Home Blog Page 178

Pohon Pengetahuan dan Pohon Kehidupan, samakah?

9

Apakah pohon pengetahuan itu berbeda dengan pohon kehidupan, ataukah itu adalah pohon yang sama dengan buah yang berbeda? Kita melihat dalam Kitab Kejadian 2:9 dituliskan “Lalu TUHAN Allah menumbuhkan berbagai-bagai pohon dari bumi, yang menarik dan yang baik untuk dimakan buahnya; dan pohon kehidupan di tengah-tengah taman itu, serta pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat.”

Tidak dikatakan ‘pohon kehidupan yang juga disebut pohon pengetahuan’. Maka sepertinya pohon kehidupan dan pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat adalah dua pohon yang berbeda, walaupun memang ada pendapat yang memperkirakan bahwa keduanya adalah pohon yang sama. Sejauh pengetahuan kami, tidak ada pengajaran definitif dari Gereja Katolik yang menyebutkan apakah kedua pohon ini sama atau tidak. Yang jelas, terdapat makna yang berbeda tentang makna pohon pengetahuan dan pohon kehidupan, sehingga saya pribadi cenderung untuk menganggapnya sebagai dua pohon yang berbeda, sebab buah yang dihasilkan berbeda. Menurut hemat kami, adalah tidak logis jika Tuhan melarang Adam dan Hawa untuk makan buah pohon pengetahuan yang juga sekaligus disebut pohon kehidupan, sehingga dalam satu pohon ada dua jenis buah. Sebab jika demikian, sepertinya kejadian Hawa memakan buah pohon pengetahuan itu seperti sebuah kecelakaan yang tidak disengaja (maksudnya makan buah kehidupan, tetapi sialnya yang dipetik adalah buah pengetahuan). Ini tidak sesuai dengan kisah yang secara eksplisit dijabarkan dalam Kej 3, saat Hawa terperdaya oleh sang ular sehingga ia memakan buah pohon pengetahuan yang sudah jelas- jelas dilarang Allah.

Paus Yohanes Paulus II menyebutkan tentang makna pohon pengetahuan yang baik dan buruk dalam surat ensikliknya, Dominum et Vivificantem, sebagai berikut:

36. According to the witness concerning the beginning which we find in the Scriptures and in Tradition, after the first (and also more complete) description in the Book of Genesis, sin in its original form is understood as “disobedience,” and this means simply and directly transgression of a prohibition laid down by God. But in the light of the whole context it is also obvious that the ultimate roots of this disobedience are to be sought in the whole real situation of man. Having been called into existence, the human being-man and woman-is a creature. The “image of God,” consisting in rationality and freedom, expresses the greatness and dignity of the human subject, who is a person. But this personal subject is also always a creature: in his existence and essence he depends on the Creator. According to the Book of Genesis, “the tree of the knowledge of good and evil” was to express and constantly remind man of the “limit” impassable for a created being. God’s prohibition is to be understood in this sense: the Creator forbids man and woman to eat of the fruit of the tree of the knowledge of good and evil. The words of the enticement, that is to say the temptation, as formulated in the sacred text, are an inducement to transgress this prohibition-that is to say, to go beyond that “limit”: “When you eat of it your eyes will be opened, and you will be like God [“like gods”], knowing good and evil.”

“Disobedience” means precisely going beyond that limit, which remains impassable to the will and the freedom of man as a created being. For God the Creator is the one definitive source of the moral order in the world created by him. Man cannot decide by himself what is good and what is evil-cannot “know good and evil, like God.” In the created world God indeed remains the first and sovereign source for deciding about good and evil, through the intimate truth of being, which is the reflection of the Word, the eternal Son, consubstantial with the Father. To man, created to the image of God, the Holy Spirit gives the gift of conscience, so that in this conscience the image may faithfully reflect its model, which is both Wisdom and eternal Law, the source of the moral order in man and in the world. “Disobedience,” as the original dimension of sin, means the rejection of this source, through man’s claim to become an independent and exclusive source for deciding about good and evil The Spirit who “searches the depths of God,” and who at the same time is for man the light of conscience and the source of the moral order, knows in all its fullness this dimension of the sin inscribed in the mystery of man’s beginning. And the Spirit does not cease “convincing the world of it” in connection with the Cross of Christ on Golgotha.

Terjemahan yang dicetak tebal:

“Menurut Kitab Kejadian, “pohon pengetahuan tentang baik dan buruk” adalah untuk mengekspresikan dan mengingatkan manusia secara terus menerus tentang ‘batas’ yang tidak dapat dilampaui oleh seorang mahluk ciptaan Tuhan…. Sebab Tuhan Sang Pencipta adalah satu- satunya sumber yang definitif tentang peraturan moral di dunia yang diciptakan oleh-Nya. Manusia tidak dapat memutuskan bagi dirinya sendiri tentang apa yang baik dan apa yang jahat- [ia] tidak dapat mengetahui yang baik dan jahat, seperti Tuhan.”

Jadi di sini maksudnya adalah manusia yang diciptakan sesuai dengan gambaran/ citra Tuhan, memang mempunyai akal budi dan kehendak bebas, sehingga dapat menentukan yang baik dan buruk/ jahat; namun untuk menentukan hal itu ia bergantung kepada ketentuan Sang Pencipta. Manusia tidak dapat menentukan sendiri apa yang baik dan yang jahat [terlepas dari ketentuan Tuhan], sebab pada saat manusia menjadi tidak taat dan melanggar batas ini, maka ia jatuh dalam dosa yang membawa kepada maut, seperti Adam dan Hawa. Hal ini nyata sekali dalam kehendak mereka yang ingin melegalkan prostitusi/ seks bebas, aborsi, euthanasia, dst.

Sedangkan pohon kehidupan yang disebut di perikop Kej 2 dan 3 tersebut disebutkan sebagai pohon yang jika dimakan buahnya maka akan memberikan hidup selama- lamanya. Sebelum kejatuhan Adam dan Hawa ke dalam dosa, Allah tidak melarang mereka makan buah pohon kehidupan ini. Sebelum mereka jatuh dalam dosa, Adam dan Hawa memang dikurniai rahmat ‘immortality‘ (tidak dapat mati) sebagai salah satu dari rahmat yang disebut preternatural gifts (menurut St. Thomas Aquinas) yaitu: tidak dapat mati (immortality), tidak dapat menderita (immunity from suffering), ketaatan perasaan terhadap akal (integrity), dan pengenalan akan Tuhan (infused knowledge), dan dibarengi dengan rahmat pengudusan (sanctifying grace). Keempat jenis rahmat Allah ini hilang akibat kejatuhan Adam dan Hawa ke dalam dosa. Oleh karena itu, beberapa ahli Kitab Suci menafsirkan bahwa setelah jatuh dalam dosa, Adam dan Hawa dilarang untuk memakan buah pohon tersebut, sebab Allah tidak menghendaki bahwa penderitaan mereka dapat berlangsung tanpa akhir [sebab mereka telah kehilangan rahmat Tuhan tersebut], jika mereka hidup selamanya.

Kita sebagai keturunan Adam dan Hawa menerima akibat dosa asal mereka; namun pada saat kita dibaptis, kita kembali menerima rahmat pengudusan Allah (sanctifying grace) sehingga kita dapat mengambil bagian dalam kehidupan ilahi, dan disebut sebagai anak- anak angkat Allah di dalam Kristus. Di dalam Kristus Sang Hidup (lih. Yoh 14:6) inilah kita memperoleh kembali kehidupan kekal bersama-Nya.

Paus Gregorius I dan Gereja-gereja Timur

2

Demikianlah keterangan tentang hubungan Paus Gregorius I Agung dengan Gereja-gereja Timur, yang dikutip dari New Catholic Encyclopedia, (The Catholic University of America, Washington DC, vol VI, 1967), p. 767; dan juga dari New Advent Encyclopedia, silakan klik:

Surat sinode yang ditujukan kepada para Patriarkh di Konstantinopel, Aleksandria, Antiokhia dan Yerusalem menunjukkan bahwa Paus Gregorius I mengakui kedudukan Gereja- gereja Timur. Sejak abad ke-4 kesatuan gerejawi dicapai di antara Gereja-gereja Timur tersebut, atas dasar persetujuan penerimaan surat-surat semacam itu, dan setiap Patriarkh memimpin/mengatur di dalam daerah yurisdiksi mereka. Paus Gregorius meneruskan kebiasaan ini dan tidak akan menghubungi uskup di bawah para Patriarkh itu tanpa melewati Patriarkh tersebut. Namun demikian, secara umum diakui, hak yang mengatasi para Patriarkh untuk naik banding ke Roma, dan faktanya Paus Gregorius memang membatalkan keputusan Gereja Timur (Konstantinopel) terhadap dua orang imam.

Friksi antara Gereja Roma dan Konstantinopel mencuat dalam kasus Yohanes IV (John the Faster) karena ia menggunakan gelar ‘Patriarkh ekumenis’. Paus Pelagius II (pendahulu Paus Gregorius I) menolak untuk mengakui konsili Konstantinopel di tahun 587-588 karena konsili ini diadakan tanpa otoritas Paus dan karena dalam keputusan-keputusan konsili, Patriarkh Yohanes IV disebut sebagai Patriarkh ekumenis…. Istilah ‘Patriarkh ekumenis’ memang bukan istilah baru. Istilah ini sudah dikenal ditujukan kepada Patriarkh Konstantinopel di masa Skisma Akasianisme (484- 519) dan zaman Justinian I (527-565); namun para Patriarkh ini tidak menyebut diri mereka sendiri sebagai Patriarkh ekumenis. Baru pada zaman Yohanes IV, ia mengklaim dirinya sendiri sebagai Patriarkh ekumenis, yaitu saat Yohanes IV mengadakan sinoda di Konstantinopel untuk memeriksa perkara-perkara yang menentang Patriarkh Antiokhia [yang juga bernama Gregorius]…. Keputusan-keputusan sinoda ini dikirim ke Roma dan Paus Pelagius II (579-590) melihat bahwa di sana Yohanes IV disebut sebagai “Uskup Agung dan Patriarkh ekumenis”. Kemungkinan, ini adalah pertama kalinya gelar tersebut diketahui oleh Roma, dan menjadi pertama kalinya digunakan secara resmi sebagai gelar yang diklaim sendiri oleh orang yang bersangkutan. Paus Pelagius menentang penggunaan gelar ini dan melarang wakilnya di Konstantinopel untuk berkomunikasi dengan Yohanes IV. Surat ini dikutip oleh Paus Gregorius dalam surat-suratnya. ((Paus Gregorius I, Epp., V, xliii, in P.L., LXXVII, 771))

Di awal masa kepemimpinannya, sesungguhnya Paus St. Gregorius I (599-604) mempunyai hubungan yang baik dengan Yohanes IV, yang telah dikenalnya ketika ia ditunjuk menjadi wakil kepausan di Konstantinopel (578-584). Namun keadaan berubah saat Yohanes dengan kejam telah menganiaya dua orang imam atas tuduhan mengajarkan ajaran sesat. Kedua imam tersebut naik banding memohon dukungan Paus. Dalam surat-surat keputusan Yohanes IV, Paus membaca klaim Yohanes akan gelar Patriarkh ekumenis, “dalam hampir semua baris” dalam suratnya. ((Paus Gregorius I, Epp., V, xviii, in P.L., LXXVII, 738)) Paus Gregorius menentang hal ini, sebagaimana dapat dibaca dalam surat-suratnya kepada Yohanes IV dan kepada Kaisar Maurice dan Ratu Constantina. Ia mengatakan, bahwa “jika seorang Patriarkh disebut universal, gelar tersebut diambil dari yang lainnya” ((Paus Gregorius I, Epp., V, xviii, ibid., 740)). Selanjutnya, Paus Gregorius mengatakan, “Siapakah yang meragukan bahwa Gereja Konstantinopel berada di bawah pengaturan (subject to) Tahta Apstolik? ((Paus Gregorius I, Epp., IX, xii, ibid., 957)); Dan lagi: “Saya tidak tahu adanya uskup yang tidak berada di bawah pengaturan Tahta Apostolik.” ((ibid.))

Paus secara eksplisit menentang klaim gelar “universal” bagi uskup manapun, termasuk dirinya sendiri. Alasannya menentang digunakannya gelar ini pada uskup manapun dapat diketahui dari surat-suratnya. Sebab istilah ‘universal’ yang ia maksudkan di sini adalah pencoretan keterlibatan semua [uskup] yang lain, sehingga ia yang menyebut diri sendiri sebagai ‘ekumenis’, yaitu ‘universal’, berpandangan bahwa semua Patriarkh dan uskup yang lain sebagai perorangan-perorangan dan hanya ia sendiri yang menjadi pastor/ gembala di dunia …. Artinya, semua yurisdiksi datang dari uskup [yang mengklaim dirinya ekumenis tersebut] dan semua uskup yang lain hanya wakil dan delegasi. Teologi Katolik tidak mengajarkan kepemimpinan macam ini bagi Paus atau siapapun juga. Para uskup diocesan mempunyai ordinaris dan yurisdiksinya masing- masing; mereka menerima otoritas mereka langsung dari Kristus, meskipun mereka menggunakannya di dalam persekutuan dengan Keuskupan Roma. Maka tidak ada Paus yang mengklaim dirinya sendiri dengan gelar “uskup universal”, meskipun kadang gelar tersebut ditujukan kepadanya oleh orang lain, sebagai komplimen.

Oleh karena itu, Paus Gregorius menentang klaim “uskup universal” ini ((lih. Epp., V, xx, in P.L., XXVII, 746, xxi, 750)). Sebagai tanggapannya terhadap klaim Yohanes IV tersebut, Paus Gregorius menuliskan tentang dirinya sendiri sebagai “Pelayan dari pelayan-pelayan Tuhan” (“servant of the servants of God“) di awal surat-suratnya, dan dengan demikian, ia meninggalkan bukti kelemahlembutannya kepada semua Paus penerusnya. ((lih. Johannes Diaconus, “Vita S. Gregorii“, II, i, in P.L., LXV, 87)) Sementara itu, para Patriarkh Konstantinopel tetap menggunakan gelar ‘ekumenis’. Patriarkh Orthodoks menyebut dirinya “Uskup Agung Konstantinopel, Roma yang baru, Patriarkh ekumenis”. Namun demikian, bahkan Photius (891), Patriarkh Konstantinopel tidak berani menggunakan gelar tersebut saat menulis kepada Roma. Pada saat skisma yang terakhir, Paus Leo IX menulis kepada Michael Carularius dari Konstantinopel (1053), “How lamentable and detestable is the sacrilegious usurpation by which you everywhere boast yourself to be the Universal Patriarch“. ((Fortescue, “Orthodox Eastern Church“, op. cit., p. 182)). Tidak ada uskup Katolik yang mengambil gelar itu atau mengklaim gelar tersebut.

 

Doa- doa untuk Komuni secara spiritual (spiritual communion)

2

(untuk didoakan oleh mereka yang karena satu dan lain hal tidak dapat menerima Komuni secara jasmani)

Doa Komuni batin
(doa dari St. Alfonsus Liguori)

Ya, Yesus, aku percaya bahwa Engkau hadir dalam Sakramen Mahakudus. Aku mengasihi-Mu melebihi segalanya,
dan aku ingin menerima Engkau di dalam jiwaku.
Karena saat ini aku tidak dapat menerima Engkau dalam sakramen Ekaristi
datanglah sekurang-kurangnya secara rohani ke dalam hatiku.

(Hening sejenak untuk menyembah Tuhan Yesus)

Aku memeluk-Mu seperti seakan-akan Engkau telah datang
dan menyatukan diriku sepenuhnya kepada-Mu.
Jangan biarkan aku terpisah dari-Mu.

Amin.

Doa berdasarkan Mazmur 63
Kerinduan kepada Allah

Ya Allah, Engkaulah Allahku, aku mencari Engkau,
jiwaku haus kepada-Mu, tubuhku rindu kepada-Mu,
seperti tanah yang kering dan tandus, tiada berair.
Aku rindu memandang kepada-Mu di tempat kudus,
sambil melihat kekuatan-Mu dan kemuliaan-Mu.
Sebab kasih setia-Mu lebih baik dari pada hidup;
bibirku akan memegahkan Engkau.

Demikianlah aku mau memuji Engkau seumur hidupku
dan menaikkan tanganku demi nama-Mu.
jiwaku dikenyangkan, dan dengan bibir yang bersorak-sorai
mulutku memuji-muji.

Di tempat tidurku, aku memikirkan Engkau
Aku merenungkan Engkau sepanjang kawal malam,
sebab sungguh Engkau telah menjadi pertolonganku,
dan dalam naungan sayap-Mu aku bersorak-sorai.
Jiwaku melekat kepada-Mu, tangan kanan-Mu menopang aku…

Amin.

Doa berdasarkan Mazmur 84
Rindu kepada kediaman Allah

Betapa aku menyukai tempat kediaman-Mu, ya Tuhan semesta alam!
Jiwaku hancur karena merindukan pelataran-pelataran Tuhan;
hatiku dan dagingku bersorak-sorai kepada Allah yang hidup.
Bahkan burung pipit telah mendapat sebuah rumah,
dan burung layang-layang sebuah sarang, tempat menaruh anak-anaknya,
pada mezbah-mezbah-Mu, ya Tuhan semesta alam, ya Rajaku dan Allahku!

Berbahagialah orang-orang yang diam di rumah-Mu,
yang terus-menerus memuji-muji Engkau.
Berbahagialah manusia yang kekuatannya di dalam Engkau,
yang berhasrat mengadakan ziarah!
Apabila melintasi lembah Baka,
mereka membuatnya menjadi tempat yang bermata air;
bahkan hujan pada awal musim menyelubunginya dengan berkat.
Mereka berjalan makin lama makin kuat, hendak menghadap Allah di Sion.
Ya Tuhan, Allah semesta alam, dengarkanlah doaku, pasanglah telinga, ya Allah Yakub.

Ya Allah, perisai kami, pandanglah wajah orang yang Kauurapi!
Sebab lebih baik satu hari di pelataran-Mu dari pada seribu hari di tempat lain;
lebih baik berdiri di ambang pintu rumah Allahku dari pada diam di kemah-kemah orang fasik.
Sebab Tuhan Allah adalah matahari dan perisai;
kasih dan kemuliaan Ia berikan;
Ia tidak menahan kebaikan dari orang yang hidup tidak bercela.

Ya Tuhan semesta alam, berbahagialah manusia yang percaya kepada-Mu!

Amin.

Apakah itu ‘Bible Inerrancy’?

4

Bible inerrancy‘ artinya adalah Kitab Suci, sebagai Sabda Tuhan, sepenuhnya bebas dari kesalahan. Dengan kata lain, apa yang dituliskan di dalam Kitab Suci adalah suatu kebenaran dan tidak bertentangan dengan fakta.

Konsili Vatikan II, Konstitusi tentang Wahyu Ilahi, Dei Verbum, mengajarkan tentang hal ini demikian:

“11. (Fakta ilham dan kebenaran Kitab suci)

Yang diwahyukan oleh Allah dan yang termuat serta tersedia dalam Kitab suci telah ditulis dengan ilham Roh Kudus. Sebab Bunda Gereja yang kudus, berdasarkan iman para Rasul, memandang Kitab-kitab Perjanjian Lama maupun Baru secara keseluruhan, beserta semua bagian-bagiannya, sebagai kitab-kitab yang suci dan kanonik, karena, ditulis dengan ilham Roh Kudus (lih. Yoh20:31 ; 2Tim3:16 ; 2Ptr1:19-21 ; 2Ptr3:15-16), kitab-kitab tersebut mempunyai Allah sebagai pengarangnya, serta dalam keadaannya demikian itu diserahkan kepada Gereja. Tetapi dalam mengarang kitab-kitab suci itu, Allah memilih orang-orang, yang digunakan-Nya sementara mereka memakai kecakapan dan kemampuan mereka sendiri, supaya – sementara Dia berkarya dalam dan melalui mereka, – semua itu dan hanya itu yang dikehendaki-Nya sendiri dituliskan oleh mereka sebagai pengarang yang sungguh-sungguh.

Oleh sebab itu, karena segala sesuatu, yang dinyatakan oleh para pengarang yang ilhami atau hagiograf (penulis suci), harus dipandang sebagai pernyataan Roh Kudus, maka harus diakui, bahwa kitab-kitab dalam Kitab Suci mengajarkan dengan teguh dan setia serta tanpa kekeliruan kebenaran, yang oleh Allah dikehendaki supaya dicantumkan dalam kitab-kitab suci demi keselamatan kita. Oleh karena itu, “seluruh Kitab Suci diilhami oleh Allah dan berguna untuk mengajar, meyakinkan, menegur dan mendidik dalam kebenaran: supaya manusia (hamba) Allah menjadi sempurna, siap sedia bagi segala pekerjaan yang baik.” (2Tim3:16-17)

 

Apa dasar ajaran Gereja Katolik: Bunda Maria diangkat ke surga?

27

Gereja Katolik mengajarkan bahwa Bunda Maria diangkat ke surga, berdasarkan Tradisi Suci yang sudah diimani oleh Gereja sejak lama, namun baru ditetapkan menjadi Dogma melalui pengajaran Bapa Paus Pius XII tanggal 1 November 1950, yang berjudul Munificentissimus Deus. Selengkapnya silakan klik di sini. Doktrin ini berhubungan dengan Dogma Immaculate Conception/ Maria dikandung tanpa noda, yang diajarkan oleh Bapa Paus Pius IX, 8 Desember 1854. Untuk topik Maria dikandung tanpa noda, silakan klik di sini.
Umat Kristen non- Katolik banyak yang mempertanyakan hal ini, dan berpikir bahwa Gereja Katolik ‘menciptakan’ Dogma yang tidak berdasarkan Kitab Suci. Sebab bagi mereka sumber Wahyu Ilahi hanyalah Kitab Suci. Namun bagi orang Katolik, Wahyu Ilahi juga diperoleh dari Tradisi Suci yang telah berakar dan tumbuh di dalam Gereja Katolik,di mana Tradisi Suci ini tidak terpisahkan dari Kitab Suci. Maka hal Maria diangkat ke Surga juga memiliki dasar Kitab Suci, walaupun tidak dinyatakan secara eksplisit. Jadi jika Gereja Katolik mengumumkan suatu doktrin, itu sebenarnya hanya mengumumkan apa yang sudah lama diimani oleh Gereja, dan bukannya sesuatu yang baru tiba-tiba ditambahkan. Sebagai contohnya, pada waktu Gereja Katolik mengumumkan pengajaran tentang Allah Trinitas pada tahun 325 pada Konsili Nicea, adalah bukan berarti sebelumnya tidak ada pengajaran Allah Trinitas ini. Tulisan-tulisan pengajaran para Bapa Gereja menjadi saksi yang hidup atas pengajaran tentang Trinitas ini. Demikian juga pada saat Gereja Katolik menetapkan Kanon Alkitab yaitu pada Konsili Hippo tahun 393 dan Konsili Carthage tahun 397 bukan berarti Gereja Katolik baru ‘menciptakan’ Kitab Suci pada saat itu. Sebelumnya kitab-kitab yang menjadi bagian Alkitab itu sudah ada, namun baru pada saat itu ditetapkan sebagai kanon Alkitab/ kitab-kitab yang diakui sebagai ‘diilhami oleh Roh Kudus’, untuk membedakannya dengan kitab-kitab lain yang hanya merupakan karya tulis biasa.
Dengan pengertian yang sama maka Dogma Maria dikandung tanpa noda dan Dogma Maria diangkat ke surga merupakan pengajaran yang telah lama ada dan diimani oleh Gereja, yang nyata ada dalam tulisan para Bapa Gereja.

Munificentissimus Deus

Dalam pembukaan Munificentissimus Deus (MD, 3) yang menyatakan dogma Bunda Maria diangkat ke Surga, Bapa Paus Pius XII mengatakan bahwa dalam sejarah keselamatan, Bunda Maria mengambil tempat istimewa dan unik. Ini mengacu pada ayat Gal 4:4, di mana dikatakan, “…Setelah genap waktunya”, bahwa dalam pemenuhan rencana keselamatan Allah ini, Allah dengan keMahakuasaan-Nya memberikan hak-hak istimewa kepada Bunda Maria, agar nyatalah segala kemurahan hati-Nya yang dinyatakan kepada Bunda Maria, dalam keseimbangan yang sempurna.
Maka bahwa jika untuk melahirkan Yesus, Bunda Maria disucikan dan dikandung tanpa noda dosa, dan selama hidupnya tidak berdosa (karena tidak seperti manusia lainnya, ia tidak mempunyai kecenderungan untuk berbuat dosa/ concupiscentia), maka selanjutnya, adalah setelah wafatnya, Tuhan tidak akan membiarkan tubuhnya terurai menjadi debu, karena penguraian menjadi debu ini adalah konsekuensi dari dosa manusia.

Demikian pula dengan pengajaran bahwa Bunda Maria adalah Tabut Perjanjian Baru, karena dengan mengandung Yesus ia menjadi tempat kediaman Sabda Allah yang menjadi manusia, Sang Roti Hidup [kontraskan dengan tabut Perjanjian Lama yang isinya kitab Taurat Musa dan roti manna], maka Bunda Maria mengalami persatuan dengan Yesus. Mzm 132:8, mengatakan, “Bangunlah ya Tuhan, dan pergilah ketempat perhentian-Mu, Engkau beserta tabut kekuatan-Mu.” Dan dalam Perjanjian Baru tabut ini adalah Bunda Maria. Bunda Maria-lah juga yang disebut sebagai ‘permaisuri berpakaian emas dari Ofir (Mzm 45: 10,14). Hal ini sejalan dengan penglihatan Rasul Yohanes dalam kitab Wahyu 12, dan tentu, Luk 1:28, 42Hail, full of grace, the Lord is with you, blessed are you among women.” (Salam, hai engkau yang dikaruniai, Tuhan menyertai engkau, diberkatilah engkau di antara semua perempuan) [lihat MD 26, 27]

Bahwa pengangkatan Bunda Maria ke surga merupakan pemenuhan janji Allah bahwa seorang perempuan (Maria) yang keturunannya (Yesus) akan menghancurkan Iblis [dan kuasanya, yaitu maut] (lihat Kej 3:15); dan bahwa pengangkatan ini merupakan kemenangan atas dosa dan maut (lihat Rom 5-6, 1 Kor 15:21-26; 54-57), di mana kematian akan ditelan dalam kemenangan (1 Kor 15:54).

Nubuat Simeon tentang Bunda Maria juga menunjukkan jalan kehidupan Bunda Maria, yang melalui penderitaan, dan bahwa suatu pedang akan menembus jiwanya (Luk 2:35) dan ini terpenuhi dengan penderitaannya melihat Yesus Puteranya disiksa sampai wafat di hadapan matanya sendiri. Penderitaan tak terlukiskan ini mempersatukannya dengan Kristus, dan karenanya layaklah ia menerima janji yang disebutkan oleh Rasul Paulus, “… jika kita menderita bersama-sama dengan Dia…kita juga dipermuliakan bersama-sama dengan Dia.” (Rom 8:17). Dan karena Bunda Maria adalah yang pertama menderita bersama Yesus dengan sempurna, maka layaklah bahwa Tuhan Yesus memenuhi janji-Nya ini dengan mengangkat Bunda Maria dengan sempurna, tubuh dan jiwa ke dalam kemuliaan surga, segera setelah wafat-Nya.

Namun dasar yang kuat dari pengangkatan Bunda Maria ke Surga adalah karena Maria adalah Bunda Allah (lih. MD 6,14,21,22,25). Sebab “kemuliaan seseorang terletak dalam menghormati bapanya, dan malu anak ialah ibu ternista” (Sir 3:11). Maka fakta bahwa Kristus mengasihi Bunda-Nya Maria, dan mempersatukannya di dalam misteri kehidupan-Nya, menjadikannya layak bahwa perempuan yang diciptakannya tidak bernoda dan perawan yang dipilih-Nya untuk menjadi ibu-Nya, menjadi seperti Dia, menang dengan jaya atas kematian melalui pengangkatannya ke surga sebagaimana Kristus telah menang atas dosa dan maut melalui Kebangkitan dan kenaikan-Nya ke Surga.

Demikian juga, yang tak kalah penting adalah karena sebagaimana yang disimpulkan dari Kitab Suci dan sudah diajarkan oleh para Bapa Gereja, Maria adalah Hawa yang baru (lih. MD 27,30, 39). Sebab karena kesalahan satu orang maka umat manusia jatuh dalam dosa, sedangkan karena ketaatan satu orang umat manusia dibenarkan (lih. Rom 5:18-19). Maka sebagaimana Hawa dahulu mengambil bagian dalam ketidaktaatan Adam, demikian pula Maria sebagai Hawa yang baru mengambil bagian dalam ketaatan Kristus sebagai Adam yang baru. Dengan ketidaktaatannya, Hawa yang pertama membawa kematian bagi umat manusia, sedangkan Bunda Maria, dengan ketaatannya membawa hidup bagi umat manusia, karena ia mengandung Sang Hidup yang menebus dan memberikan kehidupan kekal kepada manusia. Maria secara istimewa menyatu dan bekerja sama dengan Kristus, tidak saja dengan melahirkan-Nya tetapi juga di dalam fase- fase penting dalam kehidupan-Nya selanjutnya: saat Ia dipersembahkan ke bait Allah, saat mukjizat-Nya yang pertama, saat Ia disalibkan, saat kenaikan-Nya ke surga dan saat Pentakosta. Maka jika kasih Adam kepada Hawa memimpinnya kepada dosa, kasih Kristus kepada Bunda Maria memimpinnya untuk “mengambil bagian di dalam pertentangan-Nya melawan Iblis dan kepada hasil akhirnya” (MD 39), yaitu kemenangan total di dalam tubuh dan jiwa atas dosa dan maut.

Di sepanjang sejarah Gereja, sudah banyak sekali gereja dibangun dengan tema Bunda Maria diangkat ke surga (MD 15) Dalam doa-doa Liturgi Gereja Katolik, sudah banyak doa-doa yang menunjukkan iman bahwa Bunda Maria ini diangkat ke surga setelah wafatnya. Hal ini kita ketahui dari Sacramentarium Gregorianum, yang mengatakan, “Sangat terberkatilah hari ini O Tuhan, di mana Bunda Allah menderita wafat, namun tidak terikat oleh belenggu kematian, sebab ia telah melahirkan Sang Putera Allah yang menjelma dalam [tubuh]nya.” (MD 17) Dan juga dalam Menaei Totiu Anni, “Tuhan, Raja semesta Alam, telah memberikan kepadamu [Maria] rahmat yang mengatasi kodrat. Seperti Ia menjagamu tetap perawan saat melahirkan, maka Ia telah menjaga tubuhmu takkan rusak di kubur, dan telah memuliakan tubuhmu dengan perbuatan-Nya yang ilahi, mengangkatnya dari dalam kubur.” (MD 18)

Liturgi memang tidak menyebabkan/ menjadi sumber iman Katolik, tetapi merupakan hasil/ disebabkan oleh iman Katolik. Jadi liturgi di sini adalah seperti buah yang dihasilkan dari pohon (lihat MD 20). Maka di sini diketahui bahwa iman Gereja tentang pengangkatan Bunda Maria ke surga, telah lama berakar dalam Gereja. Para kudus yang mengajarkan hal ini antara lain adalah: St. Yohanes Damaskus (676-754), St. Antonius Padua, (1195-1231), (1206-1280), St. Thomas Aquinas (1225-1274), St Albert Agung, St. Benardinus (1380-1404), St. Robertus Belarminus (1542-1621), St. St. Petrus Kanisius (1520-1597), Alphosus Liguori (1696-1787). [lihat uraian MD 26-36].

Berikut ini adalah bunyi Dogma ini adalah, “…. by the authority of our Lord Jesus Christ, of the Blessed Apostles Peter and Paul, and by our own authority, we pronounce, declare and define it to be a divinely revealed dogma: that the Immaculate Mother of God, the ever Virgin Mary, having completed the course of her earthly life, was assumed body and soul into heavenly glory.” (MD 44)

Terjemahannya:

“…. dengan otoritas dari Tuhan kita Yesus Kristus, dari Rasul Petrus dan Paulus yang Terberkati, dan oleh otoritas kami sendiri, kami mengumumkan, menyatakan dan mendefinisikannya sebagai sebuah dogma yang diwahyukan Allah: bahwa Bunda Tuhan yang tak bernoda, Perawan Maria yang tetap perawan, setelah menyelesaikan perjalanan hidupnya di dunia, diangkat tubuh dan jiwanya ke dalam kemuliaan surgawi.” (MD 44)

Pada saat Paus Pius XII mengumumkan Dogma ini, ia menggunakan wewenangnya sebagai Magisterium, dan ia bertindak atas nama Kristus untuk mengajar umatnya. Selanjutnya tentang Magisterium, dalam kesatuan dengan Kitab Suci dan Tradisi Suci silakan klik di sini, dan lebih lanjut tentang Magisterium, silakan klik.

Perlu kita ketahui bahwa Bunda Maria ‘diangkat’ ke surga, dan bukan ‘naik’ ke surga. ‘Diangkat’ berarti bukan karena kekuatannya sendiri melainkan diangkat oleh kuasa Allah, sedangkan Yesus ‘naik’ ke surga oleh kekuatan-Nya sendiri. Bagi orang Katolik, peristiwa Bunda Maria diangkat ke surga adalah peringatan akan pengharapan kita akan kebangkitan badan di akhir zaman, di mana kita sebagai orang beriman, jika hidup setia dan taat kepada Allah sampai akhir, maka kitapun akan mengalami apa yang dijanjikan Tuhan itu: bahwa kita akan diangkat ke surga, tubuh dan jiwa untuk nanti bersatu dengan Dia dalam kemuliaan surgawi. Maka, Dogma Maria diangkat ke surga, bukan semata-mata doktrin untuk menghormati Maria, tetapi doktrin itu mau menunjukkan bahwa Maria adalah anggota Gereja yang pertama yang diangkat ke surga. Jika kita hidup setia melakukan perintah Allah dan bersatu dengan Kristus, seperti Bunda Maria, kitapun pada saat akhir jaman nanti akan diangkat ke surga, jiwa dan badan, seperti dia.

Dengan diangkatnya Bunda Maria ke surga, maka ia yang telah bersatu dengan Yesus akan menyertai kita yang masih berziarah di dunia ini dengan doa-doanya. Karena berpegang bahwa doa orang benar besar kuasanya (Yak 5:16), maka betapa besarlah kuasa doa Bunda Maria yang telah dibenarkan oleh Allah, dengan diangkatnya ke surga.

Beberapa tulisan Bapa Gereja tentang Maria diangkat ke surga:

1. Pseudo- Melito (300): Oleh karena itu, jika hal itu berada dalam kuasaMu, adalah nampak benar bagi kami pelayan- pelayan-Mu, bahwa seperti Engkau yang telah mengatasi maut, bangkit dengan mulia, maka Engkau seharusnya mengangkat tubuh Bundamu dan membawanya dengan-Mu, dengan suka cita ke dalam surga. Lalu kata Sang Penyelamat [Yesus]: “Jadilah seperti perkataanmu”. ((Pseudo- Melito-The Passing of the Virgin 16:2-17))

2. Timotius dari Yerusalem (400)
Oleh karena itu Sang Perawan [Maria] tidak mati sampai saat ini, melihat bahwa Ia yang pernah tinggal di dalamnya memindahkannya ke tempat pengangkatannya. ((St. Timothy of Jerusalem, Homily on Simeon dan Anna, 400))

3. Yohanes Sang Theolog (400)
Tuhan berkata kepada Ibu-Nya, “Biarlah hatimu bersuka dan bergembira. Sebab setiap rahmat dan karunia telah diberikan kepadamu dari Bapa-Ku di Surga dan dari-Ku dan dari Roh Kudus. Setiap jiwa yang memanggil namamu tidak akan dipermalukan, tetapi akan menemukan belas kasihan dan ketenangan dan dukungan dan kepercayaan diri, baik di dunia sekarang ini dan di dunia yang akan datang, di dalam kehadiran Bapa-Ku di Surga”… Dan dari saat itu semua mengetahui bahwa tubuh yang tak bercacat dan yang berharga itu telah dipindahkan ke surga ((John the Theologian, The Dormition of Mary))

4. Gregorius dari Tours (575)
Para Rasul mengambil tubuhnya  [jenazah Maria] dari peti penyangganya dan menempatkannya di sebuah kubur, dan mereka menjaganya, mengharapkan Tuhan [Yesus] agar datang. Dan lihatlah, Tuhan datang kembali di hadapan mereka; dan setelah menerima tubuh itu, Ia memerintahkan agar tubuh itu diangkat di awan ke surga: dimana sekarang tergabung dengan jiwanya, [Maria] bersukacita dengan para terpilih Tuhan … ((Gregory of Tours, Eight Books of Miracles 1:4))

5. Theoteknos dari Livias (600)
Adalah layak … bahwa tubuh Bunda Maria yang tersuci, tubuh yang melahirkan Tuhan, yang menerima Tuhan, menjadi ilahi, tidak rusak, diterangi oleh rahmat ilahi dan kemuliaan yang penuh …. agar hidup di dunia untuk sementara dan diangkat ke surga dengan kemuliaan, dengan jiwanya yang menyenangkan Tuhan ((Theoteknos, Homily on the Assumption))

6. Modestus dari Yerusalem (sebelum 634)
Sebagai Bunda Kristus yang termulia… telah menerima kehidupan dari Dia [Kristus], ia telah menerima kekekalan tubuh yang tidak rusak, bersama dengan Dia yang telah mengangkatnya dari kubur dan mengangkatnya kepada Diri-Nya dengan cara yang hanya diketahui oleh-Nya ((Modestus, Encomium in dormitionnem Sanctissimae Dominae nostrae Deiparae semperque Virginis Mariae))

7. Germanus dari Konstantinopel (683)
Engkau adalah ia, …. yang nampak dalam kecantikan, dan tubuhmu yang perawan adalah semuanya kudus, murni, keseluruhannya adalah tempat tinggal Allah, sehingga karena itu dibebaskan dari penguraian menjadi debu. Meskipun masih manusia, tubuhmu diubah ke dalam kehidupan surgawi yang tidak dapat musnah, sungguh hidup dan mulia, tidak rusak dan mengambil bagian dalam kehidupan yang sempurna ((Germanus, Sermon I))

8. Yohanes Damaskinus (697)
Adalah layak bahwa ia, yang tetap perawan pada saat melahirkan, tetap menjaga tubuhnya dari kerusakan bahkan setelah kematiannya. Adalah layak bahwa dia, yang telah menggendong Sang Pencipta sebagai anak di dadanya, dapat tinggal di dalam tabernakel ilahi. Adalah layak bahwa mempelai, yang diambil Bapa kepada-Nya, dapat hidup dalam istana ilahi. Adalah layak bahwa ia, yang telah memandang Putera-Nya di salib dan yang telah menerima di dalam hatinya pedang duka cita yang tidak dialaminya pada saat melahirkan-Nya, dapat memandang Dia saat Dia duduk di sisi Bapa. Adalah layak bahwa Bunda Tuhan memiliki apa yang dimiliki oleh Putera-nya, dan bahwa ia layak dihormati oleh setiap mahluk ciptaan sebagai Ibu dan hamba Tuhan. ((John Damascene, Dormition of Mary)).

9. Gregorian Sacramentary (795)
Terhormat bagi kami, O Tuhan, perayaan hari ini, yang memperingati Bunda Allah yang kudus yang meninggal dunia untuk sementara waktu, namun tetap tidak dapat dijerat oleh maut, yang telah melahirkan Putera-Mu, Tuhan kami yang menjelma dari dirinya. ((Gregorian Sacramentary, Veranda, ante 795))

Wanita harus memakai tutup kepala saat ibadah? (1 Kor 11:3-15)

43

1. Penjelasan yang dikutip dari the Navarre Bible:

Di perikop ini Rasul Paulus mengajarkan agar para wanita memakai penutup kepala pada saat mengikuti ibadah. Hal ini adalah tradisi yang berlangsung pada jaman itu, yang menjadi ekspresi dari ungkapan hati. Di sini dapat disimpulkan bahwa pakaian yang terlihat dari luar menjadi penting karena mencerminkan disposisi hati/ sikap batin.

Rasul Paulus memberikan alasan teologis tentang pemakaian tudung kepala wanita adalah karena “kepala setiap perempuan adalah laki-laki, kepala setiap laki-laki adalah Kristus, kepala Kristus adalah Allah.” (lih. 1 Kor 11:3). Saat mengatakan hal ini, Rasul Paulus tidak bermaksud merendahkan martabat wanita, sebab para wanita mempunyai persamaan hak dengan kaum pria dan sama-sama dipanggil untuk hidup kudus, namun para wanita mempunyai misi yang khusus. Semua orang, baik perempuan maupun laki- laki dipanggil untuk taat kepada Kristus, Sang Kepala, dan melalui Kristus kepada Allah Bapa. Dasar ini ditegaskan kembali yaitu pada ayat 11-12, “…. dalam Tuhan tidak ada perempuan tanpa laki- laki dan laki- laki tanpa perempuan” sebab keduanya berasal dari Allah. Ini sesuai dengan yang diajarkannya juga dalam Gal 3:28. Jadi yang disampaikan di sini adalah adanya urutan/ struktur kebersamaan yang mengarahkan semua orang untuk dibangun ke arah persatuan dengan Kristus.

2. Ketentuan CDF tentang hal penutup kepala wanita

Magisterium Gereja Katolik, melalui pernyataan CDF (Kongregasi Doktrin Iman) yang berjudul Inter Insigniores, tertanggal 15 Oktober 1976, antara lain menyatakan bahwa ketentuan pemakaian kerudung pada wanita dalam ibadah, tidak lagi menjadi ketentuan normatif. Dokumen tersebut menyatakan demikian:

Another objection is based upon the transitory character that one claims to see today in some of the prescriptions of Saint Paul concerning women, and upon the difficulties that some aspects of his teaching raise in this regard. But it must be noted that these ordinances, probably inspired by the customs of the period, concern scarcely more than disciplinary practices of minor importance, such as the obligation imposed upon women to wear a veil on their head (1 Cor 11:2-16); such requirements no longer have a normative value….

3. Hal penutup kepala wanita dalam praktek ibadah umat Katolik

Berikut ini adalah tulisan tentang hal penutup kepala yang kami sarikan dari artikel karangan Colin B. Donovan, STL dari situs EWTN (Eternal World Television Network), silakan klik, sebagai berikut:

a. Memang pada KHK 1917 kan. 1262, 2 dikatakan bahwa pria dalam ibadah tidak perlu memakai tutup kepala, kecuali keadaan- keadaan khusus yang menentukan sebaliknya, dan perempuan harus mengenakan tutup kepala dan berpakaian sopan, terutama ketika mereka mendekati altar Tuhan.

b. Ketika KHK 1983 dipromulgasikan, kanon ini tidak dinyatakan kembali. Kanon 6, 1 (KHK 1983) menyatakan bahwa jika suatu kanon tidak dimasukkan dalam KHK yang baru ini, artinya sudah tidak diberlakukan lagi.

Dengan demikian, kewajiban kanonik bagi para wanita untuk memakai tutup kepala tidak lagi diharuskan.

4. Tinjauan Moral:

Meskipun demikian, ada pertanyaan, apakah ada kewajiban moral bagi para wanita untuk memakai tutup kepala, meskipun sudah tidak disyaratkan oleh KHK, mengingat hal itu disebutkan dalam 1 Kor 11:3-16?

Di sini yang harus diingat adalah tentu kewajiban moral untuk berpakaian sopan sesuai dengan keadaan (dalam hal ini, pada saat ibadah untuk menerima Komuni kudus) tidak pernah diabaikan. Namun hal kesopanan dalam berpakaian dapat bervariasi dari tempat ke tempat dan waktu ke waktu. St. Thomas Aquinas menjelaskan bahwa kesopanan/ kebersahajaan berkaitan dengan empat hal tingkah laku:

1. Pergerakan pikiran menuju kesempurnaan, dan hal ini diatur oleh kerendahan hati.
2. Keinginan akan benda- benda yang berkaitan dengan pengetahuan, dan ini diatur oleh kerajinan/ kesungguhan hati, lawannya dari asal ingin tahu.
3. Pergerakan badan dan tingkah laku, yang mensyaratkan dilakukannya dengan semestinya dan dengan sejujurnya…
4. Penampilan luar, contoh dalam berpakaian dan sejenisnya. ((ST II-II, q.160, a.2))

Cara berpakaian, tingkah laku, dst. adalah tanda dari seseorang dan ini dipengaruhi oleh konteks budaya di mana orang itu tinggal… Kristianitas dapat menyesuaikan diri terhadap budaya dalam hal- hal tertentu, kecuali jika itu melibatkan dosa (cara berpakaian yang mengakibatkan godaan bagi jenis kelamin yang lain). Kesopanan/ kesederhanaan dalam berpakaian dan bertingkah laku merupakan tanda luar yang menunjukkan sikap batin.

Maka hal cara berpakaian (pria menggunakan peci bundar atau wanita dengan tudung pada masa Rasul Paulus) pada dasarnya adalah penerapan cara berpakaian yang sopan sesuai dengan tradisi/ kebiasaan pada saat itu… Maka hanya Magisterium yang berkompeten untuk menentukan kebiasaan- kebiasaan mana yang dapat dilaksanakan dengan sah, dan kebiasaan tertentu yang mana, yang dapat ditinggalkan, sementara hukum ilahi dipertahankan. Kita akan selalu aman pada saat mengikuti ajaran Gereja, daripada menuruti pertimbangan sendiri, sebab apa yang ditentukan/ diikat oleh Gereja, “akan terikat di surga, dan apa yang dilepaskan oleh Gereja akan terlepas di surga” (lih. Mat 16:13-18).

5. Makna tutup kepala: tanda “ketaatan” kepada pemimpin

Maka pemakaian tutup kepala bukan merupakan kewajiban moral, namun merupakan tanda ketaatan kepada pemimpin.

a. Arti kata ketaatan kepada pemimpin artinya adalah diarahkan dengan cara yang teratur kepada tujuan tertentu, di bawah pengarahan orang lain. Seorang pekerja taat kepada sang supervisor, supervisor kepada manajer, manajer kepada pemilik, sehingga perusahaan dapat berjalan mulus untuk mencapai tujuannya. Demikian halnya pada kehidupan menggereja.

1 Kor 11:3 …. Kepala dari tiap-tiap laki-laki ialah Kristus, kepala dari perempuan ialah laki-laki dan Kepala dari Kristus ialah Allah.
1 Kor 11:8-12 Sebab laki-laki tidak berasal dari perempuan, tetapi perempuan berasal dari laki-laki. Sebab laki-laki tidak berasal dari perempuan, tetapi perempuan berasal dari laki-laki. Sebab itu, perempuan harus memakai tanda wibawa di kepalanya…. dalam Tuhan tidak ada perempuan tanpa laki-laki dan tidak ada laki-laki tanpa perempuan. Sebab sama seperti perempuan berasal dari laki-laki, demikian pula laki-laki dilahirkan oleh perempuan; dan segala sesuatu berasal dari Allah.”

Dalam perkawinan Kristiani, suami adalah kepala istri, seperti halnya Kristus adalah kepala Gereja (lih. Ef 4:22-33)…Rasul Paulus mengingatkan hal penciptaan pria dan wanita, dan menyatakan bahwa wanita dibentuk dari pria, bukan sebaliknya. Paus Yohanes Paulus II mengajarkan dalam Katekese kitab Kejadian, bahwa perkawinan bukan saja hanya sebuah sakramen Kristiani, tetapi juga sakramen kodrati tentang Persekutuan Pribadi dalam Trinitas. Ini mengajarkan kepada kita bahwa kesetaraan pribadi dalam sebuah persekutuan tidak menghancurkan tingkatan/ hirarkinya. Dalam kodrat ilahi, Allah Bapa adalah Kepalanya, dalam Gereja, Kristus adalah Kepalanya, dan dalam perkawinan, suami adalah kepalanya. Memang dalam keteraturan Kristiani, kasih menjadi motif pendorong bagi semua hubungan…

b. Mungkin pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa Gereja melepaskan suatu praktek yang menandai keteraturan urutan hubungan kasih tersebut? Ada beberapa alasan yang saya pandang memungkinkan:

1. Hilangnya pentingnya makna tanda tersebut. Tanda- tanda adalah kekhususan suatu budaya. Suatu tanda, cara berpakaian, ekspresi menyampaikan arti yang dipahami oleh orang- orang pada budaya tertentu. Ketika budaya tidak lagi melihat pentingnya suatu tanda tertentu, maka tanda tersebut kehilangan makna, kecuali bagi mereka yang tetap mempertahankan pemahaman tersebut. … Gereja harus mengajarkan makna tanda sakramental. …Maka ketika pemakaian tudung itu sudah kehilangan makna, hal itu bisa tidak dipraktekkan lagi.

2. Konflik arti. Suatu tanda, meskipun artinya tetap berlaku, namun dapat memberikan arti yang menjadi penghalang bagi orang- orang pada budaya tertentu…. Dalam kasus penutup kepala ini, walau artinya tetap valid, namun dapat dengan mudah disalah artikan sebagai ketundukan semena- mena sang istri kepada suaminya, atau bahkan semua wanita kepada semua pria. Dalam dunia modern di mana persamaan martabat antara pria dan wanita sebagai pribadi- pribadi yang setara ditekankan, maka alasan ini merupakan alasan yang perlu dipertimbangkan. Kita tidak dapat menghalangi jiwa-jiwa untuk datang pada Yesus … Kanon terakhir dalam KHK mengingatkan kita bahwa keselamatan jiwa- jiwa merupakan hukum yang tertinggi dari Gereja (salus animarum suprema lex).

3. Teologi liturgis. Salah satu dari antara kebenaran- kebenaran doktrin yang dinyatakan dalam Misa adalah kodrat hirarki Gereja. Gereja sebagai Tubuh Mistik Kristus terdiri dari Kristus Sang Kepala dan mereka yang telah dibaptis dalam Kristus, sebagai anggota- anggota-Nya. Perbedaan tingkatan yang terlihat di dalam liturgi, antara imamat jabatan dan imamat bersama (pada umat) adalah tanda sakramental dari Kristus Sang Kepala dan anggota- anggota-Nya. Dalam liturgi dan keteraturan sakramental, kecuali bahwa mereka yang mewakili/ menghadirkan Kristus Sang Kepala harus laki- laki, pembedaan antara jenis kelamin tidaklah penting. Di dalam Pembaptisan “tidak ada laki- laki atau perempuan” (Gal 3:28). Oleh karena itu, dalam kehidupan Gereja tidak mensyaratkan pembedaan jenis kelamin; laki- laki dan perempuan berpartisipasi setara dalam Gereja sebagai orang- orang yang sudah dibaptis.

6. (Yang terpenting): Pribadi yang saleh

Meskipun jelas bahwa tidak ada kewajiban kanonik maupun moral bagi para wanita untuk mengenakan tutup kepala di gereja, para wanita tetap bebas untuk melakukannya sebagai ungkapan devosi pribadi. Mereka harus melihatnya sebagai tanda ketaatan/ tunduk kepada Tuhan… Mereka yang mengenakan tudung dan mereka yang tidak mengenakannya, tidak perlu menghakimi satu sama lain, tetapi membiarkan setiap wanita untuk memutuskannya karena jelas hal ini tidak menjadi kewajiban.

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab