar, kita pun menerangi sesama kita.” Sedangkan St. Agustinus, dengan lebih ringkas menjelaskan bahwa pinggang berikat maksudnya, “menjaga agar kita tidak mencintai hal-hal duniawi dan pelita bernyala artinya adalah untuk melakukan segala sesuatu dengan memikirkan tujuan akhir yang sejati dan maksud yang benar.” (St. Theophylact, St. Augustine, Catena Aurea, Luk 12:35-40)

Pesan Injil hari ini, yang telah dijabarkan oleh para Bapa Gereja, juga ditegaskan kembali oleh Paus Fransiskus belum lama ini dalam perayaan World Youth Day 2016 di Krakow, Polandia. Saat meresmikan peluncuran buku DOCAT (Penjelasan praktis ajaran sosial Gereja atas dasar Kitab Suci), Paus mengatakan:

“Kaum muda yang terkasih!
Pendahuluku Paus Benediktus XVI memberikan kepadamu Katekismus untuk kaum muda, YOUCAT. Hari ini saya hendak menganjurkan kepadamu buku yang lain, DOCAT yang memuat ajaran sosial Gereja…. DOCAT menjawab pertanyaan: ‘Apakah yang harus kami lakukan?’ Ini semacam buku panduan yang membantu kita mengubah diri sendiri sesuai Injil terlebih dahulu, dan kemudian lingkungan sekitar kita yang terdekat, dan akhirnya, seluruh dunia. Sebab dengan kekuatan Injil, kita dapat sungguh mengubah dunia.

Yesus berkata: “Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” Karena inilah, St. Fransiskus Asisi mengubah seluruh hidupnya. Bunda Teresa berubah karena perkataan ini. St. Charles de Foucauld mengakui: ‘Di seluruh Injil, tak ada perkataan yang memiliki pengaruh yang lebih besar padaku dan mengubah hidupku lebih dalam daripada perkataan ini:  ‘Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.’ Ketika kurenungkan perkataan ini keluar dari mulut Yesus, sang Sabda Allah yang kekal, dan mulut yang sama yang mengatakan, “Inilah Tubuh-Ku…., inilah Darah-Ku…’ maka aku mengerti dan terpanggil untuk mencari dan mengasihi Yesus di atas segala sesuatu, dalam diri orang-orang yang hina ini, yang terkecil.’

Sahabat-sahabat-Ku terkasih! Hanya pertobatan hatilah yang dapat mengubah dunia, yang penuh dengan teror dan kekerasan, menjadi lebih manusiawi. Dan ini artinya: kesabaran, keadilan, kebijaksanaan, dialog, integritas, solidaritas dengan para korban, dengan yang membutuhkan dan yang miskin, dengan pengabdian yang tanpa batas, kasih yang bahkan sampai mati, demi orang lain. Ketika kalian memahami hal ini dengan mendalam, maka kalian dapat mengubah dunia sebagai umat Kristen yang bertindak….

…. Ajaran sosial ini tidak berasal dari Paus tertentu atau dari ahli tertentu. Tetapi ajaran ini muncul dari inti Injil. Ajaran ini datang dari Yesus sendiri. Yesus adalah ajaran sosial dari Allah.

…. Dewasa ini ekonomi yang mengecualikan dan yang menimbulkan jurang perbedaan pendapatan tetap eksis …. kira-kira 1% dari populasi dunia memiliki 40% kekayaan seluruh dunia dan 10 % populasi dunia memiliki 85% kekayaan dunia. Sebaliknya hanya 1% dari kekayaan dunia ini menjadi “milik” separuh dari populasi dunia. Sekitar 1.4 milyar orang hidup dengan kurang dari satu euro sehari

… Ketika saya mengundang kalian semua untuk sungguh mengenal ajaran sosial Gereja, saya tidak hanya bermimpi tentang kelompok-kelompok yang duduk di bawah pohon untuk mendiskusikannya. Itu baik! Lakukanlah itu! Tapi mimpi saya adalah tentang sesuatu yang lebih besar: Saya berharap saya memiliki sejuta kaum Kristen muda atau bahkan, seluruh generasi yang bagi angkatan sejamannya adalah ‘ajaran sosial yang sedang berjalan dan berbicara.’ Tak ada yang akan mengubah dunia melainkan orang-orang yang bersama dengan Yesus membaktikan diri mereka bagi dunia, yang bersama Yesus pergi ke pinggiran dan di tengah-tengah tempat yang kotor. Masuklah ke politik, juga, dan berjuanglah demi keadilan dan martabat manusia, terutama yang termiskin dari kaum miskin. Kalian semua adalah Gereja. Karena itu, pastikan bahwa Gereja ini berubah (‘transformed’) bahwa ia hidup, sebab ia memperbolehkan dirinya ditantang oleh jeritan kaum miskin, oleh permohonan kaum yang terbuang dan oleh mereka yang tidak diperhatikan oleh siapapun.

Kamu sendiri, jadilah aktif. Ketika banyak orang melakukan itu bersama-sama, maka akan terjadi perbaikan di dunia ini, dan orang-orang akan merasa bahwa Roh Allah bekerja melalui kalian. Dan mungkin, dengan demikian kalian menjadi seperti obor yang menerangi jalan menuju Allah, bagi orang-orang ini….” (Paus Fransiskus, Introduction to DOCAT, 2016).

Himbauan Paus Fransiskus di atas senada dengan pesan Injil hari ini. Semoga Roh Kudus menerangi hati kita dan menunjukkan kepada kita langkah-langkah apa yang bisa dilakukan secara nyata untuk mewujudnyatakan iman kita. Ada banyak sesama kita yang membutuhkan uluran tangan kita, baik yang kekurangan secara jasmani maupun rohani. Tuhan telah memberikan kepada setiap kita, talenta yang berbeda-beda, namun dengan tuntutan agar kita melakukan kehendak-Nya. Dan barangsiapa diberi banyak, kepadanya lebih banyak dituntut (lih. Luk 12:47-48). Semoga pesan Injil hari ini mengingatkan agar “pinggang kita tetap berikat”, yaitu tidak mencari kebahagiaan sendiri dengan menumpuk harta duniawi, tetapi mau bekerja keras mengusahakan kebahagiaan bagi orang lain juga. Dan juga agar “pelita kita bernyala”, yaitu agar dalam melakukan segala sesuatu kita memiliki maksud yang jernih dan benar, demi kehidupan kekal. Supaya dengan demikian, kelak bersama-sama,  kita dapat dipandang layak oleh Tuhan untuk menerima karunia keselamatan kekal di Surga.

Menabung harta surgawi

0
Sumber gambar: https://en.wikipedia.org/wiki/Luke_12#/media/File:Rembrandt_-_The_Parable_of_the_Rich_Fool.jpg

[Hari Minggu Biasa XVIII: Pkh 1:2; 2:21-23; Mzm 90:3-17; Kol 3:1-11; Luk 12:13-21]

Di masa kecilku dulu, pernah ada lagu ini: “Bing beng bang, yok, kita ke bank. Bang bing bung, yok, kita nabung. Tang ting tung, hei, jangan dihitung. Tiap bulan tahu-tahu dapat untung!” Sederhana syairnya, namun pesannya melekat sampai sekarang. Yaitu bahwa dalam hidup ini, kita perlu menabung untuk masa depan.  Dan seiring dengan bertambahnya umur, kusadari bahwa menabung ini, tak hanya terbatas hanya untuk hal-hal jasmani, tetapi lebih-lebih lagi, untuk hal-hal rohani.

Sabda Tuhan hari ini mengingatkan kita, bahwa harta duniawi, apapun itu, sifatnya sementara. Atau, Kitab Pengkhotbah menyebutnya, “sia-sia belaka” (Pkh 1:2). Harta duniawi tak bisa kita bawa jika kita mati. Kesehatan dan ketenaran ada masanya, kekayaan dan kepandaian ada batasnya, kecantikan dan kecakapan ada umurnya, nonton drama televisi dan cari monster Pokemon ada akhirnya. Semua tak bertahan selamanya. Namun selama kita hidup di dunia ini, nampaknya kita berlelah-lelah untuk mengusahakan hal-hal tersebut. Maka begitu pas lah sabda Tuhan Minggu ini, yang mengingatkan kita untuk melihat apa yang sesungguhnya lebih penting dan utama dalam hidup ini. Yaitu, untuk mencari dan memikirkan perkara yang di atas, di mana Kristus berada (lih. Kol 3:1-2), sebab ke sanalah tujuan akhir kita sebagai umat beriman. Sebab hanya dengan kita mempersiapkan diri sejak di dunia ini, untuk memandang Tuhan, maka hal itu akan dikaruniakan kepada kita pada saat-Nya.

Betapa pentingnya masa persiapan untuk mencapai cita-cita. Bukankah hal inipun juga berlaku di dunia ini. Ijazah kelulusan baru diberikan jika kita lulus ujian. Penghargaan diberikan kepada mereka yang memenangkan perlombaan. Namun keberhasilan ini umumnya mensyaratkan kerja keras.  Kerja keras pun diperlukan agar kita dapat bertumbuh secara rohani. Hal ini antara lain diperoleh dari menanggalkan manusia lama beserta perbuatannya, dan mengenakan manusia baru (lih. Kol 3:9-10). Dengan kata lain, bertobat dan hidup baru di dalam Kristus. Namun sepertinya, tak banyak dari umat Katolik yang mau menyatakan tobat dengan berpantang setiap hari Jumat dan dengan teratur mau mengaku dosa dalam sakramen Tobat—misalnya sebulan sekali. Kebanyakan umat hanya mengaku dosa pas sebelum Natal dan sebelum Paskah, dan menganggap “sudah oke.” Atau, alasan ogah mengaku dosa karena “malas mengakukan dosa yang itu-itu terus”. Padahal bukankah justru kita memerlukan rahmat Tuhan untuk melepaskan diri dari dosa yang sama? Selain itu, sepertinya pentingnya menerima sakramen Pengakuan dosa di luar masa menjelang Paskah dan Natal, juga jarang dikhotbahkan. Bahkan sejumlah paroki tidak mempunyai jadwal rutin bagi umat yang mau menerima sakramen Pengakuan. Akibatnya, umat jadi tambah malas mengaku dosa, karena enggan berpayah-payah mencari Romo yang dapat memberikan sakramen Pengakuan. Nampaknya sabda Tuhan hari ini menegur kita, baik para Romo maupun umat, untuk bersama-sama lebih menyediakan niat dan waktu untuk sakramen yang luar biasa ini, yang diberikan Tuhan Yesus kepada Gereja untuk menguduskan umat-Nya. Sebab sabda Tuhan hari ini mengajak kita lebih konsisten untuk hidup dalam semangat tobat dan terus memperbaiki diri, agar tidak melekatkan hati kepada hal-hal duniawi. Artinya, bagi yang berdosa agar mengaku dosa, bagi yang sudah hidup lumayan baik, agar hidup kudus, dan bagi yang sudah hidup kudus agar hidup lebih kudus.

Ajakan untuk bertobat ini begitu pas kita renungkan di Tahun Yubelium Kerahiman Ilahi ini. Sebab jika tidak diresapi maknanya, maka ziarah ke 9 gereja hanya menjadi kesempatan jalan-jalan belaka, atau bahkan kuliner bersama sepulang ziarah, tetapi makna utamanya terlewatkan. Sebagai ungkapan pertobatan, ziarah seharusnya didahului oleh penerimaan sakramen Pengakuan dosa, entah di hari yang sama atau hari-hari sebelumnya.  Juga, penerimaan Komuni pada hari yang sama di hari ziarah, juga disyaratkan agar kita memperoleh indulgensi. Dengan demikian, melalui ziarah ini kita bersama seluruh anggota Gereja di dunia mengungkapkan kesediaan kita menerima belas kasih Allah dan meneruskan belas kasih Allah yang kita terima, kepada sesama yang membutuhkan. Ziarah memasuki pintu suci menjadi bermakna jika diiringi niat dan langkah nyata untuk meninggalkan kehidupan lama yang berdosa, untuk melangkah menuju kehidupan baru bersama Kristus. Dan dalam semangat pertobatan, kita meneruskan berkat kepada sesama, misalnya kepada paroki yang dikunjungi, sesama umat yang berziarah, maupun kepada sesama yang lain yang memerlukan belas kasih.

Maka, pertobatan, ziarah dan amal kasih, adalah upaya yang dapat kita lakukan untuk menabung harta rohani yang diajarkan oleh sabda Tuhan hari ini. Mari kita jangan hanya memberi perhatian kepada tabungan duniawi, tapi juga dan terutama pada tabungan rohani, yang dapat kita bawa sebagai bekal untuk kehidupan kekal kelak. Kita pun diingatkan bahwa hidup kita ada dalam tangan Tuhan, dan kita tidak tahu kapan saatnya Tuhan memanggil kita berpulang. St. Athanasius berkata, “Kalau seseorang hidup seperti akan mati setiap hari—dengan menyadari bahwa hidup sebenarnya tak dapat dipastikan—ia tidak akan berdosa, sebab ada lebih besar rasa takut yang mengalahkan kesenangan yang berlebihan. Tapi sebaliknya, orang kaya itu—dengan berjanji kepada diri sendiri akan hidup panjang—mencari kesenangan, sebab ia berkata: Beristirahatlah—artinya beristirahat dari kerja keras—makanlah, minumlah dan bersenang-senanglah— artinya, dengan kemewahan….” (St. Athanasius, Catena Aurea, Luk 12:16-21).  Saudara  saudariku, mari  bertanya kepada diri kita masing-masing, jika besok Tuhan memanggil kita, apakah tabungan rohani yang kita bawa serta?

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab