Home Blog Page 174

Hidup yang Diubahkan Kristus melalui Ekaristi

4

I. Yesus yang kita terima dalam Ekaristi

Ada sebagian umat Katolik yang mempertanyakan: Apakah yang dapat kita terima dari mengikuti Ekaristi? Pertanyaan ini muncul karena mengikuti perayaan Ekaristi dipandang sebagai rutinitas belaka. Bahkan ada yang mengatakan, seseorang tidak mendapatkan apa-apa dari Ekaristi: ini sebuah pernyataan yang mungkin timbul karena ketidaktahuan. Namun, kalau seseorang benar-benar memahami tentang apa sebenarnya makna Ekaristi, bahwa Yesus sendiri hadir secara nyata – tubuh, darah, jiwa dan ke-Allahan-Nya -, maka sesungguhnya tidak ada yang dapat menggantikan Ekaristi. Itulah sebabnya Gereja Katolik mengatakan bahwa Ekaristi adalah sumber dan puncak kehidupan Kristiani (LG,11, KGK 1324), karena di dalamnya terkandung seluruh kekayaan rohani Gereja, yaitu Kristus sendiri. (lih. KGK 1324)

Kalau banyak orang berdoa agar Kristus dapat mewarnai, memberikan inspirasi, dan memberikan kekuatan dalam kehidupan, maka doa apakah yang dapat melebihi Ekaristi, di mana Kristus sendiri menyediakan diri-Nya untuk bersatu dengan kita secara lahir dan batin: Ia menyerahkan diri-Nya untuk menjadi santapan rohani bagi kita, untuk bersatu dengan tubuh dan jiwa kita. Tidak ada persatuan yang lebih erat antara kita dengan Kristus dibandingkan dengan persatuan yang terjadi di dalam Ekaristi. Persatuan yang erat dan tak terpisahkan dengan Kristus inilah yang dapat mengubah kehidupan kita, sehingga kita dapat mengalami pertobatan yang terus menerus, mampu untuk menjalani hidup ini dengan penuh pengharapan termasuk di dalam penderitaan kita. Melalui Ekaristi, kita dibentuk oleh Kristus sehingga mampu untuk melayani dan mengasihi sesama, bertumbuh dalam kekudusan, agar kita dapat sampai kepada keselamatan kekal.

II. Buah-buah Ekaristi

Untuk dapat memahami bagaimana Ekaristi dapat mengubah kita, maka kita perlu melihat buah-buah dari Ekaristi. Katekismus Gereja Katolik (KGK, 1391-1401), menjelaskan tentang buah-buah Ekaristi, yang terdiri dari: (1) Memperdalam persatuan kita dengan Kristus (KGK, 1391-1392); (2) Memisahkan kita dari dosa (KGK, 1393); (3) Memperkuat kasih dan menghapus dosa ringan (KGK, 1394); (4) Menjauhkan kita dari dosa berat masa mendatang (KGK, 1395); (5) Mempersatukan kita dengan Gereja (KGK, 1396); (6) Mengarahkan kita untuk berpihak pada kaum miskin (KGK, 1397); (7) Kesatuan dengan seluruh umat Kristen (KGK, 1398-1401).

Dari penjelasan Katekismus Gereja Katolik di atas, maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa buah-buah Ekaristi yang terutama adalah persatuan kita dengan Kristus sendiri, yang menyebabkan kita juga bersatu dengan Gereja yang adalah umat Allah, karena Kristus tak terpisahkan dengan Gereja-Nya, yang adalah anggota- anggota-Nya. Persatuan dengan Kristus ini juga yang memungkinkan kita untuk terpisah dari dosa sehingga kita dapat bertumbuh dalam kasih. Persatuan dengan Kristus ini membuat seseorang tidak mau mendukakan hati Kristus, termasuk dengan melakukan dosa ringan. Dan kalau seseorang telah mencoba melenyapkan dosa ketika dosa tersebut masih ringan, maka orang tersebut dapat dijauhkan dari dosa berat.  Dengan disposisi hati yang baik, maka kesatuan dengan Kristus dalam Sakramen Ekaristi akan membawa perubahan-perubahan di dalam kehidupannya ke arah yang lebih baik.

III. Ekaristi membuat kita mempunyai ‘aroma’ Kristus

Kalau seseorang makan buah duren, maka tanpa orang berkata apapun, sesungguhnya semua orang akan tahu bahwa orang tersebut baru saja makan duren. Mengapa? Karena seluruh tubuhnya mengeluarkan bau duren, seolah-olah duren telah bersatu dengan seluruh tubuh dan darah dari orang itu, dan mempengaruhi aroma tubuhnya. Bagaimana kalau seseorang menyantap Kristus sendiri dalam Ekaristi? Seharusnya orang tersebut harus mengeluarkan aroma Kristus, sehingga orang-orang dapat melihat bahwa ada Kristus di dalam diri orang tersebut.

Seharusnya orang yang telah menyantap Kristus harus berubah secara perlahan-lahan menjadi semakin serupa dengan Kristus sendiri. Kristus yang tentu saja lebih kuat dari duren, mampu untuk mengubah kita dari dalam, sehingga kehidupan kita dapat memancarkan kasih Kristus. Di bawah ini, kita akan melihat perubahan seperti apa yang seharusnya terjadi dalam kehidupan kita kalau kita terus dipersatukan oleh Kristus dalam Ekaristi?

IV. Ekaristi membawa pada pertobatan yang terus menerus

Perubahan pertama yang terjadi dalam diri kita adalah pertobatan yang terus menerus. Belas kasihan Tuhan yang dinyatakan di dalam Ekaristi membawa pertobatan, yang artinya ‘berbalik dari dosa menuju Tuhan’. Hal ini disebabkan karena kita tidak dapat bersatu dengan Tuhan yang kudus, jika kita tetap tinggal di dalam dosa. Pertobatan yang diikuti oleh pengakuan dosa yang menyeluruh adalah langkah pertama yang harus dibuat jika kita ingin sungguh-sungguh memulai kehidupan rohani. Langkah ini adalah pemurnian dari dosa berat (mortal sin). ((Cf. St Francis de Sales, An Introduction to the Devout Life, (TAN Books and Publishers, Rockford, Illinois, USA, 1994), p.14-15)) Sakramen Ekaristi tidak secara langsung menghapuskan dosa-dosa berat ini -sebab dosa- dosa berat harus diakukan dan dimohon pengampunannya melalui sakramen Tobat- namun Ekaristi secara tidak langsung menyumbangkan pengampunan atas dosa-dosa tersebut. ((Lihat Lawrence G. Lovasik, The Basic Book of the Eucharist, p. 77.)) Selanjutnya melalui Ekaristi, Tuhan memberikan rahmat kepada kita agar kita sungguh-sungguh bertobat, ‘membenci’ dosa kita, dan hidup dalam pertobatan yang terus-menerus, sebab Dia membantu kita untuk melepaskan diri dari keterikatan yang tidak sehat kepada dunia, yang menurut Santo Franciskus de Sales adalah ‘segala kecenderungan untuk berbuat dosa’. Di dalam Ekaristi, kita ‘melihat’ penderitaan Kristus, sebagai akibat dari dosa-dosa kita, sehingga kita terdorong untuk menghindari dosa tersebut. Dengan pertobatan ini, selanjutnya kita dapat bertumbuh dengan berakar pada Kristus. ((lih. KGK, 1394))

V. Kesediaan untuk menyangkal diri dan memikul salib untuk mengikuti Kristus

Karena Ekaristi adalah menghadirkan kembali misteri Paskah – penderitaan, kematian, kebangkitan dan kenaikan Kristus ke Sorga – maka sesungguhnya, perubahan dalam hidup kita adalah kesediaan untuk turut serta dalam penderitaan Kristus dan menghadapinya bersama Kristus. Ini juga sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Kristus, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku.” (Mat 16:24)

Bagaimana kita dapat menyangkal diri dan memikul salib? Kita bersama-sama menyadari bahwa nilai-nilai yang ada di dunia ini sering bertentangan dengan nilai-nilai kekristenan. Rasul Yohanes mengatakan bahwa semua yang ada di dunia ini – yaitu keinginan daging, keinginan mata dan keangkuhan hidup – bukanlah berasal dari Bapa (lih. 1Yoh 2:16). Penyangkalan diri diwujudkan dalam penyangkalan kedagingan kita, nafsu-nafsu kita yang tidak teratur; menyangkal diri yang menomor-satukan pekerjaan, harta dan kekuasaan; dan menyalibkan keangkuhan diri kita. Ini bukanlah pekerjaan yang mudah.

Namun, semua bentuk penyangkalan diri ini dan pengorbanan memikul salib terlebih dahulu dilakukan oleh Kristus sendiri. Dan kurban Kristus inilah yang dihadirkan kembali secara nyata dalam setiap perayaan Ekaristi. Oleh karena itu, kita yang telah dipersatukan oleh Kristus di dalam Ekaristi, diberikan kekuatan oleh Kristus untuk melakukan penyangkalan diri, memikul salib untuk mengikuti Dia. Semua penderitaan yang dialami oleh Kristus menjadi inspirasi dan kekuatan bagi kita untuk menghadapi berbagai penderitaan dengan tetap berpengharapan. Untuk mencapai hal ini, tidak ada cara lain, kecuali jika kita menyatukan penderitaan kita dengan penderitaan Kristus; agar oleh kuasa-Nya kitapun dimampukan untuk menghadapinya dengan tegar oleh karena percaya bahwa penderitaan akan membawa kita kepada kebangkitan bersama Kristus. Persatuan diri kita dengan Kristus dapat kita alami dan hayati di dalam setiap perayaan Ekaristi Kudus.

VI. Siap untuk melayani bersama Kristus

Kristus mengatakan, “Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu; sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” (Mat 20:26-28) Persatuan dengan Kristus seharusnya membawa kita kepada semangat pelayanan, karena untuk itulah Kristus datang, yaitu untuk melayani kita manusia.

Menarik bahwa di ayat Mat 20:28, ketika Kristus berbicara tentang melayani, Ia menyebutkan tentang pemberian nyawa atau pemberian diri. Memang melayani adalah memberikan diri kita kepada orang lain. Sama seperti Kristus yang kematian-Nya [penyerahan diri-Nya] dihadirkan kembali di dalam setiap perayaan Ekaristi. Dia telah wafat, memberikan di-Nya untuk seluruh umat manusia. Oleh karena itu, kita juga harus memberikan diri kita untuk orang lain, yang harus kita mulai dari orang-orang terdekat kita: keluarga, komunitas kita, paroki kita, dan komunitas lainnya. Semangat Ekaristi akan menghasilkan bagi kita kekuatan untuk dapat melayani sesama, mengasihi mereka apa adanya, sama seperti Kristus rela mati untuk kita walaupun kita masih dalam kondisi berdosa (lih. Rom 5:8).

VII. Bertumbuh dalam kekudusan dengan spiritualitas Ekaristi

Kalau setiap hari kita mempunyai spiritualitas Ekaristi, maka kita akan semakin erat bersatu dengan Kristus. Misteri Paskah Kristus dapat menjadi kekuatan bagi kita untuk menjalankan hidup ini dalam terang kematian dan kebangkitan Kristus, sehingga pada saat kita menghadapi penderitaan kita tidak kehilangan harapan dan sebaliknya pada saat kita mengalami kebahagiaan kita tidak lupa kepada Tuhan yang telah memberikan kebahagiaan kepada kita.

Semangat kematian dan kebangkitan Kristus yang kita rayakan dalam peristiwa Ekaristi juga menyadarkan bahwa Kristus yang adalah Allah sungguh mengasihi kita, sehingga tidak ada cara lain bagi kita kecuali membalas kasih Kristus, dengan cara mengasihi-Nya dengan segenap hati, jiwa dan akal budi (lih. Mat 22:37). Kesadaran bahwa Allah telah mati bagi seluruh umat manusia, membuat kita juga mau mengasihi sesama kita atas dasar kasih Allah yang terlebih dahulu mengasihi sesama kita. Dengan demikian, spiritualitas Ekaristi yang kita hayati dan terapkan dalam kehidupan sehari-hari dapat menuntun kita kepada kekudusan, yaitu mengasihi Allah dan mengasihi sesama atas dasar kasih kepada Allah. Kekudusan ini akan membawa kita kepada keselamatan, karena tanpa kekudusan tidak ada seorangpun yang dapat melihat Allah (lih. Ibr 12:4).

VIII. Yesus mengubah kita dari dalam

Kalau kita benar-benar menghayati spiritualitas Ekaristi dan sesering mungkin berpartisipasi dalam perayaan Ekaristi, maka secara perlahan-lahan, kita akan dibentuk oleh Kristus menjadi semakin mirip dengan Kristus. Kalau dalam perayaan Ekaristi, keseluruhan Kristus (tubuh, darah, jiwa dan keallahan Kristus) bersatu dengan kita dan kalau kita mempunyai disposisi hati yang baik untuk membiarkan Kristus mengubah dan membentuk kita, maka Kristus akan mengubah kita dari dalam. Dan perubahan ini memampukan kita untuk senantiasa mengalami pertobatan terus-menerus, mampu untuk menyangkal diri, memikul salib dan mengikuti Kristus apapun resikonya, diberi kemampuan untuk melayani sesama, dan pada akhirnya diberikan rahmat dan kekuatan untuk bertumbuh dalam kekudusan, hingga pada akhirnya akan mengantar kita kepada keselamatan kekal. Mari mempercayai apa yang disabdakan oleh Kristus, “Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman.” (Yoh 6:54)

Perjamuan Sorgawi

3

Perjamuan adalah awal persahabatan

Ingatan saya melayang kepada kejadian sekitar 7 tahun yang lalu, saat saya dan suami saya, Stef, diundang makan oleh sepasang suami istri yang belum pernah kami kenal sebelumnya. Saat itu, kami belum lama tiba dan menetap di sebuah kota kecil di Wisconsin, Amerika Serikat, saat kami mengambil studi di sana. Mengikuti Misa harian di paroki merupakan salah satu kegiatan kami sehari-hari. Di minggu-minggu pertama, kami memang belum mempunyai sahabat di sana, walaupun kami sudah sering bertukar senyum dan salam dengan sesama umat. Sebagai pendatang baru di negeri asing, kami sudah terbiasa menerima salam dari mereka, namun suatu hari setelah selesai Misa pagi, kami dikejutkan oleh sapaan ini: “Excuse me, my name is Barb and this is Pat, my husband. We have been seeing you quite often at church so, we wonder if you would like to come to our house to have breakfast with us… ” Sapaan sederhana ini menjadi awal perkenalan kami dengan Barb dan Pat Stehly, sepasang suami istri separuh baya yang sangat setia membantu tugas imam di paroki untuk membagikan Komuni kudus dan mengunjungi orang-orang sakit. Makan bersama merupakan awal persahabatan kami dengan Pat dan Barb. Sejak saat itu kami mulai mengenal satu sama lain, dan mulai sering berbagi cerita, suka dan duka. Kami masih menjalin hubungan persahabatan dengan mereka sampai sekarang. Indahlah kenangan kami bersama mereka, yang dimulai dengan suatu langkah sederhana, yaitu makan bersama.

Perjamuan sorgawi: “Inilah Tubuh-Ku…. Inilah Darah-Ku”

Demikianlah, Kristus mengundang kita untuk menjadi sahabat-Nya dengan makan bersama-Nya. Kapankah Kristus menetapkan perjamuan yang istimewa itu?  Injil mengajarkan kepada kita, bahwa sebelum sengsara-Nya, Kristus mengadakan perjamuan terakhir bersama dengan para rasul-Nya. Pada saat itulah Kristus mengambil roti, mengucap syukur dan memecahkan roti itu seraya berkata, “Inilah Tubuh-Ku …. ” dan juga Ia mengambil piala, dan berkata, “Inilah Darah-Ku …” Maka Gereja Katolik mengajarkan bahwa Kristus sungguh bermaksud demikian, yaitu untuk menjadikan Diri-Nya sebagai makanan dan minuman bagi mereka yang percaya kepada-Nya. Sebab menurut pemikiran orang Yahudi, tubuh merupakan pribadi dan darah merupakan sumber hidup yang menghidupi pribadi orang itu. Maka ketika Yesus mengatakan “Inilah Tubuh-Ku …. Inilah Darah-Ku … “, maksudnya adalah, “Inilah Diri-Ku”. Kristus memberikan diri-Nya seutuhnya kepada kita. Roti dan anggur itu diubah menjadi Tubuh dan Darah-Nya sendiri oleh kuasa Roh Kudus melalui perkataan Sabda Tuhan yang diucapkan oleh imam. Hal perubahan ini dikenal dalam istilah “transubstansiasi”, yang berarti: substansi roti dan anggur diubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus (lih. KGK 1376), meskipun rupanya tetap adalah roti dan anggur.

Kristus sendiri berkata, “Akulah roti hidup yang telah turun dari sorga. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya, dan roti yang Kuberikan itu ialah daging-Ku, yang akan Kuberikan untuk hidup dunia…. Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu. Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman. Sebab daging-Ku adalah benar-benar makanan dan darah-Ku adalah benar-benar minuman. Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia. Sama seperti Bapa yang hidup mengutus Aku dan Aku hidup oleh Bapa, demikian juga barangsiapa yang memakan Aku, akan hidup oleh Aku. Inilah roti yang telah turun dari sorga, bukan roti seperti yang dimakan nenek moyangmu dan mereka telah mati. Barangsiapa makan roti ini, ia akan hidup selama-lamanya.” (Yoh 6:51-58) Karena di dalam perjamuan ini, yang menjadi santapan ialah Kristus Sang Roti hidup yang turun dari Sorga, maka perjamuan ini adalah perjamuan Sorgawi. Juga, karena yang kita santap dalam perjamuan ini adalah Kristus, “Yang Kudus dari Allah” (Mrk 1:24), maka perjamuan ini disebut juga perjamuan kudus. Selain itu, perjamuan itu disebut perjamuan kudus, sebab kita yang menerimanya harus dalam keadaan berdamai dengan Tuhan, artinya, tidak dalam keadaan berdosa berat (lih. KGK 1385), dan sebab melalui perjamuan kudus Ekaristi itu Tuhan Yesus dengan cara-Nya sendiri menguduskan kita yang menyambut-Nya.

Mungkin kita pernah mendengar betapa orang mempertanyakan Ekaristi dan menganggap aneh, bahwa Yesus memerintahkan kita menyantap Tubuh-Nya dan minum Darah-Nya. Jika banyak orang tak mengerti sekarang, sesungguhnya itu tidak mengherankan, sebab sejak awal saat Yesus memberikan ajaran ini, sudah banyak orang mengatakan, “Perkataan ini keras, siapakah yang sanggup mendengarkannya?” (Yoh 6:60) Maka banyak dari mereka mengundurkan diri dan tidak lagi mengikuti Yesus (lih. Yoh 6:67). Namun Yesus tidak mengubah ajaran-Nya. Ia tidak berkata, “Tunggu dulu, maksud-Ku bukan inilah Tubuh-Ku, tetapi ini melambangkan Tubuh-Ku…” Sebaliknya, Ia bahkan bertanya kepada para rasul-Nya, “Apakah kamu tidak mau pergi juga?” Jawab Petrus kepada-Nya: “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal; dan kami telah percaya dan tahu, bahwa Engkau adalah Yang Kudus dari Allah.” (Yoh 6:61-69)

Di sini Rasul Petrus tidak mengatakan bahwa ia memahami bagaimana roti dan anggur dapat berubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Namun ia hanya menerima otoritas perkataan Yesus, dan percaya akan kuasa Yesus yang dapat melakukannya, karena perkataan Kristus adalah perkataan hidup yang kekal. Rasul Paulus juga meyakini bahwa dalam Ekaristi, Kristus sungguh-sungguh hadir, sehingga ia mengatakan, “Barangsiapa dengan tidak layak makan roti atau minum cawan Tuhan, ia berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan….. barang siapa makan dan minum tanpa mengakui tubuh Tuhan, ia mendatangkan hukuman atas dirinya sendiri” (1Kor 11:27,29). Maka, kita umat Katolik, juga seperti Rasul Petrus dan Paulus, menerima apa yang dikatakan Yesus sebagai kebenaran, sebab perkataan-Nya adalah perkataan kehidupan kekal. Walaupun kita tidak juga tidak dapat memahami bagaimana roti dan anggur itu dapat diubah menjadi Tubuh dan Darah Tuhan Yesus, namun kita menerima dengan iman bahwa Kristus dengan kuasa Roh Kudus-Nya, mengadakan perubahan itu, agar dapat memberikan diri-Nya sebagai santapan rohani bagi kita.

Ekaristi adalah Perjamuan yang memberi kita makan untuk hidup dan berbuah

Paus Benediktus XVI mengajarkan bahwa Perjamuan Terakhir diadakan Kristus pada saat memperingati Paska Yahudi, di mana bangsa Israel memperingati saat Allah membebaskan umat Israel dari penjajahan Mesir. Perjamuan ritual ini -yang mensyaratkan kurban anak domba- adalah peringatan masa lalu namun juga merupakan peringatan nubuat akan suatu pembebasan di masa yang akan datang. Orang-orang Yahudi menyadari bahwa pembebasan yang terjadi di masa yang lalu bukanlah pembebasan yang sifatnya definitif dan sudah selesai, sebab sejarah mereka terus diwarnai dengan perbudakan dan dosa. Dalam konteks inilah Kristus memperkenalkan karunia yang baru, yaitu sakramen Ekaristi, di mana Ia mengantisipasi dan menghadirkan kurban Salib-Nya dan kemenangan kebangkitan-Nya. Ia juga menyatakan kepada para rasul-Nya bahwa Ia-lah Anak Domba sejati yang dikurbankan, sesuai dengan rencana Allah Bapa (lih. 1Pet 1:18-20). ((lih. Paus Benediktus XVI, Ekshortasi Apostolik, Sacrament Caritatis, 10))

Maka Ekaristi adalah perjamuan kudus, sebab melalui Ekaristi di saat perjamuan Paska itu, Yesus mengubah roti dan anggur untuk menjadi Diri-Nya sendiri. Paus Yohanes Paulus II mengatakan, “Ekaristi adalah sungguh perjamuan sejati, di mana Kristus mempersembahkan diri-Nya sebagai santapan yang menguatkan kita.” ((Paus Yohanes Paulus II, Ecclesia de Euscharistia, 16)) Demikianlah, maka para jemaat pertama juga menyebut Ekaristi sebagai perjamuan Tuhan (1Kor 11:20). Kristus sendiri menyatakan bahwa Tubuh-Nya adalah benar-benar makanan dan Darah-Nya adalah benar-benar minuman (lih. Yoh 6:55), sebab Ia ingin agar kita menghubungkan Ekaristi dengan makanan dan minuman bagi kita sehari- hari. Sama seperti makanan dan minuman dapat menguatkan tubuh kita dan menjadi satu dengan tubuh kita; demikian pula Ekaristi dapat menguatkan kita, sehingga kita dapat menjadi seperti Dia yang kita terima.

Dengan menerima Kristus, kitapun menerima hidup ilahi-Nya. Kristus bersabda, “Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal [μένω/ ménō] pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal [μένω/ ménō] di dalam Aku. Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal [μένω/ ménō] di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa.” (Yoh 15:4-5). Ekaristi merupakan cara bagi kita untuk tinggal di dalam Dia, menerima hidup ilahi sehingga kita dapat bertumbuh dan menghasilkan buah. Sebab Yesus bersabda, “Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal [μένω/ ménō] di dalam Aku dan Aku di dalam dia.” Sebab sama seperti Kristus hidup oleh Bapa, maka kita yang memakan-Nya juga akan hidup oleh Kristus (lih. Yoh 6:57).

Ekaristi adalah Perjamuan yang mengakrabkan

Mungkin ada orang bertanya, atau bahkan kita sendiri bertanya, mengapa Tuhan Yesus memilih perjamuan untuk mendekatkan diri kepada kita? Nampaknya jawabannya sederhana: sebab makan bersama merupakan cara yang paling umum untuk membina persahabatan. Tak perlu jauh-jauh mencari contoh, sebab hal itu sungguh kita alami sendiri dalam kehidupan kita. Jika kita sedang bersyukur, misalnya merayakan ulang tahun atau lulus ujian umumnya kita makan bersama dengan keluarga. Kalau kita ingin berkenalan dengan lebih dekat dengan seseorang, umumnya kita mengajaknya makan bersama kita; dan dari situ kita dapat berbicara dari hati ke hati.

Injil juga mengisahkan hal yang serupa di dalam kehidupan Yesus. Mukjizat Yesus yang pertama dibuatnya di perjamuan kawin di Kana (Yoh 2:1-11). Yesus makan bersama sahabat- sahabatnya, seperti ketika Ia berkunjung ke rumah Maria dan Marta (lih. Luk 10:38-42). Ia mengunjungi Zakheus dan makan bersamanya (Luk 19:1-10) dan ini membuahkan pertobatan Zakheus. Selanjutnya, salah satu mukjizat yang besar, yang dicatat oleh keempat Injil adalah mukjizat pergandaan roti, saat Yesus memberi makan lima ribu orang (lih. Mat 14:13-21; Mrk 6:30-44; Luk 9:10-17; Yoh 6:1-13). Lalu sebelum wafat-Nya, Yesus mengadakan Perjamuan Terakhir bersama para murid-Nya, saat Ia menetapkan perjamuan roti dan anggur sebagai kenangan akan kurban Tubuh dan Darah-Nya (lih. Mat 26:26-29; Mrk 14:22-25; Luk 22:15-10). Demikian pula, setelah kebangkitan-Nya, Kristus menyatakan Diri-Nya kepada kedua murid-Nya di Emaus saat Ia duduk makan bersama mereka dan memecah roti (lih. Luk 24:30-31). Juga saat menampakkan diri kepada para murid-Nya di danau Tiberias, Ia makan bersama  mereka (lih. Yoh 21:12-13). Bahkan Kerajaan Surga digambarkan sebagai perjamuan kawin Anak Domba (lih. Why 19:9). Itulah sebabnya sejak awal mula, Gereja merayakan perjamuan ini dengan memecah roti di antara mereka, di samping juga bertekun dalam pengajaran para rasul, persekutuan dan doa (lih. Kis 2:42). Maka perjamuan roti dan anggur- yaitu Ekaristi, yang mempersatukan kita dengan Kristus, memang menjadi hal yang nyata diajarkan dalam Kitab Suci (lih. 1Kor 11:23-26).

Ekaristi mempersatukan kita dengan Kristus

Sebagaimana perjamuan mengakrabkan seseorang dengan yang lain, dengan menerima Kristus dalam Ekaristi, kita menjadi akrab dan digabungkan dengan Kristus. Perjamuan ini menjadi kenangan yang hidup akan kasih Tuhan Yesus yang demikian besar kepada kita, sampai Ia mau wafat bagi kita. Sebab sungguh ayat ini digenapi oleh Kristus: “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” (Yoh 15:13) Kristus memandang kita sebagai sahabat-sahabat-Nya, sebagai pemberian Allah Bapa kepada-Nya, sehingga Ia mau tinggal bersama-sama dengan kita (lih. Yoh 17:24). Maka Yesus mengaruniakan Ekaristi agar Ia dapat mempersatukan kita dengan-Nya, agar genaplah Sabda-Nya: “Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia.” (Yoh 6:56)

Untuk menangkap kedalaman makna persatuan dan kebersamaan ini, mungkin kita perlu merenungkan kedekatan kita dengan orang- orang yang kita kasihi di dunia ini. Contohnya, saat sebagai orang tua, kita mendekap anak kita, atau kebersamaan antara suami dan istri, atau kedekatan dengan seorang sahabat. Ekaristi adalah persatuan yang melampaui semuanya ini, sebab Ekaristi adalah persatuan kita dengan Kristus sendiri; dan melalui Kristus, dengan Allah Bapa dan Roh Kudus. Persatuan kita dengan Kristus inilah yang kita sebut sebagai “Komuni kudus”, yang menjadikan kita mengambil bagian di dalam Tubuh dan Darah-Nya (lih. KGK 1331).

St. Ignatius dari Antiokhia mengatakan dengan indahnya tentang persatuan kita dengan Kristus ini, “Pada pertemuan-pertemuan ini [perayaan Ekaristi], kamu … memecah roti yang satu, yang adalah obat kekekalan, dan penawar racun yang menghapus kematian, namun menghasilkan hidup kekal di dalam kesatuan dengan Yesus Kristus.” ((St. Ignatius of Antioch, Letter to the Ephesians, n.20)). Ya, komuni dengan Tubuh dan Darah Kristus, memperteguh persatuan kita dengan Kristus, mengampuni dosa-dosa ringan yang kita lakukan, dan melindungi kita dari dosa berat, sebab dengan menerima sakramen ini, ikatan kasih antara kita dan Kristus diperkuat, dan dengan demikian kesatuan Gereja juga diperteguh (lih. KGK 1416).

Ekaristi mempersatukan kita dengan sesama anggota Kristus

Maka, selain mempersatukan kita dengan Kristus, Ekaristi juga mempersatukan kita dengan sesama anggota Tubuh Kristus lainnya. Oleh karena kita menerima Kristus yang satu dan sama, maka kita dipersatukan di dalam Dia yang adalah Sang Kepala kita (lih. Kol 1:18; Ef 5:23). Rasul Paulus mengajarkan, “Bukankah cawan pengucapan syukur, yang atasnya kita ucapkan syukur, adalah persekutuan dengan darah Kristus? Bukankah roti yang kita pecah-pecahkan adalah persekutuan dengan tubuh Kristus? Karena roti adalah satu, maka kita, sekalipun banyak, adalah satu tubuh, karena kita semua mendapat bagian dalam roti yang satu itu.” (1Kor 10:15-16). Ya, dengan mengambil bagian di dalam Ekaristi, kita bersatu dengan Kristus Sang Kepala, dan dengan sesama anggota-Nya menjadi satu Tubuh (lih. KGK 1329).

Kita manusia diciptakan oleh Tuhan untuk menjadi semakin menyerupai Dia, yaitu supaya semakin dapat mengasihi; sebab Tuhan adalah Kasih (1 Yoh 4:8). Kasih itu mempersatukan. Oleh karena itu, sebagai manusia kita menginginkan persatuan, baik dengan Tuhan, maupun dengan sesama kita. Kristus- juga mempunyai kerinduan yang sama: bahwa Ia ingin tinggal bersama semua orang yang percaya kepada-Nya (lih. Yoh 6:56), namun juga Ia ingin agar semua yang percaya kepada-Nya menjadi satu, “Aku berdoa ….juga untuk orang-orang, yang percaya kepada-Ku …. supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku.” (Yoh 17:21). Maka, persatuan kita dengan Kristus, harus juga membawa persatuan kita dengan semua orang yang percaya kepada-Nya; sebab hal ini merupakan kehendak Kristus sendiri.

Ekaristi juga mempersatukan kita dengan semua anggota yang sudah beralih dari dunia ini

Karena Kristus hanya satu dan Tubuh-Nya juga hanya satu, maka satu jugalah kita semua anggota-anggota-Nya, baik Gereja yang masih berziarah di dunia ini, Gereja yang sudah berjaya di surga, maupun Gereja yang masih dimurnikan di Api Penyucian. Karena semua anggota- anggota Kristus dipersatukan oleh kasih Kristus yang melampaui maut (lih. Rom 8:38-39). Itulah sebabnya di dalam Komuni kudus ini kita mengingat juga persekutuan dengan para kudus di surga, terutama Bunda Maria (lih. KGK 1370); dan kita dapat mengajukan intensi doa permohonan bagi saudara- saudari kita yang telah mendahului kita, yaitu mereka yang ‘telah meninggal di dalam Kristus namun yang belum sepenuhnya dimurnikan’ sehingga mereka dapat memasuki terang dan damai Kristus (KGK 1371) yang kekal dalam kerajaan Surga.

Dengan adanya kesatuan dengan Kristus Tuhan sebagai Sang Kepala dan  dengan semua anggota Kristus, baik yang dunia ini maupun yang sudah beralih dari dunia ini, maka ada dimensi ilahi dalam setiap perayaan Ekaristi. Perjamuan Ekaristi tidak hanya merupakan penyembahan dan ucapan syukur kita di dunia ini tetapi juga para malaikat dan semua para kudus di surga. Melalui Ekaristi, mata hati kita diarahkan akan penggenapan iman dan harapan kita, akan kemuliaan surgawi (lih. KGK 1402), di mana kita akan bersatu dengan Dia dan seluruh isi surga untuk memuji dan memuliakan Dia.

Ekaristi sebagai janji kemuliaan Tuhan yang akan datang

Gereja mengajarkan bahwa Kristus hadir di tengah umat-Nya, dan di dalam rupa Ekaristi saat ini, namun  Ia hadir secara terselubung. Kita tetap “menantikan dengan penuh kerinduan akan kedatangan Penyelamat kita Yesus Kristus”, di mana kita akan dapat memandang Allah, menjadi serupa dengan-Nya, memuji Dia selamanya melalui Kristus (lih. KGK 1404). Sebab pada Perjamuan Terakhir, Kristus berkata bahwa Ia tidak akan minum lagi dari pokok anggur sampai pada saat Ia meminumnya bersama dengan kita dalam Kerajaan Bapa (lih. Mat 26:29; Luk 22:18; Mrk 14:25). Maka setiap kali Gereja merayakan Ekaristi, ia mengingat janji ini sambil mengarahkan pandangannya kepada Kristus yang akan datang (lih. KGK 1403), yang akan menggenapinya. Paus Yohanes Paulus II mengatakan bahwa di dalam perayaan Ekaristi, “…kita disatukan dengan ‘liturgi’ surgawi dan menjadi bagian dari para kudus yang jumlahnya berlaksa-laksa yang menyerukan, “Keselamatan bagi Allah kami yang duduk di atas takhta dan bagi Anak Domba!” (Why 7:10). Ekaristi adalah sungguh sekilas surga yang nampak di dunia.” ((Paus Yohanes Paulus II, Ecclesia de Eucharistia, 19))

Maka Ekaristi menuntun Gereja mencapai tujuan akhirnya di mana persekutuan dengan Allah dan sesama mencapai kesatuan yang sempurna, yaitu “keadaan persatuan dengan Kristus, yang pada saat yang sama membuatnya mungkin untuk masuk ke dalam kesatuan yang hidup dengan Allah sendiri, sehingga Tuhan dapat menjadi semua di dalam semua (1Kor 15:28).” ((Joseph Cardinal Ratzinger (Pope Benedictus XVI), Called to Communion, (San Francisco: Ignatius Press, 1991), p. 33))

Ekaristi adalah Perjamuan Tubuh dan Darah Kristus menurut Bapa Gereja

Berikut ini adalah pengajaran dari para Bapa Gereja, yang sudah sejak abad awal mengajarkan bahwa perayaan Ekaristi sungguh merupakan perayaan perjamuan Tubuh dan Darah Kristus, di mana Kristus sendiri hadir dan  menyatu dengan kehidupan jemaat:

1. St. Yustinus Martir (100-165)

“Maka lalu dibawa kepada pemimpin para saudara, roti dan sepinggan anggur yang dicampur dengan air; dan saat mengambilnya ia memberi pujian dan kemuliaan kepada Allah Bapa Semesta alam, melalui nama Sang Putera dan Roh Kudus, dan mempersembahkan syukur yang panjang karena kita dianggap layak menerima semua ini dari tangan-Nya. Dan ketika ia telah menyelesaikan doa- doa dan ucapan syukur, semua orang yang hadir menyatakan persetujuan mereka dengan mengatakan, Amin. Perkataan Amin dalam bahasa Ibrani menjawab, “biarlah demikian”. Dan ketika pemimpin telah mengucap syukur, dan semua orang telah menyatakan persetujuan mereka, mereka yang disebut diakon memberikan kepada setiap yang hadir, untuk mengambil bagian dari roti dan anggur yang telah dicampur air yang atasnya telah diucapkan syukur dan kepada mereka yang tidak hadir, mereka bawakan bagiannya.

Dan makanan ini disebut di antara kami sebagai Ekaristi, yang tentangnya tak seorangpun diperkenankan menyambutnya selain seseorang yang percaya bahwa hal-hal yang kami ajarkan adalah benar, dan yang telah dibasuh dengan Pembaptisan yaitu untuk penghapusan dosa, dan untuk kelahiran kembali, dan yang hidup sesuai dengan apa yang diperintahkan Kristus. Sebab bukanlah sebagai roti biasa dan minuman biasa kami terima ini semua; tetapi sebagaimana pada Yesus Kristus Penyelamat kita, yang setelah menjelma menjadi manusia oleh Sabda Tuhan, mempunyai tubuh dan darah demi keselamatan kita, demikianlah pula, kami telah diajarkan bahwa makanan yang telah diberkati dengan perkataan doa-Nya dan yang dari mana darah dan tubuh kami diberi makan oleh transmutasi, adalah tubuh dan darah dari Yesus yang telah menjadi manusia. Sebab para Rasul dalam catatan peringatan yang mereka susun, yang disebut Injil, telah diteruskan kepada kami apa yang telah diajarkan kepada mereka; bahwa Yesus mengambil roti, dan ketika Ia telah mengucap syukur, dan berkata, “Perbuatlah ini sebagai peringatan akan Aku, inilah tubuh-Ku… (Luk 22:19) dan dengan cara yang sama, setelah mengambil piala dan mengucap syukur, Ia berkata, “Inilah darah-Ku; (Mat 26:28) dan memberikan kepada mereka….  ” ((St. Justin Martyr, First Apology, ch. 65-66))

2. St. Siprianus (w 258)

“Akulah roti hidup yang turun dari Surga. Barangsiapa makan roti ini akan hidup selamanya …. (Yoh 6:51-52). Sejak saat Ia berkata demikian, barangsiapa yang makan Roti itu, memperoleh hidup kekal, sebagaimana dinyatakan bahwa mereka hidup, yang menerima Ekaristi dengan komuni yang benar, dan di sisi yang lain, kita harus gentar dan berdoa, jika tidak, siapapun, ketika ia terputus dan terpisah dari tubuh Kristus, menjadi tetap terpisah dari keselamatan, seperti yang dikatakan-Nya, “Jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu.” Maka kita mohon agar roti kita, yaitu Kristus, diberikan kepada kita setiap hari, sehingga kita yang tinggal dan hidup di dalam Kristus, tidak akan menarik diri dari pengudusan-Nya dan dari Tubuh-Nya. ((St. Cyprian, The Lord’s Prayer, Ch. 18))

3. St. Sirilus dari Yerusalem (313-386)

“Oleh karena itu dengan keyakinan yang penuh marilah kita mengambil bagian dalam Tubuh dan Darah Kristus: sebab di dalam rupa Roti diberikan kepadamu Tubuh-Nya, dan di dalam rupa anggur, Darah-Nya; sehingga dengan mengambil bagian di dalam Tubuh dan Darah-Nya, kamu dapat dibuat menjadi tubuh yang sama dan darah yang sama dengan Dia. Sebab dengan demikian kita dapat mengandung Kristus di dalam kita, sebab Tubuh dan Darah-Nya dibagikan melalui anggota- anggota kita, sehingga karena itu, menurut Petrus yang Terberkati, kita menjadi pengambil bagian dalam kodrat ilahi (2 Pet 1:4).” ((St. Cyril of Jerusalem, Catecheses, 22:3))

4. St. Ambrosius (337-397)

“Mungkin kamu akan berkata, “Aku melihat sesuatu yang lain, bagaimana kamu dapat menyatakan bahwa aku menerima Tubuh Kristus?” Dan ini adalah hal yang tetap bagi kita untuk dibuktikan. Dan bukti apa yang harus kita gunakan? Biarlah kita membuktikan bahwa ini bukan apa yang dibuat oleh kodrat, tetapi apa yang oleh rahmat dikonsekrasikan, dan kuasa rahmat lebih besar daripada kuasa kodrat, sebab oleh rahmat, kodrat itu sendiri diubahkan.” ((St. Ambrose, On the Mysteries, 9:50))

“Jangan melihat di dalam roti dan anggur bahan- bahan alami biasa, sebab Kristus telah mengatakan dengan jelas bahwa roti dan anggur itu adalah TubuhNya dan Darah-Nya: iman meyakinkan kamu akan hal ini, meskipun perasaanmu menyatakan sebaliknya.” ((St. Ambrose, Mystagogical Catecheses, IV, 6: SCh 126, 138))

5. St. Agustinus (354-430)

Daging-Ku,” kata-Nya, “Kuberikan untuk hidup dunia” (Yoh 6:51). Para orang percaya mengenali tubuh Kristus; jika mereka mengabaikannya, janganlah menjadi tubuh Kristus. Biarlah mereka menjadi tubuh Kristus, jika mereka ingin hidup oleh Roh Kristus. Tak ada seorangpun hidup oleh Roh Kristus tetapi hanya tubuh Kristus …. Adalah untuk ini Rasul Paulus menjelaskan tentang roti ini, “Satu roti,” katanya, [maka] “kita walaupun banyak namun adalah satu” (1Kor 10:17). O rahasia kesalehan! O tanda kesatuan! O ikatan cinta kasih! Ia yang mau hidup, mempunyai tempat untuk hidup, mempunyai sumber untuk hidup. Biarlah ia datang mendekat, biarlah ia percaya, biarlah ia menjadi satu, sehingga ia dapat menjadi hidup.” ((St. Augustine, On the Gospel of John, Tr 26:13))

6. St. Leo Agung (391-461)

“Sebab ketika Tuhan berkata, “Jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, kamu tidak akan mempunyai hidup di dalam dirimu” (Yoh 6:53), demikianlah kamu harus menjadi pengambil bagian di dalam altar yang kudus, dan tak mempunyai keraguan apapun mengenai realitas Tubuh dan Darah Kristus. Sebab apa yang diterima di dalam mulut adalah apa yang dipercaya di dalam iman, dan adalah sia-sia bagi mereka untuk menjawab Amin, yang meragukan apa yang telah diterima. ((St. Leo Agung, Sermons, no. 91:3))

Gereja hidup dari Ekaristi

Sebagaimana manusia dapat hidup karena makan, demikianlah sejarah Gereja menunjukkan bahwa Gereja hidup oleh perjamuan Ekaristi. Gereja menerima santapan surgawi dari Kristus, dan karena itu memperoleh hidup dari Kristus ((lih. Paus Yohanes Paulus II, Ecclesia de Eucharistia, 1,7)), dan menjadikannya sebagai hidupnya sendiri. Tuhan Yesus telah memberikan seluruh hidup-Nya, supaya kita yang percaya kepada-Nya dapat hidup di dalam Dia. Yesus bersabda, “Akulah roti hidup yang telah turun dari sorga. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya, dan roti yang Kuberikan itu ialah daging-Ku, yang akan Kuberikan untuk hidup dunia….” (Yoh 6:51). Karena Kristus sendirilah yang kita sambut di dalam Ekaristi, maka benarlah apa yang dinyatakan dalam Konsili Vatikan II, yaitu bahwa Ekaristi disebut sebagai “sumber dan puncak kehidupan Kristiani” (KGK 1324). “Sebab di dalam Ekaristi terkandung keseluruhan kekayaan rohani Kristus: yaitu Kristus sendiri, Paska kita dan Roti kehidupan kita. Melalui Tubuh-Nya sendiri yang sekarang dibuat hidup dan memberi hidup oleh kuasa Roh Kudus, Kristus mempersembahkan hidup-Nya bagi manusia.” ((Konsili Vatikan II, Dekrit Pelayanan dan Kehidupan Para Imam, Presbyterorum Ordinis, 5))

Kesimpulan

Oleh karena besar kasih-Nya, Kristus meninggalkan kenangan perjamuan Ekaristi kepada Gereja-Nya. Ia menghendaki agar kita yang tergabung di dalam Tubuh-Nya sungguh menyantap Tubuh dan Darah-Nya yang adalah benar- benar makanan dan minuman, agar kita beroleh hidup yang kekal di dalam Dia. Karena Kristus Tuhan sendirilah yang kita sambut dalam Ekaristi, maka Ekaristi menjadi sumber dan puncak kehidupan kita sebagai umat Kristiani. Sebagai tanda kasih Kristus, Ekaristi mempersatukan kita dengan Kristus Tuhan yang adalah Kasih, dan juga mempersatukan kita dengan  sesama anggota Kristus, yaitu Gereja. Dengan kesatuan dengan Kristus yang adalah Kepala, kita juga disatukan dengan semua anggota tubuh-Nya, baik yang masih hidup di dunia, maupun yang telah beralih dari dunia ini, yaitu mereka yang masih dimurnikan di Api Penyucian dan mereka yang telah berjaya di surga. Dalam kesatuan dengan Kristus, kita mengarahkan pandangan kepada kesatuan yang sempurna dengan Allah dan sesama di Surga kelak, di mana Allah meraja di dalam semua (lih. 1Kor 15:28).

Agaknya peninggalan kurban dan perjamuan Ekaristi yang diperingati Gereja setiap hari sampai akhir zaman merupakan penggenapan dari kalimat ini: “Kristus mengasihi kita sampai pada akhirnya”. Ia menunjukkan kasih-Nya ini dengan mengurbankan hidup-Nya (lih. Yoh 15:13); namun kasih-Nya ini tidak berhenti setelah kematian-Nya. Sebab Kristus terus hidup setelah kebangkitan-Nya, demikianlah kasih-Nya kepada kita tetap ada selamanya. St. Agustinus mengatakannya dengan begitu indahnya, “Tidak hanya sejauh itu saja Ia mengasihi kita, [sebab] Ia selalu dan selamanya mengasihi kita. Jauhlah kiranya dari kita untuk berpikir bahwa Ia menjadikan kematian sebagai akhir dari cinta kasih-Nya kepada kita, [sebab] Ia tidak menjadikan kematian sebagai akhir dari kehidupan-Nya.” ((St. Augustine, In Ioann. Evang., 55,2)). Cinta kasih Kristus yang tiada berakhir dan tiada terbatas ini yang dirayakan di dalam Ekaristi. Selayaknya kita senantiasa bersyukur untuk karunia Ekaristi, yang memungkinkan kita untuk selalu mengalami kasih-Nya dalam kesatuan dengan Dia, sebab kita disatukan dengan Tubuh dan Darah-Nya, Jiwa dan ke-Allahan-Nya.

“Tuhan Yesus, kumohon, buatlah aku semakin memahami, mengasihi dan mengalami Engkau yang hadir dalam Ekaristi.”

Appendix

Doa sebelum dan sesudah Komuni

Doa sebelum Komuni
disusun oleh St. Thomas Aquinas, Pujangga Gereja (1225- 1274)

Tuhan yang Mahabesar dan kekal,
aku menghadap sakramen Putera Tunggal-Mu, Tuhan kami Yesus Kristus.
Aku datang sebagai orang yang sakit kepada Sang Tabib Kehidupan,
sebagai orang yang berdosa ke hadapan mata air belas kasih,
sebagai orang buta ke hadapan Terang yang kekal,
sebagai orang miskin dan papa kepada Tuhan langit dan bumi.

Karena itu, aku memohon kelimpahan rahmat-Mu yang tak terbatas
agar Engkau berkenan memulihkan penyakitku, mencuci noda dosaku, menerangi kebutaanku, memperkaya kemiskinanku,
sehingga aku dapat menerima Roti para malaikat, Raja dari segala raja,
dengan segala penghormatan dan kerendahan hati, dengan kasih yang besar,
dengan kemurnian dan iman, dengan tujuan dan maksud
yang dapat berguna bagi keselamatan jiwaku.

Berikankah kepadaku, kumohon,
rahmat untuk menerima tidak saja sakramen Tubuh dan Darah Tuhan kami,
tetapi juga rahmat dan kuasa dari sakramen ini.
O, Tuhan yang Maha Pemurah, dengan menerima Tubuh Putera-Mu yang Tunggal,
Tuhan kami Yesus Kristus yang dilahirkan oleh Perawan Maria,
karuniakanlah kepadaku rahmat untuk boleh digabungkan dengan Tubuh Mistik-Nya dan terhitung sebagai anggota- anggota Tubuh-Nya.

O Tuhan yang Maha Pengasih, berikanlah kepadaku rahmat untuk memandang wajah sesungguhnya dari Putera-Mu terkasih selamanya di surga, yang kini akan kuterima dalam rupa yang terselubung.

Amin.

Doa sesudah Komuni
disusun oleh St. Thomas Aquinas, Pujangga Gereja (1225-1274)

Aku berterima kasih kepada-Mu, Bapa yang kekal,
karena oleh belas kasihan-Mu yang murni
Engkau telah berkenan memberi makan jiwaku dengan Tubuh dan Darah Putera Tunggal-Mu, Tuhan kami Yesus Kristus.

Kumohon kepada-Mu agar Komuni kudus ini tidak menjadi kutukan bagiku,
tetapi menjadi penghapusan yang berdayaguna untuk semua dosaku.
Semoga Komuni ini menguatkan imanku, membangkitkan di dalamku semua yang baik, membebaskan aku dari kebiasaan- kebiasaan buruk, menghapuskan semua kecondongan terhadap dosa, menyempurnakan aku di dalam kasih, kesabaran, kerendahan hati, baik yang kelihatan dan tak kelihatan, menjadikankanku bersahaja dalam segala hal, mempersatukanku dengan-Mu dengan erat, Sang Kebaikan sejati, dan tempatkanlah aku dalam kebahagiaan yang tak dapat berubah.

Kini aku memohon dengan sungguh agar suatu hari nanti Engkau akan menerima aku, meskipun aku orang berdosa dan tidak layak, untuk menjadi seorang tamu pada Perjamuan Ilahi di mana Engkau, dengan Putera-Mu dan Roh Kudus, adalah Terang Ilahi, kesempurnaan kekal, sukacita yang tak berkesudahan dan kebahagiaan sempurna dari semua orang Kudus, melalui Kristus Tuhan kami.

Amin.

Doa sesudah Komuni

ANIMA CHRISTI
doa Gereja yang populer di abad 14, yang dikutip oleh St. Ignatius Loyola dalam bukunya Spiritual Exercises.

Jiwa Kristus, kuduskanlah kami
Tubuh Kristus, selamatkanlah kami
Darah Kristus, sucikanlah kami
Air dari lambung Kristus, basuhlah kami

Sengsara Kristus, kuatkanlah kami
O Yesus yang murah hati, luluskanlah doa kami
Dalam luka- luka-Mu sembunyikanlah kami
Jangan kami dipisahkan dari pada-Mu, ya Tuhan
Terhadap Seteru yang curang, lindungilah kami
Di saat ajal, terimalah kami
Agar bersama para kudus, kami memuji Engkau selamanya.

Kurban yang Berkenan Kepada Allah

7

Kurban, kurban, dan kurban

Di tahun 2000, seusai mengikuti Live in the Spirit Seminar di Manila, Filipina, saya dan Stef terdorong untuk membaca Kitab Suci mulai dari awal sampai akhir. Saat itu ada rasa penyesalan di hati, sebab sepertinya kami lebih rela membuang waktu untuk membaca bermacam buku bacaan sekular, tetapi kami belum pernah membaca Kitab Suci sampai selesai. Memang kami sering mendengar orang berkata, bahwa tak penting membaca Kitab Suci sampai habis, yang lebih penting adalah membaca perikop atau ayat-ayat tertentu lalu merenungkannya dan melaksanakannya. Ya, memang benar, bahwa hal  yang terpenting adalah Sabda Tuhan menjadi nyata kita laksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Namun demikian, tidak ada salahnya membaca Kitab Suci, cover to cover, sebab bukankah itu yang umumnya kita lakukan jika kita menyukai suatu kisah dalam buku? Saat kita membaca novel yang seru, misalnya, bukankah kita tidak membaca hanya bagian akhirnya saja? Sedangkan Kitab Suci tidak dapat dibandingkan dengan buku novel. Sebab Kitab Suci adalah Sabda Allah, surat cinta Allah kepada manusia.

Singkat kata, akhirnya bulatlah tekad kami untuk membaca keseluruhan Kitab Suci. Saat membaca bagian awal yaitu Kitab Kejadian, kami cukup menikmatinya. Ini seperti kilas balik mengingat kembali kisah-kisah yang sering kami dengar semasa kecil dulu. Namun, baru saja menjelang selesainya kitab Keluaran dan lalu dimulainya kitab Imamat, kami terhenyak. Seolah cerita-cerita yang ‘seru’ ini terhenti. Selanjutnya, lembar demi lembar diisi dengan topik ini: kurban. Kurban bakaran. Kurban sajian. Kurban keselamatan. Kurban penghapus dosa. Kurban penebus salah…. dan banyak ketentuan lain yang menyangkut kurban dan imam -sebagai wakil umat- yang mempersembahkannya kepada Allah. Selanjutnya tema kurban dan imam, senantiasa muncul di kitab-kitab berikutnya, seiring dengan jatuh bangunnya bangsa Israel. Kurban menjadi ungkapan penyembahan, syukur, namun juga ungkapan pertobatan manusia kepada Allah. Sungguh, tema ‘kurban’ yang sarat ditemukan di lembaran Perjanjian Lama, merupakan pendahuluan yang mengarahkan kita kepada penggenapannya di dalam kurban Kristus dalam Perjanjian Baru. Tema kurban menjadi ‘benang merah’ yang membantu kita memahami bahwa puncak rencana keselamatan Allah dicapai oleh kurban Kristus: Sang Putera Allah yang menyerahkan nyawa-Nya untuk menjadi kurban penebus dosa segenap umat manusia.

Kurban: Apakah artinya?

Kurban dari kata qurbān (bahasa Ibrani), atau sacrifice (bahasa Inggris) artinya adalah persembahan, atau sesuatu yang dikuduskan/ “something made sacred“, ((Lawrence G. Lovasik, The Basic Book of the Eucharist, (Manchester, New Hampshire: Sophia Institute Press, 2001), p.55)) dalam hal ini, konteksnya adalah persembahan yang ditujukan kepada Allah. Maka kurban yang dipersembahkan oleh imam -yaitu orang yang juga dikuduskan bagi Allah- merupakan tanda bahwa segala yang dipersembahkan itu, dan orang- orang yang mempersembahkannya adalah milik Allah. Mereka mau taat kepada ketetapan-Nya; dan mau memohon penebusan dosa kepada-Nya. Oleh karena itu, kurban mempunyai empat makna yang tak terpisahkan, yaitu: penyembahan, ucapan syukur, ungkapan tobat, dan permohonan kepada Allah.

Persembahan yang kelihatan dari luar menandai persembahan hati ataupun penyerahan hidup manusia kepada Tuhan. Sejak awal mula sejarah manusia, manusia telah memberikan persembahan kepada Allah; hal ini dapat dilihat bahkan di dalam hampir semua agama; dan ini menandakan bahwa kurban merupakan ciri-ciri dari hubungan antara manusia dengan Allah Sang Pencipta. Persembahan kepada Allah ini terdiri dari dua jenis, yaitu pertama, persembahan berupa hasil bumi yang tidak berdarah, seperti roti, buah dan sayuran hasil pertama kebun ataupun ladang, minyak, dst; kedua, persembahan berupa hewan, seperti domba, anak domba, lembu, kambing, dst. Persembahan ini melambangkan hidup manusia itu sendiri, dan dengan mempersembahkan kurban, manusia mau menyatakan bahwa mereka menyerahkan kembali kehidupan yang mereka terima dari Allah. Demikianlah kita memaknai persembahan Kain dan Habel, Nabi Nuh, Abraham, Melkisedek, Musa, Raja Salomo, Nabi Elia, dan para nabi/ imam yang lain.

Ketentuan persembahan di dalam Perjanjian Lama (PL) ditentukan oleh Allah sendiri dan Allah berkenan jika persyaratan kurban itu dipenuhi (lih. 1Raj 8:62-9:9). Allah menghendaki bangsa Israel mempersembahkan kurban bakaran pada pagi maupun petang hari, pada hari- Sabat, dan hari hari raya (lih. 2 Taw 2:4). Kurban yang paling utama dalam PL adalah kurban anak domba Paska yang merupakan kurban yang merupakan peringatan akan pembebasan bangsa Israel dari perbudakan Mesir (lih. Kel 12). Kurban inilah yang selalu diperingati oleh bangsa Israel sampai di zaman Yesus, sebagai peringatan akan peristiwa penyelamatan mereka dari penjajahan Mesir, dan pembaharuan perjanjian mereka dengan Tuhan.

Kurban Kristus: Apakah artinya?

Umat Yahudi memperingati Paska Yahudi dengan mengurbankan anak domba untuk memperingati peristiwa Tuhan yang membebaskan umat Israel dari perbudakan Mesir (Kel 12:3-14). Pembebasan ini merupakan gambaran dari Paska Kristus, yang menebus umat manusia dari perbudakan dosa oleh kurban salib-Nya (lih. Yoh 1:29). Itulah sebabnya mengapa perayaan Paska Yahudi merupakan saat yang tepat yang dipilih oleh Tuhan Yesus untuk menetapkan perayaan Paska bagi umat Kristen yang baru. Paus Benediktus XVI mengajarkan bahwa Perjamuan Terakhir diadakan Kristus pada saat memperingati Paska Yahudi, di mana Allah membebaskan umat Israel dari penjajahan Mesir. Perjamuan ritual ini -yang mensyaratkan kurban anak domba- adalah peringatan masa lalu namun juga merupakan peringatan nubuat akan suatu pembebasan di masa yang akan datang. Sebab orang-orang Yahudi menyadari bahwa pembebasan yang terjadi di masa yang lalu bukanlah pembebasan yang sifatnya definitif dan sudah selesai, sebab sejarah mereka terus diwarnai dengan perbudakan dan dosa. Dalam konteks inilah Kristus memperkenalkan karunia yang baru, yaitu sakramen Ekaristi, di mana Ia mengantisipasi dan menghadirkan kurban Salib-Nya dan kemenangan kebangkitaan-Nya. Ia juga menyatakan kepada para rasul-Nya bahwa Ia-lah anak domba sejati yang dikurbankan, sesuai dengan rencana Allah Bapa (lih. 1Pet 1:18-20) ((lih. Paus Benediktus XVI, Ekshortasi Apostolik, Sacrament Caritatis, 10)).

Maka Kristus dalam Perjanjian Baru tidak sama sekali menghapuskan makna kurban yang telah dengan panjang lebar diajarkan di dalam Perjanjian Lama. Sebab jika tidak, bagaimana mungkin dikatakan bahwa kurban Perjanjian Baru menggenapi dan menyempurnakan kurban Perjanjian Lama?

Kurban- kurban tersebut, yang dilakukan oleh bangsa Yahudi maupun bangsa-bangsa lain, memang dengan sendirinya tidak dapat menebus dosa, tetapi kurban itu menunjukkan betapa manusia pada dasarnya merindukan penebusan dosa. Sebab setelah kejatuhan Adam dan Hawa ke dalam dosa, maka semua umat manusia, termasuk kita, telah menerima Dosa Asal itu dari mereka. Kita manusia mempunyai kecenderungan untuk berbuat dosa, dan mudah jatuh ke dalam dosa, sehingga, bantuan dari Surga diperlukan untuk menebus dosa-dosa umat manusia di dunia ini. “Seseorang” dari Surga perlu turun ke dunia untuk menyelamatkan kita manusia; dan karena itulah Kristus datang ke dunia.

Dengan menjadi manusia, Kristus ‘mewakili’ kita dan menjadi kurban tebusan bagi dosa kita; sedangkan karena Ia Allah, maka Ia dapat mempersembahkan kurban yang nilainya tiada terbatas. Sebab begitu besarlah dosa- dosa manusia, sehingga mensyaratkan penebusan yang hanya Tuhan-lah yang dapat melakukannya. Namun lebih besarlah kasih Allah jika dibandingkan dengan dosa-dosa manusia, sebagaimana ada tertulis, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” (Yoh 3:16) Sebab, “Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita.” (1 Yoh 4:10)

Maka, kurban dalam Perjanjian Baru adalah Kristus, yang dengan wafat-Nya di salib, mempersembahkan diri-Nya kepada Allah Bapa demi menebus dosa-dosa kita. Kristus menyerahkan Tubuh dan Darah-Nya. Nabi Musa memerciki bangsa Israel dengan darah kurban bakaran setelah peneguhan Perjanjian Lama, sambil berkata, “Inilah darah perjanjian yang diadakan TUHAN dengan kamu, berdasarkan segala firman ini.” (Kel 24:8). Kristus menyempurnakan kurban ini dengan mencurahkan darah-Nya sendiri, sebagaimana dikatakan-Nya, “Sebab inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa.” (Mat 26:28). Maka darah Kristus menjadi meterai Perjanjian Baru antara Allah dan manusia, dan setiap perayaan Ekaristi merupakan peringatan akan kurban Kristus ini. Rasul Paulus berkata, “Sebab setiap kali kamu makan roti ini dan minum cawan ini, kamu memberitakan kematian Tuhan sampai Ia datang.” (1Kor 11:26)

Dengan mempersembahkan Tubuh dan Darah-Nya yang tercurah di kayu salib, Kristus menjadi tebusan bagi semua manusia (lih. 1 Tim 2:6). Kristus memberikan hidup-Nya sendiri kepada semua umat manusia; secara khusus kepada Gereja, yaitu perkumpulan manusia di dalam Kristus yang mengambil bagian di dalam kehidupan ilahi-Nya, agar memperoleh kehidupan kekal. ((lih. Katekismus Gereja Katolik/ KGK 760))  Sungguh, hidup kekal itulah yang diberikan oleh Kristus kepada kita yang percaya kepada-Nya, yang menyantap Tubuh dan Darah-Nya (lih. Yoh 6:54).

Misteri Paskah Kristus: Puncak Rencana Keselamatan Allah

Hidup kekal itu diberikan Kristus melalui Misteri Paska-Nya, yaitu melalui sengsara, wafat, kebangkitan Kristus dan kenaikan-Nya ke Surga. “Allah tidak menyayangkan Yesus Putera-Nya sendiri untuk menyelamatkan kita” (Rom 8:32), para pendosa. Maka, alasan Kristus untuk datang ke dunia adalah untuk wafat dan menjadi tebusan atas dosa-dosa kita. Paus Benediktus XVI mengatakan, “Kematian Kristus di Salib adalah puncak… dimana Tuhan memberikan diri-Nya sendiri agar mengangkat manusia dan menyelamatkannya.” ((Paus Benediktus XVI, Deus Caritas est, 12, Sacramentum Caritatis, 9))  Karena itu, layaklah jika Ia mewariskan kenangan wafat-Nya itu, yang menjadi Perjanjian Baru dan Kekal antara kita manusia dengan Tuhan. Perjanjian ini menandai pemberian diri dalam hubungan kasih, yang berlaku untuk selamanya. Sejak kejatuhan Adam sampai kedatangan Kristus, Allah telah membuat perjanjian dengan bangsa Israel (bangsa pilihan Allah) melalui para bapa bangsa dan para nabi. Perjanjian ini yang disebut Perjanjian Lama ditandai dengan kurban penyembahan terhadap Tuhan dan kurban penebus dosa (Im 9:23) yang dipersembahkan melalui para imam (Kel 10:25-26). Melalui kurban ini, manusia diampuni dan dimampukan kembali untuk mengasihi Allah. Kurban inilah yang diteruskan dalam kurban Ekaristi- oleh Gereja, yaitu bangsa pilihan Allah yang baru- sebagai kurban Perjanjian Baru dan Kekal, yang menjadi tebusan dosa manusia sampai akhir zaman. Gereja lahir dari Misteri Paska Kristus, sehingga oleh karena itu Ekaristi yang merayakan Misteri Paska Kristus, berada di pusat kehidupan Gereja. ((lih. Paus Yohanes Paulus II, Ecclesia de Eucharistia, 3))

Maka Perayaan Ekaristi (Kurban Misa kudus) merupakan kurban Tubuh dan Darah Yesus Kristus, yang sungguh hadir di altar di dalam rupa roti dan anggur, yang dipersembahkan kepada Tuhan demi pengampunan dosa umat manusia. Kurban Misa adalah kurban yang satu dan sama dengan kurban Kristus di kayu salib, di mana dulu Kristus mempersembahkan Diri-Nya sebagai kurban yang berdarah, kepada Allah Bapa, dan kini Ia terus mempersembahkan Diri-Nya dengan cara yang tidak berdarah di altar, melalui pelayanan para imam-Nya, untuk mendatangkan keselamatan bagi umat-Nya. ((lih. KGK 1367)) Perayaan Ekaristi juga merupakan sebuah peringatan akan Sengsara, Wafat dan Kebangkitan Tuhan Yesus. Perayaan ini dilakukan oleh Gereja karena Gereja menaati kehendak Yesus sendiri yang berpesan, “Lakukanlah ini sebagai peringatan akan Aku.” (Luk 22:19). Pada setiap perayaan Ekaristi, kita, secara rohani dibawa kepada Triduum Paska, yaitu sejak Perjamuan Terakhir, sengsara-Nya di Taman Getsemani, jalan salib-Nya dan wafat-Nya di salib di Golgota, sampai dengan kebangkitan-Nya di hari raya Paska. ((Paus Yohanes Paulus II, Ecclesia de Eucharistia, 3-5))

Selain sebagai Kurban, Kristus juga sebagai Imam

Selain sebagai penggenapan kurban Paska Perjanjian Lama, Kristus juga adalah penggenapan Imam menurut peraturan Melkisedek (lih. Ibr 5:6; Mzm 110:4). Di Perjanjian Lama, Melkisedek adalah Raja Salem yang mempersembahkan kurban dalam rupa roti dan anggur kepada Allah. Dengan demikian dalam rupa roti dan anggur (lih. Kej 14:18) inilah juga kurban Yesus dinyatakan, dengan Kristus sendiri bertindak sebagai imam-Nya. “Sebab Imam Besar yang demikianlah yang kita perlukan: yaitu yang saleh, tanpa salah, tanpa noda, yang terpisah dari orang-orang berdosa dan lebih tinggi dari pada tingkat-tingkat sorga, yang tidak seperti imam-imam besar lain, yang setiap hari harus mempersembahkan korban untuk dosanya sendiri dan sesudah itu barulah untuk dosa umatnya, sebab hal itu telah dilakukan-Nya satu kali untuk selama-lamanya, ketika Ia mempersembahkan diri-Nya sendiri sebagai korban.” (Ibr 7:26-27)

Demikian pula nubuat nabi Maleakhi mengatakan, “Aku [Allah] tidak suka kepada kamu [para imam Yahudi], firman TUHAN semesta alam, dan Aku tidak berkenan menerima persembahan dari tanganmu. Sebab dari terbitnya sampai kepada terbenamnya matahari nama-Ku besar di antara bangsa-bangsa, dan di setiap tempat dibakar dan dipersembahkan korban bagi nama-Ku dan juga korban sajian yang tahir; sebab nama-Ku besar di antara bangsa-bangsa, firman TUHAN semesta alam.” (Mal 1:10-11)

Kedua nubuat ini digenapi di dalam kurban Perjanjian Baru, yaitu kurban Kristus yang dipersembahkan dalam rupa roti dan anggur, yang dipersembahkan di antara bangsa- bangsa di seluruh dunia. Dalam Ekaristi, selain sebagai Kurban, Kristus juga bertindak sebagai Imam yang mempersembahkan Kurban. Dalam hal inilah kita mengatakan bahwa di dalam Perayaan Ekaristi, para imam/ pastor menjadi “in persona Christi“, bertindak sebagai Kristus.

Ekaristi adalah Kurban Kristus: Tubuh dan Darah-Nya

Maka dalam Perayaan Ekaristi, Misteri Paska Kristus yang satu dan sama itu dihadirkan kembali oleh kuasa Roh Kudus. Artinya kurban Kristus di salib dibuat selalu hadir ((lih. Ibr 7:25-27, KGK 1364)) dan dengan demikian karya penebusan kita terus dilaksanakan oleh Allah. Jadi perayaan Ekaristi adalah kurban salib Kristus sebab dalam perayaan itu kita mengenangkan Paska Kristus, yang ditandai dengan perkataanNya: “Inilah tubuh-Ku yang diserahkan bagi kamu”, dan “cawan ini adalah perjanjian baru oleh darah-Ku, yang ditumpahkan bagi kamu” (Luk 22:19-20). Dalam Ekaristi, Kristus menyerahkan tubuh-Nya untuk kita, dan darah-Nya, “yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa.” (Mat 26:28) ((KGK 1366))

Apakah artinya dengan merayakan Ekaristi kita menyalibkan Kristus berkali-kali? Tentu tidak. Sebab yang dihadirkan kembali adalah kurban yang satu dan sama, yaitu kurban Kristus ((lih. KGK 1367)). Oleh karena Kristus telah bangkit dan maut tidak menguasai-Nya lagi, maka penghadiran kembali kurban Kristus ini terjadi tidak dengan cara yang sama dengan kejadian 2000 tahun yang lalu. Di kayu salib-Nya dulu, Kristus secara fisik mencurahkan darah-Nya, namun kini di dalam Ekaristi, kurban tersebut dihadirkan secara sakramental, sehingga kita yang hidup terpisah 2000 tahun dengan zaman Kristus, dapat berdiri di bawah kaki salib-Nya. Dengan kehadiran secara sakramental ini, makna kurban-Nya tetap sama, hanya cara pengorbanannya yang berbeda. Kurban Kristus dalam Ekaristi tetap mendatangkan buah- buahnya yaitu pengampunan dosa-dosa kita. Sebab Kristus tidak terbatas oleh ruang dan waktu dan imamat-Nya tidak berakhir pada kematian-Nya; maka Ia meninggalkan bagi Gereja,  suatu kurban yang kelihatan -yaitu kurban-Nya sendiri- untuk dikenang sampai akhir zaman dan agar kekuatan yang menyelamatkan yang mengalir daripadanya dapat dipergunakan untuk pengampunan dosa kita manusia ((lih. KGK 1366)); agar manusia dapat dipersatukan kembali dengan Allah dan memperoleh hidup ilahi.

“Pemisahan konsekrasi” antara roti dan anggur merupakan peringatan bahwa dahulu darah Kristus begitu banyak tercurah, seolah terpisahkan dari tubuh-Nya ketika Ia wafat disalib. Namun demikian, kini dalam perayaan Ekaristi, darah Kristus tidak terpisahkan dari tubuh-Nya. Sebab Kristus yang hadir melalui perkataan konsekrasi adalah Kristus yang telah bangkit mulia. Maka Kristus hadir seutuhnya baik dalam rupa roti saja, atau anggur saja. ((lih. KGK 1390))

Tradisi Suci mengajarkan tentang Ekaristi sebagai Kurban Kristus

Para Bapa Gereja sejak abad- abad awal telah mengajarkan perayaan Ekaristi sebagai peringatan kurban Kristus:

1. St. Irenaeus (120- 202)

“…. Ia [Kristus] mengambil…roti, dan dan mengucap syukur dan mengatakan, “Inilah Tubuh-Ku” (Mat 26:26). Dan demikian juga piala itu,…Ia mengakuinya menjadi darah-Nya, dan mengajarkan persembahan yang baru bagi Perjanjian Baru; yang oleh Gereja, yang menerima dari para Rasul, mempersembahkan kepada Tuhan di seluruh dunia ….., yang tentangnya Maleakhi, di antara kedua belas Nabi menubuatkan: “…..Aku tidak berkenan menerima persembahan dari tanganmu. Sebab dari terbitnya sampai kepada terbenamnya matahari nama-Ku besar di antara bangsa-bangsa, dan di setiap tempat dibakar dan dipersembahkan korban bagi nama-Ku dan juga korban sajian yang tahir; sebab nama-Ku besar di antara bangsa-bangsa, firman TUHAN semesta alam….” (Mal 1:10-11), menunjukkan… bahwa bangsa yang terdahulu [bangsa Israel] harus berhenti membuat persembahan kepada Tuhan, tetapi bahwa di setiap tempat kurban yang murni satu-satunya itu [yaitu kurban Kristus] harus dipersembahkan kepada-Nya; dan nama-Nya dimuliakan di antara semua bangsa.” ((St. Irenaeus, Against Heresies, Bk 4, Chap 17))

2. St. Siprianus (Cyprian) (w 258)

“Sebab jika Yesus Kristus, Tuhan dan Allah kita, adalah imam agung Allah Bapa, dan telah pertama- tama mempersembahkan diri-Nya sebagai kurban kepada Allah Bapa, dan telah memerintahkan ini untuk dilakukan sebagai peringatan akan diri-Nya, tentunya bahwa imam sungguh-sungguh melaksanakan jabatan Kristus, yang melakukan apa yang telah dilakukan Kristus, dan karena itu ia telah mempersembahkan kurban yang benar dan penuh di dalam Gereja kepada Allah Bapa….” ((St. Cyprian, Letters, 63:14))

3. St. Sirilus (Cyril) dari Yerusalem (315-386)

“Lalu, setelah kurban rohani, ibadah penyembahan yang tidak berdarah (bloodless) itu selesai, yang atas kurban pemulihan itu kita memohon kepada Tuhan untuk kedamaian bersama bagi Gereja- gereja; untuk kesejahteraan dunia; untuk raja-raja, untuk para prajurit dan sekutunya; untuk orang- orang sakit: dan pendek kata, untuk semua orang yang membutuhkan pertolongan, kita semua berdoa dan mempersembahkan kurban.” ((St. Cyril, Catecheses, 23:8))

4. St. Yohanes Krisostomus (347-407)

“Hormat, sekarang, o, hormatilah altar ini, yang atasnya kita semua mengambil bagian! Kristus yang dikurbankan bagi kita, kurban yang ditempatkan di altar itu.” ((St. John Chrysostom, Epistle to the Romans, 8))

“Kita selalu mempersembahkan Anak Domba yang sama, bukan satu hari ini dan satu yang lainnya di esok hari, tetapi selalu [Anak Domba] yang satu dan sama. Untuk alasan ini, kurban nya selalu hanya satu …. Bahkan sekarang kita mempersembahkan kurban yang dulu pernah dipersembahkan dan yang tidak pernah akan habis.” ((St. John Chrysostom, In Epistolam ad Hebraeos Homiliae, Hom, 17.3: PG 63, 131))

5. St. Agustinus dari Hippo (354- 430)

“Siapa yang mempersembahkan syukur sebagai korban, ia memuliakan Aku; siapa yang jujur jalannya, keselamatan yang dari Allah akan Kuperlihatkan kepadanya.” (Mzm 50:23) Sebelum kedatangan Kristus, tubuh dan darah kurban ini digambarkan oleh hewan-hewan yang dikurbankan, di dalam kisah sengsara Kristus, gambaran ini dipenuhi oleh kurban [Kristus] yang sejati itu; setelah kenaikan Kristus ke surga, kurban ini diperingati di dalam sakramen.” ((St. Augustine, Reply to Faustus the Manicahean, 21:20))

6. St. Gregorius Agung (540-604)

“Kurban ini sendiri mempunyai kuasa untuk menyelamatkan jiwa dari kematian kekal, sebab kurban ini menghadirkan kepada kita kematian Sang Putera Allah yang tunggal secara mistik/ rahasia. Meskipun Ia sekarang telah bangkit dari mati dan tidak mati lagi, ‘dan maut tidak mempunyai kuasa atas-Nya’ (Rom 6:9), namun, dalam keadaan hidup yang tidak dapat mati dan tidak dapat rusak di dalam Diri-Nya sendiri, Ia dipersembahkan lagi bagi kita di dalam misteri Kurban yang kudus ini. Ketika Tubuh-Nya dimakan, di sana Daging-Nya dibagi-bagikan di antara umat bagi keselamatan. Darah-Nya tidak lagi menodai tangan-tangan orang yang tidak bertuhan, tetapi mengalir ke dalam hati para pengikut-Nya. Karena itu, lihatlah, betapa mulianya Kurban yang dipersembahkan bagi kita, yang selalu menghasilkan di dalam dirinya sendiri, kisah sengsara Sang Putera Allah yang tunggal demi penghapusan dosa-dosa kita.” ((St. Gregory I the Great, Dialogues, Bk 4, 58))

Kita mengambil bagian di dalam Kurban Kristus

Umumnya kita mengetahui bahwa dengan menyambut Ekaristi kita menerima Kristus yang telah mengurbankan Diri bagi kita. Namun tak banyak dari kita yang sungguh menyadari bahwa kitapun mengambil bagian di dalam kurban Kristus itu. Artinya, bahwa sebagai anggota-anggota Kristus, kita diundang untuk menggabungkan kurban diri kita (segala ucapan syukur, pergumulan, penderitaan, sakit penyakit) bersama dengan kurban Kristus Sang Kepala kita. Jika kita menghayati hal ini maka kita akan semakin dapat berpartisipasi aktif dan mempunyai sikap batin yang benar dalam mengikuti Perayaan Ekaristi. Dan sikap batin yang benar ini mengakibatkan kita menerima buah- buah perayaan Ekaristi ini dengan lebih berlimpah.

Kesimpulan: Kurban Kristus, kurban yang tak ternilai harganya: sudahkah kita sambut dengan sikap yang layak?

Di dalam Ekaristi, Kristus menyatakan kasih-Nya yang tak terbatas, yang sehabis- habisnya kepada manusia, sebab Ia rela menyerahkan Tubuh dan Darah-Nya untuk menjadi tebusan bagi dosa-dosa kita. Kristus menjadi kurban yang sempurna, yang menggenapi dan mengatasi segala kurban dalam Perjanjian Lama. Sebab di dalam Ekaristi, Kristus yang adalah Tuhan sendiri mengurbankan diri bagi kita, memberikan hidup-Nya kepada kita supaya kita diselamatkan dan memperoleh hidup yang kekal di dalam Dia. Kristus juga bertindak sebagai Sang Imam Agung, yang bertindak sebagai Pengantara bagi kita manusia kepada Allah Bapa. Maka kurban ini nilainya ilahi dan menjadi bekal bagi kita untuk menuju kepada kebahagiaan kita yang tertinggi yaitu persatuan dengan Allah dan sesama dalam Kerajaan Surga.

Appendix:

Bagaimana sikap kita di dalam liturgi

Jika kita secara pribadi diundang pesta oleh Bapak Presiden, tentu kita akan mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Kita akan berpakaian yang sopan, bersikap yang pantas, dan tidak datang terlambat. Mari kita memeriksa diri, sudahkah kita bersikap demikian di dalam ‘pertemuan’ kita dengan Tuhan di dalam liturgi, khususnya dalam perayaan Ekaristi? Karena Tuhan jauh lebih mulia dan penting daripada Presiden, seharusnya persiapan kita jauh lebih baik daripada persiapan bertemu dengan Presiden.

Langkah #1: Mempersiapkan diri sebelumnya dan mengarahkan hati sewaktu mengikuti liturgi

Untuk menghayati liturgi, kita harus sungguh mempersiapkan diri sebelum mengambil bagian di dalamnya. Contohnya ialah: membaca dan merenungkan bacaan Kitab Suci pada hari itu, hening di sepanjang jalan menuju ke gereja, datang lebih awal, berpuasa (1 jam sebelum menyambut Ekaristi dan terutama berpuasa sebelum menerima sakramen Pembaptisan dan Penguatan), memeriksa batin, jika dalam keadaan dosa berat, melakukan pengakuan dosa dalam sakramen Tobat sebelum menerima Ekaristi.

Lalu, sewaktu mengikuti liturgi, kitapun harus selalu mempunyai sikap hati yang benar. Jika terjadi ‘pelanturan’, segeralah kembali mengarahkan hati kepada Tuhan. Kita harus mengarahkan akal budi kita untuk menerima dengan iman bahwa Yesus sendirilah yang bekerja melalui liturgi, dan Roh KudusNya yang menghidupkan kata-kata doa dan Sabda Tuhan di dalam liturgi, sehingga menguduskan tanda-tanda lahiriah yang dipergunakan di dalamnya untuk mendatangkan rahmat Tuhan.

Sikap hati yang baik ini juga diwujudkan dengan berpakaian sopan, tidak ‘ngobrol’, dan tidak menggunakan handphone ataupun ber-BBM di gereja. Sebab jika demikian dapat dipastikan bahwa hati kita tidak sepenuhnya terarah pada Tuhan.

Langkah #2: Bersikap aktif: tidak hanya menerima tapi juga memberi kepada Tuhan

St. Thomas Aquino mengajarkan bahwa penyembahan yang sempurna mencakup dua hal, yaitu menerima dan memberikan berkat-berkat ilahi. ((lih. St. Thomas Aquinas, Summa Theology, III, q.63, a.2.)) Di dalam liturgi, penyembahan kepada Tuhan mencapai puncaknya, saat Kristus bersama dengan kita mempersembahkan diri kepada Bapa dan pada saat kita menerima buah penebusan Kristus melalui Misteri Paska-Nya. Puncak liturgi adalah Ekaristi, di mana di dalamnya Kristus menjadi Imam Agung, dan sekaligus Kurban penebus dosa. ((KGK 1348, 1364,1365))

Dalam perayaan Ekaristi, kita seharusnya tidak hanya menonton atau sekedar menerima, tetapi ikut mengambil bagian di dalam peran Kristus sebagai Imam Agung dan Kurban tersebut. Caranya adalah dengan turut mempersembahkan diri kita, beserta ucapan syukur, suka duka, pergumulan, dan pengharapan, untuk kita persatukan dengan kurban Kristus ((lih. Lawrence G. Lovasik, The Basic Book of the Eucharist, (Sophia Institute Press, New Hampshire, 1960), p.73)). Setiap kali menghadiri misa, kita bawa segala kurban persembahan kita untuk diangkat ke hadirat Tuhan, terutama pada saat konsekrasi -saat roti dan anggur diubah menjadi Tubuh dan Darah Yesus. Saat itu kurban kita disatukan dengan kurban Yesus. Liturgi menjadi penyembahan yang sempurna, sebab Kristus, satu-satunya Imam Agung dan Kurban yang sempurna, menyempurnakan segala penyembahan kita. Bersama Yesus di dalam liturgi, kita akan dapat menyembah Allah Bapa di dalam roh dan kebenaran (Yoh 4:24), karena di dalam liturgi Roh Kudus bekerja menghadirkan Kristus, Sang Kebenaran itu sendiri.

Kehadiran Yesus tidak hanya terjadi di dalam Ekaristi, tetapi juga di dalam liturgi yang lain, yaitu Pembaptisan, Penguatan, Pengakuan Dosa, Perkawinan, Tahbisan suci, dan Pengurapan orang sakit. Dalam liturgi tersebut, kita harus berusaha untuk aktif berpartisipasi agar dapat sungguh menghayati maknanya. Partisipasi aktif ini bukan saja dari segi ikut menyanyi, atau membaca segala doa yang tertulis, melainkan terutama partisipasi mengangkat hati dan jiwa untuk menyembah dan memuji Tuhan, dan meresapkan segala perkataan yang diucapkan di dalam hati.

Langkah #3: Jangan memusatkan perhatian pada diri sendiri tetapi pada Kristus

Jadi, untuk menghayati liturgi, kita harus memusatkan perhatian kepada Kristus, dan kepada apa yang telah dilakukan-Nya bagi kita, yaitu: karena kasih-Nya kepada kita, Kristus rela wafat untuk menghapus dosa-dosa kita. Yesus sendiri hadir di dalam liturgi dan berbicara kepada kita. Dengan berfokus kepada Kristus, kita akan memperoleh kekuatan baru, sebab segala pergumulan kita akan nampak tak sebanding dengan penderitaan-Nya. Kitapun akan dikuatkan di dalam pengharapan karena Roh Kudus yang sama, yang telah membangkitkan Kristus dapat pula membangkitkan kita dari dosa dan segala kesulitan kita.

Jika kita memusatkan hati dan pikiran kepada Kristus, maka kita tidak akan terlalu terpengaruh dengan musik atau koor yang kurang sempurna, khotbah yang kurang bersemangat, hawa panas ataupun banyak nyamuk -walaupun tentu saja, idealnya semua itu diperbaiki. Kita bahkan dapat mempersembahkan kesetiaan kita di samping segala ketidaksempurnaan itu sebagai kurban yang murni bagi Tuhan. Langkah berikutnya adalah, apa yang dapat kita lakukan untuk turut membantu memperbaiki kondisi tersebut. Inilah salah satu cara menghasilkan ‘buah’ dari rahmat Tuhan yang kita terima melalui liturgi.

Perhatian kepada Kristus akan mengarahkan kita untuk bersikap dan berpakaian yang pantas di gereja. Kita tidak akan berpakaian minim dan sexy, seperti dengan rok mini, baju tanpa lengan atau bahkan tank top, dengan potongan leher rendah yang ‘how low can you go‘ atau dengan celana leggings. Atau, pemikiran yang terpusat pada diri sendiri mengakibatkan kita lebih memikirkan kenyamanan kita berpakaian, terutama kalau sehabis ke gereja kita kita mau pergi ke mall atau ke tempat santai lainnya. Jadilah banyak orang ke gereja dengan pakaian seadanya, dengan sandal jepit ataupun celana pendek atau kaus oblong. Berpakaian sedemikian menunjukkan bahwa kita tidak sungguh menghayati, kepada Siapakah sebenarnya kita datang menghadap. Jangan sampai cara berpakaian kita malah menjadi batu sandungan bagi orang lain yang ingin memusatkan perhatian kepada Tuhan. Para orang tua sesungguhnya bertugas untuk memberikan contoh yang baik dan mendorong anak- anak agar berpakaian yang sopan ke gereja. Semoga hal ini dapat menjadi permenungan bagi kita semua. Sudah selayaknya kita ingat bahwa penghayatan iman di dalam hati akan terpancar ke luar dengan sendirinya. Jika kita tidak bisa berpakaian dengan sopan dan hormat, bagaimana kita dapat mengatakan bahwa kita mempunyai sikap batin yang baik di hadapan Tuhan?

Tahap selanjutnya adalah, mari belajar untuk sungguh berdoa pada saat kita mengucapkan doa dalam liturgi. Jangan sampai kata-kata yang kita ucapkan merupakan kata-kata kosong, artinya hanya di mulut saja, tetapi tidak sungguh keluar dari hati. Kita perlu memohon rahmat Tuhan untuk hal ini, namun juga kita harus mengusahakannya dengan mengarahkan hati, dan mempersiapkan diri dengan lebih sungguh, sebagaimana telah disebut di atas.

Demikianlah, mari kita memberikan sikap batin yang lebih baik di dalam liturgi. Mengapa ini penting? Sebab dengan sikap batin yang baik, kita akan menerima efek yang penuh dari liturgi. Konsili Vatikan II mengajarkan, “… Supaya liturgi dapat menghasilkan efek yang penuh, adalah penting bahwa umat beriman datang menghadiri liturgi suci dengan sikap-sikap batin yang serasi. Hendaklah mereka menyesuaikan hati dengan apa yang mereka ucapkan, serta bekerja sama dengan rahmat surgawi, supaya mereka jangan sia-sia saja menerimanya (lih. 2 Kor 6:1).” ((Konsili Vatikan II, Sacrosanctum Concilium 11)) Tentu tak ada satupun dari kita yang mau menerima rahmat Tuhan dengan sia-sia. Kita semua ingin menerima buah-buah liturgi suci di dalam hidup kita. Maka, mari kita datang dengan sikap batin yang baik, terutama dalam perayaan Ekaristi yang setiap minggu atau bahkan setiap hari kita hadiri.

Mengapa Ekaristi?

26

I. Banyak umat bertanya tentang Ekaristi

Ada banyak umat non-Katolik yang sering mempertanyakan mengapa umat Katolik merayakan Ekaristi. Mereka sering mempertanyakan dasar alkitabiah dari pengajaran Ekaristi. Sebaliknya, ada juga sebagian umat Katolik yang juga ‘merasa’ bahwa perayaan Ekaristi kurang menyentuh perasaan mereka, sehingga terasa membosankan. Apalagi ditambah dengan khotbah Romo yang terdengar ‘monoton’, dan koor yang kadang terdengar apa adanya, yang dalam beberapa kesempatan terdengar ‘fals‘. Artikel ini hendak memaparkan alasan mengapa Gereja Katolik mengambil Ekaristi sebagai bentuk penyembahan yang tertinggi, yang dirayakan setiap hari sampai akhir zaman. Gereja Katolik merayakan Ekaristi, karena: 1) tunduk terhadap perintah Kristus, 2) melaksanakan pesan terakhir Kristus, 3) hal ini dilakukan oleh seluruh jemaat perdana, dan diteruskan oleh Gereja di sepanjang sejarah sampai saat ini.

II. Tunduk terhadap perintah Kristus

Rasul Yohanes menulis bahwa bukti kita mengasihi Allah adalah jika kita menjalankan semua perintah-Nya (lih. 1 Yoh 5:3). Perintah yang mana? Semua perintah yang telah diberikan oleh Kristus. Sebelum Kristus naik ke Sorga, Dia memberikan perintah, “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” (Mat 28:19-20) Selain perintah untuk melakukan evangelisasi dan membaptis seluruh bangsa, Kristus menginginkan agar kita dapat melakukan dan mengajarkan semua orang untuk melakukan segala sesuatu yang diperintahkan oleh Kristus.

Kita tidak mempunyai hak untuk memilih-milih perintah mana yang kita suka dan mana yang tidak, karena kita pandang sulit atau kurang masuk akal. Ketaatan untuk menjalankan semua perintah Kristus adalah merupakan tanda kedewasaan spiritualitas dari seseorang dan sebaliknya kemampuan untuk menjalankan semua perintah Kristus hanya dapat terjadi dengan bantuan rahmat Allah.

III. Ekaristi adalah perintah Kristus yang penting dan yang terakhir

1. Ekaristi adalah menyantap Sang Roti Hidup

Semua perintah Kristus adalah penting. Namun, perintah untuk merayakan Ekaristi – makan tubuh-Nya dan minum darah-Nya – adalah sungguh amat penting, karena menyangkut keselamatan kita. Rasul Yohanes menuliskan “Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman.” (Yoh 6:54) Gambaran akan peristiwa penting ini telah digambarkan secara samar-samar dalam peristiwa pergandaan roti (lih. Mat 14:13-21; Mrk 6:30-44; Luk 9:10-17; Yoh 6:1-13). Dalam peristiwa pergandaan roti, Yesus menunjukkan bahwa Dia dapat melakukan mukjizat dan memberikan makanan yang berlimpah kepada semua orang yang hadir.

Namun, Kristus datang ke dunia bukan hanya sekedar memberikan makanan fisik; dan bukan hanya untuk melakukan mukjizat. Ketika orang-orang Yahudi melihat bahwa Kristus dapat menggandakan roti dan kemudian ingin menjadikan-Nya sebagai raja, Kristus menolak dan menyingkir ke gunung seorang diri (lih. Yoh 6:15). Dan ketika Ia bertemu dengan orang-orang Yahudi setelah pergandaan roti, Kristus menegaskan kepada mereka bahwa mereka harus bekerja bukan untuk mendapatkan makanan yang dapat binasa, namun untuk makanan yang bertahan sampai hidup yang kekal (lih. Yoh 6:27).

Makanan yang bertahan sampai pada hidup yang kekal ini adalah Yesus sendiri, sebab Dia adalah Roti Hidup yang turun dari Sorga (lih. Yoh 6:51). Barang siapa yang datang kepada-Nya tidak akan lapar lagi (lih. Yoh 6:35), yang makan roti hidup tidak akan mati (lih. Yoh 6:50-51). Yesus menegaskan bahwa roti ini adalah daging-Nya sendiri (lih. Yoh 6:51) yang memberi hidup kepada dunia. Sebab barangsiapa yang tidak makan daging-Nya dan minum darah-Nya, ia tidak mempunyai hidup (lih. Yoh 6:53) sedangkan barangsiapa yang makan daging-Nya dan minum darah-Nya akan dibangkitkan pada akhir zaman (lih. Yoh 6:54). Untuk mempertegas hal ini, Yesus mengatakan, “Sebab daging-Ku adalah benar-benar makanan dan darah-Ku adalah benar-benar minuman. Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia.” (Yoh 6:55-56) Singkatnya, siapa yang makan daging-Nya dan minum darah-Nya akan hidup untuk selama-lamanya (lih. Yoh 6:56,58).

Apakah orang-orang Yahudi mengerti bahwa Yesus berbicara secara harafiah bahwa tubuh-Nya dan darah-Nya adalah benar-benar makanan? Tentu saja. Itulah sebabnya, mereka bertengkar satu sama lain dan mempertanyakan bagaimana mungkin Yesus dapat memberikan daging-Nya untuk dimakan (lih. Yoh 6:52). Namun, Yesus tidak mengkoreksi pandangan mereka, bahkan semakin mempertegas bahwa Tubuh dan Darah-Nya adalah sungguh-sungguh makanan dan minuman (lih. Yoh 6:55). Sampai tahap ini, tidak ada yang salah paham lagi akan maksud Yesus, sehingga para murid-Nyapun mengatakan bahwa ini adalah pengajaran yang keras dan sulit diterima (lih. Yoh 6:60). Mendengar hal ini, Yesus tdiak memberikan penjelasan atau mengkoreksi ajaran-Nya, namun sebaliknya, Ia mengatakan, “Adakah perkataan itu menggoncangkan imanmu?” (Yoh 6:61) Dan mulai dari saat ini, banyak murid-murid yang mengundurkan diri dan tidak lagi mengikuti Yesus (lih. Yoh 6:66). Lalu, bagaimana dengan para rasul? Yesus tidak mengkoreksi pengajaran-Nya, karena bagi Yesus suatu kebenaran tidak dapat diubah. Untuk mempertegas bahwa pengajaran yang diberikan-Nya adalah sungguh benar: Dia bermaksud mengatakan bahwa tubuh-Nya adalah benar-benar makanan dan darah-Nya adalah benar- benar minuman yang harus dimakan dan diminum agar seseorang memperoleh hidup yang kekal, maka Yesus bertanya kepada para rasul, “Apakah kamu tidak mau pergi juga?” (Yoh 6:67) Petrus, yang mewakili para rasul yang lain menjawab, “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal; dan kami telah percaya dan tahu, bahwa Engkau adalah Yang Kudus dari Allah.” (Yoh 6:68-69)

Dari sini, kita dapat melihat, bahwa Yesus tidak memberikan pengajaran bahwa tubuh-Nya dan darah-Nya adalah sekedar simbol, namun sungguh-sungguh Dia mengajarkan bahwa tubuh-Nya adalah benar-benar makanan dan darah-Nya adalah benar-benar minuman. Kita dapat mempunyai sikap seperti orang Yahudi yang bertengkar tentang pengajaran ini, atau seperti para murid yang meninggalkan Yesus karena tidak dapat mencerna dan tidak dapat menerima pengajaran ini. Namun, Yesus tidak pernah bergeming terhadap kebenaran ini. Sebagai murid Kristus,  sudah seharusnya kita mempunyai sikap seperti Petrus, yang walaupun kadang tidak mengerti (atau tepatnya belum sepenuhnya mengerti) ataupun sulit memahami kebenaran ini, tapi tetap mempercayai Kristus yang karena kasih-Nya, ingin bersatu dengan kita dengan memberikan tubuh dan darah-Nya. Mungkin kebenaran ini sulit diterima, karena terdengar “too good to be true“.

2. Ekaristi adalah perintah Yesus yang terakhir sebelum menderita sengsara

Di dalam kelompok para rasul yang tetap mempercayai Sabda dan ajaran Kristus tentang Roti Hidup, Kristus memberikan penjelasan secara bertahap dan mencapai puncaknya di dalam Perjamuan Terakhir. Para rasul mulai melihat bahwa dalam penggandaan roti, Kristus mengambil persembahan dan kemudian Dia mengucap berkat, memecah-mecahkan roti itu dan memberikannya kepada para murid (lih. Mat 14:19; Mrk 6:41; Luk 9:16; Yoh 6:11). Dan dalam Yohanes 6, dikisahkan bahwa walaupun mungkin saat itu para rasul tidak memahami secara penuh, mereka mengerti bahwa Yesus mengajarkan secara harafiah bahwa makanan dan minuman yang mendatangkan kehidupan kekal adalah tubuh dan darah Kristus sendiri. Dan misteri ini akhirnya mulai tersingkap di malam sebelum Yesus menderita sengsara, yaitu dalam Perjamuan Kudus.

Dalam Perjamuan Kudus inilah, Yesus melakukan hal yang sama ketika Dia menggandakan roti, yaitu: Yesus mengambil roti, mengucap berkat, memecah-mecahkannya lalu memberikan kepada para murid (lih. Mat 26:26; Mrk 14:22; Luk 22:19). Namun, kali ini, Yesus meneruskan perkataan tersebut dan sekaligus merupakan penegasan dari pengajaran sebelumnya, bahwa roti diubah menjadi tubuh-Nya, yang adalah benar-benar makanan. Dia melanjutkan dengan perkataan “Terimalah, makanlah, inilah tubuh-Ku.” Hal yang sama, Dia lakukan untuk mempertegas bahwa anggur yang telah Dia berkati kemudian menjadi darah-Nya. Setelah mengambil cawan, mengucap syukur dan memberikannya kepada para rasul, Dia berkata “Minumlah kamu semua dari cawan ini. Sebab inilah darah-Ku.” (Mat 26:27-28) Namun, Yesus tidak hanya menunjukkan bahwa Dia mengubah roti menjadi tubuh-Nya dan anggur menjadi darah-Nya. Dia menginginkan agar para murid menyantap dan meminumnya, karena darah-Nya adalah darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa.” (lih. Mat 26:28; Luk 22:20)

Inilah penegasan kembali dari pengajaran roti hidup di Yoh 6, bahwa yang makan tubuh dan darah Kristus akan mendapatkan hidup kekal, karena ternyata mereka yang makan dan tubuh dan darah Kristus telah mengikat perjanjian dengan Kristus sendiri, sehingga dapat memperoleh pengampunan dosa. Dan Perjamuan Suci ini diperintahkan oleh Kristus menjadi peringatan akan Kristus sendiri, sebab Ia mengatakan, “Inilah tubuh-Ku yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku.” (Luk 22:19)

Kapan kita mau memperingati Perjamuan Suci atau Perjamuan Kasih ini, atau perintah Yesus yang terakhir sebelum Ia menderita sengsara? Umat Katolik melaksanakan perintah Kristus ini setiap hari, dalam Misa Harian dan secara khusus dalam Misa Kudus pada hari Minggu, hari di mana seluruh umat Kristen memperingati kebangkitan Kristus.

IV. Jemaat perdana, Bapa Gereja dan kita semua melakukan pesan Yesus

1. Jemaat perdana merayakan Ekaristi

Perintah Kristus yang terekam dalam ingatan para rasul, tetap terus dijalankan oleh para rasul setelah kenaikan Yesus ke Sorga. Di dalam Kisah Para Rasul dituliskan, “Mereka [orang-orang percaya dan telah dibaptis] bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan dan mereka selalu berkumpul untuk memecah roti dan berdoa.” (Kis 2:42) Rasul Paulus menegaskan apa yang dilakukannya bersama dengan para jemaat perdana, yaitu merayakan Ekaristi Kudus (lih. 1Kor 11:23-25) Dan untuk meyakinkan bahwa dalam setiap perayaan Ekaristi, Kristus sungguh-sungguh hadir secara nyata, rasul Paulus menegaskan, “Jadi barangsiapa dengan cara yang tidak layak makan roti atau minum cawan Tuhan, ia berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan.” (1Kor 11:27). Kalau hanya simbol, seseorang tidak akan berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan kalau menerima Ekaristi dengan tidak layak. Menjadi berdosa terhadap darah dan tubuh Tuhan karena memang Kristus hadir secara nyata, tubuh, darah, jiwa dan ke-Allahan-Nya.

2. Para Bapa Gereja mengajarkan Ekaristi

Kalau kita menengok ke belakang, maka kita dapat melihat bahwa para jemaat perdana yang diwakili oleh tulisan para Bapa Gereja mempercayai Ekaristi. Para Bapa Gereja seperti: St. Ignatius dari Antiokhia (110), St. Yustinus Martir (sekitar tahun 150-160), St. Irenaeus (140-202), St. Cyril dari Yerusalem (315-386), St. Augustinus (354-430) mengajarkan tentang Ekaristi. Mereka semua percaya akan kehadiran Yesus secara nyata (tubuh, darah, dan ke-Allahan Yesus) dalam setiap perayaan Ekaristi dan bukan hanya sekedar simbol. Berikut ini adalah apa yang mereka paparkan dalam tulisan mereka tentang Ekaristi:

1) St. Ignatius dari Antiokhia (110), adalah murid dari rasul Yohanes. Ia menjadi uskup ketiga di Antiokhia. Sebelum wafatnya sebagai martir di Roma, ia menulis tujuh surat kepada gereja-gereja, berikut ini beberapa kutipannya:

a. Dalam suratnya kepada jemaat di Roma, dia mengatakan, “…Di dalamku membara keinginan bukan untuk benda-benda materi. Aku tidak menyukai makanan dunia… Yang kuinginkan adalah roti dari Tuhan, yaitu Tubuh Kristus… dan minuman yang kuinginkan adalah Darah-Nya: sebuah makanan perjamuan abadi.” ((St. Ignatius of Antioch, Letter to the Romans, 7))

b. Dalam suratnya kepada jemaat di Symrna, ia menyebutkan bahwa mereka yang tidak percaya akan doktrin Kehadiran Yesus yang nyata dalam Ekaristi sebagai ‘heretik’/ sesat: “Perhatikanlah pada mereka yang mempunyai pandangan beragam tentang rahmat Tuhan yang datang pada kita, dan lihatlah betapa bertentangannya pandangan mereka dengan pandangan Tuhan …. Mereka pantang menghadiri perjamuan Ekaristi dan tidak berdoa, sebab mereka tidak mengakui bahwa Ekaristi adalah Tubuh dari Juru Selamat kita Yesus Kristus, Tubuh yang telah menderita demi dosa-dosa kita, dan yang telah dibangkitkan oleh Allah Bapa…” ((St. Ignatius of Antioch, Letter to the Smyrnaeans, 6, 7))c. Dalam suratnya kepada jemaat di Filadelfia, ia mengatakan pentingnya merayakan Ekaristi dalam kesatuan dengan Uskup, “Karena itu, berhati-hatilah… untuk merayakan satu Ekaristi. Sebab hanya ada satu Tubuh Kristus, dan satu cawan darah-Nya yang membuat kita satu, satu altar, seperti halnya satu Uskup bersama dengan para presbiter [imam] dan diakon.” ((St. Ignatius of Antioch, Letter to the Philadelphians, 4))

2) St. Yustinus Martir (sekitar tahun 150-160). Ia menjadi Kristen sekitar tahun 130, oleh pengajaran dari para murid rasul Yohanes. Pada tahun 150 ia menulis Apology, kepada kaisar di Roma untuk menjelaskan iman Kristen, dan tentang Ekaristi ia mengatakan: “Kami menyebut makanan ini Ekaristi, dan tak satu orangpun diperbolehkan untuk mengambil bagian di dalamnya kecuali jika ia percaya kepada pengajaran kami… Sebab kami menerima ini tidak sebagai roti biasa atau minuman biasa; tetapi karena oleh kuasa Sabda Allah, Yesus Kristus Penyelamat kita telah menjelma menjadi menjadi manusia yang terdiri atas daging dan darah demi keselamatan kita, maka, kami diajar bahwa makanan itu yang telah diubah menjadi Ekaristi oleh doa Ekaristi yang ditentukan oleh-Nya, adalah Tubuh dan Darah dari Kristus yang menjelma dan dengan perubahan yang terjadi tersebut, maka tubuh dan darah kami dikuatkan.” ((St. Yustinus Martir, First Apology 66, 20.))

3) St. Irenaeus (140-202). Ia adalah uskup Lyons, dan ia belajar dari St. Polycarpus, yang adalah murid Rasul Yohanes. Dalam karyanya yang terkenal, Against Heresies, ia menghapuskan pandangan yang menentang ajaran para rasul. Tentang Ekaristi ia menulis, “Dia [Yesus] menyatakan bahwa piala itu, … adalah Darah-Nya yang darinya Ia menyebabkan darah kita mengalir; dan roti itu…, Ia tentukan sebagai Tubuh-Nya sendiri, yang darinya Ia menguatkan tubuh kita.” ((St. Irenaeus, Against Heresy, 5, 2, 2.))

4) St. Cyril dari Yerusalem (315-386), Uskup Yerusalem, pada tahun 350 ia mengajarkan, “Karena itu, jangan menganggap roti dan anggur hanya dari penampilan luarnya saja, sebab roti dan anggur itu, sesuai dengan yang dikatakan oleh Tuhan kita, adalah Tubuh dan Darah Kristus. Meskipun panca indera kita mengatakan hal yang berbeda; biarlah imanmu meneguhkan engkau. Jangan menilai hal ini dari perasaan, tetapi dengan keyakinan iman, jangan ragu bahwa engkau telah dianggap layak untuk menerima Tubuh dan Darah Kristus.” ((St. Cyril of Jerusalam, Catechetical Lectures: 22 (Mystagogic 4), 6))

5) St. Augustinus (354-430), Uskup Hippo, mengajarkan, “Roti yang ada di altar yang dikonsekrasikan oleh Sabda Tuhan, adalah Tubuh Kristus. Dan cawan itu, atau tepatnya isi dari cawan itu, yang dikonsekrasikan dengan Sabda Tuhan, adalah Darah Kristus….Roti itu satu; kita walaupun banyak, tetapi satu Tubuh. Maka dari itu, engkau diajarkan untuk menghargai kesatuan. Bukankah roti dibuat tidak dari satu butir gandum, melainkan banyak butir? Namun demikian, sebelum menjadi roti butir-butir ini saling terpisah, tetapi setelah kemudian menjadi satu dalam air setelah digiling…[dan menjadi roti]” ((St. Agustinus, Sermons, no. 227, ML 38, 1099, FC XXXVIII, 195-196.))

Melalui pengajaran para Bapa Gereja ini, kita mengetahui bahwa sejak abad awal, Gereja percaya dan mengimani bahwa roti dan anggur setelah dikonsekrasikan oleh Sabda Tuhan menjadi Tubuh dan Darah Yesus. Dan, maksudnya Ekaristi itu diberikan supaya kita belajar menjunjung tinggi kesatuan Tubuh Mistik Kristus, yang ditandai dengan kesatuan kita dengan dengan para pemimpin Gereja, yaitu uskup, imam dan diakon. Iman sedemikian sudah berakar sejak jemaat awal, dan ini dibuktikan, terutama oleh kesaksian St. Ignatius dari Antiokhia yang mendapat pengajaran langsung dari Rasul Yohanes. Jangan lupa, Rasul Yohanes adalah yang paling jelas mengajarkan tentang Roti Hidup pada Injilnya (lihat Yoh 6). Jadi walaupun doktrin Transubtantion baru dimaklumkan pada abad 13 yaitu melalui Konsili Lateran ke 4 (1215), Konsili Lyons (1274) dan disempurnakan di Konsili Trente (1546), namun akarnya diperoleh dari pengajaran Bapa Gereja sejak abad awal. Prinsipnya adalah: roti dan anggur, setelah dikonsekrasikan oleh Sabda Tuhan, berubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Karena itu, walaupun rupa luarnya berupa roti dan anggur, namun hakekatnya sudah berubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Oleh kesatuan dengan Tubuh yang satu ini, maka kita yang walaupun banyak menjadi satu.

Dari sini kita melihat adanya kontinuitas dan kekonsitenan dari apa yang diajarkan oleh Yesus, para rasul, murid dari para rasul, jemaat perdana sampai saat ini. Dengan demikian mempercayai bahwa Kristus sungguh hadir secara nyata dalam perayaan Ekaristi mempunyai dasar yang kuat dan seharusnya membuat kita percaya tentang Ekaristi.

V. Bagaimana dengan kita?

Akhirnya, pertanyaannya akhir adalah apakah kita sungguh-sungguh mempercayai bahwa Kristus sungguh hadir (tubuh, darah, jiwa dan keallahan-Nya) dalam rupa roti dan anggur dalam setiap perayaan Ekaristi? Dan apakah kita mempercayai bahwa tubuh-Nya dan darah-Nya dapat memberikan kehidupan kekal, merupakan tanda perjanjian baru, dan dicurahkan untuk pengampunan dosa? Kalau kita sungguh-sungguh mempercayainya, maka doa dan penyembahan apa yang lebih besar dari Ekaristi, di mana Kristus hadir secara nyata dan menginginkan persatuan abadi dengan kita? Apakah kita mengasihi Kristus dan berusaha menjalankan semua perintah-Nya? Kalau ya, maka perintah-Nya adalah termasuk memperingati-Nya dalam perayaan Ekaristi. Dan kita menginginkan untuk memperingati Kristus yang kita kasihi bukan setiap bulan, melainkan lebih sering, yaitu setiap minggu dan bahkan setiap hari. Kalau Kristus ingin dikenang dengan cara Ekaristi, maka siapakah kita yang dapat mengubahnya? Mari, jangan kita mengubah perintah Kristus, namun biarkan Kristus yang mengubah kita, memperbaharui kita lewat Perjamuan Kudus, Perjamuan Kasih.

Pengadilan Khusus dan Pengadilan Umum

38

Apakah orang yang meninggal langsung diadili dan bagaimana dengan pengadilan pada akhir zaman?

KGK 1051    Di dalam jiwanya yang tidak dapat mati setiap manusia menerima ganjarannya yang abadi, dalam satu pengadilan khusus langsung sesudah kematian, dari Kristus, Hakim atas orang hidup dan mati.

Di dalam buku The Catechism Explained -An Exhaustive Explanation of the Catholic Religion, karangan Spirago- Clarke, hal. 256 disebutkan bahwa segera setelah kematian, maka jiwa kita akan diadili, yang dikenal dengan sebutan  Particular Judgment (Pengadilan Khusus). Pengajaran ini sesuai dengan ajaran St. Agustinus, yang mengatakan “Begitu jiwa meninggalkan tubuh, maka jiwa tersebut diadili“. Hal ini sesuai juga dengan pengajaran di Alkitab, seperti yang kita lihat pada kisah yang dialami oleh Lazarus dan orang kaya itu setelah kematian mereka (lih. Luk 16:19-31). Rasul Paulus mengajarkan, “…manusia ditetapkan untuk mati hanya satu kali saja, dan sesudah itu dihakimi.” (Ibr 9: 27). Maka di saat kematian kita kita akan diminta pertanggungan jawab atas urusan kita (lih. Luk 16:2). Kita akan diadili oleh Tuhan menurut perbuatan kita (1 Pet 1:17, Rom 2:6). Jika Tuhan sendiri mengajarkan bahwa gaji pekerja tidak boleh ditunda (lih Im 19:13), maka Ia sendiri pasti memenuhi peraturan tersebut, dan Ia akan memberi penghargaan kepada mereka yang telah melakukan tugasnya di dunia dengan setia seturut perintah-perintah-Nya. Maka seperti kata St. Ambrosius, “Kematian adalah penghargaan perbuatan baik, mahkota dari panen.”
Tuhan Yesus akan duduk sebagai Hakim (lih. Yoh 5:22). Pada Perjamuan Terakhir, Yesus berjanji kepada para rasul-Nya untuk datang kembali setelah kenaikan-Nya ke surga dan untuk membawa mereka kepada diri-Nya (lih. Yoh 14:3).
Setelah dihakimi secara pribadi oleh Tuhan Yesus, maka jiwa orang yang meninggal akan ditentukan masuk surga (jika ia sempurna), atau masuk neraka (jika ia meninggal dalam keadaan berdosa berat dan tidak bertobat ), atau masuk Api Penyucian (jika ia meninggal dalam keadaan berdamai dengan Allah, namun masih harus dimurnikan terlebih dahulu). (lih. KGK 1022)

Maka, Gereja Katolik mengajarkan adanya dua macam Penghakiman setelah kematian. Yang pertama adalah Pengadilan Khusus (Particular Judgment) yang diadakan sesaat setelah kematian, dan yang kedua adalah Pengadilan Umum (General Judgment) yang diadakan pada akhir jaman, setelah kebangkitan badan.  Pada ‘Particular judgment’ (pengadilan khusus), yaitu kita masing-masing diadili secara pribadi oleh Yesus Kristus; dan kedua adalah ‘general/ last judgment’ (pengadilan umum/ terakhir), yaitu pada akhir zaman, saat kita diadili oleh Yesus Kristus di hadapan semua manusia. Setelah Pengadilan Khusus itu, kita sudah ditentukan, apakah jiwa kita masuk surga, atau neraka, ataukah masih perlu dimurnikan dahulu dalam Api Penyucian. Penentuan dalam Pengadilan Khusus ini dilakukan oleh Tuhan Yesus, dan tidak dapat diubah/ ditarik kembali.

Sedangkan pada akhir jaman, setelah kebangkitan badan, kita (jiwa dan badan) akan diadili dalam Pengadilan Umum/ Terakhir. Pengadilan ini tidak lagi bersifat pribadi antara kita dengan Yesus, namun diadakan di hadapan semua orang. Pada saat inilah segala perbuatan baik dan jahat dipermaklumkan di hadapan semua mahluk, “Sebab tidak ada sesuatu yang tersembunyi yang tidak akan dinyatakan dan tidak ada sesuatu yang rahasia yang tidak diketahui dan diumumkan.”(Luk 8: 17). Pada saat itu, seluruh bangsa akan dikumpulkan di hadapan tahta Kristus, dan Dia akan mengadili semua orang: yang baik akan dipisahkan dengan yang jahat seperti memisahkan domba dan kambing (lih. Mat 25: 32-33, lih. KGK 1038). Pengadilan ini merupakan semacam ‘pengumuman’ hasil Pengadilan Khusus tiap-tiap orang di hadapan segala ciptaan yang lain. Hasil Pengadilan itu akan membawa penghargaan ataupun penghukuman, bagi jiwa dan badan. Tubuh dan jiwa manusia bersatu di Surga, apabila ia memang layak menerima ‘penghargaan’ tersebut; inilah yang disebut sebagai kebahagiaan sempurna dan kekal di dalam Tuhan. Atau sebaliknya, tubuh dan jiwa manusia masuk ke neraka, jika keadilan Tuhan menentukan demikian, sesuai dengan perbuatan manusia itu sendiri; inilah yang disebut sebagai siksa kekal. Setelah akhir jaman, yang ada tinggal Surga dan Neraka, tidak ada lagi Api Penyucian, sebab semua yang ada di dalam Api Penyucian akan beralih ke Surga.

Mungkin ada orang bertanya, apa gunanya Penghakiman Terakhir, jika jiwa-jiwa sudah berada di surga setelah menyelesaikan pemurnian di Api Penyucian?

Penghakiman Terakhir diadakan setelah kebangkitan badan. Dalam Pengadilan Terakhir, setiap orang akan diadili di hadapan semua ciptaan, sehingga segala perbuatan baik akan diumumkan di hadapan semua mahluk, demikian juga perbuatan yang jahat.  Tuhan Yesus akan duduk sebagai hakim yang mengadili semua orang, dan pengadilan ini dimaksudkan untuk menyatakan kebijaksanaan dan keadilan Tuhan kepada semua ciptaan. Jadi tidak ada lagi segala sesuatu yang ‘relatif’ di sini. Yang salah dinyatakan salah, yang benar dinyatakan benar, dan ini berlaku pada semua orang. Orang-orang yang baik mendapat penghargaan di hadapan semua ciptaan, dan sebaliknya, orang-orang yang jahat menerima hukuman di hadapan semua. Penghakiman ini merupakan pengulangan pengadilan khusus di hadapan semua mahluk, dan pengulangan sejarah dunia, di mana semua kejadian akan ditampilkan di hadapan semua orang, dan pada saat itu tidak ada sesuatu yang tersembunyi, yang tidak akan dinyatakan (lih. Mat 10: 26-27, Luk 8:17). Maka Penghakiman Terakhir merupakan momen yang penting, yang menjadi dasar pengharapan Kristiani (seperti yang diungkapkan oleh Bapa Paus Benediktus XVI dalam surat ensikliknya Spe Salvi/  Diselamatkan di dalam Pengharapan, 44). Sebab pada saat Penghakiman Terakhir pengorbanan para martir dan orang benar akan mendapat penghargaan. Orang-orang yang jahat akan memandang orang-orang yang baik dan berkata dengan menyesal, “Dia itulah yang dahulu menjadi tertawaan kita, dan buah cercaan kita ini, orang-orang yang bodoh… ia terbilang di antara anak-anak Allah dan bagiannya terdapat di antara para kudus… Kita inilah yang tersesat dari jalan kebenaran dan cahaya kebenaran tidak menerangi kita…” (Kebj 5:3-6).

Setelah Pengadilan Terakhir ini, tidak ada lagi Api Penyucian. Dan karena seluruh semesta alam akan dihancurkan dengan api pada akhir jaman, maka orang-orang yang baik/ benar dapat masuk surga jiwa dan badannya setelah melalui api itu, seperti Sadrakh, Mesakh dan Abednego (lih. Dan 3:1-30), tanpa terbakar. Sedang mereka yang jahat akan masuk neraka, jiwa dan badannya. Persatuan jiwa dan badan di surga inilah yang disebut sebagai kesempurnaan kebahagiaan kekal, dan sebaliknya, yang di neraka sebagai siksa kekal yang tak terlukiskan.

Maka perbedaan antara Pengadilan Khusus dan Pengadilan Umum pada akhir jaman ini adalah, pada Pengadilan Khusus, yang diadili adalah jiwa manusia, sehingga setelah mendapat keputusan (surga, neraka, atau api penyucian), yang masuk ke dalamnya hanya jiwa saja. Sedangkan sesudah Pengadilan Terakhir, yaitu setelah kebangkitan badan, maka tubuh manusia akan bersatu dengan jiwanya, dan keduanya akan masuk kedalam kebahagiaan abadi (Surga), ataupun siksa abadi (neraka). Pengadilan Khusus bersifat pribadi, antara yang meninggal dengan Kristus, sedangkan Pengadilan Umum diadakan di hadapan semua orang.

Katekismus Gereja Katolik menjelaskan arti perkataan Credo bahwa Yesus akan ….”mengadili orang yang hidup dan yang mati….”, sebagai berikut:

KGK 678 Seperti para nabi (Bdk. Ul 7:10. Yl 3-4; Mal 3:19) dan Yohanes Pembaptis (Bdk. Mat 3:7-12), Yesus pun mengumumkan pengadilan pada hari terakhir dalam khotbah-Nya. Di sana akan disingkapkan tingkah laku (Bdk. Mrk 12:38-40) dan isi hati yang paling rahasia dari setiap orang (Bdk. Luk 12:1-3; Yoh 3:20-21; Rm 2:16; 1Kor 4:5). Lalu ketidak-percayaan orang berdosa, yang telah menolak rahmat yang ditawarkan Allah, akan diadili (Bdk. Mat 11:20-24; 12:41-42). Sikap terhadap sesama akan menunjukkan, apakah orang menerima atau menolak rahmat dan cinta Allah (Bdk. Mat 5:22; 7:1-5). Yesus akan mengatakan: “Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat 25:40).

KGK 679 Kristus adalah Tuhan kehidupan abadi. Sebagai Penebus dunia, Kristus mempunyai hak penuh untuk mengadili pekerjaan dan hati manusia secara definitif. Ia telah “mendapatkan” hak ini oleh kematian-Nya di salib. Karena itu, Bapa “menyerahkan seluruh pengadilan kepada Putera-Nya” (Yoh 5:22, Bdk. Yoh 5:27; Mat 25:31; Kis 10:41; 17:31; 2 Tim 4:1). Akan tetapi, Putera tidak datang untuk mengadili, tetapi untuk menyelamatkan (Bdk. Yoh 3:17) dan untuk memberikan kehidupan yang ada pada-Nya (Bdk. Yoh 5:26). Barang siapa menolak rahmat dalam kehidupan ini, telah mengadili dirinya sendiri (Bdk. Yoh 3:18; 12:48). Setiap orang menerima ganjaran atau menderita kerugian sesuai dengan pekerjaannya (Bdk. 1 Kor 3:12-15) ia malahan dapat mengadili dirinya sendiri untuk keabadian, kalau ia tidak mau tahu (Bdk. Mat 12:32; Ibr 6:4-6; 10:26-31) tentang cinta.

KGK 681 Pada hari pengadilan, pada hari kiamat, Kristus akan datang dalam kemuliaan-Nya, untuk menentukan kemenangan kebaikan secara definitif atas kejahatan, yang dalam perjalanan sejarah hidup berdampingan bagaikan gandum dan rumput di ladang yang sama.

KGK 682 Kalau Ia datang pada akhir zaman untuk mengadili orang hidup dan orang mati, Kristus yang dimuliakan akan menyingkapkan isi hati yang terdalam dan akan membalas setiap manusia sesuai dengan pekerjaannya, tergantung pada, apakah ia menerima rahmat Tuhan atau menolaknya.

Semoga uraian di atas bermanfaat, ya. Mari kita sama-sama berdoa agar kita didapati-Nya setia kepada-Nya sampai akhir hidup kita, sehingga kita dapat terbilang dalam kelompok yang dibenarkan oleh Tuhan Yesus dalam Penghakiman Terakhir.

Template: Featured Image (Vertical)

0

This post should display a featured image, if the theme supports it.

Non-square images can provide some unique styling issues.

This post tests a vertical featured image.

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab