Home Blog Page 176

Otentisitas Injil Yohanes

4

Sesungguhnya, otentisitas Injil Yohanes sebagai Injil yang keempat tidak pernah dipertanyakan, sampai di akhir abad ke-18. Evanson (1792), Bretschneider (1820) dan David Friedrich Strauss (1834-1840) adalah orang-orang pertama yang mempertanyakan keotentikan Injil Yohanes. Alasan utama dari mereka yang menolak keotentikan Injil Yohanes adalah karena Yohanes telah dengan begitu jelasnya menyatakan ke-Allahan Yesus Sang Penebus sebagai pusat dan inti narasi Injilnya. Namun demikian, bahkan Adolf Harnack (1851-1930) seorang teolog Jerman yang sependapat dengan mereka, akhirnya menerima bahwa, meskipun ia menolak otentisitas Injil Yohanes, ia juga tidak dapat menemukan solusi yang memuaskan tentang permasalahan [asal usul] Injil Yohanes: “Lagi dan lagi saya telah berusaha memecahkan masalah dengan beragam teori yang mungkin, tetapi semua itu malah mengarahkan aku kepada kesulitan-kesulitan yang lebih besar, dan bahkan bertentangan satu sama lain.” (“Gesch. der altchristl. Lit.”, I, pt. ii, Leipzig, 1897, p. 678.)

Walaupun tidak sama, namun kita dapat membandingkan keadaan ini dengan keadaan jika kita ingin mengetahui kejadian yang berhubungan dengan kakek buyut kita. Tentu bukti yang lebih kuat adalah adanya kesaksian dari orang- orang yang hidup pada generasi zaman kakek buyut ataupun kesaksian mereka di generasi berikutnya yang terdekat dengan generasi kakek buyut kita. Kesaksian mereka ini jauh lebih kuat daripada perkiraan kita di jaman sekarang, berdasarkan logika dan dugaan/ hipotesa kita sendiri.

Bukti langsung Injil Yohanes menurut sejarah catatan para Bapa Gereja

Manuskrip-manuskrip kuno dan terjemahan Injil merupakan kelompok pertama bukti. Di dalam judul-judul, daftar isi, tanda tangan, Yohanes tidak diragukan sebagai pengarang Injil ini. Memang benar bahwa manuskrip- manuskrip terawal yang ditemukan berasal dari sekitar pertengahan abad ke-4, tetapi adanya kesesuaian (konsensus) yang sempurna dari semua codices (codex) membuktikan bahwa prototipe dari manuskrip-manuskrip ini yang berasal dari masa yang lebih awal, telah mengandung indikasi yang sama akan pengarangnya. Hal serupa adalah kesaksian terjemahan-terjemahan Injil tersebut, di mana dalam bahasa Syria, Koptik dan Latin kuno berasal dari bentuk- bentuk awalnya di abad ke-2.

Bukti juga ditunjukkan oleh para pengarang Gereja di abad-abad awal, sebagai berikut:.

1. St. Irenaeus (125-202)

Kesaksian St. Irenaeus menjadi penting dalam hal ini karena ia adalah murid St. Polikarpus yang adalah murid Rasul Yohanes. Melalui kesaksiannya ini kita mengetahui keotentikan keeempat Injil, dan bahwa Injil itu sungguh-sungguh ditulis oleh pengarang yang namanya tertulis sebagai nama Injil itu. St. Irenaeus menulis:

“Kita belajar tentang rencana keselamatan tidak dari siapapun kecuali dari mereka yang olehnya Injil diturunkan kepada kita, yang mereka umumkan pada suatu saat kepada publik, dan yang selanjutnya, oleh kehendak Tuhan, diturunkan kepada kita di dalam Kitab Suci, untuk menjadi dasar dan tonggak iman kita…. Sebab, setelah Tuhan kita bangkit dari mati [para rasul] dikaruniai kuasa dari atas ketika Roh Kudus turun [atas mereka], dan mereka dipenuhi oleh segala [karunia-Nya], dan mempunyai pengetahuan yang sempurna: mereka pergi ke seluruh dunia, mengabarkan/ mengajarkan tentang kabar gembira dari Allah kepada kita, dan mengabarkan damai dari surga kepada umat manusia… Matius juga menuliskan Injil di antara umat Yahudi di dalam bahasa mereka, sedangkan Petrus dan Paulus mengajarkan Injil dan mendirikan Gereja di Roma…. Markus, murid dan penerjemah dari Petrus juga meneruskan kepada kita secara tertulis tentang apa yang biasanya dikhotbahkan oleh Petrus. Dan Lukas, pembantu Paulus, juga meneruskan kepada kita Injil yang biasanya dikhotbahkan oleh Paulus. Selanjutnya, Yohanes, rasul Tuhan kita …juga menuliskan Injil ketika tinggal di Efesus, Asia kecil. (St. Irenaeus, Agaisnt the Heretics, book III, ch 1)

St. Irenaeus mengutip di dalam tulisan-tulisannya sekurang-kurangnya seratus ayat dari Injil ke-empat (Injil Yohanes), sering dengan ucapan, “sebagaimana Yohanes, murid Tuhan, mengatakannya”. Di sini yang dimaksud Yohanes, murid Tuhan, adalah Rasul Yohanes.

2. St. Dionysius dari Alexandria (264-5)
Walaupun benar ia memperkirakan adanya pengarang yang lain yang menuliskan Kitab Wahyu, namun St. Dionysius selalu menerima sebagai suatu kenyataan yang tak perlu diragukan bahwa Rasul Yohanes adalah pengarang Injil yang keempat.

3. St Klemens dari Alexandria (w 215) dan Origen (w 254) yang dikutip oleh ahli sejarah Eusebius (263-339).
Origen mengatakan bahwa Yohanes adalah yang terakhir dari para Pengarang Injil yang menuliskan Injilnya (Eusebius, Church History VI.25.6), dan di banyak penjelasannya tentang Injil Yohanes, Origen menegaskan keyakinannya tentang asal usul apostolik dari Injil Yohanes ini. Pendahulu dan guru Origen, St. Klemens dari Aleksandria, menghubungkannya sebagai, “tradisi yang diterimanya dari para presbiter pendahulunya”, bahwa Rasul Yohanes, Pengarang Injil yang terakhir, “dipenuhi oleh Roh Kudus, telah menuliskan sebuah Injil spiritual” (Eusebius, op.cit., VI, xiv,7).

4. Muratorian Fragment (170), Uskup Teofilus dari Antiokhia (sebelum 181) dan Manuskrip Vatikan
Penulis Fragmen Muratori menuliskan tentang keyakinan akan keotentikan Injil keempat ini secara panjang lebar di Gereja Roma. Demikian pula, Uskup Teofilus mengutip Injil keempat sebagai perkataan Yohanes (Ad Autolycum, II, xxii). Akhirnya manuskrip Vatikan (Codex Regin Sueci seu Alexandrinus, 14) dikatakan bahwa Uskup Papias dari Hierapolis di Phrygia, murid langsung Rasul Yohanes, memasukkan di dalam karya eksegesisnya perihal penyusunan Injil Yohanes, di mana sepanjang saat itu ia bekerja sebagai juru tulis Sang Rasul.

Papias dari semua penulis lainnya mengetahui bahwa Yohanes yang dibicarakan di sini adalah Yohanes Rasul dan Pengarang Injil, dan bukan presbiter Yohanes lain, yang bukan Rasul.

5. Tertullian (160-220)
“…. bahwa Kitab Perjanjian Injili mempunyai para rasul sebagai pengarangnya, yang kepadanya telah ditugaskan oleh Tuhan sendiri jabatan untuk mewartakan Injil …. Maka, dari para rasul, Yohanes dan Matius pertama-tama menanamkan iman kepada kita; sedangkan orang-orang rasuli, Lukas dan Markus sesudahnya memperbaharuinya.” (Tertullian, Against Marcion, Bk 4, ch.2)

6. St. Agustinus (345-430)
“Di dalam keempat Injil, atau lebih tepatnya empat kitab dalam satu Injil, St. Yohanes Rasul, yang dalam hal pemahaman spiritualnya secara tidak layak dibandingkan dengan burung elang, telah mengangkat khotbahnya lebih tinggi dan jauh lebih tinnggi dari ketiga Injil lainnya; dan di dalam pengangkatan ini ia mengangkat hati kita. Sebab ketiga pengarang Injil lainnya berjalan bersama dengan Tuhan di bumi sebagaimana dengan manusia; tentang ke-Allahan-Nya mereka telah mengatakannya namun sedikit saja; tetapi pengarang Injil ini (Rasul Yohanes), seperti seolah ia enggan berjalan di bumi, seperti di bagian pembukaan dari pengajarannya ia menyatakan dengan lantang kepada kita, dan terbang tinggi …. untuk mencapai Dia melalui Siapa semuanya diciptakan, dengan mengatakan: Pada mulanya adalah Firman,” dst (Yoh 1:1-) (St. Augustine, On the Gospel of St. John, Tr 36:1)

Bukti tidak langsung dari tulisan Bapa Gereja

Bukti tulisan-tulisan Kristen di abad-abad pertama memuat banyak kutipan dari Injil Yohanes, yang membuktikan bahwa Injil tersebut telah diakui sebagai bagian dari tulisan-tulisan kanonik Perjanjian Baru sejak awal abad kedua. St. Ignatius dari Antiokhia yang wafat di bawah Trajan (98-117) menyatakan adanya pengenalan yang akrab dengan prinsip ajaran di dalam kutipan-kutipan, pandangan teologis yang diajarkan dalam surat-suratnya. Demikian juga yang ditemukan dalam tulisan-tulisan St. Polikarpus, “Martyrium of Polycarp“, Epistle to Dignetus dan the Pastor of Hermas.

Menurut catatan Eusebius, St. Papias juga menggunakan dalam karyanya perikop-perikop dari Surat pertama St. Yohanes. Tetapi Surat Yohanes ini mensyaratkan adanya Injil Yohanes, yang merupakan pendahuluannya atau karya pasangannya/ yang ada bersama dengan surat itu.

St. Yustinus Martir (w 166) secara khusus mengindikasikan melalui ajarannya tentang Logos dan banyak perikop dalam karya apologisnya tentang keberadaan Injil Yohanes ini. Muridnya, Tatian, dengan kerangka kronologis “Diatessaron“, mengikuti urutan Injil Yohanes, yang prolog-nya dipakai sebagai pembuka karya tulisnya. Juga dalam karyanya “Apology“, ia mengutip Injil keempat ini. Semua ini membuktikan bahwa Injil keempat (Injil Yohanes) ini sudah ada pada saat itu (sekitar abad 1-2).

Bahkan dari kesaksian para bidat/heretik, dapat diketahui bahwa Injil Yohanes sudah ada/ eksis di abad- abad awal ini. Hal ini kita ketahui dari kesaksian Basilides, Valentinus, Heraclon, Ptolemy, Marcion, Montanus dan Celsus.

Selain itu, kesaksian tak langsung tentang Injil ini juga diperoleh dari liturgi gerejawi kuno dan monumen- monumen awal. Dalam teks liturgi kuno, teks awal Injil Keempat ini digunakan di semua Gereja. Lalu di dinding-dinding katakomba (gereja bawah tanah, abad- abad awal) terdapat gambar Lazarus yang dibangkitkan dari kubur, di mana kisah ini hanya ada di Injil Yohanes, bab 11.

Kesaksian dari Injil Yohanes itu sendiri

1. Ciri umum

Dari ciri umum tulisan tersebut, dapat disimpulkan tentang ciri pengarangnya. Dari bahasanya, pengarang Injil tersebut adalah seorang Yahudi Palestina, yang mengenal dengan baik kaum Yunani kelas atas. Ia mampu menggambarkan pengetahuan yang akurat tentang kondisi geografis dan sosial dari Palestina, secara mendetail. Ia pasti mempunyai hubungan yang akrab dengan Kristus dan pasti termasuk di dalam bilangan teman- teman-Nya yang terdekat, menjadi seorang saksi bagi banyak kejadian bersama Yesus. Ia tidak menyebut namanya sendiri (lih. Yoh 1L37-40; 18:15,16, lih 20:3-10), walaupun ia menyebut nama-nama para rasul yang lain. Tentang nama Rasul Yohanes dan Yakobus ia mengatakannya sebagai “anak- anak Zebedeus” (lih Yoh 21:2). Ini menunjukkan sifatnya yang ‘reserve‘, cenderung tidak ingin dikenal, tidak menonjolkan diri.

2. Kesakisan dari pengarang

Namun siapa pengarang Injil ini diketahui dari tulisan itu sendiri. Setelah menyebutkan kejadian Penyaliban bahwa murid yang dikasihi Yesus berdiri di kaki salibnya di dekat ibu Yesus (Yoh 19:26-) ia menambahkan, sesudah menceritakan kematian Kristus dan penikaman lambung-Nya, penegasan ini: “Dan orang yang melihat hal itu sendiri yang memberikan kesaksian ini dan kesaksiannya benar, dan ia tahu, bahwa ia mengatakan kebenaran, supaya kamu juga percaya.” (Yoh 19:35)

Ia menyebut diri sebagai “murid yang dikasihi Tuhan”, untuk memberi kesaksian bahwa kesaksian yang ditulisnya adalah benar, dan bahwa ia adalah saksi akan kebenaran itu. Selain itu, dengan menjadi murid yang dikasihi Tuhan, ia dapat memberikan kesaksian dari pengetahuan yang sedemikian akrab tentang Tuhan yang mengasihinya, dan kesaksian ini adalah benar (lih. yoh 21:24)

3. Perbandingan antara Injil Yohanes dan Surat- surat Rasul Yohanes

Banyak ahli Kitab Suci memperkirakan bahwa Injil Yohanes dan Surat- surat Yohanes ditulis oleh satu pengarang yang sama, karena terdapat kesamaan cara penulisan dan bahasa, dan kesamaan pengajaran khas Yohanes, sehingga menurut kesaksian para Bapa Gereja, tidak mungkin jika pengarang Injil dan surat-surat ini tidak sama. Sebab dalam surat Yohanes dikatakan demikian, “Apa yang telah ada sejak semula, yang telah kami dengar, yang telah kami lihat dengan mata kami, yang telah kami saksikan dan yang telah kami raba dengan tangan kami tentang Firman hidup itulah yang kami tuliskan kepada kamu. Hidup itu telah dinyatakan, dan kami telah melihatnya dan sekarang kami bersaksi dan memberitakan kepada kamu tentang hidup kekal, yang ada bersama-sama dengan Bapa dan yang telah dinyatakan kepada kami. Apa yang telah kami lihat dan yang telah kami dengar itu, kami beritakan kepada kamu juga, supaya kamupun beroleh persekutuan dengan kami. Dan persekutuan kami adalah persekutuan dengan Bapa dan dengan Anak-Nya, Yesus Kristus.” (1 Yoh 1:1-3, lih. 4:14).

Dengan demikian, kita ketahui bahwa sang penulis surat Yohanes ini adalah saksi Kristus Sang Firman hidup, dan saksi ini jugalah yang menuliskan Injil yang dimulai dengan pernyataan tentang Sang Firman yang hidup itu (Yoh 1:1, 14).

Tujuan penulisan dan pentingnya Injil Yohanes

Maksud dari Sang Pengarang Injil Yohanes, adalah seperti tertulis: “tetapi semua yang tercantum di sini telah dicatat, supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup dalam nama-Nya.”(Yoh 20:31). Yohanes juga ingin meneguhkan iman para murid akan sifat Mesianis dan Ke-Allahan Kristus. Untuk mencapai maksud ini, ia memilih pengajaran-pengajaran dan percakapan Kristus di mana pernyataan Sang Penebus itu sendiri memberikan penekanan yang sangat jelas akan kebesaran dan ke-Allahannya. Dengan demikian Yohanes meneguhkan iman umat agar tidak jatuh kepada ajaran-ajaran sesat.

Terhadap penuturan kisah-kisah dari Injil-injil yang terdahulu, sikap Yohanes berusaha melengkapi kisah dan perkataan Kristus yang belum disebut, dan memperjelas kejadian-kejadian tertentu. Keseluruhan Injil Yohanes merupakan kesimpulan dari pesan sukacita Firman/ Sabda yang kekal. Untuk selamanya, Injil Yohanes bagi Gereja tetaplah merupakan kesaksian yang tertinggi akan imannya akan Sang Putera Allah, yang menjadi terang yang bersinar dari kebenaran ajarannya.

Selanjutnya tentang otentisitas Injil Yohanes, silakan membaca di link ini, silakan klik.

Apakah Deuterokanonika tidak termasuk dalam Alkitab?

29

Umat Kristen non-Katolik sering mengatakan bahwa kitab-kitab deuterokanonika disebut kitab-kitab Apokrif dan seharusnya tidak menjadi bagian dari Kitab Suci. Berikut ini adalah beberapa prinsip yang dapat kita pegang:

1. Sebaiknya tidak menggunakan istilah “Apokrif”

Sebenarnya menurut St. Agustinus perkataan “Apokrif” atau apocrypha artinya adalah ‘tidak jelas asal usulnya’ yang berkonotasi dengan buku yang tidak diketahui pengarangnya atau buku yang keasliannya dipertanyakan. Namun secara umum, perkataan “apokrif” tadi diartikan sebagai sesuatu yang ‘tersembunyi, salah, buruk atau sesat’, sehingga sebaiknya kita tidak menggunakan kata “apokrif” karena artinya sama sekali bukan penghalusan kata “deuterokanonika”, tetapi malahan sebaliknya, sebab menganggap bahwa kitab- kitab ini tidak diinspirasikan oleh Roh Kudus.
Maka sebaiknya kita menggunakan saja kata “Deuterokanonika” yang terjemahan bebasnya adalah, “kanon yang kedua/ secondary”. Istilah ini dikenal pada abad ke-16, yaitu setelah Martin Luther dan para pengikutnya mulai membedakan antara ketujuh kitab dalam PL dengan kitab- kitab PL lainnya (yang mereka sebut sebagai proto-canon). Padahal, sudah sejak awal kitab- kitab Deuterokanonika termasuk dalam Septuaginta, yaitu Kitab Suci Perjanjian Lama yang ditulis di dalam bahasa Yunani, yang adalah Kitab Suci yang dipegang oleh Kristus dan para rasul.

2. Tidak seharusnya kita mengikuti hasil Konsili Javneh/ Jamnia

Setelah kehancuran Yerusalem di tahun 70, yaitu tepatnya tahun 90- an  para ahli kitab Yahudi mengadakan konsili Jamnia (Javneh) untuk meninjau kanon Kitab Suci mereka, sambil juga menolak keberadaan Injil yang tidak mereka pandang sebagai tulisan yang diinspirasikan oleh Allah, karena mereka menolak Kristus. Konsili ini akhirnya memutuskan untuk juga tidak memasukkan kitab- kitab Deuterokanonika di dalam Kitab agama Yahudi. Kemungkinan adalah karena adanya nubuat yang begitu jelas tentang Mesias yang tercantum dalam kitab-kitab Deuterokanonika itu– dan nubuat itu digenapi oleh Kristus– yaitu nubuat dalam Kitab Kebijaksanaan (lih. Keb 2:12-20). Namun ironisnya, ada sejumlah umat Kristen yang mengacu kepada keputusan Konsili Jamnia ini, yang telah jelas tidak mengakui Injil dan Kristus.

Selain itu, ada pula argumen yang menyatakan bahwa tidak diketemukan naskah asli kitab-kitab Deuterokanonika dalam bahasa Ibrani, maka dianggap kitab-kitab tersebut tidak otentik. Padahal, mayoritas ahli Kitab Suci beranggapan bahwa sebagian kitab-kitab Deuterokanonika (Barukh, Sirakh, Tobit, Yudit, 1 Makabe) ditulis dalam bahasa Ibrani. Juga nyatanya, penemuan naskah-naskah kuno di gua-gua Qumran, juga meneguhkan pandangan mereka. Penemuan naskah-naskah ini yang dikenal dengan Dead Sea Scroll (sekitar tahun 1950-an) menunjukkan adanya naskah-naskah asli (yang diperkirakan berasal dari tahun 300 SM- 135 M) sebagian kitab Deuterokanonika–yaitu Sirakh, Daniel, Tobit, Barukh–dalam bahasa Ibrani. Dengan demikian, gugurlah argumen bahwa kitab-kitab Deuterokanonika tidak ditulis dengan bahasa Ibrani.

Namun sebetulnya, yang perlu dilihat sebagai patokan adalah, para Bapa Gereja pada jemaat Kristen awal tidak  meragukan keaslian/ otentisitas kitab-kitab ini. Silakan membaca di link ini, silakan klik, untuk mengetahui bahwa para Bapa Gereja tidak pernah meragukan keotentikan kitab- kitab Deuterokanonika, dan bahkan mengutip ayat- ayat dalam Kitab tersebut dalam pengajaran mereka. [Tulisan para Bapa Gereja yang mengutip kitab- kitab Deuterokanonika dalam ajaran mereka adalah:  Didache, Klemens, Polikarpus, Irenaeus, Hippolytus, Cyprian, Agustinus dan Hieronimus].

Walaupun sekarang umat Yahudi umumnya menerima hasil konsili Jamnia (Javneh), harus diakui bahwa tidak semua komunitas Yahudi menerima otoritas konsili Jamnia ini. Umat Yahudi di Ethiopia, misalnya, memilih kanon yang sama dengan kanon PL yang ditetapkan oleh Gereja Katolik, yang memasukkan kitab- kitab Deuterokanonika (cf. Encyclopedia Judaica, vol. 6, p. 1147). Demikian pula sebenarnya, Gereja tidak perlu menerima otoritas konsili Jamnia, sebab: 1) Konsili agama Yahudi yang dilakukan setelah Kristus bangkit,  tidak mengikat umat Kristiani, sebab kuasa mengajar telah diberikan kepada para rasul dan para penerusnya, dan bukan kepada pemimpin agama Yahudi; 2) Konsili Jamnia menolak semua dokumen yang malah menjadi dasar sumber iman Kristiani, yaitu Injil dan kitab- kitab Perjanjian Baru. 3) Dengan menolak kitab- kitab Deuterokanonika ini, konsili Jamnia menolak kitab- kitab yang dipegang oleh Yesus dan para rasul, yang telah termasuk di dalam Kitab Suci mereka yaitu Septuaginta. Adalah fakta bahwa 2/3  kutipan  dalam kitab Perjanjian Baru sendiri diambil dari Septuaginta dan bukan dari kitab berbahasa Ibrani.

3.Kitab-kitab yang termasuk Deuterokanonika

Kitab-kitab yang termasuk Deuterokanonika ini adalah:

  1. Tobit
  2. Yudit
  3. Tambahan kitab Ester
  4. Kebijaksanaan
  5. Sirakh
  6. Barukh, termasuk tambahan surat Yeremia
  7. Tambahan kitab Daniel
  8. 1 Makabe
  9. 2 Makabe

Kitab-kitab tersebut sudah termasuk di dalam kanon Kitab Suci sesuai dengan yang ditetapkan oleh Paus Damasus I dalam sinode di Roma tahun 382 dan kemudian ditetapkan kembali pada Konsili Hippo (393) dan di Konsili Carthage (397). Jika kita membaca isi kitab Deuterokanonika tersebut tidak ada yang bertentangan dengan isi Alkitab yang lain, sehingga sesungguhnya tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa kita-kitab tersebut ‘buruk’. Kitab tersebut malah memperjelas apa yang disampaikan dalam kitab Perjanjian Lama yang lain. Contohnya saja, di tambahan kitab Esther, ada uraian tentang mimpi Mordekai, surat penetapan Haman, doa Mordekai dan doa Esther, yang jika dibaca dalam kesatuan dengan Kitab Esther dalam kanon terdahulu dapat menjelaskan isi Kitab Esther secara lebih lengkap dan membuat ceritanya ‘make sense’. (Misalnya, di kitab terdahulu hanya disebut ada surat Haman, tetapi isi persisnya tidak dijabarkan, sedangkan di kitab tambahan Esther isi surat itu dijabarkan). Di sini jelaslah bahwa Tambahan Ester itu sebenarnya bukan tambahan, tetapi menjadi satu kesatuan dengan Kitab Ester.

4. Mengapa Luther dan Calvin menolak Kitab- kitab Deuterokanonika

Kemungkinan Luther mencoret kitab Deuterokanonika terutama karena tidak setuju dengan isi Kitab 2 Makabe yang mengajarkan untuk berdoa bagi keselamatan jiwa orang-orang yang telah meninggal, sebab Luther berpendapat bahwa keselamatan diperoleh hanya karena iman (Sola Fide). Martin Luther juga menganggap beberapa kitab dalam Perjanjian Baru sebagai “kitab deuterokanonika”, seperti halnya surat rasul Yakobus – yang disebutnya sebagai “Epistle of straw/ surat jerami”,  kitab Wahyu, dan surat Ibrani, karena kitab itu secara implisit mengutip kitab 2 Makabe 7, yaitu Ibr 11:35. Selanjutnya ada yang mengatakan bahwa gereja Protestan mencoret Kitab Deuterokanonika karena ingin mengikuti hasil konsili Jamnia, agar lebih sesuai dengan kitab asli dalam bahasa Ibrani yang diterima oleh umat Yahudi. Namun seperti telah dijabarkan di atas, sesungguhnya umat Kristen tidak perlu mengikuti hasil Konsili Jamnia. Karena konsili itu menolak Kristus, menolak Injil dan Perjanjian Baru, bagaimana mungkin kita bisa mempercayai bahwa mereka mempunyai otoritas dari Roh Kudus untuk menentukan kanon Kitab Suci?

Walaupun Luther menolak kitab- kitab Deuterokanonika, namun setelah bertentangan sendiri dengan para tokoh Protestan lainnya, akhirnya Luther tetap memasukkan kitab- kitab tersebut dalam Kitab Perjanjian Baru. Luther dan para pengikutnya kemudian menyebut kitab- kitab Deuterokanonika sebagai kitab- kitab Apokrif (tidak diilhami Roh Kudus). Namun demikian, Luther tetap memasukkan kitab- kitab Deuterokanonika tersebut di dalam terjemahan Kitab Suci yang disusunnya, sebagai tambahan/ appendix antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Hal ini berlangsung terus sampai tahun 1827, saat  The British and Foreign Bible Society mencoret atau membuang kitab- kitab Deuterokanonika dari kitab suci mereka.

Maka Kitab Suci versi Protestan yang ada sekarang, bukan saja tidak lengkap, jika dibandingkan dengan Kitab Suci dari Gereja Katolik, tetapi juga tidak lengkap jika dibandingkan dengan Kitab Suci yang umum mereka pakai selama sekitar 300 tahun (dari abad ke 16 sampai ke 19). Dan bahwa kitab suci Protestan sekarang ini usianya baru sekitar 150 tahun, dan ditetapkan oleh manusia, dan bukan oleh Tradisi turun temurun dari para rasul dan para Bapa Gereja. Tak dapat dipungkiri bahwa Luther menentukan sendiri kitab- kitab yang dianggapnya ‘lebih penting’ dari kitab- kitab yang lain berdasarkan pemahaman pribadinya; dan inilah yang kemudian mempengaruhi pandangan para pengikutnya. Sedangkan Gereja Katolik dalam menentukan kanon, tidak berdasarkan pemahaman pribadi melainkan dari bukti tertulis dari pengajaran para rasul dan Bapa Gereja, yang telah memasukkan kitab- kitab tersebut dalam tulisan mereka.

Jadi yang benar adalah Gereja Katolik tidak pernah menambah-nambah Kitab Suci, sebab memang dari sejak awal ditetapkan sudah demikian. Yang terjadi adalah pengurangan oleh pihak pendiri gereja Protestan, yang akhirnya diturunkan kepada generasi-generasi berikut dalam bermacam denominasi.

Mengapa Yesus memilih salib untuk menebus dosa manusia?

59

Pernahkan kita berfikir mengapa Yesus memilih penderitaan yang begitu berat sampai akhirnya mati di kayu salib untuk menyelamatkan manusia? Apakah tidak ada cara lain yang lebih mudah? St. Thomas Aquinas dalam Summa Theologica, Part III, q. 46. a 1 menjelaskan jawaban untuk pertanyaan “Apakah menjadi keharusan bagi Kristus untuk menderita [di salib] untuk menebus umat manusia?” Berikut ini adalah terjemahannya: (Silakan membaca selengkapnya dalam bahasa Inggris di link ini, silakan klik)

Keberatan 1: Kelihatannya tidak perlu bagi Kristus untuk menderita untuk menyelamatkan umat manusia. Sebab umat manusia tidak dapat dibebaskan kecuali oleh Allah…. dan tak ada satupun yang dapat mengharuskan Tuhan, sebab ini merupakan hal yang tidak sesuai dengan kemahakuasaan Tuhan. Maka kelihatannya tidak perlu Yesus menderita.

Keberatan 2: Apa yang merupakan keharusan adalah bertentangan dengan apa yang dilakukan tanpa paksaan. Kristus menderita karena kehendak-Nya sendiri, sebab tertulis, “Dia dianiaya, tetapi dia membiarkan diri ditindas dan tidak membuka mulutnya seperti anak domba yang dibawa ke pembantaian; seperti induk domba yang kelu di depan orang-orang yang menggunting bulunya, ia tidak membuka mulutnya.” (Yes 53:7). Yesus mempersembahkan diri-Nya atas kehendak sendiri. Maka kelihatannya tidak menjadi keharusan bagi Yesus untuk menderita disalib.

Keberatan 3: Selanjutnya, tertulis, “Segala jalan Tuhan adalah kasih setia dan kebenaran” (Mzm 25:10). Tapi kelihatannya tidak perlu bahwa Ia harus menderita, sebab di pihak-Nya sebagai Kerahiman Ilahi, Ia akan memberikan karunia-karunia dengan tanpa syarat, maka kelihatannya dapat diterima bahwa tidak perlu diadakan semacam “pembayaran hutang dosa”, dan juga di pihak Keadilan Ilahi, di mana manusia memang layak menerima hukuman yang kekal. Maka kelihatannya tidak perlu Kristus menderita untuk membebaskan manusia dari dosa.

Keberatan 4: Selanjutnya, kodrat malaikat yang lebih sempurna dari manusia… Tetapi Kristus tidak menderita untuk memperbaiki kodrat malaikat yang berdosa. Maka, kelihatannya, demikian juga tidak perlu Kristus menderita di salib bagi manusia.

Sebaliknya, tertulis (Yoh 3:14-15): “Dan sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal.”

Saya menjawab bahwa ….. terdapat beberapa arti terhadap kata “keharusan”. Di satu sisi itu berarti dimana kodratnya yang menentukan demikian; dan dalam hal ini maka nyata bahwa memang bukan keharusan, baik dari pihak Allah maupun dari pihak manusia bahwa Kristus harus menderita. Namun di sisi yang lain sesuatu dapat menjadi keharusan dari sesuatu sebab yang di luar dari dirinya; dan jika ini terjadi, ini adalah sebab yang efisien atau yang menggerakkan, sehingga dapat membawa semacam keharusan ….. Maka walaupun tidak menjadi keharusan bagi Kristus untuk menderita, jika dipandang dari keharusan yang memaksa, karena dari pihak Allah tidak ada yang memaksa-Nya, dan dari pihak Kristus, karena Dia menyerahkan diri-Nya dengan rela. Namun, dapat dikatakan bahwa penderitaan Kristus adalah suatu suatu keharusan, jika dilihat dari akhir/ tujuan maksudnya. Dan ini dilihat dalam tiga hal:

1. Dari sudut pandang kita yang dibebaskan oleh Sengsara-Nya sesuai dengan Yoh 3:14-15: “Dan sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal.”

2. Dari sisi Kristus, yang menerima kemuliaan-Nya melalui kerendahan Sengsara-Nya, dalam Luk 24:26: “Bukankah Mesias harus menderita semuanya itu untuk masuk ke dalam kemuliaan-Nya?”

3. Dari sisi Tuhan Allah Bapa, yang telah menentukan terlaksananya nubuat dalam Perjanjian Lama, seperti tertulis dalam Luk 22:22, “Sebab Anak Manusia memang akan pergi seperti yang telah ditetapkan…”Ia berkata kepada mereka: “Inilah perkataan-Ku, …., yakni bahwa harus digenapi semua yang ada tertulis tentang Aku dalam kitab Taurat Musa dan kitab nabi-nabi dan kitab Mazmur. Lalu Ia membuka pikiran mereka, sehingga mereka mengerti Kitab Suci. Kata-Nya kepada mereka: “Ada tertulis demikian: Mesias harus menderita dan bangkit dari antara orang mati pada hari yang ketiga.” (Luk 24:44-46). (Silakan membaca lebih lanjut tentang Yesus yang telah dinubuatkan oleh para nabi, di sini, silakan klik)

Jawaban terhadap keberatan 1: Ini adalah argumen berdasarkan keharusan dari pihak Allah, dan seperti telah disebutkan di atas, tidak ada keharusan dalam hal ini.

Jawaban terhadap keberatan 2: Ini adalah argumen berdasarkan keharusan dari pihak Kristus sebagai manusia, dan seperti telah disebutkan di atas, tidak ada keharusan dalam hal ini.

Jawaban terhadap keberatan 3: Bahwa manusia harus dibebaskan oleh Sengsara Kristus adalah sesuai dengan kasih setia Tuhan dan keadilan-Nya. Dengan keadilan-Nya sebab dengan Sengsara Kristus maka Kristus menebus (membayar lunas) dosa-dosa umat manusia dan manusia dibebaskan oleh keadilan Tuhan: dan dengan belas kasih-Nya sebab karena manusia sendiri tidak dapat menebus dosa dari semua kodrat manusia, menurut Rom 3:24-25, “dan oleh kasih karunia telah dibenarkan dengan cuma-cuma karena penebusan dalam Kristus Yesus. Kristus Yesus telah ditentukan Allah menjadi jalan pendamaian karena iman, dalam darah-Nya.” Dan belas kasih Tuhan akan semakin terlihat nyata daripada pengampunan dosa tanpa penebusan melalui kayu Salib. Oleh karena itu dikatakan, “Tetapi Allah yang kaya dengan rahmat, oleh karena kasih-Nya yang besar, yang dilimpahkan-Nya kepada kita, telah menghidupkan kita bersama-sama dengan Kristus, sekalipun kita telah mati oleh kesalahan-kesalahan kita…” (Ef 2:4-5)

Jawaban untuk Keberatan 4: Dosa dari para malaikat adalah sesuatu yang tak dapat diobati, namun tidak demikian dengan dosa manusia pertama (lihat Summa Theologica, I, q. 64, a. 2)

Dengan melihat uraian di atas, maka memang sebenarnya bukan menjadi suatu keharusan mutlak bagi Kristus untuk menderita di salib bagi kita, namun memang itulah yang dipilih-Nya, dan ini sudah direncanakan-Nya sejak awal mula dunia. Sebab Allah sudah mengetahui segala sesuatunya, bahwa manusia pertama akan jatuh dalam dosa, dosa asal inilah yang akan diturunkan kepada semua umat manusia, dan karena manusia tak dapat menebus dosanya sendiri, maka Allah memutuskan untuk mengutus Putera-Nya sendiri untuk menebus dosa manusia dengan sengsara-Nya di kayu salib. Penderitaan yang tak terlukiskan di kayu salib tersebut adalah bukti kasih Allah yang tiada terbatas, dan juga bukti keadilan yang sempurna, yang menunjukkan kejamnya akibat dosa, yang harus dipikul oleh Kristus, untuk membebaskan kita manusia dari belenggu dosa. Maka walaupun setetes darah-Nya sebenarnya cukup untuk menebus seluruh dosa manusia, namun Yesus justru mau menyatakan yang lebih sempurna dan “superabundant” daripada itu. Sebab Ia mau menunjukkan kasih yang melebihi dari apa yang disyaratkan, kasih yang mengatasi segalanya. Kerendahan hati Yesus yang ditunjukkan-Nya dengan kerelaan-Nya menjadi manusia dan menderita di kayu salib merupakan “obat penawar”/ antidote bagi dosa asal Adam, yaitu kesombongan ingin menjadi/ menyamai Allah. Ketaatan Kristus terhadap kehendak Allah Bapa menawarkan ketidak-taatan Adam kepada Allah (lih. Rom 5:19). Semoga dengan menghayati hal ini, kita semakin menghargai pengorbanan Kristus di kayu Salib, dan berusaha sedapat mungkin menjauhkan diri kita dari dosa yang memisahkan kita dari Allah.

Pilihan pengosongan diri

0

Supaya kita sungguh –sungguh merdeka, Kristus telah memerdekakan kita. Karena itu berdirilah teguh dan jangan mau lagi dikenakan kuk perhambaan. (Galatia 5:1)

Manakah yang lebih enak, memiliki segala yang dibutuhkan dan bisa memperoleh semua yang diinginkan, atau mengalami keterbatasan dalam banyak hal sehingga merasakan pengalaman tidak mempunyai hal-hal yang didambakan dan tak berdaya mencegah kehilangan hal-hal yang dibutuhkan? Tentu saya kesulitan untuk menetapkan jawaban pada pilihan yang kedua. Bila pertanyaannya mana yang enak, pastilah saya memilih yang pertama. Tetapi dalam karunia Tuhan yang bernama hidup ini, ternyata ada hal-hal lain untuk diraih yang bukan hanya mengenai enak dan tidak enak. Dan hal-hal lain itu sebenarnya justru hal-hal yang paling penting di dalam kehidupan ini dan sesudahnya.

Di dalam masa puasa dan pantang seperti saat ini, ketika saya sedang menahan lapar dan membatasi berbagai keinginan hati saya untuk memuaskan kesenangan diri dan ego pribadi, saya digoda oleh beberapa pertanyaan yang mengusik. Misalnya, bukankah Tuhan sudah menciptakan berbagai kebaikan dalam makanan dan minuman, indra pencecap untuk menikmatinya, serta mengijinkan terbentuknya berbagai benda dan fasilitas yang indah untuk membuat hidup menjadi indah dan nikmat seperti yang Dia maksudkan bagi umat ciptaan-Nya? Mengapa harus menarik diri dari semua itu, apa manfaatnya?

Pada suatu hari saya membaca terjadinya peristiwa unik di sebuah desa di Spanyol yang bernama Sodeto. Di bulan Desember tahun lalu, seluruh penduduk desa itu memenangkan lotre dengan hadiah senilai hampir Rp 8,5 triliun, sehingga masing-masing penduduk mendapatkan Rp 1,1 miliar. Lotre memang sesuatu yang umum di banyak negara di Eropa, dan cukup populer di banyak kalangan di masyarakat. Di tengah sukacita seluruh desa, hanya satu orang yang bersedih, karena kebetulan saat itu ia tidak ikut membeli karcis lotre. Tetapi sukacita itu tidak berlangsung lama. Karena semua orang sudah kaya, maka tidak ada lagi yang mengusahakan tersedianya barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hendak ke toko membeli susu, pemilik toko menutup tokonya, merasa tidak perlu berjualan lagi karena sudah kaya. Hendak ke salon juga salonnya tutup semua. Keadaan serba berpunya dan merasa serba terpenuhi membuat saling melayani antar sesama tidak terjadi lagi.

Ketika Yesus Kristus Tuhan kita dengan sukarela menyerahkan segala kekuasaan yang ada pada diri-Nya sebagai Allah untuk mengalami ketidakberdayaan manusia ciptaan dalam berhadapan dengan dosa dan penderitaan, Tuhan mengajarkan kita untuk menggunakan kehendak bebas kita untuk tujuan yang tepat. Kalau mau, tentu Tuhan sangat leluasa untuk memilih jalan yang lebih mudah dan lebih enak untuk menebus dosa manusia. Tetapi justru keputusan-Nya secara bebas adalah untuk masuk dalam penderitaan manusia dengan segenap kehinaan dan pengosongan diri yang total. Tidak hanya sama dengan manusia, bahkan lebih rendah lagi, penuh nista dan kesengsaraan.

Memilih dengan bebas dan sadar untuk menahan diri terhadap segala kebiasaan yang berdosa dan membatasi untuk menyenangkan diri sendiri memberi saya kesempatan untuk mengenali diri sendiri. Pengekangan diri adalah awal dari benih-benih ketaatan kepada Sang Pencipta, karena kita dengan sukarela menyerahkan kesempatan untuk memanjakan diri menjadi sarana untuk memurnikan diri kita. Pada saat keadaan kita lapar, terbatas, dan tidak berpunya, hati kita diarahkan kepada kebutuhan kita yang sesungguhnya akan kasih setia Tuhan. Berbagai gelimang kesuksesan dan kemudahan hidup sering mengaburkan kerinduan jiwa kita yang sebenarnya untuk bersama dengan Tuhan. Kekayaan, kehormatan dan kecukupan hidup yang terlalu diagungkan dapat mengurangi kepekaan kita terhadap penderitaan sesama. Orang kaya dalam perumpamaan yang dikisahkan Yesus bukan dihukum karena kekayaannya, namun karena ia begitu tenggelam di dalamnya dan membiarkan kekayaannya itu membutakan mata hatinya terhadap penderitaan Lazarus yang terjadi di depan pintu rumahnya. Di saat berbagai keinginan dan ego diredam, kepekaan saya kepada keadaan sesama di sekitarku dipertajam. Merasakan penderitaan dan kekurangan adalah jalan masuk kepada kepedulian dan belas kasihan yang murni. Di dalam solidaritas saya kepada yang lemah, saya menjadi mudah bersyukur atas hal-hal yang kecil dan membuat saya lebih mudah untuk merasa bahagia. Dalam menahan diri untuk tidak menonjolkan diri, kerendahan hatiku diasah, dan kesombonganku ditundukkan, kehausanku akan pengakuan dan citra diri diubahkan menjadi kehausan akan cinta Tuhan. Akhirnya, sama ketika kita datang ke dalam hidup ini dengan tidak membawa apa-apa dan menyandang apa-apa kecuali kasih Tuhan yang menciptakan kita, kelak kita akan kembali kepada Tuhan dengan tidak membawa apa-apa pun juga kecuali bergantung sepenuhnya kepada kemurahan kasih dan kerahiman-Nya.

Tuhan membutuhkan kesediaan kita dan penyerahan kehendak bebas kita supaya rahmat-Nya dapat bekerja. Tuhan tidak pernah memaksa kita, tetapi kita tahu apa yang kita hadapi bila kita memilih untuk tidak bersama Tuhan. Bila kita belajar untuk taat dan merendahkan diri di hadapan Tuhan, damai sejahtera dan sukacita akan menyelimuti kita, sukacita yang tidak sama dan tidak dapat diberikan oleh dunia ini, yang serba sementara dan menuju kepada kesudahannya. Masa Prapaska adalah masa penyadaran kembali tujuan hidup kita yang sebenarnya. Bersama Kristus yang dengan rela menyerahkan seluruh hidup-Nya supaya Ia dapat menyertai kita hingga selamat sampai ke rumah Bapa, marilah kita memilih dengan bebas untuk mengosongkan diri dan membiarkan diri kita dialiri sepenuhnya dengan kuasa kasih dan damai-Nya yang memberi hidup.

Dan apabila Aku telah pergi ke situ dan telah menyediakan tempat bagimu, Aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempat-Ku, supaya di tempat di mana Aku berada, kamupun berada. (Yoh 14:3). Tuhan senantiasa rindu untuk bersama kita setiap saat, baik di dalam kehidupan sekarang di dunia ini, maupun (dan apalagi) di dalam kekekalan nanti. Kita hanya perlu mengatakan “ya” dengan taat dan memutuskan untuk memilih menggunakan kehendak bebas kita demi teladan cinta-Nya. (Triastuti)

Apakah Kitab Suci dan Tradisi Suci Menentang Keutamaan Petrus?

2

Ayat- ayat Kitab Suci yang mendukung keutamaan Petrus salah satunya memang Mat 16:18, namun bukan hanya itu saja. Silakan membaca artikel ini: Keutamaan Petrus menurut Kitab Suci, silakan klik, untuk melihat dasar- dasar ayat Kitab Sucinya. Berikut ini adalah beberapa jawaban tentang keberatan keutamaan Petrus.

1. Tentang Petros dan Petra

Nampaknya Anda mempersoalkan tentang istilah Petros (maskulin) dan Petra (feminin), namun tentang hal ini sudah pernah di bahas di sini, silakan klik, silakan jika Anda tertarik untuk membaca di sana tentang topik ini.  Pemahaman tentang istilah ini memang penting namun keutamaan Petrus tidak semata ditentukan oleh istilah ini, mengingat bahwa Kristus kemungkinan besar menggunakan bahasa Aram pada saat berbicara kepada Simon, saat menamai dia dengan sebutan Kefas (Batu Karang) sebagaimana disebutkan oleh Rasul Yohanes dalam Injilnya (Yoh 1:42), dan Rasul Paulus dalam surat-suratnya (lih. 1Kor 1:12;3:22;15:5; Gal 1:18).

2. Batu Karang tetapi menjadi batu sandungan?

Tidak ada yang bertentangan antara ditunjuknya Petrus sebagai ‘batu karang’/ pondasi Gereja dengan kegagalan Petrus memahami misi Kristus sebagai Mesias, sehingga ia disebut sebagai ‘batu sandungan’ (Mat 16:24). Sebab memang pada saat Yesus masih berada di tengah para Rasul, tidak ada dari mereka yang benar-benar mengerti akan apa yang dikatakan oleh Yesus tentang hubungan antara sengsara dan kematian-Nya dengan rencana keselamatan Allah. Para Rasul baru memperoleh pemahaman yang benar tentang hal ini, ketika Kristus telah bangkit dan lalu mengirimkan Roh-Nya pada hari Pentakosta. Baru setelah itu, secara berani Petrus berkhotbah kepada orang banyak mengenai misteri Paskah Kristus (lih. Kis 2: 14-40). Maka, justru kelemahan Rasul Petrus sebelum menerima pencurahan Roh Kudus ini, lebih lagi menggambarkan kebenaran firman Tuhan bahwa memang Tuhan memilih apa yang lemah kecil di mata manusia, untuk menunjukkan kuasa Allah yang bekerja atasnya. Dengan demikian, tergenapi sabda Allah ini, “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” (2 Kor 12:9)

Maka kelemahan Rasul Petrus tidak menghalangi rencana Kristus yang memilihnya sebagai batu karang bagi Gereja. Hal ini bahkan diakui oleh ahli Kitab Suci yang non-Katolik, yang bernama W.F Albright, yang mengatakan, “Menolak keutamaan kedudukan Petrus di antara para murid ataupun di kalangan komunitas Kristen awal merupakan sebuah pengingkaran bukti-bukti…. Perhatian kepada kegagalan dan sifat Petrus yang mudah berubah tidak menariknya dari keutamaan ini; melainkan malah menekankannya…” (W.F. Albright and C.S. Mann, The Anchor Bible: Matthew (Garden City, New York: Double Day& Co., 1971), p. 195). Justru dengan menggunakan kelemahan Petrus, Allah menunjukkan kuasa-Nya untuk mendirikan dan membangun Gereja-Nya.

3. Batu Karang adalah Kristus bukan Petrus?

Kitab Suci tidak pernah mengatakan bahwa istilah ‘Batu Karang’ ini hanya untuk ditujukan kepada Kristus. Memang Kristus adalah Batu Karang sebagaimana disebutkan dalam 1Kor 10:4, namun istilah ‘batu karang’ juga ditujukan kepada Petrus dalam Mat 16:18. Hal ini seperti bahwa Kristus adalah Terang Dunia (Yoh 9:5), walaupun kita para murid Kristus juga disebut terang dunia (lih. Mat 5:14). Kita menjadi terang dunia dengan mengambil bagian dalam Sang Terang dunia yaitu Kristus; demikian pula Petrus menjadi batu karang yang atasnya Gereja didirikan, karena Petrus mengambil bagian dalam Kristus Sang Batu Karang.

Dalam menginterpretasikan Kitab Suci, kita selayaknya tidak mengabaikan arti literalnya. Jika suatu ayat juga memiliki arti simbolis, bukan berarti arti literal ayat itu dapat dibuang begitu saja. Maka, di ayat Mat 16:18, ‘batu karang’ di sini dapat diartikan literal sebagai nama Petrus, dan diartikan secara simbolis (alegoris) bahwa yang dimaksud adalah pengakuan iman Petrus. Gereja Katolik menerima kedua arti ini.

4. Apakah ada Bapa Gereja yang menentang keutamaan Rasul Petrus?

4.1. St. Siprianus/ St. Cyprian dari Khartage (200-258)

Ada yang mengutip tulisan dari St. Siprianus sebagai berikut: “Setelah kebangkitanNya, Ia menganugerahkan kuasa yang setara atas semua rasul-rasul… Tentunya Para Rasul lainnya juga sama dengan Petrus, dikaruniai dengan suatu persekutuan yang sederajat dalam kedudukan dan kuasa.” (St. Cyprian of Chartage, Treatise I: On The Unity Of The Church, IV:12,13)

Kami tidak menemukan kutipan semacam itu dalam tulisan St. Siprianus. Keseluruhan tulisan On the Unity of the Church (chapter 4) dapat dibaca di link ini, silakan klik

Namun seandainya ada kutipan itu, pengertian “sederajat dalam kedudukan dan kuasa” di sini mengacu kedudukan para rasul yang sama- sama adalah rasul Kristus, yang diberi kuasa untuk mengikat dan melepaskan (lih. Mat 18:18), dan mengampuni dosa (Yoh 22:21-23). Namun demikian, St. Siprianus juga tetap mengakui keutamaan Rasul Petrus sebagai pemimpin para rasul, sebab St. Siprianus menulis demikian:

a. Pengajaran St. Siprianus

“Tuhan berkata kepada Petrus: “Aku berkata kepadamu,” Ia berkata, “bahwa engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku, dan alam maut tidak akan menguasainya. Dan kepadamu aku akan memberikan kunci Kerajaan Surga: dan apapun yang kamu ikat di dunia akan terikat di surga dan apapun yang kamu lepaskan di dunia akan terlepas di Surga.” Dan lagi Ia berkata kepadanya setelah kebangkitan-Nya, “Gembalakanlah domba- domba-Ku.” Atasnya Ia mendirikan Gereja-Nya, dan kepadanya Ia memberikan perintah untuk menggembalakan domba- domba-Nya; dan meskipun Ia memberikan kuasa serupa kepada semua rasul-Nya, namun Ia mendirikan [hanya] satu kursi kepemimpinan; dan Ia mendirikan dengan kuasa-Nya sendiri sebuah sumber dan alasan mendasar untuk kesatuan itu. Memang para rasul yang lain ada di mana Petrus berada, namun keutamaan diberikan kepada Petrus, di mana sudah dinyatakan dengan jelas bahwa hanya ada satu Gereja dan satu kursi kepemimpinan. Demikian pula, semua gembala dan kawanan dombanya dinyatakan satu, yang diberi makan oleh semua Rasul dengan pemikiran yang satu. Jika seseorang tidak berpegang pada kesatuan dengan Petrus ini, dapatkah ia membayangkan bahwa ia masih memegang iman? Jika ia mengabaikan kursi kepemimpinan Petrus yang atasnya Gereja didirikan, dapatkah ia masih yakin dan percaya bahwa ia berada di dalam Gereja?” (St. Cyprian, The Unity of the Church, 4, (251-256) in Jurgens, Faith of the Early Fathers, 1:220. According to St. Cyprian, The See of Rome is ecclesia principalis unde unitas sacerdotalis exorta est, “The Church which persides in Love” (Gereja yang memimpin di dalam kasih), seperti dikutip dalam John Meyendorff, The Primacy of Peter,  (Crestwood: New York: St. Vladimir’s Seminary Press, 1992) p. 98-99)

“Hanya ada satu Tuhan dan satu Kristus, dan satu Gereja dan satu kursi kepemimpinan yang didirikan di atas Petrus, oleh perkataan Tuhan Yesus. Tidaklah mungkin untuk membangun altar yang lain atau imamat yang lain di samping altar yang satu dan imamat yang satu itu. Siapapun yang berkumpul di luar kesatuan itu, akan tercerai berai.” (St. Cyprian, Letter of Cyprian to All His People [43 (40),5] in Jurgens, Faith of the Early Fathers, 1:229)

b. Surat St. Siprianus kepada Paus Kornelius di Roma (252)

Dalam suratnya kepada Paus Kornelius di Roma (252), St. Siprianus menulis:

“Dengan uskup yang mereka tunjuk sendiri oleh para heretik, mereka bahkan berlayar dan membawa surat- surat dari para skismatik dan bidat kepada kursi kepemimpinan Petrus dan pimpinan Gereja, di mana kesatuan imamat mempunyai sumbernya; namun mereka [para bidat] tidak berpikir bahwa mereka [Gereja Roma] ini adalah jemaat Roma, yang imannya dipuji oleh Rasul pengkhotbah dan di antara mereka tidak mungkin kesesatan dapat masuk.” (Letter of Cyprian to Cornelius of Rome 59, 14, in Jurgen, Faith of the Early Fathers, 1: 232)

c. Surat St. Siprianus kepada Antonianus, Uskup Numidia (252)

“Kamu menulis juga bahwa saya harus meneruskan kepada Kornelius [Uskup Roma], kolega kita, salinan dari suratmu, sehingga beliau dapat mengesampingkan semua keresahan dan mengetahui langsung bahwa kamu berada di dalam persekutuan dengan beliau, yaitu dengan Gereja Katolik.” (Letter of Cyprian to Antonianus, a Bishop in Numidia 55(52), 1, (251-252), in Jurgens, Faith of the Early Fathers, 1:230)

Di sini diketahui bahwa St. Cyprian mengajarkan bahwa untuk berada dalam persekutuan dengan seluruh Gereja Katolik, seseorang harus berada dalam persekutuan langsung dengan Uskup Roma.

“Ketika penganiayaan sudah reda, dan kesempatan untuk bertemu memungkinkan; sejumlah besar uskup Afrika …. bertemu bersama … Dan jika sejumlah uskup di Afrika tidak puas, kamu juga menulis ke Roma, kepada Kornelius [Paus], kolega kita tentang hal ini, yang juga akan mengadakan konsili dengan banyak sekali uskup, yang setuju dalam satu pendapat seperti yang kita pegang.” (Letter of Cyprian to Antonianus, a Bishop in Numidia 51, 6, (251-252), ANF, 5:328)

Melalui surat ini St. Siprianus menyatakan praktek yang terjadi dalam menangani perbedaan pendapat di keuskupannya, dengan mengakui keutamaan Uskup Roma.

“Kornelius dijadikan Uskup [Uskup Roma] oleh keputusan Tuhan dan Kristus, oleh kesaksian hampir semua klerus, oleh dukungan orang- orang yang hadir pada saat itu, oleh kolese para imam yang terberkati, dan orang- orang yang baik lainnya, … di mana adalah tempat Petrus, martabat kursi kepemimpinan imamat. Sebab kursi terisi sesuai dengan kehendak Tuhan dan dengan persetujuan kita semua…. Sebab seseorang tidak dapat mempunyai jabatan gerejawi jika tidak memegang kesatuan dengan Gereja.” (Letter of Cyprian to Cornelius of Rome 55 (52), 8, in Jurgen, Faith of the Early Fathers, 1: 230)

d. St. Siprianus kepada Paus Stephen (254- 257)

“Siprianus kepada saudaranya [Paus] Stephen, salam …. Adalah pantas bagimu untuk menuliskan surat- surat kepada sesama uskup yang ditunjuk di Gaul, agar tidak menderita lagi karena Marcian….karena ia sepertinya tidak di-ekskomunikasi oleh kami …. Biarlah surat- surat ditujukan olehmu kepada provinsi dan orang- orang yang ada di Arles, yang dengan demikian, Marcian diekskomunikasi; [dan] orang lain dapat menggantikan kedudukannya… Sebab kehormatan dari para pendahulu kami, para martir Paus Kornelius dan Lucius, seharusnya dilestarikan… Tunjukkan kepada kami siapa yang ditunjuk menggantikan Marcian, sehingga kami mengetahui kepada siapa kami mengarahkan saudara- saudara kami, dan kepada siapa kami harus menulis [surat].” (St. Cyprian, To Father [Pope] Stephen, concerning Maricianus of Arles, who had joined himself to Novatian; Epistle LXVI, ANF 5:367-369)

Di sini terlihat bahwa dalam posisinya sebagai uskup, St. Siprianus tetap mengakui keutamaan dan kepemimpinan uskup Roma, sebab jika tidak, ia tidak perlu menulis demikian kepada Paus Stephen. Kenyataannya, St. Siprianus yang sering dianggap menentang kepemimpinan Paus tetap memohon kepada Uskup Roma (Paus Stephen) untuk melakukan kepemimpinan atas Gereja universal.

e. St. Siprianus kepada semua jemaatnya:

“Hanya ada satu Tuhan dan satu Kristus, dan satu Gereja dan satu Tahta yang didirikan di atas Petrus oleh Sabda Tuhan. Adalah tidak mungkin untuk memasang altar yang lain, atau imamat yang lain di samping altar yang satu dan imamat yang satu. Barangsiapa yang mengumpulkan di tempat lain akan tercerai berai.” (Letter of Cyprian to All His People [43 (40),5] in Jurgens, Faith of the Early Fathers, 1: 229)

Maka tidak benar kalau dikatakan St. Siprianus menentang keutamaan Rasul Petrus dan para penerusnya. Kecenderungan dari mereka yang mengatakan demikian adalah, mereka mengutip sedikit tulisan St. Siprianus yang nampaknya mendukung pandangan mereka namun mereka tidak mengutip tulisan-tulisan St. Siprianus yang lainnya yang jelas menunjukkan bahwa St. Siprianus mengakui keutamaan Rasul Petrus dan para penerusnya.

4.2. St. Yohanes Krisostomus (349-407)

“Di atas batu karang ini Aku akan membangun. Ini adalah atas Pengakuan Imannya.”
(St. John Chrysostom, Homilies On The Gospel Of St.Matthew, LIV.3:17-18)

Tidak ada masalah dengan kutipan ini, sebab Gereja Katolik selain menerima arti literal ‘batu karang’ sebagai Petrus, juga menerima arti simbolisnya, yaitu sebagai pengakuan iman Petrus. Selanjutnya, perlu disimak bahwa St. Yohanes Krisostomus juga mengatakan demikian:

“[Yesus] berkata kepadanya, “Gembalakanlah domba- domba-Ku”. Dan mengapa… ia berkata demikian kepada Petrus? Ia adalah seorang yang dipilih dari para Rasul, [menjadi] juru bicara bagi para murid, pemimpin kelompok; karena itu juga Paulus pergi mengunjunginya untuk bertanya kepadanya dan bukan kepada orang lain. Dan pada saat yang sama…. Yesus meletakkan ke dalam tangannya otoritas tertinggi di antara para saudara; …. “Jika kamu mengasihi Aku, gembalakanlah saudara- saudaramu.” (St. John Chrysostom, Homilies on John 88, 1. NPNF I, 14:331.)

“Untuk apa Ia menumpahkan darah-Nya? Adalah agar Ia dapat memenangkan domba- domba-Nya yang dipercayakan-Nya kepada Petrus dan para penerusnya.” (St. John Chrysostom, De Sacerdotio, 53)

Petrus sendiri adalah pemimpin kepala para Rasul, yang pertama di dalam Gereja, sahabat Kristus, yang menerima wahyu bukan dari manusia tetapi dari Allah Bapa, sebagaimana dikatakan Tuhan Yesus dengan berkata, “Diberkatilah engkau Simon anak Yohanes, sebab daging dan darah tidak menyatakannya kepadamu, tetapi Bapa-Ku yang di surga; inilah Petrus, dan ketika Aku menamai dia Petrus, Aku menamakan batu karang yang tidak terputus, fondasi yang kuat itu, Rasul yang besar yang pertama dari para murid, yang pertama dipanggil dan yang pertama taat.” (St. John Chrysostom, Homily 3 de Poenit, 4, in Berrington dan Kirk, Ibid ., 2:31)

“…  sebab kepadanya [Petrus] Kristus telah berkata, “Dan ketika kamu sudah insaf, kuatkanlah saudara- saudaramu.” (St. John Chrysostom, Homily 3, in Acts, NPNF 1, 11:20)

“Apa yang dapat lebih rendah hati daripada jiwa itu [Paulus]? Setelah kesuksesannya, yang tidak kalah dengan Petrus…, tetapi dengan martabat yang sama dengan dia, ia datang kepadanya sebagai penatuanya dan superiornya. Satu- satunya tujuan dari perjalanannya adalah untuk mengunjungi Petrus; dan menunjukkan penghormatan kepada para rasul…. Ia mengatakan, “untuk mengunjungi Petrus”, dia tidak mengatakan untuk melihat/ bertemu, tetapi untuk mengunjungi (ἱστορέω), kata yang digunakan untuk menunjukkan tentang mereka yang mencari pengetahuan/ pengalaman akan suatu kota yang besar dan indah, dan menerapkannya dalam diri mereka sendiri. Dia menganggap layak semua kesukaran agar ia dapat melihat Petrus; dan ini muncul dalam Kisah para rasul juga.” (St. John Chrysostom, Commentary on Galatians 1, 18, NPNf 1, 13:12-13)

Selanjutnya, pengakuan St. Yohanes Krisostomus akan Paus ditunjukkan saat mengirim surat kepada Paus Innocentius I untuk memperoleh koreksi dari keputusan yang ditujukan melawan dia, dan pembatalan hukuman yang dijatuhkan kepadanya, dan penegasan sangsi kepada mereka yang telah melanggar hukum kanon. (cf.  Joseph Hergenrother, Anti Janus, (Dublin: W.B. Kelly, 1870), p. 130-131)

Maka walaupun St. Yohanes Krisostomus pernah mengatakan tentang Yakobus dan tahta Yerusalem (yang sering dipahami sebagai keuskupan/ tahta pertama di Gereja), namun St. Yohanes Krisostomus memahami bahwa posisi keuskupan Yerusalem berada di bawah panggilan St. Petrus. Krisostomus menulis, “Jika seseorang bertanya, “Bagaimana Yakobus menerima tahta di Yerusalem? Aku akan menjawab, bahwa Ia menunjuk Petrus sebagai guru, tidak di Yerusalem, tetapi di dunia.” (St. John Chrysostom, Homily 88, 1, on St. John, NPNF 1, 14:332)

4.3. St. Agustinus dari Hippo (354-430)

Mereka yang menolak keutamaan Rasul Petrus kadang mengutip perkataan St. Agustinus yang dianggap mendukung pandangan mereka:

“Dengan memandang bahwa Kristus adalah batu karang (Petra), Petrus adalah umat Kristen. Sebab batu karang (Petra) adalah sebutan aslinya. Oleh karena itu Petrus disebut dari batu karang, bukan batu karang dari Petrus; sebagaimana Kristus tidak disebut dari Kristen, namun Kristen dari Kristus. Oleh karena itu, Dia berkata, “Engkau adalah Petrus; dan di atas Batu Karang ini” yang mana telah engkau akui, diatas Batu Karang ini yang mana telah engkau nyatakan, dengan berkata, “Engkau adalah Kristus, Putera Allah yang hidup’ akan Kubangun GerejaKu;” yaitu atas DiriKu Sendiri, Putera dari Allah yang hidup, “akan Kubangun GerejaKu.” Aku akan membangunmu diatas DiriKu Sendiri, bukan Diri-Ku Sendiri diatasmu.” (St. Augustine of Hippo, Sermon XXVI. 1:2)

Memang sepertinya dari kutipan ini St. Agustinus mengartikan ‘Batu karang’ sebagai Kristus yang kepada-Nya Petrus menyatakan imannya. Namun kemudian St. Agustinus mempertimbangkan kembali tulisannya ini. Kita ketahui, di saat usianya yang lanjut (72 tahun, 4 tahun sebelum ia wafat) St. Agustinus menuliskan semacam buku review (tinjauan ulang) akan semua tulisan/ ajarannya yang terdahulu dalam suatu tulisan yang diberi judul Retractions yang artinya ‘pertimbangan kembali’. Di sana ia memperjelas maksud pernyataannya tentang hal ini, dan bahwa Batu Karang dalam perikop Mat 16:18 mengacu baik kepada Kristus yang kepada-Nya Petrus menyatakan imannya, maupun kepada Petrus itu sendiri, karena pengakuan imannya itu:

“Di dalam sebuah perikop di buku ini, saya berkata tentang Rasul Petrus: “Di atasnya Gereja didirikan.” Ide ini juga dinyatakan dalam nyanyian oleh banyak orang di dalam bait yang dikarang oleh St. Ambrosius … Tetapi saya mengetahui hal itu sering di kemudian hari, maka saya menjelaskan apa yang dikatakan Tuhan: “Kamu adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku, “bahwa ini untuk diartikan bahwa [Gereja] didirikan di atas Ia [Kristus] yang di atasnya Petrus mengakui: Engkau adalah Kristus, Anak Allah yang hidup,” dan karena itu Petrus, yang dipanggil setelah batu karang ini, mewakili orang-orang di Gereja yang didirikan di atas batu karang ini, dan telah menerima “kunci- kunci Kerajaan Surga.” Sebab ‘batu karang ini adalah Kristus’, dan dengan mengakui-Nya, seperti juga seluruh Gereja mengakui-Nya, Simon disebut sebagai Petrus. Tetapi biarlah para pembaca memutuskan manakah dari kedua pendapat ini yang lebih mungkin.” (Retractationes 1,20,1, in St. Augustine: The Retractations, trans, Sis. Mary Inez Bogan (Washington DC: Catholic University of America Press, 1968), 60:90-91)

Dengan demikian, St. Agustinus tidak menolak arti literal ‘batu karang’ itu sebagai Petrus, dan di atasnya Gereja didirikan. St. Agustinus tidak pernah meragukan kepemimpinan Rasul Petrus dan para penerusnya, hal ini terlihat jelas dalam suratnya kepada para heretik/ bidat Donatisme:

“Sebab jika jalur suksesi para uskup harus diperhitungkan, dengan kepastian yang lebih tinggi dan menguntungkan bagi Gereja, kita menghitung kembali sampai kepada Petrus sendiri, kepada siapa, sebagai yang mengemban figur seluruh Gereja, Tuhan berkata: ‘Di atas batu karang ini Aku mendirikan Gereja-Ku, dan alam maut tidak akan menguasainya!’ Penerus Petrus adalah Linus, dan para penerusnya dalam kesinambungan yang tidak terputus adalah: Klemens, Anakletus, Evaristus, Alexaner, Sixtus, Teleforus, Iginus, Anicetus, Pius, Soter, Eleutherius, Victor, Zephirinus, Calixtus, Urbanus, Pontianus, Antherus, Fabianus, Cornelius, Luciu, Stefanus, Xystus, Dionisius, Felix, Eutychianus, Gaius, Marcellinus, Marcellus, Eusebius, Miltiades, Sylvester, Marcus, Julius, Liberius, Damasus, dan Siricius yang digantikan oleh Uskup Anastasius saat ini. Dalam jalur apostolik ini tidak ditemukan satupun Uskup Donatis.” (St.Letters of St. Augustine 53, 3, NPNF 1, 1:298. Donatisme adalah aliran sesat yang berkembang pada masa St. Agustinus hidup)

Di sini kita melihat adanya pernyataan yang kuat dari St. Agustinus, yang mendukung keutamaan Uskup/ Paus di Roma, untuk menolak ajaran sesat. St. Agustinus memberikan dasar untuk menolak para bidat dengan menyatakan adanya tradisi dan suksesi kepemimpinan apostolik di dalam Gereja Katolik. St. Agustinus menanyakan secara rethorik, “Apakah para Donatist mempunyai klaim kebenaran kepada kebenaran? Tidak. Dapatkah mereka mengklaim suksesi apostolik dari Petrus sendiri? Tidak.” Oleh karena itu mereka tidak di dalam Gereja dan tidak dapat mengklaim kembali sampai kepada para rasul. (Ibid.)

Selanjutnya, dalam suratnya menanggapi penyerangan yang dilakukan para bidat kepada Caecilianus, Uskup Carthage, St. Agustinus menulis demikian:

“Kota itu (Carthage) mempunyai seorang uskup yang otoritasnya tidak kecil, yang mampu untuk tidak mempedulikan banyaknya para musuhnya yang bersekongkol menyerang dia, ketika ia [Caecilianus] melihat dirinya bersatu dalam surat persekutuan, baik dengan Gereja Roma, yang di dalamnya keutamaan tahta apostolik [apostolicae cathedrae principatus] telah selalu diterapkan- dan dengan daratan yang lain- yang dari mana Injil datang ke Afrika itu sendiri, di mana ia dapat dengan siap sedia memohon tentang kasusnya, jika para penyerangnya berusaha mengasingkan gereja- gereja itu darinya.” (St. Augustine, Epistle 43,7, in Joseph Berrington and John Kirk, Faith of Catholics, ed. T.J. Capel, vol 2 (New York: F. Pustet & Co, 1885) p. 81-82)

Untuk menangani ajaran sesat yang terjadi di Afrika Utara, para Uskup, termasuk St. Agustinus, Uskup Hippo, mengirimkan surat untuk memperoleh konfirmasi resmi konsili mereka dari “tahta apostolik”/ Apostolic See. Surat tersebut diawali dengan perkataan, “Sebab Tuhan, dengan kelimpahan yang istimewa dari rahmat-Nya, telah menempatkan engkau di Tahta Apostolik…” Selanjutnya setelah Paus Innocentius I memutuskan mengenai masalah tersebut, mereka [214 para uskup itu termasuk St Agustinus] berkata:

“Kami yakin bahwa penilaian harus tetap seperti yang dikeluarkan oleh Uskup [Paus] Innocentius dari tahta Rasul Petrus yang terberkati…”

[Paus Innocentius] mengacu kepada semuanya, menulis kembali kepada kita dengan cara yang sama di mana adalah sah dan menjadi tugas Tahta Apostolik untuk menuliskannya.” (St. Augustine, Sermon 186, n.2, in Luke Rivington, The Primitive Church and the See of Peter, (London: Longmans, Green and Co., 1894), p. 290)

Kemudian demikianlah anjuran St. Agustinus kepada jemaat:

“Jawablah kepadanya [Paus Innocentius I], ya, seperti kepada Tuhan sendiri, yang kesaksian-Nya digunakan oleh uskup itu.” (St. Augustine, Lib., i.c. Julian c.4, in Rivington, Ibid.,p. 290)

Selanjutnya St. Agustinus juga menulis tentang peran Roma sebagai yang mengeluarkan kata terakhir tentang suatu ajaran tertentu. Ia mengacu kepada keputusan Paus dalan Konsili Carthage dan Milevis (416) yang mengecam ajaran sesat Pelagianisme:

Roma locuta est, causa finita est / Roma sudah bicara [memutuskan], kasus ditutup.” (St. Augustine, Sermons 131,10, William A. Jurgens, The Faith of the Early Fathers, (Collegeville, Minnesota: Liturgical Press), 3:28)

Terhadap para pengikut ajaran sesat Manichaeisme, St. Agustinus mengatakan keyakinannya akan otoritas Gereja Katolik:

“Jangan bicarakan tentang kebijaksanaan yang karenanya kamu [para Manichaean] tidak percaya ada di dalam Gereja Katolik, ada banyak hal lain yang lebih benar menjagaku tetap di dalam pangkuannya. Persetujuan berbagai bangsa menjagaku di dalam Gereja; demikian juga otoritasnya, diawali dengan mukjizat- mukjizat, dipelihara oleh pengharapan, dan diperluas oleh cinta kasih, dan dimantapkan oleh waktu. Suksesi para imam menjaga saya, dimulai dari tahta Petrus Rasul, yang kepadanya Tuhan setelah kebangkitan-Nya memberikan kuasa untuk memberi makan kepada domba- domba-Nya, sampai kepada keuskupan saat ini. … Sebab begitu banyak dan besar ikatan yang berharga yang dimiliki oleh suatu nama Kristen yang dengan benar menjaga seseorang yang adalah orang percaya di alam Gereja Katolik …Tak seorangpun dapat menggoyangkan saya dari iman yang telah mengikat pikiran saya dengan ikatan yang begitu banyak dan kuat dengan agama Kristen …. Sebab di pihak saya, saya tidak akan percaya kepada Injil kecuali jika otoritas Gereja Katolik mendorong saya.” (St. Augustine, Against the Epistle of Manichaeus 5,4-5, in Joseph Cullen Ayer, A Source Book for Ancient Church History, (New York: Charles Scribner’s Sons, 1948), p. 454-455, cf. NPNF 1, 4:130, 131)

Maka adalah tidak benar jika dikatakan bahwa St. Agustinus tidak mengakui keutamaan/ otoritas Rasul Petrus dan para penerusnya atas Gereja, karena begitu banyak tulisannya yang menyatakan sebaliknya. St. Agustinus bahkan menyatakan suatu fakta yang sering dilupakan orang, yaitu bahwa Injil yang ada pada kita sekarang ini ada, karena otoritas Gereja Katolik (yang dimulai dari tahta Petrus) itulah yang menyatakannya.

4.4 St. Ambrosius dari Milan (337-397)

St. Ambrosius menuliskan “Kemudian, Iman adalah dasar Gereja, sebab hal itu tidak dikatakan pada daging Petrus, namun pada imannya, bahwa gerbang-gerbang Hades tidak akan menguasainya. Namun Pengakuan Imannya telah mengalahkan Hades.” (St. Ambrose of Milan,The Sacrament Of The Incarnation Of Our Lord, IV:32-V:35)

Sekali lagi, kutipan ini juga tidak menjadi masalah bagi Gereja Katolik. Sebab Gereja Katolik memang menerima arti literal Batu karang sebagai Petrus ataupun secara allegoris sebagai pengakuan iman Petrus akan Kristus. Kutipan tulisan St. Ambrosius ini tidak membuktikan bahwa ia tidak mengakui keutamaan Petrus dan para penerusnya. Sebab St. Ambrosius tetap menganggap uskup Roma sebagai gembala Gereja universal. Bersama Sabinus, Bassian dan para uskup lainnya menulis kepada Paus Siricius, tahun 389, ia menyatakan demikian:

“Kami mengenali di dalam suratmu kesiagaan sebagai gembala yang baik. Engkau dengan setia menjaga pintu gerbang yang dipasrahkan kepadamu dan dengan perhatian yang saleh engkau menjaga kawanan Kristus (Yoh 10:7-), engkau layak mempunyai domba- domba yang mendengarkan dan mengikuti engkau. Sebab engkau mengenal para domba Kristus, engkau dengan mudahnya menangkap serigala- serigala dan melawan mereka sebagai gembala yang melindungi [dombanya], sebab jika tidak mereka mencerai beraikan kawanan domba Tuhan karena kekurangan iman mereka dan auman mereka yang bengis.” (Synodal Letter of  Ambrose, Sabinus, Bassian, and Others to Pope Siricius, 42, 1, in Jurgen, Faith of the Early Fathers, 2:148)

Kepada Petrus sajalah Ia [Kristus] berkata, “Engkau adalah Petrus, dan di atas batu karang ini aku akan mendirikan Gereja-Ku.” Di mana Petrus berada, Gereja berada. Dan di mana Gereja berada, tidak ada kematian, tetapi kehidupan kekal.” (St. Ambrose, Commentaries on Twelve of David’s Pslams 40, 30)

“… Petrus, setelah dicobai Iblis (Luk 22:31-32), ditempatkan atas Gereja. Karena itu, Tuhan, yang telah melihat hal tersebut sebelum terjadi, setelah itu memilihnya sebagai gembala kawanan domba Tuhan. Sebab kepadanya [Petrus] Ia berkata, tetapi kamu ketika telah insaf, kuatkanlah saudara- saudaramu.” (St. Ambrose, in Ps 43, n.40, in Joseph Berrington and John Kirk, Faith of Catholics, (New York: F. Pustet & Co, 1900), p. 26)

“Kristus adalah Sang Batu Karang, “Sebab mereka minum dari Batu Karang rohani yang mengikuti mereka, dan Batu Karang itu ialah Kristus’, dan Ia tidak menolak untuk mengaruniakan gelar ini bahkan kepada murid-Nya, sehingga ia juga dapat menjadi Petrus [atau Batu Karang] dalam hal, seperti batu karang, ia mempunyai ketetapan yang solid, sebuah iman yang kokoh.” (St. Ambrose, Exposition in Luc, in Colin Lindsay, The Evidence for Papacy (London: Longman’s, 1890), p. 37. Di sini terlihat bahwa Yesus memberi nama Simon dengan sebutan Petrus, untuk membuatnya mengambil bagian secara unik di dalam pondasi Gereja)

4.5 St. Isidore of Seville (560- 636)

“Para Rasul yang lain telah dibuat sederajat dengan Petrus dalam suatu golongan yang dihormati dan berkuasa.” (St. Isidore of Seville, De Ecclesiasticus, II.5, M.P.L., Vol. 83, Col. 781-782)

Kutipan ini memang banyak ditemukan di Internet, namun terus terang, saya tidak berhasil menemukan sumber asli tulisan ini. Sebab menurut informasi yang saya peroleh tentang karya-karya St. Isidore, tidak ada yang berjudul De Ecclesiasticus, tetapi yang ada dan termirip dengan judul itu adalah De Ecclesiasticis officiis, dan di sana saya tidak menemukan kutipan tersebut.

Seandainya sampai ada sekalipun kutipan itu, perlu dilihat konteks pernyataan tersebut, sebab jika maksudnya sederajat dalam artian berada dalam satu golongan yang dihormati dan berkuasa, itu memang benar. Sebab memang semua uskup (penerus Rasul) itu berada dalam suatu golongan yang dihormati dan berkuasa memimpin di daerahnya masing- masing; dalam hal ini mereka ‘setara’. Namun kesetaraan ini tidak serta merta menghapus kepemimpinan di kalangan para uskup itu, dan peran ini dilakukan oleh Paus.

4.6. St. Bede (672-735)

“Engkau adalah Petrus, dan atas Batu Karang ini yang mana engkau telah menerima namamu, yaitu atas DiriKu Sendiri, Aku akan mendirikan GerejaKu.” (St. Bede, Homily I.165. Homilies On The Gospels. 163)

Hal ini tidak bertentangan dengan ajaran Gereja Katolik, sebab Petrus menerima namanya, yaitu Batu Karang, dari/ atas Kristus sendiri; dan atas Batu Karang ini Kristus mendirikan Gereja-Nya.

4.7 St. Gregorius I Agung (540- 604)

Tentang hal ini sudah pernah dibahas di sini, silakan klik.

4.8 St. Jerome (Hieronimus) (374-379)

“Kita masing-masing menyatakan pendapat kita tentang satu hal yang sama yaitu tidak menghakimi seorang pun, atau menghalangi seseorang untuk dalam persekutuan yang benar, jika ia berbeda dari kita. Karena tidak ada seorang pun yang boleh menganggap dirinya sebagai Uskup dari para Uskup dengan teror sebuah tirani yang memaksa saudaranya untuk suatu keharusan menaatinya;. karena setiap Uskup dalam kebebasannya menggunakan wewenang dan kekuasaannya, memiliki hak membentuk penilaian sendiri, dan tidak lagi dapat dinilai oleh orang lain lebih dari wewenangnya untuk memberikan keputusan terhadap orang lain. Tapi hendaknya kita semua harus menunggu penghakiman Tuhan kita Yesus Kristus, Dia sendirilah yang memiliki kekuasaan bukan hanya untuk mengatur kita dalam pemerintahan Gereja-Nya, tetapi juga menjadi hakim atas tindakan-tindakan kita di dalam Gereja-Nya.” (St. Jerome, Epistle to Evangelus)

Terus terang, saya juga tidak menemukan kutipan ini dalam surat St. Jerome (Hieronimus) kepada Evangelus. Silakan Anda membaca keseluruhan surat ini, silakan klik di sini, dan di sana yang dibahas adalah pendapat St. Jerome (Hieronimus) akan kesetaraan imam dengan uskup. Kutipan tentang Uskup adalah, “Neither the command of wealth nor the lowliness of poverty makes him more a bishop or less a bishop. All alike are successors of the apostles…” Dan ini memang benar, sebab semua uskup adalah serupa karena mereka semua adalah para penerus Rasul.

Namun tentang pengakuan St. Jerome (Hieronimus) tentang keutamaan Rasul Petrus nampak jelas dalam suratnya kepada Paus Damasus:

“Sebab Gereja Timur, tercerai berai karena kekacauan yang berkepanjangan, yang ada di antara orang- orangnya, sedikit demi sedikit merobek jubah Tuhan…. Saya pikir adalah tugas saya untuk berkonsultasi dengan tahta Petrus dan beralih kepada Gereja yang imannya dipuji oleh Rasul Paulus. Saya memohon makanan rohani kepada Gereja yang daripadanya saya menerima Kristus. Jarak yang jauh di laut dan daratan yang membentang di antara kita tidak membelokkan saya dari pencarian ‘mutiara yang mahal harganya’…. Meskipun kebesaranmu menakutkan saya, namun kebaikanmu menarik saya. Dari imam saya menuntut perlindungan terhadap korban, dari gembala perlindungan yang layak bagi domba- domba….. Kata- kata saya diucapkan kepada penerus dari sang nelayan, kepada sang murid Salib. Sebab saya tidak mengikuti pemimpin lain selain dari Kristus, sehingga saya tidak berkomunikasi kepada yang lain tetapi kepadamu, yaitu dengan tahta Petrus. Sebab saya tahu, ini adalah batu karang yang atasnya Gereja didirikan! Ini adalah rumah di mana Anak Domba Paska dimakan dengan benar. Ini adalah bahtera Nuh, dan ia yang tidak ditemukan di dalamnya akan binasa ketika air bah datang. Tetapi karena dosa- dosa saya, saya telah membawa diri saya ke gurun ini yang terletak antara Syria dan tempat pembuangan, saya tidak dapat, karena jarak yang jauh di antara kita, selalu meminta dari kekudusanmu, hal hal yang kudus dari Tuhan. (Letter of Jerome to Pope Damasus 15,2 374-379AD, NPNF2, 6:18)

“Gereja di sini terpecah menjadi tiga bagian, masing- masing berusaha menarik saya menjadi bagian dari mereka …. Sementara saya tetap berteriak: ‘Ia yang bergabung dengan tahta Petrus akan saya terima!’… Karena itu saya memohon berkatmu oleh salib Tuhan, oleh kemuliaan iman kita, Kisah Sengsara Kristus, …. beritahukan kepadaku melalui surat, kepada siapa saya harus berkomunikasi di Syria. Jangan membuang satu jiwapun yang untuknya Kristus telah wafat!” (Letter of Jerome to Pope Damasus 16,2 374-379AD, in Jurgens, The Faith of the Church Fathers 2:184)

Di sini, di tengah ajaran sesat dan skisma yang memecah belah Gereja Timur, St. Hieronimus mengacu kepada tahta Rasul Petrus di Gereja Roma, dengan mengatakan bahwa mereka bersama dengan Gereja Roma, adalah mereka yang bersama dengan Kristus. Maka St. Hieronimus tidak melihat pertentangan antara Kristus dengan keuskupan Roma, melainkan menegaskan bahwa mereka yang mengikuti Uskup Roma pastilah mengikuti Kristus. Ia menjanjikan kesetiaan kepada Roma, karena menghormati Petrus yang di atasnya Kristus mendirikan Gereja-Nya.

Demikian pula pengakuan St. Hieronimus akan keutamaan Petrus nampak jelas dalam suratnya menentang Jovianus:

Gereja didirikan di atas Petrus: meskipun dimana- mana hal yang sama ditujukan kepada semua Rasul, dan mereka semua menerima kunci-kunci Kerajaan Surga, dan kuasa Gereja tergantung atas mereka semua, namun satu di antara keduabelas murid dipilih sehingga ketika seorang kepala telah ditunjuk, di sana tidak ada kemungkinan bagi skisma.” (St. Jerome, Against Jovianus 1, 26, NPNF2, 6:366)

Dan kepada Demetrias dan para pendukung Pelagianisme, St. Hieronimus menulis:

“Maka saya pikir, saya perlu memperingatkan kamu, di dalam kebaikan dan kasih, untuk berpegang teguh pada iman Paus Innocent yang kudus, anak rohani dari St. Anastasius, dan penerusnya di tahta apostolik, dan tidak menerima ajaran asing apapun, betapapun kamu menganggap dirimu bijak dan pandai memilah.” (St. Jerome, Letter 130 to Demetrias, NPNF2, 6:269)

“Apa hubungannya Paulus dengan Aristoteles? Atau Petrus dengan Plato? Sebab walaupun Plato adalah pengeran filosofi, Petrus adalah kepala para Rasul: di atasnya Gereja Tuhan didirikan dengan kokoh dan tak ada serangan banjir atau badai yang dapat mengguncangkannya.” (St. Jerome, Against the Pelagians, 1, 14a, 26, NPNF2, 6:455)

4.9 St. Ignatius dari Antiokhia (35-117)

“Tidak ada satu manusia pun yang lebih unggul di hadapan Tuhan, atau bahkan seperti Tuhan, di antara semua makhluk yang ada, juga tidak ada satu pun Gereja yang lebih besar dari pada seorang uskup. Biarkan semua hal terlaksana oleh kamu dengan tatanan yang baik dalam Kristus. Biarkan kaum awam tunduk pada diakon, para diakon kepada presbiter, para presbiter kepada uskup, dan uskup kepada Kristus, sebagaimana Dia kepada Bapa.” (St. Ignatius of Antioch, Letter to the Smyrnaeans)

Surat ini mau mengatakan urutan hirarki dalam Gereja yang dimulai dari diakon, imam (presbiter) dan uskup, namun tulisan ini tidak berbicara tentang penolakan akan keutamaan Rasul Petrus. Nampaknya, terjemahan yang Anda kutip juga tidak sepenuhnya tepat, sebab teks aslinya adalah demikian:

For there is no one superior to God, or even like to Him, among all the beings that exist. Nor is there any one in the Church greater than the bishop….. Let all things therefore be done by you with good order in Christ. Let the laity be subject to the deacons; the deacons to the presbyters; the presbyters to the bishop; the bishop to Christ, even as He is to the Father.” (St. Ignatius of Antioch, Letter to the Smyrnaeans, ch. IX)

Sehingga terjemahannya adalah:

“Sebab tidak ada seorangpun yang melebihi Tuhan, atau bahkan seperti Tuhan, di antara semua mahluk yang ada. Juga tidak ada seorangpun di dalam Gereja yang lebih besar daripada seorang uskup. Karena itu, biarlah semua dilakukan olehmu dengan ketentuan yang baik di dalam Kristus. Biarlah kaum awam tunduk kepada para diakon, para diakon kepada para imam (presbiter) dan para imam (presbiter) kepada uskup, dan uskup kepada Kristus, sebagaimana Ia kepada Bapa.”

Maka tulisan ini tidak bertentangan dengan ajaran Gereja Katolik, sebab Paus sebagai penerus Petrus tidak melebihi Tuhan. Dan memang tidak ada seorangpun di dalam Gereja yang lebih besar daripada seorang uskup. Ketundukan kepada Paus tidak dapat dipisahkan dari ketundukan kepada Kristus, karena Paus -sebagai penerus Rasul Petrus- adalah wakil Kristus.

Pengakuan St. Ignatius akan keutamaan keuskupan Roma, terlihat dari suratnya kepada jemaat di Roma, silakan klik di sini untuk membacanya. St. Ignatius dari Antiokhia adalah murid dari Rasul Yohanes dan Uskup Antiokhia (setelah Rasul Petrus) yang dibunuh sebagai martir di Roma pada sekitar tahun 117. Sebelum wafat sebagai martir ia menuliskan 7 surat (kepada 6 Gereja dan Polycarpus). Walaupun St. Ignatius tidak secara eksplisit menjabarkan tentang keutamaan Rasul Petrus ataupun Gereja Roma, namun dapat dibaca penghargaannya terhadap Gereja Roma dan Rasul Petrus dan Paulus yang mendirikannya. St. Ignatius mengatakan bahwa Gereja Roma, “layak bagi Tuhan, layak dihormati, layak akan kebahagiaan tertinggi, layak dipuji, layak mencapai semua kehendaknya, layak untuk disebut kudus, dan yang memimpin atas kasih (presides over love)….” Selanjutnya di bab 4, St. Ignatius mengatakan, “Saya tidak, seperti Petrus dan Paulus, mengeluarkan perintah-perintah kepada kamu. Mereka adalah para Rasul, sedangkan saya adalah seorang terhukum….” dan dengan demikian mengakui otoritas Rasul Petrus dan Paulus di Gereja Roma. Padahal di surat- suratnya yang lain (entah kepada 5 Gereja yang lain maupun kepada Polycarpus) St. Ignatius dengan tegas menyampaikan pengajaran/ ekshortasinya.

Kesimpulan:

Maka dari semua uraian di atas, mari bersama melihat secara obyektif bahwa baik Kitab Suci maupun Tradisi Suci tidak menolak hal keutamaan Rasul Petrus, malah Kitab Suci dan Tradisi Suci memberikan dasar yang kuat akan keutamaan Rasul Petrus dan para penerusnya sebagai pemimpin Gereja di dunia. Mereka yang menolak keutamaan Petrus ini cenderung untuk mengutip sedikit tulisan para Bapa Gereja yang sepertinya mendukung pemahaman mereka, namun tidak mengindahkan begitu banyaknya tulisan yang lain [dari Bapa Gereja tersebut] yang sangat jelas menunjukkan keutamaan Rasul Petrus. Atau, pandangan yang menolak Keutamaan Petrus mengartikan secara allegoris Mat 16:18, tanpa menerima arti literalnya. Gereja Katolik mengartikan ayat 16:18 secara literal dan allegoris, dan juga menerima keseluruhan tulisan para Bapa Gereja yang dengan jelas menunjukkan keutamaan Rasul Petrus dan para penerusnya sebagai pemimpin Gereja, yang berlaku sejak Gereja di abad- abad awal, dan yang masih berlangsung sampai saat ini. Agaknya perlu juga disadari bahwa kepemimpinan Rasul Petrus dan para penerusnya tidak pernah terlepas dari Kristus, sebab mereka hanyalah menjalankan tugas yang dipercayakan Kristus kepada mereka untuk menggembalakan kawanan-Nya sebagaimana dikatakan Kristus kepada Rasul Petrus (lih Yoh 21:15-19).

Mengapa Mau Menjadi Imam?

50

Pengantar dari Editor:
Romo Yohanes Dwi Harsanto, Pr atau yang dikenal dengan Romo Santo, adalah salah seorang dari tim para romo di situs Katolisitas, yang sudah banyak dikenal pembaca melalui berbagai tulisan dan pencerahan yang diberikannya dengan hikmat dan pengetahuan, khususnya dalam bidang pembinaan OMK, serta secara unik dalam kaitan pengalamannya dengan eksorsisme, yang sudah dimuat pula dalam rubrik ini. Kali ini Romo Santo berkenan berbagi kisah perjalanan panggilan hidupnya hingga menjadi seorang imam diosesan. Sebuah pengalaman panggilan yang membumi, kuat, dan nyata, yang diuraikan dengan jenaka dan kerendahan hati. Semoga pengalaman panggilan hidup yang sarat dengan kasih penyertaan Tuhan yang indah ini, meneguhkan perjalanan panggilan hidup kita masing-masing sebagai orang beriman, dan semakin menyuburkan benih-benih panggilan di kalangan kaum muda, untuk ditanggapi dengan kegembiraan dan semangat iman, menjadi pekerja-pekerja yang tangguh di kebun anggur-Nya. Terima kasih Rm Santo, kiranya Allah Bapa senantiasa meneguhkan rahmat imamat-Nya dalam seluruh karya pelayanan Rm Santo bagi Kerajaan-Nya.

Keluarga

Saya lahir dan tinggal di desa yang tenang di Dusun Jogonalan Lor, Desa Tirtonirmolo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, sekitar 1 km dari perbatasan kota Yogyakarta sisi selatan, pada bulan Mei tahun 1972. Ayah saya menjadi Katolik ketika pemuda, dan ibu kandung saya menjadi Katolik sebelum menikah. Kakek nenek dari pihak ibu beragama Islam. Kakek nenek dari pihak ayah beragama Katolik. Saya dibaptis pada tahun 1972 pula oleh pastor Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran, Romo FX. Wiyono, Pr.

Waktu itu, pembaptisan saya berlangsung di rumah kakek dari pihak ibu. Walaupun mereka Muslim, namun perayaan Ekaristi pembaptisan bayi saya itu berlangsung meriah dengan diiringi instrumen musik tradisional Jawa (gamelan). Kakek nenek saya dari pihak ibu memang berpandangan luas dalam hal keagamaan. Saya ialah cucu pertama mereka. Mungkin karena itu pula kakek nenek mengistimewakan pembaptisan saya.

Saya terlahir premature pada tahun 1972. Pada usia kandungan 7 bulan, ibu melahirkan saya. Begitu kecil saya ketika bayi, dan harus selalu dihangati. Ayah saya mengatakan “seperti tikus saja kamu waktu lahir”, dan memang tahun itu bershio tikus juga, jadi agak pantaslah ..he..he. Sebenarnya saya anak kedua. Setahun sebelum saya lahir, ibu melahirkan kakak perempuan saya yang meninggal dunia pada usia lima hari. Setelah saya, terlahir empat adik saya, dua perempuan, dua lelaki. Kini mereka sudah berkeluarga.

Pengalaman Iman Dalam Keluarga

Kisah ini sebenarnya “post factum”. Karena sudah terjadi bahwa saya menjadi imam, maka jadi teringat kisah ini. Pada tradisi Jawa, ada kebiasaan membuat upacara “tedhak siten” (“menginjak bumi”) yaitu upacara yang manandai anak balita mulai berjalan. Harapannya, tapak kaki pertama kali itu semoga membawa rahmat dan keselamatan sampai tua nanti. Waktu itu saya berkesempatan melakukannya. Karena cucu pertama, maka segala tradisi saya alami. Selain “tedhak siten”, waktu saya berumur 8 tahun (sewindu) diadakan upacara pelarungan plasenta saya yang sudah selama 8 tahun disimpan dalam kendhil dan digantung di ruang paling sakral pada rumah tradisional Jawa. Maksudnya ialah agar langkah hidup selanjutnya lancar. Pada upacara adat “tedhak siten”, balita itu harus berjalan di atas jadah (makanan yang dibuat dari beras ketan), sampai sekitar satu meter di depannya. Di ujung, ada kurungan ayam dari bambu, yang di dalamnya diletakkan aneka barang dan mainan. Jika nanti si anak mengambil atau meraih barang tertentu, maka mungkin penghidupannya tak kan jauh dari apa yang disimbolkan oleh barang tersebut. Saya sudah mengalami beberapa kali melihat upacara adat ini, juga setelah dewasa. Dan biasanya secara berkelakar saja semua itu dilaksanakan, dengan suasana gembira. Banyak yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan orangtua. Ada anak yang ketika “tedhak siten” meraih mobil-mobilan, eh di masa dewasanya bahkan tidak punya usaha yang berhubungan dengan mobil, bahkan mobil pun tidak punya selain hanya sering mengendarai mobil umum. Jadi, sebenarnya upacara ini hanyalah simbol harapan orangtua terhadap anaknya. Jika anak meraih rumah-rumahan atau mobil-mobilan atau uang-uangan maka diharapkan ia kelak akan sejahtera duniawi. Benda apakah yang kuraih pada waktu itu? Pada waktu itu, saya meraih seuntai rosario! Itu karena nakalnya ayah saya saja, karena tiba-tiba beliau meletakkan seuntai rosario di dalam kurungan. Mungkin karena refleks melihat ayah menaruhnya, maka saya raihlah rosario ayah. Mungkin saja nenek kakek dan hadirin lain kecewa, kok yang saya raih rosario. Calon masa depan tidak cerah nih, karena pada masa itu belum banyak pengusaha rosario dan toko barang rohani.. he..he. Tapi dari sisi positif, mereka memaknainya bahwa bisa saja nanti anak ini menjadi ulama.

Saya mendengar dari cerita orangtua, bahwa almarhumah nenek buyut saya dari jalur ayah telah dibaptis Katolik pada era 1960an. Alasan beliau sederhana: jika meninggal nanti, beliau ingin jenazahnya dirias dan berpakaian pantas untuk Tuhan, serta didoakan anak cucu dan orang banyak. Beliau tahu dari melayat bahwa jenazah orang Katolik diberkati, arwahnya didoakan dan penampilan jenazah itu tampak tenang damai, tidak menakutkan. Karena motivasi hidup kekal bahagia itu, tiap dini hari nenek buyut saya berjalan kaki dari rumah ke gereja Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran untuk mengikuti misa pagi. Bahkan sebelum pintu gereja dibuka, nenek buyut saya sudah bersimpuh, berdoa Rosario di depan pintu itu, menunggu dibuka pukul 05.00 WIB.

Walaupun keluarga kami tidak sempurna, namun ada sauh yang kuat bagi saya pribadi yaitu kebiasaan doa bersama. Setiap sore bapak ibu mengajak kami berlima berdoa, baik dari buku doa “Madah Bakti”, maupun yang berbahasa Jawa “Padupan Kencana”. Kami pun didorong aktif di lingkungan kami, lingkungan Emmanuel, dan wilayah Santo Yusuf Padokan untuk ikut doa bersama, kegiatan Sekolah Minggu, Putra Altar, Legio Mariae. Mereka sendiri aktif, maka kami anak-anaknya pun mau tak mau ikut aktif.

Ayah ibu rutin mengajak saya ikut Ekaristi. Saya ingat ketika pertama kali saya melihat lampu tabernakel yang berkelip berwarna merah, saya tertarik lalu berjalan menuju lampu itu, ingin menyentuhnya. Lampu itu selalu menarik perhatian saya. Begitu terus. Sampai suatu malam ketika ikut adorasi Sakramen Mahakudus di gereja, saya mulai bisa bertanya kepada ibu sambil menunjuk ke monstrans, “apa itu”, dan jawaban ibu saya ingat sampai sekarang: “Kae Gusti Yesus” (“Itu Tuhan Yesus”).

Awal Ketertarikan Menjadi Imam

Sejak usia balita saya sudah kenal dengan imam-imam paroki Pugeran yang suka berkunjung atau mampir ke rumah. Yang saya ingat ialah almarhum Romo Alexander Sandiwan Broto Pr, alm. Rm J.S. Tjokroatmodjo Pr, Rm FX Wiyono Pr yang membaptis saya, Rm Y. Harjoyo Pr yang padanya saya menerima komuni pertama dan mengaku dosa pertama kali. Selain para pastor paroki, juga alm. Rm Jan Weitjen SJ suka mengunjungi kampung kami dan mencatat nama-nama umat. Memang Romo Jan Weitjens suka masuk ke kampung-kampung naik sepeda kayuh, dengan tas kulit besar berwarna coklat dan hitam di bagasi dan di batang besi sepedanya. Dari mulutnya sering terdengar dendang lagu-lagu. Kami anak-anak suka sekali jika beliau datang. Kami dorong sepedanya, kami bawakan tas beliau. Kami suka beliau dengan badan yang tinggi besar dan hidung mancung membagi-bagikan gambar-gambar kudus, mencatati nama-nama kami dan saudara-saudara kami, berbincang dengan bahasa Jawa yang sangat fasih melebihi kami, lalu memberkati kami. Dengan jubah putih yang dihiasi benang tisikan di sana sini bahkan ada tambalannya, saya mengalami sosok yang damai dan penuh suka cita. Para pastor itu berpenampilan sederhana namun terasa tenteram dan gembira berada di dekat mereka. Para imam / pastor ini secara berkala memberikan “wulangan agama” yaitu pelajaran/pengajaran iman Katolik”, perayaan Ekaristi, serta kunjungan umat dari rumah ke rumah, mendoakan yang sakit, mendengarkan pengakuan dosa / Sakramen Tobat dan memberikan Sakramen Pengurapan Orang Sakit. Di kawasan pedesaan kami waktu itu, kebiasaan ini membuat kami semua merasa “Katolik banget”, dalam arti, iman kami teguh dan kami makin mantap mempraktekkan iman Katolik. Kami mengasihi para imam kami yang mendedikasikan diri sepenuhnya untuk keselamatan jiwa-jiwa umat yang dikasihi Kristus. Itulah benih panggilan yang pertama.

Benih yang kedua ialah kebiasaan doa dan kekaguman pada otoritas Gereja dalam imamat. Kebiasaan doa keluarga dan pribadi, serta berkala mengikuti Ekaristi, keaktifan sebagai putra altar dan legioner Maria, membuat saya sejak kecil mengalami keakraban dengan Gereja, imamat, sakramen. Karena itu, ketika melanjutkan sekolah di SMP negeri dan SMA negeri, saya mengalami pula bahwa tantangan pluralitas di sekolah negeri itu justru membuat kami dan teman-teman seiman terdorong untuk membuat persekutuan doa, retret angkatan, Natalan, dan Paskahan sekolah. Pendek kata, harus berdoa bersama. Kesukaran dan hambatan justru menantang kami waktu itu. Sewaktu SMA, saya rajin setiap malam setelah pk 21.00 bersama seorang teman bersepeda dari rumah ke gua Maria di kompleks gereja Pugeran. Kami berdoa Rosario dengen intensi masing-masing. Waktu itu intensi saya hanya satu: Jika Allah berkenan, saya ingin masuk seminari dan ingin menjadi imam. Sedangkan teman saya yang usianya lebih tua itu ingin bekerja dan memiliki pasangan hidup Katolik yang baik. Setiap Jumat pertama saya dan teman saya ke makam Romo Sandjaja di Muntilan, dan membuat doa yang sama. Saya kira Bunda Maria tahu bagaimana memperbincangkan permohonan kami kepada Kristus, sehingga Kristus tak bisa menolak. Nyatanya kini saya menjadi imam, dan teman saya menjadi kepala keluarga Katolik yang baik.

Pada waktu SMP, saya menerima Sakramen Krisma dari Mgr Julius Darmaatmadja SJ (1985). Untuk pertama kali saya berjumpa dengan uskup, yang selama ini hanya saya sebut namanya dalam doa dan saya lihat gambarnya. Ketika saya SMA, Paus kita waktu itu, Bapa Suci Yohanes Paulus II, berkunjung ke Indonesia termasuk ke Yogyakarta (Oktober 1989). Jadi, saya berjumpa dengan uskup sekaligus paus di wilayahku pula. Para anggota misdinar di wilayah dan paroki se kevikepan DIY, dikerahkan untuk ikut ambil bagian dalam perjumpaan iman dengan Sang Gembala utama ini, wakil Kristus di dunia. Bukan kebetulan, dengan jelas saya berada di belakang panggung tempat Bapa Suci memimpin Ekaristi di lapangan dirgantara kompleks TNI-AU Yogyakarta. Saya melihat beliau dengan jelas, mencermati setiap kata beliau, dan mengalami suka cita. Inilah artinya menjadi Gereja, berada dalam otoritas kegembalaan yang dibuat oleh Tuhan Yesus sendiri. Saya berkenalan dengan nyata, apa arti hierarki Gereja. Saya menjadi tahu, mengapa kakek saya menjadi begitu taat pada romo. Mengenai hierarki ini saya terinspirasi pula oleh pengalaman remeh namun esensial. Pada suatu hari, alm. Romo Sandiwan Broto datang berkunjung ke rumah kami. Waktu itu saya belum masuk SD. Saya ingat peristiwa ini dengan baik. Kakek mengajak saya menemui romo. Sambil saya dipangku kakek, saya dipeganginya dan saya terpaksa mengikuti pembicaraan dua orang tua ini. Saya bosan, ingin lepas dari pangkuan kakek, namun takut. Di mata saya, kakek memang menakutkan, apalagi kalau marah. Mungkin karena melihat saya gelisah, Romo Sandiwan meminta kakek agar jika cucunya ini ingin bermain biarlah saja bermain. Karena perintah itu, maka kakek melepaskan saya, yang dengan lega segera berlari sambil berteriak “Maturnuwun, Romo” (Terima kasih, Romo). Pikir saya, jika kakek yang kepadanya saya takut saja taat pada imam, apalagi terhadap uskup dan paus dan Tuhan Yesus. Kalau nanti saya jadi imam, tentu kakek akan takut pula pada saya… ha..ha..ha. Kakek dipanggil Tuhan pada bulan September tahun 1984, jauh sebelum saya masuk seminari pada tahun 1991 dan ditahbiskan di tahun 2000, sehingga saya tidak bisa berlagak di hadapan beliau ..ha..ha..ha. Ternyata hierarki itu indah. Karena dengan ketaatannya pada perintah Rm Sandiwan, kakek melepaskan saya dari kebosanan untuk hadir dalam urusan yang tak kuketahui.

Benih ketiga ialah ketika saya ingat ingin menerima komuni padahal belum saatnya, yaitu sewaktu saya berumur sekitar 5 atau 6 tahun. Saya merengek-rengek minta komuni. Waktu itu tahun akhir era 1970an belum ada kebiasaan “komuni dahi” alias pemberkatan anak-anak pra komuni pertama. Maka saya begitu iri melihat orang-orang dewasa antre menerima komuni. Saya tahu dari keterangan ibu bahwa itu Tuhan Yesus. Maka menyentuh pun anak kecil tidak boleh. Padahal saya lihat imam di altar menyentuh pertama kali Tubuh Kristus. Saya ingin menjadi imam, agar bisa pertama kali menyentuh Tubuh Kristus dan menyantap-Nya. Kelak, setelah saya imam, saya akan makin tahu lebih mendalam kebenaran kata-kata Tuhan “Inilah Tubuh-Ku… Inilah Darah-Ku” bahkan dengan kata-kata saya sendiri Tuhan mau mengubah roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah-Nya. Saya tertegun ketika mengenangkan bahwa sejak kecil saya sudah ingin menyentuh rahasia yang teramat agung ini.

“Gunung Besar” dan “Among Sukma”

Pada usia SMP, saya membongkar gudang kakek. Saya menemukan sebuah buku stensilan tipis, tua, kumal, milik salah satu paman saya, berjudul “Gunung Besar – Pemandangan tentang Imamat”, terbitan Ende tahun 1950an. Di situ saya membaca mengenai imam-imam yang bekerja di antara suku Indian, yang disebut “Gunung Besar”, karena gunung yang besar selalu memberi petunjuk jalan di padang luas. Ketertarikan saya menjadi imam semakin membesar karena buku tersebut. Di situ ditulis antara lain betapa dunia membutuhkan imam-imam, sejak di samudera, di puncak gunung, di kutub, di kota besar, di pelosok hutan, semua ada jejak-jejak para imam Tuhan yang kudus untuk membawakan Kristus pada jiwa-jiwa dan membawa jiwa-jiwa pada Kristus. Buku kedua yang saya temukan ialah buku berbahasa Jawa, “Among Sukma”, (mungkin bisa diterjemahkan “Bimbingan Jiwa”) karangan AMDG, terbitan Kanisius Jogja tahun 1950an, yang berisi arahan untuk apa hidup di dunia, semacam katekismus dan doa-doa. Di situ dikatakan mengenai kebenaran Kristus dan bahwa tujuan di dunia ini harus menuju surga. Karena itu, diperlukan Tuhan sendiri dalam sakramen-sakramen. Saya menyimpulkan bahwa untuk itulah imam-imam diperlukan, karena tanpa imam yang menerima Sakramen Imamat, tiada Sakramen tanda kehadiran Kristus. Dan saya merasa “wow” dengan kedua buku kumal itu. Menjadi imam? Hhmm… ini bukan hanya profesi seperti halnya notaris, fisikawan, ahli teknik, yang setelah mati akan menghadapi pertanyaan Yesus: “Apa gunanya kamu memperoleh seluruh dunia jika kehilangan nyawamu sendiri?” Imam ialah panggilan untuk keselamatan kekal. Bagaimana Tuhan bisa berkarya jika tidak ada orang yang menyediakan diri menyambut rahmat-Nya dan dibimbing menuju keselamatan? Ketika saya kelak bertugas di paroki Kebon Dalem (2005-2008), umat menjuluki saya “Tan Thay San” yang artinya mirip dengan buku yang pernah saya baca ketika SMP: “gunung yang besar”.

Pada September 1989, sebulan sebelum Bapa Suci Yohanes Paulus II datang ke Yogyakarta, ibu kandung saya dipanggil Tuhan. Suatu kehilangan besar setelah beberapa lama beliau menderita sakit oleh karena kanker. Sebelum ibu meninggal, dalam keadaan sakitnya, saya mengatakan pada beliau bahwa saya mau masuk seminari. Hanya satu yang saya ingat sebagai pesan beliau: “Mau masuk seminari? Apa bisa kamu? Romo-romo itu kebanyakan perutnya gendut. Mungkin karena kebanyakan minum anggur. Tapi kalau nanti jadi imam, perutmu jangan gendut”. Beliau meninggal sebelum saya masuk seminari. Saya tahu, ibu selalu mendoakan saya dan kami semua dari surga. Ketika dalam sakitnya yang sangat parah di malam hari, terdengar ibu menyanyikan lagu “nDherek Dewi Mariyah”, yang membuat saya di kamar sebelah meneteskan air mata dan turut berdoa. Kini terbukti, sampai sekarang perut saya tidak gendut. Mungkin ibu khawatir dengan kesehatan saya sehingga selalu mendoakan saya agar jadi imam yang sehat.

Tahun berikutnya, seorang ibu yang baik menggantikan posisi ibu kandung saya. Beliau menjadi pendamping sambungan bagi ayah saya, sekaligus pembimbing kami yang waktu itu masih kecil-kecil. Ibu sambung saya ini luar biasa. Beliau setiap hari mengikuti misa harian dan aktif di berbagai kegiatan Gereja dan masyarakat. Beliau dekat dengan para romo dan keluarganya sebagian besar Katolik, bahkan ada beberapa imam pula. Saya merasa bahwa Tuhan tidak pernah lalai, jika mengincar orang agar jangan sampai lepas. Saya yang sebenarnya rapuh dan pendosa, justru dikelilingi oleh orang-orang kuat yang dikirimkan Tuhan sendiri agar saya dikuatkan untuk menanggapi kepentingan Tuhan saja. Salah seorang oom saya menasihati: “Kalau niat kuat, pasti jadi karena niat kuat itu pun rahmat Tuhan”. Tapi seorang oom lain yang beragama Islam mengatakan: “Kamu mau jadi romo? Apa bisa?” Kakek saya yang Muslim mengatakan: “Cucunya kakek ya pasti bisa”. Saya tertawa saja dan gembira mendengar dukungan mereka dengan kalimat yang berbeda-beda itu. Sebelum masuk seminari, saya telah pernah mengunjungi seminari menengah Mertoyudan Magelang ketika ada program kunjungan ke Biara OCSO Rawaseneng dan Seminari Mertoyudan yang diadakan paroki dan program agama Katolik di SMP negeri itu. Karena itu saya sudah melatih diri, tidur di papan tanpa kasur, belajar berefleksi dan menuliskan pengalaman. Saya pun memiliki koleksi “Aquila”, bulletin Seminari Mertoyudan yang entah dari mana kutemukan di gudang oom saya. Katanya, dia mendapatkan dari temannya yang eks seminaris.

Tahun 1991, saya mendaftarkan diri ke seminari dan maju menghadapi testing. Ujian tertulis saya lalui dengan baik. Pada pertanyaan wawancara, Rm Gustawan SJ menanyai saya: “Mengapa mau menjadi imam?” Saya menjawab dengan mantap: “Karena ingin”. Sahut beliau: “Ingin apa?” Saya jawab “Ingin menjadi imam”. Beliau tersenyum, lalu meminta saya membaca Injil dalam bahasa Inggris yang beliau sodorkan sekaligus meminta saya menerjemahkannya. Saya tidak tahu apakah jawaban saya itu masuk akal. Namun ternyata sebulan kemudian alm. Romo JS Tjakraatmadja Pr menggamit saya setelah misa di wilayah, lalu memberikan surat dari seminari bahwa saya diterima. Saya bersyukur pada Allah.

Menanggapi Panggilan Tuhan

Saya menjalani masa seminari menengah program KPA (Kelas Persiapan Atas) di Mertoyudan selama satu tahun (1991-1992). Kemudian melanjutkan di Seminari Tahun Rohani Keuskupan Agung Semarang di seminari “Sanjaya” Jangli, Karangpanas, Semarang (1992-1993). Selanjutnya menempuh pendidikan filsafat-teologi di Fakultas Teologi Kepausan Wedhabakti Yogyakarta (1993-2000) dan tinggal di rumah pembinaan Seminari Tinggi St Paulus Jl Kaliurang KM 7, diselingi Tahun Orientasi Pastoral di Paroki St Yohanes Rasul Wonogiri (1996-1997), dan Semester Diakonat di Paroki St Maria Fatima Sragen (2000), sebelum ditahbiskan menjadi imam 12 Juli 2000 oleh Mgr Ignatius Suharyo di gereja St. FX Kidul Loji Yogyakarta.

Yang menarik dari proses pendidikan itu ialah selain ilmu filsafat dan teologi yang memaksa kita berpikir logis, runtut dan berdasar, juga mengenal dan bersikap terhadap pemikiran filsafat yang mendasari ilmu-ilmu, serta kebiasaan refleksi iman. Selain itu, hidup bersama sebagai komunitas asrama membuat kami semua mengenal diri dengan lebih baik, serta belajar memahami sesama. Yang tak kalah penting ialah pembiasaan belajar dan merefleksikan tradisi Katolik dalam praktek, di mana di dalamnya kami disertai Allah sendiri. Terlalu banyak yang istimewa dalam masa pendidikan ini. Yang terpenting ialah motivasi untuk imamat dimurnikan sampai sungguh-sungguh hanya untuk Kristus dalam Gereja-Nya. Yang motivasinya akhirnya berbalik untuk berkeluarga, akan keluar dari seminari dan membangun keluarga Katolik yang baik. Teman-teman saya baik yang terus bersama sampai imamat maupun yang kini menjadi bapak rumah tangga, semua merasakan bahwa pendidikan di seminari oleh para staf seminari dengan segala dinamikanya memungkinkan kami bertumbuh dewasa sebagai orang beriman yang manusiawi. Saya bersyukur atas mereka dan mendoakan para staf seminari, semoga mereka selalu tabah dan gembira dalam mendampingi dan membina para seminaris. Tentu saja pengalaman seorang imam di paroki, lain pula dengan pengalaman imam di kantor KWI seperti saya saat ini, lain pula dengan pengalaman para imam yang mendampingi para calon imam.

Saya memiliki pembimbing rohani yang baik, yang selalu menanyakan hal ihwal perkembangan rohani saya. Pengakuan dosa rutin dan percakapan rohani rutin selalu kami buat, agar perkembangan terpantau dengan benar. Saya pernah mengalami krisis karena tuntutan studi yang berat dan kejenuhan. Namun manakala dibicarakan dengan pembimbing menjadi jelas lagi untuk apa aku mempelajari filsafat dan teologi yang berat, untuk apa dipanggil, dan karenanya mau bersemangat lagi. Aku dipanggil untuk imamat yang menghadapi dunia yang tak dipungkiri, penuh penyesatan untuk menolak kasih Allah. Maka ilmu-ilmu itu penting untuk membekali diri, dan juga untuk membimbing diriku sendiri agar sampai pada kebenaran.

Imamat : Disponibilitas untuk Pengudusan Diri, Komunitas, dan Masyarakat

Sewaktu tahbisan, kakek dan nenek saya yang Muslim seperti biasa selalu mendukung saya. Mereka hadir dalam perayaan Ekaristi tahbisan itu. Saya merasa diteguhkan oleh doa dan perhatian mereka. Kakek saya memeluk saya…”Cucuku, Nak, Romo hehehe”, katanya dengan haru. Kakek dan nenek dengan pakaian kopiah dan jilbab mendampingi saya berfoto dengan pakaian imamat saya. Kini kakek saya yang Muslim ini sudah meninggal. Namun dalam doa-doa saya, saya selalu mengingat beliau bersama almarhumah ibu kandung saya. Bagaimanapun, saya merasakan dukungan keluarga dalam menanggapi panggilan imamat ini. Tugas pertama saya setelah tahbisan ialah menjadi pastor pembantu (pastor rekan) di Paroki SPM Bunda Penasehat Baik, Wates, Kulonprogo (2000-2004), SPM Tak Bercela, Kumetiran, Yogya (2004-2005), St. FX Kebon Dalem, Semarang (2005-2008), dan KWI (2008 – sekarang) . Saat saya di paroki-paroki itu saya merangkap tugas sebagai Ketua Komisi Kepemudaan Kevikepan DIY (sampai th 2005), kemudian merangkap Ketua Penghubung Karya Kerasulan Kemasyarakatan Keuskupan Agung Semarang (ini sama dengan komisi Kerawam di keuskupan lain), serta moderator Pemuda Katolik Jawa Tengah. Ketika sedang asyik dengan tugas di Kebon Dalem, saat itu bulan Januari 2008 menjelang tahun baru Imlek, uskup meminta saya pindah ke Jakarta untuk bertugas di Komisi Kepemudaan KWI. Bagi saya yang sudah berjanji di hadapan uskup agar taat, tidak ada kata lain selain “siap laksanakan”. Walaupun hati galau, namun nanti pasti Tuhan mengirimkan kekuatan dan gairah baru di tempat dan jenis perutusan yang baru.

Teman-teman imam lain pun sebenarnya mengalami banyak perkara baik yang mirip satu sama lain maupun yang unik. Jika mereka mau berbagi, sebenarnya akan makin kaya Gereja kita dengan pengalaman iman akan panggilan imamat. Bagi saya, disponibilitas (kesiapsediaan) untuk berganti tempat perutusan, bahkan berganti bentuk perutusan, tetaplah mutlak harus dihayati, karena sebenarnya tugas panggilan terakhir ialah beralih dari dunia ini menuju Dia yang memanggil kita.

Ada kisah yang memalukan namun membuat saya makin sadar akan arti dan tujuan hidup. Tuhan tak kekurangan cara untuk mendidik anak-anak-Nya. Ketika SMA, beberapa kali klab voli kampung saya bertandang ke kampung-kampung sebelah untuk pertandingan persahabatan maupun kompetisi antar desa. Saya adalah supporter fanatik klab voli kampung saya. Pada suatu sore, klab voli kampung saya bertandang ke kampung sebelah untuk bertanding. Saya menonton. Saya berboncengan dengan seorang tetangga, naik sepeda saya menuju lapangan voli kampung sebelah. Pertandingan berlangsung seru. Entah karena apa, di tengah laga, emosi pemain dan supporter tersulut. Dengan gaya kampung(an), terjadilah perkelahian antar supporter dan antar pemain. Dalam suasana huru-hara antar supporter itu, kami terdesak. Saya ikuti tetangga saya lari, karena memang “pasukan” kami kocar-kacir. Kami lari dikejar dan dilempari batu dan kayu. Sambil berlari, kami lihat ada sebuah sepeda tergeletak di tepi jalan. Teman saya segera menaikinya dan saya turut mendorong lalu membonceng. Laju sepeda lebih cepat dari kecepatan para pengejar. Kami selamat sampai di rumah. Barulah di rumah saya tersadar, sepeda saya masih tertinggal di “wilayah musuh”. Wah, bingung. Sore harinya, saya mencoba nyantai di teras rumah sambil menenangkan diri. Tiba-tiba ada seorang polisi dari Polsek Kecamatan Kasihan mendatangi dengan sepeda motor. Tetangga saya diboncengkannya. Saya diminta ikut dalam boncengan. Saya bingung tapi ikut saja. Kami dibawa ke ke tahanan polsek. Bapak polisi menanyai kami satu per satu. Saya dituduh mencuri sepeda atau setidaknya membantu pencurian sepeda. Aduh! Ternyata pemiliknya lapor ke pak polisi. Kami dimasukkan dalam sel. Berpintu besi dan gelap serta pesing. Saya sedih sekali. Untung saya tidak disakiti oleh bapak-bapak polisi itu. Saya memang mengakui menumpang naik sepeda itu. Tapi sepeda saya sendiri ketinggalan. Pak Polisi tidak mau berargumen. Saya tetap di sel. Dalam keadaan seperti itu, saya teringat kisah St Paulus dan Silas ketika di penjara. Saya membaca kisah itu di komik Alkitab karangan HA Opusunggu yang dibelikan ayah waktu SD dulu. Maka saya ajak tetangga saya itu berdoa, agar dibebaskan seperti Paulus dan Silas dulu. Saya berdoa Bapa kami dan Salam Maria tiada henti. Wah, mengalami dalam sel, seperti rasul St Paulus, hanya berbeda sebab, beliau karena Injil, saya karena tuduhan mencuri sepeda. Tak sampai satu jam di sel, pintu sel dibuka, kami diminta keluar. Ternyata ada tetangga kami yang polisi mengeluarkan kami. Kami diboncengkan pulang. Sampai di rumah, ibu saya memarahi saya habis-habisan. Keesokan harinya sepeda saya sudah dibawa ke rumah oleh warga kampung sebelah.

Dari situ saya merenungkan tujuan hidup manusia. Sel tahanan yang pengap itu dipakai Tuhan untuk menyadarkan saya, betapa dunia ini tidak pasti dan rapuh sekali. Hanya satu yang pasti dan kuat ialah Kasih Tuhan, pertolongan-Nya, kehendak-Nya yang pasti. Tinggal saya sendiri mau ikut Dia atau ikut keinginan sendiri. Terimakasih Pak Polisi, Anda membuat saya sadar akan bahaya-bahaya dalam kehidupan, syukur kepada Allah pertolongan-Nya tepat waktu.

Kini saya suka menanggapi tawaran kelompok pelayanan penjara untuk mengunjungi para warga binaan di penjara. Waktu bertugas di Wates, tetangga pastoran ialah penjara dan kami layani sakramen Ekaristi dan tobat. Di Semarang saya diajak melayani warga binaan di penjara Kedungpane dan Bulu. Di Jakarta saya mengunjungi LP Cipinang, Salemba, Pondok Bambu. Karena peristiwa masuk sel satu jam, saya menjadi punya hati untuk pelayanan ini, menanggapi sabda Kristus: “Ketika Aku dalam penjara, kamu mengunjungi Aku”.

Uniknya, menerima tahbisan imamat tidak mengubah kepribadian dan watak, namun sangat membantu untuk mewartakan Injil dan menjadi saksi Kristus. Maka tugas saya dan para imam lainnya ialah, menyesuaikan perilaku kami dengan status imamat yang kami terima. Hal ini banyak dibantu oleh doa-doa umat dan keluarga. Tidak mudah, namun hal inilah yang menantang dan menggairahkan saya untuk terus hidup dalam imamat, termasuk dalam semua yang saya alami: kerapuhan, kesepian dan kegagalan, keberhasilan dan sanjungan. Dalam tugasnya, imam bersinggungan dengan masyarakat dan tokoh agama-agama lain, demikian pula saya. Yang saya rasakan ialah bahwa imam Kristus ini kendati sama-sama tokoh agama bersama tokoh agama lain, toh memiliki kekhasan. Dalam acara doa bersama, saya tidak mau hanya berdoa. Tidak segan saya memberkati semua yang hadir, karena bagi saya, hanya imam Kristus dengan tahbisan yang diturunkan sejak Kristus melalui para rasul hingga kini dan selamanya, berhak memberikan berkat dan Tuhan berkenan memberikan berkat-Nya jika imam–Nya memberikan berkat. Dalam berkat itulah ketahuan mana hadirin yang Katolik, yaitu mereka yang menandai diri dengan tanda salib, sehingga saya pun meneguhkan iman mereka pula. Saya sendiri pun diteguhkan dengan berkat Allah itu.

Pesan bagi OMK dan Orangtua

Saya teringat buku lama “Gunung Besar: Pemandangan tentang Imamat” bahwa dunia membutuhkan imam-imam, untuk menguduskan komunitas, masyarakat, dan diri sendiri. Semoga sharing saya yang sederhana saja ini menggugah banyak orang muda, untuk berani menempuh jalan menuju imamat walaupun berliku dan tidak mudah. Tuhan memanggil kita bukan untuk bermudah-mudah, namun Dia akan menguatkan. Tuhan tidak menunggu kita sempurna untuk mewartakan damai dan suka cita-Nya sebagai imam, nabi dan raja. OMK beranilah memutuskan untuk mendaftarkan diri ke seminari-seminari, juga ke biara-biara, tidak usah menunggu sempurna dulu baru mau dipanggil.

Semoga para orangtua mendoakan dan mempercayai anaknya jika mereka mau menjadi imam. Banyak orangtua khawatir jika anaknya masuk asrama seminari, bagaimana nasibnya nanti? Percayalah, Tuhan akan beri 100 kali lipat sesuai janji-Nya. Bagaimana nanti jika orangtua sakit, siapa yang akan perhatikan? Menurut pengalaman saya, saya bisa lebih bebas mengunjungi orangtua karena bisa atur waktu lebih leluasa daripada adik-adik saya yang berumah tangga dan juga bekerja di luar kota dan di luar negeri. Jika anak Anda menjadi imam, janganlah khawatir, Anda justru mengalami rahmat berlimpah dalam persahabatan dan damai di hati. Sabda Tuhan “Jangan khawatir” tetap berlaku di sini.

Pada beberapa kali kesempatan “Minggu Panggilan”, ayah dan ibu saya diminta memberikan sharing di gereja di hadapan umat yang hadir. Pertanyaan moderator biasanya ialah: “Apa resepnya sehingga anak Anda menjadi imam?” Ayah saya biasa menjawab: “Tidak tahu. Berjalan begitu saja dan saya melakukan tugas yang bisa saya lakukan sebagai ayah Katolik, lalu tiba-tiba dia mau masuk seminari, yah.. bagaimana mungkin ada resep? Itu urusan Yang memanggil dan dia sendiri!”. Dan dalam hal ini beliau jujur, karena saya tertarik menjadi imam bukan karena ayah saya mendorong. Saya ingin menjadi imam karena mengenal imam-imam dan mengasihi mereka. Ayah saya hanya tidak mau menghalangi kemauan saya menjadi imam, juga tidak mau membebani saya dengan idealismenya sendiri mengenai imamat. Itu saja peran dia. Pertanyaan moderator berikutnya: “Apa kekhawatiran Anda ketika anak Anda masuk seminari dan menjadi imam”. Ayah saya lagi-lagi menjawab dengan tanggapan yang tidak sesuai dengan keinginan moderator dan hadirin: “Saya tidak khawatir. Itu urusannya sendiri dan Tuhan kita. Saya pun tidak khawatir dengan anak-anak saya yang lain yang menikah. Biarlah mereka urus sendiri urusannya. Tentu saja saya mendoakan mereka, dan imam-imam, namun saya berdoa bukan karena khawatir apapun tentang mereka. Saya percayakan saja pada Yang memanggil”. Jika boleh menambahkan, bahkan almarhumah ibu saya hanya khawatir jika perut saya gendut, suatu hal yang tak ada hubungannya dengan imamat. Saya setuju dengan sikap orangtua saya yang mempercayai anak-anaknya, memberi ruang bagi anak-anak untuk bertumbuh sehat secara jasmani, psikis, sosial, intelektual, dan rohani, dan membiasakan kami bergaul dengan imam-imam. Wajar saja, tidak dibuat-buat. Jika imam memiliki kelemahan, itu pun wajar saja. Jika ia “berprestasi” maka apa sih “prestasi” tertinggi seorang imam selain kesetiaan dalam panggilan dan perutusan sehari-hari? Sesuatu yang sebenarnya bukan “prestasi” namun yang memang sudah seharusnya. Orangtua saya tidak menuntut apapun dari saya, selain doa dan berkat, karena memang saya tidak bisa membantu apa-apa selain doa dan berkat. Yang saya ingat ialah, ayah dan ibu suka menceritakan kegembiraan dan kelucuan imam-imam yang mereka jumpai, yang membuat kami tertawa gembira. Selebihnya pasti Tuhan sendiri yang memanggil, mengutus, dan menyempurnakan.

Persaudaraan Imam-Imam

Setelah jadi imam, saya tergabung dalam UNIO Keuskupan Agung Semarang. Setelah pindah Jakarta, Agustus tahun 2011 di Sintang, saya dipercaya teman-teman menjadi sekretaris Unio Indonesia. Unio ialah asosiasi imam-imam diosesan atau keuskupan atau disebut juga imam-imam “praja”. Silahkan klik http://unio-indonesia.org/. Saya makin diteguhkan dalam panggilan imamat oleh persaudaraan ini. Dalam pelayanan sakramen dan doa-doa ibadat harian, kami saling mendoakan satu sama lain. Kami imam-imam keuskupan taat pada uskup dalam melayani umat keuskupan. Namun imam-imam diosesan yang bertugas di luar keuskupannya sendiri taat pada uskup di keuskupan di mana mereka tinggal. Mengapa saya memilih menjadi imam “praja” Keuskupan Agung Semarang? Pertama-tama karena saya hanya ingin menjadi imam, yang bahasa Yunaninya Presbyter, atau dalam bahasa Inggris Priest atau sering disingkat Pr. Saya tidak ingin menjadi biarawan. Lagi pula, saya waktu itu ingin bertugas di paroki saja yang dekat dengan rumah dan keluarga, melayani umat sekitar saya di keuskupan saya sendiri, menjadikan Gereja keuskupan saya menjadi berkat bagi masyarakat. Namun kehendak Tuhan sementara ini ialah saya harus bertugas di KWI, berlokasi di Jakarta, dan karenanya harus meninggalkan keuskupan saya untuk tinggal di Jakarta. Ternyata peristiwa ini membuka perspektif iman saya akan arti ketaatan imamat dan arti imamat itu sendiri yang universal. Saya merasa bersyukur bahwa imamat itu satu sumber dan menuju ke tujuan yang sama. Saya sebagai imam diosesan, berjumpa pula dengan imam-imam yang sekaligus biarawan. Mereka sebenarnya biarawan, namun ditahbiskan menjadi imam. Maka baik imam diosesan maupun biarawan, semuanya satu dalam ketaatan pada Satu Tubuh Kristus yaitu Gereja Katolik.

Doa
“Ya Allah, Bapa Maharahim. Sepanjang sejarah, Engkau memanggil para nabi, raja-raja dan para imam sesuai kehendak-Mu. Engkau bahkan mengutus Yesus Kristus Putera-Mu menjadi manusia, wafat dan bangkit bagi kami, dengan demikian Dia menjadi imam agung kami. Panggilah orang-orang muda seturut kehendak-Mu, dan bukalah hati para orangtua, agar mau berserah akan kehendak-Mu yang pasti. Biarlah atas kuat kuasa-Mu, di seluruh dunia muncul imam-imam dan uskup-uskup yang kudus, yang bergembira dan bersemangat untuk mengembangkan Gereja , untuk menghadirkan Kristus dalam Roh Kudus demi tercapainya tujuan hidup manusia yaitu bahagia abadi dalam Dikau. Dengan pengantaraan Kristus imam agung kini dan selama-lamanya. Amin.”

Jakarta, 5 Maret 2012.
Yohanes Dwi Harsanto Pr

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab